BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Struktur Modal Modal adalah hak atau bagian yang dimiliki oleh pemilik perusahaan dalam pos modal (modal saham), keuntungan atau laba yang ditahan atau kelebihan aktiva yang dimiliki perusahaan terhadap seluruh utangnya (Munawir,2001). Modal pada dasarnya terbagi atas dua bagian yaitu modal Aktif (Debet) dan modal Pasif (Kredit). Struktur Modal merupakan pilihan pendanaan antara utang dan ekuitas. Struktur modal (yang ditargetkan) adalah bauran utang, saham preferen, dan saham biasa yang direncanakan perusahaan untuk menambah modal (Brigham dan Housten, 2001: 6). Struktur modal secara singkat juga dapat diartikan sebagai paduan sumber dana jangka panjang yang digunakan oleh perusahaan (Keown, 2000: 542). Sementara itu, Riyanto (2001: 22) mendefinisikan struktur modal sebagai pembelanjaan permanen di mana mencerminkan perimbangan antara utang jangka panjang dengan modal sendiri. Struktur Modal merupakan masalah penting dalam pengambilan keputusan mengenai pembelanjaan perusahaan. Untuk mengukur Struktur Modal tersebut maka dapat digunakan beberapa Teori yang menjelaskan Struktur Modal dalam suatu Perusahaan.(Suwandi, 2009). 8 9 Struktur modal merupakan komposisi pendanaan ekuitas (modal sendiri) dan utang pada suatu perusahaan (Wild et al., 2005). Struktur modal dapat diartikan sebagai paduan sumber dana jangka panjang yang digunakan oleh perusahaan (Keown et al., 2000). Sedangkan menurut Awat (1999) struktur modal adalah proporsi antara utang jangka panjang dan modal sendiri. Alwi (1989:422) menyatakan bahwa struktur modal ditentukan oleh perbandingan antara hutang jangka panjang dan modal sendiri yang digunakan perusahaan. Menurut Henderson. Trenepohl, dan Wert (1984:434) adalahcapital structure is defined as the composition of a firm long-term financing represented by long-term debt, preferred stock and common stock. When current liabilities are included the total generally is called financial structure. Weston dan Copeland (1992) memberikan definisi struktur modal sebagai pembiayaan permanen yang terdiri dari hutang jangka panjang, saham preferen, dan modal pemegang saham. Menurut Lawrence, Gitman (2000:488), definisi struktur modal adalah sebagai berikut: ”Capital Structure is the mix of long term debt and equity maintained by the firm”. Struktur modal perusahaan menggambarkan perbandingan antara hutang jangka panjang dan modal sendiri yang digunakan oleh perusahaan. Ada dua macam tipe modal menurut Lawrence, Gitman (2000) yaitu modal hutang (debt capital) dan modal sendiri (equity capital). Tetapi dalam kaitannya dengan struktur 10 modal, jenis modal hutang yang diperhitungkan hanya hutang jangka panjang. Menurut Sundjaja dan Barlian (2003:324) hutang jangka panjang merupakan salah satu dari bentuk pembiayaan jangka panjang, yang memiliki jatuh tempo lebih dari satu satun. Sedangkan modal sendiri (equity capital) adalah dana jangka panjang perusahaan yang disediakan oleh pemilik perusahaan (pemegang saham), yang terdiri dari berbagai jenis saham (saham preferen dan saham biasa) serta laba ditahan. Dengan demikian, struktur modal adalah struktur keuangan dikurangi oleh hutang jangka pendek. Hutang jangka pendek tidak diperhitungkan dalam struktur modal karena hutang jenis ini umumnya bersifat spontan (berubah sesuai dengan perubahan tingkat penjualan). Sementara itu hutang jangka panjang bersifat tetap selama jangka waktu yang relatif panjang (lebih dari satu tahun) sehingga keberadaannya perlu lebih dipikirkan oleh para manajer keuangan. Itulah alasannya mengapa struktur modal hanya terdiri dari utang jangka panjang dan ekuitas. Struktur modal pada tiap perusahaan ditetapkan dengan memperhitungkan berbagai aspek atas dasar kemungkinan akses dana, keberanian perusahaan menanggung risiko, rencana strategis pemilik, serta analisis biaya dan manfaat yang diperoleh dari tiap sumber dana. Pada perusahaan yang berstatus perseroan terbatas, dapat menggunakan pendanaan dari modal sendiri, saham dan atau utang kepada pihak ketiga. Sedangkan pada perusahaan yang berstatus terbuka (go public), 11 memiliki akses terhadap sumber pendanaan yang lebih luas dengan pertimbangan sahamnya dapat dijual kepada masyarakat luas. B. Jenis-jenis Modal Terminonogi modal menunjukkan sumber dana yang digunakan pada suatu perusahaan. Modal meliputi semua komponen di sisi pasiva padaneraca perusahaan kecuali hutang lancar.Modal terdiri dari modal utang dan modal sendiri/ekuitas. Jenis-jenis modal antara lain: 1) Modal Pinjaman, termasuk semua pinjaman jangka panjang yang diperoleh perusahaan. Diketahui bahwa biaya modal pinjaman relatif lebih rendah dibandingkan dengan bentuk pinjaman lainnya, hal ini disebabkan karena mereka memperoleh risiko yang relatif kecil atas segala jenis modal jangka panjang, seperti: Pemegang modal pinjaman mempunyai prioritas terhadap pembayaran bunga atas pinjaman atau terhadap aset yang akan dijual untuk membayar utang. Pemegang modal pinjaman mempunyai kekuatan hukum atas pembayaran hutang dibandingkan dengan pemegang saham preferen atau saham biasa. Bunga pinjaman merupakan biaya yang dapat mengurangi pajak sehingga biaya modal pinjaman yang sebenarnya secara substansial menjadi lebih rendah. 2) Modal Sendiri/Ekuitas, merupakan modal jangka panjang yang diperoleh dari pemilik perusahaan/pemegang saham. Modal sendiri diharapkan tetap berada dalam perusahaan untuk jangka waktu yang 12 tidak terbatas sedangkan modal pinjaman mempunyai jatuh tempo. Ada dua sumber utama modal sendiri, yaitu: a) Modal saham preferen yang merupakan bentuk khusus kepemilikan perusahaan di mana dividen diperoleh secara tetap serta pembayarannya harus didahulukan dari dividen saham biasa. b) Modal saham biasa yang terdiri atas saham biasa dan laba ditahan. Saham biasa merupakan bentuk modal sendiri yang paling mahal biaya modalnya diikuti dengan laba ditahan dan saham preferen. Hubungan antara modal pinjaman dan modal sendiri mempunyai perbedaan utama dalam hak suara, tuntutan atas pendapatan dan aset, jatuh tempo dan perlakuan pajak atas biaya modal.Harus dipahami posisi pemegang modal sendiri adalah sekunder dibanding pemegang modal pinjaman. Pemegang modal sendiri menanggung risiko yang lebih besar sehingga kompensasi bagi pemegang modal sendiri harus lebih tinggi dibanding dengan pemegang saham pinjaman. C. 1. Komponen Struktur Modal Utang Jangka Panjang Jumlah utang di dalam neraca akan menunjukkan besarnya modal pinjaman yang digunakan dalam operasi perusahaan. Modal pinjaman ini dapat berupa utang jangka pendek maupun utang jangka panjang, tetapi pada umumnya pinjaman jangka panjang jauh lebih besar dibandingkan dengan utang jangka pendek. 13 Menurut Sundjaja dan Barlian (2007:324), “utang jangka panjang merupakan salah satu dari bentuk pembiayaan jangka panjang yang memiliki jatuh tempo lebih dari satu tahun, biasanya 5 – 20 tahun”. Pinjaman utang jangka panjang dapat berupa pinjaman berjangka (pinjaman yang digunakan untuk membiayai kebutuhan modal kerja permanen, untuk melunasi utang lain, atau membeli mesin dan peralatan) dan penerbitan obligasi (utang yang diperoleh melalui penjualan surat-surat obligasi, dalam surat obligasi ditentukan nilai nominal, bunga per tahun, dan jangka waktu pelunasan obligasi tersebut. Adapun jenis atau bentuk-bentuk utama dari utang jangka panjang antara lain: a. Pinjaman Obligasi (Bonds payables) Pinjaman obligasi adalah pinjaman uang untuk jangka waktu yang panjang, dimana debitur mengeluarkan surat pengakuan utang yang mempunyai nominal tertentu (Bambang Riyanto, 2001:238). Sedangkan menurut Suad Husnan (2004: 259), obligasi merupakan surat tanda hutang, dan umumnya tidak dijamin dengan aktiva tertentu. Karena itu jika perusahaan bangkrut, pemegang obligasi akan diperlakukan sebagai kreditur umum. Dengan demikian obligasi adalah surat berharga atau sertifikat yang berisi kontrak antara pemberi dana (dalam hal ini pemodal) dengan pemberi dana (emiten). Pembayaran kembali pinjaman obligasi 14 dapat dijalankan secara sekaligus pada hari jatuhnya atau secara berangsur setiap tahunnya. Menurut Bambang Riyanto (2001: 239) ada berbagai jenis obligasi diantaranya adalah: 1) Obligasi Biasa (Bonds) Adalah obligasi yang bunganya tetap dibayar oleh debitur dalam waktuwaktu tertentu, dengan tidak memandang apakah debitur memperoleh keuntungan atau tidak. Biasanya bunga obligasi dibayar dua kali setiap tahunnya. 2) Obligasi Pendapatan (Income Bonds) Adalah jenis obligasi dimana pembayaran bunga hanya dilakukan pada waktu-waktu debitur atau perusahaan yang mengeluarkan surat obligasi tersebut mendapatkan keuntungan. Tetapi disini kreditur mempunyai hak kumulatif yang artinya apabila suatu tahun perusahaan menderita kerugian sehingga tidak dibayarkan bunga, dan apabila di tahun berikutnya perusahaan mendapatkan keuntungan maka kreditur berhak untuk menuntut bunga dari tahun yang tidak dibayar itu. 3) Obligasi yang dapat ditukarkan (Convertible Bonds) Adalah obligasi yang memberikan kesempatan kepada pemegang surat obligasi untuk menukarkan obligasi tersebut dengan saham dari perusahaan yang bersangkutan pada waktu tertentu. Dengan demikian maka jenis obligasi ini 15 memungkinkan pemegangnya untuk mengubah statusnya, yaitu dari kreditur menjadi pemilik. b. Pinjaman Hipotek (Mortgage) Hipotek merupakan bentuk hutang jangka panjang dengan agunan aktiva tidak bergerak (Husnan, 2004:370). Sedangkan menurut Riyanto (2001:239) pinjaman hipotik adalah pinjaman jangka panjang dimana pemberi uang (kreditur) diberi hak hipotik terhadap suatu barang tidak bergerak, agar bila pihak debitur tidak memenuhi kewajibannya, barang itu dapat dijual dan dari hasil penjualan tersebut dapat digunakan untuk menutupi tagihannya. Apabila hasil penjualan aktiva yang diagunkan tersebut belum cukup, maka sisanya menjadi kreditur umum sama seperti pemilik obligasi. Dalam perjanjian kreditnya disebutkan secara jelas aktiva apa yang dipergunakan sebagai agunan. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan manajemen sehingga memilih untuk menggunakan utang menurut Sundjaja at.al (2007) adalah sebagai berikut: a) Biaya utang terbatas, walaupun perusahaan memperoleh laba besar, jumlah bunga yang dibayarkan besarnya tetap. b) Hasil yang diharapkan lebih rendah daripada saham biasa. c) Tidak ada perubahan pengendalian pembiayaan memakai utang. atas perusahaan bila 16 d) Pembayaran bunga merupakan beban biaya yang dapat mengurangi pajak. e) Fleksibilitas dalam struktur keuangan dapat dicapai dengan memasukkan peraturan penebusan dalam perjanjian obligasi. Kreditur (investor) lebih memilih menanamkan investasidalam bentuk utang jangka panjang karena beberapa pertimbangan.Menurut Sundjaja at.al (2007), pemilihan investasi dalam bentuk utang jangka panjang dari sisi investor didasarkan pada beberapa hal berikut: a) Utang dapat memberikan prioritas baik dalam hal pendapatan maupun likuidasi kepada pemegangnya. b) Mempunyai saat jatuh tempo yang pasti. c) Dilindungi oleh isi perjanjian utang jangka panjang (dari segi risiko). d) Pemegang memperoleh pengembalian yang tetap (kecuali pendapatan obligasi). 2. Modal Sendiri Menurut Sundjaja at al. (2007:324), “modal sendiri/equity capital adalah dana jangka panjang perusahaan yang disediakan oleh pemilik perusahaan (pemegang saham), yang terdiri dari berbagai jenis saham (saham preferen dan saham biasa) serta laba ditahan”.Modal sendiri/ekuitas modal yang berasal dari perusahaan itu sendiri, berasal dari pengambilan bagian, peserta atau pemilik.Modal sendiri 17 merupakan modal dalam suatu perusahaan yang dipertaruhkan untuk segala risiko usaha maupun risiko kerugian-kerugian lainnya. Modal sendiri pada dasarnya adalah modal yang berasal dari pemilik perusahaan dan yang tertanam didalam perusahaan untuk kurun waktu yang tidak tertentu lamanya. Oleh karena itu modal sendiri ditinjau dari sudut likuiditas merupakan “ dana jangka panjang yang tidak tertentu waktunya” (Riyanto, 2001:240). Modal sendiri selain berasal dari luar perusahaan juga dapat berasal dari dalam perusahaan sendiri, yaitu modal yang dihasilkan atau dibentuk sendiri di dalam perusahaan Pendanaan dengan modal sendiri akan menimbulkan opportunity cost. Keuntungan dari memiliki saham perusahaan bagi owner adalah kontrol terhadap perusahaan. Namun, return yang dihasilkan dari saham tidak pasti dan pemegang saham adalah pihak pertama yang menanggung resiko perusahaan. Modal sendiri atau ekuitas merupakan modal jangka panjang yang diperoleh dari pemilik perusahaan atau pemegang saham. Modal sendiri diharapkan tetap berada dalam perusahaan untuk jangka waktu yang tidak terbatas sedangkan modal pinjaman memiliki jatuh tempo. Ada 2 (dua) sumber utama dari modal sendiri yaitu: a) Modal saham preferen Saham preferen adalah saham yang menjanjikan pembagian dividend dengan jumlah tetap setiap tahunnya (Sugiarto, 2009:7). 18 Menurut Abdul Halim (2007:6) saham preferen merupakan saham yang memiliki karakteristik gabungan antara obligasi dan saham biasa. Dan menurut Weston & Copeland (2010: 488) saham preferen memiliki klaim dan hak atas saham biasa tetapi berada dibawah obligasi. Keistimewaan saham ini terletak dalam klaim atas laba perusahaan, klaim atas aktiva jika perusahaan mengalami likuidasi, atau posisi yang lebih istimewa dalam hal laba dan aktiva perusahaan. Saham preferen merupakan pendanaan yang memiliki sifat kombinasi antara utang dan saham biasa. Karena pemegang saham preferen menerima penghasilan tetap setiap tahun, investasi dalam bentuk saham preferen mirip dengan investasi obligasi. Saham preferen memberikan para pemegang sahamnya beberapa hak istimewa yang menjadikannya lebih senior atau lebih diprioritaskan daripada pemegang saham biasa.Oleh karena itu, perusahaan tidak memberikan saham preferen dalam jumlah yang banyak. Beberapa keuntungan penggunaan saham preferen bagi manajemen menurut Sundjaja at.al (2007) adalah sebagai berikut: 1) Mempunyai kemampuan untuk meningkatkan pengaruh keuangan. 2) Fleksibel karena saham preferen memperbolehkan penerbit untuk tetap pada posisi menunda tanpa mengambil risiko 19 untuk memaksakan jika usaha sedang lesu yaitu dengan tidak membagikan bunga atau membayar pokoknya. 3) Dapat digunakan dalam restrukturisasi perusahaan, merger, pembelian saham oleh perusahaan dengan pembayaran melalui utang baru dan divestasi. b) Modal saham biasa Pemilik perusahaan adalah pemegang saham biasa yang menginvestasikan uangnya dengan harapan mendapat pengembalian dimasa yang akan datang. Pemegang saham biasa kadang-kadang disebut pemilik residual sebab mereka hanya menerima sisa setelah seluruh tuntutan atas pendapatan dan asset telah dipenuhi. Ada beberapa keunggulan pembiayaan dengan saham biasa bagi kepentingan manajemen (perusahaan), menurut Sundjaja at.al (2007), yaitu : 1) Saham biasa tidak memberi dividen tetap. Jika perusahaan dapat memperoleh laba, pemegang saham biasa akan memperoleh dividen. Tetapi berlawanan dengan bunga obligasi yang sifatnya tetap (merupakan biaya tetap bagi perusahaan), perusahaan tidakdiharuskan oleh hukum untuk selalu membayar dividen kepada para pemegang saham biasa. 20 2) Saham biasa tidak memiliki tanggal jatuh tempo. 3) Karena saham biasa menyediakan landasan penyangga atas rugi yang diderita para kreditornya, maka penjualan saham biasa akan meningkatkan kredibilitas perusahaan. 4) Saham biasa dapat, pada saat-saat tertentu, dijual lebih mudah dibandingkan bentuk hutang lainnya. Saham biasa mempunyai daya tarik tersendiri bagi kelompok-kelompok investor tertentu karena (a) dapat memberi pengembalian yang lebih tinggi dibanding bentuk hutang lain atau saham preferen; dan (b) mewakili kepemilikan perusahaan, saham biasa menyediakan para investor benteng proteksi terhadap inflasi secara lebih baik dibanding saham preferen atau obligasi. Umumnya, saham biasa meningkat nilainya jika nilai aktiva riil juga meningkat selama periode inflasi. 5) Pengembalian yang diperoleh dalam saham biasa dalam bentuk keuntungan modal merupakan obyek tarif pajak penghasilan yang rendah. (Weston & Copeland) Menurut Wasis (1981:81), “pemilik yang menyetorkan modal akan menjadi penanggung resiko yang pertama. Artinya bahwa pihak non pemilik tidak akan menderita kerugian sebelum kewajiban dari pemilik ditunaikan seluruhnya. Kerugian perusahaan pertama-tama harus dibebankan kepada pemilik. 21 Dari segi investor (Sundjaja, 2007), keuntungan menggunakan saham (modal sendiri) adalah sebagai berikut: a) Memiliki hak suara (hak kendali) dalam perusahaan. b) Tidak ada jatuh tempo. c) Karena menanggung resiko yang lebih besar, maka kompensasi bagi pemegang modal sendiri lebih tinggi dibanding dengan pemegang modal pinjaman. c) Cadangan Cadangan dibentuk dari keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan selama beberapa waktu lampau atau dari tahun yang berjalan (Riyanto, 2001:242). Cadangan yang termasuk kedalam modal sendiri antara lain: 1) Cadangan ekspansi 2) Cadangan modal kerja 3) Cadangan selisih kurs 4) Cadangan untuk menampung hal-hal atau kejadian yang tidak diduga sebelumnya (cadangan umum). D. Teori-teori Struktur Modal Kombinasi pemilihan struktur modal yang optimal (Sundjaya dan Barlian ,2002) merupakan hal penting yang harus diperhatikan oleh perusahaan karena kombinasi pemilihan struktur modal tersebut akan mempengaruhi juga tingkat biaya modal (cost of capital) yang dikeluarkan oleh perusahaan. Tingkat biaya modal adalah biaya yang harus 22 dikeluarkan oleh perusahaan untuk mendapatkan dana guna membiayai investasinya. Apabila suatu perusahaan bermaksud untuk melakukan kombinasi atas struktur modal yang ada maka tingkat biaya modal dari struktur modal tersebut dihitung dengan menggunakan tingkat biaya ratarata tertimbang (weighted average cost of capital), yang dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut : Tingkat biaya rata-rata tertimbang hanya dapat dicapai apabila perusahaan telah menentukan struktur modalnya yang optimal. Struktur yang optimal suatu perusahaan harus berada pada keseimbangan antara risiko dan pengembalian yang memaksimumkan harga saham (Brigham dan Houston,2001:5-6). Struktur Modal merupakan masalah penting dalam pengambilan keputusan mengenai pembelanjaan perusahaan. Untuk mengukur Struktur Modal tersebut maka dapat digunakan beberapa Teori yang menjelaskan 23 Struktur Modal dalam suatu Perusahaan. Teori yang menjelaskan hal tersebut antara lain : 1. Pendekatan Tradisional Menurut pandangan tradisional, terdapat struktur modal optimal. Struktur modal dapat diubah-ubah sedemikian rupa sehingga dapat diperoleh suatu struktur modal yang optimal (Hanafi, 2004: 297). Struktur modal optimal adalah kombinasi dari utang dan ekuitas yang memaksimumkan harga saham perusahaan (Brigham dan Houston, 2001: 45). Dengan demikian, menurut pendekatan tradisional tersebut struktur modal mempengaruhi nilai perusahaan. 2. Pendekatan Modigliani dan Miller Teori mengenai struktur modal bermula pada tahun 1958, ketika Profesor Franco Modigliani dan Profesor Merton Miller ( yang selanjutnya disebut MM) mempublikasikan artikel keuangan yang paling berpengaruh yang pernah ditulis yaitu “The Cost of capital, Corporation Finance, and The Theory of Invesment”. MM membuktikan bahwa nilai suatu perusahaan tidak dipengaruhi oleh struktur modalnya (Brigham dan Houston, 2001). MM berpendapat bahwa dalam keadaan pasar sempurna maka penggunaan hutang adalah tidak relevan dengan nilai perusahaan, tetapi dengan adanya pajak maka hutang akan menjadi relevan (Modigliani dan Miller, 1960 dalam Hartono, 2003). Namun, studi MM didasarkan pada sejumlah asumsi yang tidak realistis, antara lain (Brigham dan Houston, 2001); 24 1. Tidak ada biaya broker (pialang) 2. Tidak ada pajak 3. Tidak ada biaya kebangkrutan 4. Para investor dapat meminjam dengan tingkat suku bunga yang sama dengan perseroan. 5. Semua investor mempunyai informasi yang sama seperti manajemen mengenai peluang investasi perusahaan pada masa mendatang 6. EBIT tidak dipengaruhi oleh penggunaan hutang. Pada tahun 1963, MM menerbitkan makalah lanjutan yang berjudul “Corporate Income Taxes and The Cost of Capital: A Correction” yang melemahkan asumsi tidak ada pajak perseroan. Peraturan perpajakan memperbolehkan pengurangan pembayaran bunga sebagai beban, tetapi pembayaran deviden kepada pemegang saham tidak dapat dikurangkan. Perlakuan yang berbeda ini mendorong perusahaan untuk menggunakan hutang dalam struktur modalnya. MM membuktikan bahwa karena bunga atas hutang dikurangkan dalam perhitungan pajak, maka nilai perusahaaan meningkat sejalan dengan makin besarnya jumlah hutang dan nilainya akan mencapai titik maksimum bila seluruhnya dibiayai dengan hutang (Brigham dan Houston, 2001). Hasil studi MM yang tidak relevan juga tergantung pada asumsi bahwa tidak ada biaya kebangkrutan. Namun, dalam praktek, 25 biaya kebangkrutan bisa sangat mahal. Perusahaan yang bangkrut mempunyai biaya hukum dan akuntansi yang sangat tinggi, serta sulit menahan pelanggan, pemasok dan karyawan. Masalah yang terkait kebangkrutan cenderung muncul apabila perusahaan menggunakan lebih banyak hutang dalam struktur modalnya (Brigham dan Houston, 2001). Apabila biaya kebangkrutan semakin besar tingkat keuntungan yang disyaratkan oleh pemegang saham juga semakin tinggi. Biaya modal hutang juga akan semakin tinggi karena pemberi pinjaman akan membebankan bunga yang tinggi sebagai kompensasi kenaikan risiko kebangkrutan. Oleh karena itu, perusahaan akan terus menggunakan hutang apabila manfaat hutang (penghematan pajak dari hutang) masih lebih besar dibandingkan dengan biaya kebangkrutan. Jika biaya kebangkrutan lebih besar dibandingkan dengan penghematan pajak dari hutang, perusahaan akan menurunkan tingkat hutangnya. Tingkat hutang yang optimal, dengan demikian modal yang optimal, terjadi pada saat tambahan penghematan pajak sama dengan tambahan biaya kebangkrutan (Mamduh M. Hanafi, 2003). Apabila pajak tidak diperhitungkan, MM berpendapat bahwa kenaikan utang pada struktur modal akan menaikan ROE (Return on Equity) sekaligus menaikan pula resiko investor. Karena kedua pengaruh itu saling meniadakan, tanpa pajak dan resiko kebangkrutan, nilai suatu perusahaan tidak terpengaruh oleh tingkat 26 leverage. Dengan kata lain nilai perusahaan yang menggunakan hutang sama dengan nilai perusahaan tanpa utang. Dapat disimpulkan bahwa nilai perusahaan akan terus meningkat secara linear, seiring dengan bertambahnya proporsi utang pada struktur modal perusahaan. Hal ini mengadung makna bahwa makin tinggi proporsi utang makin tinggi nilai perusahaan. Sudah tentu hal ini tidak realistis sebab makin tinggi proporsi utang yang digunakan dalam struktur modal makin tinggi pula resiko kebangkrutan yang mungkin dihadapi oleh suatu perusahaan. Pendekatan atau teori yang dikemukakan oleh Modigliani dan Miller merupakan sanggahan dari pendekatan tradisional. Menurut Modigliani dan Miller, struktur modal tidak mempengaruhi nilai perusahaan. Tidak menjadi masalah bagaimana perusahaan membiayai operasinya; jadi keputusan struktur modal tidak memiliki relevansi dengan nilai perusahaan (Brigham dan Houston, 2001: 31). Meskipun teori ini memiliki kelemahan-kelemahan khususnya pada asumsi yang digunakan, namun teori ini menjadi awal dari pemikiran mengenai pemikiran tentang struktur modal modern. Modigliani dan Miller dalam pendekatan selanjutnya, melakukan pengurangan-pengurangan pada beberapa asumsinya. 3. Teori Trade-Off Teori Trade off dari struktur modal menunjukan bahwa hutang bermanfaat bagi perusahaan karena bunga dapat dikurangkan dalam 27 menghitung pajak, tetapi hutang juga menimbulkan biaya yang berhubungan dengan kebangkrutan yang aktual dan potensial. Struktur modal yang optimal berada pada keseimbangan antara manfaat pajak dari hutang dan biaya yang berkaitan dengan kebangkrutan. Hal ini disebut juga dengan balance theory, dimana perusahaan berupaya mempertahankan struktur modal yang optimal dengan tujuan memaksimumkan nilai perusahaan. Trade off theory memiliki implikasi bahwa manajer akan berpikir dalam kerangka trade off antara penghematan pajak dan biaya kesulitan keuangan dalam penentuan struktur modal. Perusahaan-perusahaan dengan tingkat profitabilitas yang tinggi tentu akan berusaha mengurangi pajaknya dengan cara meningkatkan rasio hutangnya, sehingga tambahan hutang tersebut akan mengurangi pajak. Menurut teori ini juga menggunakan semakin banyak utang berarti memperbesar risiko yang ditanggung pemengang saham dan juga memperbesar tingkat pengembalian yang diharapkan. Risiko yang semakin tinggi cenderung menurunkan harga saham, namun meningkatkan tingkat pengembalian yang diharapkan akan menaikan harga saham tersebut. Karena itu struktur modal yang optimal harus berada pada keseimbangan antara risiko dengan pengembalian yang memaksimumkan harga saham (Brigham dan Houston 2001: 5-6). 28 Dalam teori trade-off menjelaskan posisi struktur modal harus menargetkan pada posisi keseimbangan biaya dan keuntungan marginal dari pendanaan dengan utang, sebab pada posisi itu nilai perusahaan menjadi maksimum Dalam kenyataannya, terdapat hal-hal yang membuat perusahaan tidak dapat menggunakan utang sebanyak-banyaknya apalagi sampai 100% dalam struktur modalnya. Salah satu hal penting berkaitan dengan utang adalah, semakin tinggi utang maka akan semakin tinggi kemungkinan perusahaan mengalami kebangkrutan (Hanafi, 2004: 309). Hal ini disebabkan dengan semakin tingginya utang, maka bunga yang harus dibayar juga tinggi dan jika perusahaan tidak mampu membayarnya maka perusahaan akan diklaim bangkrut oleh kreditur. Kebangkrutan akan menimbulkan biaya kebangkrutan yang tidak sedikit. Biaya kebangkrutan ini meliputi: biaya langsung, yaitu biaya dikeluarkan untuk membayar biaya administrasi, biaya pengacara, biaya akuntan, dan biaya lain yang relevan, dan biaya tidak langsung seperti: akibat suplier tidak bersedia lagi menyuplai barang, sehingga perusahaan harus berganti suplier. Biaya lain yang timbul dari semakin tingginya jumlah utang perusahaan adalah biaya keagenan utang (agency cost of debt). Ketika utang meningkat, maka konflik yang terjadi antar kreditur dengan pemegang saham cenderung meningkat karena pemegang 29 saham memiliki potensi mengalami kerugian yang lebih besar dibandingkan kreditur. Dalam kondisi demikian, kreditur akan meningkatkan pengawasan terhadap perusahaan yang mana mengakibatkan timbulnya biaya pengawasan yang dibebankan kepada perusahaan. Jadi pada dasarnya teori ini menyatakan adanya suatu tradeoff dalam penggunaan utang. Peningkatan utang akan meningkatkan nilai perusahaan, namun demikian sampai batas tertentu peningkatan jumlah penggunaan utang justru akan menurunkan atau mengurangi nilai perusahaan. Teori ini dalam kenyataannya juga belum dapat memberikan petunjuk sampai seberapa besar utang harus digunakan oleh perusahaan agar diperoleh struktur modal yang optimal. 4. Teori Packing-Order Teori ini dikenalkan pertama kali oleh Donaldson pada tahun 1961, sedangkan penamaan pecking order theory dilakukan oleh Myers pada tahun1984. Teori ini disebut pecking order karena teori ini menjelaskan mengapa perusahaan akan menentukan hieraki sumber dana yang paling disukai. Secara ringkas teori tersebut menyatakan bahwa (Brealey and Myers, 1991 dalam Suad Husnan, 2000); 30 a) Perusahaan menyukai internal financing (pendanaan dari hasil operasi perusahaan). b) Perusahaan mencoba menyesuaikan rasio pembagian deviden yang ditargetkan dengan berusaha menghindari perubahan pembayaran deviden secara drastis. c) Kebijakan deviden yang relatif segan untuk diubah, disertai dengan fluktuasi profitabilitas dan kesempatan investasi yang tidak bisa diduga, mengakibatkan bahwa dana hasil operasi kadang-kadang melebihi kebutuhan dana untuk investasi, meskipun pada kesempatan yang lain, mungkin kurang. Apabila dana hasil operasi kurang dari kebutuhan investasi, maka perusahaan akan mengurangi saldo kas atau menjual sekuritas yang dimiliki. d) Apabila pendanaan dari luar (external financing) diperlukan, maka perusahaan akan menerbitkan sekuritas yang paling “aman” terlebih dahulu yaitu dimulai dengan penerbitan obligasi, kemudian diikuti oleh sekuritas yang berkarakteristik opsi (seperti obligasi konversi), baru akhirnya apabila masih belum mencukupi, saham baru diterbitkan. Menurut Myers (2001), pecking order theory menyatakan bahwa ”Perusahaan dengan tingkat profitabilitas yang tinggi justru tingkat utangnya profitabilitasnya rendah, tinggi dikarenakan memiliki sumber perusahaan dana internal yang yang 31 berlimpah.” Dalam pecking order theory ini tidak terdapat struktur modal yang optimal. Secara spesifik perusahaan mempunyai uruturutan preferensi (hierarki) dalam penggunaan dana. Menurut pecking order theory dikutip oleh Smart, Megginson, dan Gitman (2004:458-459), terdapat skenario urutan (hierarki) dalam memilih sumber pendanaan, yaitu : a. Perusahaan lebih memilih untuk menggunakan sumber dana dari dalam atau pendanaan internal daripada pendanaan eksternal. Dana internal tersebut diperoleh dari laba ditahan yang dihasilkan dari kegiatan operasional perusahaan. b. Jika pendanaan eksternal diperlukan, maka perusahaan akan memilih pertama kali mulai dari sekuritas yang paling aman, yaitu utang yang paling rendah risikonya, turun ke utang yang lebih berisiko, sekuritas hybrid seperti obligasi konversi, saham preferen, dan yang terakhir saham biasa. c. Terdapat kebijakan deviden yang konstan, yaitu perusahaan akan menetapkan jumlah pembayaran deviden yang konstan, tidak terpengaruh seberapa besarnya perusahaan tersebut untung atau rugi. d. Untuk mengantisipasi kekurangan persediaan kas karena adanya kebijakan deviden yang konstan dan fluktuasi dari tingkat keuntungan, serta kesempatan investasi, maka perusahaan akan mengambil portofolio investasi yang lancar tersedia. Pecking 32 order theory tidak mengindikasikan target struktur modal. Pecking order theory menjelaskan urut-urutan pendanaan. Manajer keuangan tidak memperhitungkan tingkat utang yang optimal. Kebutuhan dana ditentukan oleh kebutuhan investasi. Pecking order theory ini dapat menjelaskan mengapa perusahaan yang mempunyai tingkat keuntungan yang tinggi justru mempunyai tingkat utang yang kecil. Dalam kenyataannya, terdapat perusahaan-perusahaan yang dalam menggunakan dana untuk kebutuhan investasinya tidak sesuai seperti skenario urutan (hierarki) yang disebutkan dalam pecking order theory. Penelitian yang dilakukan oleh Singh dan Hamid (1992) dan Singh (1995) menyatakan bahwa “Perusahaanperusahaan di negara berkembang lebih memilih untuk menerbitkan ekuitas daripada berutang dalam membiayai perusahaannya.” Hal ini berlawanan dengan pecking order theory yang menyatakan bahwa perusahaan akan memilih untuk menerbitkan utang terlebih dahulu daripada menerbitkan saham pada saat membutuhkan pendanaan eksternal. Implikasi pecking order theory adalah perusahaan tidak menetapkan struktur modal optimal tertentu, tetapi perusahaan menetapkan kebijakan prioritas sumber dana (Laili Hidayati, et al, 2001). Pecking order theory menjelaskan mengapa perusahaanperusahaan yang profitable (menguntungkan) umumnya meminjam 33 dalam jumlah yang sedikit. Hal tersebut bukan karena perusahaan mempunyai target debt ratio yang rendah, tetapi karena memerlukan external financing yang sedikit. Sedangkan perusahaan yang kurang profitable cenderung mempunyai hutang yang lebih besar karena dana internal tidak cukup dan hutang merupakan sumber eksternal yang lebih disukai. Penggunaan dana eksternal dalam bentuk hutang lebih disukai daripada modal sendiri karena dua alasan; pertama, pertimbangan biaya emisi dimana biaya emisi obligasi akan lebih murah daripada biaya emisi saham baru. Hal ini disebabkan karena penerbitan saham baru akan menurunkan harga saham lama. Kedua, manajer khawatir penerbitan saham baru akan ditafsirkan sebagai kabar buruk oleh para pemodal, dan membuat harga saham akan turun, hal ini disebabkan antara lain oleh kemungkinan adanya ketidaksamaan informasi antara pihak manajemen dengan pihak pemodal (Suad Husnan, 2000). Teori pecking-order ini pada dasarnya hanya menjelaskan urut-urutan proses pendanaan yang dilakukan perusahaan, tidak menjelaskan mengenai struktur modal yang harus dimiliki perusahaan untuk mencapai struktur modal optimal atau untuk mencapai nilai perusahaan yang maksimum. Menurut teori ini, manajer keuangan tidak memikirkan tingkat utang atau struktur modal yang optimal. Kebutuhan dana ditentukan oleh kebutuhan investasi. Jika perusahaan memiliki kesempatan 34 investasi, maka perusahaan akan mencari dana untuk mendanai kebutuhan investasi tersebut. Pada awalnya perusahaan akan menggunakan dana internal, selanjutnya jika dana internal tersebut tidak mencukupi perusahaan akan menerbitkan saham. Menurut Pecking Orde Theory, perusahaan yang mempunyai likuiditas yang tinggi akan cenderung tidak menggunakan pembiayaan dari hutang. Hal ini disebabkan perusahaan dengan tingkat likuiditas tinggi mempunyai dana internal yang besar sehingga perusahaan tersebut akan lebih menggunakan dana internalnya terlebih dahulu menggunakan untuk pembiayaan membiayai eksternal investasinya melalui hutang. sebelum Dalam penelitian Prowse (1990) dalam Kusumawati (2004), likuiditas asset perusahaan dapat digunakan untuk menunjukkan seberapa besar asset tersebut dapat dimanipulasi oleh shareholder dengan biaya yag ditanggung boundholders. Selanjutnya menurut Ozkan (2001) dalam Kusumawati (2004), perusahaan dengan asset likuid yang besar dapat menggunakan asset ini untuk berinvestasi (pecking order theory). Pecking Order Theory menjelaskan mengapa perusahaanperusahaan yang profitable umumnya meminjam dalam jumlah yang sedikit. Hal ini bukan disebabkan karena perusahaan tersebut mempunyai target debt ratio yang rendah, tetapi karena perusahaan tersebut memerlukan external financing yang sedikit. Dalam teori 35 Pecking order tidak ada target debt- equity ratio yang terdefinisikan dengan baik. Debt- equity ratio yang terobservasi mencerminkan kebutuhan kumulatif perusahaan bagi pendanaan eksternal. Perusahaan yang kurang profitable akan cenderung mempunyai hutang yang lebih besar karena dana internal tidak cukup dan hutang merupakan sumber eksternal yang lebih disukai. 5. Agency Theory Teori ini dikemukakan oleh Michael C. Jensen dan William H. Meckling pada tahun 1976. Menurut (Saidi,2004) dalam Arli (2010) manajemen merupakan agen dari pemegang saham, sebagai pemilik perusahaan. Para pedagang saham berharap agen akan bertindak atas kepentingan mereka sehingga mendelegasikan wewenang kepada agen. Untuk dapat melakukan fungsinya dengan baik, manajemen harus diberikan insentif dan pengawasan yang memadai. Pengawasan dapat dilakukan melalui cara-cara seperti pengikatan agen, pemeriksaan laporan keuangan, dan pembatasan terhadap keputusan yang dapat diambil manajemen. Teori keagenan (agency theory) membahas tentang adanya hubungan keagenan antara prinsipal dan agen. Hubungan keagenan adalah sebuah kontrak di mana satu atau lebih prinsipal menyewa orang lain (agen) untuk melakukan beberapa jasa untuk kepentingan mereka yaitu dengan mendelegasikan beberapa wewenang pembuatan keputusan kepada agen. Yang disebut dengan principal 36 adalah pihak yang memberikan mandat kepada agen, dalam hal ini yaitu pemegang saham. Sedangkan yang disebut agen adalah pihak yang mengerjakan mandat dari prinsipal, yaitu manajemen yang mengelola perusahaan. Tujuan utama teori keagenan (agency theory) adalah untuk menjelaskan bagaimana pihak-pihak yang melakukan hubungan kontrak dapat mendesain kontrak yang tujuannya untuk meminimalisir cost sebagai dampak adanya informasi yang tidak asimetris dan kondisi ketidakpastian. Menurut Wahidahwati (2002) dalam Trisna (2010), ada beberapa alternatif untuk mengurangi agency cost yaitu : a) Dengan meningkatkan kepemilikan saham perusahaan oleh manajemen dan selain itu manajer merasakan langsung manfaat dari keputusan yang diambil dan juga apabila ada kerugian yang timbul sebagai konsekuensi dari pengambilan keputusan yang salah. b) Meningkatkan dividend payout ratio, dengan demikian tidak tersedia cukup banyak free cash flow dan manajemen terpaksa mencari pendanaan dari luar untuk membiayai investasinya. c) Meningkatkan pendanaan dengan hutang. Peningkatan hutang akan menurunkan besarnya excess cash flow yang ada di dalam perusahaan sehingga menurunkan kemungkinan pemborosan yang dilakukan oleh manajemen. 37 d) Institutional investor sebagai monitoring agents. Distribusi saham antara pemegang saham dari luar yaitu institusional investor dan shareholders dispersion dapat mengurangi agency cost. Hal ini karena kepemilikan mewakili suatu sumber kekuasaan yang dapat digunakan untuk mendukung atau sebaliknya terhadap keberadaan manajemen. 6. Equity Market Timing Teori yang diungkapkan oleh Baker dan Wurgler (2002:1) ini mengemukakan bahwa “Perusahaan-perusahaan akan menerbitkan ekuitas pada saat nilai pasar tinggi dan akan membeli kembali ekuitas pada saat nilai pasar rendah”. Praktik inilah yang kemudian disebut sebagai equity market timing. Tujuan dari melakukan equity market timing ini adalah untuk mengeksploitasi fluktuasi sementara yang terjadi pada cost of equity terhadap cost of other forms of capital. Menurut Baker dan Wurgler (2002:3), ”Struktur modal adalah hasil kumulatif dari usaha melakukan equity market timing di masa lalu”. Baker dan Wurgler menemukan bahwa perusahaan dengan tingkat hutang rendah adalah perusahaan yang menerbitkan ekuitas pada saat nilai pasar tinggi dan perusahaan dengan tingkat utang tinggi adalah perusahaan yang menerbitkan ekuitas pada saat nilai pasar rendah. Baker dan Wurgler menggunakan market-to-book ratio, yang umumnya digunakan sebagai proxy untuk mengukur kesempatan 38 investasi, namun dalam teorinya market-to-book ratio juga digunakan untuk melihat apakah nilai suatu ekuitas itu overvalued atau undervalued. Baker dan Wurgler membangun suatu model variabel yaitu external finance weighted-average market-to-book ratio.Variabel ini adalah rata-rata tertimbang dari market-to-book ratio suatu perusahaan di masa lampau. Variabel ini digunakan oleh Baker dan Wurgler untuk melihat usaha dari suatu perusahaan dalam melakukan equity market timing. Ada dua versi dari equity market timing yang mengikuti hasil penelitian Baker dan Wurgler.Yang pertama adalah versi dinamis dari Myers dan Majluf (1984) mengenai informasi asimetris yang mengasumsikan rasional manajer dan investor. Versi yang kedua dari equity market timing melibatkan para investor atau manajer yang tidak rasional dan persepsi dari mispricing. Para manajer akan menerbitkan equity saat mereka yakin bahwa cost of equity rendah dan membeli kembali equity saat cost of equity tinggi. Market-to-book diketahui secara umum berkorelasi negatif dengan future equity returns, dan nilai ekstrem dari market-to-book dikaitkan dengan ekpektasi-ekspektasi yang ekstrem dari investor, sesuai dengan penelitian dari La Porta (1996), La Porta et al. (1997), Frankel dan Lee (1998), dan Schleifer (2000). Apabila manajer mencoba untuk mengeksploitasi terlalu jauh (ekstrem) ekspektasi-ekspektasi dari investor, net equity issuesakan berkorelasi positif dengan market-to- 39 book. Apabila tidak terdapat struktur modal yang optimal, manajer tidak perlu mengganti keputusan-keputusan pendanaannya pada saat perusahaan telah dinilai dengan benar dan cost of equity terlihat normal, hal ini menunggu fluktuasi-fluktuasi sementara yang terjadi pada market-to-book mempunyai efek yang tetap pada leverage. E. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Struktur Modal Beberapa faktor yang mempengaruhi struktur modal perusahaan yaitu tingkat pertumbuhan penjualan, stabilitas penjualan, karakteristik industi, struktur aktiva, sikap manajamen, dan sikap pemberi pinjaman (Weston dan Copeland, 1996). Menurut Weston dan Brigham (1997) faktor-faktor yang mempengaruhi struktur modal perusahaan adalah stabilitas perusahaan, struktur aktiva, leverage operasi, tingkat pertumbuhan, profitabilitas, pajak, pengendalian, sikap manajemen, sikap pemberi pinjaman dan perusahaan penilai kredibilitas, kondisi pasar, kondisi internal perusahaan, dan fleksibiltas keuangan perusahaan. Suad Husnan (2000) menyatakan bahwa yang paling mempengaruhi struktur modal adalah lokasi distribusi keuntungan, stabilitas penjualan dan keuntungan, kebijakan deviden, pengendalian dana risiko kebangkrutan. Sedangkan menurut Bambang Riyanto (2001) faktor-faktor yang mempengaruhi struktur modal antara lain; tingkat bunga, stabilitas pendapatan, susunan aktiva, kadar risiko aktiva, besarnya jumlah modal yang dibutuhkan, keadaan pasar modal, sifat manajemen, besarnya suatu perusahaan. 40 Dalam penelitian ini, menggunakan variabel pertumbuhan perusahaan (growth), ukuran perusahaan (size), likuiditas (liquiditas) sebagai faktor yang mempengaruhi struktur modal perusahaan. 1. Ukuran Perusahaan ( firm size ) Suatu perusahaan yang besar di mana sahamnya tersebar sangat luas, setiap perluasan modal saham hanya akan mempunyai pengaruh yang kecil terhadap kemungkinan hilangnya atau tergesernya pengendalian dari pihak dominan terhadap perusahaan yang bersangkutan. Sebaliknya pada perusahaan kecil di mana sahamnya hanya tersebar di lingkungan kecil, penambahan jumlah saham akan mempunyai pengaruh yang besar terhadap kemungkinan hilangnya pengendalian pihak dominan terhadap perusahaan yang bersangkutan. Dengan demikian, pada perusahaan besar di mana sahamnya tersebar sangat luas akan lebih berani mengeluarkan saham baru dalam memenuhi kebutuhannya untuk membiayai pertumbuhan penjualan dibandingkan dengan perusahaan kecil, perusahaan kecil cenderung membayar biaya modal sendiri dan biaya hutang jangka panjang lebih mahal daripada perusahaan besar. Maka perusahaan kecil lebih menyukai hutang jangka pendek daripada meminjam hutang jangka panjang, karena biayanya lebih rendah. Ukuran perusahaan merupakan ukuran atau besarnya asset yang dimiliki oleh perusahaan (Saidi, 2004). Dalam melakukan penelitian ini, pengukuran terhadap ukuran perusahaan mengacu pada 41 penelitian Saidi (2004), dan Arli (2010), dimana ukuran perusahaaan di-proxy dengan nilai logaritma natural dari total asset (natural logarithm of asset). Perusahaan yang lebih besar cenderung memiliki sumber permodalan yang lebih terdiversifikasi sehingga semakin kecil kemungkinan untuk bangkrut dan lebih mampu memenuhi kewajibannya, sehingga perusahaan besar cenderung mempunyai hutang yang lebih besar daripada perusahaan kecil (Rajan dan Zingales, 1995 dalam Laksmi Indri Hapsari, 2010). Logaritma dari total assets dijadikan indikator dari ukuran perusahaan karena jika semakin besar ukuran perusahaan maka asset tetap yang dibutuhkan juga akan semakin besar. Besar kecilnya ukuran perusahaan akan berpengaruh terhadap struktur modal dengan didasarkan pada kenyataan bahwa semakin besar suatu perusahaan akan mempunyai tingkat pertumbuhan yang tinggi, sehingga perusahaan tersebut akan lebih berani mengeluarkan saham baru dan cenderung untuk menggunakan jumlah pinjaman juga semakin besar, menurut penelitian yang dilakukan para ahli yang menyatakan bahwa ukuran perusahan mempunyai pengaruh yang positif, yang berarti kenaikan ukuran perusahaan akan diikuti dengan kenaikan struktur modal adalah yang dilakukan penelitian Saidi (2004). Beberapa penelitian yang pernah dilakukan antara lain oleh R. Agus Sartono (1999), Imam Ghozali dan Hendrajaya (2000), 42 Mutaminah (2003), Saidi (2004) dan Dyah Sih Rahayu (2005) menemukan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh positif secara signifikan terhadap struktur modal perusahaan. Semakin besar ukuran perusahaan suatu perusahaan, maka kecenderungan untuk menggunakan dana eksternal juga akan semakin besar (Rajan dan Zingales, 1995 dalam Agus Sartono dan Ragil Sriharto, 1999). Hal ini dikarenakan perusahaan besar memiliki kebutuhan dana yang besardan salah satu alternatif pemenuhan dananya adalah dengan menggunakan dana eksternal. 2. Likuiditas (Liquiditas) Rasio likuiditas adalah rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan didalam membayar hutang jangka pendek yang telah jatuh tempo. Perusahaan yang dapat segera mengembalikan utang-utangnya akan mendapat kepercayaan dari kreditur untuk menerbitkan utang dalam jumlah yang besar. Bambang Riyanto (1995) menyatakan bahwa kebutuhan dana untuk aktiva lancar pada prinsipnya dibiayai dengan kredit jangka pendek. Sehingga semakin likuid suatu perusahaan, maka semakin tinggi penggunaan hutangnya. Ozkan (2001) menemukan bahwa ada hubungan positif antara likuiditas perusahaan dengan leverage. Dalam penelitian Ozkan, leverage mewakili struktur modal perusahaan. Likuiditas adalah kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban hutang-hutangnya, dapat membayar kembali semua 43 deposannya, serta dapat memenuhi permintaan kredit yang diajukan para debitur tanpa terjadi penangguhan. Menurut pengertian ini perusahaan dikatakan likuid apabila : a) Perusahaan tersebut memiliki cash assets sebesar kebutuhan yang akan digunakan untuk memenuhi likuiditasnya. b) Bank tersebut memiliki tersebut diatas, tetapi cash assets yang lebih kecil dari yang yang bersangkutan juga memiliki asset lainnya (khususnya surat-surat berharga) yang dapat dicairkan sewaktu-waktu tanpa mengalami penurunan nilai pasarnya c) Bank tersebut mempunyai kemampuan untuk menciptakan cash assets baru melalui berbagai bentuk hutang. Dalam terminologi yang hampir sama, dapat disebutkan bahwa “likuiditas adalah kemampuan bank untuk menyediakan saldo kas dan saldo harta likuid yang lain untuk memenuhi kewajibankewajibannya, khususnya untuk : a) Menutup jumlah reserves required; b) Membayar chek, giro berbunga, tabungan dan deposito berjangka milik nasabah yang diuangkan kembali c) Menyediakan dana kredit yang diminta calon debitur sehat, sebagai bukti bahwa mereka tidak menyimpang dari kegiatan utama bank yaitu pemberian kredit; d) Menutup berbagai macam kewajiban segera lainnya; e) Menutup kebutuhan biaya operasional perusahaan. 44 Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut diatas dapat disimpulkan secara singkat bahwa likuiditas adalah kemampuan suatu bank atau suatu perusahaan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban jangka pendeknya. Secara praktis, likuiditas suatu bank sering dikaitkan dengan jumlah dana pihak ketiga yang terdapat di bank tersebut pada waktu tertentu. Dalam hal ini, untuk kondisi indonesia, Pemerintah melalui Bank Sentral menetapkan kewajiban setiap bank untuk memelihara likuiditas wajib minimum sebesar 5% dari besarnya kewajiban terhadap pihak ketiga Tingkat Likuiditas merupakan tingkat kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya dengan aktiva lancer yang dimiliknya setelah dikurangi persediaan. Diukur dengan rumus : Quick Rasio (QR) = Aktiva lancar – Persediaan Kewajiban Lancar 3. Pertumbuhan Perusahaan (growth) Perusahaan yang tumbuh dengan pesat harus lebih banyak mengandalkan modal eksternal. Lebih jauh Iagi, biaya pengembangan untuk penjualan saham biasa lebih besar daripada biaya untuk penerbitan surat utang, yang mendorong perusahaan untuk lebih banyak mengandalkan utang. Namun, pada saat yang sama perusahaan yang tumbuh dengan pesat sering menghadapi 45 ketidakpastian yang lebih besar, yang cenderung mengurangi keinginannya untuk menggunakan utang. Suatu perusahaan yang berada dalam indutri yang mempunyai laju pertumbuhan yang tinggi harus menyediakan modal yang cukup untuk membelanjai perusahaan. Perusahaan yang bertumbuh pesat cenderung lebih banyak menggunakan utang daripada perusahaan yang bertumbuh secara lambat (Weston and Brigham, 1994). Ozkan (2001) juga menemukan bahwa jumlah utang yang dikeluarkan oleh perusahaan berbanding terbalik dengan pertumbuhan. Hasil penelitian tersebut juga konsisten dengan hasil penelitian oleh Bhaduri (2002) serta Brailsford (2002). F. Penelitian Terdahulu Penelitian ini juga pernah di angkat sebagai topik penelitian oleh beberapa peneliti sebelumnya. Maka peneliti juga diharuskan untuk mempelajari penelitian-penelitian terdahulu atau sebelumnya yang dapat dijadikan sebagai acuan bagi peneliti dalam melakukan penelitian ini. Ozkan (2001) menguji hubungan karakteristik khusus perusahaan yang mempengaruhi struktur modal perusahaan. Variabel yang digunakan adalah size, growth opportunity, profitabilitas, likuiditas dan non debt tax shield. Hasil penelitian menyatakan bahwa size, growth opportunity, profitabilitas, likuiditas dan non debt tax shield berpengaruh negatif terhadap struktur modal. Sedangkan likuiditas berpengaruh positif terhadap struktur modal. 46 Penelitian yang dilakukan oleh Laili (2001) mengambil leverage sebagai variabel terikat. Sedangkan variabel bebasnya adalah fixed asset ratio, market to book ratio, firm size, corporate tax rate, non-debt tax shield, profitability, firm age, volatility dan assets uniqueness. Hasil penelitian yang didapat adalah non-debt tax shield dan volatility tidak berpengaruh secara signifikan terhadap leverage perusahaan. market to book ratio, firm size dan profitability berpengaruh negatif secara signifikan terhadap leverage perusahaan. Sedangkan variable lainnya mempunyai pengaruh positif terhadap leverage perusahaan. Sekar (2001) juga mengambil leverage sebagai variabel terikat. Tetapi untuk variabel bebasnya adalah pertumbuhan, laba bersih, perubahan modal kerja, struktur aktiva, ukuran perusahaan dan utang operasi. Hasil penelitiannya adalah ukuran, laba bersih, struktur aktiva dan perubahan modal kerja terbukti secara signifikan mempengaruhi keputusan pendanaan external. Penelitian yang dilakukan oleh Asih (2006) mengambil Debt to Equity Ratio (DER) sebagai variabel terikat. Sedangkan variabel bebasnya adalah Operating Leverage (DOL), Current Ratio (CR), Struktur Aktiva (STA), Growth, Price Earning Ratio (PER), dan Return on Assets (ROA). Hasil penelitian yang didapat adalah Struktur Aktiva (STA) tidak berpengaruh secara signifikan terhadap Debt to Equity Ratio (DER). Operating Leverage (DOL) dan Return on Assets (ROA) berpengaruh negatif secara signifikan terhadap Debt to Equity Ratio (DER). Sedangkan 47 variable lainnya mempunyai pengaruh positif terhadap Debt to Equity Ratio (DER). G. Kerangka Pemikiran Dalam penelitian ini penulis akan memaparkan kerangka pemikiran yang digunakan mengetahui pengaruh tiap-tiap variabel bebas (variabel X) terhadap variabel terikat (variabel Y). Kerangka pemikiran pada penelitian dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Epsilon () Faktor-faktor yang mempengaruhi Struktur Modal (X) - Kebijakan Struktur Modal (Y) Ukuran Perusahaan (firm Size) Likuiditas (Liquiditas) Pertumbuhan Perusahaan (Growth) Keterangan : X = Variabel bebas I (faktor-faktor yang mempengaruhi struktur modal) Y = Variabel terikat (Kebijakan Struktur Modal) Є = (Epsilon) Variabel diluar X yang mempengaruhi variabel Y