BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Model Arsitektur Pohon Model arsitektur pohon pada dasarnya merupakan konstruksi bangunan dari sebuah pohon sebagai konsekuensi dari pola pertumbuhan meristematik yang dikontrol secara morfogenik. Elemen-elemen dari suatu arsitektur pohon terdiri atas pola pertumbuhan batang, percabangan, dan pembentukan pucuk terminal. Pola pertumbuhan dapat bersifat ritmik atau kontinu. Pertumbuhan ritmik memiliki suatu periodisitas dalam proses pemanjangannya yang secara morfologi ditandai dengan adanya segmentasi pada batang atau cabang. Pertumbuhan kontinu tidak memiliki periodisitas dan tidak ada segmentasi pada batang atau cabang. Pola percabangan dapat dibedakan atas pola sylepsis (percabangan yang dibentuk dari meristem lateral dengan perkembangan kontinu) dan pola percabangan prolepsis (percabangan yang terbentuk secara diskontinu dengan beberapa periode istirahat dari meristem lateral). Pertumbuhan tunas pada jenisjenis pohon dapat dibedakan menjadi dua, yaitu orthotropik dan plagiotropik. Pertumbuhan tunas jenis orthotropik dicirikan oleh pucuk yang terbentuk berorientasi tumbuh secara vertikal dan tidak sering berbunga, sedangkan pada pertumbuhan tunas jenis plagiotropik yaitu pucuk yang terbentuk berorientasi tumbuh secara horizontal dan sering menghasilkan bunga. (Halle et al. 1978). Menurut Halle et al . (1978), model arsitektur pohon dapat dibedakan dalam 4 karakteristik utama, yaitu: a. Pohon tidak bercabang yaitu bagian vegetatif pohon hanya terdiri dari satu aksis dan dibangun oleh sebuah meristem soliter, contohnya model Holtum dan Corner. b. Pohon bercabang dengan aksis vegetatif yang ekivalen dan orthotrofik, contohnya model Tomlinson, Chamberlain, Leuweunberg, dan Schoute. c. Pohon bercabang dengan aksis vegetatif yang non ekivalen, contohnya model Prevost, Rauh, Cook, Kwan-koriba, Fagerlind, Petit, Aubreville, Theorical, Scarrone, Attim, Nozeran, Massart, dan Rauh. d. Pohon bercabang dengan aksis vegetatif campuran ada yang ekivalen dan non ekivalen, contohnya model Troll, Champanat, dan Mangenot. 2.2. Arsitektur Pohon Model Rauh Asal usul penamaan model arsitektur pohon ini diberikan oleh Rauh yang telah mendeskripsikan arsitektur pohon-pohon temperate (Rauh, 1939 dalam Halle et al. 1978). Arsitektur pohon model Rauh adalah model arsitektur pohon memiliki ciri batang monopodial dengan pola pertumbuhan ritmik serta membentuk pola percabangan orthotropic (Gambar 1). Pola percabangan ini berhubungan dengan batang perbungaannya, di mana umumnya lateral. Percabangan pada arsitektur pohon model Rauh berbentuk orthotropik. Bentuk ini akan meningkatkan aliran batang, karena cabang-cabang yang tumbuh vertikal berfungsi sebagai penampung air hujan, yang selanjutnya dialirkan ke batang. Fellizar (1976) mengemukakan bahwa aliran batang merupakan bagian dari curah hujan yang ditahan oleh tajuk vegetasi, kemudian mengalir melalui batang dan akhirnya sampai ke permukaan tanah. Arsitektur pohon model Rauh umumnya ditemukan pada kelompok tumbuhan berbiji. Selain itu, model ini sering ditemukan pada tumbuhan yang tumbuh di pegunungan daerah tropis. Contoh tumbuhan yang memiliki arsitektur pohon model Rauh adalah anggota suku Lauraceae, Elaeocarpaceae, Theaceae, Altingiaceae, dan Hamamelidaceae. Gambar 1 Arsitektur Pohon Model Rauh. ( ) Aliran curahan tajuk, ( ) aliran batang (Halle et al. 1978). Altingia excelsa Noronha dan Schima wallichii (DC.) Korth merupakan contoh tumbuhan yang memiliki arsitektur pohon model Rauh. Kedua tumbuhan ini berasal dari famili yang berbeda, akan tetapi memiliki beberapa kesamaan dalam pola percabangannya yaitu pola percabangan orthotropik. Berikut ini deskripsi dari kedua tumbuhan tersebut: 2.2.1 Taksonomi Tanaman 1. Schima wallichii (DC.) Korth (Puspa) Kingdom Super Divisi Divisi Kelas Famili Genus Spesies : Plantae (Tumbuhan) : Spermatophyta (Menghasilkan biji) : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil) Ordo: Theales : Theaceae : Schima : Schima wallichii (DC.) Korth 2. Altingia excelsa Noronha (Rasamala) Kerajaan Superdivisi Divisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Plantae : Spermatophyta : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) : Magnoliopsida : Saxifragales : Altingiaceae : Altingia : Altingia excelsa Noronha 2.2.2 Deskripsi Tanaman a. Schima wallichii (DC.) Korth (Puspa) Nama latin dari tumbuhan Puspa adalah Schima wallichii (DC.) Korth. Tumbuhan ini termasuk dalam famili (suku) Theaceae, yang terdiri dari empat subspesies, yaitu S. wallichii Korth. ssp. bancana Bloemb, S. wallichii Korth. ssp. crenata Bloemb, S. wallichii Korth. ssp. noronha Bloemb, dan S. wallichii Korth. ssp. oblata Bloemb. Penyebaran Puspa secara alami meliputi Semenanjung Malaya, Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, seluruh Jawa, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur (Martawijaya et al. 1989). Tinggi pohon mencapai 40 m, dengan panjang batang bebas cabang sampai 25 m, diameter batang 150 cm, tidak berbanir, kulit luar berwarna merah muda, merah tua sampai hitam, beralur dangkal dan mengelupas, kulit hidup tebalnya sampai 15 mm, berwarna merah dan di dalamnya terdapat miang yang gatal. Daunnya tunggal, tebal, permukaan hijau kebiru-biruan, berbentuk jorong, tajuknya bulat sampai lonjong (Martawijaya et al. 1989). Di Jawa Barat Puspa merupakan tumbuhan asli, sering terdapat pada ketinggian 100-1500 m dpl. Pohon ini juga memiliki daya hidup (kesintasan) yang cukup tinggi dengan kulit kayu yang tebal sehingga tahan api. Pada saat roboh anakan akan cepat tumbuh terutama pada saat hujan turun membasahi lantai hutan. Tegakan Puspa dari kejauhan daun berwarna hujau tua ini sangat kontras dengan daunnya yang muda berwarna kemerahan saat musim hujan. Bunganya yang berwarna putih berjatuhan di atas serasah dengan benang sari kuning sehingga menarik satwa untuk menikmati. Kera ekor panjang (Macaca fascicularis) merupakan jenis mamalia yang hidup di pohon pucuk daun puspa merupakan santapan lezat bagi jenis primata ini. b. Altingia excelsa Noronha ( Rasamala) Nama latin dari tumbuhan Rasamala adalah Altingia excelsa Noronha, anggota famili Hammalidaceae. Tumbuhan ini menyebar mulai dari Himalaya menuju wilayah lembab di Myanmar hingga kawasan Semananjung Malaysia, Sumatera, dan pulau Jawa. Di Pulau Jawa, jenis tumbuhan ini hanya tumbuh di wilayah barat yang memiliki ketinggian 500-1500 m dpl atau di hutan bukit atau pegunungan yang lembab. A. excelsa di wilayah Sumatera tersebar di daerah Bukit Barisan. A. excelsa akan tumbuh subur pada daerah yang memiliki curah hujan 100 mm perbulan dan jenis tanahnya vulkanik. Tinggi tanaman ini dapat mencapai 40-60 m dengan tinggi bebas cabang 20-35 m dan diameter 80 cm (Martawijaya et al. 1989). Kulit luar Rasamala berwarna coklat muda atau kelabu. Kulit kayunya halus, abu-abu, dan warna kayu merah. Pada pohon yang masih muda memiliki tajuk yang rapat dan berbentuk piramid. Dengan bertambahnya usia tanam, maka pada pohon yang tua berangsur-angsur menjadi bulat. Letak daun bergiliran, bentuknya lonjong, memiliki panjang 6-12 cm, lebarnya 2,5-5,5 cm, tepi daun bergerigi halus. Bunga berkelamin satu, bunga jantan, dan betina terpisah pada pohon yang sama. Malai betina terdiri dar 14-18 bunga, berkumpul membentuk menyerupai kepala (Martawijaya et al. 1989). Kayunya sangat awet walaupun diletakkan langsung bersentuhan dengan tanah. Karena batang bebas cabangnya tinggi, maka kayunya cocok untuk kerangka jembatan, tiang, konstruksi, tiang listrik dan telepon, serta penyangga rel kereta api. Selain itu, kayunya dimanfaatkan untuk konstruksi berat, rangka kendaraan, perahu dan kapal, lantai, rakit, finir, dan plywood. Daun yang masih muda berwarna merah sering untuk sayur atau lalap. Di Jawa, daun yang telah ditumbuk halus digunakan sebagai obat batuk. Getahnya berbau aromatik sebagai pengharum ruangan (Agus et al. 2002) 2.3 Konservasi Air dan Tanah Air merupakan bagian terpenting dari sumber daya alam yang mempunyai karakteristik unik dibandingkan dengan sumber daya lainnya. Air merupakan sumber daya yang terbarukan dan bersifat dinamis, artinya sumber utama air yang berupa hujan akan selalu datang sesuai dengan waktu atau musimnya sepanjang tahun. Di Indonesia yang memiliki musim penghujan dan musim kemarau sepanjang tahun, jumlah air yang berada di suatu wilayah tergantung dari kedua musim tersebut. Pada waktu musim penghujan, jumlah air meningkat sangat tinggi. Secara alami air mengalir dari hulu ke hilir, dari daerah yang lebih tinggi ke daerah yang lebih rendah. Air mengalir di atas permukaan tanah akan tetapi air juga mengalir di dalam tanah. Dalam jumlah tertentu, air juga dapat mengakibatkan bencana. Jumlah air terlalu besar di suatu lokasi mempunyai kekuatan yang sangat besar dan destruktif yang sering disebut dengan banjir. Peristiwa banjir akan mengakibatkan kerugian bagi makhluk hidup. Dalam jumlah yang terlalu sedikit di suatu lokasi, air juga menimbulkan bencana yang sering disebut bencana kekeringan (drought) (Kodoatie 2008). Berdasarkan kedua permasalahan ini, pengelolaan sumberdaya air terpadu memiliki peran yang sangat penting untuk mengatasi persoalan sumberdaya air yang sangat kompleks dalam mewujudkan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air yang berkelanjutan, pengendalian daya rusak air serta menempatkan air dalam dimensi-dimensi sosial, budaya, ekonomi, hukum, kelembagaan, dan lingkungan yang harmoni. Aliran air sangat tergantung pada kondisi tata guna lahan di permukaan bumi. Bila tidak ada daerah yang bisa menyerap air atau menahan laju aliran air maka pada waktu musim hujan air akan mengalir langsung ke laut. Pada musim kemarau, keberadaan air di suatu tempat tergantung pada kuantitas dan kualitas resapan dan penahan air yang baik. Kebutuhan air di suatu area dapat terpenuhi pada musim kemarau jika masih ada air yang tertampung dan terhenti, misalnya: waduk, danau, retensi, dan cekungan, serta air yang meresap di dalam tanah sehingga membentuk air tanah, sumur, dan spring (R J Kodoatie 2008). Tanah merupakan salah satu faktor terpenting bagi kehidupan manusia. Banyak sekali fungsi tanah yang dimanfaatkan oleh makhluk hidup. Sebagai sumber daya yang banyak digunakan, tanah dapat mengalami pengikisan (erosi), dan pengikisan ini diakibatkan oleh bekerjanya gaya-gaya dari agen penyebab, misalnya air hujan dan angin. Konservasi tanah merupakan sebuah upaya untuk mendapatkan tingkat keberlanjutan produksi lahan dengan cara menjaga laju kehilangan tanah tetap berada di bawah ambang batas yang diperkenankan. Secara teoritis dapat dikatakan bahwa laju erosi harus lebih kecil atau sama dengan laju pembentukan tanah (Suripin 2001). Sumberdaya alam utama, yaitu tanah dan air, pada dasarnya merupakan sumberdaya alam yang dapat diperbaharui, akan tetapi mudah mengalami kerusakan atau degradasi. Kerusakan tanah dapat terjadi oleh (1) kehilangan unsur hara dan bahan organik di daerah perakaran, (2) terkumpulnya garam di daerah perakaran (salinisasi), terkumpulnya atau terungkapnya unsur atau senyawa yang merupakan racun bagi tanaman, (3) penjenuhan tanah oleh air (waterlogging), dan erosi. Kerusakan tanah oleh satu atau lebih proses tersebut menyebabkan berkurangnya kemampuan tanah untuk mendukung pertumbuhan tanaman atau menghasilkan barang atau jasa (Suripin 2001). Kerusakan air dapat berupa timpangnya distribusi air secara temporal, hilangnya atau mengeringnya sumber air, dan menurunnya kualitas air. Semua ini berkaitan erat dengan kerusakan tanah. Menurunnya kualitas air dapat disebabkan oleh kandungan sedimen yang bersumber dari erosi atau kandungan bahan-bahan atau senyawa limbah rumah tangga, limbah industri atau limbah pertanian (Suripin 2001). Secara alami tanah mengalami pengikisan (erosi). Erosi seperti ini sering disebut dengan erosi geologi atau geological erosion. Erosi jenis ini tidak berbahaya karena lajunya seimbang dengan pembentukan tanah di tempat terjadinya erosi tersebut. Kehadiran manusia sejak pertama kali di bumi ini, menimbulkan dampak negatif, yaitu disadari atau tidak, terjadi peningkatan laju erosi. Erosi ini terjadi akibat adanya perubahan pola penutupan, dari pola alami menjadi pola buatan manusia. Erosi ini dikenal sebagai “erosi dipercepat” (accelerated erosion). Indonesia merupakan salah satu negara yang beriklim tropis, pengaruh iklim sangat berkaitan erat dengan curah hujan dan temperatur. Curah hujan dan intensitas hujan yang tinggi memiliki daya penghancuran yang tinggi terhadap agregat tanah sehingga agregat tanah menjadi partikel-partikel yang mudah terhanyutkan. Kecepatan dan arah angin kadang-kadang dapat pula memindahkan partikel-partikel tanah. Tanah di Indonesia umumnya berasal dari abu vulkanik, dan tanah-tanah demikian mudah sekali terkena erosi. Selain itu, jenis tanah yang ada di Indonesia merupakan jenis tanah podsolik atau tanah latosol yang memiliki warna yang cukup khas, yaitu berwarna merah kekuning-kuningan sampai merah cokelat (Kartasoeputra 2005). Tanah podsolik memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a. kesuburan kimiawi rendah atau miskin akan zat-zat hara tanaman. b. reaksi tanah adalah masam. c. solumnya dangkal atau top soilnya tipis. d. mudah tererosi serta sifat-sifat fisiknya buruk sampai medium. e. selalu berasosiasi dengan tanah hidromorf kelabu, tanah lateritis, dan tanah podsol. f. produktivitas tanahnya berkisar dari tingkatan rendah sampai sedang, dan g. sebagian lahan pertanian sangat memerlukan pemupukan lengkap (N-P-K), liming atau pengapuran dan pengendalian erosi. Ditinjau dari ciri-ciri tanah tersebut tindakan konservasi perlu dilakukan, sebab tanah demikian demikian relatif tidak subur (Kartasapoetra et al.2005). Berikut ini beberapa data hasil penelitian mengenai konservasi tanah dalam pencegahan erosi yang pernah dilakukan oleh Lembaga Penelitian Tanah, Bogor (1975). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui erodibiltas tanah, vegetasi dan cara-cara pengelolaan dan pendayagunaan tanah terhadap besarnya erosi yang dilakukan pada 9 tempat yang meliputi tanah-tanah: a. Jenis podsolik merah kuning di Janlapa – Jasinga b. Jenis latosol coklat kemerahan di sekitar Bogor c. Jenis andosol di Ciwidey, Ciparay d. Jenis grumosol di Rembang e. Jenis regosol di Klakah, Tengger. Keberadaan tumbuhan sangat dibutuhkan dalam upaya mengurangi laju erosi. Dengan kata lain bahwa keberadaan hutan mempunyai peranan penting terhadap kepentingan dan usaha manusia, seperti halnya peranan hutan terhadap pengawetan (konservasi) tanah dan air (Kartasapoetra et al.2005). 2.3.1 Aliran batang Aliran batang merupakan bagian dari curah hujan yang ditahan oleh tajuk vegetasi, kemudian mengalir melalui batang dan sampai ke permukaan tanah. Aliran batang juga merupakan peubah yang penting dalam studi ekologi dan kelembaban tanah berhutan (Fellizar 1976). Arsyad (2006) mengemukakan bahwa air hujan yang mengenai tajuk sebagian akan melekat sementara pada daun dan batang, yang disebut dengan air intersepsi, sebagian akan mengalir pada batang sampai ke permukaan tanah. Menurut Lull (1952) aliran batang dipengaruhi oleh bentuk batang, curah hujan, dan bentuk hujan yang telah diintersepsi atau tanpa intersepsi oleh tajuk. Jumlah air hujan yang sampai ke tanah melalui aliran batang tergantung pada besarnya sudut yang dibentuk oleh batang tumbuhan terhadap tanah (Van Elewijk 1988, dalam Arsyad 2006). Sedangkan menurut Parker (1983) bahwa jumlah aliran batang dipengaruhi oleh kehalusan kulit batang dan sudut batang dan cabang. Air yang sampai ke permukaan tanah, melalui aliran batang tidak akan memiliki energi yang cukup untuk dapat menghancurkan butir- butir tanah. Kekuatan perusak air aliran batang akan terjadi setelah berubah menjadi aliran permukaan (Arsyad 2006). 2.3.2 Curahan tajuk Curahan tajuk (throughfall) merupakan bagian dari air hujan yang jatuh ke atas permukaan tanah melalui celah-celah tajuk dan atau berupa limpasan dari daun, ranting atau cabang pohon (Lull 1952). Pada kawasan hutan, curahan tajuk merupakan bagian dari curahan hujan yang jatuh permukaan lantai hutan setelah melalui struktur lapisan tajuk yang rapat, mulai dari tajuk pohon yang dominan hingga ke lapisan semak belukar dan serasah (Zinke 1967). Menurut Zinke (1967) besarnya curahan tajuk sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu tebalnya lapisan tajuk (strata), jenis-jenis pohon yang membentuk tegakan, suhu, dan kecepatan angin. Hasil penelitian Aththorick (2000) di daerah hutan pendidikan Gunung Walat Sukabumi, menunjukkan bahwa persentase curahan tajuk pada model arsitektur Masart yang diwakili oleh tumbuhan A. damara sebesar 87,23% lebih besar dari pada model arsitektur pohon Rauh yang diwakili oleh tumbuhan S. wallichii sebesar 77,97%. Unsur iklim yang mempengaruhi curahan tajuk yaitu suhu, kecepatan angin, selisih waktu kejadian hujan, dan waktu terjadinya hujan (siang atau malam) (Manokaran 1979). 2.3.3 Intersepsi Intersepsi adalah bagian dari curahan hujan yang tertahan oleh tajuk vegetasi sehingga tidak sampai ke permukaan tanah, kemudian diuapkan kembali ke atmosfir (Lutz dan Chandler 1965). Secara kuantitatif intersepsi merupakan perbedaan antara curah hujan total dengan jumlah curahan tajuk dan aliran batang. Menurut Rutter et al.(1971). Intersepsi adalah peristiwa evaporasi sejumlah air yang tercegat pada permukaan daun dan permukaan batang dari curah hujan yang jatuh di atasnya. Evavorasi ini merupakan parameter dari total evaporasi areal yang berhutan. Intersepsi terdiri dari aliran batang yang tidak mencapai permukaan tanah, air yang dievaporasikan selama hujan, dan sejumlah air yang ditahan oleh tajuk dan dievaporasikan ke udara setelah hujan (Parker 1983). Secara kuantitatif intersepsi adalah perbedaan curah hujan dengan jumlah curahan tajuk dan aliran batang. Menurut Zinke (1967) faktor-faktor yang mempengaruhi intersepsi diantaranya adalah kapasitas tajuk (S), porositas tajuk (P) dan tahanan aerodinamika (ra). Kapasitas tajuk merupakan tebalnya air pada luasan penutup vegetasi yang dapat disimpan atau ditahan oleh tajuk vegetasi pada saat kejadian hujan. Kapasitas hujan dapat menggambarkan jumlah air yang tertinggal pada tajuk ketika hujan berlangsung dan sampai curahan tajuk berhenti, sedangkan porositas hujan menggambarkan bagian dari air hujan yang jatuh ke permukaan tanah tanpa melalui tajuk (Gash dan Morto 1978). Tahanan aerodinamika merupakan hambatan melintang dari pertukaran uap air, panas, dan momentum antar tajuk vegetasi dengan udara di atasnya jika mempunyai nilai gradien yang tetap (Monteith, 1976). Faktor iklim yang mempengaruhi intersepsi adalah keadaan musim dan intesitas hujan, bila curah hujan sangat kecil atau intensitas curah hujan rendah, umumnya sebagian besar air hujan yang tertahan oleh tajuk vegetasi dan langsung diluapkan, akan tetapi apabila curah hujan besar dengan intensitas tinggi maka kan lebih banyak air hujan yang jatuh ke permukaan tanah/lantai hutan. Dengan demikian persentase intersepsi menjadi rendah (Wiersum et al 1979). Menurut Manokaran (1979) faktor suhu, kelembaban udara, dan kecepatan angin mempengaruhi air yang akan terintersepsikan untuk berevaporasi selama dan setelah hujan. 2.3.4 Infiltrasi Infiltrasi merupakan peristiwa masuknya air ke dalam tanah yang umumnya melalui permukaan dan secara vertikal. Jika cukup air maka infiltrasi akan bergerak terus ke bawah yaitu ke dalam profil tanah. Laju infiltrasi adalah banyaknya air per satuan waktu yang masuk melalui permukaan tanah, dinyatakan dalam mm/jam atau cm/jam (Arsyad 2006). 2.3.5 Aliran permukaan Aliran permukaan merupakan bagian dari air hujan yang jatuh di atas permukaan tanah karena tidak dapat diabsorbsi oleh tanah dan tidak mengumpul di permukaan kemudian mengalir ke bawah melalui lereng dan akhirnya mengumpul di saluran atau sungai (Arsyad 2006). Aliran permukaan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya curah hujan, jenis tanah, luas daerah aliran, jenis tanaman serta jenis pengolahan tanah (Arsyad 2006). Kecepatan aliran permukaan akan dipengaruhi oleh kecepatan jatuhnya butir-butir hujan, besarnya intersepsi oleh tanaman, infiltrasi, defresi, dan evaporasi. Sedangkan banyaknya air yang terkumpul untuk membentuk aliran permukaan ditentukan oleh luas daerah, tofografi, dan bentuk daerah (Hudson 1979). Menurut Arsyad (2006) jumlah aliran permukaan menyatakan jumlah air yang mengalir di permukaan tanah untuk suatu masa hujan atau masa tertentu dinyatakan dalam tinggi kolom air (mm atau cm) atau dalam volume air (m3). 2.4 Erosi Erosi adalah lepasnya material padat (sedimen, tanah, batuan, partikel lain) dari batuan induknya oleh air, angin, es, gaya gravitasi, atau organisme. Erosi pada dasarnya merupakan proses perataan kulit bumi. Proses ini terjadi dengan penghancuran, pengakutan, dan pengendapan. Di alam ada dua komponen utama yang aktif dalam proses ini yakni angin dan air. Akan tetapi dengan adanya aktifitas manusia di alam, maka manusia menjadi faktor yang sangat penting dalam mempengaruhi erosi ( Kartasapoetra et al 2005). Menurut Arsyad (2006) erosi merupakan peristiwa pindahnya atau terangkutnya tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami, yaitu air dan angin. Dalam buku kamus konservasi tanah dan air, erosi dibedakan menjadi 3, yaitu erosi geologi, erosi normal, dan erosi dipercepat. Menurut bentuknya erosi dibedakan menjadi 6, yaitu erosi lembar, erosi alur, erosi parit, erosi tebing sungai, longsor, dan erosi internal (Arsyad 2006). Erosi yang terjadi saat ini umumnya bukan hanya disebabkan oleh faktor alami tetapi sering kali disebabkan oleh aktivitas manusia yang tidak ramah lingkungan, diantaranya adalah teknik pembukaan lahan yang salah, alih fungsi hutan menjadi lahan pemukiman, perdagangan, pertambangan, serta tempat hiburan. Empat faktor utama yang terlibat dalam proses erosi adalah iklim, sifat tanah, topografi dan vegetasi penutup lahan (Legowo 2002 dalam Arsyad 2006). Menurut Arsyad (2006), di daerah beriklim tropika basah, penyebab utama erosi tanah adalah air, sedangkan angin tidak mempunyai pengaruh yang berarti. Proses erosi yang disebabkan oleh air merupakan kombinasi dari dua sub-proses, yaitu (1) penghancuran struktur tanah menjadi butir-butir primer oleh energi tumbuk butir-butir hujan yang menimpa tanah dan (2) pemindahan butir-butir primer tersebut oleh percikan air hujan, sehingga air yang tergenang di permukaan tanah akan mengakibatkan tanah terdispersi serta pengangkutan butir-butir tanah oleh air yang mengalir dipermukaan tanah. Peranan tumbuhan yang hidup di atas permukaan tanah dapat memperbaiki kemampuan tanah untuk menyerap air dan memperkecil kekuatan perusak butir-butir hujan yang jatuh serta daya dispersi dan daya angkut aliran permukaan.