BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Penyakit Asma a. Definisi Asma Asma adalah penyakit kronis yang umum dan berpotensi serius yang menyebabkan beban substansial pada pasien, keluarga dan masyarakat. Penyakit ini menyebabkan gejala pernapasan, pembatasan kegiatan, dan eksaserbasi (serangan) yang kadang-kadang memerlukan perawatan kesehatan yang mendesak dan mungkin berakibat fatal. (GINA, 2014) Gejala-gejala asma seperti mengi, sesak napas, sesak dada dan batuk, mempunyai perbedaan dari waktu ke waktu di saat terjadi serangan, frekuensi, dan intensitas. Gejala-gejala ini berhubungan dengan variabel aliran udara ekspirasi, yaitu kesulitan bernapas dan mengeluarkan udara dari paru-paru akibat bronkokonstriksi (penyempitan saluran napas), penebalan dinding saluran napas, dan peningkatan mucus. Beberapa variasi dalam aliran udara juga bisa terjadi pada orang tanpa asma, tetapi lebih besar pada asma. (GINA, 2014; Ganong, MD dan WilliamF, 2008) Menurut Smeltzer, C. Suzanne (2001) penyakit ini merupakan penyakit jalan nafas obstruktif intermiten, reversibel dimana trakea dan bronkus berespon dalam secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu. Penyakit asma mempunyai ciri meningkatnya respon trakea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang luas. (Muttaqin, 2008) Asma merupakan suatu gangguan pada saluran bronkhial dengan ciri bronkospasme periodik (kontraksi spasme pada saluran nafas), penyakit kompleks yang dapat diakibatkan oleh faktor biokimia, endokrin, infeksi, otonomik dan psikologi dengan karakteristik obstruksi jalan nafas, hiperresponsif bronkus dan inflamasi pada saluran pernafasan (Somantri Irman, 2008; Busse dan Lemanske, 2001). Menurut Nelson (2007) asma didefinisikan sebagai penyakit inflamasi kronis yang terjadi di saluran pernafasan sehingga menyebabkan penyempitan pada saluran pernafasan tersebut. Asma menyerang ke semua bangsa dan etnik di seluruh dunia dan pada semua peringkat usia, dengan prevalensi anak laki-laki lebih banyak berbanding anak perempuan dan setelah pubertas, asma lebih banyak menyerang wanita berbanding pria (Fanta, 2009). Asma berhubungan dengan lokus yang pro-alergik dan proinflammatory. Sel inflamasi bisa menginflitrasi dan menyumbat salur pernafasan sehingga mengakibatkan kerusakan pada epitel dan deskuamasi pada lumen salur pernafasan. Inflamasi yang terjadi menyebabkan salur pernafasan menjadi hiperresponsif yaitu cenderung untuk berkonstriksi apabila terpapar kepada alergen. Batuk, rasa sesak di dada dan mengi adalah akibat dari obstruksi bronkus yang didasari oleh inflamasi kronik dan hiperaktivitas bronkus. Penyempitan saluran napas yang terjadi pada pasien asma merupakan suatu hal yang kompleks. Hal ini terjadi karena lepasnya mediator dari sel mast yang banyak ditemukan di permukaan mukosa bronkus, lumen jalan napas dan di bawah membran basal. Bermacam faktor pencetus dapat mengaktifkan sel mast. Selain sel mast, sel lain yang juga dapat melepaskan mediator adalah sel makrofag alveolar, eosinofil, sel epitel jalan napas, neutrofil, platelet, limfosit dan monosit. Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga memperbesar reaksi yang terjadi. Mediator inflamasi secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan serangan asma, melalui sel efektor sekunder seperti eosinofil, netrofil, platelet dan limfosit. Sel-sel inflamasi ini juga mengeluarkan mediator yang kuat seperti leukotrien. Tromboksan, PAF dan protein sitotoksis yang memperkuat reaksi asma. Keadaan ini menyebabkan inflamasi yang akhirnya menimbulkan hipereaktivitas bronkus (Nelson, 2007). b. Patogenesis Asma Patogenesis asma adalah proses inflamasi kronik pada saluran pernapasan yang menyebabkan saluran pernapasan menjadi sempit dan hiperesponsif (GINA, 2011). Asma dalam derajat apapun merupakan inflamasi kronik saluran nafas. Terdapat sejumlah penderita dengan inflamasi saluran napas namun faal paru normal. Inflamasi ini sudah terdapat pada asma dini dan asma ringan dan sudah terjadi sebelum disfungsi paru. Jarak antara inflamasi mukosa dengan munculnya disfungsi paru belum diketahui, pada asma episodik tanpa gejala inflamasi telah ada (Surjanto & Martika, 2009). Gambaran khas inflamasi ditandai dengan peningkatan jumlah eosinofil teraktivasi, sel mast, makrofag, dan limfosit T dalam lumen mukosa saluran pernapasan. Sel limfosit berperan penting dalam respon inflamasi melalui berbagai sitokin multifungsional. Limfosit T subset T helper-2(Th-2) yang berperan dalam patogenesis asma akan mensekresi sitokin interleukin 3 (IL-3), IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, IL-16 dan Granulocute Monocyte Colony Stimulating Factor (GMCSF). Sitokin bersama sel inflamasi yang lain akan saling berinteraksi, sehingga menimbulkan proses inflamasi yang kompleks, yang menyebabkan degranulasi sel mast disertai pengeluaran berbagai mediator inflamasi dan berbagai protein toksik yang akan merusak epitel saluran pernapasan, sebagai salah satu penyebab hipereaktivitas saluran pernapasan. Hal ini diperberat dengan terjadinya hipertrofi dan hiperplasi otot polos bronkus, sel goblet, dan kelenjar bronkus serta hipersekresi kelenjar mukosa yang menyebabkan penyempitan saluran pernapasan (GINA, 2008). Pada serangan asma terjadi penyempitan sampai obstruksi saluran pernapasan sebagai manifestasi kombinasi spasme/ kontraksi otot polos bronkus, edema mukosa, sumbatan mukosa, akibat inflamasi pada saluran pernapasan. Sumbatan saluran pernapasan menyebabkan peningkatan tahanan jalan nafas, terperangkapnya udara, dan distensi paru yang berlebih (hiperinflasi). Perubahan yang tidak merata di seluruh jaringan bronkus, menyebabkan tidak sesuainya ventilasi dengan perfusi. Hiperventilasi paru menyebabkan penurunan compliance paru, sehingga terjadi peningkatan kerja/aktivitas pernapasan. Peningkatan tekanan intra pulmonal yang diperlukan untuk ekspirasi melalui saluran pernapasan yang menyempit, dapat makin mempersempit atau menyebabkan penutupan dini saluran pernapasan, sehingga meningkatkan risiko terjadinya pneumothorax (Suharto, 2005). Pada obstruksi saluran pernapasan yang berat, akan terjadi kelelahan otot pernapasan dan hipoventilasi alveolar yang mengakibatkan terjadinya hiperkapnia dan asidosis respiratorik. Selain itu, dapat pula terjadi asidosis metabolik akibat hipoksia jaringan, produksi laktat oleh otot pernapasan dan masukan kalori yang berkurang. Hipoksia dan anoksia dapat menyebabkan vasokonstriksi pulmonal dan dapat merusak sel alveoli, sehingga produksi surfaktan berkurang dan meningkatkan kemungkinan terjadinya atelektasis (Suharto, 2005). Reaksi tubuh untuk memperbaiki jaringan yang rusak akibat inflamasi yang perubahannya bersifat ireversibel disebut proses remodeling (remodelling process). Proses remodeling saluran pernapasan merupakan serangkaian proses yang menyebabkan deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur saluran pernapasan melalui proses deferensiasi, migrasi, maturasi struktur sel (Mangunegoro, 2004). Kombinasi kerusakan sel epitel, perbaikan epitel berlanjut, produksi berlebih faktor pertumbuhan profibrotik/Transforming Growth Factor (TGF-b) dan proliferasi serta diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas, diyakini sebagai proses yang penting dalam remodeling. Miofibroblas yang teraktivasi akan memproduksi berbagai faktor pertumbuhan, kemokin dan sitokin yang menyebabkan proliferasi sel-sel otot polos saluran pernapasan dan meningkatkan permeabilitas mikrovaskuler, menambah vaskularisasi, neovaskularisasi dan jaringan saraf. Peningkatan deposisi matriks molekul termasuk proteoglikan kompleks pada dinding saluran pernapasan dapat diamati pada pasien yang meninggal karena asma dan hal ini secara langsung berhubungan dengan lamanya penyakit (Rahmawati, 2003). Hipertrofi dan hiperplasi otot polos saluran pernapasan, sel goblet, kelenjar sub mukosa, didapati pada bronkus pasien asma, terutama pada yang kronik dan berat. Secara keseluruhan, saluran pernapasan pada pasien asma memperlihatkan perubahan struktur yang bervariasi, yang dapat menyebabkan penebalan dinding saluran pernapasan. Selama ini asma diyakini sebagai kondisi obstruksi saluran pernapasan yang bersifat reversibel. Pada sebagian besar pasien asma, reversibilitas yang menyeluruh dapat diamati pada pengukuran dengan spirometri setelah diterapi dengan inhalasi kortikosteroid. Beberapa pasien asma mengalami obstruksi saluran pernapasan residual, yang dapat terjadi pada pasien yang tidak menunjukkan gejala, tetapi hal ini mencerminkan adanya remodeling pada saluran pernapasan. Fibroblas berperan penting dalam terjadinya remodeling dan proses inflamasi (Rahmawati, 2003). Mekanisme patogenik yang menyebabkan bronkokonstriksi adalah disebabkan alergen yang memicu kepada serangan asma. Walaupun telah dikenal pasti alergen outdoor sebagai penyebab namun alergen indoor turut memainkan peran seperti house dust mites, hewan peliharaan dan kecoa. Apabila pasien asma terpapar dengan alergen, alergen tersebut akan menempel di sel mast. Sel mast yang telah teraktivasi akan melepaskan mediator. Mediator-mediator ini yang akan menyebabkan bronkokonstriksi dan meningkatkan permeabilitas epitel jalan nafas sehingga antigen menempel ke IgEspesifik yang mempunyai sel mast. Mediator yang paling utama yang berperan terhadap patogenesis asma alergi adalah histamin dan leukotrien (Cockrill et al, 2008). Histamin merupakan mediator yang menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, augmentasi permeabilitas vaskuler dan pembentukan edema salur pernafasan serta menstimulasi reseptor iritan yang bisa memicu bronkokonstriksi sekunder (Cockrill et al, 2008). Menurut Drazen et al (1999) dalam Kay A.B. (2001) sel mast turut memproduksi sisteinil leukotriene yaitu C4, D4 dan E4. Leukotriene ini akan menyebabkan kontraksi otot polos, vasodilatasi, meningkatkan permeabilitas vaskuler dan hipersekresi mukosa apabila berikatan dengan reseptor spesifik. c. Faktor Resiko Berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu (host factor) dan faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi genetik yang mempengaruhi berkembangnya asma yaitu genetik asma, alergik (atopi), hipereaktivitas/hiperesponsif bronkus, jenis kelamin dan ras. Faktor lingkungan mempengaruhi individu dengan kecenderungan/predisposisi asma, untuk berkembang menjadi asma, yang menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan gejala asma yang menetap. Beberapa hal/kondisi yang termasuk dalam faktor lingkungan, yaitu: alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi pernapasan, diet, status sosio ekonomi dan besarnya keluarga (Mangunegoro, 2004). Perokok aktif dapat dibagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan berat ringannya derajat merokok. PDPI membagi tingkatan derajat merokok seseorang menjadi tiga kelompok dengan menggunakan nilai Indeks Brinkman, yakni ringan, sedang dan berat. Indeks Brinkman merupakan suatu variabel representatif untuk menggambarkan berat ringannya merokok seseorang secara kuantitatif. Nilai dari indeks tersebut dihitung berdasarkan jumlah batang rokok yang dihisap sehari dikali dengan lama merokok dalam tahun. Menurut Patino dan Martinez (2001) dalam Martinez (2003) faktor lingkungan dan faktor genetik memainkan peran terhadap kejadian asma. Menurut Strachan dan Cook (1998) dalam Eder et al (2006) pada kajian meta-analisis yang dijalankan menyimpulkan bahwa orang tua yang merokok merupakan penyebab utama terjadinya mengi dan asma pada anak. Menurut Corne et al (2002) paparan terhadap infeksi juga bisa menjadi pencetus kepada asma. Infeksi virus terutamanya rhinovirus yang menyebabkan simptom infeksi saluran pernafasan bagian atas memicu kepada eksaserbasi asma. Gejala ini merupakan petanda asma bagi semua peringkat usia (Eder et al, 2006). Terdapat juga teori yang menyatakan bahwa paparan lebih awal terhadap infeksi virus pada anak lebih memungkinkan untuk anak tersebut diserang asma (Cockrill et al, 2008). Selain faktor lingkungan, faktor genetik juga turut berpengaruh terhadap kejadian asma. Kecenderungan seseorang untuk menghasilkan IgE-spesifik diturunkan dalam keluarga (Abbas et al, 2007). Pasien yang alergi terhadap alergen sering mempunyai riwayat keluarga yang turut menderita asma dan ini membuktikan bahwa faktor genetik sebagai faktor predisposisi asma (Cockrill et al, 2008). Menurut Tatum dan Shapiro (2005) dalam Eder et al (2006) ada juga bukti yang menyatakan bahwa udara yang tercemar berperan dalam mengurangi fungsi paru, mencetuskan eksaserbasi asma seterusnya meningkatkan populasi pasien yang dirawat di rumah sakit. d. Gejala Klinis dan Diagnosis Diagnosis asma ditegakkan berdasarkan manisfestasi gejala yang ada (sekarang maupun yang pernah terjadi), dan adanya keterbatasan aliran udara dalam saluran pernapasan. Asma harus diduga bila muncul gejala seperti mengi, rasa berat di dada, batuk (dengan atau tanpa dahak) dan sesak napas dengan derajat bervariasi. Dari hasil penelitian menunjukkan, salah satu keluhan dari 30% pasien asma adalah mengi (Mangunegoro, 2004; Alsagaff, 2010). Riwayat adanya mengi rekuren, meningkatkan kemungkinan untuk menegakkan diagnosis asma, terutama jika ditemukan salah satu faktor predisposisi atau presipitasi yang umum, seperti keadaan atopi, aktifitas fisik yang melelahkan atau infeksi saluran pernapasan atas (Stark, 2000). Di sisi lain, pendekatan untuk konfirmasi diagnosis tergantung dari gambaran obstruksi jalan napas. Keterbatasan aliran udara di saluran pernapasan dapat diketahui melalui uji faal paru dengan menggunakan peak flow meter dan spirometer. Pada kesulitan menegakkan diagnosis asma karena gejala yang tidak jelas, dapat dilakukan uji provokasi bronkus, yang dapat memperlihatkan hipereaktivitas saluran pernapasan, pemeriksaan foto toraks dan pemeriksaan darah tepi. The National Heart and Blood Institute (NHBLI) menentukan tiga prinsip dasar untuk menentukan asma, yaitu adanya obstruksi saluran pernapasan yang hilang dengan atau tanpa pengobatan, adanya inflamasi saluran pernapasan dan adanya hiperesponsif terhadap berbagai rangsangan. e. Penanganan Menurut Mangkunegoro (2004) Program Penatalaksanaan asma meliputi 7 komponen yaitu: 1). Edukasi 2). Menilai dan memonitor keparahan asma secara berkala 3). Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus 4). Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang 5). Menetapkan pengobatan pada serangan akut 6). Kontrol secara teratur 7). Pola hidup sehat Dalam menetapkan atau merencanakan pengobatan jangka panjang untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma yang terkontrol, ada tiga faktor yang perlu dicermati, yaitu: a. Medikasi (Obat Asma) 1). Obat Pengontrol (Controllers) Pengontrol adalah obat asma yang digunakan jangka panjang untuk pengontrol asma, karena mempunyai kemampuan untuk mengatasi proses inflamasi yang merupakan patogenesis dasar penyakit asma. Obat ini diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten, dan sering disebut sebagai obat pencegah. Berbagai obat yang mempunyai sifat sebagai pengontrol, antara lain: a) Corticosteroid inhalasi b) Corticosteroid sistemik c) Sodium chromoglicate d) Nedochromil sodium e) Methylxanthine f) Agonis β2 kerja lama (LABA) inhalasi g) Leukotriene modifiers h) Antihistamin (antagonis H1) generasi kedua 2). Obat Pelega (Reliever) Merupakan bronkodilator yang melebarkan saluran pernapasan melalui relaksasi otot polos, untuk memperbaiki dan atau menghambat bronkokonstriksi yang berkaitan dengan gejala akut asma, seperi mengi, rasa berat dada dan batuk. Obat pelega tidak memperbaiki inflamasi atau menurunkan hiperesponsif pada saluran pernapasan. Oleh karena itu, penatalaksanaan asma yang hanya menggunakan obat pelega, tidak akan menyelesaikan masalah asma secara tuntas. b. Pemberian Obat-obatan Obat asma dapat diberikan melalui berbagai cara yaitu inhalasi (diberikan langsung ke saluran pernapasan), oral dan parenteral (subkutan, intramuskular, intravena). Kelebihan pemberian langsung ke saluran pernapasan (inhalasi) adalah: 1) Lebih efektif untuk dapat mencapai konsentrasi tinggi di saluran pernapasan. 2) Efek sistemik minimal atau dapat dihindarkan. 3) Beberapa obat hanya dapat diberikan melalui inhalasi, karena tidak efektif pada pemberian oral (anticholinergic dan chromolyne). Waktu mula kerja (onset of action) bronkodilator yang diberikan melalui inhalasi adalah lebih cepat dibandingkan bila diberikan secara oral. Pemberian obat secara inhalasi dapat melalui berbagai cara, yaitu: 1) Inhalasi Dosis Terukur (IDT)/Metered Dose Inhaler (MDI) 2) IDT dengan alat bantu (spacer) 3) Breath-actuated MDI 4) Dry powder inhaler (DPI) 5) Turbuhaler 6) Nebulizer Kekurangan IDT adalah sulit mengkordinasikan dua kegiatan (menekan inhaler dan menarik nafas) dalam waktu bersamaan, sehingga harus dilakukan latihan berulang-ulang agar pasien terampil. Penggunaan alat bantu (spacer) bertujuan mengatasi kesulitan dan memperbaiki penghantaran obat melalui IDT. Spacer lazim digunakan pada penatalaksaan asma anak dan pada pasien asma yang sangat sulit melakukan inspirasi dalam, untuk menghidu obat yang dikeluarkan dari inhaler. Selain itu, spacer juga mengurangi deposit obat di mulut dan orofaring, mengurangi batuk akibat IDT dan mengurangi kemungkinan kandidiasis bila menggunakan inhalasi kortikosteroid (meskipun hal ini sangat jarang terjadi pada pasien dengan higiene mulut yang baik), serta mengurangi bioviabiliti dan risiko efek samping sistemik. Beberapa studi di luar maupun di Indonesia menunjukkan inhalasi agonis β2 kerja singkat dengan IDT dengan menggunakan spacer memberikan efek bronkodilatasi yang sama dengan pemberian secara nebulisasi dan pemberian melalui IDT dengan spacer terbukti memberikan efek bronkodilitasi yang lebih baik daripada melalui (DPI) (Mangunegoro, 2004). Kelebihan DPI adalah karena DPI tidak menggunakan campuran propelan freon, yang dapat merusak ozon lingkungan dan relatif lebih mudah digunakan dibandingkan IDT. Saat inhalasi, hanya diperlukan kecepatan aliran udara inspirasi minimal. DPI sulit digunakan saat eksaserbasi, sehingga dosis harus disesuaikan. Sebagian DPI terdiri atas obat murni, dan sebagian lagi mengandung campuran laktosa, tetapi DPI tidak mengandung clorofluorokarbon sehingga lebih baik untuk ekologi tetapi lebih sulit pada udara dengan kelembaban tinggi. Saat ini, Chlorofluorocarbon (CFC) pada IDT, telah diganti dengan Hydrofluoroalkane (HFA). Pada obat bronkodilator dosis dari CFC ke HFA adalah equivalen, tetapi pada inhaler yang mengandung kortikosteroid, HFA mengantarkan lebih banyak partikel yang lebih kecil ke paru, sehingga selain meningkatkan efikasi obat, juga akan meningkatkan efek samping sistemiknya. Dengan DPI, obat lebih banyak dideposit dalam saluran pernapasan dibanding IDT, tetapi hasil penelitian menunjukkan bahwa inhalasi kortikosteroid dengan IDT dan spacer memberikan efek yang sama dengan cara pemberian melalui DPI. Karena perbedaan kemurnian obat dan teknik penghantaran obat antara DPI dan IDT, maka perlu penyesuaian dosis obat saat mengganti obat melalui DPI ke IDT atau sebaliknya. a. Penanganan Asma Mandiri 2. Rokok a. Definisi Merokok Merokok adalah suatu kebiasaan yang merugikan bagi kesehatan karena suatu proses pembakaran massal tembakau yang menimbulkan polusi udara dan terkonstrasi yang secara sadar langsung dihirup dan diserap oleh tubuh bersama udara pernapasan (Situmeang, 2002). Merokok merupakan suatu kebiasaan yang dapat memberikan kenikmatan semu bagi si perokok, tetapi di lain pihak menimbulkan dampak buruk bagi si perokok sendiri maupun bagi orang-orang di sekitarnya (Setyohadi, 2006). b. Pengertian Rokok Rokok merupakan produk utama dari hasil pengolahan tembakau yang diramu dan dibentuk secara khusus dari berbagai jenis dan mutu tembakau. Teknik pencampuran, pengolahan, dan pemberian bahan tembakau juga bervariasi (Situmeang, 2002). Rokok adalah salah satu zat adiktif yang bila digunakan mengakibatkan bahaya bagi kesehatan individu dan masyarakat. Kemudian ada juga yang menyebutkan bahwa rokok adalah hasil olahan tembakau terbungkus termasuk cerutu atau bahan lainya yang dihasilkan dari tanamam Nicotiana tabacum, Nicotiana rustica dan spesies lainnya atau sintesisnya yang mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan. (Hans Tendra, 2003). Rokok adalah silinder dari kertas berukuran panjang antara 70 hingga 120 mm (bervariasi tergantung negara) dengan diameter sekitar 10 mm yang berisi daun-daun tembakau yang telah dicacah. Rokok dibakar pada salah satu ujungnya dan dibiarkan membara agar asapnya dapat dihirup lewat mulut pada ujung lainnya. c. Asap rokok Asap rokok merupakan aerosol heterogen yang dihasilkan oleh pembakaran tembakau kurang sempurna. Terdiri dari gas dan uap yang berkondensasi dan tersebar dalam mulut. Komposisi asap rokok dipengaruhi beberapa faktor, di antaranya jenis tembakau, panjang sigaret, suhu pembakaran, jenis kertas pembungkus, zat-zat tambahan dan filter (Aditama, 2006). Komponen asap rokok yang sudah banyak dikenal jumlahnya sekitar 6.700 di mana 4.000 komponen di antaranya sudah berhasil diidentifikasi. Sembilan puluh lima persen berat asap rokok tanpa filter berisi 400-500 macam gas dan sisanya berisi lebih dari 3.500 komponen partikel. Sedikitnya ada 63 dari komponen tersebut diketahui sebagai karsinogenik, termasuk di dalamnya 11 komponen karsinogen terhadap manusia. (Baker et al., 2000). Besar pajanan asap rokok bersifat kompleks dan dipengaruhi oleh kuantitas rokok yang dihisap dan pola penghisapan rokok antara lain usia mulai merokok, lama merokok, dalamnya hisapan dan lainlain. Pajanan asap rokok menyebabkan kelainan pada mucosa saluran nafas, kapasitas ventilasi maupun fungsi sawar alveolar/kapiler (Aditama, 2001). d. Bahan-bahan yang terkandung dalam rokok Komposisi kimia dan asap rokok tergantung pada jenis tembakau, desain rokok (seperti ada tidaknya filter atau bahan tambahan), dan pola merokok individu. Asap yang dihirup mengandung komponen gas dan partikel. Komponen gas yakni CO, CO2, O2, Hidrogen sianida, amoniak, nitrogen, senyawa hidrokarbon. Sebagian besar fase gas adalah CO2, O2, dan nitrogen. Komponen partikel antara lain tar, nikotin, benzopiren, fenol, dan kadmium (Syahdrajat, 2007). Gas-gas toksik yang terdapat dalam rokok antara lain karbon monoksida, Nitrogen oksida, amoniak, piridin, dan bermacam-macam karsinogenik dan gas sitolliotoksik. Komponen partikelnya berupa tar, nikotin, dan uap. Diduga persentase endapan partikel pada saluran nafas selama merokok aktif berkisar 47-98% dan permukaan epitel saluran nafas akan mengarbsorpsi komponen partikel tersebut (Baker et al., 2000). Sumber lain menyebutkan bahwa zat-zat karsinogen yang terdapat dalam rokok antara lain tar, benzipiren, dibenzan traken, nitrosamin, nikel dan kadmium (Laksono, 2003). Tar merupakan komponen padat dalam asap rokok setelah dikurangi nikotin dan uap air terdiri dari zat kimia, di antaranya golongan nitrosamin, amin aromatik, senyawa alkan, asam karboksilat, logam (Ni, As, Ra, Pb) selain itu juga sisa insektisida dan bumbu-bumbu tembakau, zat- zat di atas bersifat karsinogenik. Nikotin adalah partikel padat yang mudah diserap oleh selaput lendir mulut, hidung dan jaringan paru (Antaruddin, 2003). Zat ini merupakan zat psikosktif yang dapat meningkatkan aktivitas motorik, menurunkan intelegensi anak yang dikandung oleh ibu yang merokok serta dapat meningkatkan resiko infeksi saluran napas, serangan asma, penyakit jantung koroner dan penyakit paru-paru (Setyohadi, 2006). Tar mengandung karsinogen sedangkan nikotin merupakan bahan adiktif yang menimbulkan ketergantungan atau kecanduan. Kebiasaan merokok itu telah terbukti berhubungan dengan sekitar 25 persen penyakit pada berbagai organ tubuh, antara lain kanker saluran pernapasan hingga paru, kandung kemih, dan penyakit pembuluh darah (Aditama, 2001). e. Jenis-jenis Rokok Rokok terdiri dari dua jenis, yaitu rokok berfilter dan tidak berfilter atau disebut juga rokok kretek. Filter rokok terbuat dari bahan busa serabut sintetis yang berguna untuk menyaring nikotin dan tar (Sukmana, 2007). Sedangkan menurut Aditama (2007), jenis rokok dibedakan menjadi empat bentuk, yaitu rokok kretek, kretek filter, cerutu dan rokok pipa tradisional. Sigaret kretek terdiri dari gulungan tangan dan gulungan pabrik dimana keduanya mempunyai kualitas yang berbeda. Berdasarkan bahan tembakau dikenal jenis rokok putih dan rokok kretek. Rokok kretek didefinisikan sebagai rokok dengan atau tanpa filter yang menggunakan tembakau rajangan, dicampur dengan cengkeh rajangan (30%-40%), digulung dengan kertas sigaret. Di Indonesia yang paling banyak dikonsumsi adalah rokok kretek, yaitu sebesar 81,34% (Situmeang, 2002). Devereux (2006) menjelaskan bahwa merokok kretek merupakan faktor risiko utama terhadap berkembangnya Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK), dimana risiko kematian akibat PPOK akan lebih meningkat pada perokok aktif. Merokok cerutu dan filter juga dapat meningkatkan kesakitan dan kematian akibat PPOK meskipun risikonya lebih rendah dibandingkan dengan merokok kretek. f. Derajat Merokok Menurut PDPI (2000), derajat merokok seseorang dapat diukur dengan Indeks Brinkman, dimana perkalian antara jumlah batang rokok yang dihisap dalam sehari dikalikan dengan lama merokok dalam satu tahun, akan menghasilkan pengelompokan sebagai berikut : 1) Perokok ringan : 0-200 batang per tahun 2) Perokok sedang : 200-600 batang per tahun 3) Perokok berat : lebih dari 600 batang per tahun Menurut penelitian Leffrondre dkk mengenai model-model riwayat merokok, status merokok seseorang dapat dibagi menjadi never smoker dan ever smoker. Never smoker adalah orang yang selama hidupnya tidak pernah merokok atau seseorang selama kurang dari 1 tahun (Indeks Brinkman 0). Ever smoker adalah seseorang yang mempunyai riwayat merokok sedikitnya satu batang tiap hari selama sekurang-kurangnya satu tahun baik yang masih merokok ataupun yang sudah berhenti (Leffrondre et.al., 2002). Perokok pasif adalah menghirup asap rokok yang tersebar di sekeliling. Perokok pasif tidak kalah berbahayanya dibandingkan dengan perokok aktif karena perokok pasif menghirup aliran samping (sidestream) dan aliran utama (mainstream). Aliran samping adalah asap rokok yang berasal dari ujung rokok yang terbakar, sedangkan aliran utama adalah asap rokok yang telah dihisap oleh perokok lalu kemudian dihembuskan kembali ke udara. Perokok pasif adalah orang yang tidak merokok tetapi terkena dampak akibat paparan asap yang ditimbulkan oleh perokok. (Makara. 2003. Kesehatan. Jakarta.) Merokok dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi saluran napas dan jaringan paru-paru. Pada saluran napas besar, sel mukosa membesar (hipertrofi) dan kelenjar mukosa bertambah banyak (hiperplasia). Pada saluran napas kecil, terjadi radang ringan hingga penyempitan akibat bertambahnya sel dan penumpukan lendir. 3. Hubungan serangan asma dengan paparan asap rokok Asma merupakan penyakit peradangan saluran nafas yang kronik (Dahlan, 2000) Dan merupakan penyakit paru dengan karakteritik: inflamasi saluran napas, hiperreaktivitas saluran napas terhadap berbagai rangsangan dan obstruksi saluran napas yang reversibel, baik secara spontan maupun dengan pengobatan (D.M.Busse, 2001). Inflamasi kronik asma mengaktifkan berbagai sel inflamasi. Sel inflamasi yang ikut berperan terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag neutrofil dan sel epitel (PDPI, 2004). Sel-sel inflamasi yang diaktifkan melepas berbagai mediator, sitokin, molekul adhesi, kemokin, dan berinteraksi antara satu dengan yang lain. Eosinofil melepas granulgranulnya yang toksik. Hal tersebut menimbulkan reaksi yang sangat kompleks dengan gejala-gejala klinis seperti bronkokonstriksi, produksi lendir yang berlebihan/ hipersekresi kelenjar mukosa, mengi, dan hipereaktivitas bronkus (Baratawidjaja, 2003; Surjanto, 2005). Kandungan asap rokok yang tersebar ke udara sangatlah berbahaya. Menurut penelitian ada 4000 senyawa kimia berbahaya yang terdapat pada asap tembakau ini. Di antaranya adalah nikotin, tar, sianida, benzene, cadmium, metanol, amonia, arsenik. Asap rokok dalam konsentrasi tinggi dapat lebih beracun yaitu memiliki 2 kali konsentrasi nikotin dan tar, 3 kali jumlah zat karsinogenik, 5 kali kadar karbon monoksida dan 50 kali jumlah amonia lebih banyak. Karena racun rokok terbesar dihasilkan oleh asap yang mengepul dari ujung rokok yang sedang tak dihisap. Asap tersebut merupakan hasil dari pembakaran tembakau yang tidak sempurna. Konsentrasi zat berbahaya di dalam tubuh perokok pasif lebih besar, karena racun yang dihisap lewat hidungnya tidak terfilter, sedangkan racun rokok dalam tubuh perokok aktif terfilter melalui ujung rokok yang diisap (Dinkes Kab. Pamekasan, 2014). Kepekaan saluran napas berlebihan atau hipereaktivitas adalah yang membedakan antara orang normal dan penderita asma. Pada orang normal, faktor pemicu, seperti asap rokok, iritan/debu, zat kimia, kegiatan jasmani, tekanan kejiwaan, dan alergen tidak akan menimbulkan asma. Pada penderita asma, rangsangan tadi dapat menimbulkan serangan (Sundaru, 2006). Pada asma alergik, selain peka terhadap rangsangan di atas juga sangat peka terhadap alergen yang spesifik. B. Kerangka Pemikiran Jumlah Rokok Jenis Rokok Asap Rokok Lama Paparan Perokok Pasif Berat Paparan Rokok Keterbatasan Aliran Serangan Asma Gambar 1. Kerangka Pemikiran Keterangan : = diteliti = tidak diteliti C. Hipotesis Terdapat hubungan antara serangan asma dengan mengendalikan pengaruh riwayat keluarga dan lingkungan terhadap paparan pasif asap rokok.