BAB II LANDASAN TEORI

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A.
Pengertian Struktur Modal
Modal adalah hak atau bagian yang dimiliki oleh pemilik
perusahaan dalam pos modal (modal saham), keuntungan atau laba yang
ditahan atau kelebihan aktiva yang dimiliki perusahaan terhadap seluruh
utangnya (Munawir,2001). Modal pada dasarnya terbagi atas dua bagian
yaitu modal Aktif (Debet) dan modal Pasif (Kredit).
Struktur Modal merupakan pilihan pendanaan antara utang dan
ekuitas. Struktur modal (yang ditargetkan) adalah bauran utang, saham
preferen, dan saham biasa yang direncanakan perusahaan untuk
menambah modal (Brigham dan Housten, 2001: 6). Struktur modal secara
singkat juga dapat diartikan sebagai paduan sumber dana jangka panjang
yang digunakan oleh perusahaan (Keown, 2000: 542). Sementara itu,
Riyanto (2001: 22) mendefinisikan struktur modal sebagai pembelanjaan
permanen di mana mencerminkan perimbangan antara utang jangka
panjang dengan modal sendiri.
Struktur Modal merupakan masalah penting dalam pengambilan
keputusan mengenai pembelanjaan perusahaan. Untuk mengukur Struktur
Modal tersebut maka dapat digunakan beberapa Teori yang menjelaskan
Struktur Modal dalam suatu Perusahaan.(Suwandi, 2009).
8
9
Struktur modal merupakan komposisi pendanaan ekuitas (modal
sendiri) dan utang pada suatu perusahaan (Wild et al., 2005). Struktur
modal dapat diartikan sebagai paduan sumber dana jangka panjang yang
digunakan oleh perusahaan (Keown et al., 2000). Sedangkan menurut
Awat (1999) struktur modal adalah proporsi antara utang jangka panjang
dan modal sendiri. Alwi (1989:422) menyatakan bahwa struktur modal
ditentukan oleh perbandingan antara hutang jangka panjang dan modal
sendiri yang digunakan perusahaan.
Menurut Henderson. Trenepohl, dan Wert (1984:434) adalahcapital
structure is defined as the composition of a firm long-term financing
represented by long-term debt, preferred stock and common stock. When
current liabilities are included the total generally is called financial
structure.
Weston dan Copeland (1992) memberikan definisi struktur modal
sebagai pembiayaan permanen yang terdiri dari hutang jangka panjang,
saham preferen, dan modal pemegang saham.
Menurut Lawrence, Gitman (2000:488), definisi struktur modal
adalah sebagai berikut: ”Capital Structure is the mix of long term debt and
equity
maintained
by
the
firm”.
Struktur
modal
perusahaan
menggambarkan perbandingan antara hutang jangka panjang dan modal
sendiri yang digunakan oleh perusahaan. Ada dua macam tipe modal
menurut Lawrence, Gitman (2000) yaitu modal hutang (debt capital) dan
modal sendiri (equity capital). Tetapi dalam kaitannya dengan struktur
10
modal, jenis modal hutang yang diperhitungkan hanya hutang jangka
panjang.
Menurut Sundjaja dan Barlian (2003:324) hutang jangka panjang
merupakan salah satu dari bentuk pembiayaan jangka panjang, yang
memiliki jatuh tempo lebih dari satu satun. Sedangkan modal sendiri
(equity capital) adalah dana jangka panjang perusahaan yang disediakan
oleh pemilik perusahaan (pemegang saham), yang terdiri dari berbagai
jenis saham (saham preferen dan saham biasa) serta laba ditahan.
Dengan demikian, struktur modal adalah struktur keuangan
dikurangi oleh hutang jangka pendek. Hutang jangka pendek tidak
diperhitungkan dalam struktur modal karena hutang jenis ini umumnya
bersifat spontan (berubah sesuai dengan perubahan tingkat penjualan).
Sementara itu hutang jangka panjang bersifat tetap selama jangka waktu
yang relatif panjang (lebih dari satu tahun) sehingga keberadaannya perlu
lebih dipikirkan oleh para manajer keuangan. Itulah alasannya mengapa
struktur modal hanya terdiri dari utang jangka panjang dan ekuitas.
Struktur
modal
pada
tiap
perusahaan
ditetapkan
dengan
memperhitungkan berbagai aspek atas dasar kemungkinan akses dana,
keberanian perusahaan menanggung risiko, rencana strategis pemilik,
serta analisis biaya dan manfaat yang diperoleh dari tiap sumber dana.
Pada perusahaan yang berstatus perseroan terbatas, dapat menggunakan
pendanaan dari modal sendiri, saham dan atau utang kepada pihak
ketiga. Sedangkan pada perusahaan yang berstatus terbuka (go public),
11
memiliki akses terhadap sumber pendanaan yang lebih luas dengan
pertimbangan sahamnya dapat dijual kepada masyarakat luas.
B.
Jenis-jenis Modal
Terminonogi modal menunjukkan sumber dana yang digunakan
pada suatu perusahaan. Modal meliputi semua komponen di sisi pasiva
padaneraca perusahaan kecuali hutang lancar.Modal terdiri dari modal
utang dan modal sendiri/ekuitas.
Jenis-jenis modal antara lain:
1)
Modal Pinjaman, termasuk semua pinjaman jangka panjang yang
diperoleh perusahaan. Diketahui bahwa biaya modal pinjaman relatif
lebih rendah dibandingkan dengan bentuk pinjaman lainnya, hal ini
disebabkan karena mereka memperoleh risiko yang relatif kecil atas
segala jenis modal jangka panjang, seperti: Pemegang modal
pinjaman mempunyai prioritas terhadap pembayaran bunga atas
pinjaman atau terhadap aset yang akan dijual untuk membayar
utang. Pemegang modal pinjaman mempunyai kekuatan hukum atas
pembayaran
hutang
dibandingkan
dengan
pemegang
saham
preferen atau saham biasa. Bunga pinjaman merupakan biaya yang
dapat mengurangi pajak sehingga biaya modal pinjaman yang
sebenarnya secara substansial menjadi lebih rendah.
2) Modal Sendiri/Ekuitas, merupakan modal jangka panjang yang
diperoleh dari pemilik perusahaan/pemegang saham. Modal sendiri
diharapkan tetap berada dalam perusahaan untuk jangka waktu yang
12
tidak terbatas sedangkan modal pinjaman mempunyai jatuh tempo.
Ada dua sumber utama modal sendiri, yaitu:
a) Modal saham preferen yang merupakan bentuk khusus kepemilikan
perusahaan di mana dividen diperoleh secara tetap serta
pembayarannya harus didahulukan dari dividen saham biasa.
b) Modal saham biasa yang terdiri atas saham biasa dan laba ditahan.
Saham biasa merupakan bentuk modal sendiri yang paling mahal
biaya modalnya diikuti dengan laba ditahan dan saham preferen.
Hubungan antara modal pinjaman dan modal sendiri mempunyai
perbedaan utama dalam hak suara, tuntutan atas pendapatan dan aset,
jatuh tempo dan perlakuan pajak atas biaya modal.Harus dipahami posisi
pemegang modal sendiri adalah sekunder dibanding pemegang modal
pinjaman. Pemegang modal sendiri menanggung risiko yang lebih besar
sehingga kompensasi bagi pemegang modal sendiri harus lebih tinggi
dibanding dengan pemegang saham pinjaman.
C.
1.
Komponen Struktur Modal
Utang Jangka Panjang
Jumlah utang di dalam neraca akan menunjukkan besarnya
modal pinjaman yang digunakan dalam operasi perusahaan. Modal
pinjaman ini dapat berupa utang jangka pendek maupun utang jangka
panjang, tetapi pada umumnya pinjaman jangka panjang jauh lebih
besar dibandingkan dengan utang jangka pendek.
13
Menurut Sundjaja dan Barlian (2007:324), “utang jangka
panjang merupakan salah satu dari bentuk pembiayaan jangka
panjang yang memiliki jatuh tempo lebih dari satu tahun, biasanya 5 –
20 tahun”. Pinjaman utang jangka panjang dapat berupa pinjaman
berjangka (pinjaman yang digunakan untuk membiayai kebutuhan
modal kerja permanen, untuk melunasi utang lain, atau membeli
mesin dan peralatan) dan penerbitan obligasi (utang yang diperoleh
melalui penjualan surat-surat obligasi, dalam surat obligasi ditentukan
nilai nominal, bunga per tahun, dan jangka waktu pelunasan obligasi
tersebut.
Adapun jenis atau bentuk-bentuk utama dari utang jangka
panjang antara lain:
a. Pinjaman Obligasi (Bonds payables)
Pinjaman obligasi adalah pinjaman uang untuk jangka waktu
yang panjang, dimana debitur mengeluarkan surat pengakuan
utang yang mempunyai nominal tertentu (Bambang Riyanto,
2001:238). Sedangkan menurut Suad Husnan (2004: 259), obligasi
merupakan surat tanda hutang, dan umumnya tidak dijamin dengan
aktiva tertentu. Karena itu jika perusahaan bangkrut, pemegang
obligasi akan diperlakukan sebagai kreditur umum. Dengan
demikian obligasi adalah surat berharga atau sertifikat yang berisi
kontrak antara pemberi dana (dalam hal ini pemodal) dengan
pemberi dana (emiten). Pembayaran kembali pinjaman obligasi
14
dapat dijalankan secara sekaligus pada hari jatuhnya atau secara
berangsur setiap tahunnya. Menurut Bambang Riyanto (2001: 239)
ada berbagai jenis obligasi diantaranya adalah:
1) Obligasi Biasa (Bonds)
Adalah obligasi yang bunganya tetap dibayar oleh debitur dalam
waktuwaktu tertentu, dengan tidak memandang apakah debitur
memperoleh keuntungan atau tidak. Biasanya bunga obligasi
dibayar dua kali setiap tahunnya.
2) Obligasi Pendapatan (Income Bonds)
Adalah jenis obligasi dimana pembayaran bunga hanya
dilakukan pada waktu-waktu debitur atau perusahaan yang
mengeluarkan surat obligasi tersebut mendapatkan keuntungan.
Tetapi disini kreditur mempunyai hak kumulatif yang artinya
apabila suatu tahun perusahaan menderita kerugian sehingga
tidak dibayarkan bunga, dan apabila di tahun berikutnya
perusahaan mendapatkan keuntungan maka kreditur berhak
untuk menuntut bunga dari tahun yang tidak dibayar itu.
3) Obligasi yang dapat ditukarkan (Convertible Bonds)
Adalah
obligasi
yang
memberikan
kesempatan
kepada
pemegang surat obligasi untuk menukarkan obligasi tersebut
dengan saham dari perusahaan yang bersangkutan pada waktu
tertentu.
Dengan
demikian
maka
jenis
obligasi
ini
15
memungkinkan pemegangnya untuk mengubah statusnya, yaitu
dari kreditur menjadi pemilik.
b. Pinjaman Hipotek (Mortgage)
Hipotek merupakan bentuk hutang jangka panjang dengan
agunan aktiva tidak bergerak (Husnan, 2004:370). Sedangkan
menurut Riyanto (2001:239) pinjaman hipotik adalah pinjaman
jangka panjang dimana pemberi uang (kreditur) diberi hak hipotik
terhadap suatu barang tidak bergerak, agar bila pihak debitur tidak
memenuhi kewajibannya, barang itu dapat dijual dan dari hasil
penjualan tersebut dapat digunakan untuk menutupi tagihannya.
Apabila hasil penjualan aktiva yang diagunkan tersebut belum
cukup, maka sisanya menjadi kreditur umum sama seperti pemilik
obligasi. Dalam perjanjian kreditnya disebutkan secara jelas aktiva
apa yang dipergunakan sebagai agunan.
Beberapa hal yang menjadi pertimbangan manajemen sehingga
memilih untuk menggunakan utang menurut Sundjaja at.al (2007)
adalah sebagai berikut:
a) Biaya utang terbatas, walaupun perusahaan memperoleh laba
besar, jumlah bunga yang dibayarkan besarnya tetap.
b) Hasil yang diharapkan lebih rendah daripada saham biasa.
c) Tidak
ada
perubahan
pengendalian
pembiayaan memakai utang.
atas
perusahaan
bila
16
d) Pembayaran
bunga
merupakan
beban
biaya
yang
dapat
mengurangi pajak.
e) Fleksibilitas dalam struktur keuangan dapat dicapai dengan
memasukkan peraturan penebusan dalam perjanjian obligasi.
Kreditur (investor) lebih memilih menanamkan investasidalam
bentuk utang jangka panjang karena beberapa pertimbangan.Menurut
Sundjaja at.al (2007), pemilihan investasi dalam bentuk utang jangka
panjang dari sisi investor didasarkan pada beberapa hal berikut:
a) Utang dapat memberikan prioritas baik dalam hal pendapatan
maupun likuidasi kepada pemegangnya.
b) Mempunyai saat jatuh tempo yang pasti.
c) Dilindungi oleh isi perjanjian utang jangka panjang (dari segi
risiko).
d) Pemegang
memperoleh
pengembalian
yang
tetap
(kecuali
pendapatan obligasi).
2.
Modal Sendiri
Menurut Sundjaja at al. (2007:324), “modal sendiri/equity capital
adalah dana jangka panjang perusahaan yang disediakan oleh pemilik
perusahaan (pemegang saham), yang terdiri dari berbagai jenis
saham (saham preferen dan saham biasa) serta laba ditahan”.Modal
sendiri/ekuitas modal yang berasal dari perusahaan itu sendiri,
berasal dari pengambilan bagian, peserta atau pemilik.Modal sendiri
17
merupakan modal dalam suatu perusahaan yang dipertaruhkan untuk
segala risiko usaha maupun risiko kerugian-kerugian lainnya.
Modal sendiri pada dasarnya adalah modal yang berasal dari
pemilik perusahaan dan yang tertanam didalam perusahaan untuk
kurun waktu yang tidak tertentu lamanya. Oleh karena itu modal
sendiri ditinjau dari sudut likuiditas merupakan “ dana jangka panjang
yang tidak tertentu waktunya” (Riyanto, 2001:240). Modal sendiri
selain berasal dari luar perusahaan juga dapat berasal dari dalam
perusahaan sendiri, yaitu modal yang dihasilkan atau dibentuk sendiri
di dalam perusahaan
Pendanaan
dengan
modal
sendiri
akan
menimbulkan
opportunity cost. Keuntungan dari memiliki saham perusahaan bagi
owner adalah kontrol terhadap perusahaan. Namun, return yang
dihasilkan dari saham tidak pasti dan pemegang saham adalah pihak
pertama yang menanggung resiko perusahaan. Modal sendiri atau
ekuitas merupakan modal jangka panjang yang diperoleh dari pemilik
perusahaan atau pemegang saham. Modal sendiri diharapkan tetap
berada dalam perusahaan untuk jangka waktu yang tidak terbatas
sedangkan modal pinjaman memiliki jatuh tempo. Ada 2 (dua) sumber
utama dari modal sendiri yaitu:
a) Modal saham preferen
Saham preferen adalah saham yang menjanjikan pembagian
dividend dengan jumlah tetap setiap tahunnya (Sugiarto, 2009:7).
18
Menurut Abdul Halim (2007:6) saham preferen merupakan saham
yang memiliki karakteristik gabungan antara obligasi dan saham
biasa. Dan menurut Weston & Copeland (2010: 488) saham
preferen memiliki klaim dan hak atas saham biasa tetapi berada
dibawah obligasi. Keistimewaan saham ini terletak dalam klaim
atas laba perusahaan, klaim atas aktiva jika perusahaan
mengalami likuidasi, atau posisi yang lebih istimewa dalam hal
laba dan aktiva perusahaan. Saham preferen merupakan
pendanaan yang memiliki sifat kombinasi antara utang dan
saham biasa. Karena pemegang saham preferen menerima
penghasilan tetap setiap tahun, investasi dalam bentuk saham
preferen mirip dengan investasi obligasi.
Saham preferen memberikan para pemegang sahamnya
beberapa hak istimewa yang menjadikannya lebih senior atau
lebih diprioritaskan daripada pemegang saham biasa.Oleh karena
itu, perusahaan tidak memberikan saham preferen dalam jumlah
yang banyak.
Beberapa keuntungan penggunaan saham preferen bagi
manajemen menurut Sundjaja at.al (2007) adalah sebagai berikut:
1) Mempunyai
kemampuan
untuk
meningkatkan
pengaruh
keuangan.
2) Fleksibel karena saham preferen memperbolehkan penerbit
untuk tetap pada posisi menunda tanpa mengambil risiko
19
untuk memaksakan jika usaha sedang lesu yaitu dengan tidak
membagikan bunga atau membayar pokoknya.
3) Dapat digunakan dalam restrukturisasi perusahaan, merger,
pembelian saham oleh perusahaan dengan pembayaran
melalui utang baru dan divestasi.
b) Modal saham biasa
Pemilik perusahaan adalah pemegang saham biasa yang
menginvestasikan
uangnya
dengan
harapan
mendapat
pengembalian dimasa yang akan datang. Pemegang saham
biasa kadang-kadang disebut pemilik residual sebab mereka
hanya menerima sisa setelah seluruh tuntutan atas pendapatan
dan asset telah dipenuhi. Ada beberapa keunggulan pembiayaan
dengan saham biasa bagi kepentingan manajemen (perusahaan),
menurut Sundjaja at.al (2007), yaitu :
1) Saham biasa tidak memberi dividen tetap. Jika perusahaan
dapat memperoleh laba, pemegang saham biasa akan
memperoleh dividen. Tetapi berlawanan dengan bunga
obligasi yang sifatnya tetap (merupakan biaya tetap bagi
perusahaan), perusahaan tidakdiharuskan oleh hukum untuk
selalu membayar dividen kepada para pemegang saham
biasa.
20
2) Saham biasa tidak memiliki tanggal jatuh tempo.
3) Karena saham biasa menyediakan landasan penyangga atas
rugi yang diderita para kreditornya, maka penjualan saham
biasa akan meningkatkan kredibilitas perusahaan.
4) Saham biasa dapat, pada saat-saat tertentu, dijual lebih
mudah dibandingkan bentuk hutang lainnya. Saham biasa
mempunyai daya tarik tersendiri bagi kelompok-kelompok
investor tertentu karena (a) dapat memberi pengembalian
yang lebih tinggi dibanding bentuk hutang lain atau saham
preferen; dan (b) mewakili kepemilikan perusahaan, saham
biasa menyediakan para investor benteng proteksi terhadap
inflasi secara lebih baik dibanding saham preferen atau
obligasi. Umumnya, saham biasa meningkat nilainya jika nilai
aktiva riil juga meningkat selama periode inflasi.
5) Pengembalian yang diperoleh dalam saham biasa dalam
bentuk keuntungan modal merupakan obyek tarif pajak
penghasilan yang rendah. (Weston & Copeland) Menurut
Wasis (1981:81), “pemilik yang menyetorkan modal akan
menjadi penanggung resiko yang pertama. Artinya bahwa
pihak non pemilik tidak akan menderita kerugian sebelum
kewajiban dari pemilik ditunaikan seluruhnya. Kerugian
perusahaan pertama-tama harus dibebankan kepada pemilik.
21
Dari segi investor (Sundjaja, 2007), keuntungan menggunakan
saham (modal sendiri) adalah sebagai berikut:
a) Memiliki hak suara (hak kendali) dalam perusahaan.
b) Tidak ada jatuh tempo.
c) Karena menanggung resiko yang lebih besar, maka kompensasi
bagi pemegang modal sendiri lebih tinggi dibanding dengan
pemegang modal pinjaman.
c)
Cadangan
Cadangan dibentuk dari keuntungan yang diperoleh oleh
perusahaan selama beberapa waktu lampau atau dari tahun yang
berjalan (Riyanto, 2001:242). Cadangan yang termasuk kedalam
modal sendiri antara lain:
1) Cadangan ekspansi
2) Cadangan modal kerja
3) Cadangan selisih kurs
4) Cadangan untuk menampung hal-hal atau kejadian yang tidak
diduga sebelumnya (cadangan umum).
D.
Teori-teori Struktur Modal
Kombinasi pemilihan struktur modal yang optimal (Sundjaya dan
Barlian ,2002) merupakan hal penting yang harus diperhatikan oleh
perusahaan karena kombinasi pemilihan struktur modal tersebut akan
mempengaruhi juga tingkat biaya modal (cost of capital) yang dikeluarkan
oleh perusahaan. Tingkat biaya modal adalah biaya yang harus
22
dikeluarkan oleh perusahaan untuk mendapatkan dana guna membiayai
investasinya. Apabila suatu perusahaan bermaksud untuk melakukan
kombinasi atas struktur modal yang ada maka tingkat biaya modal dari
struktur modal tersebut dihitung dengan menggunakan tingkat biaya ratarata tertimbang (weighted average cost of capital), yang dapat dihitung
dengan rumus sebagai berikut :
Tingkat biaya rata-rata tertimbang hanya dapat dicapai apabila
perusahaan telah menentukan struktur modalnya yang optimal. Struktur
yang optimal suatu perusahaan harus berada pada keseimbangan antara
risiko dan pengembalian yang memaksimumkan harga saham (Brigham
dan Houston,2001:5-6).
Struktur Modal merupakan masalah penting dalam pengambilan
keputusan mengenai pembelanjaan perusahaan. Untuk mengukur Struktur
Modal tersebut maka dapat digunakan beberapa Teori yang menjelaskan
23
Struktur Modal dalam suatu Perusahaan. Teori yang menjelaskan hal
tersebut antara lain :
1.
Pendekatan Tradisional
Menurut pandangan tradisional, terdapat struktur modal
optimal.
Struktur modal dapat
diubah-ubah sedemikian rupa
sehingga dapat diperoleh suatu struktur modal yang optimal (Hanafi,
2004: 297). Struktur modal optimal adalah kombinasi dari utang dan
ekuitas yang memaksimumkan harga saham perusahaan (Brigham
dan Houston, 2001: 45). Dengan demikian, menurut pendekatan
tradisional tersebut struktur modal mempengaruhi nilai perusahaan.
2.
Pendekatan Modigliani dan Miller
Teori mengenai struktur modal bermula pada tahun 1958,
ketika Profesor Franco Modigliani dan Profesor Merton Miller ( yang
selanjutnya disebut MM) mempublikasikan artikel keuangan yang
paling berpengaruh yang pernah ditulis yaitu “The Cost of capital,
Corporation
Finance,
and
The
Theory
of
Invesment”.
MM
membuktikan bahwa nilai suatu perusahaan tidak dipengaruhi oleh
struktur modalnya (Brigham dan Houston, 2001). MM berpendapat
bahwa dalam keadaan pasar sempurna maka penggunaan hutang
adalah tidak relevan dengan nilai perusahaan, tetapi dengan adanya
pajak maka hutang akan menjadi relevan (Modigliani dan Miller, 1960
dalam Hartono, 2003). Namun, studi MM didasarkan pada sejumlah
asumsi yang tidak realistis, antara lain (Brigham dan Houston, 2001);
24
1. Tidak ada biaya broker (pialang)
2. Tidak ada pajak
3. Tidak ada biaya kebangkrutan
4. Para investor dapat meminjam dengan tingkat suku bunga yang
sama dengan perseroan.
5. Semua investor mempunyai informasi yang sama seperti
manajemen mengenai peluang investasi perusahaan pada masa
mendatang
6. EBIT tidak dipengaruhi oleh penggunaan hutang.
Pada tahun 1963, MM menerbitkan makalah lanjutan yang
berjudul “Corporate Income Taxes and The Cost of Capital: A
Correction” yang melemahkan asumsi tidak ada pajak perseroan.
Peraturan perpajakan memperbolehkan pengurangan pembayaran
bunga sebagai beban, tetapi pembayaran deviden kepada pemegang
saham tidak dapat dikurangkan. Perlakuan yang berbeda ini
mendorong perusahaan untuk menggunakan hutang dalam struktur
modalnya. MM membuktikan bahwa karena bunga atas hutang
dikurangkan dalam perhitungan pajak, maka nilai perusahaaan
meningkat sejalan dengan makin besarnya jumlah hutang dan
nilainya akan mencapai titik maksimum bila seluruhnya dibiayai
dengan hutang (Brigham dan Houston, 2001).
Hasil studi MM yang tidak relevan juga tergantung pada
asumsi bahwa tidak ada biaya kebangkrutan. Namun, dalam praktek,
25
biaya kebangkrutan bisa sangat mahal. Perusahaan yang bangkrut
mempunyai biaya hukum dan akuntansi yang sangat tinggi, serta
sulit menahan pelanggan, pemasok dan karyawan. Masalah yang
terkait
kebangkrutan
cenderung
muncul
apabila
perusahaan
menggunakan lebih banyak hutang dalam struktur modalnya
(Brigham dan Houston, 2001). Apabila biaya kebangkrutan semakin
besar tingkat keuntungan yang disyaratkan oleh pemegang saham
juga semakin tinggi. Biaya modal hutang juga akan semakin tinggi
karena pemberi pinjaman akan membebankan bunga yang tinggi
sebagai kompensasi kenaikan risiko kebangkrutan. Oleh karena itu,
perusahaan akan terus menggunakan hutang apabila manfaat
hutang (penghematan pajak dari hutang) masih lebih besar
dibandingkan dengan biaya kebangkrutan. Jika biaya kebangkrutan
lebih besar dibandingkan dengan penghematan pajak dari hutang,
perusahaan akan menurunkan tingkat hutangnya. Tingkat hutang
yang optimal, dengan demikian modal yang optimal, terjadi pada saat
tambahan penghematan pajak sama dengan tambahan biaya
kebangkrutan (Mamduh M. Hanafi, 2003).
Apabila pajak tidak diperhitungkan, MM berpendapat bahwa
kenaikan utang pada struktur modal akan menaikan ROE (Return on
Equity) sekaligus menaikan pula resiko investor. Karena kedua
pengaruh
itu
saling
meniadakan,
tanpa
pajak
dan
resiko
kebangkrutan, nilai suatu perusahaan tidak terpengaruh oleh tingkat
26
leverage. Dengan kata lain nilai perusahaan yang menggunakan
hutang sama
dengan
nilai perusahaan
tanpa utang.
Dapat
disimpulkan bahwa nilai perusahaan akan terus meningkat secara
linear, seiring dengan bertambahnya proporsi utang pada struktur
modal perusahaan. Hal ini mengadung makna bahwa makin tinggi
proporsi utang makin tinggi nilai perusahaan. Sudah tentu hal ini
tidak realistis sebab makin tinggi proporsi utang yang digunakan
dalam struktur modal makin tinggi pula resiko kebangkrutan yang
mungkin dihadapi oleh suatu perusahaan.
Pendekatan atau teori yang dikemukakan oleh Modigliani dan
Miller merupakan sanggahan dari pendekatan tradisional. Menurut
Modigliani dan Miller, struktur modal tidak mempengaruhi nilai
perusahaan.
Tidak
menjadi
masalah
bagaimana
perusahaan
membiayai operasinya; jadi keputusan struktur modal tidak memiliki
relevansi dengan nilai perusahaan (Brigham dan Houston, 2001: 31).
Meskipun teori ini memiliki kelemahan-kelemahan khususnya
pada asumsi yang digunakan, namun teori ini menjadi awal dari
pemikiran mengenai pemikiran tentang struktur modal modern.
Modigliani dan Miller dalam pendekatan selanjutnya, melakukan
pengurangan-pengurangan pada beberapa asumsinya.
3.
Teori Trade-Off
Teori Trade off dari struktur modal menunjukan bahwa hutang
bermanfaat bagi perusahaan karena bunga dapat dikurangkan dalam
27
menghitung pajak, tetapi hutang juga menimbulkan biaya yang
berhubungan dengan kebangkrutan yang aktual dan potensial.
Struktur modal yang optimal berada pada keseimbangan antara
manfaat pajak dari hutang dan biaya yang berkaitan dengan
kebangkrutan.
Hal
ini
disebut
juga
dengan
balance
theory,
dimana
perusahaan berupaya mempertahankan struktur modal yang optimal
dengan tujuan memaksimumkan nilai perusahaan. Trade off theory
memiliki implikasi bahwa manajer akan berpikir dalam kerangka trade
off antara penghematan pajak dan biaya kesulitan keuangan dalam
penentuan struktur modal. Perusahaan-perusahaan dengan tingkat
profitabilitas yang tinggi tentu akan berusaha mengurangi pajaknya
dengan cara meningkatkan rasio hutangnya, sehingga tambahan
hutang tersebut akan mengurangi pajak.
Menurut teori ini juga menggunakan semakin banyak utang
berarti memperbesar risiko yang ditanggung pemengang saham dan
juga memperbesar tingkat pengembalian yang diharapkan. Risiko
yang semakin tinggi cenderung menurunkan harga saham, namun
meningkatkan
tingkat
pengembalian
yang
diharapkan
akan
menaikan harga saham tersebut. Karena itu struktur modal yang
optimal harus berada pada keseimbangan antara risiko dengan
pengembalian yang memaksimumkan harga saham (Brigham dan
Houston 2001: 5-6).
28
Dalam teori trade-off menjelaskan posisi struktur modal harus
menargetkan pada posisi keseimbangan biaya dan keuntungan
marginal dari pendanaan dengan utang, sebab pada posisi itu nilai
perusahaan menjadi maksimum
Dalam
kenyataannya,
terdapat
hal-hal
yang
membuat
perusahaan tidak dapat menggunakan utang sebanyak-banyaknya
apalagi sampai 100% dalam struktur modalnya. Salah satu hal
penting berkaitan dengan utang adalah, semakin tinggi utang maka
akan
semakin
tinggi
kemungkinan
perusahaan
mengalami
kebangkrutan (Hanafi, 2004: 309). Hal ini disebabkan dengan
semakin tingginya utang, maka bunga yang harus dibayar juga tinggi
dan jika perusahaan tidak mampu membayarnya maka perusahaan
akan diklaim bangkrut oleh kreditur.
Kebangkrutan akan menimbulkan biaya kebangkrutan yang
tidak sedikit. Biaya kebangkrutan ini meliputi: biaya langsung, yaitu
biaya
dikeluarkan untuk membayar biaya administrasi, biaya
pengacara, biaya akuntan, dan biaya lain yang relevan, dan biaya
tidak langsung seperti: akibat suplier tidak bersedia lagi menyuplai
barang, sehingga perusahaan harus berganti suplier.
Biaya lain yang timbul dari semakin tingginya jumlah utang
perusahaan adalah biaya keagenan utang (agency cost of debt).
Ketika utang meningkat, maka konflik yang terjadi antar kreditur
dengan pemegang saham cenderung meningkat karena pemegang
29
saham memiliki potensi mengalami kerugian yang lebih besar
dibandingkan kreditur. Dalam kondisi demikian, kreditur akan
meningkatkan
pengawasan
terhadap
perusahaan
yang
mana
mengakibatkan timbulnya biaya pengawasan yang dibebankan
kepada perusahaan.
Jadi pada dasarnya teori ini menyatakan adanya suatu tradeoff dalam penggunaan utang. Peningkatan utang akan meningkatkan
nilai
perusahaan,
namun
demikian
sampai
batas
tertentu
peningkatan jumlah penggunaan utang justru akan menurunkan atau
mengurangi nilai perusahaan. Teori ini dalam kenyataannya juga
belum dapat memberikan petunjuk sampai seberapa besar utang
harus digunakan oleh perusahaan agar diperoleh struktur modal
yang optimal.
4.
Teori Packing-Order
Teori ini dikenalkan pertama kali oleh Donaldson pada tahun
1961, sedangkan penamaan pecking order theory dilakukan oleh
Myers pada tahun1984. Teori ini disebut pecking order karena teori
ini menjelaskan mengapa perusahaan akan menentukan hieraki
sumber dana yang paling disukai. Secara ringkas teori tersebut
menyatakan bahwa (Brealey and Myers, 1991 dalam Suad Husnan,
2000);
30
a) Perusahaan menyukai internal financing (pendanaan dari hasil
operasi perusahaan).
b) Perusahaan mencoba menyesuaikan rasio pembagian deviden
yang ditargetkan dengan berusaha menghindari perubahan
pembayaran deviden secara drastis.
c) Kebijakan deviden yang relatif segan untuk diubah, disertai
dengan fluktuasi profitabilitas dan kesempatan investasi yang
tidak bisa diduga, mengakibatkan bahwa dana hasil operasi
kadang-kadang
melebihi
kebutuhan
dana
untuk
investasi,
meskipun pada kesempatan yang lain, mungkin kurang. Apabila
dana hasil operasi kurang dari kebutuhan investasi, maka
perusahaan akan mengurangi saldo kas atau menjual sekuritas
yang dimiliki.
d) Apabila pendanaan dari luar (external financing) diperlukan, maka
perusahaan akan menerbitkan sekuritas yang paling “aman”
terlebih
dahulu
yaitu
dimulai
dengan
penerbitan
obligasi,
kemudian diikuti oleh sekuritas yang berkarakteristik opsi (seperti
obligasi konversi), baru akhirnya apabila masih belum mencukupi,
saham baru diterbitkan.
Menurut Myers (2001), pecking order theory menyatakan
bahwa ”Perusahaan dengan tingkat profitabilitas yang tinggi justru
tingkat
utangnya
profitabilitasnya
rendah,
tinggi
dikarenakan
memiliki
sumber
perusahaan
dana
internal
yang
yang
31
berlimpah.” Dalam pecking order theory ini tidak terdapat struktur
modal yang optimal. Secara spesifik perusahaan mempunyai uruturutan preferensi (hierarki) dalam penggunaan dana. Menurut
pecking order theory dikutip oleh Smart, Megginson, dan Gitman
(2004:458-459), terdapat skenario urutan (hierarki) dalam memilih
sumber pendanaan, yaitu :
a. Perusahaan lebih memilih untuk menggunakan sumber dana dari
dalam atau pendanaan internal daripada pendanaan eksternal.
Dana internal tersebut diperoleh dari laba ditahan yang dihasilkan
dari kegiatan operasional perusahaan.
b. Jika pendanaan eksternal diperlukan, maka perusahaan akan
memilih pertama kali mulai dari sekuritas yang paling aman, yaitu
utang yang paling rendah risikonya, turun ke utang yang lebih
berisiko, sekuritas hybrid seperti obligasi konversi, saham
preferen, dan yang terakhir saham biasa.
c. Terdapat kebijakan deviden yang konstan, yaitu perusahaan akan
menetapkan jumlah pembayaran deviden yang konstan, tidak
terpengaruh seberapa besarnya perusahaan tersebut untung atau
rugi.
d. Untuk mengantisipasi kekurangan persediaan kas karena adanya
kebijakan deviden yang konstan dan fluktuasi dari tingkat
keuntungan, serta kesempatan investasi, maka perusahaan akan
mengambil portofolio investasi yang lancar tersedia. Pecking
32
order theory tidak mengindikasikan target struktur modal. Pecking
order theory menjelaskan urut-urutan pendanaan. Manajer
keuangan tidak memperhitungkan tingkat utang yang optimal.
Kebutuhan dana ditentukan oleh kebutuhan investasi. Pecking
order theory ini dapat menjelaskan mengapa perusahaan yang
mempunyai tingkat keuntungan yang tinggi justru mempunyai
tingkat utang yang kecil.
Dalam kenyataannya, terdapat perusahaan-perusahaan yang
dalam menggunakan dana untuk kebutuhan investasinya tidak
sesuai seperti skenario urutan (hierarki) yang disebutkan dalam
pecking order theory. Penelitian yang dilakukan oleh Singh dan
Hamid (1992) dan Singh (1995) menyatakan bahwa “Perusahaanperusahaan di negara berkembang lebih memilih untuk menerbitkan
ekuitas daripada berutang dalam membiayai perusahaannya.” Hal ini
berlawanan dengan pecking order theory yang menyatakan bahwa
perusahaan akan memilih untuk menerbitkan utang terlebih dahulu
daripada menerbitkan saham pada saat membutuhkan pendanaan
eksternal.
Implikasi pecking order theory adalah perusahaan tidak
menetapkan struktur modal optimal tertentu, tetapi perusahaan
menetapkan kebijakan prioritas sumber dana (Laili Hidayati, et al,
2001). Pecking order theory menjelaskan mengapa perusahaanperusahaan yang profitable (menguntungkan) umumnya meminjam
33
dalam jumlah yang sedikit. Hal tersebut bukan karena perusahaan
mempunyai target debt ratio yang rendah, tetapi karena memerlukan
external financing yang sedikit. Sedangkan perusahaan yang kurang
profitable cenderung mempunyai hutang yang lebih besar karena
dana internal tidak cukup dan hutang merupakan sumber eksternal
yang lebih disukai. Penggunaan dana eksternal dalam bentuk hutang
lebih disukai daripada modal sendiri karena dua alasan; pertama,
pertimbangan biaya emisi dimana biaya emisi obligasi akan lebih
murah daripada biaya emisi saham baru. Hal ini disebabkan karena
penerbitan saham baru akan menurunkan harga saham lama.
Kedua, manajer khawatir penerbitan saham baru akan ditafsirkan
sebagai kabar buruk oleh para pemodal, dan membuat harga saham
akan turun, hal ini disebabkan antara lain oleh kemungkinan adanya
ketidaksamaan informasi antara pihak manajemen dengan pihak
pemodal (Suad Husnan, 2000).
Teori pecking-order ini pada dasarnya hanya menjelaskan
urut-urutan proses pendanaan yang dilakukan perusahaan, tidak
menjelaskan
mengenai
struktur
modal
yang
harus
dimiliki
perusahaan untuk mencapai struktur modal optimal atau untuk
mencapai nilai perusahaan yang maksimum.
Menurut teori ini, manajer keuangan tidak memikirkan tingkat
utang atau struktur modal yang optimal. Kebutuhan dana ditentukan
oleh kebutuhan investasi. Jika perusahaan memiliki kesempatan
34
investasi, maka perusahaan akan mencari dana untuk mendanai
kebutuhan investasi tersebut. Pada awalnya perusahaan akan
menggunakan dana internal, selanjutnya jika dana internal tersebut
tidak mencukupi perusahaan akan menerbitkan saham.
Menurut Pecking Orde Theory, perusahaan yang mempunyai
likuiditas
yang
tinggi
akan
cenderung
tidak
menggunakan
pembiayaan dari hutang. Hal ini disebabkan perusahaan dengan
tingkat likuiditas tinggi mempunyai dana internal yang besar sehingga
perusahaan tersebut akan lebih menggunakan dana internalnya
terlebih
dahulu
menggunakan
untuk
pembiayaan
membiayai
eksternal
investasinya
melalui
hutang.
sebelum
Dalam
penelitian Prowse (1990) dalam Kusumawati (2004), likuiditas asset
perusahaan dapat digunakan untuk menunjukkan seberapa besar
asset tersebut dapat dimanipulasi oleh shareholder dengan biaya yag
ditanggung boundholders. Selanjutnya menurut Ozkan (2001) dalam
Kusumawati (2004), perusahaan dengan asset likuid yang besar
dapat menggunakan asset ini untuk berinvestasi (pecking order
theory).
Pecking Order Theory menjelaskan mengapa perusahaanperusahaan yang profitable umumnya meminjam dalam jumlah yang
sedikit. Hal ini bukan disebabkan karena perusahaan tersebut
mempunyai target debt ratio yang rendah, tetapi karena perusahaan
tersebut memerlukan external financing yang sedikit. Dalam teori
35
Pecking order tidak ada target debt- equity ratio yang terdefinisikan
dengan baik. Debt- equity ratio yang terobservasi mencerminkan
kebutuhan
kumulatif
perusahaan
bagi
pendanaan
eksternal.
Perusahaan yang kurang profitable akan cenderung mempunyai
hutang yang lebih besar karena dana internal tidak cukup dan hutang
merupakan sumber eksternal yang lebih disukai.
5.
Agency Theory
Teori ini dikemukakan oleh Michael C. Jensen dan William H.
Meckling pada tahun 1976. Menurut (Saidi,2004) dalam Arli (2010)
manajemen merupakan agen dari pemegang saham, sebagai pemilik
perusahaan. Para pedagang saham berharap agen akan bertindak
atas kepentingan mereka sehingga mendelegasikan wewenang
kepada agen. Untuk dapat melakukan fungsinya dengan baik,
manajemen harus diberikan insentif dan pengawasan yang memadai.
Pengawasan dapat dilakukan melalui cara-cara seperti pengikatan
agen, pemeriksaan laporan keuangan, dan pembatasan terhadap
keputusan yang dapat diambil manajemen.
Teori keagenan (agency theory) membahas tentang adanya
hubungan keagenan antara prinsipal dan agen. Hubungan keagenan
adalah sebuah kontrak di mana satu atau lebih prinsipal menyewa
orang lain (agen) untuk melakukan beberapa jasa untuk kepentingan
mereka
yaitu
dengan
mendelegasikan
beberapa
wewenang
pembuatan keputusan kepada agen. Yang disebut dengan principal
36
adalah pihak yang memberikan mandat kepada agen, dalam hal ini
yaitu pemegang saham. Sedangkan yang disebut agen adalah pihak
yang mengerjakan mandat dari prinsipal, yaitu manajemen yang
mengelola perusahaan.
Tujuan utama teori keagenan (agency theory) adalah untuk
menjelaskan bagaimana pihak-pihak yang melakukan hubungan
kontrak
dapat
mendesain
kontrak
yang
tujuannya
untuk
meminimalisir cost sebagai dampak adanya informasi yang tidak
asimetris dan kondisi ketidakpastian. Menurut Wahidahwati (2002)
dalam Trisna (2010), ada beberapa alternatif untuk mengurangi
agency cost yaitu :
a) Dengan meningkatkan kepemilikan saham perusahaan oleh
manajemen dan selain itu manajer merasakan langsung manfaat
dari keputusan yang diambil dan juga apabila ada kerugian yang
timbul sebagai konsekuensi dari pengambilan keputusan yang
salah.
b) Meningkatkan dividend payout ratio, dengan demikian tidak
tersedia cukup banyak free cash flow dan manajemen terpaksa
mencari pendanaan dari luar untuk membiayai investasinya.
c) Meningkatkan pendanaan dengan hutang. Peningkatan hutang
akan menurunkan besarnya excess cash flow yang ada di dalam
perusahaan sehingga menurunkan kemungkinan pemborosan
yang dilakukan oleh manajemen.
37
d) Institutional investor sebagai monitoring agents. Distribusi saham
antara pemegang saham dari luar yaitu institusional investor dan
shareholders dispersion dapat mengurangi agency cost. Hal ini
karena kepemilikan mewakili suatu sumber kekuasaan yang
dapat digunakan untuk mendukung atau sebaliknya terhadap
keberadaan manajemen.
6.
Equity Market Timing
Teori yang diungkapkan oleh Baker dan Wurgler (2002:1) ini
mengemukakan bahwa “Perusahaan-perusahaan akan menerbitkan
ekuitas pada saat nilai pasar tinggi dan akan membeli kembali
ekuitas pada saat nilai pasar rendah”. Praktik inilah yang kemudian
disebut sebagai equity market timing.
Tujuan dari melakukan equity market timing ini adalah untuk
mengeksploitasi fluktuasi sementara yang terjadi pada cost of equity
terhadap cost of other forms of capital. Menurut Baker dan Wurgler
(2002:3), ”Struktur modal adalah hasil kumulatif dari usaha
melakukan equity market timing di masa lalu”. Baker dan Wurgler
menemukan bahwa perusahaan dengan tingkat hutang rendah
adalah perusahaan yang menerbitkan ekuitas pada saat nilai pasar
tinggi
dan
perusahaan
dengan
tingkat
utang
tinggi
adalah
perusahaan yang menerbitkan ekuitas pada saat nilai pasar rendah.
Baker dan Wurgler menggunakan market-to-book ratio, yang
umumnya digunakan sebagai proxy untuk mengukur kesempatan
38
investasi, namun dalam teorinya market-to-book ratio juga digunakan
untuk melihat apakah nilai suatu ekuitas itu overvalued atau
undervalued. Baker dan Wurgler membangun suatu model variabel
yaitu
external
finance
weighted-average
market-to-book
ratio.Variabel ini adalah rata-rata tertimbang dari market-to-book ratio
suatu perusahaan di masa lampau. Variabel ini digunakan oleh Baker
dan Wurgler untuk melihat usaha dari suatu perusahaan dalam
melakukan equity market timing.
Ada dua versi dari equity market timing yang mengikuti hasil
penelitian Baker dan Wurgler.Yang pertama adalah versi dinamis dari
Myers dan Majluf (1984) mengenai informasi asimetris yang
mengasumsikan rasional manajer dan investor. Versi yang kedua
dari equity market timing melibatkan para investor atau manajer yang
tidak rasional dan persepsi dari mispricing. Para manajer akan
menerbitkan equity saat mereka yakin bahwa cost of equity rendah
dan membeli kembali equity saat cost of equity tinggi. Market-to-book
diketahui secara umum berkorelasi negatif dengan future equity
returns, dan nilai ekstrem dari market-to-book dikaitkan dengan
ekpektasi-ekspektasi yang ekstrem dari investor, sesuai dengan
penelitian dari La Porta (1996), La Porta et al. (1997), Frankel dan
Lee (1998), dan Schleifer (2000). Apabila manajer mencoba untuk
mengeksploitasi terlalu jauh (ekstrem) ekspektasi-ekspektasi dari
investor, net equity issuesakan berkorelasi positif dengan market-to-
39
book. Apabila tidak terdapat struktur modal yang optimal, manajer
tidak perlu mengganti keputusan-keputusan pendanaannya pada
saat perusahaan telah dinilai dengan benar dan cost of equity terlihat
normal, hal ini menunggu fluktuasi-fluktuasi sementara yang terjadi
pada market-to-book mempunyai efek yang tetap pada leverage.
E.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Struktur Modal
Beberapa faktor yang mempengaruhi struktur modal perusahaan
yaitu tingkat pertumbuhan penjualan, stabilitas penjualan, karakteristik
industi, struktur aktiva, sikap manajamen, dan sikap pemberi pinjaman
(Weston dan Copeland, 1996). Menurut Weston dan Brigham (1997)
faktor-faktor yang mempengaruhi struktur modal perusahaan adalah
stabilitas
perusahaan,
struktur
aktiva,
leverage
operasi,
tingkat
pertumbuhan, profitabilitas, pajak, pengendalian, sikap manajemen, sikap
pemberi pinjaman dan perusahaan penilai kredibilitas, kondisi pasar,
kondisi internal perusahaan, dan fleksibiltas keuangan perusahaan. Suad
Husnan (2000) menyatakan bahwa yang paling mempengaruhi struktur
modal adalah lokasi distribusi keuntungan, stabilitas penjualan dan
keuntungan, kebijakan deviden, pengendalian dana risiko kebangkrutan.
Sedangkan
menurut
Bambang
Riyanto
(2001)
faktor-faktor
yang
mempengaruhi struktur modal antara lain; tingkat bunga, stabilitas
pendapatan, susunan aktiva, kadar risiko aktiva, besarnya jumlah modal
yang dibutuhkan, keadaan pasar modal, sifat manajemen, besarnya suatu
perusahaan.
40
Dalam
penelitian
ini,
menggunakan
variabel
pertumbuhan
perusahaan (growth), ukuran perusahaan (size), likuiditas (liquiditas)
sebagai faktor yang mempengaruhi struktur modal perusahaan.
1. Ukuran Perusahaan ( firm size )
Suatu perusahaan yang besar di mana sahamnya tersebar
sangat luas, setiap perluasan modal saham hanya akan mempunyai
pengaruh
yang
kecil
terhadap
kemungkinan
hilangnya
atau
tergesernya pengendalian dari pihak dominan terhadap perusahaan
yang bersangkutan. Sebaliknya pada perusahaan kecil di mana
sahamnya hanya tersebar di lingkungan kecil, penambahan jumlah
saham akan mempunyai pengaruh yang besar terhadap kemungkinan
hilangnya pengendalian pihak dominan terhadap perusahaan yang
bersangkutan. Dengan demikian, pada perusahaan besar di mana sahamnya tersebar sangat luas akan lebih berani mengeluarkan saham
baru dalam memenuhi kebutuhannya untuk membiayai pertumbuhan
penjualan dibandingkan dengan perusahaan kecil, perusahaan kecil
cenderung membayar biaya modal sendiri dan biaya hutang jangka
panjang lebih mahal daripada perusahaan besar. Maka perusahaan
kecil lebih menyukai hutang jangka pendek daripada meminjam
hutang jangka panjang, karena biayanya lebih rendah.
Ukuran perusahaan merupakan ukuran atau besarnya asset
yang dimiliki oleh perusahaan (Saidi, 2004). Dalam melakukan
penelitian ini, pengukuran terhadap ukuran perusahaan mengacu pada
41
penelitian Saidi (2004), dan Arli (2010), dimana ukuran perusahaaan
di-proxy dengan nilai logaritma natural dari total asset (natural
logarithm of asset).
Perusahaan yang lebih besar cenderung memiliki sumber
permodalan yang lebih terdiversifikasi sehingga semakin kecil
kemungkinan
untuk
bangkrut
dan
lebih
mampu
memenuhi
kewajibannya, sehingga perusahaan besar cenderung mempunyai
hutang yang lebih besar daripada perusahaan kecil (Rajan dan
Zingales, 1995 dalam Laksmi Indri Hapsari, 2010). Logaritma dari total
assets dijadikan indikator dari ukuran perusahaan karena jika semakin
besar ukuran perusahaan maka asset tetap yang dibutuhkan juga
akan semakin besar.
Besar kecilnya ukuran perusahaan akan berpengaruh terhadap
struktur modal dengan didasarkan pada kenyataan bahwa semakin
besar suatu perusahaan akan mempunyai tingkat pertumbuhan yang
tinggi, sehingga perusahaan tersebut akan lebih berani mengeluarkan
saham baru dan cenderung untuk menggunakan jumlah pinjaman juga
semakin besar, menurut penelitian yang dilakukan para ahli yang
menyatakan bahwa ukuran perusahan mempunyai pengaruh yang
positif, yang berarti kenaikan ukuran perusahaan akan diikuti dengan
kenaikan struktur modal adalah yang dilakukan penelitian Saidi (2004).
Beberapa penelitian yang pernah dilakukan antara lain oleh R.
Agus Sartono (1999), Imam Ghozali dan Hendrajaya (2000),
42
Mutaminah (2003), Saidi (2004) dan Dyah Sih Rahayu (2005)
menemukan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh positif secara
signifikan terhadap struktur modal perusahaan. Semakin besar ukuran
perusahaan
suatu
perusahaan,
maka
kecenderungan
untuk
menggunakan dana eksternal juga akan semakin besar (Rajan dan
Zingales, 1995 dalam Agus Sartono dan Ragil Sriharto, 1999). Hal ini
dikarenakan perusahaan besar memiliki kebutuhan dana yang
besardan salah satu alternatif pemenuhan dananya adalah dengan
menggunakan dana eksternal.
2. Likuiditas (Liquiditas)
Rasio likuiditas adalah rasio yang digunakan untuk mengukur
kemampuan perusahaan didalam membayar hutang jangka pendek
yang
telah
jatuh
tempo.
Perusahaan
yang
dapat
segera
mengembalikan utang-utangnya akan mendapat kepercayaan dari
kreditur untuk menerbitkan utang dalam jumlah yang besar.
Bambang Riyanto (1995) menyatakan bahwa kebutuhan dana
untuk aktiva lancar pada prinsipnya dibiayai dengan kredit jangka
pendek. Sehingga semakin likuid suatu perusahaan, maka semakin
tinggi penggunaan hutangnya. Ozkan (2001) menemukan bahwa ada
hubungan positif antara likuiditas perusahaan dengan leverage. Dalam
penelitian Ozkan, leverage mewakili struktur modal perusahaan.
Likuiditas adalah kemampuan perusahaan untuk memenuhi
kewajiban hutang-hutangnya,
dapat membayar kembali semua
43
deposannya, serta dapat memenuhi permintaan kredit yang diajukan
para debitur tanpa terjadi penangguhan.
Menurut pengertian ini perusahaan dikatakan likuid apabila :
a) Perusahaan tersebut memiliki
cash assets sebesar kebutuhan
yang akan digunakan untuk memenuhi likuiditasnya.
b) Bank tersebut memiliki
tersebut diatas, tetapi
cash assets yang lebih kecil dari yang
yang bersangkutan juga memiliki asset
lainnya (khususnya surat-surat berharga) yang dapat dicairkan
sewaktu-waktu tanpa mengalami penurunan nilai pasarnya
c) Bank tersebut mempunyai kemampuan untuk menciptakan cash
assets baru melalui berbagai bentuk hutang.
Dalam terminologi yang hampir sama, dapat disebutkan bahwa
“likuiditas adalah kemampuan bank untuk menyediakan saldo
kas
dan saldo harta likuid yang lain untuk memenuhi kewajibankewajibannya, khususnya untuk :
a) Menutup jumlah reserves required;
b) Membayar chek, giro berbunga, tabungan dan deposito berjangka
milik nasabah yang diuangkan kembali
c) Menyediakan dana kredit yang diminta
calon
debitur
sehat,
sebagai bukti bahwa mereka tidak menyimpang dari kegiatan
utama bank yaitu pemberian kredit;
d) Menutup berbagai macam kewajiban segera lainnya;
e) Menutup kebutuhan biaya operasional perusahaan.
44
Berdasarkan
pengertian-pengertian
tersebut
diatas
dapat
disimpulkan secara singkat bahwa likuiditas adalah kemampuan suatu
bank atau suatu perusahaan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban
jangka pendeknya. Secara praktis, likuiditas
suatu
bank sering
dikaitkan dengan jumlah dana pihak ketiga yang terdapat
di bank
tersebut pada waktu tertentu. Dalam hal ini, untuk kondisi indonesia,
Pemerintah melalui Bank Sentral menetapkan kewajiban setiap bank
untuk memelihara likuiditas wajib minimum sebesar 5% dari besarnya
kewajiban terhadap pihak ketiga Tingkat Likuiditas merupakan tingkat
kemampuan
perusahaan
dalam
memenuhi
kewajiban
jangka
pendeknya dengan aktiva lancer yang dimiliknya setelah dikurangi
persediaan. Diukur dengan rumus :
Quick Rasio (QR) = Aktiva lancar – Persediaan
Kewajiban Lancar
3. Pertumbuhan Perusahaan (growth)
Perusahaan yang tumbuh dengan pesat harus lebih banyak
mengandalkan modal eksternal. Lebih jauh Iagi, biaya pengembangan
untuk penjualan saham biasa lebih besar daripada biaya untuk
penerbitan surat utang, yang mendorong perusahaan untuk lebih
banyak mengandalkan utang. Namun, pada saat yang sama
perusahaan
yang
tumbuh
dengan
pesat
sering
menghadapi
45
ketidakpastian yang lebih besar, yang cenderung mengurangi
keinginannya untuk menggunakan utang.
Suatu perusahaan yang berada dalam indutri yang mempunyai
laju pertumbuhan yang tinggi harus menyediakan modal yang cukup
untuk membelanjai perusahaan. Perusahaan yang bertumbuh pesat
cenderung lebih banyak menggunakan utang daripada perusahaan
yang bertumbuh secara lambat (Weston and Brigham, 1994). Ozkan
(2001) juga menemukan bahwa jumlah utang yang dikeluarkan oleh
perusahaan berbanding terbalik dengan pertumbuhan. Hasil penelitian
tersebut juga konsisten dengan hasil penelitian oleh Bhaduri (2002)
serta Brailsford (2002).
F.
Penelitian Terdahulu
Penelitian ini juga pernah di angkat sebagai topik penelitian oleh
beberapa peneliti sebelumnya. Maka peneliti juga diharuskan untuk
mempelajari penelitian-penelitian terdahulu atau sebelumnya yang dapat
dijadikan sebagai acuan bagi peneliti dalam melakukan penelitian ini.
Ozkan (2001) menguji hubungan karakteristik khusus perusahaan
yang mempengaruhi struktur modal perusahaan. Variabel yang digunakan
adalah size, growth opportunity, profitabilitas, likuiditas dan non debt tax
shield. Hasil penelitian menyatakan bahwa size, growth opportunity,
profitabilitas, likuiditas dan non debt tax shield berpengaruh negatif
terhadap struktur modal. Sedangkan likuiditas berpengaruh positif
terhadap struktur modal.
46
Penelitian yang dilakukan oleh Laili (2001) mengambil leverage
sebagai variabel terikat. Sedangkan variabel bebasnya adalah fixed asset
ratio, market to book ratio, firm size, corporate tax rate, non-debt tax
shield, profitability, firm age, volatility dan assets uniqueness. Hasil
penelitian yang didapat adalah non-debt tax shield dan volatility tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap leverage perusahaan. market to
book ratio, firm size dan profitability berpengaruh negatif secara signifikan
terhadap leverage perusahaan. Sedangkan variable lainnya mempunyai
pengaruh positif terhadap leverage perusahaan.
Sekar (2001) juga mengambil leverage sebagai variabel terikat.
Tetapi untuk variabel bebasnya adalah pertumbuhan, laba bersih,
perubahan modal kerja, struktur aktiva, ukuran perusahaan dan utang
operasi. Hasil penelitiannya adalah ukuran, laba bersih, struktur aktiva dan
perubahan
modal
kerja
terbukti
secara
signifikan
mempengaruhi
keputusan pendanaan external.
Penelitian yang dilakukan oleh Asih (2006) mengambil Debt to
Equity Ratio (DER) sebagai variabel terikat. Sedangkan variabel bebasnya
adalah Operating Leverage (DOL), Current Ratio (CR), Struktur Aktiva
(STA), Growth, Price Earning Ratio (PER), dan Return on Assets (ROA).
Hasil penelitian yang didapat adalah Struktur Aktiva (STA) tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap Debt to Equity Ratio (DER).
Operating Leverage (DOL) dan Return on Assets (ROA) berpengaruh
negatif secara signifikan terhadap Debt to Equity Ratio (DER). Sedangkan
47
variable lainnya mempunyai pengaruh positif terhadap Debt to Equity
Ratio (DER).
G.
Kerangka Pemikiran
Dalam penelitian ini penulis akan memaparkan kerangka pemikiran
yang digunakan mengetahui pengaruh tiap-tiap variabel bebas (variabel X)
terhadap variabel terikat (variabel Y). Kerangka pemikiran pada penelitian
dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.1
Kerangka Pemikiran
Epsilon ()
Faktor-faktor yang
mempengaruhi
Struktur Modal (X)
-
Kebijakan Struktur
Modal (Y)
Ukuran Perusahaan (firm Size)
Likuiditas (Liquiditas)
Pertumbuhan Perusahaan
(Growth)
Keterangan :
X
= Variabel bebas I (faktor-faktor yang mempengaruhi
struktur modal)
Y
= Variabel terikat (Kebijakan Struktur Modal)
Є
= (Epsilon) Variabel diluar X yang mempengaruhi variabel Y
Download