TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Komunikasi dan Proses Komunikasi Manusia tercipta sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa adanya bantuan dari orang lain, bantuan itu didapatkan melalui sebuah komunikasi antara manusia yang satu dengan lainnya. Dengan adanya komunikasi, maka terciptalah sebuah kehidupan yang saling melengkapi satu sama lain. Istilah komunikasi merupakan terjemahan yang diambil dari bahasa Inggris “communication” yang berasal dari bahasa latin ”communicare” yang berarti berpartisipasi atau memberitahukan dan perkataan ini bersumber pada kata communis yang berarti “sama,” yaitu sama makna mengenai suatu hal. Jadi komunikasi berlangsung apabila antara orang-orang yang terlibat terdapat kesamaan makna mengenai sesuatu hal yang dikomunikasikan (Mulyana, 2005). Merujuk pada proses penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang kepada orang lain, maka yang terlibat di dalam komunikasi adalah manusia. Merujuk pada pengertian Ruben dan Steward (2005) mengenai komunikasi manusia yaitu: “Human communication is the process through which individuals in relationships, groups, organizations, and societies respond to and create messages to adapt to the environment and one another.” Komunikasi manusia adalah proses yang melibatkan individu-individu dalam suatu hubungan, kelompok, organisasi dan masyarakat yang merespons dan menciptakan pesan untuk beradaptasi dengan lingkungan satu sama lain. Komunikasi dalam hal ini dapat berupa tindakan satu arah, bisa pula sebagai interaksi dan komunikasi sebagai transaksi. Sebagai tindakan satu arah, komunikasi mengisyaratkan penyampaian pesan searah dari seseorang (atau suatu lembaga) kepada seseorang (sekelompok orang) lainnya, baik secara langsung (tatap muka) ataupun melalui media, seperti surat (selebaran), surat kabar, majalah, radio, atau televisi. Sementara itu, Rogers dan Shoemaker (1995), mengartikan komunikasi sebagai suatu proses di mana semua partisipan atau pihak-pihak yang berkomunikasi saling menciptakan, membagi, menyampaikan dan bertukar informasi antara satu dengan lainnya dalam rangka mencapai suatu pengertian bersama. Selain itu, Shannon dan Weaver (1949) dalam Wiryanto (2006) menyebutkan bahwa komunikasi adalah bentuk interaksi manusia yang saling mempengaruhi satu sama lain, sengaja atau tidak disengaja dan tidak terbatas pada bentuk komunikasi verbal, tetapi juga dalam hal ekspresi wajah muka, lukisan, seni, dan teknologi. Setiap komunikasi yang dilakukan pasti memiliki tujuan. Oleh karena itu tujuan komunikasi menurut Effendy (2006) ada empat yaitu : (1) mengubah sikap, (2) mengubah opini pendapat atau pandangan, (3) mengubah perilaku, dan (4) mengubah masyarakat. Levis (1996) dalam Wiryanto (2006) merumuskan tujuan komunikasi meliputi: (1) informasi, yaitu untuk memberikan informasi yang menggunakan pendekatan dengan pemikiran, (2) persuasif, yaitu untuk menggugah perasaan penerima, (3) mengubah perilaku, yaitu perubahan sikap terhadap pelaku pembangunan, (4) meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan usaha secara efisien di bidang usaha yang dapat memberi 8 manfaat dalam batas waktu yang tidak tertentu, dan (5) mewujudkan partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan. Liliweri (2004) menyatakan bahwa komunikasi secara otomatis mempunyai fungsi sosial karena proses komunikasi beroperasi dalam konteks sosial yang orang-orangnya berinteraksi satu sama lain. Dengan demikian fungsi komunikasi mengandung aspek: a. Manusia berkomunikasi untuk mempertemukan kebutuhan biologis (makan dan minum) dan psikologis (rasa aman dan kepastian). Kedua kebutuhan tersebut harus seimbang dan melalui komunikasi antarpribadi (interaksi sosial), maka manusia berusaha mencari dan melengkapi kebutuhannya. b. Manusia berkomunikasi untuk memenuhi kewajiban sosial. Setiap orang terikat dalam suatu sistem sosial dan norma yang berlaku dalam masyarakatnya. Misalnya nilai dan norma yang telah mengatur kewajibankewajiban tertentu secara sosial dalam berkomunikasi sebagai suatu keharusan yang tidak dapat dielakkan. c. Manusia berkomunikasi untuk mengembangkan hubungan timbal-balik. Kali pertama ketika berkenalan dengan orang lain bentuk tindakan sosial yang terjadi biasanya adalah interaksi biasa yang terjadi akibat basa-basi pergaulan, baru kemudian meningkat dalam suatu relasi sosial, ekonomi, bisnis di antara mereka, sehingga menghasilkan transaksi yang saling menguntungkan di antara keduanya. Terjadi pertukaran kepentingan tertentu dalam hubungan timbal-balik. d. Manusia berkomunikasi untuk meningkatkan dan merawat mutu komunikas sendiri. Dengan berkomunikasi manusia mampu menilai, melihat mutu komunikasi orang lain dan kemudian mengubah diri sendiri, sehingga dapat berdampak pada usaha untuk merawat kesehatan jiwa. e. Manusia berkomunikasi untuk mengatasi konflik antarmanusia yang tidak dapat dielakkan lagi. Melalui komunikasi konflik dapat dihindari, karena telah terjadi pertukaran pesan dan mungkin saja kesamaan makna mengenai sesuatu makna tertentu. Bagian terpenting dalam komunikasi menurut Rakhmat (2005) ialah bagaimana cara agar suatu pesan yang disampaikan komunikator itu menimbulkan dampak atau efek tertentu pada komunikan. Dampak yang ditimbulkan dapat diklasifikasikan menjadi: a. Dampak kognitif yaitu dampak yang timbul yang menyebabkan menjadi tahu atau meningkatkan intelektualitasnya. b. Dampak afektif yaitu supaya komunikan tergerak hatinya dan menimbulkan perasaan tertentu. c. Dampak konatif yaitu dampak yang timbul dalam bentuk perilaku, tindakan atau kegiatan. Dari pengertian komunikasi yang dikemukakan para ahli di atas dapat dilihat juga proses terjadinya komunikasi. Oleh karena itu, apakah suatu komunikasi dapat berlangsung dengan baik atau tidak tergantung dari proses yang berlangsung. Menurut Rusady (2003), proses komunikasi diartikan sebagai “transfer informasi” atau pesan (message) dari pengirim pesan sebagai komunikator dan kepada penerima pesan sebagai komunikan untuk mencapai saling pengertian (mutual understanding) antara kedua belah pihak. 9 Menurut Effendy (2000) dalam Budiman (2009), proses komunikasi terbagi dua tahap, yaitu : 1. Proses komunikasi secara primer Proses komunikasi secara primer adalah proses penyampaian pikiran dan atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang (simbol) sebagai media. Lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi adalah bahasa, gerakan tangan, atau badan (kial), isyarat, gambar, warna dan lain sebagainya yang secara langsung mampu menerjemahkan pikiran dan atau perasaan komunikator kepada komunikan. 2. Proses komunikasi secara sekunder Proses komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian pesan oleh seorang kepada orang lain dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah menggunakan lambang sebagai media pertama. Seorang komunikator menggunakan media kedua (sekunder) dalam melancarkan komunikasinya karena komunikan sebagai sasarannya berada di tempat yang relatif jauh atau jumlahnya banyak. Surat, telepon rumah, handphone, teleks, radio, film, televisi, dan media internet yang sering digunakan dalam komunikasi secara sekunder. Berdasarkan pernyataan dan definisi tersebut dapat dikemukakan secara umum bahwa komunikasi adalah proses pernyataan antara manusia mengenai isi pikiran dan perasaannya untuk memperoleh persamaan makna. Mengungkapkan isi pikiran dan perasaan tersebut apabila diaplikasikan secara benar dengan etika yang tepat akan memberikan manfaat terhadap individu maupun kelompok. Komunikasi memiliki peranan penting dalam membentuk sikap dan perilaku seseorang. Dengan kata lain, komunikasi menentukan baik buruknya sikap dan perilaku seseorang. Demikian pula komunikasi yang terjadi dalam Posdaya. Dalam Posdaya, komunikasi dilakukan melalui berbagai macam proses komunikasi baik proses komunikasi secara primer maupun sekunder dapat membentuk sikap dan perilaku masyarakat sebagai kader Posdaya. Jika proses komunikasi yang dilakukan efektif maka akan mempengaruhi rasa kepuasan yang kemudian berpengaruh terhadap tingkat keberdayaan kader Posdaya. Jika masyarakat puas, maka dapat meningkatkan kredibilitas pendamping atau pengelola Posdaya. Komunikasi dan Pembangunan Menurut Schramm (1976) dalam Nasution (2002), bahwa untuk meningkatkan kehidupan masyarakat perlu pembangunan. Pembangunan memerlukan keaktifan masyarakat. Supaya masyarakat berpartisipasi, maka pembangunan harus diinformasikan. Oleh karena itu, perlu adanya sarana atau saluran informasi dan pembangunan komunikasi. Pembangunan komunikasi dapat dilakukan melalui suatu perencanaan komunikasi yang dapat mengaktualisasikan pesan pembangunan dengan cara-cara yang dapat mendorong tercapainya tujuan pembangunan (Nasution, 2002). Dalam penelitiannya, Mahmud (2007) menginterpretasikan bahwa dalam konteks pembangunan prasarana pedesaan dan pembangunan wilayah kota, dapat dibuat sebuah model hubungan komunikasi dengan pembagunan sebagai berikut: 10 Kesejahteraan Masyarakat Pembangunan Wilayah/Kota Pembangunan Pedesaan Penyedia Prasarana Informasi Pembangunan Partisipasi Masyarakat Saluran Komunikasi Teknik Komunikasi Komunikasi Pembangunan Gambar 1 Hubungan komunikasi dengan pembangunan (Mahmud, 2007) Dengan demikian komunikasi memiliki peran penting dalam pembangunan yang berorientasi pada rakyat yang dapat mendorong warga terhadap pembangunan. Dengan komunikasi, informasi atau pesan-pesan pembangunan dapat disampaikan melalui komunikasi pembagunan. Komunikasi pembangunan harus selalu diselaraskan dengan keadaan karakteristik komunikasi masyarakat yang melibatkan unsur-unsur komunikasi (komunikator, isi pesan, saluran komunikasi, dan sasaran komunikasi), teknik komunikasi dan saluran komunikasi. Hasil akhir dari komunikasi pembangunan adalah untuk menciptakan partisipasi masyarakat dalam mengisi pembangunan pedesaan atau perkotaan agar dapat meningkatkan kesejahteraan atau taraf hidupnya dengan mengoptimalkan sumber daya manusia dan sumber daya alam sebaik mungkin. Pengertian Komunikasi Pembangunan Effendy (2006) mendefinisikan komunikasi pembangunan (KP) sebagai proses penyebaran pesan oleh seseorang atau sekelompok orang kepada khalayak guna mengubah sikap, pendapat, dan perilakunya dalam rangka meningkatkan kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah. Pada komunikasi pembangunan proses interaksi seluruh warga masyarakat (aparat pemerintah, penyuluh, tokoh masyarakat, LSM, individu atau kelompok/organisasi sosial) ditujukan untuk menumbuhkan kesadaran dan menggerakkan partisipasi melalui proses perubahan terencana demi tercapainya kualitas hidup secara berkesinambungan. Komunikasi pembangunan meliputi peran dan fungsi komunikasi sebagai suatu aktivitas pertukaran pesan secara timbal balik di antara semua pihak yang terlibat dalam usaha pembangunan, terutama antara masyarakat dengan pemerintah, sejak dari proses perencanaan, pelaksanaan dan penilaian terhadap pembangunan. Komunikasi pembangunan juga meliputi upaya, cara dan teknik penyampaian gagasan, serta keterampilan pembangunan yang berasal dari pihak yang memprakarsai pembangunan dan ditujukan kepada masyarakat luas (Nasution, 2002). 11 Menurut Dilla (2007), komunikasi pembangunan sebagai komunikasi yang berisi pesan-pesan (message) pembangunan. Komunikasi pembangunan ini ada pada segala macam tingkatan, dari seorang petani sampai pejabat, pemerintah, dan negara, termasuk juga di dalamnya dapat berbentuk pembicaraan kelompok, musyawarah pada lembaga formal dan nonformal. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa komunikasi pembangunan merupakan suatu inovasi yang diterima oleh masyarakat melalui proses komunikasi. Dalam penelitian ini, yang dimaksud komunikasi pembangunan adalah proses interaksi dan penyebaran informasi secara timbal balik antara pihak-pihak yang terlibat dalam proses pembangunan (pemerintah, masyarakat, dan lembaga kemasyarakatan) sejak tahap perencanaan, pelaksanaan hingga penilaian pembangunan. Komunikasi pembangunan dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran dan partisipasi masyarakat. Komunikasi Penunjang Pembangunan Saleh (2006) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa komunikasi pembangunan yang dilakukan di Indonesia, seperti halnya di banyak negara berkembang sebenarnya bukan komunikasi pembangunan. Menurut Schramm dan Lerner (1976) dalam Saleh (2006) bahwa komunikasi sebagai unsur penting dalam proses pembangunan yang dengan komunikasi diharapkan mampu mengubah sikap, pikiran, serta kepribadian tradisional menjadi modern. Komunikasi bukan merupakan alat untuk diseminasi, tetapi menjadi alat bagi peternak sendiri untuk menentukan saluran komunikasi yang akan digunakannya dan informasi yang akan diambil, seperti halnya program pengembangan sapi potong di desa-desa yang umumnya dilaksanakan dalam situasi dan keadaan mikro berbentuk kampanye dan kaji tindak yang segera diakhiri bila proyek pembangunan telah selesai dilaksanakan (Jayaweera dan Amunugawa, 1989 dalam Saleh, 2006). Oleh karena itu, perlu adanya komunikasi penunjang pembangunan (KPP) dalam pelaksanaan berbagai macam program pembangunan termasuk program-program dalam pemberdayaan masyarakat. Saleh (2006) menjelaskan bahwa pelaksanaan KPP pada dasarnya tidak bertentangan dengan komunikasi pembangunan dan tidak mengubah paradigma pembangunan itu sendiri. Kegagalan komunikasi pembangunan di Indonesia lebih merupakan kegagalan paradigma pembangunan itu sendiri, yaitu paradigma pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pembangunan fisik. Oleh karena itu, kegagalan komunikasi dalam pembangunan di Indonesia merupakan kegagalan komunikasi linier, maka studi-studi komunikasi hendaknya mengacu pada model komunikasi konvergensi yang memandang proses komunikasi bukan secara sepihak dari komunikator kepada penerima (user), melainkan suatu proses berbagi informasi tanpa menunjukkan superioritas salah satu unsur yang terlibat dalam proses komunikasi. Istilah KPP yang dikemukakan oleh Erskine Childers dari United Nations Development Programe (UNDP), sebagai komunikasi yang secara khusus disusun untuk mendukung program-program pembangunan (Jayaweera dan Amunugawa, 1989 dalam Saleh, 2006). Komunikasi Pembangunan lebih besar dibandingkan dengan KPP, seperti halnya KPP yang dapat bekerja dengan efektif pada bidang 12 tertentu (terbatas) walaupun dengan ketidakhadiran komunikasi pembagunan. Tabel 1 berikut memperlihatkan bagaimana komunikasi pembangunan dibedakan dengan komunikasi penunjang pembagunan. Tabel 1 Perbedaan komunikasi pembangunan Komunikasi Pembangunan 1. Secara umum digunakan untuk nasional atau makro. 2. Berfungsi tidak langsung dan samar-samar. 3. Bersifat persuasif dan terbuka. 4. Mengandalkan pengaruh yang kuat dari karakteristik teknologi. 5. Dibatasi teknologi media massa. 6. Bersifat top down dan hierarki. 7. Penelitian banyak masalah, jumlah peubah banyak, kesulitan dalam mengontrol. Secara konsekuen kekurangan penelitian 8. Semakin kehilangan kredibilitas. pembangunan dan komunikasi penunjang Komunikasi Penunjang Pembangunan 1. Secara umum digunakan untuk lokal atau mikro. 2. Berfungsi langsung sesuai dengan efek dan tujuan. 3. Dibatasi waktu dan mengambil bentuk kelompok. 4. Berorientasi pesan. Secara teliti menunjukkan kepuasan. 5. Menggunakan semua budaya media. 6. Selalu interaksi dan partisipasi. 7. Penelitian mudah, peubah dapat diisolasi, dikontrol dan diukur. Secara konsekuen masih ada penelitian. 8. Kredibilitas sangat besar. Diadopsi oleh seluruh agen pembangunan nasional dan internasional. Sumber: Saleh, 2006 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa komunikasi penunjang pembangunan (communication supporting development) merupakan sebuah komunikasi yang berkembang sesuai dengan perkembangan wilayah (bersifat lokal atau mikro) yang dilandasi proses interaksi dan partisipasi masyarakat dengan tujuan untuk menyampaikan pesan-pesan pembangunan atau memasyarakatkan program-program pembangunan melalui forum dialog akar rumput (grass roots), budaya media, berbagi pengetahuan (knowledge sharing), dan melalui komunikator. Dialog akar rumput (grass roots dialogue) didasarkan atas kaidah partisipasi untuk mempertemukan sumber dan agen perubahan langsung dengan masyarakat. Dalam penelitian ini, komunikasi penunjang pembangunan memiliki peranan dan kredibilitas yang sangat besar dalam memajukan kelompok Posdaya baik di Kota maupun Kabupaten Bogor agar tercapai perbaikan mutu hidup segenap warga masyarakat melalui proses perubahan dalam berbagai aspek kehidupan yang mencakup pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan lingkungan. Oleh karena itu, pesan komunikasi yang harus dikomunikasikan di dalam proses komunikasi penunjang pembangunan haruslah sesuai dengan tujuan memberdayakan dan menyejahterakan masyarakat serta mendorong berlangsungnya perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik lagi, sekaligus memiliki sifat inovatif dalam pembangunan. 13 Komunikasi Penunjang Pembangunan dalam Pemberdayaan Masyarakat Proses pemberdayaan tidak dapat berjalan jika tidak didukung komunikasi yang baik dan efektif. Lubis (2009) menjelaskan secara sederhana bahwa komunikasi berperan untuk memfasilitasi penemuan (invention) dan menyebarkan inovasi ke sistem sosial yang lebih luas dan komunikasi sangat bermanfaat untuk pembangunan. Pada saat pemerintah Indonesia melakukan pembangunan yang sentralistik, bergantung pada pemerintah pusat, pendekatan pembangunan yang dipakai adalah bersifat (top down) dan masyarakat mengikuti apa yang dianjurkan dari atas. Komunikasi pembangunan bertujuan untuk membujuk masyarakat, agar mengikuti apa yang dikatakan pemerintah. Model komunikasi yang dipakai untuk keperluan ini adalah model linier. Saat ini, pembangunan banyak mempergunakan pendekatan partisipatif yang melibatkan seluruh warga dalam proses penunjang pembangunan, yaitu sejak tahap perencanaan, pelaksanaan, evaluasi sampai ke tahap menikmati hasil pembangunan. Pada pendekatan ini, proses komunikasi penunjang pembangunan memegang peranan yang sangat penting dalam menumbuhkan partisipasi masyarakat. Dalam hal ini pendekatan komunikasi yang dipakai untuk pembangunan adalah model komunikasi konvergensi dengan pendekatan partisipasi masyarakat. Model komunikasi yang dibutuhkan adalah model yang memungkinkan adanya pertukaran informasi antarkomponen dalam proses komunikasi dengan banyak dimensi. Pendekatan ini sering disebut dengan model partisipasi (participatory model) atau model interaktif (interactive model). Komunikasi dua arah adalah model komunikasi interaksional, merupakan kelanjutan dari pendekatan linier. Pada model ini terjadi komunikasi umpan balik (feedback) gagasan. Ada pengirim (sender) yang mengirimkan informasi dan ada penerima (receiver) yang melakukan seleksi, interpretasi, dan memberikan respons balik terhadap pesan dari pengirim (sender). Dengan demikian, komunikasi berlangsung dalam proses dua arah (two way communication) maupun proses peredaran atau perputaran arah (cyclical process). Setiap partisipan memiliki peran ganda, pada satu waktu bertindak sebagai sender, sedangkan pada waktu lain berlaku sebagai receiver, terus seperti itu sebaliknya (Bungin, 2009). Dalam komunikasi dua arah bukan hanya pesan yang diperhatikan tetapi juga arusnya yang dua arah. Jika pesan yang dipentingkan, maka yang keluar hanya perintah, pengarahan atau petunjuk yang tanpa diskusi atau komunikasi sekalipun. Komunikasi diutamakan berbentuk komunikasi dua arah, di mana alternatif pendapat, saran dan cara pemecahan yang timbul dari keinginan bersama. Menurut Freire (1984) dalam Waskita (2005), proses komunikasi dua arah yang berkelanjutan sehingga menemukan suatu pemahaman dan pengertian yang membentuk suatu kesadaran. Proses komunikasi tersebut sering disebut sebagai model komunikasi konvergensi. Dalam konteks pembangunan, model komunikasi penunjang pembangunan dapat digambarkan seperti pada Gambar 2. 14 L1 L2 P K K M A S Y A R A K A T Keterangan: L1 = Lembaga atau instansi pemerintah L2 = Lembaga pengelola pemberdayaan P = Pemberdayaan masyarakat K = Komunikasi dua arah Gambar 2 Model komunikasi penunjang pembangunan untuk pemberdayaan (Waskita, 2005) Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada pemberdayaan masyarakat, komunikasi penunjang pembangunan merupakan alat atau jalan mencapai partisipasi masyarakat dan juga merancang pesan pembangunan yang diperlukan dalam proses perubahan perilaku masyarakat yaitu memiliki pengetahuan, sikap, dan tindakan untuk berperilaku menerapkan pesan-pesan pembangunan (ide-ide atau teknologi) yang terpilih guna mencapai perbaikan mutu hidup yang diharapkan melalui komunikasi dua arah yang berlangsung terus menerus hingga tercapai kesamaan makna pesan. Komunikasi penunjang pembangunan dalam program Posdaya di Kota dan Kabupaten Bogor merupakan desain pesan komunikasi yang dapat menciptakan keberdayaan, peningkatan kesadaran partisipasi pembangunan dengan melakukan pendekatan persuasif melibatkan peran serta kader Posdaya, tokoh masyarakat, aparat pemerintah/penyuluh, menciptakan suasana komunikasi yang dapat mendorong kader Posdaya berani mengeluarkan pendapat atau ide pembangunan dan memanfaatkan saluran komunikasi penunjang pembangunan yang berfungsi sebagai saluran pesan yang akrab serta mampu mengembangkan komunikasi partisipatoris dalam setiap program Posdaya. Karakteristik Individu sebagai Pelaku Komunikasi Penerapan model komunikasi pembangunan apa pun tidak akan efektif apabila tidak disesuaikan dengan berbagai ragam karakteristik masyarakat yang menjadi sasaran kegiatan komunikasi. Peserta program Posdaya memiliki karakteristik tersendiri yang membedakan dengan kelompok-kelompok masyarakat lainnya. Identifikasi karakteristik kader Posdaya sebagai pelaku komunikasi akan sangat bermanfaat dalam menentukan serangkaian kegiatan 15 komunikasi yang sesuai dengan kondisi masyarakat, terutama dalam mengenali kelompok-kelompok potensial dalam melakukan langkah-langkah perubahan melalui pemberdayaan masyarakat. Merujuk teori Nasution (2002) bahwa usaha pembangunan ditandai adanya sejumlah orang yang mempelopori, menggerakkan dan menyebarluaskan proses perubahan. Penelitian Mahmud (2007) menyebutkan ada beberapa indikator kecenderungan ke arah perubahan yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk mengidentifikasi karakteristik pelaku komunikasi yaitu: 1) aspek pendidikan, meliputi indikator tingkat pendidikan formal dan nonformal; 2) aspek mobilitas, meliputi indikator tempat kerja dan tingkat keseringan ke luar kota; 3) aspek akses media, meliputi indikator kepemilikan media massa, muatan media yang disukai, terpaan informasi; 4) aspek keorganisasian, dilihat dari indikator keikutsertaan dalam organisasi masyarakat; dan 5) aspek pendapatan yang dilihat dari indikator penghasilan rata-rata tiap bulan. Menurut Far-Far (2011), karakteristik individu merupakan salah satu faktor penting untuk diketahui dalam rangka mengetahui kecenderungan perilaku seseorang atau masyarakat dalam kehidupannya. Kemampuan atau potensi yang dimiliki petani dapat dipelajari melalui karakteristik yang melekat pada diri petani itu sendiri. Karakteristik individu tersebut meliputi: umur, pendidikan, pendapatan, pengalaman dan luas lahan petani merupakan karakteristik yang berhubungan nyata dan sangat nyata dengan perilaku komunikasi interpersonal. Hubungan tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi umur, pendidikan, pendapatan dan luas lahan yang dimiliki petani, cenderung komunikasi interpersonal semakin tinggi dan baik. Hasil penelitian Utami (2007) menyimpulkan bahwa beberapa aspek karakteristik individu yang memiliki pengaruh besar terhadap perilaku wirausaha dan tingkat kemandirian adalah pendidikan, motivasi berusaha, dan aspek gender melalui intensitas komunikasi dan pemenuhan kebutuhan. Penelitian Prihandoko et al. (2012) menyebutkan salah satu profil nelayan adalah tingkat pendidikan (pendidikan formal dan nonformal). Minimnya tingkat capaian nelayan terhadap akses pendidikan formal ternyata tidak berbeda dengan kondisi nelayan ketika mereka mengakses jenis pendidikan nonformal seperti dalam bentuk kursus, magang atau pelatihan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa untuk dapat melakukan aktivitas komunikasi, seseorang mempunyai karakteristik tertentu. Sehubungan dengan penelitian ini, karakteristik individu kader Posdaya yang akan diamati adalah umur, pendidikan (formal maupun nonformal), pengalaman menjadi kader Posdaya, tingkat kekosmopolitan, tingkat pendapatan, motivasi dan kepemilikan media massa. 1) Umur Umur atau usia merupakan rentang kehidupan yang diukur dengan tahun. Siahaan (2002), menyatakan bahwa pertambahan usia akan menimbulkan tindakan (konatif) untuk mengelola sistem usaha tani supaya lebih baik dan berupaya mendapatkan informasi-informasi baru (pengetahuan berupa inovasi). Hasil penelitian Nurmalia dan Lumintang (2006) menyatakan umur yang produktif mempengaruhi kemampuan dalam melakukan kegiatan usaha pengolahan ikan asin. Berbeda dengan penelitian Aprolita et al. (2008) yang 16 menyatakan umur tidak mempengaruhi kemandirian responden dalam kegiatan usaha budidaya ikan patin, baik pada aspek pengelolaan modal, proses produksi, maupun pemasaran. Pada lokasi penelitian, umur pembudidaya tidaklah menjadi aspek penghalang pembudidaya dalam kemandirian usaha budidaya ikan patin, di mana usia muda, sedang, dan tua masing-masing memiliki kemandirian yang sama dalam melakukan usaha budidaya ikan patin. Berdasarkan pendapat tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa umur dalam penelitian ini adalah rentang kehidupan yang dijalani oleh kader Posdaya sampai dengan waktu penelitian, yang dinyatakan dalam tahun. Umur kader Posdaya diharapkan mempengaruhi kader Posdaya dalam melaksanakan aktivitas komunikasi dan dalam konteks pemberdayaan, umur mempunyai pengaruh positif terhadap tingkat keberdayaan. 2) Pendidikan Menurut Sudjana (2004) sistem pendidikan nasional Indonesia terdiri dari subsistem pendidikan formal yang berlangsung di sekolah, subsistem pendidikan informal yang berlangsung di dalam keluarga dan lingkungannya, dan subsistem pendidikan nonformal yang berlangsung secara opsional dapat di mana saja. Pendidikan nonformal adalah setiap kegiatan terorganisasi dan sistematis, di luar sistem sekolah yang mapan, dilakukan secara mandiri atau merupakan bagian penting dari kegiatan yang lebih luas, yang sengaja dilakukan untuk melayani peserta didik tertentu di dalam mencapai tujuan belajarnya. Pendidikan nonformal tersebut mempunyai beragam nama misalnya kursus, pelatihan, penataran, upgrading, bimbingan belajar, dan tutorial. Menurut Suyono (2006), pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Fungsi pendidikan adalah untuk mengembangkan kemampuan, kualitas individu, meningkatkan mutu kehidupan, dan martabat manusia serta membebaskan manusia dari belenggu kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, dan penindasan. Pendidikan, baik formal maupun nonformal adalah sarana untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan. Pada umumnya seseorang yang berpendidikan lebih baik dan berpengetahuan teknis yang lebih banyak akan lebih mudah dan lebih mampu berkomunikasi dengan baik. Semakin tinggi pendidikan formal akan semakin tinggi pula kemampuannya untuk menerima, menyaring, dan menerapkan inovasi yang dikenalkan kepadanya. Rogers (2003) menyatakan bahwa orang yang mengadopsi inovasi lebih awal dalam proses difusi, cenderung lebih berpendidikan. Pendidikan menggambarkan tingkat kemampuan kognitif dan derajat ilmu pengetahuan yang dimiliki seseorang. Dalam hal keberdayaan, Suyono (2006) menjelaskan bahwa ada hubungan kausal antara tingkat pendidikan dengan keberdayaan. Keberdayaan hanya dapat dicapai oleh individu atau masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan memadai (well educated). Bagi masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan yang memadai, jalan menuju keberdayaan lebih terbuka lebar ketimbang mereka yang tidak berpendidikan. Hasil penelitian Herawati dan Pulungan (2006) menyatakan bahwa pendidikan formal responden dalam penelitian ini cukup bervariasi mulai dari 17 yang mengikuti Sekolah Dasar sampai yang mengikuti pendidikan di perguruan tinggi. Hasil penelitian menunjukkan semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin tinggi pula partisipasinya dalam mengajukan saran. Hasil penelitian Purnaningsih dan Sugihen (2008) menunjukkan peubah tingkat pendidikan secara positif berpengaruh nyata terhadap model kinerja petani dalam hal penggunaan teknologi produksi, dan penggunaan pestisida tepat guna. Semakin tinggi pendidikan petani, kinerjanya semakin baik. Dengan memiliki tingkat pendidikan tertentu baik itu pendidikan formal ataupun nonformal, maka seseorang akan meningkat pengetahuannya, sikapnya, dan keterampilannya. 3) Pengalaman Menurut Gagne dalam Wardhani (1994), pengalaman adalah akumulasi dari proses belajar mengajar yang dialami oleh seseorang. Kecenderungan seseorang untuk berbuat tergantung dari pengalamannya, karena menentukan minat dan kebutuhan yang dirasakan. Hasil penelitian Murtiyeni (2002) menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pengalaman berusaha ternak sapi perah, semakin tinggi pula respons responden pada saluran interpersonal. Pengalaman berkelompok perlu dijadikan salah satu pertimbangan, karena menentukan mudah tidaknya bagi kader Posdaya untuk menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan biofisik, sosial, ekonomi, dan teknologi. Pengalaman memiliki kontribusi terhadap perkembangan skill, kemampuan, dan kompetensi yang memiliki fungsi untuk menggerakkan ide-ide dalam pengembangan Posdaya. Untuk dapat mempunyai tanggapan dan penghayatan, seseorang harus mempunyai pengalaman yang berkaitan dengan obyek psikologis. Sehubungan dengan itu, Azwar (2003) mengatakan bahwa tidak adanya pengalaman sama sekali dengan suatu obyek psikologis cenderung akan membentuk sikap negatif terhadap obyek tersebut. Menurut Bird (2001), pembelajaran yang diperoleh dari pengalaman memberikan kemampuan (ability) bagi seseorang untuk: 1) belajar dari pengalaman yang berasal dari kegagalan dan keberhasilan; 2) merefleksikan pengalaman dengan melibatkan ego, emosi, dan asumsi untuk melihat apa yang akan terjadi; 3) mengabstraksi pengalaman yang dialami dan menghubungkan dengan pengalaman orang lain, kemudian membuat prediksi apa yang akan dilakukan; 4) mencoba sesuatu yang baru pada masa yang akan datang. Pengalaman yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengalaman menjadi kader Posdaya yaitu akumulasi keikutsertaan kader Posdaya dalam menduduki posisi sebagai kader Posdaya baik sebagai koordinator, sekretaris, bendahara, kader Posdaya bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan kader Posdaya bidang lingkungan. Pengalaman ini menjadi faktor penting bagi keberlangsungan aktivitas komunikasi dan tingkat keberdayaan kader Posdaya. 4) Tingkat kekosmopolitan Menurut Mardikanto (1996) sifat kekosmopolitan adalah tingkat hubungannya dengan dunia luar di luar sistem sosialnya sendiri. Sifat kekosmopolitan dicirikan oleh frekuensi dan jarak perjalanan yang dilakukan, serta pemanfaatan media massa. Tomatala (2008) mengemukakan bahwa orang yang sifat kekosmopolitan tinggi biasanya mencari informasi dari sumber di luar lingkungannya. Sebaliknya, orang yang sifat kekosmopolitannya rendah 18 cenderung mempunyai ketergantungan yang tinggi pada tetangga atau temanteman dalam lingkungan yang sama lalu mengandalkannya sebagai sumber informasi. Seseorang yang mempunyai pergaulan luas dan mempunyai kecepatan pencarian informasi yang diperlukan dapat diartikan mempunyai kekosmopolitan tinggi. Hasil penelitian Herawati dan Pulungan (2006) menyatakan bahwa dalam tingkat kekosmopolitan kontak tani, pengalaman berkunjung ke daerah lain dan melihat kemajuan yang sudah dicapai oleh petani lain baik sebagai utusan dari Unit Penyuluhan Pertanian (UPP) maupun dengan kunjungan yang bersifat pribadi dapat menambah perbendaharaan pengetahuan dan keterampilan tentang usaha tani, merangsang diri dan kelompok agar lebih dinamis, dan menimbulkan semangat kerja untuk meningkatkan produktivitas. Hal ini membuat kontak tani lebih banyak mengajukan saran atau usul dalam pembahasan programa. Kunjungan dan interaksi dapat mempengaruhi sikap dan mental kontak tani yang biasanya akan lebih cepat menyambut dan berpartisipasi pada setiap usaha yang bertujuan memperbaiki atau membangun usaha pertanian masyarakat. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka tingkat kekosmopolitan dalam penelitian ini adalah keterbukaan seorang kader Posdaya melalui kunjungan ke daerah lain untuk mendapatkan berbagai sumber informasi. Tingkat kekosmopolitan individu dicirikan oleh sejumlah atribut yang membedakan kader Posdaya dari orang-orang lain di dalam kelompoknya, yaitu banyak berhubungan dengan pihak luar, memiliki hubungan lebih banyak dengan orang lain maupun lembaga yang berada di luar komunitasnya yang ditunjukkan dengan frekuensi kunjungan kader Posdaya ke sumber informasi dalam rangka pencarian informasi yang ada kaitannya dengan program Posdaya. 5) Tingkat Pendapatan Tingkat pendapatan adalah jenjang penerimaan yang diperoleh oleh tiap individu sebagai balas jasa atau imbalan yang diperoleh dari kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh individu-individu. Sinaga (2007) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa tingkat pendapatan keluarga adalah seluruh penerimaan yang diterima keluarga yang didapatkan dari penghasilan per bulan. Penelitian Suhartini et al. (2009) menjelaskan bahwa pendapatan masyarakat bersumber dari berbagai aktivitas usaha pertanian (on farm), usaha di luar pertanian (off farm), dan usaha di luar sektor pertanian (nonfarm). Usaha pertanian on farm meliputi bertani padi, palawija, hortikultura, peternakan, dan perkebunan. Usaha pertanian off farm seperti menjadi buruh tani. Usaha nonfarm meliputi usaha di luar pertanian seperti karyawan di perusahaan/industri, pertukangan, transportasi, PNS/TNI/POLRI, buruh bangunan, dagang, dan sebagainya. Penduduk pedesaan yang pada umumnya bekerja di sektor pertanian ternyata memiliki sumber pendapatan yang beragam. Nurmanaf (1988) dalam Suhartini et al. (2009) mendapatkan bahwa di pedesaan Sumatera Barat hanya 319 persen rumah tangga yang mempunyai satu sumber pendapatan dan sebagian besar memiliki dua atau lebih sumber pendapatan. Sementara itu sebaran pendapatan rumah tangga bervariasi antar daerah dan antar tahun. Dengan demikian tingkat pendapatan dalam penelitian ini adalah jenjang penerimaan atau penghasilan yang diperoleh kader Posdaya berupa uang untuk jangka waktu tertentu (setiap bulan) melalui usaha pertanian, usaha di luar 19 pertanian dan usaha di luar sektor pertanian. Tingkat pendapatan merupakan aspek penting untuk menggambarkan karakteristik kader Posdaya, karena pendapatan sangat berpengaruh terhadap aspek-aspek yang lain. Dengan pendapatan yang memadai seseorang akan lebih memiliki peluang untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi, memilih media massa yang diinginkan, dan melakukan aktivitas-aktivitas yang lain. 6) Motivasi Setiap aktivitas manusia selalu berhubungan dengan adanya dorongan, alasan ataupun kemauan. Begitu pula kehendak untuk menjalin dan membina hubungan interpersonal, juga dilandasi oleh adanya dorongan tertentu yang disebut motivasi. Secara etimologis, motivasi berasal dari bahasa Latin yaitu ”motif” yang berarti alasan dasar, pikiran dasar, dorongan bagi seseorang untuk berbuat atau ide pokok yang selalu berpengaruh terhadap tingkah laku manusia (Kartono, 1988 dalam Sitompul, 2009). Motivasi merupakan proses psikologis yang mencerminkan interaksi antara sikap, kebutuhan, persepsi dan keputusan pada seseorang yang timbul karena adanya faktor intrinsik dan ekstrinsik (Wahyusumidjo, 1984 dalam Sitompul, 2009). Penelitian Siswanto (2011) menyebutkan bahwa motivasi adalah suatu keadaan dalam pribadi yang mendorong keinginan individu untuk melakukan keinginan tertentu guna mencapai tujuan. Lebih tegas lagi Schiffman dan Kanuk (2000) dalam Siswanto (2011) menyatakan bahwa motivasi merupakan kekuatan penggerak dalam diri seseorang yang memaksanya untuk bertindak. Penelitian Saleh (2010) menyimpulkan bahwa motivasi berhubungan nyata dengan tingkat penerapan teknologi produksi kakao. Semakin tinggi motivasi petani semakin tinggi tingkat penerapan teknologi produksi kakao. Dalam penelitiannya, Saleh (2010) membagi motivasi menjadi dua yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik yang dimaksud: memenuhi kebutuhan, menjalin pergaulan, merasa dihargai, bersemangat, menyenangkan dalam bekerja dan kemauan sendiri. Selain itu, motivasi ekstrinsik di antaranya: mengutamakan mutu produk, bekerja efektif, tingginya harga produk, tidak merugikan, bekerja efisien, anjuran orang lain. Dalam penelitian Wahyuningsih (2011), yang dimaksud dengan motivasi adalah keinginan atau dorongan masyarakat yang menggunakan telepon seluler sebagai media komunikasi. Hasil penelitian Maksum et al. (2008) menyimpulkan bahwa responden memiliki motivasi tinggi terhadap akses informasi dan kemampuan berkomunikasi untuk mengekspresikan kebutuhan informasi mereka melalui pendekatan personal, kelompok maupun massa. Dari uraian tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa motivasi adalah daya pendorong yang menyebabkan seseorang berbuat sesuatu guna mencapai tujuan yang diinginkannya. Tujuan tersebut adalah terpenuhinya kebutuhan yang dirasakan. Dalam konteks aktivitas komunikasi kader Posdaya, motivasi merupakan salah satu faktor yang mendorong kader Posdaya untuk memenuhi kebutuhan berkomunikasi dengan menggunakan media cetak, media elektronik dan media lainnya. Pada konteks kelompok Posdaya, motivasi dalam penelitian ini adalah dorongan yang muncul dari dalam diri kader Posdaya sebagai motivasi intrinsik dan berasal dari luar atau lingkungan sebagai motivasi ekstrinsik. 20 7) Kepemilikan Media Massa Kepemilikan media (media ownership) mempunyai arti penting untuk melihat peran, ideologi, konten media dan efek yang ditimbulkan media kepada masyarakat. Baik di tingkat nasional maupun internasional, ada tendensi yang mengarah pada konsentrasi kepemilikan media massa oleh masyarakat. Menurut Saleh (2006), kepemilikan media massa kelompok peternak terdiri dari radio, televisi, telepon rumah, handphone (hp), berlangganan koran, dan majalah. Hasil penelitiannya, Saleh (2006) menyatakan bahwa media massa yang hampir dimiliki semua peternak ialah televisi (87 persen) dan radio (76 persen), media massa lainnya dengan kepemilikan yang masih kecil antara lain: handphone (8 persen), telepon dan koran (masing-masing 6 persen) dan majalah (hampir 5 persen). Dengan demikian, kepemilikan media massa dalam penelitian ini adalah segala bentuk media massa (media cetak, media elektronik dan media terbaru) yang dipunyai atau dimiliki oleh kader Posdaya. Kepemilikan media massa ini sangat berpengaruh terhadap aktivitas komunikasi yang dilakukan oleh kader Posdaya yang mendorong pada tingkat keberdayaan maupun kemandirian sebagai kader Posdaya. Lingkungan Pendukung Aktivitas Komunikasi Lingkungan pendukung aktivitas komunikasi disebut juga sebagai faktor situasional atau faktor lingkungan. Faktor ini mempengaruhi aktivitas komunikasi seseorang sebagai cerminan dari perilaku. Faktor situasional merupakan aspek yang berasal dari luar pribadi yang berpengaruh terhadap perilaku. Samson dalam Rakhmat (2005) membagi faktor situasional ke dalam tiga kelompok yaitu: 1) aspek obyektif dari lingkungan seperti geografis, iklim, sosial, temporal, suasana perilaku; 2) lingkungan psikososial seperti iklim organisasi/kelompok; 3) stimuli yang mendorong dan memperteguh perilaku seperti orang lain. Lingkungan psikososial yang dikaji dalam penelitian ini adalah iklim organisasi atau kelompok yang terjadi dan dalam hal ini adalah dinamika kelompok Posdaya serta stimuli yang mendorong dan memperteguh perilaku adalah peran pendamping Posdaya dengan berbagai macam cara atau metode yang dilakukan dalam pendampingan atau pembinaan Posdaya. Dengan kedua faktor lingkungan dinamika kelompok dan peran pendamping tersebut, diharapkan dapat meningkatkan aktivitas komunikasi yang mendorong terjadinya keberdayaan kader Posdaya. 1) Dinamika Kelompok Dinamika kelompok memiliki nilai kekuatan atau gerak yang terdapat di dalam kelompok yang menentukan perilaku kelompok dan anggotanya, dalam pencapaian tujuan. Kekuatan-kekuatan tersebut ditinjau dari pendekatan psikologi sosial, seperti dikemukakan Margono (2001) dalam Widarjanto dan Nurmawati (2011) berasal dari unsur-unsur: a) Tujuan kelompok, yaitu perwujudan hasil yang diharapkan akan dicapai oleh kelompok, sehingga diperlukan berbagai usaha untuk mencapainya. 21 b) Struktur kelompok merupakan bentuk hubungan antara individu-individu dalam kelompok dan pengaturan peranan yang disesuaikan dengan tujuan kelompok. c) Fungsi tugas merupakan kegiatan yang harus dilakukan kelompok untuk mencapai tujuan kelompok yang telah disepakati. Keberhasilan pencapaian fungsi tugas dapat ditelusuri dari kepuasan, informasi, koordinasi, prakarsa, dan penyebaran. d) Pengembangan dan penyuluhan kelompok. Unsur ini adalah usaha-usaha yang berorientasi pada pengembangan dan pemantapan kehidupan kelompok. Eksistensi dari situasi ini dapat diamati dari beberapa hal yaitu partisipasi, fasilitas, komunikasi, dan penambahan anggota. e) Kekompakan kelompok. Unsur ini merupakan kesatuan kelompok yang dicirikan oleh keterikatan yang kuat di antara anggota dan sekaligus menggambarkan kekuatan kelompok untuk bertahan dari tekanan yang berasal dari dalam dan dari luar kelompok. f) Suasana kelompok adalah perasaan-perasaan yang ada pada anggota kelompok secara umum. Dalam kaitannya dengan dinamika kelompok, perasaan-perasaan ini dapat berupa suasana kelompok yang hangat, saling menghargai dan setiakawan. g) Tekanan kelompok, merupakan suatu stimuli yang menyebabkan kelompok bereaksi dan tidak statis. Berdasarkan sumbernya tekanan tersebut dapat berasal dari dalam maupun dari luar. h) Keberhasilan kelompok. Keberhasilan kelompok dapat dilihat dari: (1) pencapaian tujuan kelompok yang dilihat dari segi produktivitas, moral, dan kepuasan anggota; (2) suasana kelompok; dan (3) rasa puas anggota menjadi bagian dari kelompok. Hubungan kelompok dengan aktivitas komunikasi harus dapat memberikan kesempatan kepada anggota-anggotanya untuk berinisiatif memberikan gagasan dan pemikiran, serta mengolah menjadi tindakan nyata. Dengan demikian dinamika kelompok dalam penelitian ini adalah kondisi kelompok yang dapat mempengaruhi aktivitas komunikasi dalam kelompok. Dinamika kelompok dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan parameter dari items level tujuan, pengembangan dan penyuluhan kelompok, suasana, serta fungsi tugas. 2) Peran Pendamping Upaya untuk mempercepat proses perbaikan dalam pemberdayaan masyarakat diperlukan seorang pendamping. Karsidi (2002) mengungkapkan bahwa dalam pemberdayaan, seorang pendamping harus mampu belajar dari masyarakat; pendamping adalah fasilitator, bukan guru dan tidak menggurui; saling belajar, saling berbagi pengalaman mengandung makna pengakuan akan pengalaman dan pengetahuan tradisional masyarakat (adanya pengakuan). Menurut Asngari (2001), pendamping “sebagai agen pembaharuan dapat berperan sebagai juru penerang (pemberi informasi), guru, penasihat, pembimbing, konsultan, dan pengarah dalam kaitan dengan bisnis klien baik bisnis on farm maupun bisnis off farm serta wawasan pembaharuan dan modernisasi. Tenaga pendamping menurut Jamasy (2004), setidaknya harus 22 mempunyai empat sifat, yakni: (1) harus memiliki keterampilan dalam menyesaikan masalah (problem solving), (2) harus memiliki kepedulian dan keberpihakan kepada masyarakat yang diberdayakan (sense of community), (3) harus mempunyai visi (sense of mission), dan (4) harus memiliki kejujuran kepada diri sendiri dan kepada orang lain (honesty with others and with self). Peran pendamping dalam upaya meningkatkan partisipasi dan keberdayaan kelompok Posdaya sangat urgent untuk dilakukan. Peran pendamping sebagai salah satu alternatif pemberdayaan yang dilaksanakan untuk meningkatkan kemampuan dan meningkatkan kegiatan kelompok, agar dalam pelaksanaan kegiatan kelompok berjalan lebih efektif dan dapat diterima oleh anggota kelompok yang didampingi atau yang diberdayakan baik sebagai fasilitator, komunikator, mediator, ataupun dinamisator serta membantu mencari cara pemecahan masalah yang tidak dapat dilakukan oleh masyarakat sendiri. Dengan demikian peran pendamping yang dimaksud dalam penelitian ini adalah peran dari seorang agen pembaharu (pendamping Posdaya) yang terampil, peduli dan jujur serta mampu bekerja sama karena mempunyai kesamaan aspirasi dan kegiatan bersama, di mana hubungan di antaranya akrab dan mampu berkomunikasi dengan masyarakat atau anggota kelompok Posdaya baik sebagai fasilitator, komunikator maupun mediator. Aktivitas Komunikasi Segala sesuatu yang dilakukan atau kegiatan-kegiatan yang terjadi baik fisik maupun nonfisik, merupakan suatu aktivitas. Aktivitas juga diartikan segala kegiatan yang dilaksanakan baik secara jasmani atau rohani (Rosalia, 2005). Aktivitas komunikasi adalah proses dalam berkomunikasi yang merupakan semua kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk memperoleh informasi. Heath dan Bryant (2000) dalam Poentarie (2009) membagi dua cara manusia berkomunikasi yaitu komunikasi langsung (direct communication) dan komunikasi yang termediasi (mediated communication/indirect communication). Dalam penelitiannya, Poentarie (2009) menyebut komunikasi langsung dengan istilah komunikasi nonmedia yaitu komunikasi yang dilakukan secara langsung tatap muka (face to face) atau komunikasi interpersonal. Menurut Far-Far (2011), komunikasi antara sesama petani mendominasi aktivitas komunikasi sehari-hari. Aktivitas komunikasi petani ditunjukkan dengan adanya frekuensi komunikasi interpersonal melalui kontak dengan sesama petani, kontak dengan Petugas Penyuluh Lapangan (PPL), kontak dengan peneliti, kontak dengan tokoh masyarakat, dan kontak dengan sesama petani dalam kelompok. Lumban (2005) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa aktivitas komunikasi merupakan aksesibilitas responden berkomunikasi dengan orang atau sumber lain melalui intensitas komunikasi interpersonal, partisipasi dalam kelompok, dan frekuensi komunikasi melalui media massa. Berdasarkan definisi aktivitas komunikasi di atas, dapat dinyatakan bahwa aktivitas komunikasi dalam penelitian ini adalah tindakan atau respons seseorang terhadap sumber dan pesan. Pada kebanyakan orang, aktivitas komunikasi dapat diamati melalui kebiasaan mereka berkomunikasi. Aktivitas yang dilakukan kader Posdaya dalam usaha memperoleh informasi sebagai bahan pertimbangan untuk 23 mengambil keputusan dan mengadopsi berbagai macam pelaksanaan dan penyelenggaraan Posdaya. Aktivitas komunikasi yang dilakukan seseorang atau kelompok akan menentukan efektivitas komunikasi. Dalam penelitian ini, aktivitas komunikasi yang terjadi pada Posdaya meliputi frekuensi dan intensitas kontak interpersonal (kontak kader dengan pendamping, kontak kader dengan aparat pemerintah/penyuluh, kontak kader dengan tokoh masyarakat, kontak kader dengan anggota Posdaya), frekuensi dan durasi penggunaan media, serta aktivitas komunikasi di dalam kelompok yang meliputi; frekuensi, intensitas komunikasi dalam kelompok dan partisipasi kader dalam kegiatan Posdaya. Komunikasi Interpersonal Menurut Tubbs dan Moss (2005), komunikasi interpersonal atau komunikasi antarpribadi disebut juga komunikasi insani (human communication) yang diartikan sebagai proses pembentukan makna di antara dua orang atau lebih. Peristiwa komunikasi dua orang mencakup hampir semua komunikasi informasi dan basa-basi, percakapan sehari-hari, mencakup hubungan antarmanusia yang paling erat. Dalam penelitiannya, Hadiyanto (2001) menyebutkan bahwa budaya komunikasi masyarakat desa pada umumnya masih didominasi budaya komunikasi sosial tradisional yang lebih mengutamakan komunikasi tatap muka atau interpersonal communication yang ditandai dengan frekuensi dan intensitas kontak interpersonal. Menurut Soekanto (2002), kontak merupakan tahap awal dari terjadinya interaksi sosial menyangkut hubungan antarindividu, antarkelompok, maupun antara individu dan kelompok, yang hanya mungkin terjadi apabila dipenuhi dua syarat yaitu adanya kontak sosial (social contact) dan adanya komunikasi. 1) Frekuensi Komunikasi Interpersonal Menurut Hadiyanto (2001), frekuensi berhubungan dengan agen pembaharu, dalam hal ini petani berhubungan erat dengan tingkat penerapan suatu inovasi. Semakin sering petani berhubungan dengan agen pembaharu, semakin banyak informasi yang dapat dihimpun oleh petani, sehingga menyebabkan terjadinya penguatan dalam dirinya dan melahirkan motivasi untuk mencoba melaksanakan inovasi tersebut. Hasil penelitian Hadiyanto (2001) menunjukkan adanya kecenderungan peternak desa urban lebih jarang melakukan kontak dengan kelompok masyarakat yang ada, antara lain dengan tetangga, petani lain desa, tokoh masyarakat, penyuluh, dan aparat desa. 2) Intensitas Komunikasi Interpersonal Intensitas komunikasi merupakan aktivitas dalam mencari atau menerima informasi melalui kontak dengan petugas atau pendamping. Hal ini penting untuk diketahui karena berhubungan dengan jumlah pencarian informasi oleh khalayak. Menurut Rogers (2003) petugas pemberi informasi/penyuluh menyediakan mata rantai komunikasi antara sistem sumber daya (umumnya disebut agen perubahan) dan sistem klien. Hasil penelitian Herawati dan Pulungan (2006) menunjukkan bahwa intensitas penyuluhan berhubungan secara nyata dengan tingkat kehadiran 24 kontaktani. Hal ini berarti semakin tinggi intensitas penyuluhan maka kesadaran untuk mengetahui pentingnya programa sangat tinggi, tetapi tingginya kehadiran mereka tidak selaras dengan keaktifan dalam mengajukan saran. Komunikasi Termediasi Menurut Heath dan Bryant (2000) dalam Poentarie (2009), komunikasi termediasi merupakan komunikasi menggunakan media (mediated) yaitu cara manusia berkomunikasi dengan menggunakan sarana-sarana media massa yang mampu menyampaikan pesan kepada suatu khalayak dalam waktu relatif atau bahkan secara langsung. Poentarie (2009) membagi mediated dalam empat media yaitu media cetak (surat kabar, majalah, tabloid, buku), media elektronik (radio dan televisi), media luar ruangan (spanduk, baliho, umbul-umbul, leaflet, dan brosur), serta media baru (HP dan internet). Menurut Steven M. Chaffe dalam Budiman (2009), efek penggunaan media akan menyebabkan perubahan yang terjadi pada diri khalayak, seperti penerimaan informasi, perubahan perasaan atau sikap, dan perubahan perilaku (dengan istilah lain, perubahan kognitif, afektif, dan konatif). Selanjutnya terpaan media menurut Rosengreen (1974) dalam Budiman (2009), dapat dioperasionalkan menjadi jumlah waktu yang digunakan dalam berbagai jenis media, isi media yang dikonsumsi, dan berbagai hubungan antara individu konsumen media dengan isi media yang dikonsumsi atau dengan media keseluruhan (Rahmat, 2010). Menurut Kriyantono (2009) pengukuran terhadap kepuasan terhadap menonton televisi dapat dioperasionalkan ke dalam frekuensi dan durasi seseorang dalam menonton televisi. Sitompul (2009), menambahkan terdapat beberapa variabel dalam penggunaan radio, di antaranya durasi yang digunakan, frekuensi penggunaan, isi (bahan pembicaraan), dan jenis isi (klasifikasi ekonomi, sosial, politik, pendidikan). Pada penelitian tersebut, Sitompul (2009) menyatakan bahwa penggunaan media massa seperti televisi dapat diukur dengan frekuensi menonton televisi, terpaan media televisi, durasi menonton televisi. Penggunaan radio diukur dengan frekuensi mendengarkan radio, topik siaran radio, daya tarik siaran radio, pemahaman siaran radio. Penggunaan surat kabar diukur dengan topik yang dibaca dalam surat kabar. Frekuensi dan Durasi Penggunaan Media Frekuensi dan durasi penggunaan media dalam hal ini mencari informasi merupakan bagian dari komunikasi termediasi. Dalam penelitiannya, Saleh (2006) menyatakan tendensi frekuensi mendengarkan siaran radio di kalangan responden peternak sapi potong ini adalah 1-3 kali seminggu. Rata-rata frekuensi mendengarkan radio tersebut hampir sama dengan penelitian Hadiyanto (2001) yang mencapai 3,39 kali per minggu. Saleh (2006), menjelaskan bahwa intensitas mendengar radio pada peternak kelompok maju jauh lebih banyak. Menurut Hadiyanto (2001) durasi atau lamanya mendengarkan radio, menonton televisi, dan membaca surat kabar diukur dalam jam per hari, baik pada pagi hari, siang hari, sore hari, maupun malam hari. 25 Berdasarkan terminologi dan hasil penelitian sebelumnya yang dikemukakan di atas, maka dalam penelitian ini komunikasi termediasi merupakan bentuk aktivitas komunikasi dengan menggunakan media sebagai saluran komunikasi yang ditandai dengan adanya kontak dengan media baik media elektronik, media cetak, media luar ruangan maupun media terbaru. Kontak dengan media dapat berarti mendengarkan, melihat, membaca atau secara lebih umum mengalami dengan sedikitnya jumlah perhatian pada pesan media yang ditandai dengan adanya frekuensi penggunaan media dan durasi penggunaan media komunikasi. Komunikasi dalam Kelompok Wiryanto (2006) mendefinisikan komunikasi kelompok sebagai interaksi secara tatap muka antara tiga orang atau lebih, dengan tujuan yang telah diketahui, seperti berbagi informasi, menjaga diri, pemecahan masalah, yang mana anggotaanggotanya dapat mengingat karakteristik pribadi anggota-anggota yang lain secara tepat. Definisi komunikasi kelompok tersebut menunjukkan adanya komunikasi tatap muka, dan memiliki susunan rencana kerja tertentu untuk mencapai tujuan kelompok. Suatu kelompok dikatakan efektif apabila kelompok tersebut dapat menjalankan fungsinya yaitu untuk saling berbagi informasi. Menurut Rakhmat (2005), keefektifan suatu kelompok dapat dilihat dari berapa banyak informasi yang diperoleh anggota kelompok dan sejauh mana anggota kelompok memuaskan kebutuhannya dalam kegiatan kelompok. Penelitian Marhaeni (2011) menegaskan bahwa komunikasi kelompok diartikan sebagai sekumpulan orang (3-20 orang) yang saling berinteraksi, biasanya tatap muka dalam waktu yang lama guna mencapai tujuan. Komunikasi kelompok ini dapat dianalisis melalui empat aspek pokok yaitu: (1) frekuensi komunikasi yang dilakukan antaranggota kelompok, (2) intensitas dalam berkomunikasi, (3) partisipasi anggota dalam kelompok, dan (4) perasaan senang atau tidak senang ketika masuk menjadi anggota kelompok. Ada beberapa unsur dalam komunikasi kelompok di antaranya adalah: (1) pelaku komunikasi dalam komunikasi kelompok, (2) pesan-pesan yang dipertukarkan dalam komunikasi kelompok, (3) interaksi yang terjadi dalam proses komunikasi kelompok, (4) kohesivitas yang terjadi di dalam proses komunikasi kelompok, dan (5) norma kelompok yang diterapkan (Gurning et al., 2012). Dalam situasi kelompok terdapat hubungan psikologis. Orang-orang yang terikat dalam hubungan psikologis itu tidak selalu berada secara bersama-sama di suatu tempat, mereka dapat saja berpisah, tetapi tetap terikat oleh hubungan psikologis yang menyebabkan mereka berkumpul bersama-sama secara berulangulang (Effendy, 2006). Bentuk-bentuk komunikasi kelompok antara lain: ceramah, diskusi panel, simposium, diskusi forum, seminar, curah pendapat, sumbang saran dan lain-lain (Effendy, 2006). Penelitian Runtuwaro (2002) menyebutkan bahwa komunikasi di dalam kelompok tani terjadi melalui: (1) pelatihan usaha tani (kursus tani), (2) kunjungan penyuluh pertanian, (3) pertemuan anggota kelompok tani atau temu karya, (4) temu usaha, dan (5) pertemuan dengan pemimpin formal atau temu tugas. Berdasarkan beberapa pengertian komunikasi kelompok tersebut di atas, maka dalam penelitian ini yang dimaksud dengan komunikasi kelompok dalam 26 kegiatan Posdaya adalah komunikasi yang berlangsung antara beberapa orang dalam suatu kelompok yang diikuti oleh kader Posdaya seperti pelatihan (kursus), pertemuan dengan anggota kelompok melalui rapat koordinasi (rapat rutin kader dan anggota Posdaya, rapat khusus atau temu kader, penyuluhan) kunjungan pendamping atau pembina, temu usaha dan lain-lain. Komunikasi dalam kelompok Posdaya dapat dilihat dari jenis komunikasi kelompok yang biasa dilakukan dan diikuti oleh kader Posdaya dengan memperhatikan frekuensi dan intensitas komunikasi dalam kelompok, serta partisipasi kader Posdaya dalam kegiatan kelompok. 1) Frekuensi Komunikasi dalam Kelompok Dalam penelitiannya, Kaliky (2002) mendefinisikan bahwa frekuensi komunikasi kelompok adalah kekerapan peternak melakukan komunikasi dalam forum pertemuan kelompok baik pertemuan kelompok lokalit maupun kosmopolit. Frekuensi komunikasi kelompok lokalit adalah kekerapan responden mengikuti pertemuan kelompok di lingkungannya tanpa keterlibatan pihak luar. Frekuensi komunikasi kelompok kosmopolit adalah kekerapan responden mengikuti pertemuan kelompok dengan pihak di luar sistem sosialnya. Dalam penelitian ini, frekuensi komunikasi dalam kelompok Posdaya adalah kekerapan kader Posdaya dalam mengikuti kegiatan Posdaya seperti pelatihan (kursus), pertemuan dengan anggota kelompok melalui rapat koordinasi (rapat rutin kader dan anggota Posdaya, rapat khusus atau temu kader, penyuluhan) kunjungan pendamping atau pembina, temu usaha dan lain-lain. 2) Intensitas Komunikasi dalam Kelompok Intensitas komunikasi merupakan tingkat ke dalaman penyampaian pesan dari individu sebagai anggota keluarga kepada yang lainnya (Djamarah, 2004 dalam Ihsan, 2009). Intensitas komunikasi mencakup aspek-aspek seperti: kejujuran, keterbukaan, pengertian, percaya, yang mutlak di antara kedua belah pihak dan dukungan, Intensitas komunikasi dapat diukur dari apa-apa dan siapa yang dibicarakan, pikiran, perasaan, obyek tertentu, orang lain atau dirinya sendiri. Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan intensitas komunikasi dalam kelompok Posdaya adalah durasi atau lamanya kader Posdaya dalam setiap mengikuti kegiatan Posdaya seperti pelatihan (kursus), pertemuan dengan anggota kelompok melalui rapat koordinasi (rapat rutin kader dan anggota Posdaya, rapat khusus atau temu kader, penyuluhan) kunjungan pendamping atau pembina, temu usaha dan lain-lain. 3) Partisipasi dalam Kelompok Komunikasi dalam kelompok dapat diwujudkan melalui kegiatan-kegiatan yang melibatkan partisipasi anggota kelompoknya. Menurut Soekanto (2002), partisipasi adalah setiap proses identifikasi atau menjadi peran serta suatu proses komunikasi atau kegiatan bersama dalam situasi tertentu. Singarimbun dan Effendi (2010) mengemukakan bahwa dalam mengukur partisipasi sosial seseorang adalah terlihat dari tingkat keterlibatannya dalam organisasi yang ditempatinya. Derajat keterlibatannya terlihat meningkat dari awalnya hanya 27 sebagai anggota dan berangsur-angsur meningkat dan akhirnya menjadi pimpinan. Awal keterlibatannya hanya pada tataran sekedar menjadi anggota, menghadiri pertemuan, disiplin membayar iuran, ikut dalam kepanitiaan dan akhirnya mendapat kepercayaan dan sekaligus tuntutan tangung jawab sebagai pimpinan. Dalam penelitian ini, ditegaskan bahwa partisipasi dalam kelompok yang dimaksud adalah aktivitas komunikasi kader Posdaya dalam interaksi dan keterlibatannya dalam kegiatan sosial dan pertemuan-pertemuan Posdaya yang meliputi pelatihan, rapat koordinasi (rapat rutin kader dan anggota Posdaya, rapat koordinasi, rapat khusus atau temu kader, penyuluhan) dan pendampingan atau pembinaan serta keterlibatannya dalam perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan pengambilan keputusan. Program Pos Pemberdayaan Keluarga Berkaitan dengan gerakan pemberdayaan masyarakat, khususnya keluarga, maka muncullah sebuah gagasan pemberdayaan masyarakat yang disebut dengan Pos Pemberdayaan Keluarga (Posdaya) yang dikembangkan oleh Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia-Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (P2SDM-LPPM) IPB bekerja sama dengan Yayasan Damandiri. Posdaya sebagai sebuah gagasan pemberdayaan dari, oleh, dan untuk masyarakat adalah sebuah kegiatan pemberdayaan masyarakat yang mengimplementasikan nilai-nilai kegotongroyongan di masyarakat. Posdaya juga merupakan sebuah gerakan dengan ciri khas “bottom up programme,“ kemandirian, dan pemanfaatan sumber daya serta potensi lokal sebagai sumber segala solusi. Pihak luar hanya berperan sebagai fasilitator, mediator, dan pembangkit gagasan. Menurut Warcito et al. (2011), Posdaya dibentuk melalui tahapan yang bersifat bottom up, artinya Posdaya dibentuk oleh masyarakat dan keluarga. Dalam pembentukkan Posdaya membutuhkan komitmen dari para tokoh masyarakat, ibu-ibu, dan para pemuda lapisan bawah untuk memberdayakan dirinya. Selain pendekatan bottom up, pembentukkan Posdaya juga menggunakan pendekatan top down, sehingga diperlukan peran pemerintah daerah beserta jajarannya. Sesuai dengan delapan fungsi keluarga, sasaran kegiatan yang dituju adalah upaya bersama agar setiap keluarga mempunyai kemampuan melaksanakan delapan fungsi keluarga. Dalam rangka pelaksanaan MDGs, sasarannya diarahkan kepada empat prioritas utama, yaitu komitmen pimpinan pada tingkat desa, kecamatan dan kabupaten, bidang keluarga berencana (KB), dan kesehatan, bidang pendidikan dan bidang wirausaha. Tujuannya adalah menjadikan Posdaya sebagai wahana bersama untuk membantu pemberdayaan keluarga yang memungkinkan setiap keluarga dapat saling belajar dari keluarga lain sehingga makin mampu menjadi subyek untuk secara mandiri membangun anggota keluarganya (Suyono & Rohadi, 2009). Pengembangan Posdaya ditujukan untuk mencapai hal-hal sebagai berikut: (a) Dihidupkannya dukungan sosial budaya atau social capital seperti hidup gotong royong dalam masyarakat untuk menolong keluarga lain, membantu pemberdayaan secara terpadu atau bersama-sama memecahkan masalah kehidupan yang kompleks, melalui wadah atau forum yang memberi kesempatan 28 para keluarga untuk saling asah, asih, dan asuh, dalam memenuhi kebutuhan membangun keluarga bahagia dan sejahtera; (b) Terpeliharanya infrastruktur sosial kemasyarakatan yang terkecil dan solid, yaitu keluarga, yang dapat menjadi perekat atau kohesi sosial, sehingga tercipta suatu kehidupan yang rukun, damai dan memiliki dinamika yang tinggi; (c) Terbentuknya lembaga sosial dengan keanggotaan dan partisipasi keluarga di desa atau kelurahan yang dinamis dan menjadi wadah atau wahana partisipasi sosial, di mana para keluarga dapat memberi dan menerima pembaharuan yang dapat membantu proses pembangunan kehidupan keluarga dengan mulus dan sejuk (P2SDM IPB, 2010). Dari pengertian tersebut, beberapa hal perlu diperjelas antara lain: Posdaya, bukan dimaksudkan untuk mengganti pelayanan sosial ekonomi kepada masyarakat berupa pelayanan terpadu, tetapi semata-mata dimaksudkan untuk mengembangkan forum pemberdayaan terpadu yang dinamis, yaitu pemberdayaan pembangunan kepada pimpinan keluarga yang dipadukan satu dengan lainnya. Tujuannya adalah agar pimpinan keluarga mengetahui peran dan fungsinya dalam melakukan pemberdayaan untuk anggotanya secara mandiri. Terpadu berarti dalam perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, pembinaan dan evaluasi melibatkan berbagai petugas atau sukarelawan secara terkoordinir, yaitu petugas pemerintah, organisasi sosial, dan unsur-unsur masyarakat. Penyerasian dinamis di sini berarti diperlukan adanya keserasian dalam hal memadukan kepentingan masyarakat dan kemampuan penyediaan bantuan profesional dari pemerintah dan swasta yang disediakan untuk mendukung kegiatan. Kegiatan dimaksud dapat meliputi bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi dan lingkungan (Muljono, 2010). 1) Peran Posdaya Menurut Bachtiar (2010), ada empat jenis peran yang dilakukan oleh Posdaya, yaitu: (1) jika pada suatu wilayah tertentu belum terdapat suatu program pemberdayaan apa pun atau suatu bentuk kerja sama masyarakat untuk pemberdayaan masyarakat, maka di tempat itu Posdaya dapat berperan membangun kegiatan-kegiatan baru yang bermanfaat bagi masyarakat. Kegiatan dimaksud dapat meliputi bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan lingkungan, (2) jika pada wilayah tersebut pernah ada suatu kegiatan pemberdayaan tetapi sudah ditinggalkan oleh masyarakat, maka Posdaya dapat menghidupkan kembali kegiatan-kegiatan tersebut, (3) jika pada suatu wilayah sudah terdapat kegiatankegiatan pemberdayaan, maka kehadiran Posdaya dapat berperan untuk meningkatkan kualitas program yang sudah ada, baik kuantitas maupun kualitasnya, (4) Posdaya juga berperan “menjahit” semua kegiatan/kelembagaan masyarakat yang ada di wilayah tersebut, sehingga dapat berpayung bersama secara keseluruhan dalam gerakan Posdaya. 2) Tujuan Posdaya Menurut Bachtiar (2010), Posdaya sebagai sebuah implementasi paradigma bottom up planning dan pembangunan berbasis masyarakat memiliki tujuan: (1) menyegarkan modal sosial seperti hidup gotong royong dalam masyarakat untuk membantu pemberdayaan keluarga secara terpadu dan membangun keluarga bahagia dan sejahtera, (2) ikut memelihara lembaga sosial kemasyarakatan yang terkecil, yaitu keluarga, yang dapat menjadi perekat masyarakat sehingga tercipta kehidupan yang rukun, damai, dan memiliki dinamika tinggi, (3) memberi 29 kesempatan kepada setiap keluarga untuk memberi atau menerima pembaharuan yang dapat dipergunakan dalam proses pembangunan keluarga yang bahagia dan sejahtera. 3) Pendampingan atau pembinaan Posdaya Salah satu faktor pendukung keberhasilan pemberdayaan masyarakat melalui Posdaya adalah pendampingan atau pembinaan. Posdaya di Kota dan Kabupaten Bogor telah menunjukkan berbagai perkembangan di berbagai bidang, telah mendapatkan program pendampingan atau pembinaan dari mahasiswa dan dosen, dan sebagian darinya juga mendapat dampingan dari guru-guru SMA dan penyuluh pendamping. Bentuk pendampingan atau pembinaan dapat dikembangkan dengan kreatif melalui teknologi komunikasi yang semakin mudah diakses oleh setiap orang. Pendampingan yang dilakukan antara lain adalah dalam bentuk kunjungan ke Posdaya, konsultasi pengurus/kader, mendampingi mereka melihat kegiatan Posdaya lain yang berhasil, mengikutkan dalam berbagai kegiatan diskusi, seminar atau kegiatan pelatihan, mendampingi penyusunan proposal kegiatan untuk diajukan ke pihak luar. Pendampingan yang dilakukan bertujuan untuk membantu bagaimana Posdaya dapat mencari solusi berbagai permasalahan yang mereka hadapi sehingga mereka mempunyai program kegiatan yang benar-benar sesuai kebutuhan dan dapat terlaksana dengan baik. Bahkan pendampingan yang dilakukan bisa berlangsung 24 jam sehari karena kader Posdaya juga rajin bersms-an kepada pendampingnya. Kader Posdaya Kader adalah tenaga sukarela yang dipilih oleh, dari masyarakat dan bertugas mengembangkan masyarakat, seperti kader Posyandu, kader program kesejahteraan keluaraga (PKK), maupun kader lainnya. Zulkifli (2003) mendefinisikan bahwa kader Posyandu adalah warga masyarakat setempat yang dipilih dan ditinjau oleh masyarakat dan dapat bekerja secara sukarela mengelola Posyandu. Dinkes Jatim (2006) menambahkan bahwa kader adalah pria atau wanita yang berbadan sehat jasmani dan rohani serta mau bekerja secara sukarela mengelola Posyandu. Seorang kader Posyandu merupakan pilar utama penggerak pembangunan khususnya di bidang kesehatan. Mereka secara swadaya dilibatkan oleh Puskesmas dalam kegiatan pelayanan kesehatan desa yang salah satunya adalah pemberian imunisasi polio. Kader Posyandu sebaiknya mampu menjadi pengelola Posyandu, karena merekalah yang paling memahami masyarakat di wilayahnya (Dinkes Jatim, 2006). Kader bertugas melaksanakan penyuluhan di Posyandu, salah satunya penyuluhan tentang bayi atau balita mengenai jadwal pemberian imunisasi dan manfaatnya (Dinkes Jatim, 2005). Dengan demikian kader yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kader Posdaya yang didefinisikan sebagai warga desa setempat baik laki-laki maupun perempuan yang sehat jasmani dan rohani, yang dipilih oleh, dari dan untuk masyarakat, memiliki waktu luang serta mau bekerja secara sukarela, tulus ikhlas untuk memajukan Posdaya. 30 Tingkat Keberdayaan Arti berdaya menurut Slamet (2003) sama dengan mampu, tahu, mengerti, paham, termotivasi, berkesempatan melihat peluang, dapat memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerja sama, tahu berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani menghadapi risiko, mampu mencari dan menangkap informasi, dan mampu bertindak sesuai situasi. Keberdayaan merupakan internalisasi dari proses pemberdayaan dan merupakan unsur dasar yang memungkinkan suatu komunitas dapat bertahan dalam mengembangkan diri untuk mencapai kemajuan. Menurut Hendratmoko dan Marsudi (2010) keberdayaan masyarakat adalah unsur-unsur yang memungkinkan masyarakat untuk bertahan (survive) dan dalam pengertian dinamis mengembangkan diri dan mencapai kemajuan. Sumodiningrat (2000) dalam Widjayanti (2011) menjelaskan bahwa keberdayaan masyarakat yang ditandai adanya kemandiriannya dapat dicapai melalui proses pemberdayaan masyarakat. Keberdayaan masyarakat dapat diwujudkan melalui partisipasi aktif masyarakat yang difasilitasi dengan adanya pelaku pemberdayaan. Tujuan akhir dari proses pemberdayaan masyarakat adalah untuk memandirikan warga masyarakat agar dapat meningkatkan taraf hidup keluarga dan mengoptimalkan sumber daya yang dimilikinya (Widjayanti, 2011). Menurut Widjayanti (2011), keberdayaan masyarakat adalah dimilikinya daya, kekuatan atau kemampuan oleh masyarakat untuk mengidentifikasi potensi dan masalah serta dapat menentukan alternatif pemecahannya secara mandiri. Keberdayaan masyarakat diukur melalui tiga aspek (a) kemampuan dalam pengambilan keputusan, (b) kemandirian, dan (c) kemampuan memanfaatkan usaha untuk masa depan. Hasil penelitian Sadono (2008) menunjukkan bahwa melalui Sekolah Lapang (SL) telah terjadi peningkatan keberdayaan petani. Indikator yang menunjukkan hal tersebut adalah: peningkatan penggunaan pengetahuan dalam pengelolaan usaha tani, peningkatan kegiatan petani antarkelompok dalam kegiatan diskusi dan Laboratorium Lapangan Petani (LLP) untuk pengujian teknologi atau varietas baru oleh petani, penemuan dan penyempurnaan teknik pengendalian hama (seperti: teknik “lumpurisasi” untuk hama tikus), serta tumbuhnya inisiatif pembiakan musuh alami agar lebih tersedia di sawah. Penelitian Barzman dan Desilles (2002) menemukan bahwa melalui SL petani mengalami pemberdayaan dalam hal: peningkatan pengetahuan bertani, peningkatan aktivitas secara berkelompok dalam kelompok tani (melakukan eksperimen teknik/tanaman baru, pengamatan dan membandingkan hasil dengan petani lain), dan pemberdayaan wanita. Tingkat keberdayaan masyarakat bisa dilihat dari aspek ekonomi maupun nonekonomi sesuai dengan konsep yang dikemukakan oleh Uphoff (2003) dalam Susilowati et al. (2004), bahwa tingkat keberdayaan dapat ditinjau melalui aspek usaha, pasar, teknologi, dan peran kelembagaan/stakeholders. Lumban (2005) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa keberdayaan masyarakat petani Daerah Aliran Sungai (DAS) Kahayan meliputi pengetahuan, sikap dan tindakan petani tentang aspek-aspek pengelolaan usahatani padi DAS Kahayan. Penelitian Warcito et al. (2011) menyebutkan bahwa kemandirian masyarakat melalui program Posdaya dapat diukur dari partisipasi warga 31 masyarakat dalam kegiatan pendidikan, kesehatan dan ekonomi yang merupakan faktor pendorong untuk perubahan. Kegiatan pemberdayaan masyarakat melalui Posdaya perlu ditujukan kepada penyadaran masyarakat akan pentingnya kemandirian dirinya sendiri (empowerment), sadar akan lingkungan (menjaga kebersihan lingkungan), kesehatan, pendidikan, dan semangat kewirausahaan melalui transformasi ekonomi, transformasi sosial, dan transformasi budaya. Suyono (2006) menambahkan bahwa program pemberdayaan keluarga dapat memperkuat dan meningkatkan usaha-usaha ekonomi keluarga dan anggotanya mengembangkan dirinya sesuai dengan peluang dan kesempatan yang ada untuk mencapai kesejahteraan dan kemandirian. Ciri-ciri masyarakat yang telah berdaya menurut Sumardjo dan Saharuddin (2004) adalah sebagai berikut: a) mampu memahami diri dan potensinya, b) mampu merencanakan (mengantisipasi kondisi perubahan ke depan) dan mengarahkan dirinya sendiri, c) memiliki kekuatan untuk berunding dan bekerjasama secara saling menguntungkan dengan ”bargaining power” yang memadai, dan d) bertanggung jawab atas tindakan sendiri. Terkait dengan tujuan pemberdayaan, Sulistiyani (2004) menjelaskan bahwa tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan masyarakat adalah untuk membentuk individu dan masyarakat menjadi mandiri. Berdaya mempunyai arti yang sama dengan kemandirian masyarakat. Kemandirian tersebut meliputi kemandirian berpikir, bertindak, dan mengendalikan apa yang mereka lakukan. Kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi yang dialami oleh masyarakat yang ditandai dengan kemampuan memikirkan, memutuskan serta melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan masalah yang dihadapi dengan mempergunakan daya atau kemampuan yang dimiliki. Daya atau kemampuan yang dimaksud adalah kemampuan kognitif, afektif dan konatif serta sumber daya lainnya yang bersifat fisik atau material. Penelitian Tomatala (2008) menyebutkan tiga aspek mendasar yang perlu dimiliki oleh peternak agar dapat meningkatkan keberdayaannya meliputi aspek pengetahuan, sikap mental, dan aspek tindakan. Muljono (2010) menambahkan bahwa melalui upaya pemberdayaan diharapkan mereka juga dapat menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan bagi mereka untuk meningkatkan pengetahuan (kognitif), sikap (afektif) dan tindakan (konatif), serta ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan. 1) Keberdayaan pada Aspek Pengetahuan (Kognitif) Kondisi kognitif pada hakikatnya merupakan kemampuan berpikir yang dilandasi oleh pengetahuan dan wawasan seseorang dalam rangka mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi. Penelitian Utami (2007) menjelaskan bahwa keberdayaan masyarakat pada aspek kognitif meliputi 1) mempunyai ilmu pengetahuan yang cukup, 2) paham atas kebutuhan riil dan potensi dirinya, serta memiliki pengertian atas permasalahan yang dihadapi. Slamet (2003) menambahkan tentang ciri-ciri masyarakat berdaya pada aspek pengetahuan yaitu 1) memiliki pengetahuan yang luas, 2) memiliki wawasan jauh ke depan, 3) dapat mengenal potensi dan kebutuhan dirinya dengan baik, dan 4) memahami unsurunsur manajemen dan kepemimpinan. 32 2) Keberdayaan pada Aspek Sikap (Afektif) Kondisi afektif merupakan perasaan yang dimiliki oleh individu yang diharapkan dapat diintervensi untuk mencapai keberdayaan dalam sikap dan perilaku. Sikap memiliki kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir, dan merasa dalam menghadapi obyek, ide, situasi atau nilai. Sikap mempunyai daya pendorong atau motivasi. Penelitian Utami (2007) menjelaskan bahwa keberdayaan masyarakat pada aspek afektif meliputi berani menghadapi risiko, mempunyai rasa tanggung jawab atas tindakannya, menolak tindakan subordinasi atas dirinya dan menyukai prestasi. Slamet (2003) menambahkan tentang ciri-ciri masyarakat berdaya pada aspek sikap yaitu 1) percaya diri, 2) pantang menyerah, 3) selektif, 4) komunikatif, 5) jujur dan bertanggungjawab dalam bertutur dan bertindak, dan 6) terbuka, bekerjasama dan peduli terhadap sesamanya. 3) Keberdayaan pada Aspek Tindakan (Konatif) Kemampuan konatif merupakan kecakapan tindakan yang dimiliki masyarakat sebagai upaya mendukung masyarakat dalam rangka melakukan aktivitas pembangunan. Tindakan diartikan sebagai suatu pelaksanaan pekerjaan badaniah atau perilaku nyata. Penelitian Utami (2007) menjelaskan bahwa keberdayaan masyarakat pada aspek konatif meliputi teliti dalam menyelesaikan setiap pekerjaan, tanggap dalam memanfaatkan peluang, cermat dalam melakukan kerja sama yang saling menguntungkan dan memiliki etos kerja yang tinggi. Slamet (2003) menambahkan tentang ciri-ciri masyarakat berdaya pada aspek keterampilan yaitu 1) dapat mengidentifikasi kebutuhan dan potensi yang dimiliki secara tepat, 2) mampu menerapkan unsur manajemen dan kepemimpinan dalam kehidupannya secara baik, 3) berkemampuan mencari dan memanfaatkan informasi dan peluang baru, dan 4) berkemampuan memenuhi kebutuhannya. Berdasarkan pengertian tentang keberdayaan di atas, maka dalam konteks Posdaya makna keberdayaan diartikan sebagai proses mengoptimalkan sumber daya yang berkesinambungan yang ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan tindakan nyata pada setiap kegiatan Posdaya yang meliputi empat bidang (pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan lingkungan). Posdaya yang berdaya adalah Posdaya yang memiliki ciri-ciri yang ada pada perilaku kader Posdaya menuju kemandirian kelompok Posdaya. Kader Posdaya yang memiliki keberdayaan tinggi berarti memiliki pemahaman tentang program Posdaya yang memadai dengan keberdayaan pada aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek konatif akan dapat memberikan kontribusi pada terciptanya kemandirian kader Posdaya dan masyarakat yang dicita-citakan. Mengacu pada pendapat Widjayanti (2011), Sadono (2008), Barzman dan Desilles (2002), Susilowati et al. (2004), Sumardjo dan Saharuddin (2004), Sulistiyani (2004), Utami (2007), dan Slamet (2003) tentang ciri-ciri masyarakat berdaya maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat (kader Posdaya) dapat dikatakan berdaya jika memiliki pengetahuan, sikap dan tindakan yang memadai seperti yang disajikan dalam Tabel 2. 33 Tabel 2 Ciri-ciri keberdayaan kader Posdaya dilihat dari aspek pengetahuan, sikap, dan tindakan Aspek Keberdayaan Kader Posdaya perilaku Pengetahuan 1) memiliki pengetahuan yang luas tentang kegiatan Posdaya. (kognitif) 2) memiliki wawasan jauh ke depan tentang kegiatan Posdaya. 3) paham atas potensi dan kebutuhan dirinya dengan baik. 4) memahami unsur-unsur manajemen dan kepemimpinan. Sikap 1) percaya diri. (Afektif) 2) pantang menyerah dan berani menghadapi risiko. 3) selektif. 4) komunikatif. 5) jujur dan bertanggung jawab atas tindakannya sendiri. 6) terbuka dan peduli terhadap sesamanya. 7) menyukai prestasi. Tindakan 1) dapat mengidentifikasi dan memenuhi kebutuhan serta (Konatif) potensi yang dimiliki secara tepat. 2) memiliki etos kerja yang tinggi. 3) mampu melakukan kerja sama yang menguntungkan. 4) teliti dalam menyelesaikan setiap pekerjaan. 5) mampu menjalankan unsur-unsur manajemen dan kepemimpinan (mengantisipasi kondisi perubahan ke depan) dan mengarahkan dirinya sendiri. 6) cepat tanggap dan mampu memanfaatkan peluang usaha untuk masa depan. Penelitian Terdahulu yang Mendukung Hasil penelitian Astuti (2007), menunjukkan bahwa aktivitas komunikasi responden yaitu dalam hal keterdedahan pada koran relatif rendah dibandingkan dengan radio dan televisi, rendahnya minat baca disebabkan oleh kesibukan responden dalam bekerja, sehingga waktu yang tersedia lebih banyak dimanfaatkan untuk mendengarkan radio atau menonton televisi. Sebagian besar responden melakukan kontak dengan pembina Perkampungan Budaya Betawi Situ Babakan (PBBSB), yakni penyuluh, tokoh masyarakat, dan pengelola PBBSB. Partisipasi sosial responden dalam kegiatan pengajian, arisan, kerja bakti, dan ronda malam relatif tinggi. Hasil analisis menunjukkan bahwa karakteristik individu yang berhubungan sangat nyata dengan pengetahuan adalah pendidikan formal dan nonformal, pendapatan berhubungan nyata dengan sikap dan berhubungan sangat nyata dengan tindakan, lokasi tempat tinggal berhubungan nyata dengan sikap dan sangat nyata dengan tindakan. Keterdedahan pada media massa yang berhubungan sangat nyata dengan sikap dan tindakan. Keterdedahan pada saluran interpersonal berhubungan sangat nyata dengan pengetahuan, partisipasi sosial berhubungan sangat nyata dengan sikap dan berhubungan nyata dengan tindakan. Kurniawati (2002) menemukan aktivitas komunikasi reponden menunjukkan pembinaan rohani cukup tinggi. Pada aktivitas komunikasi 34 responden frekuensi pembinaan jasmani rendah. Intensitas komunikasi dengan orang tua di kedua kelompok tinggi. Hasil penelitian Nursalam (2000) menemukan bahwa semakin sering nelayan melakukan komunikasi interpersonal dengan pembina, akan semakin bertambah pula kemampuan nelayan dengan mengembangkan subsistem produksi agribisnis perikanan tangkap. Komunikasi interpersonal dengan kontak nelayan, khususnya pada nelayan pandega berpengaruh nyata (arah hubungan positif) pada perilaku mereka dalam mengembangkan subsistem produksi agribisnis perikanan tangkap. Dengan demikian, semakin sering nelayan berkomunikasi dengan kontak nelayan, akan semakin menambah kemampuan nelayan pandega dalam mengembangkan subsistem produksi agribisnis perikanan tangkap. Kehadiran dalam pertemuan kelompok berpengaruh nyata (dengan arah hubungan positif) pada perilaku nelayan dalam pengembangan subsistem produksi agribisnis perikanan tangkap. Semakin sering nelayan menghadiri pertemuan kelompok dan semakin menambah kemampuan nelayan dalam mengembangkan subsistem produksi agribisnis perikanan tangkap. Keterdedahan pada siaran radio, pada tayangan televisi, pada media cetak berpengaruh nyata pada perilaku nelayan dalam pengembangan subsistem produksi agribisnis perikanan tangkap. Dengan kata lain, semakin sering nelayan mendengarkan radio, menonton tayangan televisi, membaca media cetak akan semakin menambah kemampuan nelayan dalam mengembangkan subsistem produksi agribisnis perikanan tangkap. Haji (1991) menemukan aktivitas komunikasi wanita pasangan usia subur (PUS) di Semplak (daerah perkotaan) maupun wanita PUS Wargajaya (daerah pedesaan) dilakukan melalui radio, televisi, maupun media cetak. Hubungan yang sangat nyata antara aktivitas komunikasi dengan pengetahuan KB wanita PUS di dua desa penelitian memberi petunjuk kuat bahwa penyebarluasan informasi KB pada masyarakat yang kondisinya belum siap secara intern untuk melakukan aktivitas komunikasi, hanya akan efektif melalui saluran interpersonal. Kerangka Pemikiran Posdaya merupakan gagasan baru guna menyambut anjuran pemerintah untuk membangun sumber daya manusia melalui partisipasi keluarga secara aktif. Proses pemberdayaan itu diprioritaskan pada peningkatan kemampuan keluarga untuk bekerja keras mengentaskan kebodohan, kemalasan, dan kemiskinan dalam arti yang luas. Di Kota dan di Kabupaten Bogor, Posdaya itu dibentuk di antara kalangan keluarga maupun antarkeluarga, sehingga Posdaya dapat saja memiliki basis pribadi, basis kelompok, misalnya Posdaya berbasis masjid, Posdaya berbasis tanaman, atau Posdaya berbasis pendidikan, dan lainnya. Mengenai program utama Posdaya terbagi dalam empat bidang yaitu pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan lingkungan. Untuk merealisasikan program-program tersebut, diperlukan metode pengembangan Posdaya melalui kegiatan pelatihan, rapat koordinasi (rapat rutin kader dan anggota Posdaya, rapat koordinasi, rapat khusus atau temu kader, penyuluhan) dan pendampingan atau pembinaan yang melibatkan peran pendamping Posdaya. Kegiatan pelatihan, rapat koordinasi, dan pendampingan atau pembinaan menunjukkan sebuah aktivitas komunikasi yang diperankan oleh 35 kader Posdaya. Aktivitas komunikasi yang terjadi pada kegiatan Posdaya dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya karakteristik kader Posdaya (umur, pendidikan formal, pendidikan nonformal, pengalaman menjadi kader Posdaya, tingkat kekosmopolitan, tingkat pendapatan, motivasi dan kepemilikan media massa), dan faktor lingkungan (dinamika kelompok dan peran pendamping). Keberhasilan program Posdaya dapat dilihat sejauh mana aktivitas komunikasi yang diperankan kader Posdaya berpengaruh terhadap tingkat keberdayaan kader Posdaya yang merupakan fokus dari penelitian ini. Liliweri (2004) menjelaskan bahwa dalam sebuah aktivitas komunikasi terdapat proses komunikasi yang hasil akhirnya disebut dengan efek. Efek komunikasi dapat bersifat positif yaitu tercapainya tujuan komunikasi yang diinginkan, dalam hal ini terciptanya hubungan yang kondusif atau baik antara pendamping atau pembina dengan kader Posdaya, kader Posdaya dengan aparat pemerintah atau penyuluh, kader Posdaya dengan tokoh masyarakat, kader Posdaya dengan anggotanya. Efek komunikasi juga bisa berakibat buruk atau bersifat negatif seperti timbulnya rasa ketidakpuasan yang menjurus kepada konflik-konflik destruktif yang merugikan bagi kelompok dan kader sebagai pelaksana program Posdaya itu sendiri. Keterkaitan dengan keberdayaan kader Posdaya di Kota dan Kabupaten Bogor terletak pada proses bagaimana pemberdayaan dan pengembangan masyarakat dapat diterima dan diaplikasikan oleh kader Posdaya. Dalam konteks ini diperlukan kepedulian dan keterlibatan berbagai sistem, baik yang terlibat dengan komponen utama maupun komponen pendukung. Dalam proses demikian, aktivitas komunikasi kader Posdaya menjadi hal yang penting dalam membentuk prinsip kerjasama karena masyarakat mempunyai hak-hak dan keberdayaan di masa yang akan datang. Tujuan pemberdayaan adalah keberdayaan, maka prioritas utama program Posdaya adalah kesertaan seluruh keluarga yang menjadi anggota Posdaya dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan lingkungan yang lebih sejahtera yang didukung keberdayaan pada pengetahuan (kognitif), sikap (afektif) dan tindakan (konatif). Keberdayaan seorang kader Posdaya sangat ditentukan oleh karakteristik individu dan lingkungan, selain itu tingkat keberdayaan kader Posdaya juga dipengaruhi oleh aktivitas komunikasi dalam pencarian informasi pada setiap bidang Posdaya (pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan lingkungan). Dengan demikian tingkat keberdayaan kader Posdaya di Kota dan Kabupaten Bogor berpeluang memiliki hubungan yang nyata dengan karakteristik kader Posdaya, faktor lingkungan dan aktivitas komunikasi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di bidang Ilmu Komunikasi, tidak dapat dipungkiri bahwa karakteristik kader Posdaya mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan aktivitas komunikasi seseorang yang meliputi aktivitas komunikasi interpersonal (frekuensi dan intensitas kontak interpersonal), aktivitas komunikasi termediasi (frekuensi dan durasi penggunaan media), dan aktivitas komunikasi di dalam kelompok (frekuensi dan intensitas komunikasi dalam kelompok, serta partisipasi kader Posdaya dalam kegiatan kelompok). Dalam penelitian ini peubah yang diteliti meliputi peubah bebas (X) dan peubah terikat (Y). Peubah bebas terdiri dari karakteristik kader Posdaya (X1): umur (X1.1), pendidikan formal (X1.2), pendidikan nonformal (X1.3), pengalaman menjadi kader (X1.4), tingkat kekosmopolitan (X1.5), tingkat pendapatan (X1.6), motivasi (X1.7), kepemilikan media massa (X1.8) serta peubah bebas faktor 36 lingkungan (X2) berupa: dinamika kelompok (X2.1), dan peran pendamping (X2.2). Adapun peubah terikat terdiri dari aktivitas komunikasi (Y1) dan tingkat keberdayaan kader Posdaya (Y2) di Kota dan Kabupaten Bogor. Untuk mengetahui apakah karakteristik kader Posdaya, faktor lingkungan dan aktivitas komunikasi berhubungan secara nyata dengan tingkat keberdayaan kader Posdaya, maka penelitian ini memfokuskan keberdayaan kader Posdaya pada aspek pengetahuan (kognitif), sikap (afektif), dan tindakan (konatif). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa aktivitas komunikasi memiliki hubungan yang nyata dengan tingkat keberdayaan kader Posdaya atau semakin tinggi aktivitas komunikasi kader Posdaya, maka semakin tinggi tingkat keberdayaan kader Posdaya. Demikian pula sebaliknya, semakin rendah aktivitas komunikasi kader, semakin rendah tingkat keberdayaan kader Posdaya. Gambaran mengenai hubungan antara aktivitas komunikasi dengan tingkat keberdayaan kader Posdaya, dapat dilihat pada Gambar 3. Karakteristik Kader Posdaya (X1) X1.1 Umur X1.2 Pendidikan formal X1.3 Pendidikan nonformal X1.4 Pengalaman menjadi kader X1.5 Tingkat kekosmopolitan X1.6 Tingkat pendapatan X1.7 Motivasi X1.8 Kepemilikan media massa Aktivitas Komunikasi Kader Posdaya (Y1) Y1.1 Komunikasi interpersonal Y1.2 Komunikasi termediasi Y1.3 Komunikasi dalam kelompok X2.1 X2.2 Keberdayaan Kader Posdaya (Y2) Y2.1 Keberdayaan kognitif Y2.2 Keberdayaan afektif Y2.3 Keberdayaan konatif Faktor Lingkungan (X2) Dinamika kelompok Peran Pendamping Gambar 3 Kerangka berpikir hubungan antarpeubah dalam penelitian 37 Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka berpikir hubungan antarpeubah dalam penelitian, maka dapat dirumuskan tujuh hipotesis penelitian sebagai berikut: 1 : Terdapat perbedaan yang nyata antara aktivitas komunikasi kader Posdaya di Kota Bogor dengan Kader Posdaya di Kabupaten Bogor. 2 : Terdapat perbedaan yang nyata antara tingkat keberdayaan kader Posdaya di Kota Bogor dengan kader Posdaya di Kabupaten Bogor. 3 : Terdapat hubungan yang nyata antara karakteristik dengan aktivitas komunikasi kader Posdaya di Kota Bogor dan Kabupaten Bogor. 4 : Terdapat hubungan yang nyata positif antara faktor lingkungan dengan aktivitas komunikasi kader Posdaya di Kota Bogor dan Kabupaten Bogor. 5 : Terdapat hubungan yang nyata positif antara karakteristik dengan tingkat keberdayaan kader Posdaya di Kota Bogor dan Kabupaten Bogor. 6 : Terdapat hubungan yang nyata positif antara faktor lingkungan dengan tingkat keberdayaan kader Posdaya di Kota Bogor dan Kabupaten Bogor. 7 : Terdapat hubungan yang nyata positif antara aktivitas komunikasi dengan tingkat keberdayaan kader Posdaya di Kota Bogor dan Kabupaten Bogor.