TINJAUAN PUSTAKA Kerbau Kerbau merupakan

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Kerbau
Kerbau merupakan hewan ruminansia dari sub family Bovinae yang
berkembang di banyak bagian dunia dan diduga berasal dari daerah India. Kerbau
domestikasi atau water buffalo yang terdapat saat ini berasal dari spesies bubalus
arnee. Spesies kerbau lainnya yang masih liar adalah bubalus mindorensis, bubalus
depressicornis dan bubalus caffer (Hasinah dan Handiwirawan, 2006). Kerbau
domestik (Bubalus bubalis) terdiri dari dua tipe yaitu kerbau rawa dan kerbau sungai.
Kerbau rawa merupakan kerbau tipe pedaging sedangkan kerbau sungai merupakan
kerbau tipe perah. Taksonomi kerbau (Bubalus bubalis) menurut Fahimuddin (1975)
adalah sebagai berikut:
Kerajaan
: Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Mamalia
Ordo
: Arthiodactyla
Family
: Bovidae
Genus
: Bos
Sub genus : Bubaline
Spesies
: Bubalus bubalis
Kerbau sungai (river buffalo) adalah kerbau yang biasa digunakan sebagai
ternak perah dan memiliki kebiasaan berkubang pada air jernih. Fahimuddin (1975)
menyatakan bahwa kerbau sungai banyak terdapat di India, Pakistan, Mesir, dan
daerah Mediterania. Kerbau rawa (swamp buffalo) tersebar dalam jumlah yang besar
di daerah Asia Tenggara. Ciri-ciri kerbau rawa menurut Fahimuddin (1975) adalah
berwarna keabu-abuan, leher terkulai dan memiliki tanduk besar yang mengarah ke
belakang. Kerbau rawa memiliki kebiasaan berkubang pada lumpur. Kerbau rawa
biasanya digunakan sebagai penghasil daging dan hewan kerja.
Kerbau diketahui memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan sapi
Diwyanto dan Handiwirawan (2006) menyatakan bahwa kerbau dapat hidup di
kawasan yang relatif sulit dalam keadaan pakan yang kurang baik. Kerbau juga dapat
berkembangbiak dalam rentang agroekosistem yang luas dari daerah yang basah
sampai daerah yang relatif kering. Di beberapa Negara kerbau dikembangbiakkan
terutama untuk produksi susu dan bahan baku produk olahan susu karena kadar
lemak susu kerbau lebih tinggi daripada sapi.
Sistem Pemeliharaan Kerbau
Sistem pemeliharaan ternak kerbau biasanya dilakukan dengan cara ekstensif,
terutama di Daerah Kalimantan Timur. Kerbau digembalakan pada padang rumput
atau lahan rawa dan pada malam hari kerbau beristirahat di kalang. Hamdan et al,
(2006) menjelaskan bahwa sistem pemeliharaan ekstensif sangat bergantung pada
dua musim, yaitu musim hujan dan kemarau. Aktivitas kerbau pada musim hujan
lebih banyak dihabiskan di dalam kalang, sedangkan pada musim kemarau kerbau
banyak beraktivitas di padang penggembalaan. Sistem pemeliharaan secara ekstensif
banyak dilakukan di kawasan Timur Indonesia, dimana kondisi agroklimat dan
topografi daerahnya didominasi hamparan lahan kering yang luas bervegetasi rumput
alam dan semak belukar (Suhubdy, 2009). Kendala yang sering dihadapi peternak
dengan sistem pemeliharaan ekstensif dan semi intensif adalah musim dan
terbatasnya lahan penggembalaan. Pada musim kemarau peternak sulit memperoleh
pakan hijauan sehingga harus mencari ke tempat lain, sedangkan pada musim hujan
sering terjadi banjir pada lahan penggembalaan.
Sistem pemeliharaan kerbau tidak hanya dilakukan secara ekstensif, namun
juga dilakukan secara semi intensif dan intensif, khususnya di Kabupaten Kudus,
Jawa Timur sekitar 26,67% peternak memelihara kerbau secara intensif dan 73,33%
secara semi intensif. Peternak di sekitar persawahan bera dan bantaran sungai yang
memiliki rerumputan umumnya melakukan pemeliharaan secara semi intensif,
sedangkan pemeliharaan intensif pada umumnya dilakukan oleh peternak kerbau
yang di sekitar perkandangannya memiliki lahan yang sempit. Parakkasi (1999)
menjelaskan bahwa sistem pemeliharaan secara ekstensif jika ditinjau dari segi
usaha tidak merugi, karena biaya produksi hampir tidak ada. Namun untuk
memenuhi kebutuhan daging nasional sistem pemeliharaan seperti ini sangat tidak
diharapkan. Hal ini disebabkan oleh lamanya waktu yang dibutuhkan untuk
penggemukkan atau dapat juga dikatakan produktivitasnya rendah. Pencapaian bobot
badan 150 kg, memerlukan waktu sekitar 5 tahun. Pemeliharaan dengan sistem
intensif menghasilkan produksi yang lebih efisien dan dapat memendekkan waktu
4
produksi. Sistem pemeliharaan intensif dapat memungkinkan ternak mengkonsumsi
ransum yang berkualitas baik dan dapat memanfaatkan bahan hasil ikutan industri
pertanian sebagai pakan tembahan, selain itu sistem ini mempermudah dalam
pengawasan kesehatan ternak dan menggunakan lahan yang sedikit dibandingkan
sistem ekstensif.
Produktivitas Ternak Kerbau
Ternak kerbau merupakan salah satu ternak lokal yang belum banyak dikaji
potensinya secara optimal padahal merupakan sumberdaya genetik ternak asli
Indonesia yang harus dipertahankan. Ternak yang secara genetik beradaptasi
terhadap kondisi lingkungan spesifik akan lebih produktif. Ternak kerbau memiliki
kemampuan lebih tinggi dibandingkan dengan ternak sapi dalam hal memanfaatkan
pakan yang kurang berkualitas (hijauan berprotein rendah dan serat kasar tinggi),
karena karakteristik fisiologi pencernaan dan kapasitas perut ternak kerbau lebih
banyak dibanding protozoa dan gerakan makanan dalam saluran pencernaan lamban.
Hal ini menyebabkan kemampuan untuk memanfaatkan pakan dan kecernaan pakan
menjadi lebih tinggi sekitar 2% - 3% per unit (Wanapat,2001).
Ternak kerbau memiliki potensi yang lebih besar ditinjau dari kapasitas
fisiologi nutrisi dan feeding behavior, sehingga akan sesuai hidup pada lingkungan
yang bervariasi (Suhubdy, 2007). Ternak kerbau tahan terhadap tekanan dan
perubahan lingkungan yang sangat ekstrim misalnya perubahan temperature atau
fenologi padang rumput, hal ini terlihat dari penyebarannya yang luas mulai dari
daerah beriklim kering di NTT dan NTB, lahan pertanian yang subur di Jawa, hingga
lahan
rawa di Sulawesi Selatan, Kalimantan, dan Sumatera. Kerbau juga
berkembang di daerah pegunungan di Tapanuli Utara dan Tengger serta dataran
rendah di pinggir laut seperti Tegal
dan Brebes (Bamualim at al., 2009).
Karakteristik kerbau terhadap lingkungan menunjukkan bahwa sifat produksi dan
reproduksi
kerbau
sangat
responsive
apabila
habitat
dan
manajemen
pemeliharaannya diperbaiki (Suhubdy, 2007).
5
Tingkah Laku
Ethology biasa juga disebut sebagai ilmu yang mempelajari tingkah laku
hewan, yang berasal dari kata ethos yang berarti karakter atau alam dan logos yang
berarti ilmu.
Mempelajari tingkah laku hewan berarti menentukan karakteristik
hewan dan bagaimana responnya terhadap lingkungan. Selama interaksi tersebut
ternak akan menimbulkan respon berupa tingkah laku terhadap lingkungan yang
dihadapinya (Gonyou,1991). Goin dan Goin (1978) juga menyatakan bahwa perilaku
suatu hewan dapat dipengaruhi oleh beberapa variabel seperti genetik, proses belajar
dari pengalaman dan beberapa faktor fisiologis termasuk umur dan jenis kelamin.
Perilaku dapat diartikan sebagai ekspresi seekor hewan yang dituangkan
dalam bentuk gerakan-gerakan (Prijono, 1997). Grier (1984) berpendapat, bahwa
tingkah laku hewan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor dalam dan faktor luar
individu yang bersangkutan, faktor dalam antara lain hormon dan sistem syaraf
sedangkan faktor luar antara lain cahaya, suhu dan kelembaban (Grier, 1984). Faktor
yang
mempengaruhi
perilaku
dinamakan
rangsangan
(Tanudimadja
dan
Kusumamihardja, 1985).
Menurut Scott (1987), pola perilaku dikelompokkan ke dalam sistem
informasi, yakni kumpulan pola perilaku-perilaku yang memiliki satu fungsi umum.
Praktisnya tingkah laku dapat diartikan sebagai gerak-gerik organisme untuk
memenuhi rangsangan dalam tubuhnya dengan memanfaatkan rangsangan dari
lingkungannya. Terjadinya tingkah laku makan, disebabkan karena adanya makanan
(rangsangan dari lingkungan) dan adanya kebutuhan atau lapar (rangsangan dari
dalam). Demikian juga terjadinya tingkah laku kawin, disebabkan karena adanya
rangsangan dari dalam, kemudian baru terjadi perkawinan jika ada rangsangan dari
lawan jenisnya (Tinberger, 1979).
Tingkah Laku Makan
Tingkah laku makan masing-masing ternak berbeda-beda tiap bangsa yang
berbeda. Ternak tidak dapat hidup tanpa makan dan minum. Ensminger (2002)
menyatakan peningkatan produksi dapat dicapai jika ternak makan dengan agresive
sehingga memakan pakan lebih banyak. Tingkah laku makan lain adalah merumput,
makan pakan hasil pemotongan atau penyimpanan dan konsentrat. Tingkah laku
6
makan lain adalah ruminasi. Ruminasi yaitu proses mengunyah kembali pakan yang
dikeluarkan dari retikulorumen, kemudian dikunyah dengan bantuan saliva
(Ensminger, 2002).
Tingkah Laku Agonistik
Wodzicka-Tomaszewaska et al. (1991) menyatakan bahwa Agonistik berasal dari
kata latin yang berarti berjuang. Selain itu, agonistik juga mempunyai pengertian
yang cukup luas yakni menonjolkan postur, melakukan pendekatan, menakut-nakuti,
berkelahi dan terbang, juga meliputi seluruh tingkah laku yang ada hubunganya
dengan agresifitas, kepatuhan dan pertahanan. Hafez (1969) menyatakan, agonistik
merupakan suatu kegiatan mengkais, menanduk, mendorong dengan bahu. Lari
bersama, bergerombol dan lari.
Tingkah laku yang termasuk dalam tingkah laku agonistik adalah berkelahi,
berlari atau terbang dan tingkah laku lain yang mempunyai hubungan dengan
konflik.
Hewan mamalia jantan memiliki tingkah laku berkelahi lebih tinggi
dibandingkan dengan betina, hal ini dipengaruhi oleh hormon, terutama oleh hormon
testosteron (Ensminger, 1991).
Hart (1985) menyatakan bahwa pola perilaku agonistik merupakan interaksi
sosial antara satwa yang dikategorikan beberapa tingkat konflik, yaitu dalam
memperoleh makanan, pasangan seksual dan perebutan wilayah istirahat dengan
melakukan tindakan yang bersifat
ancaman menyerang dan perilaku patuh.
Selanjutnya dikatakan pula bahwa perilaku agonistik ini merupakan hal yang penting
dalam menetapkan dan mempertahankan hubungan dominan dan subordinat antara
tingkatan sosial spesies. Sistem penggembalaan di padang rumput dengan sumber
makanan dan air banyak tersedia dapat menunjukkan keadaan perilaku dominan
tidak begitu jelas terlihat, tetapi hal ini akan terlihat dengan nyata dan penting pada
keadaan berdesakan (Wodzicka-Tomaszewaska et al., 1991).
Tingkah Laku Kerbau
Pemeliharaan kerbau rawa berbeda dengan kerbau atau sapi pada umumnya.
Perbedaan utama terletak pada cara penggembalaan untuk mendapatkan pakan. Pada
musim hujan, sejak sore hingga pagi kerbau berada di atas kandang. Menurut
7
Hamdan et al. (2006) pada pukul 7 atau 9 pagi kerbau diturunkan untuk mencari
makan dan pada sore hari pulang ke kalang. Pada musim kemarau, aktivitas kerbau
lebih banyak di padang penggembalaan atau jarang pulang ke kandang. Pada lahan
rawa yang kering dibuatkan pagar keliling sebagai tempat penampungan sementara
serta untuk membatasi kerbau agar tidak berjalan terlalu jauh.
Putu et al. (1994) membedakan tingkah laku kerbau rawa atas tingkah laku
merumput dan kawin. Pada saat merumput, satu kelompok kerbau dipimpin oleh
seekor pejantan yang mengarahkan kerbau lain dalam kelompoknya menuju padang
penggembalaan. Jarak tempuh kerbau pada saat merumput mencapai 2 km dari
kalang, dengan kecepatan pergerakan rata-rata 2,20 m/menit. Pada waktu kawin,
betina yang sedang berahi biasanya dikelilingi 5−6 ekor pejantan yang berusaha
untuk mengawininya. Waktu perkawinannya tidak menentu.
Tingkah Laku Reproduksi Kerbau Betina dan Jantan
Lita (2009) mengatakan bahwa sistem reproduksi kerbau pada pertanian
rakyat yang tidak ada recording dan cara birahinya yang silent heat atau tidak
mengeluarkan suara dan cenderung diam merupakan salah satu penyebab lambatnya
perkembang biakan kerbau di Indonesia. Terzano et al. (2005) menyatakan lebih dari
dua pertiga kerbau betina mengalami silent heat dan semua menampilkan perubahan
endokrin yang sama dengan sapi yang memperlihatkan tanda-tanda estrus dengan
jelas.
Sistem reproduksi ternak kerbau berbeda dengan sistem reproduksi ternak
sapi. Ternak sapi mengalami birahi pertama pada sekitar umur 1 tahun, beranak
pertama pada umur 2,5 tahun, dan lama bunting umur 283 hari. Tingkah laku birahi
sapi pun berbeda dengan kerbau, sapi yang sedang birahi akan mengeluarkan suara
yang sering dan terlihat gelisah, ciri-ciri lain yang dapat dilihat pada bagian belakang
(anus) sapi seperti, berwarna merah, bengkak dan basah. Sistem reproduksi ternak
kerbau yang lebih lama dan susah terlihat saat birahi dibandingkan dengan ternak
sapi merupakan salah satu penyebab usaha ternak kerbau di Indonesia kurang
berkembang dengan baik dibandingkan ternak sapi (Affandy et al., 2007).
Jainudeen dan Hafez (1980) menjelaskan bahwa tingkah laku seksual kerbau
jantan sama dengan sapi tetapi kurang intense dibandingkan sapi. Libido bertahan
selama siang hari yang panas, terutama pada kerbau lumpur. Kemampuan seksual
8
kerbau jantan menurun selama musim panas dan membaik pada musim dingin
(Banerjee, 1982). Hal ini disebabkan oleh populasi kerbau di Indonesia yang
mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Usaha pembibitan dan penggemukkan
kerbau berskala industri hampir tidak ada dan pemerintah lebih fokus pada
pengembangan ternak sapi sedangkan ternak kerbau kurang diperhatikan.
Tingkah Laku Makan Kerbau
Kerbau termasuk hewan yang suka merumput (grazing) (Schoenian, 2005).
Kerbau termasuk ternak yang kurang memilih dalam mencari makan, sehingga
kerbau mengkonsumsi pakan yang kurang bermutu dalam jumlah yang lebih besar
dibandingkan pakan sapi. Hal ini yang menjadi alasan mengapa kerbau dapat
berkembang dengan baik dibandingkan sapi pada kondisi pakan yang buruk
(Banerjee, 1982). Justru dengan sifat tersebut maka kerbau dapat diberikan pakan
yang mempunyai palatabilitas rendah bagi ternak lain namun memiliki nilai nutrisi
yang baik.
Di Australia, kerbau dapat beradaptasi dengan wilayah padang rumput yang
kurang baik, terlalu basah atau berkualitas marginal bagi sapi. Kerbau dapat mencari
makan dalam kondisi yang berawa-rawa. Selain itu, kerbau juga memakan jenis
pakan dalam kisaran yang lebih luas dibandingkan sapi dan telah terobservasi
membersihkan saluran irigasi dari alang-alang dan tumbuhan lain yang secara normal
tidak disentuh oleh sapi. Kelebihan lain dari kerbau adalah dapat hidup baik dengan
memakan jerami dan limbah pertanian yang berkualitas rendah (Lemcke, 2008).
Tingkah Laku Sosial
Kerbau jantan lebih cenderung untuk menyerang kerbau jantan dibandingkan
sapi perah atau sapi potong jantan, sehingga memerlukan perhatian untuk
memelihara ternak tersebut secara terpisah. Perkelahian antar kerbau jantan sangat
berbahaya dan sering berakhir dengan kematian (Banerjee, 1982).
Kerbau jantan liar biasanya hidup dengan betina serta anaknya dalam
kelompok-kelompok kecil dengan jumlah anggota 10-20 ekor meskipun teramati bisa
mencapai 100 ekor, yang menempati suatu area untuk mencari pakan, minum,
berkubang dan istirahat. Dalam kelompok ternak kerbau bisa terbentuk sebuah
hirarki dimana yang jadi pemimpin kelompok adalah seekor kerbau betina yang
9
paling tua dan dikawal oleh satu jantan dewasa. Kerbau jantan muda berlatih
bertarung dengan kerbau jantan muda yang lain untuk menegaskan dominasi tetapi
tetap menghindari perkelahian yang serius. Kerbau jantan akan bergabung dengan
kelompok kerbau betina pada saat musim kawin (Massicot, 2004)
Fisiologi Kerbau
Dilihat dari segi koefisien tahan panasnya (KTP) ternak kerbau mepunyai
KTP yang rendah sehingga mudah menderita cekaman panas (Cockrill, 1984). Faktor
yang menyebabkan rendahnya KTP ini diduga karena kelenjar keringat pada ternak
kerbau sangat sedikit dan mempunyai bulu-bulu yang jarang. Kelenjar keringat pada
ternak kerbau kira-kira hanya sepertiga pada ternak sapi (Moran, 1973 ; Fahimuddin,
1975). Selain itu kulit yang berpigmen hitam menyebabkan banyak mengabsorbsi
panas (Hafez et al., 1955 ; Robey, 1976). Bila tidak terdapat teduhan atau kubangan
maka ternak kerbau akan mengalami kesulitan dalam membuang panas dari dalam
tubuhnya pada keadaan suhu lingkungan yang tinggi. Suhu rektal dan angka respirasi
pada ternak kerbau bertambah lebih cepat dibandingkan dengan pada ternak sapi bila
secara langsung kena sinar surya, oleh sebab itu oefisien tahan kerbau lebih rendah
dari pada sapi dan sangat peka terhadap setiap perubahan suhu lingkungan.
Keistimewaannya adalah setelah menderita cekaman panas, mampu kembali ke
normal dalam waktu relatif cepat apalagi bila tersedia teduhan atau kubangan. Hal ini
diduga karena pembuluh darah perifer pada ternak kerbau cukup banyak dan mudah
terjadi vasidilatasi (Whittow, 1962), sehingga mudah dalam melepas panas tubuhnya
melalui kulit sewaktu berteduh atau berkubang (Robey, 1976).
Denyut Jantung
Jantung pada berbagai hewan dapat berkontraksi dengan sendirinya tanpa ada
rangsangan dari luar. Jantung mamalia sensitif terhadap pasokan oksigen dan
temperatur. Kontraksi pada jantung mamalia dimulai dari sinus node. Kontraksi
menyebar cepat ke seluruh otot pada kedua atrium, beberapa saat kemudian ke otot
ventrikel. Gelombang kontraksi mencapai sekat antara atrium dan ventrikel, lembar
jaringan yang disebut atrioventricular bundle mengkonduksi impulse ke ventrikel
yang kemudian setelah penundaan sesaat yang dihasilkan dari konduksi, berkontraksi
secara simultan (Kay, 1998).
10
Kelly (1974) menyatakan faktor-faktor fisiologis yang berpengaruh pada
kecepatan denyut jantung adalah spesies, ukuran tubuh, umur, kondisi fisik, jenis
kelamin, kehamilan, proses kalahiran, laktasi, rangsangan, postur tubuh (perawakan),
proses pencernaan, ruminasi dan suhu lingkungan. Kecepatan denyut jantung pada
ternak yang muda lebih tinggi daripada ternak dara dan dewasa pada spesies yang
sama. Sebagai contoh anak sapi neonatal mempunyai kecepatan denyut jantung 120
kali per menit, sapi dara (umur satu tahun) diatas 80 kali per menit dan sapi dewasa
50 kali per menit. Kecepatan denyut jantung juga akan meningkat bila ternak banyak
makan. Satu jam setelah makan kecepatan denyut jantung masih lebih tinggi 10
persen daripada sebelum makan (Kelly, 1974).
Denyut jantung pada ternak yang lebih kecil biasanya lebih cepat
dibandingkan ternak yang besar. Hal ini berhubungan dengan kenyataan bahwa
ternak yang lebih kecil mempunyai laju metabolism per unit bobot badan yang lebih
tinggi. Hubungan terbalik antara bobot badan ini berlaku dalam satu spesies atau
antar spesies. Rata- rata denyut nadi pada hewan dewasa dalam keadaan istirahat 40
kali per menit, pada hewan jantan 52 kali permenit, pada hewan betina 41 kali per
menit, dan pada anak kerbau lima sampai enam bulan 71 kali per menit (Fahimuddin,
1975).
Laju Pernapasan
Respirasi merupakan gerakan fisik dimana udara masuk dan dikeluarkan dari
paru-paru. Respirasi juga termasuk dalam proses kimia dan fisik yang
memungkinkan organisme untuk mempertukarkan gas-gas (udara) dari lingkungan
(Kelly, 1974). Peningkatan frekuensi laju pernapasan terjadi karena adanya
peningkatan
kebutuhan
oksigen
oleh
jaringan-jaringan
tubuh.
Sebagai
konsekuensinya dapat dilihat ketika ternak melakukan gerakan badan, berjemur pada
suhu atau kelembaban udara yang tinggi dan karena ternak kegemukan (Kelly, 1974).
Frekuensi pernapasan bervariasai tergantung dari besar badan, umur, aktivitas tubuh,
kelelahan dan penuh tidaknya rumen. Bersamaan dengan peningkatan suhu
lingkungan, reaksi pertama ternak dalam menghadapi keadaan adalah dengan panting
(terengah-engah) dan sweting (berkeringat berlebihan) (Smith dan Mangkoewidjojo,
1987). Pada sapi, kerbau, kambing dan domba peningkatan frekuensi pernapasan
merupakan salah satu mekanisme pengaturan suhu tubuh. Frekuensi pernapasan
11
merupakan salah satu wujud homeostasis tubuh yang erat hubungannya dengan
kecepatan denyut jantung (palsus). Frekuensi pernafasan pada kerbau jantan dewasa
dalam keadaan istirahat 20 sampai 25 kali per menit dan kerbau betina 16 kali per
menit. Frekuensi pernapasan bertambah dengan meningkatnya suhu lingkungan dan
dapat mencapai 70 kali per menit dalam suhu lingkungan yang tinggi (Fahimuddin,
1975).
Temperatur Tubuh
Homeostasis
merupakan
suatu
penyesuaian
sistem
tubuh
untuk
mempertahankan keseimbangan fisiologis. Ternak akan berusaha menangkal
pengaruh-pengaruh buruk dari peningkatan temperatur lingkungan dengan cara
mencari peneduh, menambah aliran darah ke kulit (vasodilatasi), berkeringat lebih
banyak, perubahan aktivitas hormonal, minum lebih banyak daripada makan dan
peningkatan temperature tubuh (Heath dan Olusanya, 1985) .Suhu tubuh normal
kerbau berkisar antara 38,2oC sampai 38,4oC dan berada dalam keseimbangan
dengan suhu lingkungan yang terdapat antara 22oC sampai 33oC. Pada kisaran suhu
lingkungan tersebut, proses homeostasis pada kerbau berjalan dengan sangat baik.
Namun, di bawah suhu 22oC dan diatas 33oC selain proses homeostasis normal,
ternak kerbau secara fisiologi harus menyesuaikan diri, yang mengakibatkan
pengaruh terhadap pertumbuhan dan efisiensi reproduksi. Kelembaban dapat pula
mempengaruhi mekanisme temperatur tubuh, pengeluaran panas dengan cara
berkeringat ataupun melakukan respirasi akan lebih cepat (Parakkasi, 1999).
Minyak Ikan Lemuru
Minyak ikan lemuru (sardinella longiseps) merupakan hasil samping pada
industri pengalengan ikan lemuru yang memiliki potensial sebagai sumber asam
lemak tak jenuh (Maryana, 2002). Minyak ikan lemuru mengandung konsentrasi
EPA (% b/b dari total asam lemak) lebih tinggi dibandingkan dengan asam lemak
essensialnya (EPA 7,8% b/b vs asam stearat 0,9% b/b, asam oleat 2,1% b/b, asam
linoleat 0,3% b/b, asam linolenat 0,2% b/b dan DHA 3,1% b/b) (Tasse, 2010).
Parakkasi (1999) menyatakan bahwa kandungan asam lemak tak jenuh dalam
minyak ikan lemuru adalah sekitar 85,61%. Manfaat penambahan lemak dalam
pakan ruminansia adalah sebagai sumber asam lemak esensial, meningkatkan jumlah
12
energi pada ransum, meningkatkan palatabilitas ransum dan menurunkan produksi
metan dalam rumen serta memperbaiki rasio asetat dan propionat. Peningkatan
palatabilitas ransum akan meningkatkan total konsumsi ransum pada ternak.
Penurunan produksi metan di dalam rumen, akan meningkatkan efiensi penggunaan
energi.
Campuran Garam Karboksilat Kering (CGKK)
Bahan dasar dalam pembuatan Campuran Garam Karboksilat Kering (CGKK)
adalah minyak ikan lemuru. CGKK dibuat dengan dengan mencampurkan minyak
ikan lemuru dengan larutan asam klorida (HCl). Larutan HCl (1:1,25 b/v) akan
menghidrolisis minyak ikan. Hidrolisis asam merupakan hidrolisis yang digunakan
dalam pembuatan CGKK yang bertujuan untuk membentuk asam lemak bebas. Asam
lemak tak jenuh bebas dapat terbentuk akibat proses oksidasi. Keunggulan dari
hidrolisis asam adalah waktu dalam pembentukan asam lemak bebas yang lebih cepat
sehingga asam lemak bebas yang terkandung di dalam minyak ikan lemuru tidak
banyak teroksidasi. Agar tidak mudah teroksidasi maka hidrolisis asam minyak ikan
diberi tambahan larutan KOH. Hidrolisis asam minyak ikan tersebut akan
menghasilkan garam karboksilat. Garam karboksilat yang telah terbentuk kemudian
dicampur dengan onggok dengan perbandingan dan dikeringkan di dalam oven yang
bersuhu 32oC sampai kadar airnya 15% (Tasse, 2010).
13
Download