BAB II KAJIAN PUSTAKA

advertisement
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1
Anatomi dan Biomekanik Terapan pada Osteoathritis Genu
Lutut merupakan sendi yang aneh bentuknya. Bila dilihat permukaan sendi
nampak bahwa permukaan sendi dari tulang femur dan tulang tibia tidak ada
kesesuaian bentuk. Kedua condylus femur membentuk sejenis katrol sedang tibia
di antaranya lebih rata. Pada bagian dorsal terdapat simpai sendi yang kuat serta
diperkuat oleh berbagai ligamentum. Rongga sendi lutut sangat luas dan
melanjutkan diri ke dalam rexscessus suprapatellaris. Didalam lutut terdapat
ligamentum cruciatum anterior dan ligamentum cruciatum posterior. Disebelah
medial dan lateral terdapat ligamentum collateral medial dan ligamentum collateral
lateral. Keempat ligamentum tersebut mengemudikan lutut dalam gerakan antara
fleksi dan ekstensi (De wolf and J.M.A, Mens, 1994).
Aksis gerakan lutut fleksi dan ekstensi terletak di atas permukaan sendi yaitu
melewati condylus femoris. Untuk gerakan rotasi aksisnya longitudinal pada daerah
condylus medialis (Kapandji, 1987).
Sistem limfe pada sendi lutut terutama terdapat pada perbatasan fascia
subcutaneous. Kemudian selanjutnya akan bergabung dengan lymphanode sub
inguinalis superficialis. Sebagian lagi aliran limfe ini akan memasuki lymphanode
8
poplitealis, aliran limfe berjalan sepanjang vena femoralis menuju ke lymphanode
inguinalis
Osteokinematika yang terjadi pada sendi lutut adalah gerakan fleksi dan
ekstensi pada bidang sagital dengan luas gerak sendi fleksi antara 120 0-1300 bila
posisi hip mencapai fleksi penuh. Untuk gerakan ekstensi luas gerak sendi 00 tetapi
bisa 50-100 jika terdapat hiperekstensi lutut. Gerakan memutar pada bidang rotasi
untuk gerakan endorotasi dengan luas gerak sendi antara 30 0-350. Sedangkan untuk
eksorotasi antara 400-450 dari posisi awal mid posisi, gerakan ini terjadi pada posisi
lutut fleksi 900 (Kapandji, 1987).
Artrokinematika sendi lutut adalah pada femur (cembung) maka gerakan
yang terjadi adalah rolling dan sliding berlawanan arah. Saat fleksi femur rolling
ke arah belakang dan sliding ke arah depan. Untuk gerakan ekstensi, rolling ke arah
depan dan sliding ke belakang, dan jika tibia (cekung) bergerak fleksi maupun
ekstensi maka rolling maupun sliding akan searah, saat gerakan fleksi menuju ke
dorsal sedang pada saat bergerak ekstensi menuju ke depan (Pardjoto, 2000).
Sendi lutut diperkuat oleh grup otot besar yang berfungsi sebagai penggerak
utama dan juga berfungsi untuk stabilitas aktif sendi lutut. Beberapa grup otot
tersebut adalah otot quadriceps femoris dan otot hamstring. Otot quadriceps terdiri
dari otot rectus femoris, vastus lateralis, vastus medialis, dan vastus intermedius.
Sedangakan otot hamstring terdiri dari otot biceps femoris, semimembranosus, dan
semitendinosus. Otot quadriceps berfungsi sebagai ekstensor sendi lutut dengan
9
arah tarikan yang berbeda-beda setiap bagian otot, sedangkan otot hamsting
berfungsi utama untuk fleksor sendi lutut.
Gambar 2.1. Arah tarikan otot Quadriceps Femoris
(Sumber : Neuman, 1988)
Bagian medial pada sendi lutut normal mendapatkan pembebanan sekitar
70% dari berat badan. Hal ini terjadi oleh karena lintasan dari vektor ground
reaction force (GRF) pada sendi lutut. Lintasan GRF berjalan melewati bagian
medial dan posterior lutut. Momen yang diciptakan oleh gaya pada sendi lutut ini
dibentuk oleh momen gaya fleksi dan adduksi. Pada pasien dengan OA lutut akan
terjadi peningkatan momen aduksi pada lutut.
Gambar 2.2. Lintasan GRF pada lutut normal dan lutut OA
(Sumber : Czamara, 2008)
10
Maginitude pada adduksi lutut menghasilkan penyempitan ruang sendi,
melonggarnya kapsul bagian medial, timbulnya nyeri dan terganggunya aktivitas
fungsional (Czamara, 2008). Fenomena melonggarnya kapsul sendi tersebut juga
dikenal dengan istilah pseudo-laxity. Untuk mengatasi sensasi instabilitas sendi ini
otot-otot yang memperkuat bagian medial mengalami kontraksi untuk
menstabilisasi aspek medial sendi lutut, yang mana hal ini meningkatkan
pembebanan pada bagian medial dan mempercepat proses degenratif.
Gambar 2.3. Ruang sendi pada OA dan pada lutut normal
(Sumber : Czamara, 2008)
Penurunan ruang sendi akan meningkatakan gaya reaksi pada sendi pada
bagian medial selama aktivitas berjalan yang akan meningkatkan gaya friksi pada
kedua permukaan sendi. Gaya friksi tersebut dapat menyebabkan nyeri yang
berdampak pada inhibisi otot dan mempengaruhi aktivitas fungsional. Friksi pada
kartilago akan mengganggu artrokinematika (slide & roll) pada sendi lutut,
sehingga akan mempengaruhi osteokinematika sendi lutut.
11
Gambar 2.4.
berjalan pada OA
Pembebanan selama
(Sumber : Neuman, 1988)
2.2 Osteoathritis Genu
2.2.1 Definisi Osteoathritis
Osteoathritis
(OA)
merupakan
penyakit
sendi
degeneratif
dengan
kerusakan/kelainan kartilago sendi yang ditandai perubahan klinis, histologis, dan
radiologis (Kuntono, 2011). OA merupakan penyakit yang sering dijumpai dan
secara progresif berjalan lambat pada akhir kehidupan seseorang. Karakter keluhan
secara klinis berupa nyeri, deformitas, keterbatasan gerak, dan biasanya terjadi
destruksi sendi dan berakibat ketidakmampuan (Kuntono, 2011).
Prevalensi atau insiden pada populasi tidak dipengaruhi oleh iklim, lokasi
geografi, suku bangsa atau warna kulit. Dapat mengenai semua usia, pada
umumnya mengenai usia di atas 50 tahun. Pada umumnya laki – laki dan perempuan
sama – sama dapat terkena penyakit ini, meskipun pada usia sebelum 45 tahun lebih
sering pada laki – laki, tetapi setelah usia 45 tahun lebih banyak pada perempuan
dengan perbandingan ± 4:1 (Hudaya, 2002). Di Indonesia, OA merupakan penyakit
rematik yang paling banyak ditemui, dan berdasarkan data dari World Health
Organization (WHO) menyebutkan bahwa tercatat ada 8,1% dari total penduduk,
12
mengalami kasus OA di Indonesia. Berdasarkan data Kongres Nasional Ikatan
Reumatologi Indonesia (2005), di kabupaten Malang dan kota Malang ditemukan
prevalensi sebesar 10 dan 13,5%, dan di Jawa Tengah kejadian penyakit OA sebesar
5,2% dari total penduduk.
2.2.2 Etiologi
Berdasarkan kriteria American Rheumatoid Association (ARA), OA dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
1.
Osteoathritis primer
Jenis ini paling sering ditemukan, dikatakan primer karena penyebabnya tidak
diketahui atau herediter dan dapat dibedakan menjadi peripheral dan spinal.
Biasanya terjadi karena proses penuaan. Persendian yang biasa terkena yaitu jarijari tangan, jari-jari kaki, lutut dan panggul. Namun paling banyak mengenai lutut.
2.
Osteoathritis sekunder
Disebut OA sekunder karena diketahui penyebabnya. Jenis ini meliputi OA
yang timbul pada sendi yang sebelumnya sudah ditemukan adanya kerusakan atau
kelainan sendi. Jadi penyebabnya dapat diketahui : Congenital atau development
defect : osteochondritis, legg-calve,perthes disease. Penyakit metabolic : gout,
ochronosis,
paget’s
disease,
hyperparatyroidisme
(hiperfungsi
glandula
parathyroidea ). Trama akut atau kronik : charcot’s arthropathy. Peradangan :
rheumatoid arthritis, psoriatic arthritis. Endokrin : aeLGSegali, diabetes.
13
Gambar 2.5. OA Genu
(Sumber : Kuntono, 2011)
Adapun faktor resiko terjadinya OA Genu adalah:
1.
Faktor Predisposisi
1)
Faktor Demografi
a)
Usia
Proses penuaan dianggap sebagai penyebab peningkatan kelemahan di
sekitar sendi, penurunan kelenturan sendi, klasifikasi tulang rawan, dan
menurunkan fungsi kondrosit, yang semuanya mendukung terjadinya OA.
Studi Framingham menunjukkan bahwa 27% orang berusia 63-70 tahun
memiliki bukti radiografik menderita OA Genu, yang meningkat mencapai
40% pada usia 80 tahun atau lebih. Studi lain membuktikan bahwa risiko
seseorang mengalami gejala timbulnya OA Genu adalah mulai usia 50 tahun.
Studi mengenai kelenturan pada OA telah menemukan bahwa terjadi
penurunan kelenturan pada pasien usia tua dengan OA Genu (Pay, 1997).
14
b)
Jenis kelamin
Prevalensi OA pada laki-laki sebelum usia 50 tahun lebih tinggi
dibandingkan perempuan, tetapi setelah usia lebih dari 50 tahun prevalensi
perempuan lebih tinggi menderita OA dibandingkan laki-laki. Perbedaan
tersebut menjadi semakin berkurang setelah menginjak usia 80 tahun. Hal
tersebut diperkirakan karena pada masa usia 50 – 80 tahun perempuan
mengalami pengurangan hormon estrogen yang signifikan (Felson dan
Zhang, 1998).
c)
Ras/ Etnis
Prevalensi OA Genu pada penderita di negara Eropa dan Amerika tidak
berbeda, sedangkan suatu penelitian membuktikan bahwa ras Afrika –
Amerika memiliki risiko menderita OA Genu 2 kali lebih besar dibandingkan
ras Kaukasia. Penduduk Asia juga memiliki risiko menderita OA Genu lebih
tinggi dibandingkan Kaukasia. Suatu studi lain menyimpulkan bahwa
populasi kulit berwarna lebih banyak terserang OA dibandingkan kulit putih
(Amin dkk, 2006).
2)
Faktor Genetik
Faktor genetik diduga juga berperan pada kejadian OA Genu, hal
tersebut berhubungan dengan abnormalitas kode genetik untuk sintesis
kolagen yang bersifat diturunkan (Klippel dkk, 1994).
15
3)
Faktor Gaya Hidup
a)
Kebiasaan merokok
Banyak penelitian telah membuktikan bahwa ada hubungan positif
antara merokok dengan OA Genu. Merokok meningkatkan kandungan racun
dalam darah dan mematikan jaringan akibat kekurangan oksigen, yang
memungkinkan terjadinya kerusakan tulang rawan. Rokok juga dapat
merusakkan sel tulang rawan sendi. Hubungan antara merokok dengan
hilangnya tulang rawan pada OA Genu dapat dijelaskan sebagai berikut : (1)
Merokok dapat merusak sel dan menghambat proliferasi sel tulang rawan
sendi;
(2)
Merokok
dapat
meningkatkan
tekanan
oksidan
yang
mempengaruhi hilangnya tulang rawan; (3) Merokok dapat meningkatkan
kandungan
karbonmonoksida
dalam
darah,
menyebabkan
jaringan
kekurangan oksigen dan dapat menghambat pembentukan tulang rawan
(Amin dkk, 2006).
b)
Konsumsi Vitamin D
Orang yang tidak biasa mengkonsumsi makanan yang mengandung
vitamin D memiliki peningkatan resiko 3 kali lipat menderita OA Genu
(Felson dkk, 1995).
4)
Faktor Metabolik
a)
Obesitas
Obesitas merupakan faktor risiko terkuat yang dapat dimodifikasi.
Selama berjalan, setengah berat badan bertumpu pada sendi lutut.
Peningkatan berat badan akan melipatgandakan beban sendi lutut saat
16
berjalan. Studi di Chingford menunjukkan bahwa untuk setiap peningkatan
Indeks Massa Tubuh (IMT) sebesar 2 unit (kira-kira 5 kg berat badan), rasio
odds untuk menderita OA Genu secara radiografik meningkat sebesar 1,36
poin. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa semakin berat tubuh akan
meningkatkan risiko menderita OA Genu. Kehilangan 5 kg berat badan akan
mengurangi risiko OA Genu secara simtomatik pada perempuan sebesar 50%.
Demikian juga peningkatan risiko mengalami OA Genu yang progresif
tampak pada orang-orang yang kelebihan berat badan dengan penyakit pada
bagian tubuh tertentu (Felson dkk, 1998).
b)
Osteoporosis
Hubungan antara OA Genu dan osteoporosis mendukung teori bahwa
gerakan mekanis yang abnormal tulang akan mempercepat kerusakan tulang
rawan sendi. Suatu studi menunjukkan bahwa terdapat kasus OA Genu tinggi
pada penderita osteoporosis (Klippel dkk, 1994).
c)
Penyakit lain
OA Genu terbukti berhubungan dengan diabetes mellitus, hipertensi,
dan hiperurikemi, dengan catatan pasien tidak mengalami obesitas (Klippel
dkk, 1994).
d)
Histerektomi
Prevalensi OA Genu pada perempuan yang mengalami pengangkatan
rahim lebih tinggi dibandingkan perempuan yang tidak mengalami
pengangkatan rahim. Hal ini diduga berkaitan dengan pengurangan produksi
hormon estrogen setelah dilakukan pengangkatan rahim (Klippel dkk, 1994).
17
e)
Menisektomi
OA Genu dapat terjadi pada 89% pasien yang telah menjalani
menisektomi. Menisektomi merupakan operasi yang dilakukan di daerah lutut
dan telah diidentifikasi sebagai faktor risiko penting bagi OA Genu. Hal
tersebut dimungkinkan karena beberapa hal berikut ini: (1) Hilangnya
jaringan meniskus akibat menisektomi membuat tekanan berlebih pada tulang
rawan sendi sehingga memicu timbulnya OA lutut; (2) Bagi pasien yang
mengalami menisektomi, degenerasi meniskal dan robekan mungkin menjadi
lebih luas dan perubahan pada tulang rawan sendi akan lebih besar daripada
mereka yang tidak melakukan menisektomi (Englund dkk, 2001).
2.
Faktor Biomekanis
1)
Riwayat Trauma Lutut
Trauma lutut yang akut termasuk robekan pada ligamentum krusiatum
dan meniskus merupakan faktor risiko timbulnya OA Genu. Studi
Framingham menemukan bahwa orang dengan riwayat trauma lutut memiliki
risiko 5 – 6 kali lipat lebih tinggi untuk menderita OA Genu. Hal tersebut
biasanya terjadi pada kelompok usia yang lebih muda serta dapat
menyebabkan kecacatan yang lama dan pengangguran.
2)
Kelainan Anatomis
Faktor risiko timbulnya OA Genu antara lain kelainan lokal pada sendi
lutut seperti genu varum, genu valgus, Legg – Calve –Perthes disease dan
displasia asetabulum. Kelemahan otot quadricep dan laksiti ligamentum pada
18
sendi lutut termasuk kelainan lokal yang juga menjadi faktor risiko OA Genu
(Klippel dkk, 1994).
3)
Pekerjaan
OA banyak ditemukan pada pekerja fisik berat, terutama yang banyak
menggunakan kekuatan yang bertumpu pada lutut. Prevalensi lebih tinggi
menderita OA Genu ditemukan pada kuli pelabuhan, petani dan penambang
dibandingkan pada pekerja yang tidak banyak menggunakan kekuatan lutut
seperti pekerja administrasi. Terdapat hubungan signifikan antara pekerjaan
yang menggunakan kekuatan lutut dan kejadian OA Genu (Maetzel dkk,
1997).
4)
Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik berat seperti berdiri lama (2 jam atau lebih setiap hari),
berjalan jarak jauh (2 jam atau lebih setiap hari), mengangkat barang berat
(10 kg – 50 kg selama 10 kali atau lebih setiap minggu), mendorong objek
yang berat (10 kg –50 kg selama 10 kali atau lebih setiap minggu), naik turun
tangga setiap hari merupakan faktor risiko OA Genu (Lau dkk, 2000).
5)
Kebiasaan Olahraga
Atlet olah raga benturan keras dan membebani lutut seperti sepak bola,
lari maraton dan kung fu memiliki risiko meningkat untuk menderita OA
Genu. Kelemahan otot quadriceps merupakan faktor risiko bagi terjadinya
OA dengan proses menurunkan stabilitas sendi dan mengurangi shock yang
menyerap materi otot. Tetapi, di sisi lain seseorang yang memiliki aktivitas
19
minim sehari-hari juga berisiko mengalami OA Genu. Ketika seseorang tidak
melakukan gerakan, aliran cairan sendi akan berkurang dan berakibat aliran
makanan yang masuk ke sendi juga berkurang. Hal tersebut akan
mengakibatkan proses degeneratif menjadi berlebihan (Lau dkk, 2000).
2.2.3 Patofisiologi
OA merupakan gangguan atau kerusakan kartilago hyalin sendi yang melapisi
ujung-ujung tulang di dalam persendian yang progresif lambat. Walaupun
penyebabnya masih belum diketahui secara jelas. Para ahli berpendapat, kerusakan
sendi itu akibat stres mekanik (tarikan dan peregangan) pada kartilago pada sendi
patelofemoral. Stres mekanik memunculkan respon pada tubuh dalam bentuk zat
kimiawi yang merangsang pembentukan tulang baru untuk mengatasi kerusakan
tulang rawan. Dari situlah muncul penebalan atau tonjolan tulang yang tak teratur
atau osteofit. Hal tersebut mengganggu jaringan disekitarnya dan menimbulkan
nyeri dan gangguan aktivitas. Suatu cidera tunggal jarang dapat merusak
permukaan kartilago. Yang jauh lebih sering adalah kelebihan beban yang berkalikali akibat (Riyanto, 2011):
1.
Malkongruensi pada permukaan patellofemoral karena bentuk patella atau
alur interkondilus yang abnormal.
2.
Malposisi meknaisme ekstensor, atau kelemahan vastus medialis, yang
menyebabkan patella miring, atau bersubluksasi, dan menahan beban lebih
berat pada satu permukaan daripada permukaan yang lain selama fleksi dan
ekstensi.
20
3.
Kelebihan beban patellofemoral mengakibatkan perubahan pada kartilago
sendi dan tulang subkondral, tidak selalu pada tingkat yang sama. Oleh karena
itu, kartilago dapat tampak normal dan hanya sebatas memperlihatkan
perubahan biokimia seperti overhidrasi atau hilangnya proteoglikan,
sementara tulang yang mendasari menunjukan kongesti pembuluh darah
sebagai reaksi (penyebab nyeri potensial). Atau mungkin terdapat perlunakan
kartilago yang nyata dan fibrilasi, dengan atau tanpa hipertensi intraoseosa
subartikular.
Fibrilasi kartilago biasanya terjadi pada permukaan medial patella atau tepi
median. Tetapi terbatas pada daerah dangkal dan biasanya sembuh secara spontan.
Ada empat tahapan kerusakan rawan sendi yang saling tumpang tindih, yaitu
(Riyanto,2011):
1.
Tahap pertama, terjadi penurunan kadar proteoglikan sedang kolagen masih
normal. Meskipun kadar proteoglikan berkurang, justru sintesis awal sel
rawan meningkat. Hal ini terlihat dari meningkatnya aktivitas dari mitosis sel
rawan yang bertambah. Hal ini membuktikan bahwa sel rawan berperan
dalam menjaga keseimbangan antara aktivitas produksi dengan aktivitas
destruksi yang diperankan oleh enzim tadi yang dalam keadaan normal
aktivitasnya rendah, jadi proteoglikan yang menurun tadi karena destruksinya
melebihi produksi, penurunan ini menimbulkan rawan sendi menjadi lunak
secara lokal. Warna matrik menjadi kekuningan kemudian timbul retakan dan
terbentuknya celah.
21
2.
Tahap kedua, celah semakin dalam, tetapi belum sampai ke perbatasan daerah
subkondral, jumlah sel rawan ini mulai menurun begitu juga kadar kolagen.
3.
Tahap ketiga, celah tadi akan semakin dalam sampai daerah subkondral, kista
dapat menjadi sangat besar dan pecah sehingga permukaan menjadi tidak
teratur.
4.
Tahap keempat, serpihan rawan sendi yang terapung dalam cairan sendi akan
difagosit sel-sel membran synovial dan terjadilah reaksi radang. Selanjutnya
kondrosit mati, proteoglikan dan kolagen tidak diproduksi lagi dan matrik
memucat.
Tulang rawan hyalin memiliki fungsi sebagai shock-absorber dan kegagalan
fungsinya dapat meperberat kerja tulang rawan. Pada awal proses patologi
kemungkinan terjadi gangguan aktivitas metabolisme dan pada proses lanjutan
fungsi kondrosit mengalami kegagalan dan aktivitasnya menurun. Keadaan ini
menyebabkan kekurangan proteoglikan, dimana akan terjadi kekakuan yang mudah
merobek tulang rawan hyalin karena terkanan mekanis.
Permukaan kolagen menjadi kasar dan berpartikel, yang akan pulih setelah
diserap oleh jaringan sinovial. Dapat pula terjadi penimbunan kristal (calsium
pyrophospattte dan hydroxyapatie) di antara persendian, dan kedua faktor di atas
dapat menimbulkan reaksi radang.
2.2.4 Gambaran Klinis
Secara klinis OA dapat dibagi menjadi tiga tingkatan:
22
1.
Sub – clinical Osteoathritis, pada tingkat ini belum ada keluhan atau tanda
klinis lainnya. Kelainan baru terbatas pada tingkat sekunder dan biokimiawi
rawan sendi.
2.
Manifest Osteoathritis, pada tingkatan ini biasanya penderita datang ke
dokter. Kerusakan rawan sendi bertambah luas disertai reaksi peradangan.
Tanda dan gejala yang mucul adalah nyeri setelah bergerak beberapa saat dan
kaku sendi saat memulai gerakan. Pada foto rontgen tampak penyempitan
ruang sendi dan sclerosis tulang sub chondral.
3.
Decompensated Osteoathritis, pada tingkatan ini rawan sendi setelah rusak
sama sekali biasanya diperlukan tindakan bedah. Tanda dan gejala yang
muncul adalah saat istirahat terasa nyeri, kontraktur serta deformitas sendi
(Hudaya, 1996).
2.2.5 Klasifikasi OA Genu
Kriteria klasifikasi osteoarthritis genu menurut Kellgren dan Lawrence dapat
dijabarkan sebagai berikut :
Tabel 2.1. Kriteria Klasifikasi Osteoarthritis Genu menurut
Kellgren dan Lawrence
Deskripsi Original
Alternatif A
Alternatif B
Alternatif C
Alternatif D
Grade I
Penyempitan sendi
Osteofit yang
Kemungkinan hanya
Kemungkinan
Patologi yang
yang meragukan, dan
meragukan
tampak osteofit
adanya osteofit pada
meraguukan
kemungkinan osteofit
pada tepi
tepi
23
Grade 2
Osteofit yang jelas, dan
Osteofit yang jelas,
Osteofit yang jelas,
Osteofit yang jelas,
Minimal osteofit,
kemungkinan adanya
tidak ada gangguan
kemungkinan
kemungkinan
kemungkinan
penyempitan sendi
pada space sendi
penyempitan sendi
penyempitan sendi
penyempitan, cyst
dan sceloris
Grade 3
Adanya osteofit
Penyempitan ruang
Osteofit moderat
Adanya osteofit
Osteofit moderat
moderat, di beberapa
sendi yang cukup
dan penyempitan
moderat, di
dan jelas, dengan
tempat, penyempitan
besar dengan osteofit
sendi yang jelas
beberapa tempat,
penyempitan sendi
sendi yang jelas,
penyempitan sendi
yang cukup besar
sclerosis, kemungkinan
yang jelas, sclerosis,
defromitas
kemungkinan bony
attrition
Grade 4
Otseofit besar,
Gangguan pada ruang
Osteofit besar,
Otseofit besar,
Gangguan yang
penyempitan sendi yang
sendi yang parah
penyempitan ruang
penyempitan sendi
bermakna, osteofiit
besar, sclerosis yang
dengan sclerosis
sendi yang parah,
yang besar,
yang besar dan
parah, dan deformitas
subchondral
sclerosis.
sclerosis yang
penyempitan ruang
parah, dan
sendi yang jelas.
yang jelas
deformitas yang
jelas (bony attrition)
2.2.6 Tanda dan Gejala
Adapun tanda dan gejalan klinis dari OA Genu adalah:
1.
Nyeri
Nyeri pada OA merupakan nyeri tumpul (dull pain) dan nyeri cubitan (aching
pain). Nyeri bertambah buruk oleh gerakan, weight bearing dan jalan. Awalnya
nyeri berkurang saat istirahat tetapi bertambah hebat ketika lutut digerakan yang
akhirnya mengganggu aktivitas. Nyeri meningkat pada struktur yang mempunyai
24
nerve ending (nociceptif) dan diakibatkan oleh meningkatnya tekanan vena pada
subcondral bone dan osteofit, synovitis, penebalan kapsuler, dan subluksasi. Bila
kerusakan hanya pada kertilago maka tidak akan terasa nyeri.
Serabut nociceptor terdiri pada kapsul sendi, periosteum tulang, dan ligamen.
Pada tulang rawan sendi tidak mempunyai persarafan (uninervasi) dan tidak
mempunyai sistem vaskularisasi (avaskularisasi). Jadi, nyeri pada OA disebabkan
terjepitnya/iritasi pada ujung saraf nociceptor karena distruksi progresif kartilago
dan bentukan osteofit pada tepi sendi. Selain itu keluhan nyeri OA dapat berasal
dari menebalnya ligamen kapsul, kartilago, kelemahan otot maupun deformitas
sendi. Semua itu akan meningkatkan tekanan pada sensoris nerve ending sehingga
ujung saraf teriritasi (Kuntono, 2011).
2.
Keterbatasan Lingkup Gerak Sendi
Terjadi kesulitan atau rasa kaku saat akan memulai gerakan pada kapsul,
ligamen, otot, dan permukaan sendi lutut. Kekakuan gerak sendi (joint stiffness)
terjadi oleh rasa nyeri sendi mengakibatkan retreksi kapsul sendi. Selain itu,
timbulnya osteofit dan penebalan kapsuler, spasme otot serta nyeri membuat pasien
tidak mau melakukan gerakan secara maksimal sampai batas normal, sehingga
mengakibatkan keterbatasan lingkup gerak sendi pada lutut. Keterbatasan gerak
tersebut bersifat pola kapsuler akibat kontraktur kapsul sendi. Keterbatasan pola
kapsuler yang terjadi yaitu gerak fleksi lebih terbatas dari gerak ekstensi (Kuntono,
2011).
25
3.
Krepitasi
Permukaan sendi yang kasar karena degradasi dan rawan sendi menyebabkan
munculnya krepitasi yang terdengar seperti suara gesekan permukaan tulang yang
kasar pada saat sendi digerakkan (Kuntono, 2011).
4.
Kelemahan Otot Quadriceps dan Atrofi Otot Sekitar Sendi Lutut
Terjadi karena aktivasi nociceptor pada tanduk belakang medulla spinalis
yang menginhibisi sel motor neuron pada tanduk depan medulla spinalis. Otot
quadriceps mendapat persarafan somatik dari segmental lumbal 4 yang sesegmen
dengan persarafan somatik sensoris sendi lutut. Apabila nyeri dan kekakuan sendi
berlangsung lama, maka otot quadriceps akan menunjukan atrofi (Kuntono, 2011).
5.
Deformitas
OA Genu yang berat akan menyebabkan destruksi kartilago, tulang, dan
jaringan. Deformitas varus terjadi bila adanya kerusakan pada kompartemen
medial dan kendornya ligamentum collateral lateral, serta variasi subluksasi karena
perpindahan titik tumpu pada lutut atau diakibatkan oleh pembatasan adanya
osteofit yang besar (Kuntono, 2011).
6.
Instabilitas Sendi Lutut
Instabilitas ini disebabkan oleh berkurangnya kekuatan otot sekitar sendi lutut
dan juga oleh kendornya ligamen sekitar lutut. Selain itu juga terjadi akibat
menurunnya fungsi propioseptor di dalam merespon reaksi artrokinematik pada
setiap perubahan posisi (Kuntono, 2011).
26
2.2.7 Diagnosis OA Genu Manifest
Seperti pada penyakit reumatik umumnya diagnosis tidak dapat didasarkan
hanya pada satu jenis pemeriksaan saja. Pada penelitian ini, subjek penelitiannya
adalah penderita OA Genu Manifest. Pemeriksaan berdasarkan assesment
fisioterapi dan pemeriksaan radiologi yang harus dilakukan pada seseorang yang
dicurigai OA Genu Manifest sebagai berikut ini:
1.
Anamnesis
-
Nyeri dirasakan berangsur-angsur (onset gradual)
-
Tidak disertai adanya inflamasi (kaku sendi dirasakan <30 menit, bila
disertai inflamasi, umumnya dengan perabaan hangat, bengkak yang
minimal, dan tidak disertai kemerahan pada kulit)
-
Tidak disertai gejala sistemik
-
Nyeri sendi saat beraktivitas
-
Faktor resiko penyakit: bertambahnya usia, riwayat keluarga dengan
OA generalisata, aktivitas fisik yang berat, obesitas, trauma sebelumnya
-
Penyakit yang menyertai, sebagai pertimbangan dalam pilihan terapi:
masalah pencernaan (ulkus peptikum, perdarahan saluran pencernaan,
penyakit liver), penyakit kardiovaskuler (hipertensi, penyakit jantung
iskemik, stroke, gagl jantung), penyakit ginjal, ashma bronkhiale,
depresi yang menyertai.
2.
Pemeriksaan fisik, meliputi: (1) BMI; (2) perhatikan gaya berjalan/ pincang?;
(3) adakah kelemahan/ atrofi otot; (4) tanda-tanda inflamasi/ efusi sendi; (5)
Lingkup Gerak Sendi (LGS); (6) nyeri saat pergerakan/ nyeri di akhir
27
gerakan; (7) krepitus; (8) nyeri tekan pada sendi dan periartikular; (9)
penonjolan tulang (Nodul Bouchard’s dan Heberden’s); (10) pemebengkakan
jaringan lunak; (11) instabilitas sendi.
3.
Pendekatan untuk menyingkirkan diagnosis lain: adanya infeksi, adanya
fraktur, kemungkinan keganasan, kemungkinan Rheumatoid Artritis.
Diagnosis banding yang menyerupai penyakit OA, yaitu: inflammantory
arthropaties, artritis kristal (gout atau pseudogout), bursitis (a.r. trochanteric,
pes anserine), sindroma nyeri pada soft tissue, referred pain, penyakit lain
dengan manifestasi artropati (penyakit neurologi, metabolik, dll).
4.
Pemeriksaan Penunjang
-
Tidak ada periksaan darah khusus untuk mendiagnosis OA Genu
Manifest. pemeriksaan darah membantu menyingkirkan diagnosis lain
dan monitor terapi.
-
Pemeriksaan radiologi dilakukan untuk klasifikasi diagnosis atau untuk
merujuk ke dokter ortopedi.
2.3
Ultra Sound (US)
Ultra Sound adalah gelombang suara yang merupakan getaran mekanik di
dalam sebuah medium yang mudah berubah bentuk atau elastis dengan frekuensi
antara 20 dan 20.000 Hertz. Gelombang suara yang digunakan adalah gelombang
longitudinal yang dalam frekuensi tersebut dapat diregistrasi oleh telinga manusia
untuk mengurangi nyeri 1-2 w/cm2 kontinyu (serabut saraf) selama 3-5 menit, 0,51 w/cm2 kontinyu (akar saraf dan ganglia) selama 3-4 menit atau pulsed selama 6-
28
8 menit diberikan selama 15 menit di setiap pengobatan sebanyak 5 kali setiap 2-3
hari sekali (Pusdiknakes, 1993).
2.3.1
1.
Efek-efek Biofisika Ultra Sound
Efek Mekanik
Jika gelombang ultra sound masuk ke tubuh efek pertama yang muncul
adalah efek mekanik. Adanya gelombang longitudinal menyebabkan adanya
pemempatan dan peregangan dengan frekuensi yang sama menghasilkan variasi
tekanan di dalam jaringan. Variasi tekanan merupakan efek mekanik yang disebut
efek micromassage. Adanya variasi tekanan tersebut akan menghasilkan perubahan
volume dari sel-sel tubuh sebesar 0,02%, perubahan permeabilitas dari membran
sel dan membran jaringan, dan mempermudah proses metabolisme.
2.
Efek Panas
Micromassage yang ditimbulkan dari ultra sound akan menimbulkan efek
panas dalam jaringan. Efek panas yang diproduksi tidak sama untuk setiap jaringan
tergantung dari beberapa faktor yang ditentukan diantaranya sebagai berikut:
1)
Bentuk aplikasi ultra sound (kontinyu/ terputus-putus)
2)
Intensitas
3)
Lamanya terapi
4)
Koefisien absorbsi
Lehman mengemukanakan bahwa setiap pemberian terapi ultra sound dengan dosis
1 watt/cm2 secara kontinyu dalam jaringan otot akan menaikkan temperatur sebesar
0,07 derajat celcius perdetik (pengukuran tanpa adanya regulasi dari nsistem
29
pembuluh darah). Pengaruh panas akan meningkatkan ekstensibilitas jaringan
penyambung.
3.
Didapat dari respon fisiologis yang merupakan gabungan dari pengaruh
mekanik dan panas.
Energi US
Micromassage
Panas
a) Meningkatkan sirkulasi darah
b) Relaksasi otot
c) Meningkatkan permiabilitas
membran
d) 2.6
Meningkatkan
Gambar
Skema darikemampuan
efek panas ultra sound
regenerasi jaringan
(Sumber:
Palguna,
2010)
e) Pengaruh
terhadap
saraf
perifer
f) Mengurangi nyeri
2.3.2 Indikasi Ultra Sound
a.
Kelainan-kelainan / penyakit pada tulang, sendi, dan otot.
b.
Rheumatic arthritis pada stadium remisi (tak aktif).
c.
Kelainan / penyakit pada saraf perifer.
d.
Kelainan / penyakit pada sirkulasi pembuluh darah.
e.
Penyakit-penyakit organ dalam.
f.
Kelainan-kelainan pada kulit.
g.
Deputyren kontraktur.
h.
Luka terbuka.
30
2.3.3 Kontra Indikasi Ultra Sound
a)
Absolut : mata, jantung, uterus perempuan sedang hamil, epiphesal
plates, testis.
b)
Relatif : pasca laminectomi, hilangnya sensibilitas, endoprothese, tumor,
post traumatic, tromboplebitis dan varises, septis-inflamasi, diabetes
melitus.
2.3.4
Pemberian Dosis Terapi Ultra Sound
Dalam menentukan dosis terapi dengan menggunakan ultra sound harus
memperhatikan beberapa faktor diantaranya memilih frekuensi yang berbeda,
memilih gelombong kontinyu atau terputus-putus, pilihan arus gelombang
disesuaikan dengan efek terapi yang ingin dicapai. Gelombang terputus-putus akan
memberikan dosis yang rendah. Bila menginginkan efek panas terapis dapat
memilih gelombang kontinyu. Jaringan mana yang akan diterapi serta bagaimana
aktualitas kondisinya. Prinsip menggunakan terapi ultra sound tidak boleh terjadi
rasa sakit di jaringan.
2.4
Resistance Exercise
2.4.1 Definisi Resistance Exercise
31
Resistance Exercise merupakan merupakan segala jenis latihan aktif yang
dimana kontraksi otot baik secara statik maupun dinamis ditahan oleh gaya yang
berasal dari luar baik secara manual maupun mekanikal (Colby & Kisner, 2007).
Resistance Exercise atau yang biasa disebut dengan Resistance Training merupakan
komponen rehabilitasi yang sangat esensial kepada seseorang yang memiliki
keterbatasan serta untuk meningkatkan kualitas hidup terutama meningkatkan
performa kemampuan motoris (motor skill performance) serta mencegah resiko
adanya injuri dan penyakit (Colby & Kisner, 2007).
2.4.2 Prinsip Resistance Exercise
Beberapa prinsip umum yang digunakan dalam pengaplikasian Resistance
Exercise adalah: 1) prinsip Overload, 2) prinsip SAID, dan 3) Prinsip Reversibility
dimana penjelasannya adalah sebagai berikut.
1.
Prinsip Overload
Dalam pelatihan yang dilakukan pada sebuah otot yang bertujuan untuk
meningkatkan kekuatan dan kemampuan fungsional otot tersebut, maka beban yang
digunakan dalam pelatihan harus melebihi kapasitas normal dari otot tersebut
(Overload). Hal ini menyebabkan otot beradaptasi dalam peningkatan jumlah beban
yang diterima dan berdampak pada meningkatnya kapasitas normal dari otot
tersebut mencapai level pembebanan yang diberikan. Jika beban yang diberikan
tetap konstan setelah otot beradaptasi terhadap pembebanan baru, maka level
kekuatan otot tersebut mampu dipertahankan namun tidak meningkat.
32
Prinsip Overload fokus pada pembebanan yang meningkat pada otot dengan
memanipulasi intensitas ataupun volume latihan. Intensitas pada Resistance
Exercise merujuk kepada seberapa berat beban yang diberikan kepada otot yang
akan dilatih, sedangkan Volume termasuk di dalamnya variable seperti jumlah
repetisi, set, dan frekuensi
2.
Prinsip SAID (Spesific Adaptation to Imposed Demand)
Prinsip SAID menyatakan bahwa spesifisitas sebuah latihan merupakan
fondasi yang esensial dalam merancang sebuah program latihan. Prinsip ini berlaku
untuk semua sistem dalam tubuh dan merupakan penjelasan dari hukum Wolf yang
menyatakan bahwa sistem tubuh lambat launakan dapat beradaptasi terhadap stress
yang diberikan terhadapnya. Prinsip SAID membantu fisioterapis menentukan
resep latihan dan parameter apa yang dapat dipilih untuk menciptakan latihan
spesifik untuk mencapai tujuan yang spesifik (Colby & Kisner, 2007).
3.
Prinsip Reversibility
Perubahan adaptif dalam sistem tubuh seperti kekuatan dan endurance
sebagai respon terhadap Resistance Training bersifat sementara kecuali pola latihan
penguatan tetap dilakukanatau pasien tetap berpartisipasi dalam program
pemeliharaan dari Resistance Exercise.
Detraining, yang direfleksikan sebagai penurunan performa otot dimulai
setelah seminggu atau dua minggu setelah berhenti melakukan pelatihan, dan akan
terus berlanjut hingga efek dari pelatihan sepenuhnya menghilang. Dari alasan ini,
sangatlah penting bahwa latihan penguatan dan daya tahan harus dicantumkan
dalam aktivitas sehari-hari sesegera mungkin dalam kajian rehabilitasi. Juga
33
disarankan bahwa pasien hendaknya berpartisipasi dalam program pemeliharaan
sebagai komponen integral dalam program kesehatan jangka panjang (Colby &
Kisner, 2007).
2.4.3 Open Kinematic Chain Exercise
Open Kinematic Chain Exercise merupakan jenis resistance exercise dimana
bagian distal dari segmen yang akan dilatih dapat bebas bergerak, tanpa melibatkan
pergerakan pada sendi di sekitarnya. Pergerakan ekstremitas hanya terjadi di bagian
distal dari sendi yang terkait dan aktivasi otot terjadi pada otot yang melewati otot
tersebut. Open Kinematic Chain Exercise pada umumnya dilakukan pada posisi
Non-Weight Bearing (tidak menumpu berat badan). Dalam Open Kinematic Chain
Exercise, pembebanan yang diberikan diaplikasikan pada bagian distal dari segmen
yang bergerak (Colby & Kisner, 2007).
Gambar 2.7 Open Kinematic Chain Exercise
(Sumber : Colby & Kisner, 2007)
Open Kinematic Chain Exercise lebih efektif digunakan untuk meningkatkan
kemampuan otot secara individual. Individual diartikan sebagai kontraksi pada
salah satu otot saja atau satu kelompok otot saja. Selama Open-Chain Exercise,
34
akan dihasilkan kontrol gerakan yang lebih baik karena hanya terjadi pergerakan
sendi tunggal saja dibandingkan dengan Close-Chain Exercise yang terjadi
pergerakan pada multiple joint. Pada Open Kinematic Chain Exercise, stabilisasi
diaplikasikan oleh fisioterapis dengan melakukan manual kontak pada bagian
proksimal sendi. Kontrol pergerakan yang lebih besar pada Open-Chain Exercise
dapat bermanfaat pada fase awal dalam proses rehabilitasi.
Dalam Open Kinematic Chain Exercise juga dapat terjadi ko-aktivasi pada
otot agonis dan otot antagonis selama proses latihan. Beberapa latihan yang bersifat
Open-Chain yang dapat menghasilkan ko-aktivasi tersebut antara lain seperti
metode stabilisasi dalam PNF (Stabilizing Reversal, Rhythmic Stabilization). Pada
beberapa studi mengenai open-chain concentric isokinematic exercise pada otototot yang bekerja di lutut, ko-aktivasi pada agonis dan antagonis terlihat dengan
jelas pada akhir ekstensi lutut. Peneliti menyatakan bahwa otot-otot fleksor lutut
teraktivasi dan berkontraksi secara eksentrik pada akhir LGS ekstensi untuk
memperlambat (deselerasi) pergerakan tungkai tepat sebelum akhir Lingkup Gerak
Sendi (LGS). Beberap peneliti juga menyebutkan bahwa Open-chain Exercise
dengan intensitas tinggi memiliki efek samping pada sendi yang tidak stabilitis,
cidera, atau sendi yang sedang berada dalam proses penyembuhan akut.
Karena Open Kinematic Chain Exercise pada dasarnya dilakukan dalam
keadaan tidak menumpu berat badan (non-waeight bearing), maka latihan jenis ini
tepat diberikan pada keadaan dimana menumpu berat badan (weight-bearing)
merupakan kontraindikasi atau pada kondisi dimana terjadinya keterbatasan LGS
yang sangat signifikan. Latihan jenis ini juga sangat tepat digunakan pada keadaan
35
inflamasi akut seperti adanya tanda-tanda pembengkakan dan nyeri. Latihan jenis
ini tepat digunakan dalam program rehabilitasi dini seperti pada kondisi post
fraktur.
Pada penelitian ini bentuk-bentuk latihan Open Kinematic Chain pada
penderita OA Genu merupakan kombinasi dari leg extension dan leg curl. Berikut
rincian bentuk latihan:
a.
Leg Curl
Latihan ini dapat membantu meningkatkan definisi otot paha bagian belakang
terutama otot hamstring. Ini merupakan gerakan isolasi untuk paha belakang.
Latihan ini dapat dilakukan sebanyak 3-5 sets dengan 6-12 repetisi.
Gambar 2.8 Open Kinematic Chain Exercise dengan Leg Curl
(Sumber : Colby & Kisner, 2007)
b.
Leg Extension
Latihan ini dapat membantu meningkatkan definisi otot quadriceps. Duduk
pada bangku leg extension dan posisikan kaki di belakang bantalan penyangga.
Dorong dan ekstensikan kaki (luruskan) setinggi mungkin, tahan sebentar lalu
36
kembali ke posisi semula. Latihan ini dapat dilakukan sebanyak 3-5 sets dengan 612 repetisi.
Gambar 2.9 Open Kinematic Chain Exercise dengan Leg Extension
(Sumber: human kinetics, 2014)
2.4.4 Close Kinematic Chain Exercise
Close Kinematic Chain Exercise melibatkan pergerakan yang dimana bagian
distal segmen berada dalam keadaan stabil (fixed) pada bagian permukaan. Dalam
latihan jenis ini, pergerakan pada salah satu sendi menyebabkan pergerakan
simultan pada bagian distal yang disertai dengan pergerakan pada bagian sendi
proximal. Contohnya adalah ketika melakukan bilateral short-arc squat motion
(mini squat), terjadi fleksi knee, disertai dengan fleksi hip dan dorsofleksi ankle.
Close Kinematic Chain Exercise pada umumnya dilakukan dalam keadaan Weight
Bearing (menumpu berat badan).
37
Gambar 2.10 Closed Kinematic Chain Exercise
(Sumber : Colby & Kisner, 2007)
Berbeda dari open-chain exercise, pada close-kinematic chain exercise tidak
akan didapatkan kontraksi otot yang bersifat individual, melainkan juga akan terjadi
kontraksi oleh grup-grup otot yang sinergis yang berkontribusi dalam gerakan
substitusi selama proses latihan ini. Selama close-chain exercise pasien lebih
menggunakan kemampuan otot-otot untuk menstabilisasi dalam mengontrol
pergerakan sendi yang dituju, serta mengontrol gerakan sendi proksimal serta distal
dari sendi yang dituju.
Pada latihan ini, akan terjadi aproksimasi sendi yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan open-chain exercise. Aproksimasi sendi ini berdampak pada
menurunnya gaya potong (shear) antara kedua permukaan sendi selama terjadinya
pergerakan. Aproksimasi sendi yang terjadi selama close-chain exercise ini dapat
38
meningkatkan kongruenitas pada sendi yang akan berkontribusi terhadap
peningkatan kestabilan sendi (Colby & Kisner, 2007).
Karena Close Kinematic Chain exercise dilakukan dalam posisi weightbearing, banyak penelitian yang melaporkan bahwa close-chain exercise dapat
menstimulasi mekanoreseptor pada otot dan sendi, memfasilitasi ko-aktivasi
daripada sekelompok otot agonis dan antagonis (ko-kontraksi) yang selanjutnya
meningkatkan stabilitas dinamis. Selama posisi squat, otot hamstring dan otot
quadriceps melakukan kontraksi secara bersamaan untuk mengontrol hip dan lutut.
Pada ekstremitas atas, Close-chain Exercise dalam posisi menumpu berat badan
menghasilkan ko-aktivasi pada otot-otot yang menstabilisasi scapula dan
glenohumeral, sehingga hal tersebut berdampak pada peningkatan stabilitas
dinamis pada shoulder complex.
Awareness (kesadaran) terhadap posisi sendi atau gerakan merupakan salah
satu pondasi penting dalam proses pembelajaran motoris (motor learning) selama
latihan pada fase awal yang berperan sebagai kontrol neuromuscular selama
pergerakan fungsional. Diperkirakan bahwa Closed-chain exercise menyediakan
stimulus proprioseptif dan kinestetik yang lebih besar jika dibandingkan dengan
open-chain exercise. Secara teori, hal tersebut dikarenakan kontraksi multiple yang
dihasilkan selama menumpu berat bedan, menghasilkan lebih banyak reseptor
sensoris pada otot, struktur intraartikular dan ekstraartikular yang terstimulasi untuk
mengontrol gerakan. Elemen menumpu berat badan (pembebanan axial) selama
proses closed-kinematic chain exercise menyebabkan aproksimasi pada sendi, hal
ini menstimulasi mekanoreseptor pada otot dan reseptor disekitar sendi untuk
39
meningkatkan input sensoris dalam proses kontrol gerakan.Closed Kineamtic
Chain Exercise merupakan pilihan utama dalam meningkatkan keseimbangan dan
kontrol postural selama posisi tegak (Colby & Kisner, 2007).
Pada penelitian ini bentuk-bentuk latihan Closed Kinematic Chain pada
penderita OA Genu merupakan kombinasi dari half squats dan wall slides. Berikut
rincian bentuk latihan:
1.
Half Squates
Latihan ini dilakukan untuk mengembangkan masa otot dan tenaga. Squat
dikatakan sebagai ‘King of Exercise’, gerakan dasar/kompon nomor 1 untuk paha,
latihan yang paling berat, melibatkan paling banyak otot, dan merangsang
pengeluaran hormon pertumbuhan (Growth Hormone=GH) paling besar. Latihan
ini dilakukan pada posisi berdiri dengan kaki selebar bahu, letakkan tangan di
pinggang. Rendahkan dan tekuk lutut seperti ketika akan duduk sampai mencapai
sudut 900. Posisi kepala dan punggung tetap lurus. Kembali berdiri seperti semula
dan ulangi gerakan yang sama. Latihan ini dapat dilakukan sebanyak 3-5 sets
dengan 6-12 repetisi.
40
Gambar 2.11 Closed Kinematic Chain Exercise dengan Half Squates
(Sumber: Dr. Darren, 2013)
2.
Wall Slides
Wall slides adalah latihan yang efektif untuk meningkatkan otot quadriceps.
Latihan ini dilakukan pada posisi berdiri tegak pada tembok, tempelkan punggung
dan posisikan kaki sesuai dengan lebar bahu pasien. Perlahan-lahan tekuklah lutut
pasien, kemudian gerakan punggung kebawah sampai lutut pasien tertekuk 45
derajat dan tahan sampai hitungan kelima. Angkat kembali punggung pasien sampai
lutut pasien lurus. Ulangi langkah diatas 8-12 kali jika pasien tidak mengalami
kesulitan melakukannya maka tingkatkan repetisi latihan dan modifikasi wall slides
dengan menggunakan satu kaki atau dapat menambahkan berat dengan cara
meletakkan beban ditangan. Keuntungan lain yang diperoleh dari latihan ini adalah
juga dapat meningkatkan keseimbangan.
41
Gambar 2.12 Closed Kinematic Chain Exercise dengan Wall Slides
(Sumber: Khoo Teck Puat Hospital, 2010)
Tabel 2.2 Karaktersitik Closed Kinematic Chain dengan Open
Kinematic Chain Exercise
Open Kinematic Chain Exercise
 Bagian distal segmen dapat bergerak
bebas
Closed Kinematic Chain Exercise
 Bagian distal tetap kontak dengan
permukaan
 Pergerakan sendi secara individual,
 Gerakan sendi yang saling
tidak ada pergerakan pada sendi
berhubungan dengan sendi di sekitar
sekitarnya
dan membentuk pola
 Pergerakan pada segmen tubuh terjadi
 Pergerakan pada segmen tubuh
pada bagian distal dari sendi terkait
terjadi pada bagian distal dan
proksimal sendi terkait
 Terjadi aktivasi pada otot, terutama
otot prime mover
 Terjadi aktivasi pada beberapa grup
otot, baik distal maupun proksimal
dari sendi terkait
 Dilakukan dalam posisi tidak
menumpu berat badan
 Tahanan diberikan pada segmen distal
yang bergerak
 Dilakukan dalam posisi menumpu
berat badan
 Tahan diberikan secara multiple pada
segmen yang bergerak
 Peggunaan beban eksternal
 Penggunaan beban axial
 Stabilisasi eksternal biasanya
 Stabilisasi internal oleh aktivasi otot,
diperlukan (secara manual atau
kompresi sendi, dan kontrol postural
menggunakan peralatan)
(Sumber : Kisner & Colby, 2007)
42
2.5
Kemampuan Fungsional pada Osteoarthritis Genu
Kemampuan fungsional didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk
melakukan tugas spesifik berkaitan dengan aktivitas sehari-hari. Fungsional
diartikan sebagai aktivitas yang memiliki tujuan dan fungsi tertentu sesuai konteks
dengan aktivitas yang produktif. Beberapa aktivitas fungsional dalam kaitannya
dengan aktivitas sehari-hari diantaranya adalah aktivitas makan, minum, mandi,
bermain, perawatan diri, ambulasi, berinteraksi sosial dan kegiatan-kegiatan
lainnya. Dalam memenuhi aktivitas tersebut, seseorang memerlukan fungsi fisik
yang cukup baik untuk mencapai tugas-tugas tersebut dengan baik. Fungsi fisik
tersebut yang dikatakan sebagai kemampuan fungsional, yang dimana nantinya,
kemampuan fungsional tersebut digunakan untuk menuntaskan tugas-tugas spesifik
yang berkaitan dengan aktivitas kehidupan sehari-hari.
Hilangnya kemampuan fisik yang diakibatkan oleh adanya gangguan
(impairment), keterbatasan fungsi (functional limitation), dan disabilitas
berdampak pada terbatasnya kemampuan fungsional seseorang yang pada akhirnya
menyebabkan terganggunya proses pemenuhan aktivitas sehari-hari. Pada OA
Genu, proses-proses patologis yang terjadi tentunya menyebabkan terhambatnya
fungsi fisiologis dalam sistem muskuloskeletal pada region tersebut. Manifestasi
klinis yang dihasilkan seperti nyeri, keterbatasan LGS, kelemahan otot, akan
mengganggu kemampuan fungsional seseorang dalam beberapa aktivitas, terutama
aktivitas fungsional yang menggunakan pembebanan pada tubuh seperti berdiri,
jongkok, duduk ke berdiri, dan berjalan, naik turun tangga (Kusumawati., 2003).
43
Pada OA, banyak faktor yang mempengaruhi terganggunya kemampuan
fungsional seseorang dalam aktivitas kehidupan sehari-hari, yang dimana faktorfaktor ini saling berkaitan satu sama lain. Kemampuan fungsional pada OA Genu
tidak mampu ditentukan hanya dengan mengukur kualitas dan kuantitas nyeri yang
dirasakan. Beberapa pasien OA Genu tidak mengalami nyeri, namun mereka tidak
mampu bergerak bebas karena masih terasa adanya stiffness pada regio terkait.
Begitu pula beberapa pasien tidak merasakan adanya kekakuan pada sendi, namun
melaporkan bahwa nyeri yang sangat mengganggu aktivitasnya. Maka dari itu, pada
OA beberapa faktor yang mempengaruhi kemampuan fungsional sendi yaitu adanya
nyeri, kekakuan, dan kesulitan dalam melakukan aktivitas fungsional dasar
(Kusumawati., 2003).
2.5.1 Efek Nyeri terhadap Penurunan Kemampuan Fungsional
Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah
pengalaman perasaan emosional yang tidak menyenangkan akibat terjadinya
kerusakan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya
kerusakan pada jaringan. Perubahan fungsi pada nyeri memicu respon protektif
dengan maksud untuk menjaga agar kerusakan jaringan tetap minimal. Kapasitas
pengalaman nyeri memiliki fungsi protektif. Jika kerusakan jaringan tidak dapat
dihindarkan, akan terjadi perubahan bertahap pada sistem saraf perifer dan sistem
saraf pusat yang bertanggung jawab terhadap persepi nyeri.
Banyak teori yang menjelaskan mekanisme nyeri yang terjadi dan bagaimana
nyeri tersebut dirasakan. Mekanisme nyeri diawali oleh adanya stimulus noxious
44
pada reseptor sensorik yang kemudian dilanjutkan melalui empat tahap yaitu:
transduksi, transmisi, persepsi, dan modulasi. Transduksi adalah suatu proses
dimana terjadi konversi daripada energy panas, mekanis, atau kimia menjadi sebuah
energy listrik yang dilakukan oleh reseptor sensoris yang bernama nociceptor.
Transmisi merupakan mekanisme penghantaran energi listrik yang diterima oleh
nociceptor menuju ke medulla spinalis dan otak. Persepsi merupakan pemaparan
atau penggambaran sinyal listrik tersebut menjadi sebuah pengalaman sensoris.
Modulasi merupakan suatu mekanisme inhibisi yang mempengaruhi transimsi nyeri
di level spinal cord (International Association for Study of Pain , 2014).
Pada OA Genu, nyeri terjadi sebagai akibat adanya kontak antara kedua
permukaan tulang. Pada sendi yang normal, kedua permukaan tulang pembentuk
sendi ditutupi oleh jaringan kartilago yang tidak memiliki persarafan sensoris di
dalamnya, sehingga kontak pada kedua permukaan kartilago ini tidak
menghasilkan input sensoris (Kuntono, 2011). Namun pada sendi yang mengalami
OA, degenerasi kartilago dan subchondral scelorosis menyebabkan terjadinya
kontak antara kedua permukaan tulang yang dimana tulang memiliki persarafan
sensoris dan free nerve ending yang berfungsi sebagai nociceptor K. Pembentukan
tulang (osteophyte) juga memiliki peran terhadap timbulnya nyeri pada kondisi
Osteoarthritis (Kuntono, 2011).
2.5.2 Efek Joint Stiffness terhadap Penurunan Kemampuan Fngsional
Kekakuan (stiffness) didefinisikan sebagai kemampuan suatu objek untuk
bertahan pada keadaan awalnya (statik) ketika menerima paparan gaya eksternal.
45
Kekakuan sendi dapat terjadi sebagai akibat dari tidak terpaparnya suatu objek
dalam jangka waktu yang cukup lama, atau dapat terjadi akibat abnormalitas
paparan terhadap suatu objek yang di luar lingkup gerak yang seharusnya (Kuntono,
2011).
Kekakuan merupakan salah satu keluhan pada OA yang menyebabkan
terbatasnya kemampuan fungsional individu dalam melakukan beberapa tugas
spesifik. Kekakuan pada OA umumnya terjadi pada pagi hari yang dikatakan
sebagai morning stiffness, serta terjadi ketika berada dalam keadaan statis dalam
jangka waktu yang cukup lama. Gejala kekakuan sendi pada pasien OA genu
dirasakan di dalam dan di sekitar sendi yang terkait. Kekakuan sendi pada OA sering
dijabarkan sebagai kekakuan jangka pendek (short-lived stiffness) yang biasanya
berlangsung kurang dari 30 menit. Kekakuan yang dirasakan lebih dari 30 menit
merupakan sebuah indikator terjadinya penyakit inflamasi sendi seperti rheumatoid
arthritis (Kuntono, 2011).
2.5.3 Efek
Kelemahan
Otot
dan
Instabilitas
Terhadap
Penurunan
Kemampuan Fungsional
Seseorang dengan OA pada lutut ditemukan mengalami kelemahan
kelemahan otot pada otot quadriceps, dengan defisit kekuatan sekitar 20% - 45%
jika dibandingkan dengan kekuatan otot pada orang normal. Kelemahan otot
quadriceps yang persisten merupakan kondisi klinis yang sangat penting pada
pasien OA genu karena mempengaruhi gangguan stabilitas pada lutut dan
kemampuan fungsional penderita (Kuntono, 2011). Selebihnya, otot quadriceps
46
memilki fungsi protektif pada persendian lutut dimana otot quadriceps bekerja
secara eksentrik selama fase awal menapak (stance phase) dan berperan untuk
memperlambat (deselerasi) pergerakan tungkai saat menuju fase heel strike dengan
tujuan untuk menurunkan gaya impulsif menuju lutut (Kuntono, 2011).
Kelemahan pada otot quadriceps diasosiasikan dengan meningkatnya ratarata pembebanan pada sendi lutut. Beberapa data menunjukkan bahwa semakin
besar gaya tension yang dihasilkan otot quadriceps akan melindungi lutut dari
beberapa insiden nyeri, kehilangan kartilago, serta penyempitan ruang sendi
tibiofemoral. Stabilitas pada sendi lutut memerlukan gaya internal dalam magnitude
yang untuk melawan gaya eksternal yang dialami oleh lutut. Otot quadriceps
dinyatakan mampu meredam gaya pada lutut dan menyediakan stabilitas dinamis.
Kelemahan otot quadriceps dapat merubah stres kontak pada kartilago artikular
yang diasosiasikan dengan insiden nyeri lutut dan dapat berkontribusi terhadap
kejadian OA genu (Kuntono, 2011).
Kelemahan otot, nyeri, dan gagguan fungsional akan membentuk sebuah
siklus pada pasien dengan OA genu. Dalam siklus tersebut, dinyatakan bahwa
kelemahan otot akan menghasilkan pembebanan yang abnormal pada sendi lutut
dan dikaitkan dengan instabilitas, dimana pembebanan yang abnormal pada lutut
tentunya akan memicu nyeri di sekitar persendian. Nyeri yang dialami pasien
kemudian akan membatasi aktivitas fungsional pasien yang kemudian akan
memperberat kelemahan otot yang dialami pasien. Siklus tersebut akan terus
berputar dan mempengaruhi progresifitas penyakit tersebut (Kuntono, 2011).
47
2.5.4 Indeks Pengukuran Fungsional Osteoarthritis Genu
WOMAC (Western Ontario and McMaster Universities Osteoarhtritis Index)
adalah indeks yang digunakan untuk menilai keadaan pasien dengan osteoarthritis
pada lutut. Total 24 parameter yang terdiri dari nyeri, kekakuan (stiffness), fungsi
fisik dan sosial dievaluasi menggunakan WOMAC. WOMAC juga dapat digunakan
untuk memantau perkembangan penyakit atau untuk menentukan efektivitas obat
anti-rematik (Kusumawati, 2003). Semakin tinggi nilai yang diperoleh
menunjukkan besarnya keterbatasan fungsional pasien sedangkan nilai yang rendah
menunjukkan perbaikan kemampuan fungsional. Parameter WOMAC antara lain :
1.
2.
3.
Nyeri
a.
Berjalan kaki
b.
Menaiki anak tangga
c.
Aktivitas pada malam hari
d.
Istirahat
e.
Menumpu
Kekakuan
a.
Kekakuan pagi hari (morning stiffness)
b.
Kekakuan sepanjang hari
Fungsi Fisik
a.
Kesulitan turun tangga
b.
Kesulitan naik tangga
c.
Kesulitan dari posisi duduk ke berdiri
d.
Kesulitan berdiri
48
e.
Kesulitan duduk di lantai
f.
Kesulitan berjalan pada permukaan datar
g.
Kesulitan masuk dan keluar dari kendaraan
h.
Kesulitan berbelanja
i.
Kesulitan memakai kaos kaki
j.
Kesulitan berbaring di tempat tidur
k.
Kesulitan melepaskan kaus kaki
l.
Kesulitan bangun dari tempat tidur
m.
Kesulitan masuk dan keluar kamar mandi
n.
Kesulitan masuk dan keluar toilet
o.
Kesulitan duduk
p.
Kesulitan melakukan tugas-tugas berat
q.
Kesulitan melakukan tugas-tugas ringan
2.5.5 Penilaian dan Interpretasi Indeks WOMAC
1.
Penilaian
Skor
Keterangan
0
Tidak
1
Ringan
2
Sedang
3
Parah
4
Sangat Parah
49
Tabel 2.3 Penilaian Skala Pengukuran WOMAC
2.
Interpretasi
Jenis Pemeriksaan
Total Skor
Keterangan
Sakit
0
Minimum
20
Maksimum
0
Minimum
8
Maksimum
0
Minimum
68
Maksimum
96
Maksimum Skor
Kekakuan
Fungsi Fisik
Total
Tabel 2.4 Interpretasi Skala Pengukuran WOMAC
Keterangan Hasil skor WOMAC:
Minimum skor total : 0
Maksimum skor total : 96
Download