analisis perwujudan integrasi moneter pada masyarakat

advertisement
1
ANALISIS PERWUJUDAN INTEGRASI MONETER PADA
MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (MEA)
Dwi Condro Triono, Ph.D
[email protected]
Makalah ini dipresentasikan dalam International Conference on Islamic Economic Studies
(ICIES) di IAIN Surakarta, pada 21-22 Oktober 2014.
.
A.
PENDAHULUAN
Di era globalisasi ini, interaksi ekonomi internasional sangat diperlukan bagi setiap
negara, khususnya melalui perdagangan internasional. Dampak positif dari interaksi
perdagangan internasional yaitu dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui
peningkatan produktifitas faktor-faktor produksi, pemanfaatan ekonomi domestik dan juga
dapat menjadi media transfer teknologi antar negara (Todaro, 2000).
Faktor ekonomi yang sangat penting dalam memberi pengaruh terhadap
perdagangan internasional adalah adanya fluktuasi nilai tukar mata uang (kurs). Di
samping itu, faktor-faktor ekonomi lain yang juga berpengaruh adalah arah kebijakan di
bidang keuangan dan fiskal, iklim investasi, pertukar teknologi, tersedia infrastruktur
ekonomi, ketersediaan sumber daya alam, kualitas sumber daya manusia dsb. (Dornbusch,
Fischer & Startz, 1998).
Fluktuasi kurs akan berpengaruh terhadap kinerja neraca pembayaran (balance of
payment) internasional, disamping pengaruhnya terhadap variabel ekonomi makro lainnya.
Fluktuasi nilai kurs akan mempengaruhi intensitas dan volume perdagangan internasional,
karena pertukar nilai mata uang akan berpengaruh terhadap harga dan pada daya saing
produksi negara tersebut di pasaran internasional (Mishkin, 2001).
Nilai mata uang merupakan alat ukur yang penting dalam ekonomi. Penurunan dari
nilai riil mata uang akan mengakibatkan dampak yang buruk bagi ekonomi, sosial dan
kasusejahteraan masyarakat. Stabilitas nilai mata uang merupakan prioritas utama dalam
manajemen moneter. Stabilitas tersebut dapat dilihat dari stabilitas tingkat harga, karena
sangat berpengaruh terhadap realisasi pencapaian tujuan pembangunan ekonomi suatu
2
negara, seperti: pemenuhan keperluan dasar, distribusi pendapatan dan kekayaan, tingkat
pertumbuhan ekonomi riil, perluasan kesempatan kerja dan stabilitas ekonomi (Siregar,
2001).
Sejak standar emas berakhir, banyak pakar ekonomi (seperti Friedman 1951, 1960)
berpendapat bahwa rejim uang kertas (fiat money regime) yang diasaskan pada aturan
dasar yang ketat diprediksi akan menghasilkan inflasi yang rendah dan menjadi lebih baik
dibanding dengan rejim uang komoditi (mata uang emas). Namun, di tahun 1980
keyakinan tersebut telah diragukan. Inflasi yang tinggi dan bervariasi menjadi masalah
utama ekonomi yang berorientasikan ekonomi pasar (Bordo, Dittimar & Gavin 2003).
Bahkan, sejak standar emas diruntuhkan, peningkatan malapetaka ekonomi telah
menimpa sebagian besar pasar keuangan dunia. Bencana tersebut telah membawa
kehancuran kepada sepertiga perdagangan internasional. Diantara adalah tahun 1929 dan
1933, yang telah mengakibatkan depresi industri di negara Inggris pada tahun 1926 dan
menghancurkan pasar modal di Amerika Serikat pada tahun 1929. Malapetaka ekonomi
tersebut ternyata berlangsung terus hingga akhir abad 20. Rejim moneter ini telah
mengakibatkan terjadinya krisis peso di negara Mexico pada tahun 1991 dan krisis
ekonomi yang menimpa Asia pada tahun 1997 (Rosly & Barakat, 2002).
1. Integrasi Moneter Regional
Setelah rejim Bretton Woods dihentikan, pengendalian moneter internasional
banyak mengalami ketidakselarasan (asymmetric). Hal itu berlangsung hingga beberapa
tahun lamanya. Sebelum terjadinya krisis keuangan Asia 1997, belum banyak negara yang
secara serius untuk melakukan kerjasama moneter bagi kawasan tertentu. Namun setelah
krisis tahun 1997-1998, kemudian diikuti dengan keberhasilan penerbitan (launching) mata
uang Euro tahun 1999, telah memunculkan kesadaran baru tentang pentingnya menjaga
kestabilan nilai mata uang secara bersama di suatu kawasan tertentu untuk memastikan
berlangsungnya pertumbuhan ekonomi dan kestabilan sosial (Dellas & Tavlas 2005;
Huang & Guo, 2006).
Kemunculan mata uang Euro pada masa sekarang ini telah menjadi fenomena yang
menarik. Pada beberapa dekade setelah Perang Dunia II, Dollar AS memang telah menjadi
raja mata uang yang mempunyai andil (share) paling besar dalam produksi dunia (world
ouput) maupun perdagangan dunia. Hingga mencapai lebih dari 5 dekade, tidak ada
3
satupun rejim mata uang di dunia ini yang mampu menandinginya. Namun setelah Euro
muncul, ia telah berhasil menjadi mata uang global yang mempunyai andil besar terhadap
produksi dunia maupun perdagangan dunia yang makin kompetitif terhadap Dollar AS
(Dutta, 2005).
Kemunculan Euro sebagai mata uang bersama (common currency) di bawah satu
bank sentral, yaitu The European Central Bank (ECB) yang membawahi 12 negara,
kemudian bertambah menjadi 15 negara dan akhirnya meluas menjadi 25 negara, telah
menjadi inspirasi bagi kawasan-kawasan regional lain untuk mengembangkan integrasi
moneter regionalnya (Dutta, 2005).
Oleh karena itu, pada masa sekarang ini kecenderungan untuk melakukan proses
penyatuan moneter regional di berbagai kawasan dunia terus mengalami peningkatan.
Keinginan negara-negara yang berada di kawasan tertentu untuk melakukan proses
integrasi moneter umumnya dilandasi oleh konsep dasar (premise), bahwa manfaat yang
akan diperoleh dari integrasi tersebut akan lebih besar dibanding dengan kerugian yang
akan terjadi bagi masing-masing negara yang ada di kawasan tersebut (Sholihah & Saichu,
2007).
Bukti tentang adanya kesadaran tersebut ditandai dengan munculnya kelompokkelompok kerjasama ekonomi dan keuangan di beberapa kawasan, seperti ASEAN plus
Three (ASEAN, Jepun, Korea dan China), South Asian Association for Regional
Cooperation (SAARC), East African Community (EAC), Middle East and North African
(Mena), yang berusaha membentuk integrasi moneternya melalui rencana untuk
membentuk kesatuan mata uang untuk negara-negara di kawasan tersebut (Huang & Guo,
2006; Saxena, 2005; Buigut & Valev, 2005; Sahin, 2006).
Penyatuan ekonomi dan keuangan regional umumnya didasarkan kepada kedekatan
geografi, sejarah dan hubungan ekonomi antara negara di suatu kawasan tertentu. Tujuan
dari adanya integrasi tersebut adalah dalam rangka untuk meningkatkan pembangunan
ekonomi dan kesejahteraan di kawasan tersebut. Sedangkan peluasan integrasi ekonomi
dan keuangan ke dalam bidang moneter mempunyai tujuan yang lebih khusus, yaitu untuk
mencapai dan memelihara stabilitas keuangan dan nilai tukar mata uang, menjaga dan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang bekasusinambungan, serta mengurangi
ketergantungan pada institusi keuangan internasional (Kurniati, 2007).
McAleer & Nam (2005) berpendapat bahwa penyatuan moneter akan dapat
memperoleh manfaat yang besar. Mata uang tunggal akan dapat meningkatkan peranan
4
dari mata uang sebagai satuan hitung (a unit of account), akan menurunkan kerugian
transaksi dan akan mengurangi kerawanan terhadap krisis-krisis yang lain. Disamping itu,
bentuk mata uang tunggal juga akan menimbulkan kerugian, yaitu hilangnya kuasa
otonomi moneter suatu negara.
2. Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)
Para pempimpin negara-negara ASEAN pada pertemuan KTT ASEAN ke-13 yang
diselenggarakan pada bulan Nopember 2007 di Singapura, telah menyepakati lahirnya
cetak biru bagi terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau Asean Economy
Community (AEC). MEA adalah bentuk Integrasi Ekonomi ASEAN yang direncanakan
akan tercapai pada tahun 2015 (www.asean.org).
Sasaran utama dari diwujudkannya MEA adalah dalam rangka untuk menjaga
stabilitas politik dan keamanan regional ASEAN, meningkatkan daya saing kawasan
secara keseluruhan di pasar dunia, mendorong pertumbuhan ekonomi, mengurangi
kemiskinan, serta meningkatkan standar hidup penduduk
di negara-negara Anggota
ASEAN (www.asean.org).
Oleh karena itu, jika pada tahun 2015 pelaksanaan MEA dapat tercapai, maka di
kawasan ASEAN akan menjadi pasar tunggal dan berbasis produksi yang tunggal pula.
Konsekuensinya, di kawasan ASEAN berbagai arus barang, jasa, investasi, tenaga
terampil, dan arus modal akan dapat bergerak dengan bebas diantara negara-negara
ASEAN. Dengan demikian, terbentuknya pasar tunggal yang bebas tersebut akan terbuka
peluang bagi seluruh anggotanya untuk meningkatkan pangsa pasarnya di kawasan
ASEAN.
B. RUMUSAN MASALAH
Dengan terwujudnya kesepakatan MEA yang akan diterapkan secara penuh tahun
2015 bagi negara-negara di kawasan ASEAN, maka yang menjadi pertanyaan adalah:
apakah dengan adanya MEA tersebut, negara-negara di kawasan ASEAN juga
memerlukan dibentuknya integrasi moneter dalam wujud penyatuan mata uangnya? Jika
penyatuan mata uang tunggal bagi MEA itu diperlukan, maka yang menjadi permasalahan
berikutnya adalah: apakah negara-negara dalam MEA telah memenuhi persyaratan untuk
penyatukan mata uangnya secara serempak, ataukah penyatuan mata uang itu justru akan
5
menimbulkan dampak ekonomi yang buruk bagi negara-negara yang tergabung dalam
MEA? Permasalahan inilah yang hendak diteliti dalam penelitian ini.
C. BATASAN MASALAH
Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah untuk menganalisis
negara-negara ASEAN terpilih. Analisis yang akan dilakukan adalah untuk mengetahui
korelasi goncangan antara negara-negara ASEAN terpilih terhadap beberapa indikator
makroekonomi dengan menggunakan kriteria kawasan mata uang optimum atau optimum
currency area (OCA) dalam rentang waktu 1995 – 2014, yang meliputi:
1) Korelasi goncangan permintaan domestik.
2) Korelasi goncangan penawaran domestik.
3) Korelasi goncangan keuangan.
4) Korelasi goncangan penawaran dunia.
Korelasi antara negara-negara ASEAN dianggap simetri apabila bernilai positif.
Nilai positif tersebut menunjukkan bahwa negara-negara tersebut layak untuk menyatukan
mata uangnya.
D. TUJUAN PENELITIAN
Sehubungan dengan permasalahan yang telah diuraikan di atas, secara umum
penelitian ini adalah untuk menilai kasusesuaian penggunaan mata uang tunggal di
kalangan negara-negara ASEAN terpilih dalam rangka untuk mendukung pelaksanaan
MEA. Selain itu, tujuan khusus penelitian ini adalah untuk:
a. Untuk menganalisis apakah penggunaan mata uang tunggal bagi negara-negara
ASEAN akan berjalan secara optimum atau tidak?
b. Untuk mengetahui apa upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh negara-negara ASEAN
apabila penyatuan mata uang tersebut tidak memberikan hasil yang optimum.
6
E.
MANFAAT PENELITIAN
a. Penelitian ini diharapkan akan memberikan sumbangan pada pembentukan teori
moneter, terutama yang berkaitan dengan teori kawasan mata uang optimum (optimum
currency area).
b. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan partimbangan bagi negara-negara ASEAN
dalam mewujudkan sistem mata uang tunggalnya dalam wadah MEA.
F. TINJAUAN PUSTAKA
Kawasan Mata Uang Optimum atau OCA (Optimum Currency Area) didefinisikan
sebagai satu kawasan geografi yang memiliki satu mata uang atau beberapa mata uang
dengan nilai tukar yang tetap. Satu mata uang ini atau mata uang yang ditambat akan
berubah hanya apabila negara-negara anggota setuju dalam suatu persetujuan.
Sejarah awal teori Kawasan Mata uang Optimum (OCA) pertama disumbangkan
oleh Mundell pada tahun 1961 melalui artikelnya yang berjudul “The Theory of Optimum
Currency Areas”. Untuk memahami teori OCA, Mundell (1961) telah memberikan uraian
yang sederhana. Dalam teori ini diasumsikan ada 2 negara, yaitu A dan B. Kedua negara
menghasilkan sebuah barang yang sama. Selanjutnya terjadi pergerakan permintaan yang
disebabkan oleh perubahan dalam pilihan dari barang yang dihasilkan oleh negara A
kepada barang yang dihasilkan oleh negara B (ini adalah contoh goncangan yang tidak
simetris/an asymetric shock). Keadaan itu akan menurunkan permintaan barang di negara
A, meningkatkan pengangguran dan menyebabkan perdagangan menjadi tidak seimbang.
Sedangkan di negara B inflasinya meningkat (lihat gambar 2.1). Dalam situasi yang
demikian, kebijakan moneter bersama (a common monetary policy) tidak dapat mengatasi
kedua masalah ekonomi tersebut dalam masa yang sama.
7
Negara A
Negara B
P
P*
S
S
2
1
1
2
D’
D
D
D’
Q
Q*
Gambar 1. Goncangan tidak Simetris Negara A dan Negara B
Kebijakan moneter yang yang ketat (restrictive monetary policy) (akan menaikkan
kurva S) kemungkinan dapat menurunkan inflasi di negara B, akan tetapi hanya akan
memperburuk masalah pengangguran di negara A. Sedangkan kebijakan moneter yang
mengembang (menurunkan kurva S), akan menurunkan pengangguran di negara A, tetapi
akan memperburuk inflasi di negara B.
Ketidakseimbangan
yang
disebabkan
oleh
goncangan
selanjutnya
akan
memerlukan perubahan dalam harga relatif untuk memperbaiki keseimbangan sebelumnya.
Jika dua negara mempunyai mata uang yang berbeda, ia akan dapat diatasi dengan
mengubah nilai tukar mata uangnya, seperti dengan mendevaluasi mata uang negara A
terhadap mata uang negara B. Negara A kemudian akan memperbaiki posisi daya saingnya
melalui upah dan harga-harga riil yang lebih rendah (walaupun upah dan harga-harga
nominalnya masih tetap). Permintaan akan meningkat (kurva D naik) dan pengangguran
akan turun.
Oleh karena itu, jika kedua negara mempunyai mata uang bersama (menetapkan
nilai tukar yang tetap), produksi dan ketenagakerjaan di negara A mesti diperbaiki melalui
alat yang lain. Sebagai contoh adalah:
1. Menurunkan upah dan harga-harga nominalnya.
2. Menggerakkan kurva penawaran ke atas (kurva S naik, lihat Gambar 2.2). Misalnya
dengan produksi-rumah yang baik, memindahkan buruh ke luar negara.
8
Negara A
P
S’
S
3
1
2
D
D’
Q
Gambar 2. Gerakan Kurva Penawaran Negara A
3.
Menggunakan kebijakan fiskal yang mengembang.
Setelah kita memahami beberapa analisis di atas, Mundell selanjutnya memberikan
saran:
1) Jika dampak dari goncangan pada kawasan-kawasan tertentu adalah sama atau simetris,
maka nilai tukar tetap atau penyatuan mata uang adalah lebih sesuai.
2) Jika dampak dari goncangan adalah tidak simetris, maka pergerakan buruh yang tinggi
(high labor mobility) dan upah yang fleksibel (wage flexibility) adalah menjadi prasarat
yang utama.
Lebih lanjut Kenen (1969) memberikan tambahan yang mengarah kepada tingkat
diversifikasi produk yang tinggi (a high degree of product diversification). Jika ada lebih
dari sesebuah kelompok dari negara-negara atau kawasan yang mengkhususkan di dalam
produksi barang-barang tertentu, maka terjadinya goncangan eksternal akan menyebabkan
terjadinya efek yang bersifat tidak simetri (asymmetric effects). Oleh karena itu, bagianbagian yang berbeda dari kawasan mata uang itu perlu untuk menghasilkan barang
campuran yang serupa (a similar mix of goods).
Kennen mengasumsikan bahwa perubahan yang tidak disebabkan jatuhnyanya siklus
perniagaan (business cycle) dalam permintaan (misalnya melalui suatu proses yang relatif
acak), maka ekonomi yang memiliki keragaman yang baik akan kurang memerlukan
pertolongan terhadap adanya perubahan nilai tukar untuk memelihara stabilitas internalnya.
Lebih lanjut menurut Kennen, di dalam ekonomi yang memiliki keragaman yang baik,
9
pengangguran tidak akan banyak dipengaruhi oleh perubahan permintaan ekspor
sebagaimana yang terjadi dalam produk ekonomi tunggal, termasuk juga terjadinya
perubahan relatif dalam investasi.
Tambahan kriteria yang utama menurut McKinnon (1963) adalah tingkat
keterbukaan dari ekonominya (the degree of openess in an economics). Menurut
McKinnon, keterbukaan ekonomi dapat dihitung dengan menggunakan perbandingan
(ratio) antara barang yang diperdagangkan berbanding dengan total barang domestik.
Menurut McKinnon, apabila perbandingan tersebut bernilai tinggi, maka
penggunaan nilai tukar yang mengambang relatif tidak efektif, karena perubahan dalam
nilai tukar akan menyebabkan tidak stabilnya tingkat harga internal (internal price level)
dan hanya akan memperoleh sedikit manfaat dari upah benar (real wages) atau syaratsyarat perdagangan (terms of trade). Oleh karena itu, negara yang perdagangan barangnya
tinggi, hasil dari total keluaran domestik (total domestic output) akan lebih menguntungkan
dalam kawasan mata uang tunggal, dibanding dengan menggunakan nilai tukar
mengambang.
McKinnon berpendapat bahwa tingkat keterbukaan yang tinggi juga akan
menurunkan secara efektif dari kebijakan moneter yang otonom dan membatasi kegunaan
perubahan nilai tukar sebagai alat perbaikan yang kompetitif. Hal itu dapat difahami
karena devaluasi yang cepat akan dapat menjatuhkan harga-harga domestik.
Kajian yang bersifat empiris terhadap terhadap teori OCA sudah banyak dilakukan.
Bayoumi dan Eichengreen (1992) telah mengidentifikasi sifat simetri dari goncangan
struktural dasar (underlying structural shocks) dengan menggunakan metode analisis
vector autoregression (VAR) yang dikembangkan dari metode yang telah digunakan oleh
Blanchard dan Quah (1989). Mereka mengukur pengaruh dari goncangan permintaan dan
penawaran yang bersifat tidak simetris (asymetric demand and supply shocks) terhadap
negara-negara anggota Masyarakat Eropa (European Community) dengan membandingkan
terhadap yang sedang terjadi di Amerika Serikat.
Rose (2000), Frankel dan Rose (2000) telah menguji terhadap kesatuan moneter
(monetary union) terhadap faedah yang akan diperoleh terhadap perdagangan. Dengan
menggunakan kajian cross-sectional, ditunjukkan bahwa dua negara yang menggunakan
mata uang yang sama dalam perdagangannya akan mendapatkan tiga kali lebih banyak
dibanding dengan jika mengguna mata uang yang berbeda.
10
Glick dan Rose (2002) melakukan kajian empiris dengan menggunakan time-series
cross-sectional. Data yang digunakan adalah data panel tahunan yang mencakup 217
negara dari tahun 1948 sampai 1997. Hasilnya menunjukkan bahwa perdagangan dua
negara akan meningkat hingga sekitar 100% jika menggunakan mata uang tunggal
(currency union), sebaliknya perdagangannya akan jatuh hingga 100% jika tidak
menggunakan mata uang tunggal, ceteris paribus.
Rose dan Engel (2002) juga telah melakukan penyelidikan dan menemukan bahwa
negara-negara anggota di dalam kesatuan mata uang tunggal internasional (international
currency unions) perdagangannya akan cenderung mengalami peningkatan, sedangkan
volatiliti nilai tukaran mata uangnya (exchange rates) akan cenderung mengalami
penurunan.
Yeyati (2003) melakukan penyelidikan terhadap dampak dari kesatuan mata uang
(common currency) terhadap perdagangan bilateral. Metode yang digunakan adalah gravity
model dari Rose (2000). Yeyati menemukan bahwa ada habungan antara kesatuan mata
uang dengan aliran perdagangan bilateral yang lebih kuat secara signifikan untuk kesatuan
mata uang yang berpasangan (common currency pairs).
Kajian terhadap usulan pembentukan kawasan mata uang tunggal (OCA) bagi
negara-negara yang berada dalam kawasan atau region tertentu juga sudah banyak
dilakukan. Ling (2001) telah melakukan pengujian yang bersifat empiris terhadap
kasusesuaian ekonomi Asia Timur bagi persiapan penyatuan moneter secara regional.
Kajian ini berasaskan kepada kasuselarasan mereka terhadap gangguan makroekonomi
(symmetry in macroeconomic disturbance), sebagai salah satu syarat prakondisi dari
kelayakan OCA. Pengujian yang dilakukan adalah menggunakan structural vector
autoregression (SVAR) untuk mengidentifikasi terjadinya goncangan. Hasil kajian
menunjukkan bahwa beberapa kelompok yang terseleksi dari kawasan Asia Timur
berpotensi untuk melakukan integrasi meneternya.
Zhang, Sato & McAleer (2004) telah melakukan penyelidikan secara empiris
terhadap kelayakan OCA pada kawasan Asia, khususnya Asia Timur dengan menguji
terhadap sifat simetri dari goncangan struktural dasar (the symmetry of underlying
structural shocks). Metode analisisnya menggunakan Structural Vector Autoregression
(SVAR) untuk mengidentifikasi goncangan dasar dan menguji korelasi goncangan pada
sampel periode spesifik.
Dekomposisi dari varian goncangan (decomposition of the
variance of shocks) dan analisis impulse response juga digunakan untuk menguji ukuran
11
dan kecepatan penyesuaian terhadap goncangan (the size and the speed of adjustments to
shocks). Hasilnya menunjukkan bahwa pada beberapa sub-kawasan mempunyai potensi
bagi pembentukan OCA, karena goncangannya berkorelasi dan kecil, demikian juga
ekonominya memiliki kecepatan penyesuaian terhadap goncangan.
Buigut dan Valev (2005) juga telah melakukan penyelidikan secara empiris
terhadap pembentukan kesatuan moneter (monetary union) bagi negara-negara kawasan
Afrika Timur (East African (EA)). Metode analisisnya menggunakan Structural Vector
Autoregression (SVAR), untuk menguji terhadap sifat simetri dari goncangan struktural
dasar (the symmetry of underlying structural shocks). Hasilnya mengindikasikan bahwa
goncangan terhadap permintaan dan penawaran (demand and supply shocks) bagi kawasan
tersebut secara umum adalah tidak simetris, sehingga tidak memberi sokongan yang cukup
kuat bagi pembentukan kesatuan mata uang pada saat itu. Oleh karena itu, pengintegrasian
ekonomi lebih lanjut mungkin akan dapat mendorong kearah kondisi yang lebih baik bagi
kesatuan moneter.
Saxena (2005) telah menguji usulan bagi pembentukan mata uang tunggal (common
currency) bagi tujuh negara yang berada dalam kawasan Asia Selatan (South Asia).
Metoda analisis yang digunakan adalah Structural Vector Autoregression (SVAR).
Hasilnya menunjukkan bahwa 7 negara yang di kawasan tersebut memenuhi kriteria OCA.
Kajian empiris yang dilakukan menunjukkan bahwa terdapat unsur-unsur yang positif,
seperti adanya goncangan yang positif (positive shocks) pada ekonomi utama dari negara
seperti India, Pakistan dan Sri Lanka. Kajian ini juga menyimpulkan bahwa faedah dari
mata uang tunggal akan bertambah jika ada jaminan perdamaian bagi integrasi ekonomi
antara India dan Pakistan.
Bystrom, Olofsdotter & Soderstrom (2005) telah melakukan penyelidikan untuk
melihat perbedaan berbagai kawasan di Cina dengan menggunakan kerangka OCA. Data
yang diguna untuk pengujian adalah GDP, perdagangan, inflasi dan estimasi regional dari
tahun 1991-2001. Hasil yang diperoleh menyatakan bahwa negara Cina memenuhi kriteria
OCA dibanding dengan kawasan mata uang Yuan sebelumnya.
Karras (2005) telah melakukan mengujian kos dan faedah makroekonomi untuk
mengadopsi mata uang Yen sebagai mata uang tunggal (common currency) bagi 18 negara
di Asia dan Pasifik. Hasilnya menunjukkan, negara seperti Banglades dan Nepal akan
mempunyai banyak faedah dengan mengadopsi Yen, tetapi juga akan banyak mengalami
kerugian. Sedangkan Singapura, Thailand dan Taiwan akan mendapatkan sedikit faedah
12
dan sedikit pula kerugiannya. Pengujian secara individual juga dilakukan, dengan hasil
Korea menjadi negara kandidat untuk mengadopsi Yen dibandingkan dengan Pakistan dan
Malaysia.
Sahin (2006) telah melakukan penyelidikan tentang kemungkinan pembentukan
kawasan mata uang tunggal untuk kawasan negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara
(Middle East and North Africa (MENA)) dengan menggunakan kriteria OCA. Pengujian
yang dilakukan dengan menggunakan dua pendekatan utama, yaitu: pendekatan
tradisional, ia digunakan untuk memilih ukuran-ukuran yang rumit dalam menggambarkan
daerah-daerah yang sesuai; dan pendekatan kos faedah. Analisis untuk melihat
kemungkinan bagi pembentukan lebih dari satu kawasan mata uang juga dilakukan.
Hasilnya menunjukkan bahwa pembentukan lebih dari satu kawasan mata uang (menjadi 2
atau 3) adalah lebih berfaedah.
Huang dan Guo (2006) telah melakukan penyelidikan untuk melihat kelayakan
dalam menciptakan kesatuan mata uang (currency union) di kawasan Asia Timur dengan
menggunakan metode Multivariate Structural Vector Autoregression (SVAR). Mereka
mengidentifikasi
berbagai
jenis
goncangan
pada
9
negara
Asia
Timur
dan
membandingkannya dengan 9 negara dari Kesatuan Moneter Eropa (European Monetary
Union) sebagai benchmarks. Dari analisis gangguan struktural (structural disturbances)
menunjukkan faedah yang akan diperoleh negara-negara seperti: Hong Kong, Indonesia,
Korea, Malaysia, Singapura dan Thailand, sehingga dapat menjadi negara-negara yang
akan mempelopori dalam menguasakan dan mengembangkan zon kesatuan mata uang
(common currency zone).
G. METODOLOGI
Kajian ini menggunakan analisis model Structural Vector Autoregression (SVAR)
untuk menilai kesimetrian makroekonomi dari kalangan negara-negara ASEAN yang
terpilih.
1. Permodelan
Permodelan yang diguna dalam makalah ini adalah merujuk pada model yang
dikembangkan oleh Huang & Guo. Dalam kajiannya, Huang & Guo menggunakan 4
goncangan, yaitu goncangan global eksternal (external global shock), disamping tiga
goncangan domestik (domestic shock) yang telah ada pada model sebelumnya. Tiga
goncangan domestik tersebut yaitu: goncangan permintaan domestik (a domestic demand
13
shock), goncangan penawaran domestik (a domestic supply shock) dan goncangan moneter
(a monetary shock) yang ketiga-tiganya diasumsikan akan berpengaruh terhadap ekonomi.
Sebagaimana model SVAR Huang & Guo, maka di dalam makalah ini juga dibuat
persamaan model SVAR dengan model 4 goncangan, yaitu dengan menggunakan 4
variabel sebagai berikut:
n
n
n
n
i=1
i=1
i=1
i=1
n
n
yt* = β01 + ∑ βi1y*t-i + ∑ αi1yt-i + ∑πi1et-i + ∑ θi1pt-i + ε1t
n
n
yt = β02 + ∑ βi2yt-i + ∑ αi2y t-i + ∑πi2et-i + ∑ θi2pt-i + ε2t
*
i=1
i=1
i=1
n
n
n
i=1
i=1
i=1
n
et = β03 + ∑ βi3et-i + ∑ αi3y*t-i + ∑πi3yt-i + ∑ θi3pt-i + ε3t
n
i=1
i=1
n
n
i=1
i=1
n
pt = β04 + ∑ βi4pt-i + ∑ αi4y*t-i + ∑πi4yt-i + ∑ θi4et-i + ε4t
i=1
i=1
Dimana:
yt* = Produk Domestik Bruto Dunia Riil (world real GDP)
yt = Produk Domestik Bruto (GDP)
et = Nilai Tukar Uang Riil (real exchange rate)
pt = Tingkat Harga Domestik (domestic price level)
εt = Variabel Residual (residual variable)
Menurut Huang & Guo, penambahan variabel goncangan global eksternal ke dalam
model SVAR akan membuat berlakunya struktur ekonomi yang berorientasi kepada ekspor
lebih menarik untuk diteliti. Variabel goncangan moneter juga dapat menjadi sumber
perhitungan yang penting untuk melihat bagaimana ekonomi kawasan dalam merespon
terhadap terjadinya perubahan dalam nilai tukar riil yang efektif (real effective exchange
rate). Pengiraan tersebut sangat berguna bagi pengkajian kebijakan nilai tukar yang
optimum. Hal itu dikarenakan, jika terjadinya perubahan nilai tukar riil efektif sangat
berpengaruh terhadap terjadinya perubahan pendapatan maupun harga, maka ia dapat
diartikan sebagai keperluan bagi adanya kebijakan untuk menstabilkan nilai tukar riil. Oleh
karena itu, adanya korelasi yang positif dari goncangan moneter berarti akan memperkuat
kasus bagi diwujudkannya kesatuan moneter.
14
Dengan merujuk pada rerata bergerak struktural (structural moving average/MA),
representasi dari model di atas adalah:
∞
Xt = Aoεt + A1εt-1 + A1εt-2 + … = ∑Ai εt-i
i=0
(1)
Dalam bentuk matrik adalah:
Xt = A(L)εt
(2)
Dimana Xt = [ ∆yt*, ∆yt, ∆et, ∆pt ]', yang terdiri dari GDP dunia riil (y*), GDP
domestik riil (y), nilai tukar riil (e) dan tingkat harga domestik (p). Seluruhnya dalam log
bentuk turunan (log-difference forms). A adalah matrik 4 X 4 yang menjelaskan impulse
responses dari variabel endogenus pada goncangan struktural. εt = [ εts*, εts, εtd, εtm ]' terdiri
dari goncangan penawaran dunia (εts*), goncangan penawaran domestik (εts), goncangan
permintaan domestik (εtd) dan goncangan moneter (εtm). Seluruhnya diasumsikan tidak
berkorelasi secara serial dan orthonormal, dengan matrik varian-covarian yang normal
untuk identitas matrik. Merujuki prosedur yang telah diusulkan, kita menurunkan
(decompose) GDP dunia riil, GDP domestik riil, nilai tukar dan inflasi, karena mereka
adalah kombinasi dari empat jenis goncangan. Secara khusus, sistem persamaannya dapat
ditulis sebagai berikut:
∆yt* = A11(L)εt*
(3)
∆yt = A21(L)εts* + A22(L)εts + A23(L)εtd + A24(L)εtm
s*
s
(4)
m
(5)
∆pt = A41(L)εts* + A42(L)εts + A43(L)εtd + A44(L)εtm
(6)
∆et = A31(L)εt + A32(L)εt +
A33(L)εtd
+ A34(L)εt
Istilah dari produk dunia (world output) adalah mempertimbangkan pada
pengembangan yang eksogenus sebagaimana ditunjukkan dalam persamaan (3). Variabel
domestik dipengaruhi oleh goncangan eksternal maupun domestik. Mengamati dampak
dari goncangan domestik pada variabel domestik, kita merujuki asumsi:
1. Goncangan moneter εtm ditempatkan tidak mempunyai dampak jangka panjang
pada nilai tukar efektif. Oleh karena itu,
∞
∑A34i = 0
i=0
(7)
15
2. Goncangan penawaran domestik εts, mempunyai dampak jangka panjang terhadap
tingkatan produk (output levels), tetapi baik goncangan moneter εtm maupun
goncangan permintaan εtd tidak mempunyai dampak jangka panjang terhadap
produk domestik.
∞
∞
∞
∑A22i ≠ 0, ∑A23i = 0, ∑A24i = 0
i=0
i=0
(8)
i=0
Selanjutnya, kita dapat menulis kembali sistem tersebut sebagai berikut:
∆yt*
∆yt
A11(L)
=
0
A21(L) A22(L)
∆et
0
0
0
0
A31(L) A32(L) A33(L)
∆pt
0
A41(L) A42(L) A43(L) A44(L)
εt*
εts
(9)
εtd
εtm
Kita tidak secara langsung mendapatkan kembali (recover) estimasi dari model MA
struktural persamaan (1). Sebaliknya kita mengestimasikan model bentuk turunan VAR
untuk mengamati variabel-variabelnya. Di dalam model VAR yang telah dimodifikasi,
variabel eksternal merujuki proses autoregresif (AR), semetara itu tiga variabel domestik
telah dimodelkan sebagai fungsi dari lat-nya dan lat-lat dari variabel eksternalnya.
n
∆yt = τ + ∑ Γi ∆y*t-1 + μt1
*
(10)
i=1
n
Xt = τ + ∑ Γi Xt-i +
i=1
n
∑Ωi∆y*t-i
+ μt
(11)
i=1
Dimana Xt = [∆yt, ∆et, ∆pt]', Γi dan Ωi adalah koefisien matrik. Disini μt1 dan μt =
[μt2, μt3, μt4]' adalah turunan residual (atau residual yang diamati) dan ia adalah
percampuran inovasi struktural, εt = [ εts*, εts, εtd, εtm ]'. Selama variabel-variabel itu adalah
stasioner,
untuk memperoleh hubungan antara inovasi bentuk turunan pada variabel
domestik dan kesesuaian goncangan struktural, kita dapat menuliskan persamaan (11)
sebagai representasi MA dalam bentuk:
16
n
Xt = θ + ∑Gi μt-1
(12)
i=1
Dimana,
n
n
θ = ( I - ∑ Γi ) (τ + ∑Ωi∆y*t-i )
-1
i=1
(13)
i=1
Gi disebut dengan impulse response dan diperoleh dari:
∞
n
∑GjLj = ( I - ∑ Γi Li )-1
j=0
(14)
i=1
Untuk mendapatkan kembali (recovering) goncangan struktural memerlukan
dekomposisi khusus (a special decompotition) dari inovasi bentuk turunan (innovations
reduced-form), yang diperoleh dengan estimasi OLS dari persamaan (11). Karena G0μt = A0
εt dan G0 = I ( sebagai identitas matrik), bahwa μt = A0 εt. Itu merepresentasikan sistem dari
16 persamaan. Sesuai dengan asumsi bahwa goncangan struktural εt = [ εts*, εts, εtd, εtm ]'
adalah tidak berkorelasi secara serial dan orthonormal, kita dapat memperoleh Ф = E[μt μt']
= A0A'0. Bersama dengan tambahan enam ristriksi di atas dalam jangka panjang, ia
mengimplikasikan bahwa A(L) adalah unique Choleski lower triangle. Selanjutnya, ia telah
cukup untuk mengidentifikasi struktural matrik Ai dan goncangan struktural siri masa εt = [
εts*, εts, εtd, εtm ]' dengan menggunakan εt = A0-1 μt. Dengan lain perkataan, goncangan
struktural dapat diperoleh kembali (recovered) sebagai kombinasi linier dari inovasi bentuk
turunan (innovations reduced-form).
2. Data-data
Kajian ini menggunakan data sekunder, yaitu diambil dari International Financial
Statistics (IFS) yang diperoleh dari situs: http://www.imf.org. Data tersebut meliputi:
produk domestik bruto dunia riil (world real GDP), produk domestik bruto (GDP), indeks
harga konsumen (CPI) dan nilai pertukaran (ROE), yang mencakup data runtut waktu (time
series) selama 19 tahun yaitu bermula dari tahun 1995 sehingga tahun 2013. Kesemua data
variabel tersebut diambil dari data tahunan.
17
H. HASIL ESTIMASI (ANALISIS OCA)
Kajian ini mengestimasi struktur goncangan dan juga bagaimana goncangan
tersebut akan memberikan pengaruh pada variabel makro ekonomi melalui model struktur
VAR. Hasil empiris dalam penelitian ini diolah dengan menggunakan perangkat lunak
(software) JMulTi dan E-Views 7.
Semua variabel yang dianalisis adalah dalam bentuk logaritma, yang bertujuan
untuk menghindari terjadinya kesalahan spesifikasi dan kesalahan bentuk fungsi hubungan
antara kedua variabel dalam model.
Salah satu cara yang penting dalam menilai kasusesuaian dari tingat kesimetrian
suatu goncangan di antara negara-negara yang terpilih bagi membentuk satu kawasan mata
uang adalah dengan menghitung korelasi gangguan (error term) yang teridentifikasi
dengan pasti. Bagi kajian ini, empat jenis goncangan telah diestimasikan yaitu goncangan
permintaan domestik, goncangan penawaran, goncangan keuangan dan goncangan
penawaran dunia.
Dalam menentukan apakah struktur goncangan itu berkorelasi simetri ataukah
tidak, asumsi yang digunakan dan diakui oleh beberapa kajian yang terdahulu adalah jika
korelasi gangguan bernilai positif, maka goncangan tersebut dikategorikan sebagai
bersimetri. Sebaliknya jika korelasi goncangan bernilai negatif atau secara statistik kurang
dari nol, maka goncangan dikategorikan sebagai tidak bersimetri.
1. Korelasi pada Goncangan Permintaan Domestik
Perbincangan akan diawali dengan goncangan permintaan domestik. Berdasarkan
Tabel 1 di bawah ini menunjukkan korelasi goncangan permintaan domestik di antara 6
negara-negara ASEAN yang telah dipilih dengan menggunakan sampel sebanyak 19, yaitu
bermula dari tahun 1995 hingga tahun 2013.
Berdasarkan Tabel 1 di bawah ini, tidak semua negara-negara ASEAN terpilih
mempunyai korelasi yang positif. Ada beberapa negara yang justru memiliki korelasi yang
negatif. Hal itu menunjukkan bahwa negara-negara ASEAN yang telah diuji tidak
seluruhnya mempunyai struktur ekonomi yang bersimetri terhadap perubahan-perubahan
ekonomi, khususnya adalah perubahan atas permintaan domestik.
18
Tabel 1. Korelasi Goncangan Permintaan Domestik (CPI)
BRUNAI IND
MLY
SING
THAI
PHILP
BRUNAI
1 0.64438 -0.2182 0.043515 -0.31595 0.02342
IND
0.64438
1 0.28744 0.018969 -0.07942 -0.56329
MLY
-0.2182 0.28744
1 -0.17125 -0.0409 -0.38563
SING
0.043515 0.018969 -0.17125
1 -0.18943 0.45634
THAI
-0.31595 -0.07942 -0.0409 -0.18943
1 0.24312
PHILP
0.02342 -0.56329 -0.38563 0.45634 0.24312
1
Namun demikian, ada beberapa negara yang mempunyai korelasi positif yang
tinggi. Korelasi positif paling tinggi yang dicapai adalah diantara Indonesia dengan Brunai
yang mempunyai nilai 0.64438, diikuti oleh Philipina dengan Singapura yaitu 0.45634.
Korelasi tartinggi ketiga adalah antara Indonesia dan Malaysia yaitu 0.28744. Sedangkan
korelasi yang paling rendah adalah diantara Indonesia dan Philipina yaitu hanya -0.56329.
Selanjutnya adalah Philipina dan Malaysia yaitu -0.38563 dan Thailand dengan Brunai
yaitu -0.31595.
2. Korelasi pada Goncangan Penawaran (GDP)
Tabel 2 di bawah ini menunjukkan korelasi goncangan penawaran. Sebagaimana
korelasi pada goncangan permintaan di atas, maka korelasi penawaran di antara negaranegara ASEAN terpilih juga tidak semuanya menunjukkan nilai yang positif. Dalam
korelasi goncangan penawaran ini, justru korelasi yang negatif lebih banyak dijumpai di
antara negara-negara ASEAN yang telah diuji.
Tabel 2: Korelasi Goncangan Penawaran
BRUNAI IND
MLY
SING
THAI
PHILP
BRUNAI
1 0.09818 0.28611
-0.1324 -0.42351 -0.03524
IND
0.09818
1 0.222311
-0.0914 0.010173 -0.54132
MLY
0.28611 0.222311
1 -0.10868 -0.02425 -0.02313
SING
-0.1324
-0.0914 -0.10868
1 0.345574 0.23513
THAI
-0.42351 0.010173 -0.02425 0.345574
1 0.24531
PHILP
-0.03524 -0.54132 -0.02313 0.23513 0.24531
1
Korelasi positif yang paling tinggi adalah di antara Thailand dan Malaysia, yang
bernilai 0.345574. Selanjutnya adalah korelasi antara Brunai dan Malaysia dengan nilai
0.28611 dan Philipina dan Thailand 0.24531. Sedangkan korelasi yang paling rendah
adalah Philipina dan Indonesia dengan nilai -0.54132. Korelasi yang rendah berikutnya
19
adalah Thailand dan Brunai dengan nilai -0.42351, kemudian Malaysia dan Singapura
dengan nilai -0.10868.
3. Korelasi Goncangan Keuangan (ROE)
Tabel 3 di bawah ini menunjukkan korelasi goncangan keuangan. Dalam korelasi
goncangan keuangan bagi negara-negara ASEAN ini, korelasi tartinggi dalam goncangan
keuangan adalah antara Malaysia dan Brunai yaitu bernilai 0.32855. Seterusnya diikuti
oleh Thailand dan Singapura yang bernilai 0.308726, kemudian Philipina dan Singapura,
yaitu 0.25432. Korelasi paling rendah adalah diantara Thailand dan Malaysia yang bernilai
-0.09878. Seterusnya diikuti oleh Indonesia dan Philipina yang bernilai -0.05643.
Tabel 3 : Korelasi Goncangan Keuangan
BRUNAI IND
MLY
SING
THAI
PHILP
BRUNAI
1 -0.06961 0.32855 -0.03241 -0.04324 -0.05436
IND
-0.06961
1 -0.12398 -0.03485 0.143982 -0.05643
MLY
0.32855 -0.12398
1 0.052473 -0.09878 -0.02312
SING
-0.03241 -0.03485 0.052473
1 0.308726 0.25432
THAI
-0.04324 0.143982 -0.09878 0.308726
1 0.06431
PHILP
-0.05436 -0.05643 -0.02312 0.25432 0.06431
1
Nilai korelasi positif yang tinggi dari tabel 3 di atas, misalnya di antara Malaysia
dan Brunai, menunjukkan bahwa kedua negara tersebut mempunyai nilai tukar (kurs) mata
uang
yang relatif sama. Demikian halnya, kedua negara juga mempunyai kebijakan
moneter yang relatif sama. Oleh karena itu, negara-negara tersebut akan mempunyai
dampak yang bersimetri terhadap adanya goncangan keuangan. Hal yang sebaliknya
berlaku bagi negara yang mempunyai korelasi negatif.
4. Korelasi Goncangan Eksternal Dunia (World GDP)
Tabel 4 di bawah ini menunjukkan korelasi goncangan eksternal dunia. Dalam
korelasi goncangan eksternal dunia bagi negara-negara ASEAN ini, masih tetap sama
dengan 3 korelasi goncangan yang sebelumnya. Pada korelasi goncangan eksternal dunia
ini tidak semua negara ASEAN yang diujikan, mempunyai nilai korelasi yang positif.
Walaupun pada negara-negara yang berkorelasi negatif, nilainya relatif rendah.
20
Tabel 4: Korelasi Goncangan Eksternal Dunia
BRUNAI IND
BRUNAI
1 0.69672
IND
0.69672
1
MLY
0.75887 0.115182
SING
-0.07453 0.018652
THAI
-0.40726 0.09735
PHILP
-0.06435 -0.05427
MLY
0.75887
0.115182
1
0.693927
0.544775
-0.03245
SING
THAI
PHILP
-0.07453 -0.40726 -0.06435
0.018652 0.09735 -0.05427
0.693927 0.544775 -0.03245
1 0.484885
0.06523
0.484885
1
0.01523
0.06523 0.01523
1
Korelasi tertinggi dalam goncangan eksternal dunia ini adalah antara Malaysia dan
Brunai yaitu bernilai 0.75887. Seterusnya diikuti oleh Brunai dan Indonesia dengan nilai
0.69672 dan Singapura dan Malaysia yang bernilai 0.693927. Korelasi paling rendah
adalah diantara Thailand dan Brunai yang bernilai -0.40726. Seterusnya diikuti oleh
Singapura dan Brunai yang bernilai -0.07453.
Nilai korelasi yang tidak semuanya positif tersebut mengindikasikan bahwa negaranegara ASEAN masih belum layak untuk menyatukan mata uangnya, kecuali jika
hubungan ekonomi antara negara-negara ASEAN lebih dipertingkatkan lagi. Peningkatan
hubungan ekonomi tersebut misalnya melalui kerjasama perdagangan, industri, investasi,
perburuhan dsb.
I.
PEMBAHASAN
Melihat hasil pengujian korelasi goncangan indikator makro ekonomi dari 6 negara
ASEAN yang diuji, diperoleh fakta bahwa tidak seluruh negara mempunyai korelasi yang
positif. Adanya korelasi yang negatif tersebut menunjukkan bahwa negara-negara yang
tergabung dalam ASEAN ini belum memiliki struktur ekonomi yang bersimetri terhadap
terjadinya goncangan ekonomi.
Oleh karena itu, apabila penyatuan mata uang tetap diberlakukan, maka akan
memberikan pengaruh yang tidak sama bagi negara-negara anggotanya. Ada sebagian
negara yang memperoleh faedah yang tinggi, namun ada sebagian negara lain yang justru
akan mengalami kerugian secara ekonomi. Hal itu dapat difahami dengan merujuk pada
teori OCA sebagaimana telah diuraikan di atas.
Oleh karena itu, apabila negara-negara ASEAN tetap ingin penyatukan mata
uangnya, maka ada beberapa persyaratan dari kriteria OCA yang harus diwujudkan
terlebih dahulu, yaitu:
21
1) Merujuk pada pendapat Mundell (1961), apabila terjadi goncangan yang tidak yang
tidak simetris, maka negara-negara tersebut disyaratkan memiliki pergerakan buruh
yang tinggi (high labor mobility) dan upah buruh yang fleksibel (wage flexibility).
2) Alesina dan Barro (2002) memiliki pendapat yang tidak berbeda dengan Mundell,
yaitu menghilangkan segala wujud hambatan-hambatan perdagangan antar negara
dalam kawasan, seperti hambatan tarif dan kuota, hambatan arus lalu-lintas keuangan
dan modal, maupun hambatan terhadap lalu-lintas buruh antar negara.
3) Pendapat McKinnon (1963) juga tidak berbeda dengan pendapat sebelumnya, yaitu
negara-negara dalam kawasan tersebut mesti memiliki tingkat keterbukaan ekonomi
(the degree of openess in an economics) yang semakin tinggi.
4) Kenen (1969) berpendapat bahwa goncangan yang tidak simetris dapat diredam
dengan memberikan tambahan yang mengarah kepada tingkat keragaman produk yang
tinggi (a high degree of product diversification).
J.
KESIMPULAN DAN SARAN
Secara umum, kajian ini dilakukan adalah untuk menilai kasusesuaian penggunaan
satu mata uang di kalangan negara ASEAN terpilih, yaitu: Malaysia, Indonesia, Brunai,
Singapura, Thailand dan Philipina. Kajian dilakukan dengan melihat korelasi struktur
goncangan. Hasil yang diperoleh dalam kajian ini dapat disimpulkan seperti berikut:
1. Secara umum, terhadap 6 negara ASEAN yang diuji, diperoleh kesimpulan bahwa
negara-negara tersebut belum layak untuk menyatukan mata uangnya.
2. Jika negara-negara ASEAN tetap ingin menyatukan mata uangnya, maka negaranegara ini harus mengupayakan terwujudnya kriteria OCA terlebih dahulu, yaitu:
a) Peningkatan pergerakan buruh antar negara yang semakin tinggi.
b) Upah buruh yang fleksibel.
c) Dihapuskannya segala bentuk hambatan perdagangan antar negara.
d) Dihapuskannya segala bentuk hambatan lalu-lintas keuangan dan modal antar
negara.
e) Dihapuskannya segala bentuk hambatan lalu-lintas buruh antar negara.
f) Peningkatan keterbukaan ekonomi antar negara yang semakin tinggi.
22
g) Peningkatan keragaman produk pada masing-masing negara yang semakin
tinggi.
3. Upaya untuk mewujudkan kriteria OCA tersebut akan lebih mudah dilakukan oleh
negara-negara ASEAN, jika negara-negara tersebut mau menghapuskan segala
sekat yang dapat menimbulkan terjadinya segala hambatan dalam kerjasama
ekonomi, perdagangan maupun keuangan. Upaya tersebut tidak lain adalah dengan
menyatukan negara-negara ASEAN tersebut dalam wujud kesatuan politik.
DAFTAR PUSTAKA
Balassa, Bella. 1961. The Theory of Economic Integration. RD Irwin. Homewood, Illonois.
Bayoumi, T., & Eichengreen, B. (1992). Shocking Aspects of European Monetary
Unification. National Bureau of Economic Research Working Paper Series, No.
3949.
Blanchard, O.,& Quah, D. (1989). The Dynamic Effects of Aggregate and Supply
Disturbances. American Economic Review, 79, 655–673.
Bordo, Michael D., Robert T. Dittmar, William T. Gavin. 2003. Gold, Fiat Money, And
Price Stability. Working Paper 10171. National Bureau Of Economic Research.
Cambridge. December 2003.
Buigut, Steven K. & Neven T. Valev. (2005). Is the Proposed East African Monetary
Union an Optimal Currency Area? A Structural Vector Autoregression Analysis.
World Development. Vol. 33, No. 12, pp. 2119–2133.
Bystrom, Hans N.E., Karin Olofsdotter, Lars Soderstrom. 2005. Is China an optimum
currency area? Journal of Asian Economics 16. 612–634.
Dellas, Harris & George Tavlas. 2005. The Global Implications of Regional Exchange
Rate Regimes. Journal of International Money and Finance. 24 (2005) 243–255.
Dornbusch, Rudiger dan Fischer Stanley. 2002. Makroekonomi. Terjemahan Sitompul,
Erlangga. Edisi ketiga. Jakarta. Indonesia.
Farankel, Jeffrey A. & Andrew K. Rose. 1998. The Endogenity of The Optimum Currency
Area Criteria. The Economic Journal. Vol. 108. No. 449. July 1998. Pp. 10091025.
23
Frankel, J., & Rose, A. (2000). Estimating the Effect of Currency Unions on Trade and
Output. National Bureau of Economic Research Working Paper Series, No. 7857.
Glick, R., & Rose, A. (2002). Does a Currency Union Affect Trade? The Time Series
Evidence. National Bureau of Economic Research Working Paper Series, No.
8396.
Hizbur Rab. 2002. Problems Created by the Fiat Money, Islamic Dinar and Other
Available Alternatives. Dalam: Proceedings 2002 International Conference on
Stable and Just Global Monetary System – Viability of The Islamic Dinar.
International Islamic University Malaysia. Kuala Lumpur. Malaysia.
Huang, Ying and Feng Guo. 2006. Is Currency Union a Feasible Option in East Asia? A
Multivariate Structural VAR Approach. Research in International Business and
Finance 20.77–94.
Karras, Georgios. (2005). Is There a Yen Optimum Currency Area? Evidence From 18
Asian and Pacific Economies. Japan and the World Economy. 17, 456–469.
Kenen, P. B. (1969). The Theory of Optimum Currency Areas: An Eclectic View. In R. A.
Mundell & A. K. Swoboda (Eds.), Monetary problems of the international
economy (pp. 41–60). University of Chicago Press.
Kurniati, Yati. 2007. Integrasi Keuangan dan Moneter di Asia Timur – Peluang dan
Tantangan bagi Indonesia. Ed. Sjamsul Arifin et. al. Elex Media Komputido dan
Bank Indonesia. Jakarta. Indonesia.
Kwan, C. H. 1998. The Theory of Optimum Currency Areas andthe Possibility of
Forming a Yen Bloc in Asia. Journal of Asian Economics, Vol. 9, No. 4, pp. 555580.
Ling, Hazel Yuen Phui. 2001. Optimum Currency Areas in East Asia: A Structural VAR
Approach. ASEAN Economic Bulletin; Aug 2001; 18, 2; Academic Research
Library. pg. 206.
McKinnon, R. (September 1963). Optimum Currency Areas. American Economic Review,
53, 717–724.
Mishkin, S. Frederich, 2001. The Economics of Money Banking and Financial Markets.
Addison Wesley.
Mundell, R. (September 1961). A Theory of Optimum Currency Areas. American
Economic Review, 51, 657–664.
Rose, A. (2000). One money, one market: The Effect of Common Currencies on Trade.
Economic Policy, 30, 9–45.
Rose, A., & Engel, C. (2002). Currency Unions and International Integration. Journal of
Money, Credit and Banking, 34, 1067–1089.
24
Rosly, Saiful Azhar & Emad Rafiq Barakat 2002. The Economic Thought of Al-Maqrizi:
The Role of The Dinar and Dirham as Money. Dalam: Proceedings 2002
International Conference on Stable and Just Global Monetary System – Viability of
The Islamic Dinar. International Islamic University Malaysia. Kuala Lumpur.
Malaysia.
Sahin, Hasan. 2006. MENA Countries as Optimal Currency Areas: Reality or Dream.
Journal of Policy Modeling 28. 511–521.
Saxena, Sweta Chaman. (2005). Can South Asia Adopt a Common Currency? Journal of
Asian Economics. 16. 635–662.
Sholihah & Gunawan Saichu. 2007. Tinjauan Teoritis Integrasi Keuangan Regional.
Dalam: Integrasi Keuangan dan Moneter di Asia Timur – Peluang dan Tantangan
bagi Indonesia. Ed. Sjamsul Arifin et. al. Elex Media Komputido dan Bank
Indonesia. Jakarta. Indonesia.
Todaro, Michael P. 2000, Economic Development, seventh edition, Pearson education Ltd,
New York.
Yeyati, Eduardo Levy (2003). On The Impact of A Common Currency on Bilateral Trade.
Economics Letters 79, 125–129.
Zhang, Z., Sato, K., & McAleer, M. (2004). Asian Monetary Integration: A Structural
VAR Approach. Mathematics and Computers in Simulation, 64,447–458.
WEBSITE:
http://www.imf.org
www.asean.org
Download