BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1 Lansia dan Kebutuhannya Untuk Berinteraksi Indonesia saat ini mengalami peningkatan kualitas kesehatan. Meningkatnya kualitas kesehatan ini berarti akan ikut meningkatkan angka harapan hidup masyarakat. Salah satu kelompok masyarakat yang terpengaruh langsung oleh meningkatnya angka harapan hidup ini adalah kelompok lansia. Meningkatnya jumlah populasi lansia di Indonesia berbanding lurus dengan meningkatnya angka harapan hidup. Menurut Undang-Undang No. 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia, Lansia adalah orang yang telah berusia 60 tahun ke atas. Semakin bertambah usia seseorang, maka kemampuan untuk berinteraksi dan memiliki keterkaitan dengan orang lain biasanya akan semakin mengalami penurunan, hal ini bisa berakibat pada rasa kesepian yang dapat memperburuk proses penuaannya. Untuk dapat melalui hal ini, lansia harus tetap dapat mempertahankan aktivitas interaksi sosial dengan orang-orang disekitarnya. Interaksi sosial pada lansia menurut Wu & Chan (2012) mampu mengurangi terjadinya isolasi sosial yang kerap terjadi di usia lanjut. Interaksi sosial menurut Wulansari (2009) merupakan hubungan timbal balik yang terjadi antara individu dengan individu, kelompok dengan kelompok maupun antara individu dengan kelompok. Interaksi terjadi ketika dua pihak bertemu, saling menyadari kehadirannya satu sama lain kemudian berperilaku seperti berjabat tangan, berbicara bahkan berkelahi. Interaksi sosial juga terjadi pada kelompok lansia. Pada kelompok lansia interaksi juga terjadi secara verbal maupun non verbal (Hubbard et al. 2003). Perbedaan pola interaksi ini ternyata dapat merefleksikan perubahan mental ataupun fisik yang terjadi pada mereka (kelompok lansia) menurut Chen et al. (2003). Karena kemampuan interaksi sosial seseorang berpengaruh banyak hal seperti kondisi fisik, preferensi pribadi dan kemampuan mereka untuk dapat masuk ke dalam sebuah interaksi. Keadaan ini sejalan dengan keadaan interaksi sosial pada lansia oleh 1 Pramitasari et al. (2014) bahwa kondisi fisik ikut mempengaruhi interaksi sosial yang terjadi. Penurunan interaksi karena keterbatasan kondisi fisik ini tidak jarang menyebabkan semakin menurunnya kualitas kesehatan lansia karena tingkat kepuasan yang dimiliki juga mengalami penurunan karena merasa terisolasi (Wu & Chan, 2012). Untuk dapat mempertahankan interaksi sosialnya dengan orang lain, lansia membutuhkan ruang yang dapat mewadahi kegiatan tersebut. Subramanian et al. dalam Wu & Chan (2012) mengemukakan bahwa lingkungan yang stabil dan berkonsentrasi terhadap kesejahteraan lansia biasanya akan memiliki hubungan positif terhadap hubungan kesehatannya. Karena kegiatan interaksi yang terjadi pada suatu daerah akan mempengaruhi persepsi lansia tersebut dalam memahami kehidupan bertetangga dan memaknai lingkungan tempat tinggalnya (Bowling & Stafford, dalam Wu & Chan, 2012). Pada lingkungan dengan kepadatan rendah, aktivitas interaksi bisa dilakukan di ruang-ruang publik yang sudah tersedia. Namun pada permukiman padat seperti di area perkotaan, keberadaan ruang publik sangat terbatas sehingga untuk melakukan aktivitas interaksi pada ruang publik akan menjadi lebih sulit. 1.1.2 Yogyakarta sebagai Kota yang Padat dengan Jumlah Penduduk Lansia Tertinggi Yogyakarta merupakan daerah terpadat ke-6 di Indonesia (Data BPS, dalam id.wikipedia.org). Laju pertumbuhan penduduk di provinsi ini ratarata sebesar 1,1% pertahun, dengan daerah penduduk terpadat berada di kota Yogyakarta yang memiliki tingkat kepadatan sebesar 12.390 jiwa tiap km² pada tahun 2013. Laju pertumbuhan penduduk yang cukup besar tersebut masih ditambahkan lagi dengan permasalahan meningkatnya usia harapan hidup penduduk yang cenderung meningkat dari usia 72,9 pada tahun 2005 saat ini menjadi 73,71 tahun pada 2013 (Inkesra Kota Yogyakarta 2013). Media berita Merdeka.com (www.merdeka.com) bahkan mengemukakan dari hasil catatan pemerintah, Yogyakarta merupakan kota yang memiliki jumlah penduduk lanjut usia (lansia) tertinggi di Indonesia. Dinas sosial Provinsi DIY memperkirakan saat ini ada sekitar 14% penduduk DIY yang termasuk kategori lanjut usia di atas 60 tahun (dalam http://dinsos.jogjaprov.go.id/). 2 Pada awal masa pembangunan, kawasan perkotaan akan mengalami pertumbuhan fisik yang cepat, dalam beberapa kasus perkembangan ini menurut Rahmadi (2009) bahkan menjadi tidak terkendali, tidak sesuai dengan rencana tata ruang, tidak serasi dengan lingkungan dan tidak selaras dengan konsep pembangunan kota yang berkelanjutan. Keterbatasan wilayah kota menjadi tidak seimbang dengan tingginya jumlah penduduk yang datang kemudian menetap sehingga mengakibatkan wilayah permukiman semakin sempit dan padat. Adanya keterbatasan lahan yang tersedia di wilayah perkotaan ini akhirnya membuat sebagian orang mulai beralih menjadikan tepian sungai yang tadinya berfungsi sebagai ruang publik untuk resapan banjir menjadi tempat bermukim khususnya bagi masyarakat kota yang berpenghasilan rendah. Dalam kurun waktu yang cukup lama, hunian tepi sungai ini kemudian menjadi semakin padat dengan rata-rata KDB mencapai 80-90% dan fungsi bangunan yang sangat beragam. Kepadatan permukiman ini membuat ruang-ruang publik untuk berinteraksi yang tersedia di dalam kampung menjadi semakin terbatas. Penduduk yang bermukim memiliki kecenderungan mencari ruang lain yang dapat digunakan agar tetap dapat berinteraksi seperti pada ganggang sempit, jalan masuk ke area perkampungan, area teras rumah dan pembatas sungai sebagai ruang untuk melakukan aktivitas interaksi dengan masyarakat sekitarnya. 1.1.3 Kampung Tejokusuman Berdasarkan luas wilayahnya sebesar 32,50 km², pada tahun 2013 kepadatan penduduk Kota Yogyakarta dirata-ratakan sebesar 12.390 jiwa tiap km². Tingkat kepadatan penduduk paling tinggi berada di Kecamatan Ngampilan yaitu sebesar 22.706 jiwa per km². Kecamatan Ngampilan terdiri dari dua kelurahan yaitu Kelurahan Ngampilan dan Kelurahan Notoprajan. Kelurahan terpadat berada di Kelurahan Ngampilan yaitu 23.382 orang per km², sedangkan Kelurahan Notoprajan merupakan kelurahan terpadat kedua dengan kepadatan penduduk sebesar 21.884 orang per km². Menurut catatan angka kematian pada Kecamatan Ngampilan tahun 2013, terjadi penurunan jumlah kematian dari tahun ke tahun dengan 3 penurunan signifikan terjadi pada Kelurahan Notoprajan. Penurunan ini menunjukkan kenaikan usia hidup di Kecamatan Ngampilan mengalami kenaikan karena tarap hidup dan tingkat kesejahteraan masyarakat Ngampilan menjadi lebih baik. Tabel 1.1 Tingkat Kematian Penduduk Kecamatan Ngampilan Menurut Kelurahan Tahun 2011, 2012, 2013 Kelurahan Kematian Jumlah Laki-laki Perempuan (2) (3) (4) Notoprajan 29 19 48 Ngampilan 34 39 73 Jumlah 63 58 121 2012 72 78 150 2011 64 85 169 (1) Sumber : Monografi Kec. Ngampilan, Statistik Daerah Kecamatan Ngampilan 2014 Wilayah Kelurahan Notoprajan memiliki 8 RW dengan masing-masing 4 RW terletak di permukiman padat dan 4 RW lainnya merupakan permukiman padat yang terletak di tepian Sungai Winongo. Berdasarkan data yang diperoleh, dari ke 8 RW tersebut, wilayah dengan jumlah lansia terbanyak berada di RW 4 Kampung Tejokusuman yang daerahnya merupakan permukiman padat di tepi sungai. Wilayah Kampung Tejokusuman meliputi keseluruhan wilayah di RW 4. Berikut adalah batas wilayah Kampung Tejokusuman : o Batas sebelah Utara : Wilayah RW 3 atau Kampung Gendingan o Batas sebelah Selatan : Jl. Letjen S. Parman o Batas sebelah Timur : Jl. Wachid Hasyim, sebagian wilayah RW 3 o Batas sebelah Barat : Sungai Winongo 4 Gambar 1.1 Peta Wilayah Kelurahan Notoprajan (Sumber : Data Kelurahan Notoprajan, Survey 2014, digambar ulang oleh penulis) 1.1.4 Interaksi Sosial Lansia di Kampung Tejokusuman Kampung Tejokusuman merupakan daerah permukiman padat dengan jumlah penduduk lansia yang cukup banyak (12,8% penduduk lansia dari total jumlah populasi). Kondisi spasial kampung terdiri dari daerah datar dan tepian sungai dengan perbedaan level kontur yang cukup terjal. Pada area datar, masih dapat terlihat ruang terbuka berupa halaman rumah milik penduduk. Pada area tepian sungai rumah-rumah berjejer rapat dengan lebar jalur sirkulasi berupa gang selebar 1-2 meter sehingga tidak banyak tersedia pilihan ruang terbuka yang dapat digunakan sebagai tempat untuk berinteraksi. Burhanuddin (2009) menjelaskan makna kampung sebagai satu kesatuan masyarakat tradisional dengan kebiasaan-kebiasaan yang tradisional dan umumnya berlokasi di sekitar pusat kota, berbagai karakteristik kehidupan sosial melekat pada permukiman di dalam kampung (Wibisono, 1997 dalam Pramudito, 2013). Keterbatasan ruang publik bukan menjadi penghalang bagi mereka untuk tetap dapat 5 mempertahankan kegiatan interaksi sosialnya. Kampung-kampung di Indonesia misalnya, jalan dalam hal ini tidak semata-mata hanya berfungsi sebagai sirkulasi, melainkan juga memiliki fungsi sosial untuk memenuhi kebutuhan ruang akan aktivitas komunal dan personal. Pada Kampung Tejokusuman, interaksi sosial pada lansia diindikasikan terjadi pada ruang yang beragam dan pelaku interaksi yang lebih bervariasi, lansia terindikasi tidak hanya berinterasi dengan sesama lansia saja melainkan juga dengan warga non lansia. Kondisi spasial kampung yang terdiri dari daratan yang relatif datar dan daerah tepian sungai dicurigai menghasilkan setting ruang interaksi yang berbeda sehingga dicurigai ikut mempengaruhi pola interaksi yang dihasilkan. Gambar 1.2 Interaksi sosial yang terjadi karena adanya stimulus berupa bentuk pagar dengan kerapatan jeruji yang jarak lebar dan pintu terbuka (Dokumentasi peneliti, 2014) Pada area daratan (bukan di area tepian sungai) terindikasi interaksi terjadi karena adanya stimulus yang diberikan pada elemen ruang tempat mereka ingin melakukan interaksi seperti dengan tindakan membuka pintu, menggunakan pembatas rumah (pagar) dengan jeruji tidak rapat maupun duduk atau berdiri disekitar halaman rumah untuk memancing terjadinya kontak inderawi dengan pemilik rumah yang kemudian dapat dilanjutkan dengan interaksi secara verbal. Pada wilayah tepian sungai, usaha untuk berinteraksi sosial yang dilakukan berdasarkan hasil grandtur, terindikasi bahwa lansia mendatangi area tepian sungai untuk memancing terjadinya interaksi. Indikasi pola interaksi lain pada lansia yang tinggal di wilayah tepian sungai dengan orientasi rumah menghadap ke arah sungai, mereka membuka jendela 6 atau pintu rumahnya sehingga penduduk yang melewati rumahnya bisa melihat ke arahnya atau terlihat oleh lansia tersebut. Gambar 1.3 Interaksi lansia pada tepian Sungai Winongo (Dokumentasi peneliti, 2014) Kebutuhan untuk berinteraksi sosial pada lansia merupakan salah satu kebutuhan utama agar tingkat kepuasan hidupnya tetap terjaga. Namun, adanya keterbatasan ruang untuk berinteraksi dapat menjadi kendala untuk melakukan hal tersebut. Kondisi spasial bisa jadi ikut berpengaruh pada pola interaksi yang ditimbulkan. Sehingga pola interaksi yang terjadi pada Kampung Tejokusuman yang memiliki kondisi spasial berupa kondisi topografi area daratan dan tepian sungai yang berbeda menjadi menarik untuk dilakukan demi memperkaya khasanah penelitian mengenai pola interaksi sosial pada lansia. 1.2 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang di atas, maka pertanyaan utama dalam penelitian ini adalah bagaimana konsep interaksi sosial pada lansia yang tinggal dikampung padat tepi sungai kasus pada wilayah Kampung Tejokusuman. Untuk menjawab pertanyaan mengenai konsep interaksi sosial pada lansia tersebut maka pertanyaan tadi dibagi lagi menjadi beberapa pertanyaan penelitian yang lebih khusus, yaitu : 7 1. Bagaimanakah pola interaksi sosial pada lansia yang terjadi di kampung padat tepi sungai kasus pada Kampung Tejokusuman ? 2. Setting fisik seperti apa yang terkait dengan interaksi sosial lansia di kampung padat tepi sungai ? 3. Terkait wilayah Kampung Tejokusuman yang spesifik yakni berupa permukiman padat serta permukiman padat pada tepi sungai, sejauh mana kondisi spasial ikut berpengaruh terhadap interaksi lansia di Kampung Tejokusuman ? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk merumuskan konsep interaksi sosial penduduk lansia di Kampung Tejokusuman dengan mengidentifikasi pola interaksi sosial, setting fisik ruang interaksi, serta pengaruh kondisi spasial terhadap interaksi lansia di kampung padat tepi sungai kasus pada Kampung Tejokusuman. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi tiga hal, yaitu : 1. Bagi ilmu pengetahuan, dapat bermanfaat dan berperan penting untuk menambah wawasan dalam bidang arsitektur perilaku. Penelitian diharapkan dapat berguna sebagai literatur tambahan atau pembanding bagi mahasiswa dan dosen dalam mengembangkan ilmu arsitektur perilaku khususnya tentang ilmu arsitektur perilaku tentang kelompok lanjut usia. 2. Bagi pemerintah dan masyarakat, penelitian dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam merancang ruang publik di kampung padat tepi sungai untuk lanjut usia agar dapat berfungsi lebih optimal dalam mendorong interaksi sosial. 3. Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan dapat menjadi pemacu untuk lebih baik lagi dalam berkarya serta semakin peduli terhadap kebutuhan masyarakat khusus dalam bidang arsitektur. 8 1.5 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ada di Kampung Tejokusuman (RW IV), Kelurahan Notoprajan, Kecamatan Ngampilan. Kampung Tejokusuman ini merupakan salah satu kampung padat yang terletak di tepi Sungai Winongo. 1.6 Keaslian Penelitian Terdapat beberapa penelitian yang berkaitan dengan interaksi sosial pada lansia. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian lainnya terdapat pada substansi, lokus dan fokus penelitian. Berikut adalah rincian beberapa penelitian lain sebelumnya : 1. M. Powell Lawton (1970), dengan judul “Public Behavior of older People in congregate housing”. Penelitian dilakukan untuk melihat hubungan interaksi yang terbentuk antara struktur fisik lingkungan dengan perilaku individunya. Hal yang diamati yakni ; jumlah orang yang terlihat pada hall setiap lantai, ragam perilaku yang tercatat, penghuni yang saling berbicara, atau berkumpul dalam kelompok untuk berbicara maupun terlibat dalam suatu aktivitas, jumlah kamar dengan pintu terbuka dan jumlah orang dan perilaku mereka di setiap ruang komunal. Hasil penelitian terhadap keseluruhan ruang komunal menunjukkan secara umum tidak ada hubungan antara jumlah total ruang komunal yang tersedia dengan persentase pengguna ruang komunalnya. Tidak ada perbedaan apakah ruang komunalnya banyak atau sedikit dengan kemungkinan rasa ketertarikan terhadap ruang dianggap sama. Semakin dekat hunian dengan kehidupan perkotaan dan aktivitas di dalam perumahan dapat mempengaruhi kecenderungan penghuni untuk menggunakan area ruang umum dalam kawasan. Selain itu, sangat penting untuk menyesuaikan rancangan ruang komunal terhadap kemampuan fisik populasi penggunanya mengingat banyaknya ruang komunal yang tidak sesuai untuk kemampuan fisik lansia. 9 2. Gill Hubbard, Susan Tester and Murna G. Downs (2003), dengan judul “Meaningful social interactions between older people in institutional care settings”. Penelitian ini membahas tentang bagaimana penghuni institutional care dalam melakukan aktivitas interaksi.“ Concept of self” “role” dan “labeling”. Hasil penelitian mengidentifikasi ada dua cara untuk berinteraksi sosial pada lansia penghuni care setting yaitu secara verbal dan non verbal. Interaksi secara verbal dilakukan pada penghuni yang masih berbicara dan mendengar. Pada lansia dengan keterbatasan komunikasi non verbal digunakan sebagai cara untuk menginterpretasikan makna. Ruang interaksi digunakan untuk meproyeksikan makna diri terhadap orang lain. 3. Lois K. Evans (1979), dengan judul “Maintaining Social Interaction as Health Promotion in the Elderly”. Penelitian ini merupakan kumpulan studi review penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya tentang interaksi sosial. Berdasarkan hasil reviewnya diperoleh informasi bahwa lingkungan sosial yang baik merupakan salah satu faktor untuk ketahanan hidup lansia yang lebih baik. Pasien dengan kontak sosial yang baik tidak akan terlalu merasakan efek sindrom penuaan yang ada. Pada lansia, tindakan memberi stimulus dengan mengajak berbicara lansia terlebih dahulu untuk berdiskusi dan tetap membiarkan mereka mengerjakan aktivitasnya sehingga mengurangi rasa terisolasi dari dalam dirinya. 4. Treena Wu, Angelique Chan (2012), dengan judul “Families, Friends, and the neighborhood of older Adults : Evidence from public housing”. Penelitian membahas tentang bagaimana lansia penghuni Housing Development Board (HBD) dan perumahan publik biasa dalam berinteraksi sosial untuk memperbaiki isolasi sosial pada lansia di daerah perkotaan Singapura. Teori yang digunakan sebagai acuan adalah teori sosioemosional oleh Carstensen, bahwa akan terjadi penurunan kemampuan pada usia akhir, sehingga lansia sebaiknya merubah hubungan yang kurang intim dan bermanfaat menjadi hubungan yang lebih intim sebagai bentuk investasi emosional. Hasil 10 penelitian menemukan rasa terisolasi pada lansia hadir karena mereka yang mengasingkan dirinya sendiri, dan ketika tinggal bersama dengan anak-anaknya yang telah dewasa. Adapun aspek-aspek yang dapat berkontribusi mengurangi rasa terisolasi adalah jumlah hubungan langsung dengan orang-orang dan seberapa menguntungkan ikatan sosial tersebut dari yang lain dan adanya keterikatan sosial yang erat dengan masing-masing anggota kelompok sosial saling mengenal. Lansia yang lama tinggal di lingkungan dan blok yang sama dengan masa tinggal 10 tahun atau lebih rasa memilikinya akan semakin besar, sehingga akan cenderung mampu untuk mempertahankan hubungan sosial yang intim dan lebih kuat. Kontak dengan temanteman dan tetangga dalam hal ini memiliki efek yang jauh lebih positif daripada dengan keluarga atau kerabat. 5. Datong Chen, Jie Yang, Robert Malkin, and Howard D. Wactlar (2003), judul penelitian “Detecting Social Interaction of Elderly in A Nursing Home Environment”. Penelitian ini membahas tentang cara untuk mendeteksi terjadinya interaksi sosial pada pasien di sebuah nursing home dengan eksperimental. Sensor dan alat pendeteksi digunakan untuk mendeteksi interaksi sosial pada pasien lansia dan pengelola. Perubahan pola interaksi yang terjadi dapat merefleksikan perubahan mental atau fisik pasien lansia, karena kemampuan interaksi sosial seseorang berpengaruh pada banyak hal seperti kondisi mereka, preferensi pribadi dan kemampuan seseorang dalam berinteraksi. Hasil penelitian, berdasarkan lima sensor yang digunakan, sensor “talking”, “walking” dan “leaving” dapat memberi gambaran interaksi yang terjadi. Beberapa sensor dengan basis video dan audio dapat mendeteksi interaksi hingga 80% akurat, sehingga bisa memperjelas gerakan yang dilakukan pada saat interaksi terjadi seperti saat menggerakkan tangan. 11 6. D. Pramitasari, A. Sarwadi, Devi F. Astuti (2014), jurnal “Social Interaction of Nursing Home Patients and its Spatial Implications”. Penelitian ini mengidentifikasi konsep interaksi sosial yang terjadi antara penduduk lansia penghuni panti jompo dengan masyarakat sekitarnya di area perkotaan (BDNH & HNH, Yogyakarta). Batasan lokasi pengamatan interaksi yakni antara panti dengan jalan, halaman dengan unit hunian, dan kamar dengan koridor. Temuan penelitian menunjukkan bahwa tidak semua penghuni panti berinteraksi dengan masyarakatnya. Interaksi yang terjadi dipengaruhi oleh kondisi fisik lansia serta peraturan dimana mereka tinggal. Hasil penelitian memperoleh konsep hubungan interaksi antara penghuni panti dengan masyarakat sekitar yang dibagi menjadi empat kategori, yaitu aktivitas beli harian, kegiatan kunjungan secara berkala, aktivitas keagamaan dan aktivitas yang berhubungan dengan kesehatan fisik mereka. 7. Paula J. Gardner (2011), jurnal “Natural neighborhood networksImportant social networks in the lives of older adults aging in place”. Penelitian ini mengeksplorasi lingkungan tempat terjadinya hubungan sosial lansia dengan orang lain (baik itu dengan sesama lansia ataupun masyarakat non lansia), mengeksplorasi penyebab hubungan sosial tersebut terjadi, dan bagaimana pengaruh lingkungan dan kehidupan sosial terhadap proses penuaan dan kesejahteraan hidup lansia. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Toronto, terdapat tiga tempat terjadinya natural neighborhood networks (struktur hubungan sosial informal berbasis komunitas) yaitu : third places, threshold dan transitory zones. Bentuk hubungan yang terjadi karena interaksi ini berupa relationships of proximity (with neighbors), relationships of service dan relationships of chance (with strangers). Hasil penelitian menunjukkan bahwa lingkungan dan kehidupan sosial yang baik memegang peranan dalam mensupport proses penuaan dan kesejahteraan pada lanjut usia. Penggabungan keduanya membentuk sebuah Natural Neighborhood Network, sebuah struktur sosial berbasis komunitas bersifat informal yang memiliki prinsip saling bergantung satu sama lain sehingga membuat lansia dapat tetap 12 mempertahankan rasa kemandirian dan kemampuan interaksi sosialnya. Berdasarkan penelusuran dari tema-tema penelitian terdahulu, peneliti belum menemukan hal yang sama mengenai tema, lokus, serta fokus penelitian tentang interaksi sosial lansia di kampung padat tepi sungai. Penelitian ini lebih difokuskan kepada konsep interaksi sosial lansia dengan melihat setting fisik tempat interaksi sosial tersebut berlangsung, pola interaksi sosial yang terjadi, serta mengidentifikasi apakah ada keadaan spasial berpengaruh terhadap interaksi sosial lansia dalam hal ini lansia yang berada di Kampung Tejokusuman. Fenomena yang menarik ketika lansia berinteraksi menggunakan ruang yang beragam. Wilayah spasial kampung berupa area daratan dan tepi sungai menghasilkan setting ruang interaksi yang berbeda sehingga dicurigai ikut mempengaruhi pola interaksi yang dihasilkan. 13