II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Jeruk Jeruk merupakan famili

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tanaman Jeruk
Jeruk merupakan famili Rutaceae, jenis ini hampir selalu berupa semak
atau pohon, dengan daun tunggal atau majemuk yang duduknya tersebar atau
berhadapan, tanpa daun penumpu. Dalam daun dan kulit batang terdapat kelenjar
minyak yang terjadi secara skizolisigen (Tjitrosoepomo, 2002).
Tinggi tanaman jeruk berkisar antara 2-8 m dengan tajuk yang tidak
beraturan, banyak bercabang, rindang, berdahan pendek, permukaan atas daun
berwarna hijau mengkilat dan bagian bawahnya hijau muda. Tangkai daun
bersayap sangat sempit sampai boleh dikatakan tidak bersayap, panjang 0,5-1,5
cm. Helaian daun tanaman jeruk berbentuk bulat telur memanjang, elliptis, atau
berbentuk lanset, dengan ujung tumpul, melekuk ke dalam. Tepi bergerigi
beringgit sangat lemah, panjang 3,5-8 cm (Tjitrosoepomo, 2002). Bunga tanaman
jeruk berdiameter 1,5-2,5 cm. daun mahkota berwarna putih. Buah berbentuk
bola. Sedangkan buah jeruk keprok memiliki panjang 4-7 cm, diameter 5-8 cm,
tebal kulit 0,2-0,3 cm. Kebanyakan daging buah tanaman jeruk berwarna orange,
yang diluputi jaringan seperti reticulatum (Tjitrosoepomo, 2002)
Menurut Tjitrosoepomo (2002) sistematika tanaman jeruk diklasifikasikan
sebagai berikut :
Kingdom
: Plantae
Divisio
: Spermatophyta (tumbuhan berbiji)
Sub divisio
: Angiospermae (berbiji tertutup)
Kelas
: Dicotyledomae (biji keeping dua)
4
5
Ordo
: Rutales
Famili
: Rutaceae
Genus
: Citrus
Spesies
: Citrus maxima (Burn.) Merr. atau C. grandis L, atau
C. decumana L.
: C. sinensis (L) Osbeck. atau C. aurantium L. var. sinensis L
: C. hystrix
: C. nobilis Lous
: C. aurantifolia
: C. medica
Varietas
: C. nobilis microcarpa Holsk.
: C. nobilis chysocarpa
2.2 Penyakit CVPD pada tanaman jeruk
2.2.1 Gejala serangan penyakit CVPD
Penyakit CVPD menyerang tanaman pada bagian Pucuk daun tanaman
jeruk. Gejala serangan penyakit CVPD yang tampak dengan daun tanaman jeruk
yang mengalami klorosis pada sebagian atau seluruh daun tajuk yang ditandai
dengan tulang daun masih berwarna hijau sedangkan daging daun (lamina) yang
berwarna kuning (Semangun 1994). Menurut penelitian BPTP Kalimantan Barat
(2007), melaporkan bahwa Tanaman jeruk yang terjangkit penyakit CVPD ini
menunjukkan gejala kekuning-kuningan pada daun dewasa, seperti halnya
kekurangan unsur Zn, Mn dan Fe. Tulang - tulang daun halus berwarna lebih hijau
daripada jaringan helaian daunnya (Gambar. 2.1)
6
Gambar 2.1.
Gejala Klorosis pada Daun dan Tanaman Jeruk (Litbang Kalbar, 2007)
Pada tanaman muda gejala yang nampak yaitu adanya kuncup yang
berkembang lambat, pertumbuhan mencuat ke atas seperti sikat, lebih kecil dan
berbecak. Pada tanaman dewasa, gejalanya bervariasi. Pada gejala sektoral,
diawali dengan blotching pada cabang-cabang tertentu, diiringi pertumbuhan
tunas air lebih banyak dari tanaman normal di luar musim pertunasan (Dwiastuti,
2001). Pada gejala berat, daun menjadi lebih kaku, kecil, menebal, tulang daun
primer dan sekunder mengeras (vein corking), dan dapat menguning pada
keseluruhan kanopi, letaknya tersebar dan mengalami dieback yang parah (Planck,
1999).
Gejala-gejala ini mirip dengan gejala defisien Zn. Apabila gejala tersebut
disebabkan oleh defisiensi Zn dalam tanah, seluruh tanaman didalam kebun yang
sama biasanya akan menunjukkan gejala. Penyebaran gejala yang tidak merata
merupakan indikator yang sangat penting bagi adanya penyakit CVPD. Selama
musim hujan, gejala defisiensi Zn biasanya tidak begitu tampak. Buah pada
cabang-cabang terinfeksi biasanya tidak dapat berkembang normal dan berukuran
kecil, terutama pada bagian yang tidak terkena cahaya matahari. Pada pangkal
7
buah biasanya muncul warna orange yang berlawanan dengan buah-buah sehat.
Buah-buah yang terserang rasanya masam dan bijinya kempes, tidak berkembang
dan berwarna hitam (Tirtawidjaja, 1964).
Gejala penyakit CVPD juga ada dalam tanaman. Pada irisan melintang
tulang tengah daun jeruk berturut-turut dari luar hingga ketengah daun akan
terlihat jaringan-jaringan epidermis, kolenkim, sklerenkim dan floem. Gejala
dalam pada tanaman jeruk yang terkena CVPD adalah floem tulang daun tanaman
sakit lebih tebal dari floem tulang daun tanaman sehat. Pada floem tulang daun
tanaman sakit terdapat sel-sel berdinding tebal yang merupakan jalur-jalur mulai
dari dekat sklerenkim sampai dekat xilem. Dinding tebal tersebut adalah beberapa
lapis dinding sel yang berdesak-desakan. Didalam berbagai jaringan dalam daun
terjadi pengumpulan secara berlebihan butir- butir halus zat pati (Tirtawidjaja,
1964).
Sistem tanaman yang terinfeksi berkembang jelek, akar serabut relatif
sedikit karena mungkin terjadi defisiensi unsur hara. Pertumbuhan akar baru
tertekan dan sering mengalami pembusukan, dimulai dari akar-akar kecil
(rootless) (da Graca, 1991).
2.2.2 Penyebab Penyakit CVPD
Pada awalnya, penyakit CVPD disebabkan oleh virus (Tirtawidjadja, et al.,
1964), kemudian karena pengembangan penelitian pada penyakit ini, dikatakan
disebabkan oleh mykoplasma-like organism (MLO). Selanjutnya penyakit CVPD
dikatakan disebabkan oleh BLO (bacterium like organism) (Sandrine, et al., 1994)
Sandrine et al. (1994), melakukan penemuan dengan teknik PCR
(Polymerase Chain Reaction) mencoba mengamplifikasi fragmen 16S rDNA dari
8
BLO yang diisolasi dari tanaman jeruk (varietas poona) yang terserang penyakit
CVPD bahwa mereka telah berhasil mengembangkan satu primer yang spesifik
dari 16S rDNA tersebut untuk mendeteksi patogen penyebab penyakit CVPD dan
sejak itu disimpulkan bahwa penyebab penyakit CVPD adalah bakteri yang
mereka beri nama Liberobacter (Sandrine, et al., 1996). Ditemukan dua spesies
bakteri terbebut yaitu l. asiaticum yang tersebar di kawasan Asia termasuk
Indonesia, dan L. africanum yang tersebar di kawasan Africa.
Bakteri
L.
asiaticum
tergolong
Kingdom
Proteobacteria,
Kelas
Rhodospirilli, Ordo Rhizobiales, Famili Rhizobiaceae, Genus Liberobacter
(Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura). Bakteri Penyebab penyakit
CVPD ini merupakan bakteri gram negatif, memiliki selubung dinding sel 25 nm
(Jagoueix et al., 1994). Bakteri L. asiaticum belum bisa dikultur secara invitro
sehingga informasi mengenai morfologi, fisiologi, biokimia dan genetik bakteri L.
asiaticum terbatas (Nakashima et al., 1996). Pengamatan dengan mikroskop
elektron didapatkan, bakteri saat tumbuh berbentuk memanjang yang flexibel
berukuran 100-250 x 500-2500 nm, pada saat dewasa berbentuk batang yang kaku
berukuran 350-550 x 600-1500 nm. Adapula yang berbentuk badan seperti bola
dengan sitoplasma tipis, berdiameter 700-800 nm (Su dan Huang, 1990). Menurut
Garnier dan Bove (1973) bakteri akan tumbuh berbentuk memanjang dan fleksibel
dengan ukuran 300-1000 nm yang lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 2.2.
9
Gambar 2.2
Bakteri Liberobacter. asiaticum (Garnier dan Bove, 1973)
Bakteri L. asiaticum tumbuh secara maksimum dan konstan pada daun
dewasa. Pergerakan bakteri dalam tanaman jeruk cukup lambat yaitu 30-50 cm
kearah bawah dalam waktu 12 bulan (da Graca, 1991)., dan pada tahap awal
infeksi cenderung tetap berada pada cabang yang diinfeksi vektor (Su dan Hung,
2001).
Bakteri penyebab penyakit CVPD terdapat pada floem tanaman dan
endoseluler (Garnier dan Bove, 1993). Bakteri dalam floem daun pada berbagai
tingkat kematangan atau pada berbagai varietas jeruk, mempunyai kecenderungan
berbiak melimpah pada musim panas dan berkurang pada musim dingin, tetapi
dapat dideteksi dalam jumlah tertentu di sepanjang tahun (Su dan Huang, 1990).
Pertumbuhan bakteri akan konstan dilihat pada daun tanaman jeruk yang yang
sudah dewasa.
Penyakit CVPD dapat menular melalui bibit yang terinfeksi penyakit
CVPD dan oleh serangga vektor (Wijaya, 2003). Penyebaran penyakit CVPD
yang cepat pada pertanaman jeruk dapat terjadi walaupun tidak ditemukannya
10
serangga vektor di lapangan, hal ini diduga karena tanaman yang mengandung
bakteri sejak bibit walaupun belum menunjukkan gejala penyakit (Wirawan,
2003). Penyakit CVPD juga dapat menular lewat penempelan mata tunas atau
grafting (Su, 2001) tetapi kecepatannya bervariasi karena distribusi bakteri tidak
beraturan pada tanaman (Hung et al, 2000), yang menyebabkan dapat diperoleh
tanaman bebas penyakit dari tanaman terinfeksi (Planck, 1999). Walau secara
terbatas alat-alat pertanian seperti alat inokulasi dan pemangkasan diduga dapat
menularkan penyakit (Semangun, 1994).
2.3 Vektor Diaphorina citri Kuwayama
Bakteri Liberobacter asiaticum diketahui disebarkan oleh serangga sejenis
kutu loncat yang bernama Diaphorina citri KUW. D. citri termasuk filum
Arthropoda, klas Insecta, ordo Homoptera, family Psyllidae, Genus Diaphorina,
spesies D. citri Kuw. (Kalshoven, 1981). Nurhadi (1993) melaporkan bahwa
patogen dapat ditularkan oleh serangga vektor dari satu tanaman ke tanaman lain
setelah melalui 1) periode makan akuisisi yaitu waktu 140 hari. yang diperlukan
vektor untuk makan pada tanaman sakit sampai mendapatkan patogen, 2) periode
makan inokulasi yaitu waktu yang diperlukan vektor untuk makan pada tanaman
sehat sampai dapat menularkan patogen dan 3) periode retensi yaitu selang waktu
vektor masih dapat menularkan patogen. Selanjutnya ditambahkan ketepatan
vektor menusukkan stiletnya pada bagian tanaman sakit dan proporsi vektor yang
infektif mempengaruhi laju penularan penyakit CVPD.
D. citri menyerang tangkai, kuncup bunga dan daun, tunas serta daun-daun
muda. Bagian tanaman yang terserang parah biasanya mengering secara perlahanlahan kemudian mati. Serangan ringan mengakibatkan tunas-tunas muda
11
mengeriting dan pertumbuhannya terhambat. Kutu juga menghasilkan sekresi
berwarna putih transparan berbentuk spiral, biasanya diletakkan berserak di atas
daun atau tunas.
D. citri mempunyai tiga stadium hidup yaitu telur, nimfa, dan dewasa.
Telur berwarna kuning terang berbentuk seperti buah alpukat, diletakkan secara
tunggal atau berkelompok di kuncup permukaan daun-daun muda, atau
ditancapkan pada tangkai-tangkai daun, setelah 2-3 hari telur menetas menjadi
nimfa. Nimfa yang baru menetas hidup berkelompok di tunas-tunas dan kuncup
untuk menghisap cairan tanaman. Setelah berumur 2 atau 3 hari, nimfa menyebar
dan menyerang daun-daun muda. Nimfa berwana kuning sampai coklat dan
mengalami 5 kali pergantian kulit. Nimfa lebih merusak tanaman dari pada kutu
dewasanya. Stadium nimfa berlangsung selama 17 hari. Pada kondisi panas siklus
hidup dari telur sampai dewasa berlangsung antara 16-18 hari, sedangkan pada
kondisi dingin berlangsung selama 45 hari. Perkawinan segera berlangsung
setelah kutu menjadi dewasa dan segera bertelur setelah terjadi perkawinan.
Seekor betina mampu meletakkan 800 butir telur selama masa hidupnya.
D.citri mampu menghasilkan 9-10 generasi dalam 1 tahun. Stadium dewasa
ditandai oleh adanya sayap sehingga mudah meloncat apabila terkena sentuhan.
Serangga dewasa berwarna coklat tua, dengan panjang tubuh 2-3 mm. Apabila
dalam keadaan menghisap cairan sel tanaman, D. citri memperlihatkan posisi
menungging. D. citri lebih aktif pada saat tanaman jeruk dalam fase vegetatif. D.
citri dewasa hinggap pada daun tua dan menghisap cairan selnya. Stadium dewasa
ini bisa bertahan hidup selama 80-90 hari (Nurhadi et al., 1986; Trisnawati, 1998).
12
Penelitian Wijaya (2010) mengatakan bahwa, pertambahan luas serangan
CVPD berkisar antara 20 – 29% selama 6 bulan. Penelitian dilakukan dengan
pengamatan awal di pengamatan di Desa Taro tanaman terserang CVPD
sebanyak 51% meningkat menjadi 80% pada akhir pengamatan, sedangkan
di Desa Katung berawal dari 39% menjadi 59%. Fenomena ini diperkuat dari
hasil deteksi molekuler yang menunjukkan D. citri mengandung patogen CVPD,
sehingga berpotensi sebagai vektor penyakit CVPD
2.4 Deteksi Penyakit CVPD dengan PCR
Deteksi secara konvensional kurang memberikan hasil yang memuaskan
karena selain konsentrasi bakteri dalam tanaman sangat rendah (Hung et al.,
1999). Deteksi secara visual merupakan cara yang mudah dilakukan tetapi
pengamatan secara visual tidak memberikan hasil yang akurat atau pasti karena
gejalanya mirip dengan gejala seperti tanaman kekurangan unsur hara Zn dan Mn
(Tirtawidjaja, 1983). Deteksi keberadaan bakteri L. asiaticum dapat dilakukan
antara lain dengan uji Pati-yodium, perlakuan ini dilakukan dengan memberikan
yodium pada daun jeruk yang diiris terlebih dahulu, namun cara ini kurang
spesifik karena adanya akumulasi karbohidrat (Dwiastuti, 1992), Indeksing
Biologis adalah cara kedua yaitu dengan melakukan penyambungan jaringan
dengan tanaman indikator, namun cara ini memakan waktu yang lama yaitu
sekitar 4-7 bulan (Marlina, 1998). Pengujian serologis yaitu ELISA (EnzymLinked Immuno Sorbent Essay) dan IF (Immunofluorescens) merupakan cara
deteksi yang ketiga. Pengujian ini merupakan metode identifikasi secara tepat di
laboratorium, namun cara ini kurang sensitif (Korsten et al., 1996). Mikroskop
elektron juga dapat mendeteksi keberadaan bakteri L. asiaticum namun cara ini
13
memerlukan keahlian khusus dan peralatan yang sangat canggih dan mahal.
Deteksi dapat dilakukan untuk mengetahui adanya bakteri dalam floem tanaman
dengan mengiris bagian daun secara tipis. Namun apabila konsentrasi bakteri
sangat rendah, maka cara ini sangat kurang praktis (Adiartayasa dkk, 2012). DNA
probes juga dapat mendeteksi keberadaan bakteri penyebab penyakit CVPD. Cara
tersebut sangat kurang sensitif untuk mendeteksi rutin, karena tanaman terinfeksi
secara laten hanya menunjukkan signal yang lemah (Hung et al., 1999) dan
kemampuan deteksi strain-strain tergantung dari tinggi rendahnya suhu yang
digunakan (da Graca, 1991). Selain itu cara ini juga membutuhkan waktu yang
cukup lama (Jaqoueix et al., 1996).
Metode PCR merupakan teknik replikasi reaksi berantai yang ditemukan
oleh Kary Mullis pada pertengahan tahun 1980 (Watson et al., 1992). Metode ini
dapat menunjukkan secara pasti tentang replikasi DNA. PCR menggunakan DNA
utas tunggal sebagai template untuk pembentukan komplemen utas baru. Satu utas
DNA yang diproduksi dari utas ganda DNA dengan pemanasan singkat pada suhu
mendekati titik didih. PCR juga memerlukan bagian terkecil dari utas ganda DNA
(primer) untuk memulai sintesis DNA. Oleh karena itu, titik awal sintesis DNA
dapat dispesifikasikan dengan mengaitkan primer oligonukleotida pada titik awal
tersebut. Hal ini merupakan rangkain pertama yang penting pada teknik PCR
dimana polymerase DNA dapat langsung disintesakan pada daerah DNA yang
spesifik.
PCR merupakan teknik laboratorium yang sangat maju, karena teknik
tersebut sangat beraneka ragam dan aplikasinya sangat luas. Materi awal PCR
adalah DNA yang mengandung rangkaian yang telah diamplifikasi. Jumlah DNA
14
yang diperlukan untuk PCR sangat sedikit, DNA yang digunakan untuk PCR
sudah merupakan total DNA dari sel. PCR tidak memerlukan pemurnian DNA.
Rangkaian DNA harus diisolasi terlebih dahulu sebelum diamplifikasi oleh PCR
karena spesifikasi dari reaksi ditentukan oleh primer (Watson et al., 1992). Primer
yang digunakan dalam PCR harus memenuhi syarat yaitu harus bersifat
komplementer, pada satu spesifik site pada DNA template, mempunyai
kandungan G/C -70%, mengandung 14-40 nukleotida, tidak ada urutan yang
komplementer antara ujung 3’ masing-masing primer, sehingga tidak terbentuk
primer dimer yang secara signifikan mengurangi sensitifitas dan spesipitas produk
PCR (Boehringer, 1995).
PCR memiliki tiga tahapan reaksi yang berbeda dalam satu siklus. Ketiga
tahapan tersebut yaitu de-naturasi, annealing, dan polimerisasi. Tahap de-naturasi
bertujuan untuk memutuskan ikatan H asam deoksiribonukleat (DNA) double
stranded yang akan diamplifikasi. Hasil yang diperoleh merupakan DNA cetakan
untai tunggal untuk penempelan oligonukleotida primer dalam tahap annealing.
Pada tahap kedua yaitu annealing, terbentuk ikatan H baru antara untai tunggal
DNA cetakan dengan oligonukleotida primer. Tahap polimerisasi merupakan
tahap pemanjangan rantai tunggal oligonukleotida primer dari ujung 3’ ke ujung
5’, dengan katalis enzim DNA polymerase. Ketiga tahap ini merupakan fungsi
temperature dengan masing-masing temperatur tahap sebagai berikut : denaturasi
± 95ºC, annealing 45ºC, dan polimerisasi 72ºC.
Deteksi molekuler dengan menggunakan metode PCR (Polymerase Chain
Reaction) melalui tahapan : Isolasi Total DNA, Amplifikasi DNA dan Visualisasi
hasil PCR.
Download