1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1

advertisement
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
1.1.1 Lansia dan Kebutuhannya Untuk Berinteraksi
Indonesia saat ini mengalami peningkatan kualitas kesehatan.
Meningkatnya kualitas kesehatan ini berarti akan ikut meningkatkan angka
harapan hidup masyarakat. Salah satu kelompok masyarakat yang
terpengaruh langsung oleh meningkatnya angka harapan hidup ini adalah
kelompok lansia. Meningkatnya jumlah populasi lansia di Indonesia
berbanding lurus dengan meningkatnya angka harapan hidup. Menurut
Undang-Undang No. 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia, Lansia
adalah orang yang telah berusia 60 tahun ke atas.
Semakin bertambah usia seseorang, maka kemampuan untuk
berinteraksi dan memiliki keterkaitan dengan orang lain biasanya akan
semakin mengalami penurunan, hal ini bisa berakibat pada rasa kesepian
yang dapat memperburuk proses penuaannya. Untuk dapat melalui hal ini,
lansia harus tetap dapat mempertahankan aktivitas interaksi sosial dengan
orang-orang disekitarnya. Interaksi sosial pada lansia menurut Wu & Chan
(2012) mampu mengurangi terjadinya isolasi sosial yang kerap terjadi di
usia lanjut.
Interaksi sosial menurut Wulansari (2009) merupakan hubungan timbal
balik yang terjadi antara individu dengan individu, kelompok dengan
kelompok maupun antara individu dengan kelompok. Interaksi terjadi ketika
dua pihak bertemu, saling menyadari kehadirannya satu sama lain
kemudian berperilaku seperti berjabat tangan, berbicara bahkan berkelahi.
Interaksi sosial juga terjadi pada kelompok lansia. Pada kelompok lansia
interaksi juga terjadi secara verbal maupun non verbal (Hubbard et al.
2003). Perbedaan pola interaksi ini ternyata dapat merefleksikan
perubahan mental ataupun fisik yang terjadi pada mereka (kelompok
lansia) menurut Chen et al. (2003). Karena kemampuan interaksi sosial
seseorang berpengaruh banyak hal seperti kondisi fisik, preferensi pribadi
dan kemampuan mereka untuk dapat masuk ke dalam sebuah interaksi.
Keadaan ini sejalan dengan keadaan interaksi sosial pada lansia oleh
1
Pramitasari et al. (2014) bahwa kondisi fisik ikut mempengaruhi interaksi
sosial yang terjadi. Penurunan interaksi karena keterbatasan kondisi fisik
ini tidak jarang menyebabkan semakin menurunnya kualitas kesehatan
lansia karena tingkat kepuasan yang dimiliki juga mengalami penurunan
karena merasa terisolasi (Wu & Chan, 2012).
Untuk dapat mempertahankan interaksi sosialnya dengan orang lain,
lansia membutuhkan ruang yang dapat mewadahi kegiatan tersebut.
Subramanian et al. dalam Wu & Chan (2012) mengemukakan bahwa
lingkungan yang stabil dan berkonsentrasi terhadap kesejahteraan lansia
biasanya
akan
memiliki
hubungan
positif
terhadap
hubungan
kesehatannya. Karena kegiatan interaksi yang terjadi pada suatu daerah
akan mempengaruhi persepsi lansia tersebut dalam memahami kehidupan
bertetangga dan memaknai lingkungan tempat tinggalnya (Bowling &
Stafford, dalam Wu & Chan, 2012). Pada lingkungan dengan kepadatan
rendah, aktivitas interaksi bisa dilakukan di ruang-ruang publik yang sudah
tersedia. Namun pada permukiman padat seperti di area perkotaan,
keberadaan ruang publik sangat terbatas sehingga untuk melakukan
aktivitas interaksi pada ruang publik akan menjadi lebih sulit.
1.1.2 Yogyakarta sebagai Kota yang Padat dengan Jumlah Penduduk Lansia
Tertinggi
Yogyakarta merupakan daerah terpadat ke-6 di Indonesia (Data BPS,
dalam id.wikipedia.org). Laju pertumbuhan penduduk di provinsi ini ratarata sebesar 1,1% pertahun, dengan daerah penduduk terpadat berada di
kota Yogyakarta yang memiliki tingkat kepadatan sebesar 12.390 jiwa tiap
km² pada tahun 2013. Laju pertumbuhan penduduk yang cukup besar
tersebut masih ditambahkan lagi dengan permasalahan meningkatnya usia
harapan hidup penduduk yang cenderung meningkat dari usia 72,9 pada
tahun 2005 saat ini menjadi 73,71 tahun pada 2013 (Inkesra Kota
Yogyakarta 2013). Media berita Merdeka.com (www.merdeka.com) bahkan
mengemukakan dari hasil catatan pemerintah, Yogyakarta merupakan kota
yang memiliki jumlah penduduk lanjut usia (lansia) tertinggi di Indonesia.
Dinas sosial Provinsi DIY memperkirakan saat ini ada sekitar 14%
penduduk DIY yang termasuk kategori lanjut usia di atas 60 tahun (dalam
http://dinsos.jogjaprov.go.id/).
2
Pada awal masa pembangunan, kawasan perkotaan akan mengalami
pertumbuhan fisik yang cepat, dalam beberapa kasus perkembangan ini
menurut Rahmadi (2009) bahkan menjadi tidak terkendali, tidak sesuai
dengan rencana tata ruang, tidak serasi dengan lingkungan dan tidak
selaras
dengan
konsep
pembangunan
kota
yang
berkelanjutan.
Keterbatasan wilayah kota menjadi tidak seimbang dengan tingginya
jumlah
penduduk
yang
datang
kemudian
menetap
sehingga
mengakibatkan wilayah permukiman semakin sempit dan padat.
Adanya keterbatasan lahan yang tersedia di wilayah perkotaan ini
akhirnya membuat sebagian orang mulai beralih menjadikan tepian sungai
yang tadinya berfungsi sebagai ruang publik untuk resapan banjir menjadi
tempat bermukim khususnya bagi masyarakat kota yang berpenghasilan
rendah. Dalam kurun waktu yang cukup lama, hunian tepi sungai ini
kemudian menjadi semakin padat dengan rata-rata KDB mencapai 80-90%
dan fungsi bangunan yang sangat beragam.
Kepadatan permukiman ini membuat ruang-ruang publik untuk
berinteraksi yang tersedia di dalam kampung menjadi semakin terbatas.
Penduduk yang bermukim memiliki kecenderungan mencari ruang lain
yang dapat digunakan agar tetap dapat berinteraksi seperti pada ganggang sempit, jalan masuk ke area perkampungan, area teras rumah dan
pembatas sungai sebagai ruang untuk melakukan aktivitas interaksi
dengan masyarakat sekitarnya.
1.1.3 Kampung Tejokusuman
Berdasarkan luas wilayahnya sebesar 32,50 km², pada tahun 2013
kepadatan penduduk Kota Yogyakarta dirata-ratakan sebesar 12.390 jiwa
tiap km². Tingkat kepadatan penduduk paling tinggi berada di Kecamatan
Ngampilan yaitu sebesar 22.706 jiwa per km². Kecamatan Ngampilan terdiri
dari dua kelurahan yaitu Kelurahan Ngampilan dan Kelurahan Notoprajan.
Kelurahan terpadat berada di Kelurahan Ngampilan yaitu 23.382 orang per
km², sedangkan Kelurahan Notoprajan merupakan kelurahan terpadat
kedua dengan kepadatan penduduk sebesar 21.884 orang per km².
Menurut catatan angka kematian pada Kecamatan Ngampilan tahun
2013, terjadi penurunan jumlah kematian dari tahun ke tahun dengan
3
penurunan signifikan terjadi pada Kelurahan Notoprajan. Penurunan ini
menunjukkan kenaikan usia hidup di Kecamatan Ngampilan mengalami
kenaikan karena tarap hidup dan tingkat kesejahteraan masyarakat
Ngampilan menjadi lebih baik.
Tabel 1.1 Tingkat Kematian Penduduk Kecamatan Ngampilan
Menurut Kelurahan Tahun 2011, 2012, 2013
Kelurahan
Kematian
Jumlah
Laki-laki
Perempuan
(2)
(3)
(4)
Notoprajan
29
19
48
Ngampilan
34
39
73
Jumlah
63
58
121
2012
72
78
150
2011
64
85
169
(1)
Sumber : Monografi Kec. Ngampilan, Statistik Daerah Kecamatan Ngampilan
2014
Wilayah Kelurahan Notoprajan memiliki 8 RW dengan masing-masing
4 RW terletak di permukiman padat dan 4 RW lainnya merupakan
permukiman padat yang terletak di tepian Sungai Winongo. Berdasarkan
data yang diperoleh, dari ke 8 RW tersebut, wilayah dengan jumlah lansia
terbanyak berada di RW 4 Kampung Tejokusuman yang daerahnya
merupakan
permukiman padat
di tepi sungai. Wilayah Kampung
Tejokusuman meliputi keseluruhan wilayah di RW 4.
Berikut adalah batas wilayah Kampung Tejokusuman :
o Batas sebelah Utara : Wilayah RW 3 atau Kampung Gendingan
o Batas sebelah Selatan : Jl. Letjen S. Parman
o Batas sebelah Timur : Jl. Wachid Hasyim, sebagian wilayah RW 3
o Batas sebelah Barat : Sungai Winongo
4
Gambar 1.1 Peta Wilayah Kelurahan Notoprajan
(Sumber : Data Kelurahan Notoprajan, Survey 2014,
digambar ulang oleh penulis)
1.1.4 Interaksi Sosial Lansia di Kampung Tejokusuman
Kampung Tejokusuman merupakan daerah permukiman padat dengan
jumlah penduduk lansia yang cukup banyak (12,8% penduduk lansia dari
total jumlah populasi). Kondisi spasial kampung terdiri dari daerah datar
dan tepian sungai dengan perbedaan level kontur yang cukup terjal. Pada
area datar, masih dapat terlihat ruang terbuka berupa halaman rumah milik
penduduk. Pada area tepian sungai rumah-rumah berjejer rapat dengan
lebar jalur sirkulasi berupa gang selebar 1-2 meter sehingga tidak banyak
tersedia pilihan ruang terbuka yang dapat digunakan sebagai tempat untuk
berinteraksi.
Burhanuddin (2009) menjelaskan makna kampung sebagai satu
kesatuan masyarakat tradisional dengan kebiasaan-kebiasaan yang
tradisional dan umumnya berlokasi di sekitar pusat kota, berbagai
karakteristik kehidupan sosial melekat pada permukiman di dalam
kampung (Wibisono, 1997 dalam Pramudito, 2013). Keterbatasan ruang
publik bukan menjadi penghalang bagi mereka untuk tetap dapat
5
mempertahankan kegiatan interaksi sosialnya. Kampung-kampung di
Indonesia misalnya, jalan dalam hal ini tidak semata-mata hanya berfungsi
sebagai sirkulasi, melainkan juga memiliki fungsi sosial untuk memenuhi
kebutuhan ruang akan aktivitas komunal dan personal.
Pada
Kampung
Tejokusuman,
interaksi
sosial
pada
lansia
diindikasikan terjadi pada ruang yang beragam dan pelaku interaksi yang
lebih bervariasi, lansia terindikasi tidak hanya berinterasi dengan sesama
lansia saja melainkan juga dengan warga non lansia. Kondisi spasial
kampung yang terdiri dari daratan yang relatif datar dan daerah tepian
sungai dicurigai menghasilkan setting ruang interaksi yang berbeda
sehingga dicurigai ikut mempengaruhi pola interaksi yang dihasilkan.
Gambar 1.2 Interaksi sosial yang terjadi karena adanya stimulus berupa bentuk pagar
dengan kerapatan jeruji yang jarak lebar dan pintu terbuka
(Dokumentasi peneliti, 2014)
Pada area daratan (bukan di area tepian sungai) terindikasi interaksi
terjadi karena adanya stimulus yang diberikan pada elemen ruang tempat
mereka ingin melakukan interaksi seperti dengan tindakan membuka pintu,
menggunakan pembatas rumah (pagar) dengan jeruji tidak rapat maupun
duduk atau berdiri disekitar halaman rumah untuk memancing terjadinya
kontak inderawi dengan pemilik rumah yang kemudian dapat dilanjutkan
dengan interaksi secara verbal.
Pada wilayah tepian sungai, usaha untuk berinteraksi sosial yang
dilakukan berdasarkan hasil grandtur, terindikasi bahwa lansia mendatangi
area tepian sungai untuk memancing terjadinya interaksi. Indikasi pola
interaksi lain pada lansia yang tinggal di wilayah tepian sungai dengan
orientasi rumah menghadap ke arah sungai, mereka membuka jendela
6
atau pintu rumahnya sehingga penduduk yang melewati rumahnya bisa
melihat ke arahnya atau terlihat oleh lansia tersebut.
Gambar 1.3 Interaksi lansia pada tepian Sungai Winongo
(Dokumentasi peneliti, 2014)
Kebutuhan untuk berinteraksi sosial pada lansia merupakan salah satu
kebutuhan utama agar tingkat kepuasan hidupnya tetap terjaga. Namun,
adanya keterbatasan ruang untuk berinteraksi dapat menjadi kendala untuk
melakukan hal tersebut. Kondisi spasial bisa jadi ikut berpengaruh pada
pola interaksi yang ditimbulkan. Sehingga pola interaksi yang terjadi pada
Kampung Tejokusuman yang memiliki kondisi spasial berupa kondisi
topografi area daratan dan tepian sungai yang berbeda menjadi menarik
untuk dilakukan demi memperkaya khasanah penelitian mengenai pola
interaksi sosial pada lansia.
1.2
Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, maka pertanyaan utama dalam
penelitian ini adalah bagaimana konsep interaksi sosial pada lansia yang
tinggal dikampung padat tepi sungai kasus pada wilayah
Kampung
Tejokusuman. Untuk menjawab pertanyaan mengenai konsep interaksi
sosial pada lansia tersebut maka pertanyaan tadi dibagi lagi menjadi
beberapa pertanyaan penelitian yang lebih khusus, yaitu :
7
1. Bagaimanakah pola interaksi sosial pada lansia yang terjadi di
kampung padat tepi sungai kasus pada Kampung Tejokusuman ?
2. Setting fisik seperti apa yang terkait dengan interaksi sosial lansia di
kampung padat tepi sungai ?
3. Terkait wilayah Kampung Tejokusuman yang spesifik yakni berupa
permukiman padat serta permukiman padat pada tepi sungai,
sejauh mana kondisi spasial ikut berpengaruh terhadap interaksi
lansia di Kampung Tejokusuman ?
1.3
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk merumuskan konsep interaksi
sosial penduduk lansia di Kampung Tejokusuman dengan mengidentifikasi
pola interaksi sosial, setting fisik ruang interaksi, serta pengaruh kondisi
spasial terhadap interaksi lansia di kampung padat tepi sungai kasus pada
Kampung Tejokusuman.
1.4
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi tiga hal, yaitu :
1.
Bagi ilmu pengetahuan, dapat bermanfaat dan berperan penting untuk
menambah wawasan dalam bidang arsitektur perilaku. Penelitian
diharapkan
dapat
berguna
sebagai
literatur
tambahan
atau
pembanding bagi mahasiswa dan dosen dalam mengembangkan ilmu
arsitektur perilaku khususnya tentang ilmu arsitektur perilaku tentang
kelompok lanjut usia.
2.
Bagi pemerintah dan masyarakat, penelitian dapat digunakan sebagai
bahan pertimbangan dalam merancang ruang publik di kampung padat
tepi sungai untuk lanjut usia agar dapat berfungsi lebih optimal dalam
mendorong interaksi sosial.
3.
Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan dapat menjadi pemacu untuk
lebih baik lagi dalam berkarya serta semakin peduli terhadap
kebutuhan masyarakat khusus dalam bidang arsitektur.
8
1.5
Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ada di Kampung Tejokusuman (RW IV), Kelurahan
Notoprajan, Kecamatan Ngampilan. Kampung Tejokusuman ini merupakan
salah satu kampung padat yang terletak di tepi Sungai Winongo.
1.6
Keaslian Penelitian
Terdapat beberapa penelitian yang berkaitan dengan interaksi sosial
pada lansia. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian lainnya terdapat
pada substansi, lokus dan fokus penelitian. Berikut adalah rincian beberapa
penelitian lain sebelumnya :
1.
M. Powell Lawton (1970), dengan judul “Public Behavior of older
People in congregate housing”. Penelitian dilakukan untuk melihat
hubungan interaksi yang terbentuk antara struktur fisik lingkungan
dengan perilaku individunya. Hal yang diamati yakni ; jumlah orang
yang terlihat pada hall setiap lantai, ragam perilaku yang tercatat,
penghuni yang saling berbicara, atau berkumpul dalam kelompok
untuk berbicara maupun terlibat dalam suatu aktivitas, jumlah kamar
dengan pintu terbuka dan jumlah orang dan perilaku mereka di setiap
ruang komunal.
Hasil penelitian terhadap keseluruhan ruang komunal menunjukkan
secara umum tidak ada hubungan antara jumlah total ruang komunal
yang tersedia dengan persentase pengguna ruang komunalnya. Tidak
ada perbedaan apakah ruang komunalnya banyak atau sedikit dengan
kemungkinan rasa ketertarikan terhadap ruang dianggap sama.
Semakin dekat hunian dengan kehidupan perkotaan dan aktivitas di
dalam perumahan dapat mempengaruhi kecenderungan penghuni
untuk menggunakan area ruang umum dalam kawasan. Selain itu,
sangat penting untuk menyesuaikan rancangan ruang komunal
terhadap
kemampuan
fisik
populasi
penggunanya
mengingat
banyaknya ruang komunal yang tidak sesuai untuk kemampuan fisik
lansia.
9
2.
Gill Hubbard, Susan Tester and Murna G. Downs (2003), dengan
judul “Meaningful social interactions between older people in
institutional
care
settings”.
Penelitian
ini
membahas
tentang
bagaimana penghuni institutional care dalam melakukan aktivitas
interaksi.“ Concept of self” “role” dan “labeling”. Hasil penelitian
mengidentifikasi ada dua cara untuk berinteraksi sosial pada lansia
penghuni care setting yaitu secara verbal dan non verbal. Interaksi
secara verbal dilakukan pada penghuni yang masih berbicara dan
mendengar. Pada lansia dengan keterbatasan komunikasi non verbal
digunakan sebagai cara untuk menginterpretasikan makna. Ruang
interaksi digunakan untuk meproyeksikan makna diri terhadap orang
lain.
3.
Lois K. Evans (1979), dengan judul “Maintaining Social Interaction as
Health Promotion in the Elderly”. Penelitian ini merupakan kumpulan
studi review penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya
tentang interaksi sosial. Berdasarkan hasil reviewnya diperoleh
informasi bahwa lingkungan sosial yang baik merupakan salah satu
faktor untuk ketahanan hidup lansia yang lebih baik. Pasien dengan
kontak sosial yang baik tidak akan terlalu merasakan efek sindrom
penuaan yang ada. Pada lansia, tindakan memberi stimulus dengan
mengajak berbicara lansia terlebih dahulu untuk berdiskusi dan tetap
membiarkan mereka mengerjakan aktivitasnya sehingga mengurangi
rasa terisolasi dari dalam dirinya.
4.
Treena Wu, Angelique Chan (2012), dengan judul “Families, Friends,
and the neighborhood of older Adults : Evidence from public housing”.
Penelitian membahas tentang bagaimana lansia penghuni Housing
Development Board (HBD) dan perumahan publik biasa dalam
berinteraksi sosial untuk memperbaiki isolasi sosial pada lansia di
daerah perkotaan Singapura. Teori yang digunakan sebagai acuan
adalah teori sosioemosional oleh Carstensen, bahwa akan terjadi
penurunan kemampuan pada usia akhir, sehingga lansia sebaiknya
merubah hubungan yang kurang intim dan bermanfaat menjadi
hubungan yang lebih intim sebagai bentuk investasi emosional. Hasil
10
penelitian menemukan rasa terisolasi pada lansia hadir karena mereka
yang mengasingkan dirinya sendiri, dan ketika tinggal bersama dengan
anak-anaknya yang telah dewasa. Adapun aspek-aspek yang dapat
berkontribusi mengurangi rasa terisolasi adalah jumlah hubungan
langsung dengan orang-orang dan seberapa menguntungkan ikatan
sosial tersebut dari yang lain dan adanya keterikatan sosial yang erat
dengan masing-masing anggota kelompok sosial saling mengenal.
Lansia yang lama tinggal di lingkungan dan blok yang sama dengan
masa tinggal 10 tahun atau lebih rasa memilikinya akan semakin
besar, sehingga akan cenderung mampu untuk mempertahankan
hubungan sosial yang intim dan lebih kuat. Kontak dengan temanteman dan tetangga dalam hal ini memiliki efek yang jauh lebih positif
daripada dengan keluarga atau kerabat.
5.
Datong Chen, Jie Yang, Robert Malkin, and Howard D. Wactlar
(2003), judul penelitian “Detecting Social Interaction of Elderly in A
Nursing Home Environment”. Penelitian ini membahas tentang cara
untuk mendeteksi terjadinya interaksi sosial pada pasien di sebuah
nursing home dengan eksperimental. Sensor dan alat pendeteksi
digunakan untuk mendeteksi interaksi sosial pada pasien lansia dan
pengelola. Perubahan pola interaksi yang terjadi dapat merefleksikan
perubahan mental atau fisik pasien lansia, karena kemampuan
interaksi sosial seseorang berpengaruh pada banyak hal seperti
kondisi mereka, preferensi pribadi dan kemampuan seseorang dalam
berinteraksi.
Hasil
penelitian,
berdasarkan
lima
sensor
yang
digunakan, sensor “talking”, “walking” dan “leaving” dapat memberi
gambaran interaksi yang terjadi. Beberapa sensor dengan basis video
dan audio dapat mendeteksi interaksi hingga 80% akurat, sehingga
bisa memperjelas gerakan yang dilakukan pada saat interaksi terjadi
seperti saat menggerakkan tangan.
11
6.
D. Pramitasari, A. Sarwadi, Devi F. Astuti (2014), jurnal “Social
Interaction of Nursing Home Patients and its Spatial Implications”.
Penelitian ini mengidentifikasi konsep interaksi sosial yang terjadi
antara penduduk lansia penghuni panti jompo dengan masyarakat
sekitarnya di area perkotaan (BDNH & HNH, Yogyakarta). Batasan
lokasi pengamatan interaksi yakni antara panti dengan jalan, halaman
dengan unit hunian, dan kamar dengan koridor. Temuan penelitian
menunjukkan bahwa tidak semua penghuni panti berinteraksi dengan
masyarakatnya. Interaksi yang terjadi dipengaruhi oleh kondisi fisik
lansia serta peraturan dimana mereka tinggal. Hasil penelitian
memperoleh konsep hubungan interaksi antara penghuni panti dengan
masyarakat sekitar yang dibagi menjadi empat kategori, yaitu aktivitas
beli harian, kegiatan kunjungan secara berkala, aktivitas keagamaan
dan aktivitas yang berhubungan dengan kesehatan fisik mereka.
7.
Paula J. Gardner (2011), jurnal “Natural neighborhood networksImportant social networks in the lives of older adults aging in place”.
Penelitian ini mengeksplorasi lingkungan tempat terjadinya hubungan
sosial lansia dengan orang lain (baik itu dengan sesama lansia
ataupun masyarakat non lansia), mengeksplorasi penyebab hubungan
sosial tersebut terjadi, dan bagaimana pengaruh lingkungan dan
kehidupan sosial terhadap proses penuaan dan kesejahteraan hidup
lansia. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Toronto, terdapat tiga
tempat terjadinya natural neighborhood networks (struktur hubungan
sosial informal berbasis komunitas) yaitu : third places, threshold dan
transitory zones. Bentuk hubungan yang terjadi karena interaksi ini
berupa relationships of proximity (with neighbors), relationships of
service dan relationships of chance (with strangers). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa lingkungan dan kehidupan sosial yang baik
memegang
peranan
dalam
mensupport
proses
penuaan
dan
kesejahteraan pada lanjut usia. Penggabungan keduanya membentuk
sebuah Natural Neighborhood Network, sebuah struktur sosial
berbasis komunitas bersifat informal yang memiliki prinsip saling
bergantung satu sama lain sehingga membuat lansia dapat tetap
12
mempertahankan
rasa
kemandirian
dan
kemampuan
interaksi
sosialnya.
Berdasarkan penelusuran dari tema-tema penelitian terdahulu, peneliti
belum menemukan hal yang sama mengenai tema, lokus, serta fokus
penelitian tentang interaksi sosial lansia di kampung padat tepi sungai.
Penelitian ini lebih difokuskan kepada konsep interaksi sosial lansia
dengan melihat setting fisik tempat interaksi sosial tersebut berlangsung,
pola interaksi sosial yang terjadi, serta mengidentifikasi apakah ada
keadaan spasial berpengaruh terhadap interaksi sosial lansia dalam hal ini
lansia yang berada di Kampung Tejokusuman.
Fenomena yang menarik ketika lansia berinteraksi menggunakan
ruang yang beragam. Wilayah spasial kampung berupa area daratan dan
tepi sungai menghasilkan setting ruang interaksi yang berbeda sehingga
dicurigai ikut mempengaruhi pola interaksi yang dihasilkan.
13
Download