MEMBACA PRIMBON BENCANA ALAM

advertisement
MEMBACA PRIMBON BENCANA ALAM
Oleh Suwardi Endraswara
A. Berpikir Primbonistis dan Othak-Athik Mathuk
Primbon namanya. Itu pusaka sakti orang Jawa. Primbon itu “buku
sakral” para penganut kejawen. Primbon termasuk bagian dari gugon tuhon
Jawa. Orang Jawa yang meyakini primbon, berarti pemikiranya sangat gugon
tuhon (takhayul). Gugon tuhon terhadap hadirnya bencana alam, dianggap hal
menakutkan. Paling tidak, bencana alam akan dianggap mengancam
keselamatan jiwa.
Berpikir primbonistis, didasarkan kecerdasan Jawa yang boleh disebut
pola piker TOP (titen, open, panen). Titen adalah experience, yang dilandasi
pengalaman berulang-ulang. Pengalaman dapat tersimpul karena pola open
(dokumentatif), yang dinamakan primbon. Primbon menjajdi sebuah bothekan
(bundhelan) pengetahuan (knowledge) Jawa. Pengetahuan yang teruji oleh
pengalaman itu akan menjadi ngelmu (panen), yang dapat menyelamatkan
hidup orang Jawa. Ngelmu kelakone kanthi laku, menjadi penanda spiritualitas
Jawa adiluhung.
Atas dasar primbon, orang Jawa ada yang sukses membaca bencana
alam. Bencana alam, dapat berupa: (1) banjir bandhang, (2) tsunami, (3) lesus
atau sarat tahun, (4) pohon tumbang, (5) gunung meletus, dan (6) tanah
longsor. Berbagai bencana ini sesungguhnya, mengancam nasib hidup
manusia. Bahkan seringkali bencana alam itu tidak bersahabat, merenggut
jutaan nyawa. Kalau kita banyak membaca primbon, kemungkinan besar dapat
menghindari bencana itu.
Alam adalah guru bagi orang Jawa. Semakin kita dekat dengan alam,
tentu akan selamat dari terjangan bencana. Dengan banyak merenung,
membaca primbon tentang gejolak alam, kita dapat bebas bencana. Semula,
primbon tidak dibukukan. Primbon hanya berada di kepala orang Jawa.
Sebagian primbon Jawa dikuasai oleh para pinisepuh. Bahkan seringkali dukun
yang dianggap orang yang mumpuni dalam hal primbon.
Resiko terburuk dari pemikiran primbonistis ini, sering ada asumsi yang
negative thingking. Bahkan kalau ada wong pinter Jawa yang menebak tandatanda bencana alam, atas dasar primbon akan mendapat cap: (1) cemooh,
cibiran, dan sinisme, (2) dianggap orang kuna, ndesit, dan kluthuk, (3) dianggap
orang gugon tuhon, dan (4) orang sinting. Celakalah orang Jawa yang
menganut itu. Di sana-sini ada yang menganggap musyrik. Ini getah kepahitan,
karena orang di luar pengetahuan Jawa tidak paham atau merasa terkalahkan.
Sebaliknya, ada juga orang yang wasis dan lantip membaca tanda
bencana alam dianggap orang terhormat. Paling tidak, orang Jawa demikian
telah menyelamatkan orang lain. Pada dasarnya, orang Jawa ingin slamet (ora
ana apa-apa). Jika harus diterpa bencana alam, lindhu misalnya akan berucap:
“Kukuh-kukuh”, sambil menggigit tanah di dekatnya. Kelihatanya tidak masuk
akal langkah semacam ini, namun realitasnya memang ada.
1
Gugon tuhon Jawa sering muncul ke dalam alam mimpi. Mimpi apa pun
dianggap sebagai firasat. Banyak mimpi kejawen yang penuh dengan tafsir,
tergantung jenisnya, yaitu (1) mimpi titiyoni, (2) mimpi gandayoni, dan (3) mimpi
puspatajem. Mimpi terakhir itu yang dianggap ndaradasihi, artinya memiliki
makna. Misalkan saja, orang Jawa mimpi sebagai berikut akan menandai
sebuah bencana:
(1) Ngimpi suka parisuka atau ewuh menjadi manten, menjadi tanda
akan datangnya malapetaka dari alam yang menyebabkan kematin.
(2) Ngimpi adus jibar-jibur wuda, tanda akan sakit parah akibat banjir
bandang.
(3) Ngimpi wuda dirubung siwur,menandai akan segera datang kematian
karena tumbangnya pohon besar.
(4) Ngimpi umpak omahe katrejang banjir, pertanda aka nada bencana
kematian keluarganya.
(5) Ngimpi untune pothole, akan mendapat bencana kematian diantara
anggota keluarganya.
Gugon tuhon yang primbonistis, adalah gejala pemikiran Jawa yang
pralogis. Logika berpikir gugon tuhon tergolong budaya tradisi kejawen.
Pemikiran dia bersifat folkloristik. Oleh sebab itu, pemaknaan primbon terhadap
gejala alam pun didasarkan pengetahuan rakyat. Pengetahuan rakyat disebut
pangawikan (wikan) artinya tahu. Pengetahuan itu mendasarkan pada otak-atik
mathuk. Proses tafsir didasarkan pada upaya mengotak-atik, lewat sendi-sendi
pemikiran yang jernih.
B. Ngelmu Titen, Lungit, dan Olah Rasa Maya
Sudah lama orang Jawa memiliki tradisi ngelmu titen. Ngelmu ini yang
didokumentasikan ke dalam primbon. Primbon dari kata pri (para:banyak) dan
mbon (imbon), artinya timbunan. Primbon adalah timbunan pengalaman.
Pengalaman yang dilandasi tradisi panjang, tentu banyak tertimbun. Timbunan
itu yang menyebabkan orang Jawa dipandang cerdas, ketika menghadapi
bencana.
Lewat ngelmu titen, orang Jawa mencoba menghayati tanda-tanda.
Tanda bencana ada yang wantah dan ada yang simbolik. Bencana demi
bencana yang terjadi di bumi pertiwi ini sesungguhnya merupakan tanda.
Tanda-tanda yang amat tersembunyi (lungit), mempengaruhi jiwa Jawa
bergerak. Hal-hal lungit ditangkap hingga menjadi sebuah ngelu lung, ngelmu
ling, dan ngelmu leng. Gerakan orang Jawa menggunakan olah rasa, untuk
memahami tanda-tanda bencana alam. Oleh karena rasa itu sangat gaib
(maya) maka disebutlah rasa maya. Olah rasa maya itu yang menyebabkan
orang Jawa dianggap cerdas. Dalam bahasa mistik, kecerdasan Jawa disebut
ngerti sadurungen winarah.
Kejadian bencana alam sering diketahui lebih awal oleh orang Jawa
yang ngerti sadurunge winarah. Yakni orang yang landhep ing panggraita.
Maka, ketika ada yang berpendapat bencana alam adalah peringatan keras
2
Tuhan kepada bangsa ini yang secara khusus tertuju kepada elite pimpinan
nasional baik ulama maupun umaro’nya, orang Jawa menyebut sebagai
pacoban. Untuk tidak mencari kambing hitam dari segala peristiwa yang terjadi,
maka kita semua memahami akan dalil di dalam manajemen perusahaan
(leadership) bahwa : ”Tidak ada bawahan yang salah. Yang ada adalah
pimpinan yang salah.” Begitu pula dalam konteks negara sebagai sebuah
perusahaan : ”Tidak ada rakyat yang salah, melainkan pemimpinnyalah yang
salah.”
Persoalanya, maukah pimpinan negara mau mengakui hal demikian.
Oleh karena,kalau sudah terjadi bencana, sering ada tarik-menarik dua hal,
yaitu (1) berebut menang dan (2) berebut benar. Akibat keduanya akan muncul
saling menyalahkan. Menghadapi bencana yang terjadi, manusia tidak akan
mampu mencegahnya melainkan hanya mampu menangani akibat-akibatnya.
Sangatlah tidak arif dan bijak apabila setiap bencana yang terjadi ditanggapi
dengan statement : ”Itu bukan kutukan dari Allah dan bisa dijelaskan secara
ilmiah, serta janganlah dihubung-hubungkan dengan gugon tuhon.”
Pernyataan ini menggambarkan arogansi penalaran (berpikir ala barat)
yang semakin menjauhkan diri dari Sang Khalik, dan akan selalu menjadi
bumerang bagi kehidupan bangsa ini. Dengan merenung dan berpikir kita akan
menjadi mawas diri. Terlalu mengandalkan akal bisa menjadikan kita sesat dan
ingkar. Lahir dan batin harus menyatu.Bayangkan, coba tanda-tanda gaib
(maya) dalam pengetahuan primbon berikut.
(1)
Bila ada peristiwa gerhana bulan dibulan Muharam, bermakna
akan terjadi wabah penyakit yang dibarengi harga semua kebutuhan pokok
manusia akan meningkat dan akan ada raja/pemimpin negeri yang meninggal.
(2)
Bila gerhana bulan terjadi pada bulan Syawal, bermakna semua
harga kebutuhan bahan pokok akan naik.
(3)
Bila gerhana bulan terjadi pada bulan Zulkaedah, bermakna
banyak rakyat yang akan menderita akibat kerusuhan di dalam negeri.
Ilmu-ilmu dan alat-alat untuk membaca pesan-pesan alam telah lama
ditinggalkan manusia. Ngelmu titen termasuk ngelmu kawaskitan, yang
dijadikan sarana membaca warning dalam bahasa alam dianggap sumber
musrik dan tahyul oleh manusia-manusia picik dan dangkal kesadarannya
hanya karena tidak memakai bahasa tanah suci. Padahal ilmu-ilmu tersebut
sangat ilmiah bila dijelaskan secara komprehensif dan esensial. Ilmu yang
mampu untuk mencermati apa yang menjadi kehendak Tuhan.
Bila kita mampu membaca pesan-pesan dalam bahasa alam, maka kita
akan weruh sadurunge winarah. Hal ini menjadikan kita semakin memiliki
kepribadian (1) eling (ingat), (2) ngati-ati (hati-hati) dan (3) waspada. Lantas
apa manfaatnya jika kita menafikkan ilmu-ilmu untuk membaca bahasa Tuhan
yang maya itu? Bukanlah menjadi tidak sesat dan iman tergoda, namun
hasilnya tidak lain adalah kegagalan untuk bisa “nggayuh kawicaksananing
Gusti”. Dalam bahasa mistik kejawen, nggayuh gegeyonganing kayun.
3
C. Membaca Tanda-Tanda Alam
Bencana alam dipahami orang Jawa, tidak datang ujug-ujug. Persis
ketika dalang melakukan antawecana, menjelang gara-gara, dengan gedogan
kotak berkali-kali. Kata-kata ki dalang pun semakin meninggi. Gunungan tegak,
adalah tanda-tanda. Orang yang menonton wayang sudah siap mental, bahwa
sebentar lagi akan terjadi gara-gara kagiri-giri.
Jadi orang demikian tidak akan menjadi (1) kagetan dan (2) gumunan,
sehingga tidak tahu akan dirinya yang sejati. Manusia-manusia yang berwatak
gumunan dan kagetan mudah bersikap gegabah bilamana bencana dahsyat
(mega disaster) benar-benar melanda seantero negeri ini. Apalagi kalau ketika
dalang ndhodhog kothak keras tadi kita pas tertidur, akan kaget dan heran
karena pakeliran sudah berubah mendadak. Menjadi orang yang tak pernah
menyadari apa yangs esungguhnya sedang terjadi. Kini zaman serba terbalik
(wolak-waliking zaman), di mana orang suci dianggap kotor, orang kotor
dianggap suci. Bandit menjelma bagaikan syeh, sebaliknya “syeh” yang
sebenarnya justru dituduh sebagai seorang bandit yang kafir. Ulama spiritual
sejati diangap sebagai orang sesat, sementara itu orang yang benar-benar
keblinger dianggap orang pinter (alim). Tampilan kulit luar nan mempesona,
yang indah manakjubkan dianggapnya sebagai isi dan tujuan yang dicari
selama ini.
Ketika ada tanda-tanda aneh itu, seharusnya pemikiran primbonis harus
dimainkan. Alam pun sering menyambutnya dengan gebrakan dahsyat, gempa
bumi, banjir besar, tsunami, distorsi cuaca yang sangat gawat, wabah penyakit
aneh (pagebluk). Di mana-mana banyak perang karena emosi angkara
manusia berebut cari benernya sendiri, cari butuhnya sendiri, cari menangnya
sendiri. Dalam bertuturpun tanpa ampun, hati tega nian gemar menghakimi
orang lain secara sadis dan hina, dengan hanya berdasarkan keyakinan asalasalan, bukan menghakimi dengan data otentik dan kesaksian pasti nan sejati.
Seolah dirinya tahu segalanya akan hakekat kehidupan sejati, seolah-olah
pernah mati dan pernah menjelajah di alam kehidupan sejati. Padahal dasar
pengetahuan dan keyakinannya sangat lemah, hanya omonge, ujare, kabar
kabur, kabur-kanginan.
Sebaik apapun keyakinan tetap saja sekedar konsep berfikir dan konsep
beryakin (menata hati untuk percaya saja). Tak peduli walau dirinya tak pernah
mengalami dan menyaksikan sendiri akan nilai-nilai ketuhanan. Just never say
that : “keyakinan itu hanya perlu diyakini saja, karena manusia mustahil bisa
tahu apa yang terjadi di alam kehidupan sejati, jika belum pernah mati. Kalimat
itu, hanya berlaku bagi : (1) Siapapun yang enggan mengolah rahsa sejati.
Yang hanya mengandalkan kesadaran jasadiah, meliputi kesadaran rasio yang
teramat terbatas kemampan nalarnya, (2) Siapapun yang kesadaranya
didominasi oleh kekuatan emosi / nafsu-nafsu negative, (3) Berlaku bagi
siapapun yang tidak mengenal konsep “setan” dengan sungguh-sungguh, (4)
Bagi siapapun yang terjebak oleh belenggu ketakutan berlebihan akan sesat
4
dan godaan iman, (5) Siapapun yang kesadarannya terbelenggu oleh dogmadogma yang penuh intimidasi dosa-nerakawi dan iming-iming pahala-surgawi.
Sementara itu, sebuah tradisi lama leluhur bangsa ini telah membutikan
bahwa tanpa harus mati terlebih dulu, sebenarnya manusia diberikan
kesempatan “melongok” apa yang sesungguhnya terjadi di dalam panggung
“alam kelanggengan” di mana terdapat kehidupan sejati, yang langgeng tan
owah gingsir. Memang bencana alam itu penuh tabir, yaitu tanda-tanda maya.
Orang Jawa ada yang mampu mengungkap sedikit demi sedikit tabir misteri di
balik bencana alam. Dengan bekal primbonistis, setidaknya akan mampu
membaca tanda-tanda:
(1) yen ana manuk prenjak muni ing wayah tengange, yen ing wetan
omah bakal ana dhayoh nggawa kabegjan, yen ing loteng omah, brunjung,
memolo, bakal ketaman lelara abot;
(2) yen ana manuk gagak, muni ping telu wayah awan ndrandhang,
bakal ana pepati, yen kaping sanga, bakal ana pageblug, yen muni lan mencok
ing omah ana sing bakal seda kluwargane;
(3) yen ana manuk tuhu dan kholik, berbunyi tiga kali, di kampong itu aka
nada orang meninggal.
(4) yen ana kucing metani wulune, njur ngasah kuku ing lemah utawa
jobin, bakal ana bebaya ing omah iku.
(5) yen ana pitik nyuwara “krukkkk….kokkkk”, wuluning gulu ngadeg,
bakal ana bebaya (bencana) seka kewan galak kang nerjang omah;
(6) yen ana jangkrik ngengkrik ing wayah awan, bakal ana bebaya
gunung njeblug lan lemah Guntur;
(7) yen ana sapi mbengoh ora leren-leren lan jarang mbengingeh terus
tanpa pedhot, njur ndha arep mlumpat kandhang utawa gedhogan, bakal
dumadi angin gedhe sing mbebayani.
Dari tujuh tanda bencana alam itu, hanya bisa di antisipasi oleh para
pemelihara binatang ternah dan orang di kalangan pedesaan. Sampai hari ini,
pembacaan tanda-tanda demikian belum popular. Memang hal itu dapat
dikaitkan dengan gejala-gejala umum bencana alam. Berikut ini saya paparkan
gejala umum akan terjadinya gempa.
(1) Gempa bumi sangat mematikan biasanya terjadi pada saat banyak orang
sudah terbangun dari tidur pulas, misalnya siang hari atau di saat
pergantian waktu antara malam ke siang hari atau sebaliknya, siang hari
ke malam hari. Tepatnya waktu antara jam 05.00 s/d 08.00 pagi atau
sore. Jadi, bisa dikatakan gempa bumi mematikan tidak terjadi pada saat
mayoritas orang sedang terlelap tidur. Sehingga pantas dikatakan bahwa
“sing sapa lena kena“, siapapun yang terlena (tidak eling waspada) akan
menjadi korban.
(2) Gempa bumi dahsyat tidak terjadi pada saat orang sedang terlelap
dalam tidur misalnya saat-saat antara jam 24.00 s/d 03.00 malam.
Mungkin hal ini merupakan rumus/prinsip keadilan Tuhan, atau kearifan
hukum alam/kodrat alam.
5
(3) Gempa bumi tidak terjadi pada saat daratan terjadi bencana alam
mislanya banjir. Karena musibah bencana alam biasanya tidak terjadi
bersamaan, namun bergantian antara bencana yang datang dari daratan,
udara, dan lautan.
(4) Gempa bumi tektonik terjadi di saat musim kering, atau musim kemarau.
Sebaliknya musim penghujan sangat jarang terjadi gempa bumi.
Kita semua orang sibuk, sehingga lalai pada pembacaan tanda. Tandatanda alam dan primbonistis pun dilupakan. Banyak yang tidak mau
menghiraukan hal itu. Biasanya terlalu asyik mengurus duniawi. Pada hal ada
tanda alam ketika akan dating bendaca alam, antara lain:
(1) Beberapa minggu dan hari sebelum terjadi gempa besar, biasanya akan
muncul awan hitam mulai siang hingga sore hari. Kemunculannya hanya
sekali dua kali/hari, setelah itu lenyap dengan sendirinya. Ciri-ciri awan
hitam tersebut seolah bagaikan mendung tetapi tidak menghasilkan
hujan, warnanya hitam keabu-abuan bergumpal, tetapi rata menutupi
seluruh ruang pandang di langit. Awan hitam itu seolah jaraknya dengan
bumi terasa sangat rendah/dekat. Tidak ada angin, suasana mencekam,
hening namun terkesan sangat mistis (beraura energi kuat).
(2) Cermati bila keadaan di atas mulai tampak. Coba anda konsentrasi di
dalam rumah dan coba juga di luar rumah, apakah badan anda merasa
panas/gerah atau malah cenderung dingin ? Jika anda tidak merasakan
gerah, seyogyanya anda lebih hati-hati.
(3) Langit cerah dan bersih, kadang terdapat gumpalan awan putih dengan
membentuk sebuah konfigurasi yang aneh dan unik. Kadang muncul
knfigurasi seperti pusaka misalnya keris, kujang, rencong, ekor kuda,
tongkat vertikal. Kadang berbentuk menyerupai wayang kulit, wajah
raksasa, wajah bola mata manusia dst. Berbagai konfigurasi awan yang
aneh-aneh tersebut merupakan gejala yang dipengaruhi oleh radiasi
energi bumi, kondisi tekanan udara yang mengalami distorsi oleh adanya
desakan energi bumi yang melebihi kewajaran. Masing-masing
konfigurasi awan memiliki arti dan makna sendiri-sendiri. Untuk
menerjemahkannya pun perlu keahlian khusus setelah kita terbiasa
mengolah rahsa pangrasa.
(4) Di samping itu, saat sebelum gempa suhu terasa sangat panas
menyengat melebihi kewajaran biasanya. Bahkan pada saat anda di
dalam ruangan atau rumah sekalipun. Rasakan dan cermati hawa panas
semacam ini, biasanya secara spontan membuat perasaan menjadi
panik, gundah, gelisah. Itulah panasnya hawa bebendu, sampai terasa
panas di daun telinga kita, panas seperti dipanggang api. Bila kita
merasakan hawa dan gejala alam seperti ini hendaklah meningkatkan
kewaspadaan, biasanya hawa panas tersebut merupakan radiasi dari
tegangan energi dari dalam lempeng bumi yang siap terlepas menjadi
energi gempa bumi tektonik yang besar. Hawa panas semacam ini dapat
kita rasakan dalam jarak hingga ribuan kilometer. Misalnya posisi kita
6
sedang di Jakarta, lalu merasakan hawa panas tersebut, yang menjadi
gejala akan terjadi gempa di wilayah Papua, Maluku, Ambon, Sumatera
Barat, Bengkulu, dan Lampung. Hawa panas tersebut bisa di rasakan dari
mana arah datangnya. Nah, arah itulah menunjukkan lokasi tempat di
mana akan terjadi gempa bumi.
(5) Rasakan aura panas “bebendu” tersebut, yang terasa mengalir dari
dalam tanah, melewati permukaan tanah lalu naik ke atas menjadi radiasi
yang kuat.
(6) Bila anda tidur di bawah tidak di atas ranjang, berarti anda langsung
bersentuhan dengan bumi. Saat itu anda bisa berkonsentrasi dan
memasang indera batin dan kalbu anda untuk mencermati suara yang
berasal dari bawah permukaan tanah, atau yang berasal dari dalam bumi.
Apabila terdengar suara gemuruh, terkadang disertai letupan dan
dentuman kecil, hendaknya kewaspadaan ditingkatkan. Karena suara
gemurh dan dentuman-dentuman itu merupakan proses pergerakan
lempeng bumi yang akan berubah menjadi kekuatan gelombang tektonik.
Bagi yang telah terbiasa olah batin dan menajamkan rasa pangrasa
maya, atau rahsa sejati akan lebih mudah membaca peringatan dini dari
sinyal-sinyal yang dipancarkan dalam gerak-gerik makhluk penghuni alam
semesta ini. Orang Jawa yang sudah banyak sesirik, yaitu laku tirakat, akan
mampu membaca tanda bencana alam. Lewat berpikir primbonistis, antisipasi
bencana semakin ada. Coba bayangkan tanda-tanda berikut.
(1) Beberapa minggu misalnya antara 4 s/d 12 minggu sebelumnya, kita
dapat menyaksikan peristiwa spektakuler, di mana terjadi eksodus
besar-besaran oleh masyarakat “halus” dari arah mata angin tertentu
menuju ke satu arah yang lain. Misalnya dari arah selatan ke arah utara.
Disebut masyarakat karena mereka hidup berkelompok, juga membuat
suatu koloni yang saling berinteraksi di antaranya. Masyarakat “halus” itu
rupanya sudah merasakan suhu panas yang terpancar dari pusat gempa
(episentrum). Walaupun gempa belum terjadi, namun energi tektonik
yang tertahan dan terakumulasi di dalam lapisan kulit bumi dalam sekian
lama waktunya akan menimbulkan spleteran energi yang terasa panas
dan membuat badan terasa gerah sekali. Panas itulah yang membuat
mereka tidak betah/kuat lalu “mengungsi” menjauhi pusat-pusat panas
calon episentrum tersebut. Hal ini pernah terjadi 3 bulan sebelum gempa
Jogja. Dan 2 bulan sebelum gempa Bengkulu akhir tahun 2007 lalu.
(2) Perilaku binatang yang tidak wajar alias keluar dari pakem
kebiasaannya. Misalnya kucing, anjing, mencari tempat-tempat yang
dingin untuk berteduh/tidur. Biasanya kucing dan anjing betah di tempattempat yang hangat dan panas. Kicau burung emprit gantil yang semakin
intensif.
(3) terdengar di malam hari, padahal biasanya emprit gantil berkicau di pagi,
siang, dan sore hari.
7
(4) Hewan dan binatang melata, binatang yang hidup di dalam rongga tanah
keluar berkeliaran pada waktu-waktu diluar kebiasaannya, berkeliaran ke
tempat-tempat yang tidak biasa disambangi atau menjadi habitat
hidupnya.
Demikian pengetahuan sederhana yang bisa saya share untuk para
pembaca yang budiman, semoga bermanfaat bagi kebaikan bersama. Tulisan
ini antara lain sebagai upaya bersyukur secara konkrit, karena Gusti Ingkang
Murbeng Gesang telah memberikan anugrah hingga nyawa kami selamat dari
keganasan gempa tektonik yang melanda wilayah Bantul, Yogya, Sleman,
Kulonprogo, Klaten dan sekitarnya pada 27 Mei tahun 2006 lalu yang
merenggut nyawa kurang lebih 8000 orang meninggal dunia, 350 ribu rumah
hancur lebur, 38.000 orang luka berat dan ringan. Dengan ngelmu-ngelmu
warisan leluhur tersebut, Gusti Hyang Manon mengijinkan kami “weruh
sadurunge winarah” sehingga dapat melakukan antisipasi menjaga
keselamatan keluarga dan seluruh orang-orang terdekat. Meskipun gagal
meyakinkan pejabat dan pemegang tampuk pemerintahan tertinggi negeri ini
untuk melakukan langkah antisipasi.
Walau tatapan batin ini masih suram sekali memandang ke depan,
namun tetap saja harapan kami tak bergeming, semoga bencana alam dan
bencana kemanusiaan segera usai, saya percaya suatu saat nanti akan tiba
waktunya, “habis gelap terbitlah terang”. Dan di saat itulah kelak banyak orang
sadar diri bahwa selama ini “kebenaran” yang erat-erat digenggamnya, ternyata
imitasi, “jauh panggang dari api”.
Masihkah kita akan menolak primbonistis? Sebuah pemikiran yang
pralogis pun, sebenarnya sering ikut menyelamatkan jiwa. Hanya atas dasar
ngelmu titen, orang Jawa semakin eling lawan waspada. Memang harus diakui
bahwa siji pati, loro jodho, telu tibaning wahyu, adalah hal yang unik. Namun
ketika primbonistis berjalan, saya kira langkah preventif dapat diantisipasi.
D. Antisipasi Bencana Alam
Bencana memang datang tak diundang. Meski teknologi sudah bisa
memprediksi beberapa bencana tapi tetap tidak ada salahnya membaca tandatanda alam agar selamat dan sehat. Tanda-tanda alam yang bisa dipelajari itu
seperti membaca gerakan angin yang tidak biasa, tekanan udara atau cuaca
yang ekstrim. Selain membaca tanda alam, yang juga bisa diwaspadai adalah
perilaku hewan yang berubah.
Angin kencang meski sudah bisa diprediksi lewat teknologi, manusia
tetap bisa membacanya dengan melihat alam sekitar. Bencana angin kencang
berupa topan atau badai harus diwaspadai karena memberikan efek yang
banyak termasuk transportasi darat, laut dan udara. Tanda-tanda terjadinya
angin kencang atau badai adalah penurunan suhu dan tekanan udara yang
drastis secara tiba-tiba. Terlihat gumpalan awan gelap, besar dan tinggi. Petir
dan guruh terlihat dari jauh. Terdengar suara gemuruh, guntur dari kejauhan.
Angin kencang, awan gelap dan hujan juga bisa menjadi tanda peringatan akan
8
datangnya badai petir. Ketika badai petir datang tempat paling aman berlindung
dalam dalam bangunan.
Memprediksi banjir juga seharusnya mudah dilakukan jika volume hujan
yang terus menerus sudah mulai diwaspadai oleh penduduk yang tinggal dekat
aliran sungai. Atau kondisi jalanan yang minim saluran air juga bisa
menimbulkan banjir. Yang sulit jika banjir datang tiba-tiba seperti air bah di
daerah aliran sungai. Tapi itu pun alam sebenarnya sudah memberikan tandatanda dengan perilaku hewan.
Selama berabad-abad hewan dapat memprediksi bencana alam, jauh
sebelum manusia dapat memprediksinya. Hewan seolah-olah memiliki indera
keenam untuk dapat mengetahui akan adanya badai, gempa bumi dan tsunami.
Para ilmuwan berteori bahwa hewan mampu menangkap getaran-getaran atau
perubahan tekanan udara di sekitar mereka yang tidak dapat dilakukan
manusia. Tanda-tansa penting secara primbonistis masih layak diperhatikan.
Yakni ketika ada gejala alam dan lingkungan yang tidak biasa.
(1) Jika ada beberapa kelelawar, yang aktif di malam hari dan biasanya
tidur di siang hari, menjadi sangat aktif setengah jam sebelum
gelombang tsunami datang.
(2) Jika ada anjing yang biasanya terlihat senang, melompat-lompat dan
berlari-lari dengan pemiliknya, menjadi tidak tertarik melakukan hal
tersebut. Begitu pula dengan monyet yang biasanya sangat suka
dengan pisang, tiba-tiba menjadi tidak tertarik dan bertingkah sangat
aneh.
Untuk mengantisipasi kedahsyatan bencana yang membahayakan
keselamatan, ada beberapa langkah berikut.
Pertama, bagi para penghuni apartemen atau perumahan, hal lain yang
dapat dimanfaatkan adalah dengan memelihara ikan lele di akuarium.
Sebaiknya lele Jawa, bukan dumbo. Sekelompok lele Jawa yang dipelihara
dalam akuarium kaca memikiki sensitifitas tinggi terhadap pergerakan tanah
termasuk gempa. Bila suatu getaran dalam tanah terjadi dan membentuk
gempa, maka lele-lele peliharaan ini akan berkecipuk aktif dan mengibasibaskan air akuarium/kolam. Sebelum berita gempa muncul di TV atau radio,
penghuni apartemen dan perumahan mewah dapat bergegas melakukan
evakuasi penyelamatan.
Kedua, perhatikan hewan ini di sekitar tempat tinggal kita, terutama
jumlahnya. Biasanya capung dan kupu-kupu terbang disekitar kita sedikit dan
jarang. Agak berbeda bila tempat tinggal kita dekat dengan sungai atau danau,
mereka sering terbang ke sekeliling rumah dan berkelompok. Bila tiba-tiba
mereka terbang sekeliling area tempat tinggal kita dalam jumlah banyak atau
sangat banyak, maka mereka menandakan air akan naik. Bila kupu-kupu dan
capung berbondong-bondong menyingkir, menuju ke titip gunung, harus hatihati akan datangnya bahaya banjir dan angin besar.
Ketiga, para pemelihara burung itu penting. Burung yang memuat
katuranggan ketika manggung. Burung puter ataupun perkutut. Jika manggung
9
tidak mengikuti alur kebiasaan, perlu dipertanyakan. Manakala ada burung
seperti kehilangan kendali, menabraki kaca, aka nada banjir atau tsunami. Bila
burung-burung pemeliharaan ingin terbang (glubag-glubug) dari sangkar, harus
waspada aka nada bahaya.
Akhirnya, masih banyak lagi tanda-tanda primbonistis yang layak dicatat.
Yang penting kita tidak perlu berpikir yang memojokkan primbonistis. Siapa
tahu pemikiran demikian justru kita selamat dari gangguan lingkungan.
Bencana alam akan dating sewaktu-waktu, susah diprediksikan. Selamat
merenungkan.
Yogyakarta, Gagat rahina, 29 Agustus 2014
10
Download