pengaruh manajemen laba, tingkat kepemilikan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Penelitian
Dalam proses going public, sebelum diperdagangkan di pasar sekunder (bursa
efek), saham perusahaan dijual di pasar perdana melalui proses Initial Public Offering
(IPO). Harga saham yang dijual di pasar perdana telah ditentukan terlebih dahulu atas
dasar kesepakatan antara emiten dan underwriter, sedangkan harga di pasar sekunder
ditentukan oleh pasar (mekanisme penawaran dan permintaan). Antara dua mekanisme
penentuan harga tersebut, sering terjadi perbedaan harga antara saham yang sama pada
pasar perdana dan pasar sekunder. Apabila penentuan harga saham pada saat IPO secara
signifikan lebih rendah dibanding dengan harga yang terjadi di pasar sekunder di hari
pertama, maka terjadi apa yang disebut dengan underpricing.
Fenomena underpricing seringkali dijumpai pada pasar perdana (Ritter, 1991;
McGuinness, 1993; dan Aggrawal, et al., 1993). Penelitian yang dilakukan oleh Aggrawal
et al. (1993) menyatakan bahwa pada umumnya saham perusahaan IPO dalam jangka
pendek mengalami kondisi underpricing, tetapi dalam jangka panjang menunjukkan return
yang negatif (underperformance). Ritter (1991) mengungkapkan bahwa faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya kondisi underperformance tersebut adalah adanya kesalahan
dalam melakukan pengukuran risiko, bad luck dan perilaku investor yang terlalu optimistis
terhadap prospek perusahaan IPO.
Pada pasar perdana di Indonesia, rata-rata perusahaan yang melakukan IPO
mengalami underpricing di hari pertama ketika saham diperdagangkan di pasar sekunder
dan rata-rata investor menerima return yang positif sampai dengan bulan ketiga masa
perdagangan (Amin, 2007). Husnan (1993) dan Ernyan dan Husnan (2002) menyebutkan
bahwa penawaran saham perdana memberikan initial return positif, yang menunjukkan
terjadinya underpricing pada saat IPO.
Kondisi saham yang underpriced juga diungkapkan oleh Darmawan (2008) yang
menyebutkan bahwa saham PT Adaro Energy, Tbk., memberikan return positif pada
penutupan di hari pertama perdagangannya di pasar sekunder. Darmawan (2013) juga
mengungkapkan bahwa beberapa saham memberikan return yang positif sejak listing pada
tahun 2013 di Bursa Efek Indonesia. Saham tersebut misalnya adalah PT Multipolar
Technology, Tbk., PT Trans Power Marine, Tbk., dan PT Indomobil Multi Jasa, Tbk.
Saham perusahaan tersebut memberikan return yang positif sampai dengan akhir tahun
2013, walaupun kondisi sebaliknya diungkapkan juga bahwa terdapat beberapa saham
yang memberikan return negatif, misalnya saham PT Semen Baturaja, Tbk., PT Electronic
City Indonesia, Tbk., dan PT Dyandra Media International, Tbk.
Kondisi underpricing ini tidak menguntungkan bagi perusahaan yang melakukan
go public, karena dana yang diperoleh sudah pasti tidak maksimum. Sebaliknya apabila
terjadi kondisi overpricing, maka investor yang mengalami kerugian, karena mereka tidak
menerima initial return, yaitu return yang merupakan keuntungan bagi pemegang saham
karena adanya perbedaan harga saham yang dibeli di pasar perdana (pada saat IPO) dengan
harga jual saham yang sama pada hari pertama di pasar sekunder. Pemilik perusahaan IPO
menginginkan untuk dapat meminimalisasi underpricing, kalau tidak demikian, akan
menyebabkan transfer kemakmuran (wealth transfer) dari emiten/pemilik lama (pendiri
perusahaan) kepada para investor.
Dimovski et al. (2004) menyatakan bahwa terdapat dua alasan mengapa
underwriter dan emiten menentukan harga saham IPO secara underpriced yang dikiaskan
2
sebagai leaving money on the table. Alasan pertama yaitu berharap saham IPO lebih
mudah untuk dijual, dan alasan kedua yaitu mempertimbangkan untuk mengganti
komisi/pendapatan yang hilang (karena saham perdana dijual secara underpriced),
berharap mendapatkan penggantian dengan membebankan fee yang lebih besar kepada
investor atas jasa keuangan selanjutnya (di pasar sekunder).
Uraian di atas menjelaskan adanya hubungan antara emiten dengan pihak lain,
yaitu underwriter dan investor atau calon investor. Hubungan tersebut merupakan
hubungan keagenan seperti yang dijelaskan oleh teori keagenan yang memodelkan proses
kontrak antara dua orang atau lebih dan masing-masing pihak yang terlibat dalam kontrak
mencoba mendapatkan yang terbaik bagi dirinya (Scott, 2009). Hubungan keagenan
merupakan suatu kontrak antara principal dan agent, yang pada intinya terdapat pemisahan
kepentingan antara pemilik (principal) dan pengelola (manajer/agent). Permasalahan akan
timbul jika masing-masing pihak mempunyai kepentingan yang berbeda yang disebabkan
oleh adanya masalah asimetri informasi. Dalam kontek IPO, hubungan keagenan bisa
disamakan dengan hubungan antara manajemen perusahaan sebagai emiten dengan
investor dan calon investor, antara manajemen perusahaan sebagai emiten dengan
underwriter atau antara underwriter dengan investor dan calon investor.
Dalam pelaksanaan kebijakan IPO seringkali diwarnai oleh adanya masalah
asimetri informasi (Beatty, 1989; Ritter, 1991; dan Leland dan Pyle, 1977). Investor dan
calon investor dipandang sebagai pihak yang kurang mempunyai informasi tentang
prospek dibandingkan manajemen perusahaan IPO. Oleh karena itu, IPO sering dijelaskan
sebagai alasan utama bagi manajer untuk melaporkan laba secara overstated (terlalu tinggi)
dengan tujuan agar bisa menjual saham perdananya pada harga penawaran yang tinggi.
Logika ini didasari oleh managerial opportunism hypothesis (hipotesis oportunisme
3
manajerial) yang menyatakan bahwa manajer termotivasi untuk melaporkan laba yang
tinggi dengan tujuan supaya dapat menjual sahamnya dengan harga yang tinggi (Nagata,
2013).
Akan tetapi penelitian terdahulu masih belum mengungkapkan hasil yang sinkron
atas penelitian yang dilakukan berkaitan dengan hipotesis oportunisme manajerial.
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menguji hipotesis oportunisme manajerial,
antara lain dilakukan oleh Teoh et al. (1998), DuCharme et al. (2001), Fan (2007), Ball
dan Shivakumar (2008) dan Chang et al. (2010). Temuan yang dihasilkan belum
menunjukkan temuan yang sejalan.
Hasil penelitian yang mendukung hipotesis oportunisme manajerial adalah
penelitian yang dilakukan oleh Teoh et al. (1998), mengungkapkan bahwa perusahaan IPO
sebelum menjual saham perdananya cenderung melaporkan laba yang tinggi dengan
mengubah discretionary accounting accrual, akan tetapi manajemen laba berhubungan
secara negatif dengan kinerja harga saham setelah IPO. DuCharme et al. (2001)
melakukan penelitian tentang earnings management sebelum melakukan IPO. Hasilnya
mengindikasikan bahwa abnormal accruals sebelum IPO secara positif berhubungan
dengan initial firm value. Perusahaan IPO mungkin mencoba meninggikan hasil penjualan
sahamnya dengan melakukan manipulasi laba secara oportunistik melalui manajemen
akrual sebelum IPO.
Hasil penelitian yang tidak mendukung hipotesis oportunisme manajerial misalnya
dilakukan oleh Chang et al. (2010) yang meneliti tentang earnings management di seputar
IPO dengan menginvestigasi peran reputasi underwriter. Hasil penelitiannya
mengungkapkan bahwa perusahaan IPO yang menggunakan jasa underwriter dengan
reputasi tinggi akan melakukan manajemen laba secara kurang agresif. Underwriter yang
4
memiliki reputasi tinggi akan secara hati-hati melindungi reputasinya dengan
mensyaratkan kepada emiten untuk diaudit oleh auditor yang memiliki reputasi yang tinggi
dan mengawasi dengan seksama laba dan informasi keuangan yang dilaporkan oleh
perusahaan IPO.
Ball dan Shivakumar (2008) mengungkapkan hasil penelitiannya bahwa perusahaan
IPO cenderung melaporkan labanya secara konservatif, dengan alasan bahwa perusahaan
IPO mendapatkan pengawasan yang ketat supaya melaporkan laba yang berkualitas,
misalnya pengawasan dari regulator, auditor, underwriter dan analis keuangan. Ball dan
Shivakumar (2008) menambahkan bahwa perusahaan IPO rata-rata melakukan manajemen
laba secara lebih konservatif sebelum IPO. Fan (2007) menginvestigasi interaksi antara
earnings management dan owner retention dalam mempengaruhi penilaian pasar
ekuilibrium terhadap perusahaan IPO dalam kondisi asimetri informasi. Hasil
penelitiannya menyatakan bahwa manajemen laba dilakukan tidak dalam kontek
oportunisme dan bersama-sama dengan faktor owner retention mempengaruhi penilaian
investor terhadap perusahaan IPO.
Sebelum dan sesudah penawaran saham (IPO), manajer perusahaan akan berusaha
memberikan sinyal tentang kualitas perusahaan kepada investor dan calon investor, agar
tertarik untuk berpartisipasi dalam perdagangan saham. Upaya yang sering dilakukan oleh
perusahaan adalah dengan melaporkan laba yang tinggi, yang dikenal sebagai earnings
management dengan income maximization (Aharony et al., 1993; Friedlan, 1994; Neil et
al., 1995; Gumanti, 2001). DuCharme et al. (2004) juga menyatakan bahwa beberapa
perusahaan melaporkan laba yang tinggi sebelum penawaran saham perdana.
Banyak peneliti yang berpendapat bahwa peristiwa IPO merupakan alasan bagi
manajer perusahaan melakukan manajemen laba atau bahkan melakukan manipulasi
5
terhadap laba yang dilaporkan dengan tujuan memberikan sinyal kepada investor bahwa
perusahaan memiliki prospek yang bagus di masa depan, sehingga dapat mendorong
peningkatan harga saham di pasar saham. Penelitian tentang kebijakan manajemen laba
yang dilakukan oleh perusahaan sebelum IPO sudah banyak dilakukan, misalnya dilakukan
oleh Beneish (2001) yang mengungkapkan hasil bahwa terlalu dini jika berpendapat bahwa
manajer cenderung melakukan manipulasi terhadap laba yang dilaporkan sebelum IPO.
Walaupun ada bukti yang menyebutkan bahwa terdapat hubungan negatif antara
manajemen laba dengan kinerja harga saham setelah IPO, seperti yang diungkapkan oleh
Teoh et al. (1998).
Banyak penelitian tentang manajemen laba yang dilakukan secara tidak terlalu
agresif, seperti penelitian yang dilakukan oleh Ball dan Shivakumar (2008) yang
mengungkapkan bahwa rata-rata perusahaan melakukan manajemen laba secara lebih
konservatif sebelum IPO. Nagata (2013) mengungkapkan bahwa investor tidak akan ikut
dalam transaksi perdagangan saham IPO jika laba yang dilaporkan memiliki kualitas yang
buruk kecuali harga sahamnya cukup rendah.
Hasil penelitian yang belum sinkron tentang bagaimana manajemen laba dilakukan
ini, mengindikasikan bahwa tidak semua manajer memiliki motivasi yang sama untuk
melakukan manajemen laba di sekitar IPO. Hal ini menunjukkan pentingnya penelitian
tentang bagaimana manajemen laba dilakukan. Oleh karenanya, pertanyaan penelitian
tentang apakah perusahaan melakukan manajemen laba dengan income maximization
sebelum IPO penting untuk ditemukan jawabannya.
Hipotesis oportunisme manajerial secara implisit menyatakan bahwa investor akan
membayar lebih besar untuk saham perusahaan yang melaporkan labanya secara lebih
tinggi, karena adanya asumsi tentang investor yang menganggap bahwa laba yang tinggi
6
berkaitan dengan tingginya kualitas perusahaan IPO, seperti yang diungkapkan oleh Kim
dan Park (2005) dalam penelitiannya yang menguji hubungan earnings management dalam
seasoned equity offering (SEO) dan penilaian saham yang ditawarkan. Hasilnya
menyatakan bahwa perusahaan yang menggunakan kebijakan akuntansi akrual secara
agresif, akan secara agresif juga meninggikan harga penawaran sahamnya, dengan tujuan
untuk mengurangi besaran underpricing. Akan tetapi beberapa literatur yang berkaitan
dengan underpricing memberikan bukti yang bertentangan dengan asumsi ini, antara lain
adalah penelitian yang dilakukan oleh Ljungqvist (2007), yang menyatakan bahwa
underpricing dapat meningkat semakin besar dengan meningkatnya ketidakpastian ex-ante
yang berkaitan dengan nilai perusahaan IPO, karena semakin tinggi laba yang dilaporkan,
akan semakin besar tingkat ketidakpastian yang dihadapi oleh investor.
Laba yang dilaporkan secara overstated (terlalu tinggi) akan membuat investor
menghadapi situasi ketidakpastian yang tinggi karena adanya faktor asimetri informasi.
Dalam kontek IPO, investor merupakan pihak yang memiliki informasi yang terbatas
tentang prospek perusahaan di masa depan dibandingkan dengan pihak lain, sehingga
investor membutuhkan informasi dari sumber lain, seperti kualitas underwriter, kualitas
auditor dan informasi lainnya sebagai pertimbangan untuk terlibat dalam perdagangan
saham perdana.
Hasil penelitian lainnya mengungkapkan bahwa investor tidak akan membeli
saham perusahaan IPO dengan laba yang berkualitas rendah (sebagai akibat adanya
manajemen laba yang dilakukan secara agresif) kecuali harga saham perdana yang
ditawarkan cukup underpriced. Oleh karena itu, kemungkinan manajemen laba yang
melaporkan laba dengan kualitas rendah (melaporkan laba yang sangat tinggi)
menyebabkan underpricing yang lebih besar, karena underwriter mungkin memberi harga
7
penawaran saham lebih rendah pada perusahaan yang memiliki kualitas laba yang lebih
rendah tersebut. Oleh karena investor menghadapi ketidakpastian yang tinggi berkaitan
dengan nilai perusahaan pada saat kualitas laba rendah, maka investor menginginkan
penurunan atas harga penawaran saham perdana (Nagata, 2013).
Sebagian manajer perusahaan IPO berusaha untuk memberikan sinyal kepada
investor dan calon investor bahwa perusahaan mempunyai kualitas kinerja yang tinggi
dengan menyatakan laba yang tinggi dalam laporan keuangan melalui manajemen laba,
seperti yang diungkapkan oleh DuCharm et al. ( 2004). Di samping itu, dalam proses
penawaran saham perdana diperlukan peran pihak lain, misalnya auditor, penasehat hukum
dan underwriter yang memiliki reputasi tinggi. Kemudian terdapat kecenderungan bahwa
harga saham perdana yang terjadi pada saat IPO adalah underpriced (Boulton et al., 2011).
Melaporkan laba yang tinggi dan melakukan upaya untuk menggunakan jasa pihak ketiga
yang memiliki reputasi yang tinggi dan fenomena underpricing yang terjadi diharapkan
mampu menjadi sinyal positif dalam menarik minat investor dan calon investor untuk ikut
berpartisipasi dalam perdagangan saham.
Oleh karena itu, penelitian untuk menguji hubungan antara manajemen laba,
reputasi auditor, dan reputasi underwriter dengan underpricing di sekitar IPO perlu
dilakukan. Dengan demikian penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan apakah
terdapat hubungan antara manajemen laba sebelum IPO, reputasi underwriter, dan
reputasi auditor dengan besaran underpricing di pasar saham di Indonesia.
Berkaitan dengan usaha untuk menarik minat investor dan calon investor dalam
perdagangan saham perdana, manajemen perusahaan cenderung menyajikan laba yang
tinggi dalam laporan keuangannya. Dalam jangka pendek investor memang menerima
return yang positif, tetapi dalam jangka panjang saham perusahaan IPO akan mengalami
8
underperformance (Teoh et al., 1998). Oleh karenanya, ada kemungkinan bahwa
manajemen laba yang dilakukan bagi investor tertentu bukan merupakan sinyal yang
positif. Akan tetapi, sebaliknya bagi investor yang lain (naif) manajemen laba mungkin
dapat mempengaruhi pengambilan keputusan investasi di pasar saham.
Dalam perdagangan saham di pasar perdana, peran underwriter merupakan peran
yang sangat penting bagi keberhasilan proses IPO. Stoughton dan Zechner (1998)
menyatakan bahwa underwriter memiliki dua peran kunci, yaitu 1) mengidentifikasi calon
investor di antara calon investor yang heterogen, dan 2) melakukan transfer nilai dari para
investor kepada emiten. Agar peran kunci tersebut dapat dilaksanakan dengan baik maka
underwriter harus menjalankan strategi untuk menjaga harga jual saham IPO di pasar
sekunder agar tidak mengalami penurunan sampai di bawah harga perdananya. Strategi ini
dikenal dengan istilah stabilisasi harga, yang dilakukan selama 45 hari perdagangan (hari
kerja) sejak hari pertama saham diperdagangkan di pasar sekunder (Lowery dan Schwert,
2003). Aktivitas stabilisasi harga dalam perdagangan saham IPO di Bursa Efek Indonesia
diatur oleh BAPEPAM (Peraturan BAPEPAM, No. XI.B.1), underwriter berkepentingan
melakukan stabilisasi harga saham IPO selama 30 sejak hari pertama saham
diperdagangkan di pasar sekunder.
Turunnya harga saham sampai di bawah harga perdana, pada umumnya disebabkan
karena adanya praktek flipping, yang merupakan fenomena penjualan saham oleh investor
dalam jumlah besar dan dalam waktu yang singkat pada minggu-minggu pertama setelah
IPO. Upaya antisipasi atas terjadinya fenomena flipping ini, underwriter harus bertindak
sebagai market maker dengan melakukan net buying untuk menghalangi turunnya harga
saham (Carter et al., 1998). Pham et al. (2003) menyatakan bahwa saham IPO yang
underpriced akan berdampak pada rendahnya kemungkinan stabilisasi harga.
9
Semua upaya yang dijelaskan sebelumnya bertujuan untuk menarik minat para
investor dan calon investor agar berpartisipasi dalam perdagangan saham IPO. Pada pasar
saham, terdapat berbagai faktor yang dapat mempengaruhi perilaku individu dalam
pengambilan keputusan investasi. Beaver (1968) menyatakan bahwa perilaku pengambilan
keputusan akan berubah pada saat informasi baru tersedia, yang kemudian dapat mengubah
keyakinan individu tersebut. Selanjutnya muncul pertanyaan apakah sinyal yang diberikan
oleh perusahaan dan kondisi harga saham IPO yang underpriced, serta adanya campur
tangan dari underwriter dalam aktivitas stabilisasi harga saham IPO tersebut mampu
mempengaruhi keputusan investor dan calon investor untuk melakukan penawaran
pembelian saham (bidding) di pasar perdana maupun di pasar sekunder.
Fokus perhatian individu (investor dan calon investor) sebelumnya hanya pada laba
yang dihasilkan oleh perusahaan. Perilaku individu sekarang ini banyak dibahas dengan
mendasarkan pada perspektif ilmu keuangan keperilakuan. Perspektif ilmu keuangan
keperilakuan menggunakan psikologi kognitif (psikoanalitis), yaitu suatu kajian tentang
kondisi lingkungan yang mampu mempengaruhi manusia dalam berperilaku, yang fokus
pada bagaimana pikiran manusia mengendalikan perilakunya. Oleh karena adanya
perubahan pandangan dalam ilmu keuangan tersebut, maka ada kemungkinan informasi
laba bukan merupakan satu-satunya pertimbangan bagi investor dalam pengambilan
keputusan. Investor dimungkinkan memiliki fokus perhatian baru yang dapat
mempengaruhi perilakunya dalam melakukan investasi, misalnya informasi tentang harga
saham perdana, tentang reputasi underwriter, dan reputasi auditor, atau informasi lainnya.
Penelitian tentang perilaku investor dalam pengambilan keputusan di pasar
sekunder telah banyak dilakukan, akan tetapi penelitian yang berkaitan dengan perilaku
investor dalam pengambilan keputusan di pasar perdana belum menghasilkan temuan yang
10
sinkron di antara peneliti. Oleh karenanya, perilaku investor apakah overreact (optimistis)
atau underreact (pesimistis) terhadap suatu informasi, menjadi fenomena yang terus
berkembang di bidang ilmu keuangan modern dan behavioral finance.
Pertanyaan bagaimana perilaku investor pada saat IPO, apakah underreact
(pesimistis) atau overreact (optimistis) terhadap informasi laba yang dilaporkan, reputasi
underwriter, reputasi auditor, dan fenomena underpricing, perlu diteliti untuk
mendapatkan jawaban. Lebih lanjut, perlu diteliti apakah manajemen laba, reputasi
underwriter, reputasi auditor dan fenomena underpricing pada saat IPO dapat dianggap
sebagai suatu sinyal efektif yang mampu mempengaruhi perilaku investor dan calon
investor dalam pengambilan keputusan yang akan mempengaruhi volume pedagangan di
pasar saham perdana.
Teoritisi keuangan lama berpendapat bahwa perilaku investor merupakan perilaku
yang rasional, yang berarti bahwa keputusan yang diambil didasarkan pada informasi yang
relevan. Investor rasional akan memilih untuk terlibat dalam perdagangan jika return
ekspektasian dapat menutupi semua biaya yang dikeluarkan (Grossman dan Stiglitz, 1980).
Sebaliknya, model teoritis yang dikembangkan oleh Odean (1998) dan Gervais dan Odean
(2001) menyatakan bahwa investor yang overconfidence akan lebih siap untuk terlibat
dalam perdagangan saham dibandingkan investor yang rasional, walaupun menghasilkan
return yang terus menerus turun. Hal ini sejalan dengan pandangan teoritisi keuangan baru
yang menjelaskan bahwa investor seringkali berperilaku tidak rasional dan adanya faktor
psikologis yang menyebabkan bias dalam pengambilan keputusan investasi (Barberis dan
Thaler, 2002).
Salah satu kondisi yang dapat menyebabkan bias dalam pengambilan keputusan
adalah overconfidence (Statman et al., 2006), yang timbul sebagai akibat dari adanya self11
attribution bias. Self-attribution bias merupakan kecenderungan investor dan calon
investor dalam pengambilan keputusan, memberikan bobot/nilai yang berlebihan pada
informasi yang dimilikinya dan mengabaikan informasi publik yang tersedia. Perilaku
overconfidence akan menyebabkan peningkatan dalam volume perdagangan.
Chen et al. (2007) menguji perbedaan confidence berdasarkan karakteristik
investor. Hasil penelitian yang dilakukannya mengungkapkan bahwa keputusan
perdagangan dari investor individual lebih buruk dibandingkan investor institusional di
China, dan mengungkapkan bahwa investor dewasa dan kaya bukan merupakan investor
yang baik dalam melakukan keputusan investasi. Mittal dan Vyas (2009) mengungkapkan
bahwa kemampuan dan penghasilan adalah faktor yang mempengaruhi tingkat confidence.
Hsu dan Shiu (2010) menguji perilaku investor di pasar perdana, dan mengungkapkan hasil
bahwa investor yang optimistis selalu menjadi investor yang salah dalam pengambilan
keputusan, investor institusional mempunyai kinerja pemilihan saham yang lebih baik
dibandingkan dengan investor individual, dan menunjukkan bukti bahwa perilaku
overconfidence dipengaruhi oleh self-attribution bias.
Di dalam pasar saham banyak investor yang terlibat dengan berbagai karakter,
misalnya ada investor dengan karakter rasional dan tidak rasional, ada investor yang
konservatif dan ada yang overconfidence. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya bahwa
terdapat perbedaan pendapat antara teoritisi keuangan lama yang menyatakan bahwa
perilaku investor dan calon investor adalah rasional, dan pendapat teoritisi keuangan baru
yang menyatakan bahwa perilaku investor dan calon investor adalah tidak rasional yang
dapat dipengaruhi oleh bias kognitif dalam pengambilan keputusan, seperti self-attribution
bias, yang akan mempengaruhi perilaku investor ikut serta dalam perdagangan saham
perdana.
12
Berbagai karakter dan perilaku investor yang terlibat dalam pasar diduga akan
mempengaruhi volume perdagangan saham, di samping terdapat faktor lain seperti sinyalsinyal yang diberikan oleh perusahaan, misalnya laba yang dilaporkan dalam laporan
keuangan, reputasi auditor, reputasi underwriter, dan terjadinya fenomena underpricing.
Dengan demikian penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menginvestigasi apakah
fenomena underpricing harga saham perdana mampu mempengaruhi investor dan calon
investor untuk bersedia ikut aktif dalam transaksi perdagangan saham perdana, sehingga
akan mempengaruhi volume perdagangan saham perdana selama periode stabilisasi. Oleh
karena itu, penelitian ini diharapkan mampu menjawab pertanyaan apakah besaran
underpricing berpengaruh pada volume perdagangan saham perdana selama periode
stabilisasi.
1.2.
Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan di atas, pertanyaan penelitian dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah perusahaan melakukan manajemen laba dengan income maximization
sebelum IPO?
2. Apakah manajemen laba yang dilakukan sebelum IPO berhubungan dengan
besaran underpricing?
3. Apakah reputasi underwriter berhubungan dengan besaran underpricing?
4. Apakah reputasi auditor berhubungan dengan besaran underpricing?
5.
Apakah besaran underpricing mempengaruhi volume perdagangan saham
perdana selama periode stabilisasi?
13
1.3.
Tujuan Penelitian
Beberapa upaya sering dilakukan oleh perusahaan yang akan going public antara
lain adalah melakukan manajemen laba (earnings management) dengan income
maximization, menggunakan jasa underwriter dan auditor yang mempunyai reputasi tinggi,
dan menciptakan kondisi underpricing saham perdana dengan menetapkan harga saham
perdana yang cukup rendah. Upaya tersebut dimaksudkan untuk memberikan sinyal yang
efektif kepada investor dan calon investor sehingga dapat menarik minatnya untuk
berpartisipasi dalam perdagangan saham perdana. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan:
1) menguji apakah perusahaan melakukan manajemen laba dengan income maximization
sebelum IPO, 2) menguji apakah manajemen laba berhubungan dan berpengaruh terhadap
besaran underpricing yang terjadi di pasar saham perdana, 3) menguji apakah reputasi
underwriter berhubungan dan berpengaruh terhadap besaran underpricing yang terjadi di
pasar saham perdana, 4) menguji apakah reputasi auditor berhubungan dan berpengaruh
terhadap besaran underpricing yang terjadi di pasar saham perdana, dan 5) menguji
apakah besaran underpricing berhubungan dan berpengaruh terhadap volume perdagangan
di pasar saham selama periode stabilisasi.
1.4.
Kontribusi Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan bukti apakah perusahaan IPO
melakukan manajemen laba dengan income maximizatian sebelum IPO. Penelitian ini juga
diharapkan mampu mengungkapkan hubungan dan pengaruh manajemen laba, reputasi
underwriter, dan reputasi auditor terhadap besaran underpricing harga saham dan
diharapkan dapat membuktikan bahwa besaran underpricing berpengaruh pada volume
14
perdagangan saham perdana di pasar saham selama periode stabilisasi harga saham
perusahaan IPO.
Penelitian ini diharapkan mempunyai kontribusi penting, baik bagi para praktisi
maupun akademisi. Kontribusi tersebut meliputi kontribusi teori, empiris, dan kebijakan.
Kontribusi teori akan diperoleh dari hasil penelitian ini, yaitu berupa pemahaman atau
bukti baru yang akan mendukung keberadaan dan perkembangan teori akuntansi keuangan,
khususnya teori keagenan termasuk keberadaan asimetri informasi, teori pensinyalan dan
teori bias kognitif yang berhubungan dengan perilaku investor dalam perdagangan saham.
Pemahaman atau bukti yang diperoleh dari hasil penelitian diharapkan mampu
mengungkapkan: 1) praktik manajemen laba dari perusahaan yang akan melakukan
penawaran saham perdana (IPO), yang memberikan motivasi kepada manajemen untuk
melakukan manajemen laba dengan menaikkan laba untuk tujuan mempengaruhi harga
saham perdana yang mampu mendorong keberhasilan penjualan saham perdana, 2) praktik
manajemen laba yang merupakan konsekuensi logis dari fleksibilitas yang diberikan oleh
standar akuntansi sehingga apabila tindakan manajemen laba dilakukan, bukan termasuk
kategori tindakan kecurangan dalam pelaporan keuangan, akan tetapi memperkuat
pendapat bahwa manajemen laba merupakan praktik yang umum dilakukan, dan
merupakan fenomena yang terjadi dalam pelaporan keuangan (Beneish, 2001), 3) apakah
manajemen laba yang dilakukan oleh manajemen perusahaan sebelum IPO mempengaruhi
terjadinya fenomena underpricing harga saham perdana.
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman tentang peran pihak lain
seperti auditor, underwriter, dan investor atau calon yang berhubungan dengan
keberhasilan penawaran saham perdana. Peran auditor diperlukan untuk memberikan
keyakinan kepada investor dan calon investor dengan pendapat yang diberikan atas dasar
15
laporan keuangan yang disusun oleh manajemen perusahaan IPO. Pendapat auditor ini
akan menjadi acuan untuk melakukan penilaian terhadap kinerja sebagai dasar dalam
pengambilan keputusan investasi pada perusahaan IPO bagi investor dan calon investor.
Peran underwriter berkaitan dengan tugas dan fungsinya dalam mengumpulkan informasi
tentang minat investor dan calon investor dalam perdagangan yang menjadi acuan dalam
menetapkan harga saham perdana sehingga mempengaruhi terjadinya fenomena
underpricing.
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman tentang perilaku
investor dalam melakukan pengambilan keputusan di pasar saham yang dapat dilihat
melalui transaksi penjualan atau volume perdagangan di pasar saham. Perilaku investor
dan calon investor di pasar saham memang sulit untuk diprediksi. Hal ini disebabkan oleh
banyaknya faktor yang mungkin mempengaruhi perilaku investor dan calon investor. Bukti
empiris yang diungkapkan oleh peneliti terdahulu menyebutkan bahwa investor
berperilaku underreact (pesimistis) terhadap harga saham IPO, walaupun terdapat bukti
yang menyatakan kondisi yang sebaliknya. Hal ini dapat dipahami karena menurut
perspektif ilmu keuangan keperilakuan menyebutkan bahwa perilaku investor adalah tidak
rasional. Perilaku tidak rasional ini menyebabkan investor melakukan bias dalam
pengambilan keputusan. Salah satu kondisi yang dapat menyebabkan bias dalam
pengambilan keputusan adalah overconfidence. Perilaku overconfidence ini dapat
menyebabkan peningkatan volume perdagangan (Statman et al., 2006).
Penelitian ini akan memberikan pemahaman tentang pengaruh manajemen laba
yang dilakukan perusahaan sebelum IPO, reputasi underwriter, dan reputasi auditor
terhadap besaran underpricing yang terjadi di pasar perdana dan pengaruh besaran
underpricing terhadap perilaku investor dan calon investor yang dilihat melalui volume
16
perdagangan saham perdana di pasar saham. Hal ini berkaitan juga dengan tugas dan
fungsi underwriter dalam melakukan stabilisasi harga saham perdana selama 30 hari
sesudah IPO, maka pergerakan volume perdagangan saham perdana ini akan diamati
selama 30 hari periode stabilisasi.
Kontribusi empiris yang diperoleh dari hasil penelitian ini diharapkan mampu
mengungkapkan apakah perusahaan melakukan manajemen laba dengan income
maximization sebelum IPO, dan bagaimana hubungan manajemen laba, reputasi
underwriter, dan reputasi auditor dengan besaran underpricing saham perdana, dan
bagaimana pengaruh besaran underpricing saham perdana terhadap volume perdagangan
saham perdana di pasar selama periode stabilisasi. Hasil penelitian ini juga diharapkan
mampu memberikan informasi langsung kepada perusahaan yang akan melakukan IPO,
tentang faktor-faktor yang dapat mempengaruhi investor untuk aktif dalam perdagangan
saham perdana di pasar saham.
Kontribusi kebijakan dari penelitian ini diperoleh dari hasil penelitian yang
diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam mengembangkan metode
penelitian di bidang akuntansi keuangan dengan pendekatan yang lebih komprehensif dan
diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam menyempurnakan regulasi
yang sudah ada berkaitan dengan standar dan metoda akuntansi dalam penerapan
manajemen laba, peraturan yang mampu mengontrol reputasi underwriter dan reputasi
auditor dan peraturan ataupun ketentuan yang dibutuhkan untuk melakukan IPO di pasar
saham perdana. Khususnya bagi auditor, penelitian ini diharapkan dapat menjadi inspirasi
bagi pihak regulator untuk mendukung perlunya usaha untuk meningkatkan kemampuan
auditor sebagai pihak yang independen dan obyektif untuk meyampaikan informasi tentang
17
kemungkinan terjadinya praktik manajemen laba sehingga investor dan calon investor
mampu mengetahuinya dan memberikan respon secara tepat.
Di samping itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi sumber inspirasi
bagi praktisi sekuritas untuk memahami proses terjadinya harga saham di pasar perdana
dan di pasar sekunder. Pemahaman ini diperlukan sebagai dasar untuk melakukan transaksi
perdagangan di pasar saham, sehingga mampu mendorong terciptanya iklim perdagangan
yang sehat dan terbentuknya pasar saham yang efisien.
18
Download