PERKAWINAN DALAM BERBAGAI PERSPEKTIF (Perspektif Normatif, Yuridis, Psikologis dan Sosiologis) Oleh : A. Kumedi Ja’far ∗ Abstraksi Pada dasarnya perkawinan merupakan tulang punggung terbentuknya keluarga, di mana keluarga merupakan komponen pertama dalam pembangunan masyarakat. Dengan demikian tujuan perkawinan bukan hanya sebagai sarana pelampiasan nafsu syahwat melainkan memiliki tujuan yang lebih mulia. Perkawinan merupakan hubungan cinta, kasih sayang dan kesenangan, sarana bagi terciptanya kerukunan hati, serta sebagai perisai bagi suami istri dari bahaya kekejian sehingga dengan perkawinan lahirlah generasi yang akan memperbanyak umat memperkokoh kekuatan dan meningkatkan perekonomian. Dengan demikian akan terjadi sikap tolong menolong antara laki-laki (suami) dan perempuan (istri) dalam kepentingan dan tuntutan kehidupan, dimana suami bertugas mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan istri bertugas mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anak. Kata Kunci : Perkawinan, Normatif, Yuridis, Psikologis dan Sosiologis A. Pendahuluan Allah SWT telah mensyariatkan perkawinan dengan tujuan agar tercapai hubungan yang harmonis antara laki-laki dan perempuan di bawah naungan syariat Islam dan batasan-batasan hubungan antar mereka. Tidak mungkin bagi seorang perempuan untuk merasa tidak butuh kepada seorang laki-laki yang mendampinginya secara sah meskipun ia mempunyai kedudukan yang tinggi. Begitu juga seorang laki-laki tidak mungkin merasa tidak membutuhkan seorang perempuan (istri) yang mendampinginya betapapun hebatnya seorang laki-laki itu, hal ini sebagaimana yang digambarkan dalam sabda Rasulullah SAW : 1 “Sesungguhnya dunia ini adalah perbendaharaan (perhiasan), dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita yang membantu suaminya untuk mewujudkan kebahagiaan di akhirat, kasihan, kasihan seorang laki-laki yang tidak mempunyai istri, kasihan, kasihan perempuan yang tidak mempunya suami” Allah SWT telah mensyariatkan perkawinan untuk kebijaksanaan yang tinggi dan tujuan yang mulia, serta merupakan cara yang bersih untuk melanjutkan keturunan dan memakmurkan bumi. Perkawinan merupakan sarana untuk mewujudkan ketenangan jiwa dan ketenangan hati, menjaga kesucian diri dari perbuatan keji sebagaimana juga menjadi kenikmatan, kebahagiaan hidup, sarana untuk membentengi diri agar tidak jatuh pada jurang kenistaan, serta penyebab perolehan keturunan yang sholeh dan yang akan mendatangkan bagi manusia untuk kehidupannya di dunia dan akhirat. Pada dasarnya perkawinan merupakan tulang punggung terbentuknya keluarga, di mana keluarga merupakan komponen pertama dalam pembangunan masyarakat. Dengan demikian tujuan perkawinan bukan hanya sebagai sarana pelampiasan nafsu syahwat melainkan memiliki tujuan yang lebih mulia. Perkawinan merupakan hubungan cinta, kasih sayang dan kesenangan, sarana bagi terciptanya kerukunan hati, serta sebagai perisai bagi suami istri dari bahaya kekejian sehingga dengan perkawinan lahirlah generasi yang akan memperbanyak umat memperkokoh kekuatan dan meningkatkan perekonomian. Dengan demikian akan terjadi sikap tolong menolong antara laki-laki (suami) dan perempuan (istri) dalam kepentingan dan tuntutan ∗ 1 penulis adalah Dosen Tetap pada Fakultas Syari’ah IAIN Raden Intan Lampung Sunan Ibnu Majah, Juz 1, hlm 592 kehidupan, dimana suami bertugas mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan istri bertugas mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anak. Berdasarkan hal di atas, maka dalam makalah ini akan dibahas tentang perkawinan dalam kajian interdisipliner (perspektif teologis, yuridis, psikologis dan sosiologis) B. Pembahasan 1. Perkawinan dalam perspektif normatif Allah SWT telah mensyariatkan perkawinan dengan berbagai dalil, baik dari alQur’an, As-Sunnah atau Ijma’ para Ulama, di antara dalil-dalil tersebut adalah : 2 F 7T 2 “Kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga, atau empat.” 3 7T F 7T 3 “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” 4 7T4F “Perkawinan adalah sunahku, barang siapa yang tidak megerjakan sunahku maka bukan termasuk golonganku (umatku). Kawinlah kamu semua sesungguhnya akan berbangga dengan banyaknya kamu.” 5 7T5F “Hai sekalian pemuda, barang siapa diantara kamu yang telah mampu memikul beban rumah tangga ehndaklah ia menikah, karena menikah dapat memelihara gejolak pandangan mata dan dorongan nafsu syahwat. Dan barang siapa yang siapa yang belum mampu hendaklah ia berpuasa, sesungguhnya puasa itu merpakan perisai baginya” Berdasarkan dalil-dalil diatas, jelaslah bahwa pentingna perkawinan dalam kehidupan, bahkan Rasulullah SAW mengajarkan dan menekankan bahwa jalan terbaik untuk memperoleh perhiasan dunia adalah lewat perkawinan sebagai mana telah diriwayatkan Imam Muslim yang 2 Q.S An-Nisa ayat 3 3 Q.S Ar-Rum ayat 21 Lisan Al-Arab, Juz, I hlm. 36 5 Fathul Bari, Juz 9, hlm 118 4 mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda : Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baiknya perhiasan adalah wanita shalikhah 6. hal ini sejalan dengan hadist Rasulullah SAW : 7 “Ada empat perkara yang mendatangkan kebahagiaan, yaitu istri yang salikhah, tempat tinggal yang luas, tetangga yang baik dan kendaraan yang baik, dan empat perkara yang mendatangakan kesengsaraan yaitu istri yang jahat, tetangga yang jahat, kendaraan kendaraan yang buruk dan tempat tanggal yang sempit.” Perkawinan adalah ibadah untuk melengkapi separuh agama seseorang yang akan menjumpai Allah dengan jiwa yang suci, hal ini sebagai mana hadis Rasulullah : 8 “Barang siapa yang diberi rizki oleh Allah berupa istri salikhah berarti Allah telah menolong separuh agamanya, maka hendaklah bertaqwa kepada Allah untuk menyempurnakan yang separuh lagi”. Sebaliknya Islam melarang keras sikap seorang muslim yang berpaling dari perkawinan meskipun dengan alasan sibu ibadah dan kekhawatiran perkawinan itu dapat menganggu hubungan dengan Allah Al-Khaliq. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah. 9 “Rasulullah SAW melarang Utsman Ibu Madhun melakukan tabattul yaitu terputus hubungan dengan wanita (tidak kawin) meninggalkan perkawinan dengan alasan melapangkan waktu untuk ibadah semata kepada Allah SWT.” Dengan demikian tidak diragukan lagi bahwa perkawinan itu adalah salah satu dari kebaikan-kebaikan yang dihalalkan Allah bagi hamba-hamba-Nya yang beriman agar mereka memperoleh kesenangan darinya dan melarang mereka dari tabattul (keinginan untuk tidak menikah). Bahkan Islam memerintahkan umatnya untuk bersegera menikah, 10 karena perkawinan yang ditunda-tunda dikhawatirkan akan membawa manusia pada perbuatan haram atau maksiat. Sehingga menikah lebih menjamin pemeliharaan akhlak, lebih membangitkan kesadaran tanggung jawab kehidupan dan lebih utama bagi pemeliharaan kesehatan suami istri dalam menjaga kehormatannya. 2. Perkawinan dalam Perspektif Yuridis Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketentuan Yang Maha Esa. 11 Ketentuan ini memuat tujuan perkawinan pada umumnya, sedangkan perkawinan itu sendiri sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya. 12 dengan kata lain, 6 Musnad Imam Ahmad, Juz I, hlm 118 Asy-Syukani, Nail Al-Authar, Juz 6, hlm 227 8 Sunan al-Tirmidzi, Ju II hlm, 272 10 Sunan An-Nasai, Juz 6, hlm. 68 11 Lihat pasal 1 UU RI No. 1 Tahun 1974 12 Lihat Pasal 2 Ayat 1 UU RI No. 1 Tahun 1974 7 hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia harus sesuai dengan ketentuan hukum Islam sebagaimana pemahaman kalangan fuqaha. Dengan demikian dapat dipahami bahwa tujuan perkawinan menurut ajaran Islam (berdasarkan UU RI No. 1 Tahun 1974) adalah sangat mulia, yakni menuju rumah tangga yang bahagia di bawah tuntunan agama dan memelihara keturunan 13. Begitu juga dalam kompilasi Hukum Islam (berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI No. 154 tahun 1991) disebutkan pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat ( ) untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah, perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan warahmah, perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 Ayat 1 UU RI No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. 14 Berdasarkan apa yang telah dikemukakan di atas dapat ditegaskan bahwasanya menurut ajaran islam tujuan perkawinan adalah agar menusia dapat menyalurkan tabiat kemanusiaannya secara teratur dan bertanggung jawab. Dalam sejarah peradaban umat manusia, adanya lembaga perawinan disadari atau tidak merupakan faktor dominan dalam memebntuk keturunan umat manusia sebagai makhluk sosial, lebih dari itu rumah tangga yang terbentuk atas dasar perkawinan ternyata dapat melahirkan hikmah yang amat tinggi nilainya. Pasalnya suami istri yang serasi dan taat akan mendatangkan kebahagiaan dan melahirkan keturunan yang baik, sehingga akan terbentuklah suatu keluarga yang baik pula. Dari keluarga-keluarga yang baik inilah diharapkan terbentuk masyarakat yang baik pula, sebabab hanya keluarga dan masyarakat yang baik sajalah yang dapat melaksanakan fungsi kekhalifahan manusia di muka bumi. 15 Begitu juga perkawinan dianggap sah apabila dilakukan berdasarkan Undang-Undangan yang berlaku. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 2 Ayat 1 Tahun 1974 yang berbunyi perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. 3. Perkawinan dalam Perspektif Psikologis Secara psikologis, melalui perkawinan kehidupan seseorang akan lebih tenang dan tentram dibandingkan dengan jalan perselingkuhan, perzinahan dan lain sebagainya, sebab melalui perkawinan yang sah, hubungan seseorang (suami istri) akan mendapatkan pengakuan dari orang lain. Dengan kata lain melalui perkawinan ketenangan ( ) cinta ( tercapai. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT : ) dan kasih sayang ( ) akan dapat 16 F 7T 15 “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” Berdasarkan ayat ini jelas bahwa hubungan suami istri adalah hubungan cinta dan kasih sayang dan ikatan perkawinan pada dasarnya tidak dibatasi hanya dengan pelayanan yang bersifat material dan biologis saja. Pemenuhan kebutuhan material seperti makan, pakaian, tempat tianggal dan lain-lain hanya sebagai sarana untuk mencapai kebutuhan fisik, tetapi masih ada kebutuhan yang lebih mulia dan tinggi, yakni kebutuhan rohani, cinta kasih sayang, 13 Chuzaimah, T. Yanggo, Problematika Hukum Islam Kontemporer, I, Lsik, Jakarta, 2002 hlm. 106 Lihat Pasal 2-4, Komplikasi Hukum Islam 15 Chuzaimah, T. Yanggo, Op Cit,hlm 107 16 Q.S Ar-Rum ayat 21 14 pengakuan dan barokah dari Allah SWT. 17. dengan demikian bahwa kebutuhan/pelayanan yang bersifat material akan selalu diikuti dengan kebutuhan batin, sehingga secara psikologis tidak mungkin seorang laki-laki mencintai lebih dari seorang wanita sebagai istri, sebab untuk memberikan perhatian, cinta kasih dan kasih sayang tidak mungkin dibagi oleh seseorang 18 19 7T F 7T 18 “Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik." 20 F 7T 19 “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya. Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak” Berdasarkan ayat-ayat di atas jelaslah bahwa tujuan pentingnya perkawinan (reproduksi) adalah agar umat Islam kelak menjadi umat yang banyak dan berkualitas, atau agar kita tidak meninggalkan generasi yang lemah. Dengan kata lain agar kita mempunyai dan meninggalkan keturunan/generasi-generasi yang banyak dan berkualitas. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT : 21 7T F 7T 20 “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar.” Selain itu juga secara psikologis perkawinan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan biologis, karena dengan perkawinan kesenangan, ketenangan jiwa, bahkan kepuasan batin dapat tercapai. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT : 22 7T F 7T 21 “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu,karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu”. 23 7T2F 7T “Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki” 17 Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan I, ACAdeMIA, Yogyakarta, 2005, hlm 39 Fazlul Rahman, The Controvercy over the muslim family law, dalam Donal Law E. Smith (ed) South Asian Politics and Religion, Practiton University Press, Princeton, 1966, hlm. 417 19 Q.S An-Nahl, Ayat 72 20 Q.S An-Nisa, Ayat 1 21 Q.S An-Nisa, Ayat 9 22 Q.S Al-Baqarah, Ayat 187 23 Q.S Al-Baqarah, Ayat 223 18 4. Perkawinan dalam Perspektif Sosiologis Manusia merupakan makhluk yang paling sempurna, tetapai dalam hidupnya ia tidak bisa hidup sendiri, ia selalu membutuhkan orang lain, ia ingin selalu bersama dengan yang lain.. Oleh karena itu manusia disebut sebagai makhluk sosial. Untuk mewujudkan itu semua, maka salah Selain tujuan dari adalah perkawinan untuk mengembangbiakkan umat manusia satu cara yangitubisa dilakukan melaluiadalah perkawinan. (reproduksi) dimuka bumi, hal ini sebagaiana firman Allah SWT : Dalam perspektif sosiologis perkawinan adalah suatu ikatan lahir dan bathin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan dalam suatu hubungan suami istri yang diberikan kekuatan sanksi sosial.24 dengan demikian keluarga merupakan kesatuan sosial yang dibentuk melalui perkawinan, yaitu penyatuan seksual antara dua orang dewasa yang diakui dan disetujui secara sosial. 25 Adapun perkawinan itu sendiri dapat dibedakan menjadi beberapa bentuk 26: a. b. c. d. e. f. g. Monogami, yaitu ikatan perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Bentuk perkawinan inilah yang dikehendaki oleh UU RI No. 1 Tahun 1974 Poligami (Poligini), yaitu perkawinan antara seorang laki-laki dengan dua orang wanita atau lebih. Bentuk perkawinan dalam Islam di perbolehkan selama bisa berlaku adil Poligami (Poliandri), yaitu perkawinan antara seorang wanita dengan dua orang laki-laki atau lebih. Bentuk perkawinan ini dalam Islam dilarang. Eksogami, yaitu perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang berasal dari luar golongan sendiri. Golongan yang dimaksud berupa golongan etnis atau golongan sosial, misalnya orangjawa menikah dengan orang lampung, bentuk perkawinan ini dalam Islam di perboehkan Endogami, yaitu perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang berasal dari dalam golongan sendiri, golongan yang dimaksud berupa golongan etnis atau golongan sosial. Perkawinan dengan sistem ini biasanya bertujuan untuk menjaga kelestarian suku atau daerah, misalnya orang jawa menikah dengan orang jawa. Bentuk perkawinan ini dalam Islam diperbolehkan selama tidak termasuk wanita yang haram di nikahi. Perkawinan Sosorat (turun ranjang), yaitu perkawinan dimana seorang laki-laki menikahi saudara perempuan almarhumah (karena istrinya meninggal, baik adik maupun kakaknya). Bentuk perkwinan ini dalam Islam diperbolehkan, bahkan sangat dianjurkan demi keutuhan dan keterjaminan keluarga (apalagi memiliki anak). Perkawinan Levirat (turun ranjang), yaitu perkawinan dimana seorang perempuan menikah dengan saudara laki-lai almarhum (karena suaminya meninggal baik dengan adik maupun kakaknya). Bentuk perkawinan ini dalam Islam juga diperbolehkan demi keutuhan dan keterjamiann keluarga khususnya yang sudah memiliki anak. Sedangkan tujuan perkawinan 27 dalam perspektif sosiologis antara lain : a. Membentuk keluarga yang berbahagia dan kekal b. Memenuhi kebutuhan biolgis yang sah dan sehat c. Mendapatkan/meneruskan keturunan d. Untuk mewariskan kebudayaan kepada generasi penerus e. Memperjelas garis keturunan f. Memperkuat hubungan kekerabatan dari pihak suami istri g. Memperoleh kasih sayang, kebahagiaan dan rasa aman Dalam mewujudkan tujuan perkawinan tersebut, maka keluarga memiliki beberapa fungsi, 28 diantaranya : 24 Setiyadi (Peny), Sosiologi, Seti-Aji, Sukoharjo, 2006, hlm. 37 Ibid., hlm. 41 26 Ibid., 27 Ibid., hlm. 45 25 28 Khoiruddin Nasution, Arah Pembangunan Hukum Keluarga Islam Indonesia, Pendekatan Komparatif dan Integratif dalam Membangun Keluarga Sakinah, Makalah, 2012, hlm. 19 a. Fungsi biologis, yaitu untuk menghasilkan keturunan secara sah b. Fungsi ekonomi, yaitu untuk menghasilkan dan membelanjakan harta dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. c. Fungsi Protektif, yaitu untuk melindungi anggotanya dari berbagai ancaman, baik ancaman fisik, ekonomis, maupoun prikologis d. Fungsi rekreatif, yaitu sebagai pusat rekreasi bagi para anggotanya f. Fungsi edukatif, yaitu untuk memberikan pendidikan kepada anggota keluarga agar mempunyai budi pekerti yang luhur, sehinga keluarga menjadi tempat pendidikan yang paling utama. C. KESIMPULAN Berdasarkan uraian dan pembahasan tersebut di atas dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. Islam memerintahkan umatnya untuk bersegera menikah, sebab perkawinan yang ditundatunda dikhawatirkan akan membawa manusia pada perbuatan haram atau maksiat. Perkawinan merupakan sarana untuk mewujudkan ketenangan jiwa dan ketenangan hati, menjaga kesucian diri dari perbuatan keji dan mendapatkan keturunan yang sholeh dan solihah. Menurut UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 2 Ayat 1 bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu. Tujuan perkawinan tidak hanya bersifat material, seperti pemenuhan makanan, pakaian dan tempat tinggal, tetapi juga untuk pemenuhan kebutuhan rohani, seperti cinta, kasih sayang dan barokah dari Allah SWT. Keluarga merupakan kesatuan sosial yang dibentuk melalui perkawinan yang berfungsi untuk memperoleh kasih sayang, kebahagiaan dan rasa aman, memenuhi kebutuhan biologis, mendapatkan keturunan, mewariskan kebudayaan, memperjelas keturunan dan memperkuat hubungan kekerabatan. DAFTAR PUSTAKA Aj-Jahrani, Musfir, Poligami dari Berbagai Persepsi, Gema Insani Pres, Jakarta, 1996. Al-Baihaqi, Abu Abakr Ahmad bin al-Ahusain bin Ali, al-Sunnah al-Kubra, al-Hindi, Majelis Dairah al-Ma’arif an-Nizhamiyah, al-Kainah, 1344 H. Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail Abu Abdillah, al-Jami al-Shahih al-Muktashar, Beirut : Dar Ibnu Katsir, 1987. Al-Darimi, Abdullah bin Abd Lahman Abu Muhammad, Sunan al-Darimi, Beirut : Dar al-Kitab al-Arabi, 1407 H. Al-Munawar, Said Aqil Husein, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalekhan Hakiki, Jakarta : Ciputat Press, 2003. Al-Quzhawain, Muhammad bin Yazid Abu Abdillah, Sunan Ibnu Majah, beirut ; Dar al-Fikr, t.th. Al-Syaibani, Amad bin Hambal Abu Abdillah, Musnad al-Imam Ahmad bin Hambal, Kairo Mu’assasah Qurthubah, t.th. At-Turmudzi, Muhammad Ibnu Isa, al-Jami’ al-Sahih Sunan al-Tumrudzi, Tahqiq Ahamd Muhammad Syakir dkk, Beirut : Dar ihya al-Turats al-Arabi, t.th Bisri, Cik Hasan, Komplikasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta : Logis Wacana Ilmu, 1999. Dahlan Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta : Ichtiar Baru, Van Hoeve, 1993. Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang : Thoha Putra, 1998 Manan Abdul, Aneka Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta : Kencana, 2006. Nasution, Khoiruddin, Hukum Perkawinan I, Yogyakarta, ACAdeMIA, 2005 ______________, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia, Yogyakarta : ACAdeMIA, 2009 ______________,Pengantar dan Pemikiran Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, Yogyakarta : ACAdeMIA, 2010. Setiyadi (Peny), Sosiologi, Sukoharjo : Seti-Aji, 2006 Sitorus, Sosiologi, Jakarta : Erlangga, 2000 Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta Rajawali press, 2012. Undang-Undang Perkwinan No. 1 Tahun 1974 Yanggo, Chuzaimah T (ed), Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2002. Zuhraini, dkk, Fiqh Kontemporer, Jakarta : Dierjan Kelembagaan Agama Islam Depag RI. 2003