PERKAWINAN DALAM BERBAGAI PERSPEKTIF (Perspektif

advertisement
PERKAWINAN DALAM BERBAGAI PERSPEKTIF
(Perspektif Normatif, Yuridis, Psikologis dan Sosiologis)
Oleh : A. Kumedi Ja’far ∗
Abstraksi
Pada dasarnya perkawinan merupakan tulang punggung terbentuknya keluarga, di mana
keluarga merupakan komponen pertama dalam pembangunan masyarakat. Dengan demikian
tujuan perkawinan bukan hanya sebagai sarana pelampiasan nafsu syahwat melainkan memiliki
tujuan yang lebih mulia. Perkawinan merupakan hubungan cinta, kasih sayang dan kesenangan,
sarana bagi terciptanya kerukunan hati, serta sebagai perisai bagi suami istri dari bahaya
kekejian sehingga dengan perkawinan lahirlah generasi yang akan memperbanyak umat
memperkokoh kekuatan dan meningkatkan perekonomian. Dengan demikian akan terjadi sikap
tolong menolong antara laki-laki (suami) dan perempuan (istri) dalam kepentingan dan tuntutan
kehidupan, dimana suami bertugas mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan
istri bertugas mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anak.
Kata Kunci : Perkawinan, Normatif, Yuridis, Psikologis dan Sosiologis
A.
Pendahuluan
Allah SWT telah mensyariatkan perkawinan dengan tujuan agar tercapai hubungan yang
harmonis antara laki-laki dan perempuan di bawah naungan syariat Islam dan batasan-batasan
hubungan antar mereka. Tidak mungkin bagi seorang perempuan untuk merasa tidak butuh
kepada seorang laki-laki yang mendampinginya secara sah meskipun ia mempunyai kedudukan
yang tinggi. Begitu juga seorang laki-laki tidak mungkin merasa tidak membutuhkan seorang
perempuan (istri) yang mendampinginya betapapun hebatnya seorang laki-laki itu, hal ini
sebagaimana yang digambarkan dalam sabda Rasulullah SAW :
1
“Sesungguhnya dunia ini adalah perbendaharaan (perhiasan), dan sebaik-baik perhiasan adalah
wanita yang membantu suaminya untuk mewujudkan kebahagiaan di akhirat, kasihan, kasihan
seorang laki-laki yang tidak mempunyai istri, kasihan, kasihan perempuan yang tidak mempunya
suami”
Allah SWT telah mensyariatkan perkawinan untuk kebijaksanaan yang tinggi dan tujuan
yang mulia, serta merupakan cara yang bersih untuk melanjutkan keturunan dan memakmurkan
bumi. Perkawinan merupakan sarana untuk mewujudkan ketenangan jiwa dan ketenangan hati,
menjaga kesucian diri dari perbuatan keji sebagaimana juga menjadi kenikmatan, kebahagiaan
hidup, sarana untuk membentengi diri agar tidak jatuh pada jurang kenistaan, serta penyebab
perolehan keturunan yang sholeh dan yang akan mendatangkan bagi manusia untuk
kehidupannya di dunia dan akhirat.
Pada dasarnya perkawinan merupakan tulang punggung terbentuknya keluarga, di mana
keluarga merupakan komponen pertama dalam pembangunan masyarakat. Dengan demikian
tujuan perkawinan bukan hanya sebagai sarana pelampiasan nafsu syahwat melainkan memiliki
tujuan yang lebih mulia. Perkawinan merupakan hubungan cinta, kasih sayang dan kesenangan,
sarana bagi terciptanya kerukunan hati, serta sebagai perisai bagi suami istri dari bahaya kekejian
sehingga dengan perkawinan lahirlah generasi yang akan memperbanyak umat memperkokoh
kekuatan dan meningkatkan perekonomian. Dengan demikian akan terjadi sikap tolong
menolong antara laki-laki (suami) dan perempuan (istri) dalam kepentingan dan tuntutan
∗
1
penulis adalah Dosen Tetap pada Fakultas Syari’ah IAIN Raden Intan Lampung
Sunan Ibnu Majah, Juz 1, hlm 592
kehidupan, dimana suami bertugas mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan istri
bertugas mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anak.
Berdasarkan hal di atas, maka dalam makalah ini akan dibahas tentang perkawinan dalam
kajian interdisipliner (perspektif teologis, yuridis, psikologis dan sosiologis)
B.
Pembahasan
1.
Perkawinan dalam perspektif normatif
Allah SWT telah mensyariatkan perkawinan dengan berbagai dalil, baik dari alQur’an, As-Sunnah atau Ijma’ para Ulama, di antara dalil-dalil tersebut adalah :
2
F 7T 2
         
“Kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga, atau empat.”
                   
3  
7T
F 7T 3
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”
4
7T4F
“Perkawinan adalah sunahku, barang siapa yang tidak megerjakan sunahku maka bukan
termasuk golonganku (umatku). Kawinlah kamu semua sesungguhnya akan berbangga dengan
banyaknya kamu.”
5
7T5F
“Hai sekalian pemuda, barang siapa diantara kamu yang telah mampu memikul beban rumah
tangga ehndaklah ia menikah, karena menikah dapat memelihara gejolak pandangan mata dan
dorongan nafsu syahwat. Dan barang siapa yang siapa yang belum mampu hendaklah ia
berpuasa, sesungguhnya puasa itu merpakan perisai baginya”
Berdasarkan dalil-dalil diatas, jelaslah bahwa pentingna perkawinan dalam kehidupan,
bahkan Rasulullah SAW mengajarkan dan menekankan bahwa jalan terbaik untuk memperoleh
perhiasan dunia adalah lewat perkawinan sebagai mana telah diriwayatkan Imam Muslim yang
2
Q.S An-Nisa ayat 3
3
Q.S Ar-Rum ayat 21
Lisan Al-Arab, Juz, I hlm. 36
5
Fathul Bari, Juz 9, hlm 118
4
mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda : Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baiknya
perhiasan adalah wanita shalikhah 6. hal ini sejalan dengan hadist Rasulullah SAW :
7
“Ada empat perkara yang mendatangkan kebahagiaan, yaitu istri yang salikhah, tempat tinggal
yang luas, tetangga yang baik dan kendaraan yang baik, dan empat perkara yang mendatangakan
kesengsaraan yaitu istri yang jahat, tetangga yang jahat, kendaraan kendaraan yang buruk dan
tempat tanggal yang sempit.”
Perkawinan adalah ibadah untuk melengkapi separuh agama seseorang yang akan
menjumpai Allah dengan jiwa yang suci, hal ini sebagai mana hadis Rasulullah :
8
“Barang siapa yang diberi rizki oleh Allah berupa istri salikhah berarti Allah telah menolong
separuh agamanya, maka hendaklah bertaqwa kepada Allah untuk menyempurnakan yang
separuh lagi”.
Sebaliknya Islam melarang keras sikap seorang muslim yang berpaling dari perkawinan
meskipun dengan alasan sibu ibadah dan kekhawatiran perkawinan itu dapat menganggu
hubungan dengan Allah Al-Khaliq. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah.
9
“Rasulullah SAW melarang Utsman Ibu Madhun melakukan tabattul yaitu terputus
hubungan dengan wanita (tidak kawin) meninggalkan perkawinan dengan alasan melapangkan
waktu untuk ibadah semata kepada Allah SWT.”
Dengan demikian tidak diragukan lagi bahwa perkawinan itu adalah salah satu dari
kebaikan-kebaikan yang dihalalkan Allah bagi hamba-hamba-Nya yang beriman agar mereka
memperoleh kesenangan darinya dan melarang mereka dari tabattul (keinginan untuk tidak
menikah). Bahkan Islam memerintahkan umatnya untuk bersegera menikah, 10 karena
perkawinan yang ditunda-tunda dikhawatirkan akan membawa manusia pada perbuatan haram
atau maksiat. Sehingga menikah lebih menjamin pemeliharaan akhlak, lebih membangitkan
kesadaran tanggung jawab kehidupan dan lebih utama bagi pemeliharaan kesehatan suami istri
dalam menjaga kehormatannya.
2.
Perkawinan dalam Perspektif Yuridis
Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa
perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
ketentuan Yang Maha Esa. 11
Ketentuan ini memuat tujuan perkawinan pada umumnya, sedangkan perkawinan itu
sendiri sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya. 12 dengan kata lain,
6
Musnad Imam Ahmad, Juz I, hlm 118
Asy-Syukani, Nail Al-Authar, Juz 6, hlm 227
8
Sunan al-Tirmidzi, Ju II hlm, 272
10
Sunan An-Nasai, Juz 6, hlm. 68
11
Lihat pasal 1 UU RI No. 1 Tahun 1974
12
Lihat Pasal 2 Ayat 1 UU RI No. 1 Tahun 1974
7
hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia harus sesuai dengan ketentuan hukum Islam
sebagaimana pemahaman kalangan fuqaha.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa tujuan perkawinan menurut ajaran Islam
(berdasarkan UU RI No. 1 Tahun 1974) adalah sangat mulia, yakni menuju rumah tangga yang
bahagia di bawah tuntunan agama dan memelihara keturunan 13.
Begitu juga dalam kompilasi Hukum Islam (berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI No.
154 tahun 1991) disebutkan pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat (
) untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah, perkawinan bertujuan untuk
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan warahmah, perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 Ayat 1 UU RI No. 1
Tahun 1974 tentang perkawinan. 14
Berdasarkan apa yang telah dikemukakan di atas dapat ditegaskan bahwasanya menurut
ajaran islam tujuan perkawinan adalah agar menusia dapat menyalurkan tabiat kemanusiaannya
secara teratur dan bertanggung jawab. Dalam sejarah peradaban umat manusia, adanya lembaga
perawinan disadari atau tidak merupakan faktor dominan dalam memebntuk keturunan umat
manusia sebagai makhluk sosial, lebih dari itu rumah tangga yang terbentuk atas dasar
perkawinan ternyata dapat melahirkan hikmah yang amat tinggi nilainya. Pasalnya suami istri
yang serasi dan taat akan mendatangkan kebahagiaan dan melahirkan keturunan yang baik,
sehingga akan terbentuklah suatu keluarga yang baik pula. Dari keluarga-keluarga yang baik
inilah diharapkan terbentuk masyarakat yang baik pula, sebabab hanya keluarga dan masyarakat
yang baik sajalah yang dapat melaksanakan fungsi kekhalifahan manusia di muka bumi. 15
Begitu juga perkawinan dianggap sah apabila dilakukan berdasarkan Undang-Undangan
yang berlaku. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 2 Ayat 1 Tahun 1974 yang berbunyi
perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu.
3.
Perkawinan dalam Perspektif Psikologis
Secara psikologis, melalui perkawinan kehidupan seseorang akan lebih tenang dan tentram
dibandingkan dengan jalan perselingkuhan, perzinahan dan lain sebagainya, sebab melalui
perkawinan yang sah, hubungan seseorang (suami istri) akan mendapatkan pengakuan dari
orang lain. Dengan kata lain melalui
perkawinan ketenangan (
) cinta (
tercapai. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT :
) dan kasih sayang (
) akan dapat
                   
16
F 7T 15
 
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”
Berdasarkan ayat ini jelas bahwa hubungan suami istri adalah hubungan cinta dan kasih
sayang dan ikatan perkawinan pada dasarnya tidak dibatasi hanya dengan pelayanan yang
bersifat material dan biologis saja. Pemenuhan kebutuhan material seperti makan, pakaian,
tempat tianggal dan lain-lain hanya sebagai sarana untuk mencapai kebutuhan fisik, tetapi masih
ada kebutuhan yang lebih mulia dan tinggi, yakni kebutuhan rohani, cinta kasih sayang,
13
Chuzaimah, T. Yanggo, Problematika Hukum Islam Kontemporer, I, Lsik, Jakarta, 2002 hlm. 106
Lihat Pasal 2-4, Komplikasi Hukum Islam
15
Chuzaimah, T. Yanggo, Op Cit,hlm 107
16
Q.S Ar-Rum ayat 21
14
pengakuan dan barokah dari Allah SWT. 17. dengan demikian bahwa kebutuhan/pelayanan yang
bersifat material akan selalu diikuti dengan kebutuhan batin, sehingga secara psikologis tidak
mungkin seorang laki-laki mencintai lebih dari seorang wanita sebagai istri, sebab untuk
memberikan perhatian, cinta kasih dan kasih sayang tidak mungkin dibagi oleh seseorang 18
19
7T
F 7T 18
              
“Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari
isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik."
20
F 7T 19
                  
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari
seorang diri, dan dari padanya. Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak”
Berdasarkan ayat-ayat di atas jelaslah bahwa tujuan pentingnya perkawinan (reproduksi)
adalah agar umat Islam kelak menjadi umat yang banyak dan berkualitas, atau agar kita tidak
meninggalkan generasi yang lemah. Dengan kata lain agar kita mempunyai dan meninggalkan
keturunan/generasi-generasi yang banyak dan berkualitas. Hal ini sejalan dengan firman Allah
SWT :
21
7T
F 7T 20
              
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang
mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh
sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan
Perkataan yang benar.”
Selain itu juga secara psikologis perkawinan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
biologis, karena dengan perkawinan kesenangan, ketenangan jiwa, bahkan kepuasan batin dapat
tercapai. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT :
                  
      
22
7T
F 7T 21
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu;
mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui
bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu,karena itu Allah mengampuni kamu dan
memberi ma'af kepadamu”.
 23        
7T2F
7T
“Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah
tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki”
17
Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan I, ACAdeMIA, Yogyakarta, 2005, hlm 39
Fazlul Rahman, The Controvercy over the muslim family law, dalam Donal Law E. Smith (ed) South Asian
Politics and Religion, Practiton University Press, Princeton, 1966, hlm. 417
19
Q.S An-Nahl, Ayat 72
20
Q.S An-Nisa, Ayat 1
21
Q.S An-Nisa, Ayat 9
22
Q.S Al-Baqarah, Ayat 187
23
Q.S Al-Baqarah, Ayat 223
18
4.
Perkawinan dalam Perspektif Sosiologis
Manusia merupakan makhluk yang paling sempurna, tetapai dalam hidupnya ia tidak bisa
hidup sendiri, ia selalu membutuhkan orang lain, ia ingin selalu bersama dengan yang lain.. Oleh
karena itu manusia disebut sebagai makhluk sosial. Untuk mewujudkan itu semua, maka salah
Selain
tujuan
dari adalah
perkawinan
untuk mengembangbiakkan umat manusia
satu cara
yangitubisa
dilakukan
melaluiadalah
perkawinan.
(reproduksi) dimuka bumi, hal ini sebagaiana firman Allah SWT :
Dalam perspektif sosiologis perkawinan adalah suatu ikatan lahir dan bathin antara seorang
laki-laki dengan seorang perempuan dalam suatu hubungan suami istri yang diberikan kekuatan
sanksi sosial.24 dengan demikian keluarga merupakan kesatuan sosial yang dibentuk melalui
perkawinan, yaitu penyatuan seksual antara dua orang dewasa yang diakui dan disetujui secara
sosial. 25
Adapun perkawinan itu sendiri dapat dibedakan menjadi beberapa bentuk 26:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
Monogami, yaitu ikatan perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan.
Bentuk perkawinan inilah yang dikehendaki oleh UU RI No. 1 Tahun 1974
Poligami (Poligini), yaitu perkawinan antara seorang laki-laki dengan dua orang wanita
atau lebih. Bentuk perkawinan dalam Islam di perbolehkan selama bisa berlaku adil
Poligami (Poliandri), yaitu perkawinan antara seorang wanita dengan dua orang laki-laki
atau lebih. Bentuk perkawinan ini dalam Islam dilarang.
Eksogami, yaitu perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang
berasal dari luar golongan sendiri. Golongan yang dimaksud berupa golongan etnis atau
golongan sosial, misalnya orangjawa menikah dengan orang lampung, bentuk perkawinan
ini dalam Islam di perboehkan
Endogami, yaitu perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang
berasal dari dalam golongan sendiri, golongan yang dimaksud berupa golongan etnis atau
golongan sosial. Perkawinan dengan sistem ini biasanya bertujuan untuk menjaga
kelestarian suku atau daerah, misalnya orang jawa menikah dengan orang jawa. Bentuk
perkawinan ini dalam Islam diperbolehkan selama tidak termasuk wanita yang haram di
nikahi.
Perkawinan Sosorat (turun ranjang), yaitu perkawinan dimana seorang laki-laki menikahi
saudara perempuan almarhumah (karena istrinya meninggal, baik adik maupun kakaknya).
Bentuk perkwinan ini dalam Islam diperbolehkan, bahkan sangat dianjurkan demi keutuhan
dan keterjaminan keluarga (apalagi memiliki anak).
Perkawinan Levirat (turun ranjang), yaitu perkawinan dimana seorang perempuan menikah
dengan saudara laki-lai almarhum (karena suaminya meninggal baik dengan adik maupun
kakaknya). Bentuk perkawinan ini dalam Islam juga diperbolehkan demi keutuhan dan
keterjamiann keluarga khususnya yang sudah memiliki anak.
Sedangkan tujuan perkawinan 27 dalam perspektif sosiologis antara lain :
a.
Membentuk keluarga yang berbahagia dan kekal
b.
Memenuhi kebutuhan biolgis yang sah dan sehat
c.
Mendapatkan/meneruskan keturunan
d.
Untuk mewariskan kebudayaan kepada generasi penerus
e.
Memperjelas garis keturunan
f.
Memperkuat hubungan kekerabatan dari pihak suami istri
g.
Memperoleh kasih sayang, kebahagiaan dan rasa aman
Dalam mewujudkan tujuan perkawinan tersebut, maka keluarga memiliki beberapa
fungsi, 28 diantaranya :
24
Setiyadi (Peny), Sosiologi, Seti-Aji, Sukoharjo, 2006, hlm. 37
Ibid., hlm. 41
26
Ibid.,
27
Ibid., hlm. 45
25
28
Khoiruddin Nasution, Arah Pembangunan Hukum Keluarga Islam Indonesia, Pendekatan Komparatif dan
Integratif dalam Membangun Keluarga Sakinah, Makalah, 2012, hlm. 19
a.
Fungsi biologis, yaitu untuk menghasilkan keturunan secara sah
b.
Fungsi ekonomi, yaitu untuk menghasilkan dan membelanjakan harta dalam rangka
memenuhi kebutuhan hidupnya.
c.
Fungsi Protektif, yaitu untuk melindungi anggotanya dari berbagai ancaman, baik ancaman
fisik, ekonomis, maupoun prikologis
d.
Fungsi rekreatif, yaitu sebagai pusat rekreasi bagi para anggotanya
f.
Fungsi edukatif, yaitu untuk memberikan pendidikan kepada anggota keluarga agar
mempunyai budi pekerti yang luhur, sehinga keluarga menjadi tempat pendidikan yang
paling utama.
C.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian dan pembahasan tersebut di atas dapat dikemukakan beberapa
kesimpulan sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.
5.
Islam memerintahkan umatnya untuk bersegera menikah, sebab perkawinan yang ditundatunda dikhawatirkan akan membawa manusia pada perbuatan haram atau maksiat.
Perkawinan merupakan sarana untuk mewujudkan ketenangan jiwa dan ketenangan hati,
menjaga kesucian diri dari perbuatan keji dan mendapatkan keturunan yang sholeh dan
solihah.
Menurut UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 2 Ayat 1 bahwa perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu.
Tujuan perkawinan tidak hanya bersifat material, seperti pemenuhan makanan, pakaian dan
tempat tinggal, tetapi juga untuk pemenuhan kebutuhan rohani, seperti cinta, kasih sayang
dan barokah dari Allah SWT.
Keluarga merupakan kesatuan sosial yang dibentuk melalui perkawinan yang berfungsi
untuk memperoleh kasih sayang, kebahagiaan dan rasa aman, memenuhi kebutuhan
biologis, mendapatkan keturunan, mewariskan kebudayaan, memperjelas keturunan dan
memperkuat hubungan kekerabatan.
DAFTAR PUSTAKA
Aj-Jahrani, Musfir, Poligami dari Berbagai Persepsi, Gema Insani Pres, Jakarta, 1996.
Al-Baihaqi, Abu Abakr Ahmad bin al-Ahusain bin Ali, al-Sunnah al-Kubra, al-Hindi, Majelis
Dairah al-Ma’arif an-Nizhamiyah, al-Kainah, 1344 H.
Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail Abu Abdillah, al-Jami al-Shahih al-Muktashar, Beirut : Dar
Ibnu Katsir, 1987.
Al-Darimi, Abdullah bin Abd Lahman Abu Muhammad, Sunan al-Darimi, Beirut : Dar al-Kitab
al-Arabi, 1407 H.
Al-Munawar, Said Aqil Husein, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalekhan Hakiki, Jakarta :
Ciputat Press, 2003.
Al-Quzhawain, Muhammad bin Yazid Abu Abdillah, Sunan Ibnu Majah, beirut ; Dar al-Fikr,
t.th.
Al-Syaibani, Amad bin Hambal Abu Abdillah, Musnad al-Imam Ahmad bin Hambal, Kairo
Mu’assasah Qurthubah, t.th.
At-Turmudzi, Muhammad Ibnu Isa, al-Jami’ al-Sahih Sunan al-Tumrudzi, Tahqiq Ahamd
Muhammad Syakir dkk, Beirut : Dar ihya al-Turats al-Arabi, t.th
Bisri, Cik Hasan, Komplikasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta : Logis
Wacana Ilmu, 1999.
Dahlan Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta : Ichtiar Baru, Van Hoeve, 1993.
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang : Thoha Putra, 1998
Manan Abdul, Aneka Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta : Kencana, 2006.
Nasution, Khoiruddin, Hukum Perkawinan I, Yogyakarta, ACAdeMIA, 2005
______________, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia, Yogyakarta : ACAdeMIA, 2009
______________,Pengantar dan Pemikiran Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia,
Yogyakarta : ACAdeMIA, 2010.
Setiyadi (Peny), Sosiologi, Sukoharjo : Seti-Aji, 2006
Sitorus, Sosiologi, Jakarta : Erlangga, 2000
Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta Rajawali press, 2012.
Undang-Undang Perkwinan No. 1 Tahun 1974
Yanggo, Chuzaimah T (ed), Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta : Pustaka Firdaus,
2002.
Zuhraini, dkk, Fiqh Kontemporer, Jakarta : Dierjan Kelembagaan Agama Islam Depag RI. 2003
Download