7 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Anatomi dan Biomekanik Terapan pada Osteoathritis Genu Lutut merupakan sendi yang aneh bentuknya. Bila dilihat permukaan sendi nampak bahwa permukaan sendi dari tulang femur dan tulang tibia tidak ada kesesuaian bentuk. Kedua condylus femur membentuk sejenis katrol sedang tibia di antaranya lebih rata. Pada bagian dorsal terdapat simpai sendi yang kuat serta diperkuat oleh berbagai ligamentum. Rongga sendi lutut sangat luas dan melanjutkan diri ke dalam rexscessus suprapatellaris. Didalam lutut terdapat ligamentum cruciatum anterior dan ligamentum cruciatum posterior. Disebelah medial dan lateral terdapat ligamentum collateral medial dan ligamentum collateral lateral. Keempat ligamentum tersebut mengemudikan lutut dalam gerakan antara fleksi dan ekstensi (De wolf and J.M.A, Mens, 1994). Aksis gerakan lutut fleksi dan ekstensi terletak di atas permukaan sendi yaitu melewati condylus femoris. Untuk gerakan rotasi aksisnya longitudinal pada daerah condylus medialis (Kapandji, 1987). Sistem limfe pada sendi lutut terutama terdapat pada perbatasan fascia subcutaneous. Kemudian selanjutnya akan bergabung dengan lymphanode sub inguinalis superficialis. Sebagian lagi aliran limfe ini akan memasuki lymphanode 8 poplitealis, aliran limfe berjalan sepanjang vena femoralis menuju ke lymphanode inguinalis Osteokinematika yang terjadi pada sendi lutut adalah gerakan fleksi dan ekstensi pada bidang sagital dengan luas gerak sendi fleksi antara 120 0-1300 bila posisi hip mencapai fleksi penuh. Untuk gerakan ekstensi luas gerak sendi 00 tetapi bisa 50-100 jika terdapat hiperekstensi lutut. Gerakan memutar pada bidang rotasi untuk gerakan endorotasi dengan luas gerak sendi antara 30 0-350. Sedangkan untuk eksorotasi antara 400-450 dari posisi awal mid posisi, gerakan ini terjadi pada posisi lutut fleksi 900 (Kapandji, 1987). Artrokinematika sendi lutut adalah pada femur (cembung) maka gerakan yang terjadi adalah rolling dan sliding berlawanan arah. Saat fleksi femur rolling ke arah belakang dan sliding ke arah depan. Untuk gerakan ekstensi, rolling ke arah depan dan sliding ke belakang, dan jika tibia (cekung) bergerak fleksi maupun ekstensi maka rolling maupun sliding akan searah, saat gerakan fleksi menuju ke dorsal sedang pada saat bergerak ekstensi menuju ke depan (Pardjoto, 2000). Sendi lutut diperkuat oleh grup otot besar yang berfungsi sebagai penggerak utama dan juga berfungsi untuk stabilitas aktif sendi lutut. Beberapa grup otot tersebut adalah otot quadriceps femoris dan otot hamstring. Otot quadriceps terdiri dari otot rectus femoris, vastus lateralis, vastus medialis, dan vastus intermedius. Sedangakan otot hamstring terdiri dari otot biceps femoris, semimembranosus, dan semitendinosus. Otot quadriceps berfungsi sebagai ekstensor sendi lutut dengan 9 arah tarikan yang berbeda-beda setiap bagian otot, sedangkan otot hamsting berfungsi utama untuk fleksor sendi lutut. Gambar 2.1. Arah tarikan otot Quadriceps Femoris (Sumber : Neuman, 1988) Bagian medial pada sendi lutut normal mendapatkan pembebanan sekitar 70% dari berat badan. Hal ini terjadi oleh karena lintasan dari vektor ground reaction force (GRF) pada sendi lutut. Lintasan GRF berjalan melewati bagian medial dan posterior lutut. Momen yang diciptakan oleh gaya pada sendi lutut ini dibentuk oleh momen gaya fleksi dan adduksi. Pada pasien dengan OA lutut akan terjadi peningkatan momen aduksi pada lutut. Gambar 2.2. Lintasan GRF pada lutut normal dan lutut OA (Sumber : Czamara, 2008) 10 Maginitude pada adduksi lutut menghasilkan penyempitan ruang sendi, melonggarnya kapsul bagian medial, timbulnya nyeri dan terganggunya aktivitas fungsional (Czamara, 2008). Fenomena melonggarnya kapsul sendi tersebut juga dikenal dengan istilah pseudo-laxity. Untuk mengatasi sensasi instabilitas sendi ini otot-otot yang memperkuat bagian medial mengalami kontraksi untuk menstabilisasi aspek medial sendi lutut, yang mana hal ini meningkatkan pembebanan pada bagian medial dan mempercepat proses degenratif. Gambar 2.3. Ruang sendi pada OA dan pada lutut normal (Sumber : Czamara, 2008) Penurunan ruang sendi akan meningkatakan gaya reaksi pada sendi pada bagian medial selama aktivitas berjalan yang akan meningkatkan gaya friksi pada kedua permukaan sendi. Gaya friksi tersebut dapat menyebabkan nyeri yang berdampak pada inhibisi otot dan mempengaruhi aktivitas fungsional. Friksi pada kartilago akan mengganggu artrokinematika (slide & roll) pada sendi lutut, sehingga akan mempengaruhi osteokinematika sendi lutut. 11 Gambar 2.4. berjalan pada OA Pembebanan selama (Sumber : Neuman, 1988) 2.2 Osteoathritis Genu 2.2.1 Definisi Osteoathritis Osteoathritis (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif dengan kerusakan/kelainan kartilago sendi yang ditandai perubahan klinis, histologis, dan radiologis (Kuntono, 2011). OA merupakan penyakit yang sering dijumpai dan secara progresif berjalan lambat pada akhir kehidupan seseorang. Karakter keluhan secara klinis berupa nyeri, deformitas, keterbatasan gerak, dan biasanya terjadi destruksi sendi dan berakibat ketidakmampuan (Kuntono, 2011). Prevalensi atau insiden pada populasi tidak dipengaruhi oleh iklim, lokasi geografi, suku bangsa atau warna kulit. Dapat mengenai semua usia, pada umumnya mengenai usia di atas 50 tahun. Pada umumnya laki – laki dan perempuan sama – sama dapat terkena penyakit ini, meskipun pada usia sebelum 45 tahun lebih sering pada laki – laki, tetapi setelah usia 45 tahun lebih banyak pada perempuan dengan perbandingan ± 4:1 (Hudaya, 2002). Di Indonesia, OA merupakan penyakit rematik yang paling banyak ditemui, dan berdasarkan data dari World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa tercatat ada 8,1% dari total penduduk, 12 mengalami kasus OA di Indonesia. Berdasarkan data Kongres Nasional Ikatan Reumatologi Indonesia (2005), di kabupaten Malang dan kota Malang ditemukan prevalensi sebesar 10 dan 13,5%, dan di Jawa Tengah kejadian penyakit OA sebesar 5,2% dari total penduduk. 2.2.2 Etiologi Berdasarkan kriteria American Rheumatoid Association (ARA), OA dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Osteoathritis primer Jenis ini paling sering ditemukan, dikatakan primer karena penyebabnya tidak diketahui atau herediter dan dapat dibedakan menjadi peripheral dan spinal. Biasanya terjadi karena proses penuaan. Persendian yang biasa terkena yaitu jarijari tangan, jari-jari kaki, lutut dan panggul. Namun paling banyak mengenai lutut. 2. Osteoathritis sekunder Disebut OA sekunder karena diketahui penyebabnya. Jenis ini meliputi OA yang timbul pada sendi yang sebelumnya sudah ditemukan adanya kerusakan atau kelainan sendi. Jadi penyebabnya dapat diketahui : Congenital atau development defect : osteochondritis, legg-calve,perthes disease. Penyakit metabolic : gout, ochronosis, paget’s disease, hyperparatyroidisme (hiperfungsi glandula parathyroidea ). Trama akut atau kronik : charcot’s arthropathy. Peradangan : rheumatoid arthritis, psoriatic arthritis. Endokrin : aeLGSegali, diabetes. 13 Gambar 2.5. OA Genu (Sumber : Kuntono, 2011) Adapun faktor resiko terjadinya OA Genu adalah: 1. Faktor Predisposisi 1) Faktor Demografi a) Usia Proses penuaan dianggap sebagai penyebab peningkatan kelemahan di sekitar sendi, penurunan kelenturan sendi, klasifikasi tulang rawan, dan menurunkan fungsi kondrosit, yang semuanya mendukung terjadinya OA. Studi Framingham menunjukkan bahwa 27% orang berusia 63-70 tahun memiliki bukti radiografik menderita OA Genu, yang meningkat mencapai 40% pada usia 80 tahun atau lebih. Studi lain membuktikan bahwa risiko seseorang mengalami gejala timbulnya OA Genu adalah mulai usia 50 tahun. Studi mengenai kelenturan pada OA telah menemukan bahwa terjadi penurunan kelenturan pada pasien usia tua dengan OA Genu (Pay, 1997). 14 b) Jenis kelamin Prevalensi OA pada laki-laki sebelum usia 50 tahun lebih tinggi dibandingkan perempuan, tetapi setelah usia lebih dari 50 tahun prevalensi perempuan lebih tinggi menderita OA dibandingkan laki-laki. Perbedaan tersebut menjadi semakin berkurang setelah menginjak usia 80 tahun. Hal tersebut diperkirakan karena pada masa usia 50 – 80 tahun perempuan mengalami pengurangan hormon estrogen yang signifikan (Felson dan Zhang, 1998). c) Ras/ Etnis Prevalensi OA Genu pada penderita di negara Eropa dan Amerika tidak berbeda, sedangkan suatu penelitian membuktikan bahwa ras Afrika – Amerika memiliki risiko menderita OA Genu 2 kali lebih besar dibandingkan ras Kaukasia. Penduduk Asia juga memiliki risiko menderita OA Genu lebih tinggi dibandingkan Kaukasia. Suatu studi lain menyimpulkan bahwa populasi kulit berwarna lebih banyak terserang OA dibandingkan kulit putih (Amin dkk, 2006). 2) Faktor Genetik Faktor genetik diduga juga berperan pada kejadian OA Genu, hal tersebut berhubungan dengan abnormalitas kode genetik untuk sintesis kolagen yang bersifat diturunkan (Klippel dkk, 1994). 15 3) Faktor Gaya Hidup a) Kebiasaan merokok Banyak penelitian telah membuktikan bahwa ada hubungan positif antara merokok dengan OA Genu. Merokok meningkatkan kandungan racun dalam darah dan mematikan jaringan akibat kekurangan oksigen, yang memungkinkan terjadinya kerusakan tulang rawan. Rokok juga dapat merusakkan sel tulang rawan sendi. Hubungan antara merokok dengan hilangnya tulang rawan pada OA Genu dapat dijelaskan sebagai berikut : (1) Merokok dapat merusak sel dan menghambat proliferasi sel tulang rawan sendi; (2) Merokok dapat meningkatkan tekanan oksidan yang mempengaruhi hilangnya tulang rawan; (3) Merokok dapat meningkatkan kandungan karbonmonoksida dalam darah, menyebabkan jaringan kekurangan oksigen dan dapat menghambat pembentukan tulang rawan (Amin dkk, 2006). b) Konsumsi Vitamin D Orang yang tidak biasa mengkonsumsi makanan yang mengandung vitamin D memiliki peningkatan resiko 3 kali lipat menderita OA Genu (Felson dkk, 1995). 4) Faktor Metabolik a) Obesitas Obesitas merupakan faktor risiko terkuat yang dapat dimodifikasi. Selama berjalan, setengah berat badan bertumpu pada sendi lutut. Peningkatan berat badan akan melipatgandakan beban sendi lutut saat 16 berjalan. Studi di Chingford menunjukkan bahwa untuk setiap peningkatan Indeks Massa Tubuh (IMT) sebesar 2 unit (kira-kira 5 kg berat badan), rasio odds untuk menderita OA Genu secara radiografik meningkat sebesar 1,36 poin. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa semakin berat tubuh akan meningkatkan risiko menderita OA Genu. Kehilangan 5 kg berat badan akan mengurangi risiko OA Genu secara simtomatik pada perempuan sebesar 50%. Demikian juga peningkatan risiko mengalami OA Genu yang progresif tampak pada orang-orang yang kelebihan berat badan dengan penyakit pada bagian tubuh tertentu (Felson dkk, 1998). b) Osteoporosis Hubungan antara OA Genu dan osteoporosis mendukung teori bahwa gerakan mekanis yang abnormal tulang akan mempercepat kerusakan tulang rawan sendi. Suatu studi menunjukkan bahwa terdapat kasus OA Genu tinggi pada penderita osteoporosis (Klippel dkk, 1994). c) Penyakit lain OA Genu terbukti berhubungan dengan diabetes mellitus, hipertensi, dan hiperurikemi, dengan catatan pasien tidak mengalami obesitas (Klippel dkk, 1994). d) Histerektomi Prevalensi OA Genu pada perempuan yang mengalami pengangkatan rahim lebih tinggi dibandingkan perempuan yang tidak mengalami pengangkatan rahim. Hal ini diduga berkaitan dengan pengurangan produksi hormon estrogen setelah dilakukan pengangkatan rahim (Klippel dkk, 1994). 17 e) Menisektomi OA Genu dapat terjadi pada 89% pasien yang telah menjalani menisektomi. Menisektomi merupakan operasi yang dilakukan di daerah lutut dan telah diidentifikasi sebagai faktor risiko penting bagi OA Genu. Hal tersebut dimungkinkan karena beberapa hal berikut ini: (1) Hilangnya jaringan meniskus akibat menisektomi membuat tekanan berlebih pada tulang rawan sendi sehingga memicu timbulnya OA lutut; (2) Bagi pasien yang mengalami menisektomi, degenerasi meniskal dan robekan mungkin menjadi lebih luas dan perubahan pada tulang rawan sendi akan lebih besar daripada mereka yang tidak melakukan menisektomi (Englund dkk, 2001). 2. Faktor Biomekanis 1) Riwayat Trauma Lutut Trauma lutut yang akut termasuk robekan pada ligamentum krusiatum dan meniskus merupakan faktor risiko timbulnya OA Genu. Studi Framingham menemukan bahwa orang dengan riwayat trauma lutut memiliki risiko 5 – 6 kali lipat lebih tinggi untuk menderita OA Genu. Hal tersebut biasanya terjadi pada kelompok usia yang lebih muda serta dapat menyebabkan kecacatan yang lama dan pengangguran. 2) Kelainan Anatomis Faktor risiko timbulnya OA Genu antara lain kelainan lokal pada sendi lutut seperti genu varum, genu valgus, Legg – Calve –Perthes disease dan displasia asetabulum. Kelemahan otot quadricep dan laksiti ligamentum pada 18 sendi lutut termasuk kelainan lokal yang juga menjadi faktor risiko OA Genu (Klippel dkk, 1994). 3) Pekerjaan OA banyak ditemukan pada pekerja fisik berat, terutama yang banyak menggunakan kekuatan yang bertumpu pada lutut. Prevalensi lebih tinggi menderita OA Genu ditemukan pada kuli pelabuhan, petani dan penambang dibandingkan pada pekerja yang tidak banyak menggunakan kekuatan lutut seperti pekerja administrasi. Terdapat hubungan signifikan antara pekerjaan yang menggunakan kekuatan lutut dan kejadian OA Genu (Maetzel dkk, 1997). 4) Aktivitas Fisik Aktivitas fisik berat seperti berdiri lama (2 jam atau lebih setiap hari), berjalan jarak jauh (2 jam atau lebih setiap hari), mengangkat barang berat (10 kg – 50 kg selama 10 kali atau lebih setiap minggu), mendorong objek yang berat (10 kg –50 kg selama 10 kali atau lebih setiap minggu), naik turun tangga setiap hari merupakan faktor risiko OA Genu (Lau dkk, 2000). 5) Kebiasaan Olahraga Atlet olah raga benturan keras dan membebani lutut seperti sepak bola, lari maraton dan kung fu memiliki risiko meningkat untuk menderita OA Genu. Kelemahan otot quadriceps merupakan faktor risiko bagi terjadinya OA dengan proses menurunkan stabilitas sendi dan mengurangi shock yang menyerap materi otot. Tetapi, di sisi lain seseorang yang memiliki aktivitas 19 minim sehari-hari juga berisiko mengalami OA Genu. Ketika seseorang tidak melakukan gerakan, aliran cairan sendi akan berkurang dan berakibat aliran makanan yang masuk ke sendi juga berkurang. Hal tersebut akan mengakibatkan proses degeneratif menjadi berlebihan (Lau dkk, 2000). 2.2.3 Patofisiologi OA merupakan gangguan atau kerusakan kartilago hyalin sendi yang melapisi ujung-ujung tulang di dalam persendian yang progresif lambat. Walaupun penyebabnya masih belum diketahui secara jelas. Para ahli berpendapat, kerusakan sendi itu akibat stres mekanik (tarikan dan peregangan) pada kartilago pada sendi patelofemoral. Stres mekanik memunculkan respon pada tubuh dalam bentuk zat kimiawi yang merangsang pembentukan tulang baru untuk mengatasi kerusakan tulang rawan. Dari situlah muncul penebalan atau tonjolan tulang yang tak teratur atau osteofit. Hal tersebut mengganggu jaringan disekitarnya dan menimbulkan nyeri dan gangguan aktivitas. Suatu cidera tunggal jarang dapat merusak permukaan kartilago. Yang jauh lebih sering adalah kelebihan beban yang berkalikali akibat (Riyanto, 2011): 1. Malkongruensi pada permukaan patellofemoral karena bentuk patella atau alur interkondilus yang abnormal. 2. Malposisi meknaisme ekstensor, atau kelemahan vastus medialis, yang menyebabkan patella miring, atau bersubluksasi, dan menahan beban lebih berat pada satu permukaan daripada permukaan yang lain selama fleksi dan ekstensi. 20 3. Kelebihan beban patellofemoral mengakibatkan perubahan pada kartilago sendi dan tulang subkondral, tidak selalu pada tingkat yang sama. Oleh karena itu, kartilago dapat tampak normal dan hanya sebatas memperlihatkan perubahan biokimia seperti overhidrasi atau hilangnya proteoglikan, sementara tulang yang mendasari menunjukan kongesti pembuluh darah sebagai reaksi (penyebab nyeri potensial). Atau mungkin terdapat perlunakan kartilago yang nyata dan fibrilasi, dengan atau tanpa hipertensi intraoseosa subartikular. Fibrilasi kartilago biasanya terjadi pada permukaan medial patella atau tepi median. Tetapi terbatas pada daerah dangkal dan biasanya sembuh secara spontan. Ada empat tahapan kerusakan rawan sendi yang saling tumpang tindih, yaitu (Riyanto,2011): 1. Tahap pertama, terjadi penurunan kadar proteoglikan sedang kolagen masih normal. Meskipun kadar proteoglikan berkurang, justru sintesis awal sel rawan meningkat. Hal ini terlihat dari meningkatnya aktivitas dari mitosis sel rawan yang bertambah. Hal ini membuktikan bahwa sel rawan berperan dalam menjaga keseimbangan antara aktivitas produksi dengan aktivitas destruksi yang diperankan oleh enzim tadi yang dalam keadaan normal aktivitasnya rendah, jadi proteoglikan yang menurun tadi karena destruksinya melebihi produksi, penurunan ini menimbulkan rawan sendi menjadi lunak secara lokal. Warna matrik menjadi kekuningan kemudian timbul retakan dan terbentuknya celah. 21 2. Tahap kedua, celah semakin dalam, tetapi belum sampai ke perbatasan daerah subkondral, jumlah sel rawan ini mulai menurun begitu juga kadar kolagen. 3. Tahap ketiga, celah tadi akan semakin dalam sampai daerah subkondral, kista dapat menjadi sangat besar dan pecah sehingga permukaan menjadi tidak teratur. 4. Tahap keempat, serpihan rawan sendi yang terapung dalam cairan sendi akan difagosit sel-sel membran synovial dan terjadilah reaksi radang. Selanjutnya kondrosit mati, proteoglikan dan kolagen tidak diproduksi lagi dan matrik memucat. Tulang rawan hyalin memiliki fungsi sebagai shock-absorber dan kegagalan fungsinya dapat meperberat kerja tulang rawan. Pada awal proses patologi kemungkinan terjadi gangguan aktivitas metabolisme dan pada proses lanjutan fungsi kondrosit mengalami kegagalan dan aktivitasnya menurun. Keadaan ini menyebabkan kekurangan proteoglikan, dimana akan terjadi kekakuan yang mudah merobek tulang rawan hyalin karena terkanan mekanis. Permukaan kolagen menjadi kasar dan berpartikel, yang akan pulih setelah diserap oleh jaringan sinovial. Dapat pula terjadi penimbunan kristal (calsium pyrophospattte dan hydroxyapatie) di antara persendian, dan kedua faktor di atas dapat menimbulkan reaksi radang. 2.2.4 Gambaran Klinis Secara klinis OA dapat dibagi menjadi tiga tingkatan: 22 1. Sub – clinical Osteoathritis, pada tingkat ini belum ada keluhan atau tanda klinis lainnya. Kelainan baru terbatas pada tingkat sekunder dan biokimiawi rawan sendi. 2. Manifest Osteoathritis, pada tingkatan ini biasanya penderita datang ke dokter. Kerusakan rawan sendi bertambah luas disertai reaksi peradangan. Tanda dan gejala yang mucul adalah nyeri setelah bergerak beberapa saat dan kaku sendi saat memulai gerakan. Pada foto rontgen tampak penyempitan ruang sendi dan sclerosis tulang sub chondral. 3. Decompensated Osteoathritis, pada tingkatan ini rawan sendi setelah rusak sama sekali biasanya diperlukan tindakan bedah. Tanda dan gejala yang muncul adalah saat istirahat terasa nyeri, kontraktur serta deformitas sendi (Hudaya, 1996). 2.2.5 Klasifikasi OA Genu Kriteria klasifikasi osteoarthritis genu menurut Kellgren dan Lawrence dapat dijabarkan sebagai berikut : Tabel 2.1. Kriteria Klasifikasi Osteoarthritis Genu menurut Kellgren dan Lawrence Deskripsi Original Alternatif A Alternatif B Alternatif C Alternatif D Grade I Penyempitan sendi Osteofit yang Kemungkinan hanya Kemungkinan Patologi yang yang meragukan, dan meragukan tampak osteofit adanya osteofit pada meraguukan kemungkinan osteofit pada tepi tepi 23 Grade 2 Osteofit yang jelas, dan Osteofit yang jelas, Osteofit yang jelas, Osteofit yang jelas, Minimal osteofit, kemungkinan adanya tidak ada gangguan kemungkinan kemungkinan kemungkinan penyempitan sendi pada space sendi penyempitan sendi penyempitan sendi penyempitan, cyst dan sceloris Grade 3 Adanya osteofit Penyempitan ruang Osteofit moderat Adanya osteofit Osteofit moderat moderat, di beberapa sendi yang cukup dan penyempitan moderat, di dan jelas, dengan tempat, penyempitan besar dengan osteofit sendi yang jelas beberapa tempat, penyempitan sendi sendi yang jelas, penyempitan sendi yang cukup besar sclerosis, kemungkinan yang jelas, sclerosis, defromitas kemungkinan bony attrition Grade 4 Otseofit besar, Gangguan pada ruang Osteofit besar, Otseofit besar, Gangguan yang penyempitan sendi yang sendi yang parah penyempitan ruang penyempitan sendi bermakna, osteofiit besar, sclerosis yang dengan sclerosis sendi yang parah, yang besar, yang besar dan parah, dan deformitas subchondral sclerosis. sclerosis yang penyempitan ruang parah, dan sendi yang jelas. yang jelas deformitas yang jelas (bony attrition) 2.2.6 Tanda dan Gejala Adapun tanda dan gejalan klinis dari OA Genu adalah: 1. Nyeri Nyeri pada OA merupakan nyeri tumpul (dull pain) dan nyeri cubitan (aching pain). Nyeri bertambah buruk oleh gerakan, weight bearing dan jalan. Awalnya nyeri berkurang saat istirahat tetapi bertambah hebat ketika lutut digerakan yang akhirnya mengganggu aktivitas. Nyeri meningkat pada struktur yang mempunyai 24 nerve ending (nociceptif) dan diakibatkan oleh meningkatnya tekanan vena pada subcondral bone dan osteofit, synovitis, penebalan kapsuler, dan subluksasi. Bila kerusakan hanya pada kertilago maka tidak akan terasa nyeri. Serabut nociceptor terdiri pada kapsul sendi, periosteum tulang, dan ligamen. Pada tulang rawan sendi tidak mempunyai persarafan (uninervasi) dan tidak mempunyai sistem vaskularisasi (avaskularisasi). Jadi, nyeri pada OA disebabkan terjepitnya/iritasi pada ujung saraf nociceptor karena distruksi progresif kartilago dan bentukan osteofit pada tepi sendi. Selain itu keluhan nyeri OA dapat berasal dari menebalnya ligamen kapsul, kartilago, kelemahan otot maupun deformitas sendi. Semua itu akan meningkatkan tekanan pada sensoris nerve ending sehingga ujung saraf teriritasi (Kuntono, 2011). 2. Keterbatasan Lingkup Gerak Sendi Terjadi kesulitan atau rasa kaku saat akan memulai gerakan pada kapsul, ligamen, otot, dan permukaan sendi lutut. Kekakuan gerak sendi (joint stiffness) terjadi oleh rasa nyeri sendi mengakibatkan retreksi kapsul sendi. Selain itu, timbulnya osteofit dan penebalan kapsuler, spasme otot serta nyeri membuat pasien tidak mau melakukan gerakan secara maksimal sampai batas normal, sehingga mengakibatkan keterbatasan lingkup gerak sendi pada lutut. Keterbatasan gerak tersebut bersifat pola kapsuler akibat kontraktur kapsul sendi. Keterbatasan pola kapsuler yang terjadi yaitu gerak fleksi lebih terbatas dari gerak ekstensi (Kuntono, 2011). 25 3. Krepitasi Permukaan sendi yang kasar karena degradasi dan rawan sendi menyebabkan munculnya krepitasi yang terdengar seperti suara gesekan permukaan tulang yang kasar pada saat sendi digerakkan (Kuntono, 2011). 4. Kelemahan Otot Quadriceps dan Atrofi Otot Sekitar Sendi Lutut Terjadi karena aktivasi nociceptor pada tanduk belakang medulla spinalis yang menginhibisi sel motor neuron pada tanduk depan medulla spinalis. Otot quadriceps mendapat persarafan somatik dari segmental lumbal 4 yang sesegmen dengan persarafan somatik sensoris sendi lutut. Apabila nyeri dan kekakuan sendi berlangsung lama, maka otot quadriceps akan menunjukan atrofi (Kuntono, 2011). 5. Deformitas OA Genu yang berat akan menyebabkan destruksi kartilago, tulang, dan jaringan. Deformitas varus terjadi bila adanya kerusakan pada kompartemen medial dan kendornya ligamentum collateral lateral, serta variasi subluksasi karena perpindahan titik tumpu pada lutut atau diakibatkan oleh pembatasan adanya osteofit yang besar (Kuntono, 2011). 6. Instabilitas Sendi Lutut Instabilitas ini disebabkan oleh berkurangnya kekuatan otot sekitar sendi lutut dan juga oleh kendornya ligamen sekitar lutut. Selain itu juga terjadi akibat menurunnya fungsi propioseptor di dalam merespon reaksi artrokinematik pada setiap perubahan posisi (Kuntono, 2011). 26 2.2.7 Diagnosis OA Genu Manifest Seperti pada penyakit reumatik umumnya diagnosis tidak dapat didasarkan hanya pada satu jenis pemeriksaan saja. Pada penelitian ini, subjek penelitiannya adalah penderita OA Genu Manifest. Pemeriksaan berdasarkan assesment fisioterapi dan pemeriksaan radiologi yang harus dilakukan pada seseorang yang dicurigai OA Genu Manifest sebagai berikut ini: 1. Anamnesis - Nyeri dirasakan berangsur-angsur (onset gradual) - Tidak disertai adanya inflamasi (kaku sendi dirasakan <30 menit, bila disertai inflamasi, umumnya dengan perabaan hangat, bengkak yang minimal, dan tidak disertai kemerahan pada kulit) - Tidak disertai gejala sistemik - Nyeri sendi saat beraktivitas - Faktor resiko penyakit: bertambahnya usia, riwayat keluarga dengan OA generalisata, aktivitas fisik yang berat, obesitas, trauma sebelumnya - Penyakit yang menyertai, sebagai pertimbangan dalam pilihan terapi: masalah pencernaan (ulkus peptikum, perdarahan saluran pencernaan, penyakit liver), penyakit kardiovaskuler (hipertensi, penyakit jantung iskemik, stroke, gagl jantung), penyakit ginjal, ashma bronkhiale, depresi yang menyertai. 2. Pemeriksaan fisik, meliputi: (1) BMI; (2) perhatikan gaya berjalan/ pincang?; (3) adakah kelemahan/ atrofi otot; (4) tanda-tanda inflamasi/ efusi sendi; (5) Lingkup Gerak Sendi (LGS); (6) nyeri saat pergerakan/ nyeri di akhir 27 gerakan; (7) krepitus; (8) nyeri tekan pada sendi dan periartikular; (9) penonjolan tulang (Nodul Bouchard’s dan Heberden’s); (10) pemebengkakan jaringan lunak; (11) instabilitas sendi. 3. Pendekatan untuk menyingkirkan diagnosis lain: adanya infeksi, adanya fraktur, kemungkinan keganasan, kemungkinan Rheumatoid Artritis. Diagnosis banding yang menyerupai penyakit OA, yaitu: inflammantory arthropaties, artritis kristal (gout atau pseudogout), bursitis (a.r. trochanteric, pes anserine), sindroma nyeri pada soft tissue, referred pain, penyakit lain dengan manifestasi artropati (penyakit neurologi, metabolik, dll). 4. Pemeriksaan Penunjang - Tidak ada periksaan darah khusus untuk mendiagnosis OA Genu Manifest. pemeriksaan darah membantu menyingkirkan diagnosis lain dan monitor terapi. - Pemeriksaan radiologi dilakukan untuk klasifikasi diagnosis atau untuk merujuk ke dokter ortopedi. 2.3 Ultra Sound (US) Ultra Sound adalah gelombang suara yang merupakan getaran mekanik di dalam sebuah medium yang mudah berubah bentuk atau elastis dengan frekuensi antara 20 dan 20.000 Hertz. Gelombang suara yang digunakan adalah gelombang longitudinal yang dalam frekuensi tersebut dapat diregistrasi oleh telinga manusia untuk mengurangi nyeri 1-2 w/cm2 kontinyu (serabut saraf) selama 3-5 menit, 0,51 w/cm2 kontinyu (akar saraf dan ganglia) selama 3-4 menit atau pulsed selama 6- 28 8 menit diberikan selama 15 menit di setiap pengobatan sebanyak 5 kali setiap 2-3 hari sekali (Pusdiknakes, 1993). 2.3.1 1. Efek-efek Biofisika Ultra Sound Efek Mekanik Jika gelombang ultra sound masuk ke tubuh efek pertama yang muncul adalah efek mekanik. Adanya gelombang longitudinal menyebabkan adanya pemempatan dan peregangan dengan frekuensi yang sama menghasilkan variasi tekanan di dalam jaringan. Variasi tekanan merupakan efek mekanik yang disebut efek micromassage. Adanya variasi tekanan tersebut akan menghasilkan perubahan volume dari sel-sel tubuh sebesar 0,02%, perubahan permeabilitas dari membran sel dan membran jaringan, dan mempermudah proses metabolisme. 2. Efek Panas Micromassage yang ditimbulkan dari ultra sound akan menimbulkan efek panas dalam jaringan. Efek panas yang diproduksi tidak sama untuk setiap jaringan tergantung dari beberapa faktor yang ditentukan diantaranya sebagai berikut: 1) Bentuk aplikasi ultra sound (kontinyu/ terputus-putus) 2) Intensitas 3) Lamanya terapi 4) Koefisien absorbsi Lehman mengemukanakan bahwa setiap pemberian terapi ultra sound dengan dosis 1 watt/cm2 secara kontinyu dalam jaringan otot akan menaikkan temperatur sebesar 0,07 derajat celcius perdetik (pengukuran tanpa adanya regulasi dari nsistem 29 pembuluh darah). Pengaruh panas akan meningkatkan ekstensibilitas jaringan penyambung. 3. Didapat dari respon fisiologis yang merupakan gabungan dari pengaruh mekanik dan panas. Energi US Micromassage Panas a) Meningkatkan sirkulasi darah b) Relaksasi otot c) Meningkatkan permiabilitas membran d) 2.6 Meningkatkan Gambar Skema darikemampuan efek panas ultra sound regenerasi jaringan (Sumber: Palguna, 2010) e) Pengaruh terhadap saraf perifer f) Mengurangi nyeri 2.3.2 Indikasi Ultra Sound a. Kelainan-kelainan / penyakit pada tulang, sendi, dan otot. b. Rheumatic arthritis pada stadium remisi (tak aktif). c. Kelainan / penyakit pada saraf perifer. d. Kelainan / penyakit pada sirkulasi pembuluh darah. e. Penyakit-penyakit organ dalam. f. Kelainan-kelainan pada kulit. g. Deputyren kontraktur. h. Luka terbuka. 30 2.3.3 Kontra Indikasi Ultra Sound a) Absolut : mata, jantung, uterus perempuan sedang hamil, epiphesal plates, testis. b) Relatif : pasca laminectomi, hilangnya sensibilitas, endoprothese, tumor, post traumatic, tromboplebitis dan varises, septis-inflamasi, diabetes melitus. 2.3.4 Pemberian Dosis Terapi Ultra Sound Dalam menentukan dosis terapi dengan menggunakan ultra sound harus memperhatikan beberapa faktor diantaranya memilih frekuensi yang berbeda, memilih gelombong kontinyu atau terputus-putus, pilihan arus gelombang disesuaikan dengan efek terapi yang ingin dicapai. Gelombang terputus-putus akan memberikan dosis yang rendah. Bila menginginkan efek panas terapis dapat memilih gelombang kontinyu. Jaringan mana yang akan diterapi serta bagaimana aktualitas kondisinya. Prinsip menggunakan terapi ultra sound tidak boleh terjadi rasa sakit di jaringan. 2.4 Resistance Exercise 2.4.1 Definisi Resistance Exercise 31 Resistance Exercise merupakan merupakan segala jenis latihan aktif yang dimana kontraksi otot baik secara statik maupun dinamis ditahan oleh gaya yang berasal dari luar baik secara manual maupun mekanikal (Colby & Kisner, 2007). Resistance Exercise atau yang biasa disebut dengan Resistance Training merupakan komponen rehabilitasi yang sangat esensial kepada seseorang yang memiliki keterbatasan serta untuk meningkatkan kualitas hidup terutama meningkatkan performa kemampuan motoris (motor skill performance) serta mencegah resiko adanya injuri dan penyakit (Colby & Kisner, 2007). 2.4.2 Prinsip Resistance Exercise Beberapa prinsip umum yang digunakan dalam pengaplikasian Resistance Exercise adalah: 1) prinsip Overload, 2) prinsip SAID, dan 3) Prinsip Reversibility dimana penjelasannya adalah sebagai berikut. 1. Prinsip Overload Dalam pelatihan yang dilakukan pada sebuah otot yang bertujuan untuk meningkatkan kekuatan dan kemampuan fungsional otot tersebut, maka beban yang digunakan dalam pelatihan harus melebihi kapasitas normal dari otot tersebut (Overload). Hal ini menyebabkan otot beradaptasi dalam peningkatan jumlah beban yang diterima dan berdampak pada meningkatnya kapasitas normal dari otot tersebut mencapai level pembebanan yang diberikan. Jika beban yang diberikan tetap konstan setelah otot beradaptasi terhadap pembebanan baru, maka level kekuatan otot tersebut mampu dipertahankan namun tidak meningkat. 32 Prinsip Overload fokus pada pembebanan yang meningkat pada otot dengan memanipulasi intensitas ataupun volume latihan. Intensitas pada Resistance Exercise merujuk kepada seberapa berat beban yang diberikan kepada otot yang akan dilatih, sedangkan Volume termasuk di dalamnya variable seperti jumlah repetisi, set, dan frekuensi 2. Prinsip SAID (Spesific Adaptation to Imposed Demand) Prinsip SAID menyatakan bahwa spesifisitas sebuah latihan merupakan fondasi yang esensial dalam merancang sebuah program latihan. Prinsip ini berlaku untuk semua sistem dalam tubuh dan merupakan penjelasan dari hukum Wolf yang menyatakan bahwa sistem tubuh lambat launakan dapat beradaptasi terhadap stress yang diberikan terhadapnya. Prinsip SAID membantu fisioterapis menentukan resep latihan dan parameter apa yang dapat dipilih untuk menciptakan latihan spesifik untuk mencapai tujuan yang spesifik (Colby & Kisner, 2007). 3. Prinsip Reversibility Perubahan adaptif dalam sistem tubuh seperti kekuatan dan endurance sebagai respon terhadap Resistance Training bersifat sementara kecuali pola latihan penguatan tetap dilakukanatau pasien tetap berpartisipasi dalam program pemeliharaan dari Resistance Exercise. Detraining, yang direfleksikan sebagai penurunan performa otot dimulai setelah seminggu atau dua minggu setelah berhenti melakukan pelatihan, dan akan terus berlanjut hingga efek dari pelatihan sepenuhnya menghilang. Dari alasan ini, sangatlah penting bahwa latihan penguatan dan daya tahan harus dicantumkan dalam aktivitas sehari-hari sesegera mungkin dalam kajian rehabilitasi. Juga 33 disarankan bahwa pasien hendaknya berpartisipasi dalam program pemeliharaan sebagai komponen integral dalam program kesehatan jangka panjang (Colby & Kisner, 2007). 2.4.3 Open Kinematic Chain Exercise Open Kinematic Chain Exercise merupakan jenis resistance exercise dimana bagian distal dari segmen yang akan dilatih dapat bebas bergerak, tanpa melibatkan pergerakan pada sendi di sekitarnya. Pergerakan ekstremitas hanya terjadi di bagian distal dari sendi yang terkait dan aktivasi otot terjadi pada otot yang melewati otot tersebut. Open Kinematic Chain Exercise pada umumnya dilakukan pada posisi Non-Weight Bearing (tidak menumpu berat badan). Dalam Open Kinematic Chain Exercise, pembebanan yang diberikan diaplikasikan pada bagian distal dari segmen yang bergerak (Colby & Kisner, 2007). Gambar 2.7 Open Kinematic Chain Exercise (Sumber : Colby & Kisner, 2007) Open Kinematic Chain Exercise lebih efektif digunakan untuk meningkatkan kemampuan otot secara individual. Individual diartikan sebagai kontraksi pada salah satu otot saja atau satu kelompok otot saja. Selama Open-Chain Exercise, 34 akan dihasilkan kontrol gerakan yang lebih baik karena hanya terjadi pergerakan sendi tunggal saja dibandingkan dengan Close-Chain Exercise yang terjadi pergerakan pada multiple joint. Pada Open Kinematic Chain Exercise, stabilisasi diaplikasikan oleh fisioterapis dengan melakukan manual kontak pada bagian proksimal sendi. Kontrol pergerakan yang lebih besar pada Open-Chain Exercise dapat bermanfaat pada fase awal dalam proses rehabilitasi. Dalam Open Kinematic Chain Exercise juga dapat terjadi ko-aktivasi pada otot agonis dan otot antagonis selama proses latihan. Beberapa latihan yang bersifat Open-Chain yang dapat menghasilkan ko-aktivasi tersebut antara lain seperti metode stabilisasi dalam PNF (Stabilizing Reversal, Rhythmic Stabilization). Pada beberapa studi mengenai open-chain concentric isokinematic exercise pada otototot yang bekerja di lutut, ko-aktivasi pada agonis dan antagonis terlihat dengan jelas pada akhir ekstensi lutut. Peneliti menyatakan bahwa otot-otot fleksor lutut teraktivasi dan berkontraksi secara eksentrik pada akhir LGS ekstensi untuk memperlambat (deselerasi) pergerakan tungkai tepat sebelum akhir Lingkup Gerak Sendi (LGS). Beberap peneliti juga menyebutkan bahwa Open-chain Exercise dengan intensitas tinggi memiliki efek samping pada sendi yang tidak stabilitis, cidera, atau sendi yang sedang berada dalam proses penyembuhan akut. Karena Open Kinematic Chain Exercise pada dasarnya dilakukan dalam keadaan tidak menumpu berat badan (non-waeight bearing), maka latihan jenis ini tepat diberikan pada keadaan dimana menumpu berat badan (weight-bearing) merupakan kontraindikasi atau pada kondisi dimana terjadinya keterbatasan LGS yang sangat signifikan. Latihan jenis ini juga sangat tepat digunakan pada keadaan 35 inflamasi akut seperti adanya tanda-tanda pembengkakan dan nyeri. Latihan jenis ini tepat digunakan dalam program rehabilitasi dini seperti pada kondisi post fraktur. Pada penelitian ini bentuk-bentuk latihan Open Kinematic Chain pada penderita OA Genu merupakan kombinasi dari leg extension dan leg curl. Berikut rincian bentuk latihan: a. Leg Curl Latihan ini dapat membantu meningkatkan definisi otot paha bagian belakang terutama otot hamstring. Ini merupakan gerakan isolasi untuk paha belakang. Latihan ini dapat dilakukan sebanyak 3-5 sets dengan 6-12 repetisi. Gambar 2.8 Open Kinematic Chain Exercise dengan Leg Curl (Sumber : Colby & Kisner, 2007) b. Leg Extension Latihan ini dapat membantu meningkatkan definisi otot quadriceps. Duduk pada bangku leg extension dan posisikan kaki di belakang bantalan penyangga. Dorong dan ekstensikan kaki (luruskan) setinggi mungkin, tahan sebentar lalu 36 kembali ke posisi semula. Latihan ini dapat dilakukan sebanyak 3-5 sets dengan 612 repetisi. Gambar 2.9 Open Kinematic Chain Exercise dengan Leg Extension (Sumber: human kinetics, 2014) 2.4.4 Close Kinematic Chain Exercise Close Kinematic Chain Exercise melibatkan pergerakan yang dimana bagian distal segmen berada dalam keadaan stabil (fixed) pada bagian permukaan. Dalam latihan jenis ini, pergerakan pada salah satu sendi menyebabkan pergerakan simultan pada bagian distal yang disertai dengan pergerakan pada bagian sendi proximal. Contohnya adalah ketika melakukan bilateral short-arc squat motion (mini squat), terjadi fleksi knee, disertai dengan fleksi hip dan dorsofleksi ankle. Close Kinematic Chain Exercise pada umumnya dilakukan dalam keadaan Weight Bearing (menumpu berat badan). 37 Gambar 2.10 Closed Kinematic Chain Exercise (Sumber : Colby & Kisner, 2007) Berbeda dari open-chain exercise, pada close-kinematic chain exercise tidak akan didapatkan kontraksi otot yang bersifat individual, melainkan juga akan terjadi kontraksi oleh grup-grup otot yang sinergis yang berkontribusi dalam gerakan substitusi selama proses latihan ini. Selama close-chain exercise pasien lebih menggunakan kemampuan otot-otot untuk menstabilisasi dalam mengontrol pergerakan sendi yang dituju, serta mengontrol gerakan sendi proksimal serta distal dari sendi yang dituju. Pada latihan ini, akan terjadi aproksimasi sendi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan open-chain exercise. Aproksimasi sendi ini berdampak pada menurunnya gaya potong (shear) antara kedua permukaan sendi selama terjadinya pergerakan. Aproksimasi sendi yang terjadi selama close-chain exercise ini dapat 38 meningkatkan kongruenitas pada sendi yang akan berkontribusi terhadap peningkatan kestabilan sendi (Colby & Kisner, 2007). Karena Close Kinematic Chain exercise dilakukan dalam posisi weightbearing, banyak penelitian yang melaporkan bahwa close-chain exercise dapat menstimulasi mekanoreseptor pada otot dan sendi, memfasilitasi ko-aktivasi daripada sekelompok otot agonis dan antagonis (ko-kontraksi) yang selanjutnya meningkatkan stabilitas dinamis. Selama posisi squat, otot hamstring dan otot quadriceps melakukan kontraksi secara bersamaan untuk mengontrol hip dan lutut. Pada ekstremitas atas, Close-chain Exercise dalam posisi menumpu berat badan menghasilkan ko-aktivasi pada otot-otot yang menstabilisasi scapula dan glenohumeral, sehingga hal tersebut berdampak pada peningkatan stabilitas dinamis pada shoulder complex. Awareness (kesadaran) terhadap posisi sendi atau gerakan merupakan salah satu pondasi penting dalam proses pembelajaran motoris (motor learning) selama latihan pada fase awal yang berperan sebagai kontrol neuromuscular selama pergerakan fungsional. Diperkirakan bahwa Closed-chain exercise menyediakan stimulus proprioseptif dan kinestetik yang lebih besar jika dibandingkan dengan open-chain exercise. Secara teori, hal tersebut dikarenakan kontraksi multiple yang dihasilkan selama menumpu berat bedan, menghasilkan lebih banyak reseptor sensoris pada otot, struktur intraartikular dan ekstraartikular yang terstimulasi untuk mengontrol gerakan. Elemen menumpu berat badan (pembebanan axial) selama proses closed-kinematic chain exercise menyebabkan aproksimasi pada sendi, hal ini menstimulasi mekanoreseptor pada otot dan reseptor disekitar sendi untuk 39 meningkatkan input sensoris dalam proses kontrol gerakan.Closed Kineamtic Chain Exercise merupakan pilihan utama dalam meningkatkan keseimbangan dan kontrol postural selama posisi tegak (Colby & Kisner, 2007). Pada penelitian ini bentuk-bentuk latihan Closed Kinematic Chain pada penderita OA Genu merupakan kombinasi dari half squats dan wall slides. Berikut rincian bentuk latihan: 1. Half Squates Latihan ini dilakukan untuk mengembangkan masa otot dan tenaga. Squat dikatakan sebagai ‘King of Exercise’, gerakan dasar/kompon nomor 1 untuk paha, latihan yang paling berat, melibatkan paling banyak otot, dan merangsang pengeluaran hormon pertumbuhan (Growth Hormone=GH) paling besar. Latihan ini dilakukan pada posisi berdiri dengan kaki selebar bahu, letakkan tangan di pinggang. Rendahkan dan tekuk lutut seperti ketika akan duduk sampai mencapai sudut 900. Posisi kepala dan punggung tetap lurus. Kembali berdiri seperti semula dan ulangi gerakan yang sama. Latihan ini dapat dilakukan sebanyak 3-5 sets dengan 6-12 repetisi. 40 Gambar 2.11 Closed Kinematic Chain Exercise dengan Half Squates (Sumber: Dr. Darren, 2013) 2. Wall Slides Wall slides adalah latihan yang efektif untuk meningkatkan otot quadriceps. Latihan ini dilakukan pada posisi berdiri tegak pada tembok, tempelkan punggung dan posisikan kaki sesuai dengan lebar bahu pasien. Perlahan-lahan tekuklah lutut pasien, kemudian gerakan punggung kebawah sampai lutut pasien tertekuk 45 derajat dan tahan sampai hitungan kelima. Angkat kembali punggung pasien sampai lutut pasien lurus. Ulangi langkah diatas 8-12 kali jika pasien tidak mengalami kesulitan melakukannya maka tingkatkan repetisi latihan dan modifikasi wall slides dengan menggunakan satu kaki atau dapat menambahkan berat dengan cara meletakkan beban ditangan. Keuntungan lain yang diperoleh dari latihan ini adalah juga dapat meningkatkan keseimbangan. 41 Gambar 2.12 Closed Kinematic Chain Exercise dengan Wall Slides (Sumber: Khoo Teck Puat Hospital, 2010) Tabel 2.2 Karaktersitik Closed Kinematic Chain dengan Open Kinematic Chain Exercise Open Kinematic Chain Exercise Bagian distal segmen dapat bergerak bebas Closed Kinematic Chain Exercise Bagian distal tetap kontak dengan permukaan Pergerakan sendi secara individual, Gerakan sendi yang saling tidak ada pergerakan pada sendi berhubungan dengan sendi di sekitar sekitarnya dan membentuk pola Pergerakan pada segmen tubuh terjadi Pergerakan pada segmen tubuh pada bagian distal dari sendi terkait terjadi pada bagian distal dan proksimal sendi terkait Terjadi aktivasi pada otot, terutama otot prime mover Terjadi aktivasi pada beberapa grup otot, baik distal maupun proksimal dari sendi terkait Dilakukan dalam posisi tidak menumpu berat badan Tahanan diberikan pada segmen distal yang bergerak Dilakukan dalam posisi menumpu berat badan Tahan diberikan secara multiple pada segmen yang bergerak Peggunaan beban eksternal Penggunaan beban axial Stabilisasi eksternal biasanya Stabilisasi internal oleh aktivasi otot, diperlukan (secara manual atau kompresi sendi, dan kontrol postural menggunakan peralatan) (Sumber : Kisner & Colby, 2007) 42 2.5 Kemampuan Fungsional pada Osteoarthritis Genu Kemampuan fungsional didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk melakukan tugas spesifik berkaitan dengan aktivitas sehari-hari. Fungsional diartikan sebagai aktivitas yang memiliki tujuan dan fungsi tertentu sesuai konteks dengan aktivitas yang produktif. Beberapa aktivitas fungsional dalam kaitannya dengan aktivitas sehari-hari diantaranya adalah aktivitas makan, minum, mandi, bermain, perawatan diri, ambulasi, berinteraksi sosial dan kegiatan-kegiatan lainnya. Dalam memenuhi aktivitas tersebut, seseorang memerlukan fungsi fisik yang cukup baik untuk mencapai tugas-tugas tersebut dengan baik. Fungsi fisik tersebut yang dikatakan sebagai kemampuan fungsional, yang dimana nantinya, kemampuan fungsional tersebut digunakan untuk menuntaskan tugas-tugas spesifik yang berkaitan dengan aktivitas kehidupan sehari-hari. Hilangnya kemampuan fisik yang diakibatkan oleh adanya gangguan (impairment), keterbatasan fungsi (functional limitation), dan disabilitas berdampak pada terbatasnya kemampuan fungsional seseorang yang pada akhirnya menyebabkan terganggunya proses pemenuhan aktivitas sehari-hari. Pada OA Genu, proses-proses patologis yang terjadi tentunya menyebabkan terhambatnya fungsi fisiologis dalam sistem muskuloskeletal pada region tersebut. Manifestasi klinis yang dihasilkan seperti nyeri, keterbatasan LGS, kelemahan otot, akan mengganggu kemampuan fungsional seseorang dalam beberapa aktivitas, terutama aktivitas fungsional yang menggunakan pembebanan pada tubuh seperti berdiri, jongkok, duduk ke berdiri, dan berjalan, naik turun tangga (Kusumawati., 2003). 43 Pada OA, banyak faktor yang mempengaruhi terganggunya kemampuan fungsional seseorang dalam aktivitas kehidupan sehari-hari, yang dimana faktorfaktor ini saling berkaitan satu sama lain. Kemampuan fungsional pada OA Genu tidak mampu ditentukan hanya dengan mengukur kualitas dan kuantitas nyeri yang dirasakan. Beberapa pasien OA Genu tidak mengalami nyeri, namun mereka tidak mampu bergerak bebas karena masih terasa adanya stiffness pada regio terkait. Begitu pula beberapa pasien tidak merasakan adanya kekakuan pada sendi, namun melaporkan bahwa nyeri yang sangat mengganggu aktivitasnya. Maka dari itu, pada OA beberapa faktor yang mempengaruhi kemampuan fungsional sendi yaitu adanya nyeri, kekakuan, dan kesulitan dalam melakukan aktivitas fungsional dasar (Kusumawati., 2003). 2.5.1 Efek Nyeri terhadap Penurunan Kemampuan Fungsional Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah pengalaman perasaan emosional yang tidak menyenangkan akibat terjadinya kerusakan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan pada jaringan. Perubahan fungsi pada nyeri memicu respon protektif dengan maksud untuk menjaga agar kerusakan jaringan tetap minimal. Kapasitas pengalaman nyeri memiliki fungsi protektif. Jika kerusakan jaringan tidak dapat dihindarkan, akan terjadi perubahan bertahap pada sistem saraf perifer dan sistem saraf pusat yang bertanggung jawab terhadap persepi nyeri. Banyak teori yang menjelaskan mekanisme nyeri yang terjadi dan bagaimana nyeri tersebut dirasakan. Mekanisme nyeri diawali oleh adanya stimulus noxious 44 pada reseptor sensorik yang kemudian dilanjutkan melalui empat tahap yaitu: transduksi, transmisi, persepsi, dan modulasi. Transduksi adalah suatu proses dimana terjadi konversi daripada energy panas, mekanis, atau kimia menjadi sebuah energy listrik yang dilakukan oleh reseptor sensoris yang bernama nociceptor. Transmisi merupakan mekanisme penghantaran energi listrik yang diterima oleh nociceptor menuju ke medulla spinalis dan otak. Persepsi merupakan pemaparan atau penggambaran sinyal listrik tersebut menjadi sebuah pengalaman sensoris. Modulasi merupakan suatu mekanisme inhibisi yang mempengaruhi transimsi nyeri di level spinal cord (International Association for Study of Pain , 2014). Pada OA Genu, nyeri terjadi sebagai akibat adanya kontak antara kedua permukaan tulang. Pada sendi yang normal, kedua permukaan tulang pembentuk sendi ditutupi oleh jaringan kartilago yang tidak memiliki persarafan sensoris di dalamnya, sehingga kontak pada kedua permukaan kartilago ini tidak menghasilkan input sensoris (Kuntono, 2011). Namun pada sendi yang mengalami OA, degenerasi kartilago dan subchondral scelorosis menyebabkan terjadinya kontak antara kedua permukaan tulang yang dimana tulang memiliki persarafan sensoris dan free nerve ending yang berfungsi sebagai nociceptor K. Pembentukan tulang (osteophyte) juga memiliki peran terhadap timbulnya nyeri pada kondisi Osteoarthritis (Kuntono, 2011). 2.5.2 Efek Joint Stiffness terhadap Penurunan Kemampuan Fngsional Kekakuan (stiffness) didefinisikan sebagai kemampuan suatu objek untuk bertahan pada keadaan awalnya (statik) ketika menerima paparan gaya eksternal. 45 Kekakuan sendi dapat terjadi sebagai akibat dari tidak terpaparnya suatu objek dalam jangka waktu yang cukup lama, atau dapat terjadi akibat abnormalitas paparan terhadap suatu objek yang di luar lingkup gerak yang seharusnya (Kuntono, 2011). Kekakuan merupakan salah satu keluhan pada OA yang menyebabkan terbatasnya kemampuan fungsional individu dalam melakukan beberapa tugas spesifik. Kekakuan pada OA umumnya terjadi pada pagi hari yang dikatakan sebagai morning stiffness, serta terjadi ketika berada dalam keadaan statis dalam jangka waktu yang cukup lama. Gejala kekakuan sendi pada pasien OA genu dirasakan di dalam dan di sekitar sendi yang terkait. Kekakuan sendi pada OA sering dijabarkan sebagai kekakuan jangka pendek (short-lived stiffness) yang biasanya berlangsung kurang dari 30 menit. Kekakuan yang dirasakan lebih dari 30 menit merupakan sebuah indikator terjadinya penyakit inflamasi sendi seperti rheumatoid arthritis (Kuntono, 2011). 2.5.3 Efek Kelemahan Otot dan Instabilitas Terhadap Penurunan Kemampuan Fungsional Seseorang dengan OA pada lutut ditemukan mengalami kelemahan kelemahan otot pada otot quadriceps, dengan defisit kekuatan sekitar 20% - 45% jika dibandingkan dengan kekuatan otot pada orang normal. Kelemahan otot quadriceps yang persisten merupakan kondisi klinis yang sangat penting pada pasien OA genu karena mempengaruhi gangguan stabilitas pada lutut dan kemampuan fungsional penderita (Kuntono, 2011). Selebihnya, otot quadriceps 46 memilki fungsi protektif pada persendian lutut dimana otot quadriceps bekerja secara eksentrik selama fase awal menapak (stance phase) dan berperan untuk memperlambat (deselerasi) pergerakan tungkai saat menuju fase heel strike dengan tujuan untuk menurunkan gaya impulsif menuju lutut (Kuntono, 2011). Kelemahan pada otot quadriceps diasosiasikan dengan meningkatnya ratarata pembebanan pada sendi lutut. Beberapa data menunjukkan bahwa semakin besar gaya tension yang dihasilkan otot quadriceps akan melindungi lutut dari beberapa insiden nyeri, kehilangan kartilago, serta penyempitan ruang sendi tibiofemoral. Stabilitas pada sendi lutut memerlukan gaya internal dalam magnitude yang untuk melawan gaya eksternal yang dialami oleh lutut. Otot quadriceps dinyatakan mampu meredam gaya pada lutut dan menyediakan stabilitas dinamis. Kelemahan otot quadriceps dapat merubah stres kontak pada kartilago artikular yang diasosiasikan dengan insiden nyeri lutut dan dapat berkontribusi terhadap kejadian OA genu (Kuntono, 2011). Kelemahan otot, nyeri, dan gagguan fungsional akan membentuk sebuah siklus pada pasien dengan OA genu. Dalam siklus tersebut, dinyatakan bahwa kelemahan otot akan menghasilkan pembebanan yang abnormal pada sendi lutut dan dikaitkan dengan instabilitas, dimana pembebanan yang abnormal pada lutut tentunya akan memicu nyeri di sekitar persendian. Nyeri yang dialami pasien kemudian akan membatasi aktivitas fungsional pasien yang kemudian akan memperberat kelemahan otot yang dialami pasien. Siklus tersebut akan terus berputar dan mempengaruhi progresifitas penyakit tersebut (Kuntono, 2011). 47 2.5.4 Indeks Pengukuran Fungsional Osteoarthritis Genu WOMAC (Western Ontario and McMaster Universities Osteoarhtritis Index) adalah indeks yang digunakan untuk menilai keadaan pasien dengan osteoarthritis pada lutut. Total 24 parameter yang terdiri dari nyeri, kekakuan (stiffness), fungsi fisik dan sosial dievaluasi menggunakan WOMAC. WOMAC juga dapat digunakan untuk memantau perkembangan penyakit atau untuk menentukan efektivitas obat anti-rematik (Kusumawati, 2003). Semakin tinggi nilai yang diperoleh menunjukkan besarnya keterbatasan fungsional pasien sedangkan nilai yang rendah menunjukkan perbaikan kemampuan fungsional. Parameter WOMAC antara lain : 1. 2. 3. Nyeri a. Berjalan kaki b. Menaiki anak tangga c. Aktivitas pada malam hari d. Istirahat e. Menumpu Kekakuan a. Kekakuan pagi hari (morning stiffness) b. Kekakuan sepanjang hari Fungsi Fisik a. Kesulitan turun tangga b. Kesulitan naik tangga c. Kesulitan dari posisi duduk ke berdiri d. Kesulitan berdiri 48 e. Kesulitan duduk di lantai f. Kesulitan berjalan pada permukaan datar g. Kesulitan masuk dan keluar dari kendaraan h. Kesulitan berbelanja i. Kesulitan memakai kaos kaki j. Kesulitan berbaring di tempat tidur k. Kesulitan melepaskan kaus kaki l. Kesulitan bangun dari tempat tidur m. Kesulitan masuk dan keluar kamar mandi n. Kesulitan masuk dan keluar toilet o. Kesulitan duduk p. Kesulitan melakukan tugas-tugas berat q. Kesulitan melakukan tugas-tugas ringan 2.5.5 Penilaian dan Interpretasi Indeks WOMAC 1. Penilaian Skor Keterangan 0 Tidak 1 Ringan 2 Sedang 3 Parah 4 Sangat Parah 49 Tabel 2.3 Penilaian Skala Pengukuran WOMAC 2. Interpretasi Jenis Pemeriksaan Total Skor Keterangan Sakit 0 Minimum 20 Maksimum 0 Minimum 8 Maksimum 0 Minimum 68 Maksimum 96 Maksimum Skor Kekakuan Fungsi Fisik Total Tabel 2.4 Interpretasi Skala Pengukuran WOMAC Keterangan Hasil skor WOMAC: Minimum skor total : 0 Maksimum skor total : 96