BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Keagenan Eksposisi teoritis secara mendetail dari teori keagenan pertama kali dinyatakan oleh Jensen dan Meckling (1976). Menurut Jensen dan Meckling (1976) teori keagenan merupakan : “We define an agency relationship as a contract under which one or more persons (the principal(s)) engage another person (the agent) to perform some service on their behalf which involves delegating some decision making authority to the agent.” Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa hubungan keagenan didefinisikan sebagai suatu kontrak antara manajer (agent) dan pemilik (principal) dimana pemilik (principal) mendelegasikan sebagian kewenangan kepada manajer (agent) untuk melaksanakan kegiatan perusahaan dan kewenangan untuk mengambil keputusan. Hal tersebut mengakibatkan manajer lebih banyak memiliki informasi dibandingkan pemilik. Pada teori keagenan, yang dimaksud dengan prinsipal adalah pemegang saham dan yang dimaksud dengan agen adalah manajemen pengelola perusahaan. Prinsipal menyediakan fasilitas dan dana untuk menjalankan perusahaan. Pihak manajemen berkewajiban untuk mengelola apa yang diamanahkan oleh pemegang saham kepadanya. Untuk kepentingan tersebut, prinsipal akan memperoleh hasil berupa pembagian laba, sedangkan agen memperoleh bonus, dan berbagai macam kompensasi lainnya. Agen diwajibkan membuat laporan secara periodik pada 15 16 prinsipal tentang usaha yang dijalankannya. Prinsipal akan menilai kinerja agen melalui laporan keuangan yang disampaikan padanya. Jensen dan Meckling (1976) dalam penelitiannya menjelaskan : “If both parties to the relationship are utility maximizers, there is good reason to believe that the agent will not always act in the best interests of the principal. The principal can limit divergences from his interest by establishing appropriate incentives for the agent and by incurring monitoring costs designed to limit the aberrant activities of the agent.” Penelitiannya tersebut menjelaskan bahwa di dalam agency theory apabila diantara kedua pihak baik principal maupun agent bertujuan untuk memaksimumkan kepentingannya masing-masing, maka kemungkinan besar agent tidak akan selalu bertindak untuk memaksimumkan kepentingan principals. Menurut Jensen dan Meckling (1976), agent (manajemen) tidak akan bertindak untuk melakukan hal-hal yang dapat memaksimalkan kepentingan principal (pemilik) disebabkan : “The private corporation or firm is simply one form of legal fiction which serves as a nexus for contracting relationships among individuals.” Alasan tersebut menjelaskan bahwa organisasi atau dalam hal ini perusahaan merupakan suatu badan yang berfungsi sebagai penghubung suatu set kontrak hubungan diantara masing-masing individu. Dalam hal ini, perusahaan bukanlah individu, melainkan legal fiction yang berperan sebagai fokus untuk sebuah proses yang kompleks dimana terdapat tujuan-tujuan yang saling bertentangan antara masing-masing individu (beberapa diantaranya dapat mewakili organisasi lain) dalam sebuah kerangka hubungan kontraktual. Disebabkan principal dan 17 agent merupakan individu-individu yang berbeda dan memiliki tujuan yang berbeda pula, ketimpangan kepentingan akan terjadi sehubungan dengan tujuan masing-masing. Ketimpangan kepentingan antara agent (manajemen) dan principal (pemilik) inilah yang kemudian menyebabkan adanya ketimpangan informasi (asymetric information). Asymetric information atau ketimpangan informasi menunjukkan adanya perbedaan porsi informasi yang dimiliki agent dan principals, dimana agent memiliki lebih banyak informasi yang sebenarnya mengenai kondisi perusahaan secara keseluruhan dan memungkinkan terjadinya manipulasi laporan keuangan perusahaan agar kondisi keuangan perusahaan terlihat bagus dan agent sebagai pengelola perusahaan mendapat insentif karena dapat menciptakan kondisi perusahaan yang terlihat kondusif dan baik. Untuk mengatasi perbedaan (gap) kepentingan antara agent dan principal tersebut, principal dapat mengatasinya dengan memberikan insentif yang sesuai supaya agent dapat bertindak secara maksimal untuk memaksimumkan kepentingan principal atau menerapkan monitoring costs yang didesain untuk membatasi atau meminimalisir aktivitas yang menyimpang dari agent. Hal ini sesuai dengan pernyataan Jensen dan Meckling (1976) bahwa mekanisme skema insentif yang sesuai untuk agent (manajemen) seharusnya diatur sebagai reward atas keberhasilan manajemen memaksimumkan kepentingan principal (pemilik). Informasi yang lebih banyak dimiliki oleh manajer dapat memicu untuk melakukan tindakan-tindakan sesuai dengan keinginan manajer dan kepentingan untuk memaksimumkan utilitinya. Sedangkan bagi pemilik modal dalam hal ini 18 investor, akan sulit untuk mengontrol secara efektif tindakan yang dilakukan oleh manajemen karena hanya memiliki informasi yang sedikit. Oleh karena itu, terkadang kebijakan-kebijakan tertentu yang dilakukan oleh manajemen perusahaan tanpa sepengatahuan pihak pemilik modal atau investor. Masalah keagenan (agency problem) pun muncul karena adanya perilaku oportunistik dari agen yaitu perilaku manajemen untuk memaksimumkan kesejahteraan dirinya yang berlawanan dengan kepentingan prinsipal. Manajer memiliki dorongan untuk memilih dan menerapkan metode akuntansi yang dapat memperlihatkan kinerjanya yang baik untuk tujuan mendapatkan bonus dari prinsipal. 2.2 Manajemen laba 2.2.1 Pengertian Manajemen Laba Manajemen laba memiliki arti dan pemahaman yang berbeda-beda tergantung kita melihat sudut pandang mana. Terdapat berbagai definisi manajemen laba yang diantaranya adalah intervensi manajemen dengan sengaja dalam proses penentuan laba, biasanya untuk memenuhi tujuan pribadi (Schipper, 1989 dalam Sastradipraja, 2010). Sedangkan menurut Scott (2003:403), definisi manajemen laba adalah: “Earnings management is the choice by a manager of accounting policies, or actions affecting earnings, so as to achieve some spesific reported earnings objectives.” 19 Dari definisi di atas manajemen laba kurang lebih memiliki arti pemilihan kebijakan akuntansi atau tindakan yang dapat mempengaruhi laba yang dilakukan oleh manajer, untuk mencapai tujuan tertentu. Scoot (2003) membagi cara pemahaman atas manajemen laba menjadi dua. Pertama, melihatnya sebagai perilaku oportunis manajer untuk memaksimalkan utilitasnya dalam menghadapi kontrak kompensasi, kontrak utang dan political cost (Oportunistic Earnings Management). Kedua, dengan memandang manajemen laba dari perspektif efficient contracting (Efficient Earnings Management). Dimana manajemen laba memberi manajemen suatu fleksibilitas untuk melindungi diri sendiri dan perusahaan dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang tidak terduga untuk keuntungan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak. Dengan demikian, manajer dapat mempengaruhi nilai pasar saham perusahaannya melalui manajemen laba, misalnya dengan membuat perataan laba (income smooting) dan pertumbuhan laba sepanjang waktu. Sugiri (1998) dalam Widyaningsih (2001) membagi definisi dari manajemen laba menjadi dua, yaitu: 1. Definisi Sempit “Manajemen laba dalam hal ini hanya berkaitan dengan pemilihan metode akuntansi. Manajemen laba dalam arti sempit di sini didefinisikan sebagai perilaku manajer untuk “bermain” dengan komponen dicretionary accruals dalam menentukan besarnya earnings.” 20 2. Definisi Luas “Manajemen laba merupakan tindakan manajer untuk meningkatkan atau mengurangi laba yang dilaporkan saat ini atas suatu unit dimana manajer bertanggungjawab tanpa mengakibatkan peningkatan atau penurunan profitabilitas ekonomi jangka panjang unit tersebut.” Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa manajemen laba merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh manajer dengan cara memanipulasi data atau informasi akuntansi agar jumlah laba yang tercatat dalam laporan keuangan sesuai dengan keinginan manajer untuk tujuan-tujuan tetentu. 2.2.2 Klasifikasi Manajemen Laba Menurut Sastradipraja (2010:33), manajemen laba diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Cosmetic Earnings Manajement Cosmetic Earnings Manajement terjadi jika manajer memanipulasi akrual yang tidak memiliki konsekuensi cash flow. Teknik ini merupakan hasil dari kebebasan dalam akuntansi akrual yang mungkin terjadi. Standar Akuntansi Keuangan dan mekanisme pengawasan mengurangi kebebasan ini tetapi tidakn mungkin untuk meniadakan pilihan karena kompleksitas dan keragaman aktivitas usaha. Akuntansi akrual membutuhkan estimasi dan pertimbangan (judgement) yang menyebabkan kebebasan manajer dalam menetapkan angka akuntansi. Meskipun kebebasan ini memberikan 21 kesempatan bagi manajer untuk menyajikan gambaran aktivitas usaha perusahaan yang lebih informatif, kebebasan ini juga memungkinkan mereka mempercantik laporan keuangan (window-dress financial statement) dan mengelola earnings. 2. Real Earnings Management Real Earnings Manajement terjadi jika manajer melakukan aktivitas dengan konsekuensi cash flow. Insentif untuk melakukan earnings management memepengaruhi keputusan investing dan financing oleh manajer. Real earnings management lebih bermasalah dibandingkan dengan cosmetic earnings management karena mencerminkan keputusan usaha yang sering kali mengurangi kekayaan pemegang saham. 2.2.3 Motivasi dan Kondisi Manajemen Laba Faktor- faktor manajemen laba yang diajukan Watts dan Zimmerman (1990) dijelaskan melalui Positive Accounting Theory. Tiga hipotesis Positive Accounting Theory yang dapat dijadikan dasar pemahaman atas tindakan manajemen laba, yakni: 1. Bonus Plan Hypothesis Manajemen akan memilih metode akuntansi yang memaksimalkan utilitasnya yaitu bonus yang tinggi. Manajer perusahaan yang memberikan bonus besar berdasarkan earnings lebih banyak yang menggunakan metode akuntansi yang meningkatkan laba yang dilaporkan. Dalam suatu perusahaan yang 22 memiliki rencana pemberian bonus, maka seorang manajer perusahaan akan melakukan penaikan laba saat ini yakni dengan memilih metode akuntansi yang mampu menggeser laba dari masa depan ke masa kini. Tindakan ini dilakukan dikarenakan manajer termotivasi untuk mendapatkan upah yang lebih tinggi untuk masa kini. Dalam kontrak bonus dikenal dua istilah yaitu bogey (tingkat laba terendah untuk mendapatkan bonus) dan cap (tingkat laba tertinggi). Jika laba dibawah boegy, maka tidak akan ada bonus yang diperoleh manajer sedangkan jika laba berada di atas cap, maka manajer juga tidak akan mendapat bonus tambahan. Jika laba bersih berada di bawah boegy, manajer cendrung memperkecil laba dengan harapan memperoleh bonus lebih besar pada periode berikutnya, begitu pula sebaliknya. Jadi manajer hanya akan menaikan laba bersih perusahaan hanya jika laba bersih berada di antara boegy dan cap. Manajer dari suatu perusahaan yang menerapkan sistem bonus berdasarkan earnings lebih banyak menggunakan metode akuntansi yang meningkatkan laba yang dilaporkan. Alasannya adalah tindakan seperti itu mungkin akan meningkatkan persentasi nilai bonus jika tidak ada penyesuaian untuk metode yang dipilih. 2. Debt Covenant Hypothesis Manajer perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian kredit cendrung memilih metode akuntansi yang memiliki dampak meningkatkan laba. Hal ini dilakukan untuk menjaga reputasi mereka dalam pandangan pihak eksternal. Dalam suatu perusahaan yang mempunyai rasio debt to equity cukup tinggi, maka akan mendorong manajer perusahaan untuk cendrung menggunakan 23 metode akuntansi yang dapat meningkatkan pendapatan atau laba. Perusahaan dengan rasio debt to equity yang tinggi akan berakibat menimbulkan kesulitan dalam memperoleh dana tambahan dari pihak kreditor dan bahkan perusahaan dapat terancam melanggar perjanjian utang, semakin dekat suatu perusahaan ke pelanggaran perjanjian hutang maka manajer akan cendrung memilih metode akuntansi yang dapat “memindahkan” laba ke periode berjalan sehingga dapat mengurangi kemungkinan perusahaan mengalami pelanggaran kontrak. 3. Political Cost Hypothesis Suatu perusahaan besar yang memiliki biaya politik tinggi, akan mendorong manajer untuk memilih metode akuntansi yang menangguhkan laba yang dilaporkan dari periode sekarang ke periode masa mendatang sehingga dapat memperkecil laba yang dilaporkan dari periode sekarang ke periode masa mendatang sehingga dapat memperkecil laba yang dilaporkan. Adanya biaya politik dikarenakan profitabilitas perusahaan yang tinggi dapat menarik perhatian media dan konsumen. Hal tersebut dikarenakan dengan laba yang tinggi pemerintah akan segera mengambil tindakan, misalnya : mengenakan peraturan antitrust, menaikan pajak pendapatan perusahaan. Sedangkat Scoot (2000) dalam Rahmawati et.al. (2007) mengemukakan beberapa motivasi terjadinya manajemen laba sebagai berikut: Bonus Purposes Manager yang lebih mengetahui informasi tentang laba perusahaan dibandingkan dengan pemegang saham cendrung bersifat opportunistic dan 24 melakukan tindakan manajemn laba untuk memaksimalkan laba saat ini dengan tujuan untuk mendapatkan insentif berupa bonus. Political Motivation Manajemen laba digunakan untuk mengurangi laba yang dilaporkan pada perusahaan publik. Perusahaan cendrung mengurangi laba yang dilaporkan karena adanya tekanan publik yang mengakibatkan pemerintah menetapkan peraturan yang lebih ketat. Taxation Motivation Motivasi penghematan pajak menjadi motivasi manajemen laba yang paling nyata. Berbagai metode akuntansi digunakan dengan tujuan penghematan pajak pendapatan. Pemilihan metode akuntansi dalam pelaporan laba akan memberikan hasil yang berbeda terhadap laba yang dipakai sebagai dasar perhitungan pajak. Manajemen laba dilakukan untuk memperkecil perolehan laba sehingga mengakibatkan pajak yang dibayar kepada pemerintah juga lebih kecil dari seharusnya. Pergantian CEO Manajemen laba yang dilakukan CEO yang telah mendekati masa pensiunya biasanya dilakukan dengan menaikan laba dengan tujuan mendapatkan bonus. Jika kinerja perusahaan buruk, mereka akan memaksimalkan pendapatan agar tidak diberhentikan. Initial Public Offering (IPO) Perusahaan yang baru pertama kali menawarkan sahamnya dan belum memiliki nilai pasar memiliki kecendrungan untuk melakukan manajemen 25 laba dalam prospectus mereka dengan harapan dapat menaikan harga saham perusahaaan di masa yang akan datang. Pentingnya Memberi Informasi Kepada Investor Segala informasi yang berkaitan dengan perusahaan harus disampaikan oleh manajer kepada investor sebagai bentuk tanggung jawab manajer. Oleh karena itu, pelaporan laba perlu dibuat sedemikian rupa sehingga investor tetap menilai bahwa perusahaan memiliki kinerja yang baik sesuai keinginan. Tabel 2.1 Kondisi dan Motivasi Earnings Management No Kondisi Motivasi 1. Laba rendah Menghindari penurunan harga saham 2. Persiapan IPO (Initial Public Offering) Memperoleh harga saham optimal 3. Laba di luar bogey dan caps Selalu memperoleh bonus 4. Sasaran politis Mengurangi political cost 5. Debt covenant Menghindari penalty 6. Laba di luar garis trend Menghindari respon negatif pasar 7. Volatility laba Income smoothing 8. Penggantian top management Take a bath 9. Kerugian besar di masa lalu Reversing of accruals Sumber: Badruzaman (2010) 2.2.4 Teknik Manajemen Laba Teknik manajemen laba menurut Setiawati dan Na’im (2000) dapat dilakukan dengna tiga teknik yaitu: 26 1. Memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi Cara manajemen mempengaruhi laba melalui judgment (perkiraan) terhadap estimasi akuntansi antara lain estimasi jumlah piutang tak tertagih, estimasi kurun waktu depresiasi aset tetap atau amortisasi aset tak berwujud serta estimasi biaya garansi. 2. Mengubah metode akuntansi Hal ini digunakan dengan merubah metode akuntansi yang berbeda dengan metode sebelumnya. Contonya, dengan merubah metode depresiasi angka tahun ke metode garis lurus, mengubah metode penilaian persediaan dari metode FIFO ke metode LIFO dan sebaliknya. 3. Menggeser periode biaya atau pendapatan Contohnya, rekayasa periode biaya atau beban antara lain: mempercepat atau menunda pengeluaran untuk research and development sampai pada periode akuntansi selanjutnya, mempercepat atau menunda pengeluaran promosi sampai pada periode berikutnya, mempercepat atau menunda pengiriman produk ke pelanggan, dan mengatur waktu yang tepat untuk penjualan aset yang tidak terpakai. Badruzaman (2010) mengemukakan teknik-teknik untuk melakukan manajemen laba, diantaranya sebagai berikut: a. Earnings Management within Boundary of GAAP 1. Perubahan metode penyusutan 2. Perubahan masa manfaat aset yang akan disusutkan 3. Perubahan etimasi nilai sisa aset yang disusutkan 4. Penentuan penyisihan piutang tak tertagih 5. Penentuan penyisihan kewajiban garansi 6. Penilaian penyisihan untuk deferred tax assets 7. Estimasi tahap penyelesaian long-term contract 27 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. b. Estimasi kemungkinan terjadinya klaim atas kontrak Estimasi penurunan nilai investasi Estimasi jumlah beban akrual atas restrukturisasi Menentukan perlunya penurunan nilai persediaan Estimasi beban akrual lingkungan Membuat asumsi aktruarial untuk pension plan Menentukan nilai research & development cost yang boleh diakui Mengubah periode amortisasi intangible assets Memutuskan kapitalisasi biaya-biaya tertentu Menentukan apakah investasi mengakibatkan adanya pengaruh signifikan terhdap investee 18. Menentukan permanen atau tidaknya suatu penurunan nilai investasi jangka panjang Abusive Earnings Management 1. Mempercepat revenue recognition yang seharusnya menjadi pendapatan periode berikutnya, atau bahkan mengakui pendapatan fiktif 2. Mencatat understated expense 2.2.5 Pola Manajemen Laba Menurut Scoot (2003:383) berbagai pola yang sering dilakukan manajer dalam manajemen laba adalah: 1. Taking a Bath Pola ini terjadi saat terjadi reorganisasi termasuk saat pengangkatan CEO baru dengan melaporkan kerugian dalam jumlah besar. Bila perusahaan harus melaporkan laba yang tinggi, manajer dipaksa untuk melaporkan laba yang tinggi, konsekuensinya manajer akan menghapus aset dengan harapan laba yang akan datang dapat meningkat. Bentuk ini mengakui adanya biaya pada periode yang akan datang sebagai kerugian pada periode berjalan, ketika kondisi buruk yang tidak menguntungkan tidak dapat dihindari pada periode tersebut. Untuk itu manajemen harus menghapus beberapa aset dan membebankan perkiraaan biaya yang akan datang pada saat ini serta 28 melakukan clear the desk . Tindakan ini diharapkan dapat meningkatkan laba dimasa yang akan datang. 2. Income Minimization Dilakukan pada saat perusahaan mengalami tingkat profitabilitas yang tinggi sehingga jika laba pada periode mendatang diperkirakan turun drastis dapat diatasi dengan mengambil laba periode sebelumnya. Bentuk ini mirip dengan taking a bath, tetapi lebih ekstrim, yakni dilakukan sebagai alasan politis pada periode laba yang tinggi dengan mempercepat penghapusan aset tetap dan aset tidak berwujud dan mengakui pengeluaran-pengeluaran sebagai biaya. Pada saat profitbilitas perusahaan sangat tinggi dengan maksud agar tidak mendapat perhatian secara politis, kebijakan yang diambil dapat berupa penghapusan atas barang modal dan aset tak berwujud, biaya iklan dan pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan, hasil akuntansi untuk biaya eksplorasi. 3. Income Maximization Dilakukan pada saat laba menurun. Tindakan ini bertujuan untuk melaporkan net income yang tinggi untuk tujuan bonus yang lebih besar. Perencanaan bonus yang didasarkan pada data akuntansi mendorong manajer untuk memanipulasi data akuntansi tersebut guna menaikan laba untuk meningkatkan pembayaran bonus tahunan. Pola ini pun dilakukan oleh perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian hutang. 29 4. Income Smooting Dilakukan perusahaan dengan meratakan laba yang dilaporkan sehingga dapat mengurangi fluktuasi laba yang terlalu besar karena pada umumnya investor lebih menyukai laba yang relatif stabil. 2.3 Akuntansi Akrual 2.3.1 Konsep Akrual Dalam akuntansi dikenal istilah basis akrual dan basis kas. Basis kas digunakan untuk mengakui pendapatan dan beban atas kas tunai yang diterima atau dikeluarkan. Sedangkan basis akrual digunakan untuk menentukan penghasilan pada saat diperoleh dan untuk mengakui beban yang sepadan dengan penghasilan pada periode yang sama, tanpa memperhatikan waktu penerimaaan kas dari penghasilan yang bersangkutan (Widowati, 2009 dalam Setiawati, 2010). Sesuai dengan Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan dalam Standar Akuntansi Keuangan per 1 Juli 2009, untuk mencapai tujuannya, laporan keuangan disusun atas dasar akrual. Dengan dasar ini, pengaruh transaksi dan peristiwa lain diakui pada saat kejadian (dan bukan saat kas atau setara kas diterima atau dibayar) dan dicatat dalam catatan akuntansi serta dilaporkan dalam laporan keuangan pada periode yang bersangkutan. Laporan keuangan yang disusun atas dasar akrual memberikan informasi kepada pengguan tidak hanya transaksi dimasa lalu yang melibatkan penerimaan dan pembayaran kas tetapi juga kewajiban pembayaran kas dimasa depan serta mempresentasikan kas yang akan diterima dimasa depan. sumber daya yang 30 Konsep akrual digunakan untuk memenuhi konsep dasar akuntansi matching. Menurut konsep ini, pengakuan beban dan pendapatan harus diakui sesuai dengan hak yang diukur dalam satu periode akuntansi tanpa mempertimbangkan adanya penerimaan kas tunai. Penghasilan diakui dalam laporan laba rugi jika kenaikana manfaat ekonomi dimasa depan berkaitan dengan peningkatan aset atau penurunan kewajiban. Beban diakui dalam laporan laba rugi jika penurunan manfaat ekonomi di masa depan berkaitan dengan penurunan aset atau peningkatan kewajiban telah terjadi bersamaan dengan pengakuan-pengakuan kenaikan kewajiban atau penurunana aset. Oleh karena itu, pengakuan pendapatan dan beban menurut standar akuntansi yang diterima umum menggunakan konsep akrual. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan nomor 1 per 1 Juli 2009 tentang Penyajian Laporan Keuangan menyatakan bahwa perusahaan harus menyusun laporan keuangan atas dasar akrual, kecuali laporan arus kas. Dasar akrual dalam laporan keuangan memberikan kesempatan kepada manajer untuk memodifikasi laporan keuangan untuk menghasilkan jumlah laba yang diinginkan. Standar Akuntansi Keuangan juga memberikan keleluasaan kepada manajer untuk memilih metode akuntansi dalam menyusun laporan keuangan (Halim, dkk., 2005). Deteksi atas kemungkinan dilakukan manjemen laba dalam laporan keuangan secara umum diteliti melalui penggunaan akrual. Jumlah akrual yang tercermin dalam perhitungan laba terdiri dari discretionary accrual dan non discretionary accrual. Non discretionary accrual merupakan komponen akrual 31 yang terjadi seiring dengan perubahan aktivitas perusahaan. Discretionary accrual merupakan komponen akrual yang berasal dari earnings management yang dilakuakn manajer (Halim, dkk., 2005). Penelitian ini menggunakan disctionary accruals sebagai proksi manajemen laba yang dilakukan manajemen. 2.3.2 Discretionary Accruals Discretionary accruals merupakan bentuk kebijakan akrual yang bukan karena kebutuhan dari kondisi perusahaan namun dilakukan oleh manajer untuk menggeser biaya dan pendapatan dari satu periode ke periode lainnya sehingga tujuan tertentu manajemen dapat terpenuhi. Discretionary accruals adalah kompenen akrual yang berada dalam kebijakan manajemen. Artinya manajer memberikan intervensinya dalam proses pelaporan keuangan. Discretionary accruals merupakan suatu cara yang efektif untuk mengurangi pelaporan laba (earnings), dimana cara tersebut sulit untuk dideteksi dan digunakan untuk memanipulasi kebijakan akuntansi yang berhubungan dengan akrual. Tingkat akrual yang abnormal (discretionary accruals) inilah yang menjadi perhatian bagi para peneliti untk menentukan apakah perusahaan melakukan praktik manajemen laba atau tidak. 2.3.3 Non Discretionary Accruals Non disretionary accrual adalah kompenen akrual diluar kebijakan manajemen atau merupakan pengakuan akrual laba yang wajar yang tunduk pada suatu standar atau prinsip akuntansi yang berlaku umum. Oleh karena itu, non 32 discretionary accruals merupakan akrual yang wajar yang jika di langgar akan mempengaruhi kualitas laporan keuangan. Karena non discretionary accruals dapat ditolerir, maka discretionary accruals akhirnya dijadikan ukuran untuk mengetahui besarnya manajemen laba yang dilakukan oleh manajemen. Nilai discreationary accrual (DA) untuk mengukur tingkat manajemen laba dihitung dengan menggunakan model Jones (1991) yang dimodifikasi (Modified Jones Model). Model ini menggunakan total accruals (TA) yang diklasifikasikan menjadi komponen discretionary (DA) dan non discretionary (NDA). Menurut Rahmawati, dkk., (2007) Modified Jones Model dapat mendeteksi manajemen laba lebih baik dibandingkan dengan model-model lainnya sejalan dengan hasil penelitian Dechow dkk (1995). Berikui ini langkahlangkah yang digunakan dalam perhitungan discretionary accruals: 1. Menghitung Total Accruals (TAC) Total Accruals dihitung dengan menggunakan rumus: TACt / TAt-1 = α1 (1 / TAt-1) + α2 (∆Salest / TAt-1) + α3 (PPEt / TAt-1) Keterangan: TACt : Total Accruals perusahaan pada periode t TAt-1 : Total aset perusahaan pada periode t-1 ∆Salest : Perubahan penjualan bersih perusahaan pada periode t PPEt : Aktiva tetap perusahaan pada periode t α1 α2 α3 : Parameter perusahaan tertentu pada periode t 33 2. Menghitung Non-Discretionary Accruals (NDTAC) Non-Discretionary Accruals dihitung dengan menggunakan rumus: NDTACt = α1 (1 / TAt-1) + α2 (∆Salest - ∆RECt) / TAt-1 + α3 (PPEt / TAt-1) Keterangan: 3. NDTACt : Non-Discretionary Accruals perusahaan pada periode t TAt-1 : Total aset perusahaan pada periode t-1 ∆Salest : Perubahan penjualan bersih perusahaan pada periode t ∆RECt : Perubahan piutang bersih perusahaan pada periode t PPEt : Aktiva tetap perusahaan pada periode t α1 α2 α3 : Parameter perusahaan tertentu pada periode t Menghitung Discretionary Accruals (DTAC) Discretionary Accruals dihitung dengan mengurangkan Total Accruals dengan Non-Discretionary Accruals menggunakan rumus: DTACt = TACt / TAt-1 - NDTACt Keterangan: DTACt : Discretionary Accruals perusahaan pada periode t TACt / TAt-1 : Total Accruals perusahaan pada periode t NDTACt : Non-Discretionary Accruals perusahaan pada periode t Jika DTACt positif, maka manajemen laba dilakukan dengan cara meningkatkan laba. Jika DTACt negatif, maka manajemen laba dilakukan dengan cara menurunkan laba. Jika DTACt nol, maka tidak terdapat indikasi manajemen laba. 34 2.4 Struktur Kepemilikan 2.4.1 Pengertian Struktur Kepemilikan Struktur kepemilikan (Ownership Structure) adalah komposisi kepemilikan dalam perusahaan yang mempengaruhi kinerja suatu perusahaan. Menurut Iturriaga & Sanz (2000) struktur kepemilikan perusahaan adalah sebagai berikut: “Struktur kepemilikan perusahaan merupakan tingkat kepemilikan saham pihak tertentu (manajemen/ institusional/ publik) yang secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan, diukur oleh proporsi saham yang dimiliki salah satu pihak tersebut pada akhir tahun yang dinyatakan dalam persen.” Struktur kepemilikan saham mencerminkan distribusi kekuasaan dan pengaruh antara pemegang saham atas kegiatan operasional perusahaan (Nuryaman, 2008). Struktur kepemilikan akan memiliki motivasi yang berbeda dalam memonitor perusahaan serta manajemen dan dewan direksinya. Struktur kepemilikan dipercaya memiliki kemampuan untuk memepengaruhi kinerja perusahaan. Agency problem dapat dikurangi dengan adanya struktur kepemilikan. Struktur kepemilikan merupakan suatu mekanisme untuk mengurangi konflik antara manajemen dengan pemegang saham (Faisal, 2005). Para peneliti berpendapat bahwa struktur kepemilikan perusahaan memiliki pengaruh terhadap perusahaan. Tujuan perusahaan sangat ditentukan oleh struktur kepemilikan, motivasi pemilik dan kreditur. Corporate governance dalam proses insentif yang membentuk motivasi manajer. Pemilik akan berusaha membuat berbagai strategi untuk mencapai tujuan perusahaan, setelah strategi 35 ditentukan maka langkah selanjutnya yaitu mengimplementasi strategi dan mengalokasikan sumber daya yang dimiliki perusahaan untuk mencapai tujuan perusahaan. Kesemua tahapan tersebut tidak terlepas dari peran pemilik dapat dikatakan bahwa peran pemilik sangat penting dalam menentukan keberlangsungan perusahaan. 2.4.2 Pengelompokan Struktur Kepemilikan Struktur kepemilikan dapat berupa investor individual, pemerintah, dan institusi swasta. Struktur kepemilikan terbagi dalam beberapa kategori. Secara spesifik kategori struktur kepemilikan meliputi kepemilikan oleh institusi domestik, institusi asing, pemerintah, karyawan dan individual domestik . Dalam penelitian ini struktur kepemilikan yang akan dianalisis pengaruhnya terhadap manajemen laba adalah kepemilikan institusional dan kepemilikan manajerial. 2.4.2.1 Kepemilikan Institusional Kepemilikan institusional adalah persentase saham yang dimiliki oleh investor institusional (Midiastuty dan Machfoedz, 2003). Kepemilikan institusional adalah kepemilikan saham perusahaan yang dimiliki oleh institusi atau lembaga seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaaan investasi dan kepemilikan instutisi lain (Tarjo, 2008). Kepemilikan institusional adalah kepemilikan saham perusahaan oleh institusi keuangan seperti perusahaan asuransi, bank, dana pensiun, dan investment banking (Veronica dan Siddharta, 2006). Dalam penelitian ini struktur kepemilikan institusional merujuk pada 36 pengertian yang diutarakan Veronica dan Siddharta (2006) pada penelitiannya, yaitu kepemilikan institusional terbatas pada kepemilikan oleh institusi keuangan saja seperti perusahaan asuransi, bank, dana pensiun dan invesment banking. Investor institusional memiliki beberapa kelebihan dibanding dengan investor individual, diantaranya yaitu: 1. Investor institusional memiliki sumber daya yang lebih daripada investor individual untuk mendapatkan informasi. 2. Investor institusional memiliki profesionalisme dalam menganalisa informasi, sehingga dapat menguji tingkat keandalan informasi. 3. Investor institusional, secara umum, memiliki relasi bisnis yang lebih kuat dengan manajemen. 4. Investor institusional memiliki motivasi yang kuat untuk melakukan pengawasan lebih ketat atas aktivitas yang terjadi di dalam perusahaan. 5. Investor institusional lebih aktif dalam melakukan jual beli saham sehingga dapat meningkatkan jumlah informasi secara cepat yang tercermin di tingkat harga. 2.4.2.2 Kepemilikan Manajerial Kepemilikan manajerial merupakan kepemilikan saham oleh kelompok manajemen (Nuryaman, Rusmin, dan Ginting, 2010). Kepemilikan manajerial adalah persentase saham yang dimiliki oleh manajemen yang secara aktif ikut 37 dalam pengambilan keputusan (komisaris dan direksi) (Midiastuty dan Machfoedz, 2003). Pada penelitian ini struktur kepemilikan manajerial merujuk pada pengertian yang diungkapkan Midiastuty dan Mahfoed (2003). 2.5 Hutang 2.5.1 Pengertian Hutang FASB sebagai bagian dari studi kerangka kerja konseptual yang dikutip dalam Kieso, et. all. (2007: 173) mendefinisikan hutang (liabilities) sebagai: “Kemungkinan pengorbanan masa depan atas manfaat ekonomi yang muncul dari kewajiban saat ini entitas tertentu untuk menstransfer aktiva atau menyediakan jasa kepada entitas lainnya di masa depan sebagai hasil dari transaksi atau kejadian masa lalu.” Dari pengertian di atas Kieso, et.all (2007: 173) menyatakan hutang memiliki tiga karakteristik utama, yaitu: 1. Merupakan kewajiban saat ini yang memerlukan penyelesaian dengan kemungkinana transfer aktiva di masa depan, misalnya dengan penggunaan kas, barang, atau jasa. 2. Merupakan kewajiban yang tidak dapat dihindari. 3. Transaksi atau kejadian lainnya yang menciptakan kewajibab itu harus telah terjadi. 38 2.5.2 Jenis-Jenis Hutang Karena kewajiban atau hutang melibatkan pengeluaran aktiva atau jasa di masa depan, maka salah satu karakteristik yang paling penting adalah tanggal dimana hutang tersebut harus dibayarkan. Karakteristik ini menimbulkan pembagian dasar hutang menjadi hutang lancar dan hutang jangka panjang (Kieso et. all, 2007:172). 1. Hutang Lancar Hutang lancar adalah kewajiban yang likuidasinya diperkirakan secara layak memerlukan penggunaan sumber daya yang ada yang diklasifikasikan sebagai aktiva lancar, atau penciptaan kewajiban lancar lainnya. Berikut ini adalah beberapa jenis kewajiban lancar: hutang usaha, wesel bayar, jatuh tempo berjalan hutang jangka panjang, kewajiban jangka pendek yang diharapkan akan didanai kembali, hutang dividen, hutang pajak penjualan, hutang pajak pendapatan. 2. Hutang Jangka Panjang Hutang jangka panjang (long-term debt) terdiri dari pengorbanan manfaat ekonomi yang sangat mungkin dimasa depan akibat kewajiban sekarang yang tidak dibayarkan dalam satu tahun atau satu siklus operasi perusahaan, menurut mana yang lebih lama. Pada umumnya hutang jangka panjang memiliki berbagai ketentuan atau pembatasan (covenants or restrictions) untuk melindungi baik peminjam atau pun pemberi pinjaman. Item-item yang seringkali dinyatakan dalam indenture atau perjanjian meliputi jumlah yang diotorisasi yang diterbitkan, suku bunga, tanggal jatuh tempo, provisi 39 penarikan, properti yang digadaikan untuk jaminan, persaratan dana pelunasan, modal kerja, dan pembatasan dividen, serta pembatasan yang berhubungan dengan asumsi hutang tambahan. Jenis hutang jangka panjang misalnya hutang obligasi, wesel bayar jangka panjang. 2.5.3 Rasio Hutang Kebijakan hutang merupakan salah satu alternatif pendanaan perusahaaan selain menjual saham dipasar modal. Leverage ratio merupakan sebuah rasio yang mengukur seberapa besar perusahaan dibiayai oleh utang. Rasio leverage menurut Husnan dan Pujiastuti (2006:70) adalah : “Rasio yang mengukur seberapa jauh perusahaan menggunakan hutang. Rasio ini mengukur kemampuan perusahaan memenuhi kewajiban keuangannya.” Terdapat beberapa rasio yang digunakan untuk mengukur leverage, antara lain Debt to equity ratio, Debt to asset ratio, Times interest earned, dan Debt service coverage. Pada penelitian ini penulis menggunakan debt to asset ratio dalam mengukur rasio hutang perusahaan. Rasio ini menekankan pada peran penting pendanaan utang bagi perusahaan dengan menunjukan persentase aktiva perusahaan yang didukung oleh pendanaan utang. Rasio ini menunjukan bahwa semakin besar persentase pendanaan yang disediakan oleh ekuitas pemegang saham, semakin besar jaminan perlindungan yang didapat oleh kreditor perusahaan. Singkatnya semakin tinggi rasio debt to total asset, semakin besar 40 risiko keuangannya; semakin rendah rasio ini, maka semakin rendah risiko keuangannya (Horne dan John, 2005:205). Penggunaan utang terlalu tinggi akan membahayakan perusahaan karena perusahaan akan masuk dalam kategori exstreme leverage (utang ekstrim) yaitu perusahaan terjebak dalam tingkat utang yang tinggi dan sulit untuk melepaskan beban utang tersebut. Debt to asset ratio dihitung dengan menggunakan rumus: Total Liabilities Total Asset Debt to asset ratio = Keterangan: Total Liabilities : Jumlah hutang pada tahun t Total Asset : Jumlah aset pada tahun t 2.6 Ukuran Perusahaan Ukuran perusahaan (firm Size) adalah ukuran besar kecilnya suatu perusahaan. Ukuran perusahaan biasanya dibedakan dalam beberapa kelompok, diantaranya perusahaan besar, sedang dan perusahaan kecil. Indikator yang biasa dipakai untuk menentukan ukuran perusahaan adalah: 1. Tenaga kerja, merupakan jumlah pegawai tetap dan kontrak yang terdaftar atau bekerja di perusahaan pada suatu saat tertentu. 2. Tingkat penjualan, merupakan volume penjualan suatu perusahaan pada suatu periode tertentu misalnya satu tahun. 41 3. Total aktiva, merupakan keseluruhan aktiva yang dimiliki perusahaan pada saat tertentu. 4. Kapitalisasi pasar, adalah sebuah istilah bisnis yang menunjuk keharga keseluruhan dari sebuah saham perusahaan yaitu sebuah harga yang harus dibayar seseorang untuk membeli seluruh saham perusahaan. Besar dan pertumbuhan dari suatu kapitalisasi pasar perusahaan seringkali adalah pengukuran penting dari keberhasilan atau kegagalan perusahaan terbuka. Semakin besar aset maka semakin banyak modal yang ditanam, semakin banyak penjualan maka semakin banyak perputaran uang, dan semakin besar kapitalisasi pasar maka semakin besar pula sutu perusahaan dikenal oleh masyarakat. Pada penelitian ini ukuran perusahaan menggunakan nilai log total penjualan perusahaan pada akhir tahun. Penggunaan nilai log penjualan dimaksudkan untuk menghindari problem data natural yang tidak berdistribusi normal (Chen, 2005 dalam Nuryaman, 2008). 2.7 Pengaruh Struktur Kepemilikan, Leverage dan Ukuran Perusahaan Terhadap Manajemen Laba 2.7.1 Pengaruh Struktur Kepemilikan Terhadap Manajemen Laba Struktur kepemilikan dapat dijelaskan dari dua sudut pandang, yaitu pendekatan keagenan dan pendekatan informasi asimetri. Menurut pendekatan keagenan, struktur kepemilikan merupakan suatu mekanisme untuk mengurangi konflik kepentingan antara manajer dengan pemegang saham. Pendekatan 42 ketidakseimbangan informasi (informasi asimetri) memandang mekanisme struktur kepemilikan sebagai suatu cara untuk mengurangi ketidakseimbangan informasi antara insiders dan outsiders melalui pengungkapan informasi di dalam pasar modal. Sehingga dapat dikatakan bahwa struktur kepemilikan dapat dijadikan mekanisme untuk mengurangi manajemen laba. 2.7.1.1 Pengaruh Kepemilikan Institusional Terhadap Manajemen Laba Adanya pemegang saham seperti institusional ownership memiliki arti penting dalam memonitor manajemen. Adanya kepemilikan oleh institusional seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan-perusahaan investasi dan kepemilikan oleh institusi-institusi lain akan mendorong peningkatan pengawasan yang lebih optimal. Mekanisme monitoring tersebut akan menjamin peningkatan kemakmuran pemegang saham. Signifikasi institusional ownership sebagai agen pengawas ditekankan melalui investasi mereka yang cukup besar dalam pasar modal. Apabila institusional merasa tidak puas atas kinerja manajerial, maka mereka akan menjual sahamnya ke pasar. Perubahan perilaku institusional ownership dari pasif menjadi aktif dapat meningkatkan akuntabilitas manajerial sehingga manajer akan bertindak lebih hati-hati dalam pengambilan keputusan. Meningkatnya aktivitas institusional ownership dalam melakukan monitoring disebabkan oleh kenyataan bahwa adanya kepemilikan saham yang signifikan oleh institusional ownership telah meningkatkan kemampuan mereka untuk bertindak secara kolektif. Dalam waktu 43 yang sama, biaya untuk keluar dari investasi yang mereka lakukan menjadi semakin mahal karena adanya resiko saham akan terjual pada harga diskon. Kondisi ini akan memotivasi institusional ownership untuk lebih serius dalam mengawasi maupun mengoreksi semua perilaku manajer dan memperpanjang jangka waktu investasi. Dengan adanya beberapa kelebihan yang dimiliki, investor institusional diduga lebih mampu untuk mencegah terjadinya manajemen laba, dibanding dengan investor individual. Investor institusional dianggap lebih professional dalam mengendalikan portofolio investasinya, sehingga lebih kecil kemungkinan mendapatkan informasi keuangan yang terdistorsi, karena mereka memiliki tingkat pengawasan yang tinggi untuk menghindari terjadinya tindakan manajemen laba. Secara singkat dapat dikatakan kepemilikan institusional dengan manajemen laba mempunyai hubungan negatif dimana semakin besar persentase saham yang dimiliki oleh institusi maka semakin kecil kemungkinan terjadi manajemen laba. 2.7.1.2 Pengaruh Kepemilikan Manajerial Terhadap Manajemen Laba Masalah teknis tidak akan timbul jika kepemilikan dan pengelolaan perusahaan tidak dijalankan secara terpisah. Pemilik (pemegang saham) bertujuan untuk memaksimumkan kekayaannya dengan melihat nilai sekarang dari arus kas yang dihasilkan oleh investasi perusahaan sedangkan manajer bertujuan pada 44 peningkatan pertumbuhan dan ukuran perusahaan. Tujuan manajer ini dilandasi oleh dua alasan, yaitu : 1. Pertumbuhan yang meningkat akan memberikan peluang bagi manajer bawah dan menengah untuk dipromosikan. Selain itu, manajer dapat membuktikan diri sebagai karyawan yang produktif sehingga dapat diperoleh penghargaan lebih dari wewenang untuk menentukan pengeluaran (biaya-biaya). 2. Ukuran perusahaan yang semakin besar memberikan keamanan pekerjaan atau mengurangi kemungkinan lay-off dan kompensasi yang semakin besar. Semakin besar proporsi kepemilikan manajemen pada perusahaan, maka manajemen cenderung berusaha lebih giat untuk kepentingan pemegang saham yang tidak lain adalah dirinya sendiri. Kepemilikan saham manajerial akan membantu penyatuan kepentingan antara manajer dengan pemegang saham. Kepemilikan manajerial akan mensejajarkan kepentingan manajemen dengan pemegang saham, sehingga manajer ikut merasakan secara langsung manfaat dari keputusan yang diambil dan ikut pula menanggung kerugian sebagai konsekuensi dari pengambilan keputusan yang salah. Argumen tersebut mengindikasikan mengenai pentingnya kepemilikan manajerial dalam struktur kepemilikan perusahaan. Namun, tingkat kepemilikan manajerial yang terlalu tinggi juga dapat berdampak buruk terhadap perusahaan. Dengan kepemilikan manajerial yang tinggi, manajer mempunyai hak voting yang tinggi sehingga manajer mempunyai posisi yang kuat untuk mengendalikan perusahaan, hal ini dapat menimbulkan 45 masalah pertahanan, dalam artian, adanya kesulitan bagi para pemegang saham eksternal untuk mengendalikan tindakan manajer. Agency problem bisa dikurangi bila manajer memepunyai kepemilikan saham dalam perusahaan, semakin meningkat proporsi kepemilikan saham manajerial maka akan semakin baik kinerja perusahaan. Kepemilikan saham yang besar dari segi ekonomisnya memiliki insentif untuk memonitor. Secara teoritis ketika kepemilikan manajerial rendah, maka insentif terhadap kemungkinan terjadinya oportunistik manajemen akan meningkat. Kepemilikan manajerial terhadap saham perusahaan dipandang dapat menyelaraskan potensi perbedaan kepentingan antara pemegang saham luar dengan manajemen. Sehingga permasalahan keagenan diasumsikan akan hilang apabila seorang manajer adalah juga sekaligus sebagai seorang pemilik. 2.7.2 Pengaruh Leverage Terhadap Manajemen Laba Scoot (2003:384) yang dikutip dalam Tarjo (2008) menyakan bahwa praktik perataan laba yang merupakan salah satu bentuk manajemen laba sering dilakukan oleh perusahaan ketika mereka menghadapi paksaan dari kreditor dengan cara mengubah metode akuntansinya. Dengan semakin besarnya rasio leverage mengakibatkan risiko yang ditanggung oleh pemilik modal juga semakin meningkat. Hubungan leverage dengan manajemen laba juga dijelaskan melalui salah satu hipotesis dalam teori akuntansi positif yang dikemukakan oleh Watts dan Zimmerman (1990) yaitu Debt Covenant Hypothesis. Debt Covenence Hypothesis 46 menjelaskan bahwa perusahaan yang memiliki rasio leverage (debt to equity ratio) yang tinggi, manajer perusahannya cendrung menggunakan metode akuntansi yang dapat meningkatkan pendapatan atau laba. Hal tersebut dilakukan agar laba bersih yang dilaporkan naik sehingga terlihat perusahaan memiliki rasio hutang yang bagus serta mengurangi kemungkinan kegagalan pembayaran hutang pada masa mendatang, karena perusahaan dengan leverage yang tinggi akan mengalami kesulitan dalam memperoleh dana tambahan dari pihak kreditor. Naiknya laba yang dilaporkan bisa menarik perhatian kreditur untuk memberikan tambahan pinjaman. 2.7.3 Pengaruh Ukuran Perusahaan Terhadap Manajemen Laba Ukuran perusahaan merupakan nilai yang menunjukan besar kecilnya perusahaan. Semakin besar ukuran perusahaan, biasanya informasi yang tersedia untuk investor dalam pengambilan keputusan sehubungan dengan investasi dalam saham perusahaan tersebut semakin banyak. Selain itu, perusahaan yang lebih besar kurang memiliki dorongan untuk melakukan manajemen laba dibandingkan perusahaan-perusahaan kecil karena perusahaan besar dipandang lebih kritis oleh pihak luar, baik oleh investor, kreditor, pemerintah maupun masyarakat. Karena itu, diduga bahwa ukuran perusahaan mempengaruhi besaran pengelolaan laba perusahaan, dimana jika pengelolaan laba tersebut oportunis maka semakin besar perusahaan semakin kecil pengelolaan laba (berhubungan negatif) tapi jika pengelolaan laba efisien maka semakin besar ukuran perusahaan semakin tinggi pengelolaan labanya (berhubungan positif) (Veronica dan Siddharta, 2005). 47 Berdasarkan penjelasan di atas maka kerangka konseptual pengaruh antar variabel dapat digambarkan sebagai berikut: Variabel Independen Variabel Dependen Kepemilikan Institusional Kepemilikan Manajerial Earnings Management Leverage Ukuran Perusahaan Gambar 2.1 Kerangka Konseptual Pengaruh Antar Variabel Penelitian yang mencari pengaruh struktur kepemilikan, ukuran perusahaan dan leverage terhadap manajemn laba sudah banyak dilakukan, akan tetapi terdapat beberapa perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian sebelumnya, diantaranya dapat dilihat dalam tabel berikut: 48 Tabel 2.1 Tabel Perbandingan Skripsi dengan Penelitian Terdahulu No 1. Peneliti Judul Hasil Pratama Analisis 1. Kep. manajerial, kep. Puspa Hubungan institusional berhubungan Midiastuty Mekanisme negatif dengan dan Mas’ud Corporate manajemen laba. Machfoedz Governance dan (2003) Indikasi berphubungan positif Manajemen Laba dengan manajemen laba. 2. Ukuran dewan direksi 3. Kep. manajerial, kep. Perbedaan - Objek penelitian - Struktur Persamaan - Variabel Y: manajemen laba kepemilikan (dengan sebagai proksi mekanisme CG. discretionar - Kep. y accruals) institusional institusional, dan ukuran diproksi oleh dewan direksi institusi berhubungan positif keuangan saja. dengan kualitas laba. 2. Sylvia Pengaruh Struktur Veronica Kpemilikan, institusional berpengaruh N.P Siregar Ukururan positif terhadap dan Perusahaan, dan Siddharta Praktek Corporate Utama Governance (2005) (CG)Terhadap Pengelolaan Laba 1. Kep.keluarga dan manajemen laba, 2. Ukuran perusahaan - Objek penelitian - Variabel kontrol hutang - Variabel Y: manajemen laba - Variabel X: dan firm size Kep. berpengaruh negatif dalam institusional, terhadap manajemn laba. penelitian ini dan ukuran sebagai variabel perusahaan. 3. Ukuran KAP, Proporsi dewan komisaris independen independen dan komite audit tidak berpengaruh terhadap manajemn laba. 4. Variabel kontrol Debt berpengaruh positif signifikan terhadap pengelolaan laba. 3. Salsiah Ownership Management ownership, Structure and institusional ownership Earnings and holding company Management in ownership are negatively ukuran and Malaysian Listed and significantly related perusahaan struktur Mohamat Companies: The to discretionary accruals. sebagai variabel kepemilikan. Mohd Ali, Norman Mohd salleh - Objek penelitian - Menggunakan - Variabel Y: manajemen laba - Variabel X: 49 Hassan Size Effect moderating (2008) 4. Tarjo (2008) Pengaruh Konsentrasi institusional berpengaruh Kepemilikan negatif signifikan Institisional dan terhadap manajemen Leverege terhadap laba. Manajemen Laba, 5. 1. Konsentrasi kep. - Objek penelitian - Tidak ada variabel kontrol - Tidak ada Kep. 2. Leverage berpengaruh Nilai Pemegang positif signifikan Saham serta Cost terhadap manajemen of Equity Capital laba. Nuryaman, Pengaruh Struktur 1. Kep. manajerial dan kep. Rusmin, & Kepemilikan dan instutisonal berpengaruh Joy Nanta Kualitas Audit negatif terhadap Ginting Terhadap (2010) Manajemen Laba manajemen laba. 2. Kualitas Audit - Variabel Y: manajemen laba - Variabel X: leverage manajerial - Objek - - Variabel Y: penelitian Manajemen Tidak ada laba variabel kontrol - Kep. - Variabel X: kep. berpengaruh positif tidak institusional Institusional signifikan terhadap diproksi oleh dan kep. manajemen laba. institusi manajerial keuangan saja. 6 Indra Dewi Pengaruh Suryani Mekanisme manajerial dan ukuran (2010) Corporate perusahaan berpengaruh Governance dan negatif signifikan perusahaan Ukuran terhadap manajemen sebagai Perusahaan laba. variabel kontrol Terhadap Manajemen Laba 1. Kep. institusional, kep. 2. Ukuran dewan komisaris, - Objek penelitian - Ukuran - Kep. komposisi dewan institusional komisaris, komite audit diproksi oleh tidak berpengaruh institusi terhadap manajemen keuangan saja. laba. - Variabel Y: Manajemen laba 50 2.8 Hipotesis Bertitik tolak pada kajian pustaka dan kerangka pemikiran di atas, penulis mengambil hipotesis sebagai berikut: Ha : Kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, ukuran perusahaan dan leverage secara simultan berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba. Ha1 : Kepemilikan institusional berpengaruh negatif terhadap manajemen laba. Ha2 : Kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap manajemen laba. Ha3 : Leverage berpengaruh positif terhadap manajemen laba. Ha4: Ukuran perusahaan berpengaruh negatif terhadap manajemen laba.