1.1. Latar Belakang Air adalah komponen ekologik yang mutlak diperlukan bagi kehidupan makhluk hidup. Nilai air dan sumberdaya perairan ditentukan oleh kualitasnya. Perubahan dan penurunan kualitas air dan sumberdaya perairan dapat disebabkan oleh adanya bahan pencemar. Penurunan kualitas air dapat mengakibatkan penggunaannya menjadi lebih terbatas, serta mempengaruhi kehidupan biota yang ada di dalamnya. Penurunan kualitas air dapat disebabkan oleh adanya kandungan bahan atau senyawa organik dan anorganik yang berlebihan. Adanya senyawa organik dalam perairan akan dirombak oleh bakteri dengan menggunakan oksigen-terlarut. Peromba- kan ini akan menjadi masalah jika senyawa organik terdapat dalam jumlah yang banyak. Penguraian senyawa organik tersebut akan memerlukan pula oksigen yang sangat banyak sehingga dapat menyebabkan turunnya kadar oksigen terlarut perairan sampai mencapai tingkat terendah. Akibatnya, dekomposisi aerobik akan terhenti, sehingga pemecahan selanjutnya dilakukan oleh bakteri anaerob. Produk hasil pemecahan anaerobik biasanya berbahaya karena beracun, dapat menimbulkan bau, serta prosesnya berjalan lambat (Dunne dan Leopold, 1975). Selain itu perairan dengan kebutuhan oksigen biologi tinggi, tidak mempunyai kemampuan untuk menambah kadar oksigennya, sehingga tidak dapat mendukung kehidupan organisme yang membutuhkan oksigen (Manahan, 1975). Ketersediaan oksigen dalam perairan juga dipengaruhi oleh suhu perairan. Makin tinggi suhu perairan, ketersediaan atau kelarutan oksigen makin menurun. Sawyer dan McCarty (1978) serta Metcalf dan Eddye(1978) menyatakan bahwa kelarutan oksigen dalam air pada suhu 30°C yang berada dalam keseimbangan dengan udara adalah 7.6 mgll. Banyaknya bahan organik yang diperlukan mikroba untuk mengkonsumsi 7.6 mg oksigen dalam 1 liter air yang jenuh hanya sekitar 7.1 mg. Ini berarti mikroba yang menghancurkan bahan organik hanya mampu mengubah sekitar 7 mg bahan organik saja, bila mikroba tersebut mengkonsumsi oksigen jenuh dalam 1 liter air. Hal ini menjadi penting karena untuk oksigen tidak terdapat "chemical sink" dalam air atau tidak ada reaksi kimia yang dapat menambah oksigen terlarut, kecuali untuk oksigen yang diberikan melalui proses fotosintesis (Saeni, 1989). Oleh karenanya oksigen merupakan zat kunci dalam menentukan ada dan macamnya kehidupan dalam perairan. Menurut Gaudy (1972); Dunne dan Leopold (1975); Grady dan Lim (1980), serta Gaudy dan Gaudy (1980) kebutuhan oksigen ditentukan oleh kadar pencemar yang dapat diuraikan secara biologik (biodegradable pollutant) atau kebutuhan oksigen ditentukan oleh bobot oksigen yang diperlukan untuk oksidasi zat pencemar menjadi senyawa yang stabil. Tingkat pencemaran limbah ini dapat diukur dengan suatu indeks yang disebut "Biochemical Oxygen Demand" (BOD). Uji BOD adalah suatu analisis empiris yang mencoba mendekati secara global proses-proses biokimia atau mikrobiologi yang benar-benar terjadi di alam atau di perairan. Uji BOD berlaku sebagai simulasi suatu proses biologi yaitu oksidasi senyawa organik yang terjadi di perairan secara alami. Kinetika atau rumusan BOD didasarkan pada berbagai penelitian yang telah dilakukan oleh Streeter dan Phelps (1925) serta Theriault (1927) gialam Gaudy (1972). Para peneliti ini menyatakan bahwa oksidasi biokimia bahan organik sebanding dengan konsentrasi zat yang tersisa yang masih belum teroksidasi dan lazimnya didasarkan pada perstmaan monomolekuler. Persamaan ini menggambarkan pengembangan dari reaksi kimia orde pertama yaitu apabila Lo menyatakan BOD awal, maka BOD sisa pada waktu t (Lt) dapat dirumuskan dalam bentuk perstmaan diferensial dLt/dt = -KLt; sedangkan K > 0 disebut konstanta laju oksidasi. Selanjutnya jika Yt menyatakan BOD yang digunakan pada waktu t, maka Yt dapat dirumuskan dalam bentuk persamaan Yt = Lo - Lt = Lo (1 - e-K'). Persamaan tersebut dapat digunakan untuk menduga perilaku oksigen terlarut perairan yang menerima limbah organik, karena rnerupakan kinetika proses deoksigenasi dalam perairan (Grady dan Lim, 1980). Sampai saat ini standar pengukuran parameter BOD masih didasarkan pada standar pengukuran yang berlaku di daerah sub-tropis, yaitu didasarkan pada jumlah oksigen yang digunakan oleh mikroba pada suhu inkubasi 20°C (86°F) selama 5 hari. Menurut Green dan Kramer (1978) Inggris mulai menggunakan standar BOD, .-,,",pada tahun 1913, Amerika Serikat melalui "American Public Health Association Standard Methods" menggunakan prosedur tersebut pada tahun 1936 dan sejak itu prosedur di atas menjadi prosedur baku yang berlaku umum. Menurut Metcalf dan Eddy (1978) penggunaan suhu 20°C merupakan nilai rata-rata untuk daerah perairan arus lambat di daerah iklim sedang (temperate climate). "The Royal Commission" menggunakan suhu inkubasi 18.3"C (65°F) karena pada suhu tersebut merupakan rata-rata suhu sungai pada musim panas (summer-month) di Inggris (Klein, 1971; Lynch dan Poole, 1979). Untuk daerah tropis yang suhu perairan sungainya 30°C (Prescod, 1978 serta Evison dan James, 1978), penggunaan suhu inkubasi 20°C selama 5 hari dalam analisis BOD yang selama ini digunakan adalah kurang sesuai, mengingat kecepatan reaksi biokimia dipengaruhi oleh suhu, yang juga akan mempengaruhi nilai BOD. Gaudy dan Gaudy (1980) menyatakan bahwa kecepatan pertumbuhan dari banyak mikroba pada suhu antara minimum dan optimum akan menjadi dua sampai tiga kali setiap kenaikan suhu 10°C. Hal ini menunjukkan bahwa suhu yang berbeda akan menyebabkan pula waktu inkubasi yang berbeda, sehingga akan menghasilkan nilai BOD yang berbeda pula. Di Indonesia, BOD termasuk salah satu parameter baku mutu lingkungan (KEP- 02/MENKLH/I/ 1988) dan merupakan salah satu parameter yang bersama-sama dengan COD sering digunakan dalam menentukan besarnya tingkat pencemaran yang terjadi di suatu perairan, sehingga dalam penggunaannya dibutuhkan pemahaman yang lebih jelas akan uji maupun konsep dari kedua parameter tersebut dalam hubungannya dengan pendugaan pencemaran bahan organik. Berdasarkan pemikiran tersebut, diperlukan pengkajian lebih lanjut dari formula BOD sebagai indikator pendugaan pencemaran bahan organik serta faktor-faktor yang me~npengaruhinyadi perairan daerah tropis. 1.2. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mendapatkan waktu dan suhu inkubasi dalam analisis BOD di perairan daerah tropis. (2) Mendapatkan nilai K (konstanta laju oksidasi) dan L (BOD akhir) dari beberapa jenis limbah di perairan daerah tropis. (3) Mengkaji hubungan variabel indikator pencemaran bahan organik BOD dengan COD di perairan daerah tropis. 1.3. Hipotesis Penelitian ini didasarkan pada hipotesis bahwa: (1) Perbedaan suhu akan mempengaruhi nilai BOD. Makin tinggi suhu kecepatan reaksi biokimia makin cepat, sehingga menyebabkan nilai BOD yang dihasilkan akan berbeda. (2) Waktu inkubasi dalam analisis BOD di perairan daerah tropis, akan lebih pendek dibandingkan dengan waktu inkubasi di perairan sub tropis. (3) Suhu perairan berpengaruh terhadap konstanta laju oksidasi (K). suhu perairan makin besar konstanta laju oksidasi limbah organik. Makin tinggi Perbedaan jenis limbah (limbah tekstil, limbah rumah potong hewan (RPH), dan air sungai Ciliwung) tidak berpengaruh terhadap waktu inkubasi (t) dalam analisis BOD. Variabel pendugaan pencemaran bahan organik BOD akan lebih kecil dari variabel pendugaan pencemaran bahan organik COD.