Geo-Sciences LINGKUNGAN PENGENDAPAN FORMASI MALAWA, SULAWESI SELATAN BERDASARKAN KANDUNGAN MAKRO FOSIL Fauzie Hasibuan Pusat Survei Geologi Jl. Diponegoro No. 57 Bandung 40122 [email protected] SARI Penelitian makrofosil, terutama moluska yang dikandung oleh Formasi Malawa mengungkapkan lingkungan pengendapannya. Empat penampang stratigrafi yang mewakili formasi tersebut telah diukur dan mengandung fosil moluska yang terawetkan dengan baik. Hasil analisis menunjukkan bahwa Formasi Malawa yang berumur Eosen Tengah ini diendapkan dalam lingkungan hutan bakau, dekat pantai, berarus kuat, kadang-kadang dipengaruhi air tawar (sungai), suatu lingkungan yang berbentuk laguna dan pematang pasir (sand-bar), seperti lingkungan delta. Kata kunci: Formasi Malawa, Eosen Tengah, moluska, bakau, lingkungan delta ABSTRACT J The study of molluscs from the Malawa Formation revealed the paleoenvironmental deposition of the formation. Four measured stratigraphic sections which are representastive of the formation contain well preserved molluscan fauna. The results of analysis indicate that the Malawa Formation of Middle Eocene age has been deposited in a mangrove environment, near shore, high energy, with fresh water influx such as rivers, in a lagoon with sand bars, a kind of deltaic environment. G Keywords: Malawa Formation, Middle Eocene, molluscs, mangrove, deltaic environment Maksud penelitian ini ialah untuk menganalisis lingkungan pengendapan Formasi Malawa yang mengandung lapisan-lapisan batubara berdasarkan kandungan makrofosilnya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan pada penelitian batubara di daerah lain di masa mendatang. Makalah ini lebih ditekankan pada percontoh fosil moluska yang dikumpulkan dalam kegiatan lapangan M Formasi Malawa tersebar di Sulawesi Selatan, antara lain di daerah-daerah Padanglampe, Doidoi, Malawa, sepanjang Sungai Duri, Gatareng, Sungai Umpung, Birane, dan Tondongkura. Selain mengandung batubara, formasi ini juga mengandung fosil moluska yang terawetkan dengan cukup baik. Dalam rangka inventarisasi endapan batubara secara nasional, telah dilakukan penelitian terhadap formasi tersebut. Dalam kesempatan ini telah pula dilakukan penelitian khusus terhadap kumpulan fosil moluska yang dijumpai, guna menunjang analisis lingkungan pengendapan batubara terkait. Naskah diterima : Revisi terakhir : untuk dijadikan dasar analisis pengendapan Formasi Malawa. Walaupun demikian, penelitian kelompok fosil lain, seperti seperti foraminifera, nanoplankton, dan palinologi juga dilakukan. Penentuan umur Formasi Malawa juga didukung oleh keberadaan kelompok fosil-fosil lain seperti tersebut di atas. S PENDAHULUAN Makalah ini merupakan pengembangan laporan penelitian lapangan yang tersimpan di perpustakaan dan Laboratorium Paleontologi, Pusat Survei Geologi, Bandung. Daerah penelitian meliputi Kabupaten Barru, Pangkep, dan Bone, Sulawesi Selatan. Sebagai peta dasar, dipakai peta topografi Lembar Camba, Lalebata, dan Segeri dengan skala 1:50.000 yang diterbitkan oleh BAKOSURTANAL. Peta geologi daerah penelitian termasuk di Lembar Pangkajene dan Watampone Bagian Barat, Sulawesi, Skala 1:250.000 (Sukamto, 1982) (Gambar 1). Kedudukan stratigrafi formasi-formasi batuan di daerah ini dapat dilihat pada Gambar 2. Peta lokasi pembuatan penampang terukur dapat dilihat pada Gambar 3. 19 Februari 2009 30 April 2009 JSDG Vol. 19 No. 2 April 2009 95 Geo-Sciences 20 4030' Tmsv t 60 Kb t Temt t Doidoi Tmpw Temt 35 Tem 0 119034' Qa 120 00' 4030' 20 Tem Qa 15 Tem Temt Tmpt 8 10 Tmcv 30 t t Tmcv Tmpt Tmpt 25 20 lamuru Watan 12 B. PAKITA 20 25 15 25 t Tmpw t 65 22 Qpt 38 Tm c Temt 35 Ub 29 20 35 S B. MARAJA 25 12 Temt Temt Tmpt Tem Ujunglamuru Qpt Qac Tmc Ub B. BULULATONA Tmcv Tmca Kb Tmpt 12 10 Kb Qac 20 Manyengo Qpt 30 22 50 10 Tmc d 5 15 40 B.PASOPANG S m Temt m Qpt m t S 15 Temt Tmcl Tem 40 J t 20 25 Temt Tem d Tem Tpv b Mario Malawa 5 Tem Kb Tmc Kb B.BALLANG 5 B. MALEMPONGKb Tmcv t Temt 28 d d G Temt 20 Tmc B. Tem 30 16 25 Kb Tem 30 d 20 15 B.TAMANGUMBA b 10 d 5 S Temt B.SARAUNG 8 6 b Tmcv d 20 Qac 10 Camba Temt B.BARINGAN d Tmcv Temt Temt d 119034' 11 Tmcv Temt 10 Temt d Tmc Endapan aluvium Tpbv Batuan gunung api Baturape - Cindako Tmpw Formasi Walanae Tmsv Batuan gunung api Soppeng Tmc Formasi Camba Temt Formasi Tonasa d Diorit - granodiorit Tem Formasi Malawa t Trakit Formasi Balangbaru b Basal S Ub Batuan malihan Batuan ultrabasa 0 5 00' Batuan gunung api dan terobosan Qac Kb B. LANGKAE B. MANDALETpbv Qac KETERANGAN : Batuan Sedimen 20 15 M 0 B.LEAPUTE11 0 10 10 Qac 120 00' 10 5 00' MATUMPA d b Qac 30 Tpv Sesar naik Batuan gunung api terpropilitkan Sesar normal U Tmca Formasi Camba (Tefrit Lesit) Tmcv Formasi Camba 0 12,5 km Gambar 1. Peta geologi Lembar Pangkajene dan Watampone Bagian Barat, Sulawesi Selatan (Sukamto, 1982). 96 JSDG Vol. 19 No. 2 April 2009 Geo-Sciences SULAWESI BAGIAN TIMUR SULAWESI SELATAN BAGIAN BARAT Umur B Nama-nama formasi, batuan dan ketebalan Miosen Akhir T B Nama-nama formasi, batuan dan ketebalan FORMASI TACIPI F. CAMBA (bagian atas) dan Batuan Gunung Api lainnya 10 MIOSEN T FORMASI . WALANAE . FORMASI CAMBA Miosen Tengah FORMASI CAMBA (bagian bawah) 15 ? Awal Miosen ? FORMASI TONASA -300 M - 1100 M 20 FORMASI KALAMISENG 25 30 Oligosen Awal 35 Eosen Tengah FORMASI MALAWA 45 FORMASI TONASA S EOSEN 40 G Eosen Akhir DEPRESI WALANAE Oligosen Akhir J OLIGOSEN ? M FORMASI SALOKALUPANG 50 Eosen Awal ? 55 PALEOSEN KETERANGAN LITOLOGI Paleosen Akhir Batugamping laut dangkal 60 FORMASI LANGI Paleosen Awal Napal endapan cekungan Batuan kecuran laut (tepian) KAPUR 65 Batuan kecuran laut dalam dan batuan kecuran gunung api FORMASI BALANGBARU Kapur Akhir FORMASI MARADA 70 Kapur Tengah Fasies karbonat terendapkanulang Lava dan batuan kecuran gunung api Batuan kecuran laut dalam KOMPLEK BATUAN ALAS Batuan malihan dan ultrabasa Gambar 2. Stratigrafi daerah penelitian (dimodifikasi dari Wilson, 1995a). JSDG Vol. 19 No. 2 April 2009 97 Geo-Sciences 04030’ 1 Gatareng 7 rio ng pu Um 6 0 BARRU S. M a S. Raia ar Doidoi 2 kas 120 00’ 119030’ 0 04 30’ Ma BULU PAKITA Se lat WATAN LAMURU SEGERI UJUNG LAMURU g S. Su BULU MARAJA eri 5 ri S. Bontobonto Du BULU LATONA Ke PANGKAJENE (10 Km) BULU MALEMPONG KETERANGAN : Jalan Bua 10 15 8 20 Km 9 MALAWA Mario ng El olo S. Tocappa 3 S. M 5 J 0 4 le Lokasi kolom stratigrafi onr Sungai 9 a liaw gma atan S. W U 0 0 119 30’ 0 S 119 30’ G SULAWESI SELATAN CAMBA 0 05 00’ 04 30’ M Gambar 3. Peta lokasi pembuatan penampang terukur. METODE PENELITIAN Untuk penelitian ini telah dibuat sembilan penampang stratigrafi terukur Formasi Malawa di tempat-tempat yang singkapannya dianggap mewakili. Kemudian dilakukan pemercontohan litologi dan fosil moluska untuk keperluan analisis laboratorium. Tidak semua dari sembilan penampang terukur mengandung makrofosil yang layak dideterminasi. Penelitian di laboratorium menunjukkan banyak di antara makrofosil tersebut sudah sangat lapuk, tidak lengkap (rusak), dan mempunyai cangkang yang memang sangat tipis. Pengukuran penampang stratigrafi dilakukan di daerah Padanglampe, di Desa Doidoi, lokasi penambangan pasirkuarsa di Desa 98 Malawa, sepanjang anak Sungai Malawa, sepanjang Sungai Duri, di Desa Birane, sepanjang Sungai Umpung, di Desa Gatareng, dan di Desa Tondongkura. Korelasi antar penampang terukur tersebut dapat dilihat pada Gambar 4. Tebal maksimum Formasi Malawa yang terukur mencapai 60 m, jauh berbeda dengan yang diperkirakan oleh Sukamto (1982), yaitu 400 m. GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Secara tektonis Pulau Sulawesi merupakan pertemuan tiga lempeng samudra, yaitu IndoAustralia yang bergerak ke utara, Pasifik yang bergerak ke arah barat, dan Eurasian yang relatif statis. JSDG Vol. 19 No. 2 April 2009 Geo-Sciences Pulau ini dibagi menjadi empat lajur tektonik (Sukamto, 1986), yaitu Lajur Gunung Api Plutonik Sulawesi Bagian Barat, Lajur Metamorfosa Sulawesi Tengah, Lajur Ofiolit Sulawesi Bagian Timur, dan Paparan Banggai-Sula. Daerah penelitian terletak pada Jalur Gunung Api Plutonik Sulawesi Bagian Barat. Formasi Malawa menempati daerah perbukitan rendah di daerah penelitian (Potret 1 dan Potret 2). Formasi ini dialasi secara tidak selaras oleh Formasi Balangbaru yang berumur Kapur Akhir (Potret 3). Formasi Balangbaru merupakan endapan tipe flysch (flysch type deposit) (Hasan, 1992). J Di bagian bawah, Formasi Malawa terdiri atas batupasir kuarsa dan konglomerat kuarsa. Ke arah atas batuannya berangsur menjadi berbutir lebih halus dengan sisipan lapisan-lapisan batubara diikuti oleh batulanau dan napal yang menunjukkan aspek endapan laut (Potret 4). Pada batulempung, misalnya di Sungai Umpung ( Potret 5) banyak ditemukan makrofosil (moluska, koral) dan mikrofosil (foraminifera, nanoplankton, spora, dan serbuk sari). Fosil moluska sering ditemukan pada lapisan batugamping, tetapi pemercontohannya sangat sulit dilakukan (Potret 6). Di daerah Padanglampe, formasi ini mengandung lapisan batubara di antara lapisan batupasir dan lempung (Potret 7). Di daerah Gatareng, ditemukan lapisan batubara yang cukup tebal (6 m) (Potret 8). Kusnama dan Mangga (2007) telah menganalisis kandungan batubara di daerah Kandangsapi dan Bakeko yang menunjukkan nilai kalori antara 2400 sampai 4600 kal/gram dan antara 5000 sampai 6000 kal/gram. teratas Formasi Malawa Khan & Tsudy (lihat Sukamto, 1982) menyimpulkan umur formasi ini adalah Paleogen. Hazel (lihat Sukamto, 1982) meneliti fosil ostrakoda dan menyimpulkan juga bahwa umur Formasi Malawa adalah Eosen. Crotty & Engelhardt (1993) menemukan spesies serbuk sari Retitribrevicolporites matamanadhensis yang berumur Eosen Tengah seperti di India dan spesies dinoflagelata seperti Muratodinium fimbriatum dan Homotryblium floripes juga menunjukkan umur Eosen Tengah. G S Keberadaan spesies foraminifera besar seperti Fasciolites sp. dan Nummulites javanus di bagian bawah Formasi Tonasa menunjukkan, bahwa umur Formasi Malawa tidak lebih muda dari akhir Eosen Tengah atau lebih muda dari Ta3 (Sudijono, 1995; 2001, kom. tertulis; Suyoko drr. 2001). Hasibuan (2001) melaporkan bahwa jenis bivalvia yang banyak ditemukan di dalam lapisan batupasir halus dan batulempung adalah Ostrea (Turkostrea) doidoiensis suatu subgenus yang umum ditemukan pada batuan berumur Eosen (Hasibuan,2006), seperti di Asia Tengah, Afrika Utara (Cox drr., 1971), di Kyrgyzstan (Averianov, 1994), di Argentina (Kiser, 1997), di Texas (Perrilliat, 2001), di Mexico (Vega drr., 2007). UMUR FORMASI MALAWA Penentuan umur Formasi Malawa dilakukan berdasarkan hasil penelitian laboratorium beberapa kelompok fosil seperti serbuk sari/spora, nanoplankton, foraminifera, dan moluska. Berdasarkan keberadaan fosil serbuk sari dari Penggalian Tonasa-I dan Barru di dalam lapisan M Formasi Malawa ditindih selaras oleh Formasi Tonasa yang terdiri atas endapan batugamping paparan. Di beberapa tempat Formasi Malawa menjemari dengan Langi Volcanics (Wilson, 1995a,b; Hasibuan, 1995, 1997; Wilson dan Bosence, 1996). Pada penelitian ini juga ditemukan adanya serbuk sari dan spora yang pengawetannya cukup baik. Dari sebanyak 22 percontoh yang diperiksa hanya tiga yang tidak mengandung fosil serbuk sari atau spora. Percontoh No. 01/DD/07 dari bagian tengah penampang terukur Doidoi mengandung satu jenis serbuk sari yang berumur Eosen Awal yaitu Gemmatricolporites pilatus bersama dengan Palmaepollenites kutchensis yang mempunyai kisaran umur Eosen Awal sampai Eosen Akhir. Keberadaan spesies Eosen Awal di sini kemungkinan merupakan fosil runtungan (reworked) dari lapisan yang lebih tua. Lapisan lebih tua ini kemungkinan bagian bawah Formasi Malawa sendiri atau formasi lain yang lebih tua. Hasil analisis menunjukkan, bahwa umur Formasi Malawa adalah Eosen Tengah. Umur bagian bawah Formasi Malawa dalam penelitian ini belum dapat ditentukan karena beberapa percontoh yang dikumpulkan tidak mengandung fosil (Polhaupessy, 2001, kom. tertulis; Suyoko drr. 2001). JSDG Vol. 19 No. 2 April 2009 99 FORMASI TONASA Geo-Sciences S. Umpung (7) S. Duri (5) Doidoi (2) Bekas penggalian, Malawa (3) Birane (8) Doidoi (2) Gatareng (6) J FORMASI MALAWA Padanglampe (1) Doidoi (2) Tondongkura (9) G Anak S. Malawa (4) M FORMASI BALANGBARU S Skala vertikal 15 m KETERANGAN : Batulempung Sisa tumbuhan / bahan karbonan Batugamping Perlapisan silang-siur Batulanau Galian binatang (burrows) 10 Batupasir Kongkresi 5 Moluska Kerikil/kerakal Batubara Koral Foraminifera Batuan vulkanik (retas) Gambar 4. Korelasi penampang terukur di daerah penelitian. 100 JSDG Vol. 19 No. 2 April 2009 0 Geo-Sciences Potret 1. Satuan morfologi perbukitan bergelombang Formasi Malawa di Desa Padanglampe. Potret 5. Singkapan batulempung berselingan dengan batugamping, bagian atas Formasi Malawa di di Sungai Umpung. J G Potret 2. Satuan morfologi perbukitan bergelombang Formasi Malawa di Desa Gatareng. Potret 6. Singkapan batugamping mengandung moluska di dalam Formasi Malawa, di Sungai Umpung. S M Formasi Malawa Formasi Balangbaru Potret 3. Kontak antara Formasi Balangbaru dan Formasi Malawa di dekat Desa Malawa. Potret 7. Singkapan batulempung, batubara, batupasir, dan batugamping Formasi Malawa di Desa Padanglampe. Potret 4. Singkapan fasies laut Formasi Malawa bagian tengah di Desa Doidoi. Potret 8. Singkapan batulempung dan sisipan batubara di Desa Gatareng. JSDG Vol. 19 No. 2 April 2009 101 Geo-Sciences Spesies nanoplankton yang dikenali antara lain Reticulofenestra umbilica, R. hampdenensis, Pe m m a b a s q u e n s i s , E r i c s o n i a f o r m o s a , Braamdosphaera bigelowioi, Sphenolithus moriformis, dan Micrantholithus sp. Dari himpunan spesies fosil nanoplankton ini dapat disimpulkan bahwa umur Formasi Malawa Eosen Tengah (NP16NP17) (Limbong, 2001, kom. tertulis; Suyoko drr. 2001). KANDUNGAN MAKROFOSIL J Dari sebanyak 9 penampang stratigrafi yang telah diukur hanya empat yang dipakai dalam analisis lingkungan pengendapan formasi. Hal ini karena dari empat penampang tersebut ditemukan jenis makrofosil seperti moluska (dominan), koral, dan artropoda yang pengawetannya cukup baik dan dapat dikenali. Keempat penampang terukur tersebut masing-masing adalah Sungai Umpung, Padanglampe, Dodidoi, dan Gatareng. Kandungan makrofosil masing-masing penampang adalah sebagai berikut: G Penampang Gatareng Gastropoda: Natica sp., Oliva sp., Ancilla sp., Rimella sp., Siphonalia sp., Gastropod indet. Bivalvia: Isognom (I.) sp., Cardium sp., Ostreidae, Bivalve indet. Artropoda: ?Callianasa sp. Fosil jejak: Ophiomorpha? sp. Koral: Discocyathus? sp., Solitary coral indet. ANALISIS LINGKUNGAN PENGENDAPAN Analisis ini didasarkan atas ciri organ tubuh pada cangkang dan perilaku hidup makrofosil tersebut secara umum. Dalam melakukan analisis, dipergunakan laporan penulis-penulis terdahulu misalnya Cox drr. (1969; 1971), dan Wenz (1938). Sebagian makrofosil dalam Formasi Malawa dapat dilihat pada Potret 9. S Penampang S. Umpung Gastropoda: Gastropod indet. Bivalvia: Septifer (S.) sp. A, Gonidea? sp., Unionacea indet., Corbula (Varicorbula) sp. A, Ostrea (Turkostrea) doidoiensis. Ostrea sp., Bivalve indet. Koral: Caryophylliidae Artropod: Crustaceae indet. Gastropoda: Vicar ya sp., Muricopsis sp,. Tonna sp., Megalocypraea sp., Oliva (Anazola) sp., Sconsia sp., Tibia sp., Cerithiidae.Gastropod indet. Bivalvia: Cultellus (C.) sp., Atrina sp., Septifer sp. A., Ostrea (Turkostrea) doidoiensis, Cardiidae, Bivalve indet. Koral: Discocyathus? sp. 2. Caryophylliidae Penampang Doidoi. Gastropoda: Tibia sp. A., Vicarya sp. A., Oliva sp., Volutocorbis sp., Sconsia sp., Semicasis sp., Tonna sp., Natica sp., Strombus sp., Delphinula sp., Ringicula sp., Muricopsis sp., Gastropod indet. Bivalvia: Loxocardium sp., Ostrea (Turkostrea) doidoiensis, Chioninae, Bivalve indet. 102 Jenis bivalvia yang ditemukan di Sungai Umpung terdiri atas Ostrea (Turkostrea) doidoiensis, Septifer (S.) sp. A adalah jenis yang melekatkan diri dengan sejenis rambut (byssus) pada dasar yang keras seperti batu dan kayu/tetumbuhan. Jenis lain yang ditemukan seperti Famili Unionacea adalah jenis infauna, yaitu membenamkan (menggali) dirinya dalam sedimen. Gonidea adalah jenis yang hidup di air tawar sampai payau pada daerah dengan dasar yang keras. Pada lintasan Sungai Umpung jarang sekali ditemukan kelompok makrofosil gastropoda, kalau pun ada umumnya sudah sangat lapuk dan sulit dikenali. M Penampang Padanglampe. Asosiasi makrofosil Sungai Umpung Asosiasi fauna di atas menunjukkan bahwa lingkungan pada saat pengendapan formasi berarus kuat (high energy) dan dangkal. Diperkirakan tetumbuhan pada waktu itu adalah hutan bakau dengan adanya pengaruh air tawar (sungai). Ke t i d ak had i r an gas t r o p o d a m e n u n j u k k an JSDG Vol. 19 No. 2 April 2009 Geo-Sciences kemungkinan arusnya terlalu deras dan berlumpur. Kemungkinan lain ialah bahwa daerah tersebut merupakan rawa dengan tetumbuhan yang melimpah yang pembusukannya menyebabkan lingkungannya menjadi berasam tinggi, sehingga cangkang moluska pada umumnya terlarutkan. Asosiasi makrofosil di Padanglampe J Pada lintasan Padanglampe ini asosiasi fauna sangat ber variasi, misalnya ditemukan kelompok gastropoda, bivalvia, dan koral dengan jumlah yang melimpah. Adanya Vicarya sp., Tibia sp. dan Cerithiidae adalah ciri lingkungan pantai berbakau di daerah pasang-surut yang kadang-kadang terkena sinar matahari. Muricopsis sp. adalah jenis yang hidup di atas sedimen yang kadang-kadang membenamkan sebagian tubuhnya ke dalam sedimen. Tonna sp. adalah jenis yang hidup di laut terbuka. G Spesies bivalvia seperti Cultellus (C.) sp. dan Cardiidae adalah fauna yang hidup di dalam (infauna/burrower) berbutir halus sedimen seperti lempung. Atrina sp., Septifer sp. dan Ostrea (Turkostrea) doidoiensis adalah spesies yang melekatkan dirinya pada dasar yang keras atau tetumbuhan hidup dalam energi arus kuat (high energy). makan di permukaan sediment, dan kadang-kadang membenamkan sebagian dirinya dalam sedimen tersebut. Delphinula sp. dan Muricopsis sp. adalah jenis yang hidup di air dangkal berarus kuat. Ringicula sp. adalah jenis yang hidup di laut dalam. Jenis bivalvia Loxocardium sp. dan Chioninae merupkan spesies bivalvia yang membenamkan dirinya dalam sedimen (infauna), seperti lumpur/lempung. Ostrea (Turkostrea) doidoiensis adalah jenis bivalvia yang melekatkan dirinya pada dasar yang keras atau tetumbuhan dengan arus lebih tinggi/kuat. Selain itu, ditemukan juga koral Caryophyllidae, yaitu koral soliter (nonreef building coral) yang hidup di permukaan lumpur Bersamanya ditemukan juga jenis Crustaceae (jenis kepiting) yang hidup di daerah pasang-surut. Asosiasi fauna di daerah Doidoi ini menunjukkan suatu lingkungan air dangkal, daerah pasang-surut yang berhutan bakau dengan endapan lempung di sana-sini. Asosiasi makrofosil di Gatareng S Di daerah ini ditemukan jenis gastropoda seperti Natica sp. Oliva sp. Ancilla sp., Rimella sp. dan Siphonalia sp. yang hidup di permukaan sedimen atau sebagian tubuhnya dibenamkan ke dalam sedimen berbutir halus seperti lumpur/lempung. Asosiasi fauna di daerah Padanglampe ini menunjukkan lingkungan purba yang berarus kuat (high energy) dengan beberapa perangkap lumpur/lempung. Lingkungan ini kemungkinan berupa hutan bakau di daerah pantai. Asosiasi makrofosil di Doidoi Jenis gastropoda yang ditemukan di daerah Doidoi ini, yakni Tibia sp., dan Vicarya sp., menunjukkan daerah lingkungan hutan bakau yang dipengaruhi air pasang-surut. Oliva sp., Volutocorbis sp., Sconsia sp., Semicasis sp., Tonna sp. Natica sp., dan Strombus sp. adalah jenis gastropoda yang mencari M Discocyathus sp. dan Caryophylliidae yang hadir pada bagian ini adalah jenis koral soliter yang biasanya hidup di atas lumpur, atau bukan organisme pembentuk terumbu (nonreef building coral). Jenis bivalvia, seperti Isognom sp., dan Ostreidae, hidup di arus kuat, menempelkan cangkangnya pada dasar yang keras atau tetumbuhan. Cardium sp. adalah bivalvia yang membenamkan dirinya ke dalam sedimen (infaunal/burrower). Hadirnya jenis kepiting Callianasa sp. dan fosil jejak Ophiomorpha sp., mengindikasikan lingkungan daerah pasang-surut. Di daerah ini koral jenis Caryophyllidae dan koral soliter lainnya yang hidup di atas lumpur (nonreef building coral) juga masih ditemukan. Assosiasi fauna tersebut menunjukkan bahwa sedimentasi di daerah Padanglampe berlangsung di daerah pasang-surut, atau daerah delta yang di sanasini mengandung endapan lempung. JSDG Vol. 19 No. 2 April 2009 103 Geo-Sciences 5 3 4 2 1 J G 6 7 8 S 9 M 11 12 14 13 10 15 17 16 Potret 9. Sebagian potret makrofosil dari Formasi Malawa (Eosen Tengah). 104 JSDG Vol. 19 No. 2 April 2009 Geo-Sciences KESIMPULAN Dari hasil analisis kandungan moluska dan elemen makrofosil lainnya dapat disimpulkan, bahwa Formasi Malawa diendapkan dalam lingkungan laut dangkal yang dipengaruhi pasang-surut di daerah pantai dan muara sungai dengan arus kuat (high energy), tetapi masih menghasilkan endapan lempung yang mungkin terperangkap dalam lagunalaguna kecil pada daerah delta. Daerah ini juga masih ada pengaruh laut terbuka yang mungkin di daerah delta yang ditandai dengan adanya fosil dari kelompok lain seper ti foraminifera dan nanoplankton. Batubara diperkirakan terbentuk atau teronggokkan pada daerah laguna yang terisolasi di daerah delta ini. Pascapembentukan Formasi Malawa daerah ini berubah menjadi laut yang relatif dangkal saat diendapkannya Formasi Tonasa yang diawali dengan pembentukan batugamping berforaminifera besar dalam formasi tersebut. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Pusat Survei Geologi, Bandung, yang mengizinkan makalah ini dipublikasikan dalam Jurnal Sumber Daya Geologi , Badan Geologi. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan, terutama di Laboratorium Paleontologi, yang telah memberikan pandangan dan bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan makalah ini. ACUAN J Averianov, A.O., 1994. Early Eocene minotonids of Kyrgyzstan and the problem of Mixodonitea. Acta Paleontologica Polonica 39 (4): 393-411. G Cox, L.R., Newell, N.D., Boyd, D.W., Branson, C.C., Casey, R., Chavan, A., Coogan, A.H., Dechaseaux, C., Fleming, C.A., Haas, F., Hertlein, L.G., Kauffman, E.G., Keen, A.M., LaRocque, A., McAlester, A.L., Moore, R.C., Nuttal, C.P., Perkins, B.F., Puri, H.S., Smith, L.A., Soot-Ryen, T., Stenzel, H.B., Trueman, E.R., Turner, R.D., and Weir, J., 1969. Treatise on Paleontology. Part N; V.1 of 3. Molusca 6, Bivalvia and Part N; V. 2 0f 3, Molusca 6, Bivalvia. The Geol. Soc. Am. Inc. and Univ. Kansas. S Cox, L.R.,Newell, N.D., Boyd, D.W., Branson, C.C., Casey, R., Chavan, A., Coogan, A.H., Dechaseaux, C., Fleming, C.A., Haas, F., Hertlein, L.G., Kauffman, E.G., Keen, A.M., LaRocque, A., McAlester, A.L., Moore, R.C., Nuttal, C.P., Perkins, B.F., Puri, H.S., Smith, L.A., Soot-Ryen, T., Stenzel, H.B., Trueman, E.R., Turner, R.D., and Weir, J., 1971. Treatise on Paleontology. Part N; V.3 of 3. Mollusca 6, The Geol. Soc. Am. Inc. and Univ. Kansas. M Crotty, K.J. dan Engelhardt, D.W., 1993. Larger foraminifera and palynomorphs of the upper Malawa and lower Tonasa Formations, southwestern Sulawesi Island, Indonesia. In: Thanasuthipitak, T. (ed.) Symposium on biostratigraphy of mainland Southeast Asia: Facies and Paleontology. Chiang Mai, Thailand: 71-82. Hasan, K. 1992,, Post Convention Field Trip Southwest Sulawesi. Puslitbang Geologi Bandung. Tidak diterbitkan. Hasibuan, F., 1995. Penelitian Stratigrafi Daerah Sulawesi Bagian Selatan. Puslitbang Geologi, Bandung. Tidak diterbitkan. Hasibuan, F., 1997. Penelitian Analisis Cekungan Di Sulawesi Bagian Selatan. Puslitbang Geologi, Bandung. Tidak diterbitkan. Hasibuan, F., 2001. Ostrea (Turkostrea) doidoiensis n.sp. from the Middle Eocene, of Malawa Formation, South Sulawesi. Majalah Geologi Indonesia. V.16, Spec. Edition. Hasibuan, F., 2006. Ostrea (Turkostrea) doidoiensis Hasibuan from the Bayah Formation, West Jawa: A New Find. Jurnal Sumber Daya Geologi XVI(1): 16-29. Kiser, G.D., 1997. Nuevas contribuciones a la geologia de Barinas-Apure y su frente de montarias. En prensa. Kusnama dan Mangga, S.A., 2007. Hubungan Lingkungan Pengendapan Formasi Malawa dan Keterdapatan Batubara di daerah Soppeng, Sulawesi Selatan. Jurnal Sumber Daya Geologi XVII(4): 218-232. JSDG Vol. 19 No. 2 April 2009 105 Geo-Sciences Perrilliat, M. D. C., 2001. NAPC 2001, Berkeley, California (Abstract). Sudijono, 1995. Penelitian Paleontologi dan Stratigrafi di Sulawesi Selatan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. Laporan internal, tidak diterbitkan. Sukamto, R., 1986. Tektonik Sulawesi Selatan dengan acuan khusus ciri-ciri himpunan batuan daerah Bantimala. Disertasi Doktor, ITB, tidak diterbitkan. Sukamto, R., 1982, Peta Geologi Lembar Pangkajene dan Watampone Bagian Barat, Sulawesi, Skala 1:250.000. Puslitbang Geologi, Bandung. Suyoko, Sudijono, Hasibuan, F., Polhaupessy, A.A., Nugroho, E.H., dan Limbong, A., 2001. Pengkajian Geologi Paleogen Cekungan Sengkang, Sulawesi Selatan (Dengan Acuan Khusus Palinologi Batubara). Kegiatan Rutin Suplemen (DIK-S). Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung. Tidak diterbitkan. Vega, F.J., Perrilliat, M.d.C., Duaste-Torres, L., Durân-Herrera, G., Rivas-Garcia, R., Aguilar-Piò a, M., and Ventura, J.F., 2007. Lower Eocene in Sabinas Basin in NE Mexico. Boletin de la Sociedad Geologica Mexican Tomo LIX(1): 115-123. Wenz, W., 1938. Handbuch der Palazoologie, Band 6. Verlag von Gebruder Borntraeger, Berlin. Wilson, M.E.J., 1995a. The Tonasa Limestone Formation, Sulawesi, Indonesia: Development of a Tertiary Carbonate Platform. Ph.D. Thesis, Dept. of Geology, Royal Holloway, Univ. London. Tidak diterbitkan. J Wilson, M.E.J., 1995b. Evolution and Hydrocarbon Potential of the Tertiary Tonasa Limestone Formation, Sulawesi, Indonesia. Proc. Indon. Petrol. Assoc. 25th, Silver Anniv. Conv.: 227-240. G Wilson, M.E.J. dan Bosence, W.J., 1996. The Tertiary evolution of South Sulawesi, Indonesia: A record in redeposited carbonate facies on the Tonasa Limestone Formation, near Barru. In: Tectonic Avolution of Southeast Asia. (ed. R. Hall dan D.J. Blundell. Geol. Soc. London, Spec. Publ. No. 106: 365-389. S M 106 JSDG Vol. 19 No. 2 April 2009