PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit kronis seperti diabetes, menjadi masalah dunia yang jumlah penderitanya terus meningkat, termasuk di Indonesia. Badan Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi bahwa jumlah penderita diabetes di dunia akan meningkat dari 171 juta di tahun 2000 menjadi 366 juta di tahun 2030 (Wild et al. 2004). Diabetes Mellitus (DM) adalah penyakit yang terkait dengan gangguan metabolisme yang ditandai dengan hiperglikemia akibat dari tidak adanya sekresi insulin dari sel beta pankreas dan akibat dari resistensi reseptor terhadap insulin. Penyakit DM terbagi atas DM tipe 1 yang disebabkan kerusakan sel beta pankreas dan DM tipe 2 yang disebabkan oleh defisiensi insulin (CDA 2008). Salah satu terapi dalam pengobatan diabetes yang dapat diterapkan adalah dengan menurunkan kadar glukosa darah setelah makan. Hal ini dilakukan dengan cara memperlambat penyerapan glukosa melalui penghambatan pemecahan karbohidrat oleh α-glukosidase dan α-amilase dalam saluran pencernaan. Obatobat kimia yang digunakan untuk mengobati DM tipe 2 yaitu golongan sulfonylurea, biguanida, inhibitor α-glukosidase, thiazolidinediones dapat menurunkan kadar gula darah dengan mekanisme yang berbeda. Salah satu mekanisme kerja obat tersebut diatas adalah sebagai inhibitor α-glukosidase seperti acarbose, miglitol dan voglibose yang digunakan untuk menunda penyerapan glukosa di usus halus sehingga terjadi penurunan kadar glukosa setelah makan. Obat-obat ini sering digunakan untuk mengobati pasien penderita DM tipe 2 (Laar et al. 2005, Hanefeld et al. 2008). Akan tetapi obat tersebut dapat memiliki efek samping seperti hipoglikemia, menimbulkan keracunan asam laktat dan gangguan pencernaan (Li et al. 2004). Acarbose adalah pseudooligosakarida yang berperan sebagai kompetitor α-glukosidase karena hampir tidak dicerna dan tidak bersifat racun (Wehmeier & Piepersberg 2004, Laube 2002). Indonesia dengan keanekaragaman hayatinya memiliki potensi besar untuk mengembangkan obat herbal (Radji 2005). Penggunaan obat herbal secara umum dinilai lebih aman dari pada penggunaan obat modern. Hal ini disebabkan karena 2 obat herbal diakui memiliki efek samping yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan obat modern (Sari 2006). Tanaman obat antidiabetes yang telah lama digunakan masyarakat antara lain brotowali (Tinospora cordifolia W), pare (Momordica charantia L) dan mimba (Azardirachta indica ) (Jung et al. 2006). Lebih lanjut telah diketahui bahwa ekstrak brotowali memiliki efek antihiperglikemik (Noor & Aschrof 1998). Mikrob endofit adalah mikrob yang hidup di dalam jaringan tanaman pada periode tertentu dan mampu hidup dengan membentuk koloni dalam jaringan tanaman tanpa membahayakan inangnya. Mikrob endofit menghasilkan senyawa bioaktif yang dapat berfungsi sebagai antioksidan, antibiotik, antivirus, antikanker, bioinsektisida, imunosupresif, serta antidiabetik (Strobel & Daisy 2003). Beberapa mikrob endofit mampu menghasilkan senyawa fitokimia atau metabolit sekunder sama dengan tanaman inangnya. Kemampuan mikrob dalam memproduksi metabolit yang identik tersebut diduga akibat dari transfer genetik (genetic recombination) dalam kurun waktu evolusi dari tanaman inang ke dalam mikrob endofit (Tan & Zou 2001). Berbagai jenis endofit telah berhasil diisolasi dari tanaman inangnya seperti Colletotrichum sp. diisolasi dari tanaman Artemisia annua. Mikrob ini menghasilkan metabolit artemisinin yang sangat potensial sebagai anti malaria (Lu et al. 2000). Metabolit paclitaxel dan derivatnya merupakan senyawa diterpenoid berkhasiat sebagai antikanker yang diekstrak dari tanaman Taxus. Paclitaxel ternyata juga dapat dihasilkan oleh mikrob endofit dari tanaman inangnya (Strobel et al. 2002). Jenis mikrob endofit lain yang diisolasi dari tanaman Grevillea pteridifolia juga mampu menghasilkan metabolit kakadumycin yang berkhasiat sebagai anti malaria (Castillo et al. 2003). Geotrichum sp. yang diisolasi dari Crassocephalum crepidioides menghasilkan senyawa metabolit sekunder dihydroisocoumarin yang memiliki potensi antimalaria, antituberkulosis dan antifungal (Kongsaeree et al. 2003). Cytonaema sp. dapat menghasilkan metabolit cytonic acid A dan B, yang struktur molekulnya merupakan isomer ptridepside, berhasiat sebagai anti virus. Cytonic acid A dan B ini merupakan protease inhibitor dan dapat menghambat pertumbuhan cytomegalovirus manusia (Guo et al. 2000). Streptomyces griseorubiginosus yang di isolasi dari tanaman Musa acuminata menghasilkan metabolit sekunder yang mampu melawan Fusarium oxysporum sp. Cubense (Cao et al. 2004). Aktinomiset diketahui sebagai mikrob utama penghasil metabolit sekunder dengan beragam fungsi seperti antibiotik, anti tumor, anti virus, anti fungi yang bermanfaat dibidang kesehatan (Dehnad et al. 2010, Hyun et al. 2005). Anggota aktinomiset yang dapat menghasilkan inhibitor α-glukosidase acarbose adalah Actinoplanes sp. SE50/110 yang sudah dikomersialkan dalam bentuk produk glucobay oleh perusahaan Bayer (Zhang et al. 2003b), Micromonospora sp. VITSDK3 (EU55138) (Suthindiran et al. 2009), Actinoplanes sp. A56 (Wei et al. 2010), Actinoplanes sp. CKD485-16 (Choi & Shin 2003) dan Streptomyces glaucescens (Rockser & Wehmeier 2008). Brotowali merupakan tanaman obat yang secara turun temurun digunakan sebagai obat antidiabetes. Tanaman obat ini ternyata mengandung aktinomiset endofit. Pujiyanto (2012) melakukan penapisan kemampuan inhibitor - glukosidase terhadap 32 isolat aktinomiset endofit brotowali dan mendapatkan bahwa Streptomyces sp. BWA 65 memiiki kemampuan tertinggi. Namun demikian, sejauh ini kajian tentang gen penghasil inhibitor -glukosidase Streptomyces sp. BWA 65 yaitu Sedoheptulosa 7-fosfat siklase belum diketahui. Pengaruh ekstrak Streptomyces sp. BWA 65 yang mengandung senyawa inhibitor -glukosidase dalam menurunkan kadar glukosa darah secara in vivo juga belum diketahui. Langkah penting tersebut diperlukan untuk pengembangan kemampuannya sebagai inhibitor -glukosidase. Permasalahan Berdasarkan fakta bahwa penderita diabetes di Indonesia terus meningkat, sedangkan Indonesia memiliki kekayaaan dan keragaman aktinomiset yang tinggi. Aktinomiset diketahui merupakan penghasil utama metabolit sekunder dengan beragam fungsi penting di bidang kesehatan diantaranya sebagai obat antidiabetes. Penelitian sebelumnya telah berhasil memperoleh Streptomyces sp. BWA 65 endofit brotowali yang memiliki aktivitas inhibitor α-glukosidase. Namun demikian, gen yang memproduksi inhibitor -glukosidase oleh Streptomyces sp. BWA 65 belum diketahui. Gen Sedoheptulosa 7-fosfat siklase diketahui 4 bertanggung jawab sebagai penghasil inhibitor -glukosidase acarbose. Namun, belum diketahui apakah gen tersebut juga dimiliki oleh Streptomyces sp. BWA 65. Streptomyces sp. BWA 65 telah diketahui memiliki aktivitas inhibitor glukosidase berdasarkan uji in vitro. Akan tetapi aktivitas inhibitor -glukosidase Streptomyces sp. BWA 65 dalam menurunkan kadar glukosa darah secara in vivo belum diketahui. Hipotesis Streptomyces sp. BWA 65 memiliki gen Sedoheptulosa 7-fosfat siklase acarbose dan pada konsentrasi tertentu, senyawa inhibitor -glukosidase yang dihasilkannya dapat menurunkan kadar glukosa darah mencit. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi gen Sedoheptulosa 7-fosfat siklase dan mengkaji kemampuan senyawa bioaktif inhibitor α-glukosidase yang dihasilkan oleh Streptomyces sp. BWA 65 dalam menurunkan kadar glukosa darah mencit secara in vivo. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan bukti ilmiah bahwa Streptomyces sp. BWA 65 endofit brotowali memiliki gen penghasil inhibitor αglukosidase penurun kadar glukosa darah pada hewan coba mencit. Informasi ilmiah yang diperoleh dari hasil penelitian ini bermanfaat sebagai dasar pengembangan obat antidiabetes berbasis metabolit sekunder yang dihasilkan Streptomyces sp. BWA 65 sebagai inhibitor α-glukosidase.