tinjauan pustaka

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Komunikasi dan Proses Komunikasi
Manusia tercipta sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa
adanya bantuan dari orang lain, bantuan itu didapatkan melalui sebuah
komunikasi antara manusia yang satu dengan lainnya. Dengan adanya
komunikasi, maka terciptalah sebuah kehidupan yang saling melengkapi satu
sama lain. Istilah komunikasi merupakan terjemahan yang diambil dari bahasa
Inggris “communication” yang berasal dari bahasa latin ”communicare” yang
berarti berpartisipasi atau memberitahukan dan perkataan ini bersumber pada kata
communis yang berarti “sama,” yaitu sama makna mengenai suatu hal. Jadi
komunikasi berlangsung apabila antara orang-orang yang terlibat terdapat
kesamaan makna mengenai sesuatu hal yang dikomunikasikan (Mulyana, 2005).
Merujuk pada proses penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang kepada
orang lain, maka yang terlibat di dalam komunikasi adalah manusia. Merujuk
pada pengertian Ruben dan Steward (2005) mengenai komunikasi manusia yaitu:
“Human communication is the process through which individuals in
relationships, groups, organizations, and societies respond to and
create messages to adapt to the environment and one another.”
Komunikasi manusia adalah proses yang melibatkan individu-individu
dalam suatu hubungan, kelompok, organisasi dan masyarakat yang merespons dan
menciptakan pesan untuk beradaptasi dengan lingkungan satu sama lain.
Komunikasi dalam hal ini dapat berupa tindakan satu arah, bisa pula sebagai
interaksi dan komunikasi sebagai transaksi. Sebagai tindakan satu arah,
komunikasi mengisyaratkan penyampaian pesan searah dari seseorang (atau suatu
lembaga) kepada seseorang (sekelompok orang) lainnya, baik secara langsung
(tatap muka) ataupun melalui media, seperti surat (selebaran), surat kabar,
majalah, radio, atau televisi.
Sementara itu, Rogers dan Shoemaker (1995), mengartikan komunikasi
sebagai suatu proses di mana semua partisipan atau pihak-pihak yang
berkomunikasi saling menciptakan, membagi, menyampaikan dan bertukar
informasi antara satu dengan lainnya dalam rangka mencapai suatu pengertian
bersama. Selain itu, Shannon dan Weaver (1949) dalam Wiryanto (2006)
menyebutkan bahwa komunikasi adalah bentuk interaksi manusia yang saling
mempengaruhi satu sama lain, sengaja atau tidak disengaja dan tidak terbatas pada
bentuk komunikasi verbal, tetapi juga dalam hal ekspresi wajah muka, lukisan,
seni, dan teknologi.
Setiap komunikasi yang dilakukan pasti memiliki tujuan. Oleh karena itu
tujuan komunikasi menurut Effendy (2006) ada empat yaitu : (1) mengubah sikap,
(2) mengubah opini pendapat atau pandangan, (3) mengubah perilaku, dan (4)
mengubah masyarakat. Levis (1996) dalam Wiryanto (2006) merumuskan tujuan
komunikasi meliputi: (1) informasi, yaitu untuk memberikan informasi yang
menggunakan pendekatan dengan pemikiran, (2) persuasif, yaitu untuk
menggugah perasaan penerima, (3) mengubah perilaku, yaitu perubahan sikap
terhadap pelaku pembangunan, (4) meningkatkan kemampuan untuk
mengembangkan usaha secara efisien di bidang usaha yang dapat memberi
8
manfaat dalam batas waktu yang tidak tertentu, dan (5) mewujudkan partisipasi
aktif masyarakat dalam pembangunan.
Liliweri (2004) menyatakan bahwa komunikasi secara otomatis mempunyai
fungsi sosial karena proses komunikasi beroperasi dalam konteks sosial yang
orang-orangnya berinteraksi satu sama lain. Dengan demikian fungsi komunikasi
mengandung aspek:
a. Manusia berkomunikasi untuk mempertemukan kebutuhan biologis (makan
dan minum) dan psikologis (rasa aman dan kepastian). Kedua kebutuhan
tersebut harus seimbang dan melalui komunikasi antarpribadi (interaksi
sosial), maka manusia berusaha mencari dan melengkapi kebutuhannya.
b. Manusia berkomunikasi untuk memenuhi kewajiban sosial. Setiap orang
terikat dalam suatu sistem sosial dan norma yang berlaku dalam
masyarakatnya. Misalnya nilai dan norma yang telah mengatur kewajibankewajiban tertentu secara sosial dalam berkomunikasi sebagai suatu
keharusan yang tidak dapat dielakkan.
c. Manusia berkomunikasi untuk mengembangkan hubungan timbal-balik. Kali
pertama ketika berkenalan dengan orang lain bentuk tindakan sosial yang
terjadi biasanya adalah interaksi biasa yang terjadi akibat basa-basi pergaulan,
baru kemudian meningkat dalam suatu relasi sosial, ekonomi, bisnis di antara
mereka, sehingga menghasilkan transaksi yang saling menguntungkan di
antara keduanya. Terjadi pertukaran kepentingan tertentu dalam hubungan
timbal-balik.
d. Manusia berkomunikasi untuk meningkatkan dan merawat mutu komunikas
sendiri. Dengan berkomunikasi manusia mampu menilai, melihat mutu
komunikasi orang lain dan kemudian mengubah diri sendiri, sehingga dapat
berdampak pada usaha untuk merawat kesehatan jiwa.
e. Manusia berkomunikasi untuk mengatasi konflik antarmanusia yang tidak
dapat dielakkan lagi. Melalui komunikasi konflik dapat dihindari, karena
telah terjadi pertukaran pesan dan mungkin saja kesamaan makna mengenai
sesuatu makna tertentu.
Bagian terpenting dalam komunikasi menurut Rakhmat (2005) ialah
bagaimana cara agar suatu pesan yang disampaikan komunikator itu menimbulkan
dampak atau efek tertentu pada komunikan. Dampak yang ditimbulkan dapat
diklasifikasikan menjadi:
a. Dampak kognitif yaitu dampak yang timbul yang menyebabkan menjadi tahu
atau meningkatkan intelektualitasnya.
b. Dampak afektif yaitu supaya komunikan tergerak hatinya dan menimbulkan
perasaan tertentu.
c. Dampak konatif yaitu dampak yang timbul dalam bentuk perilaku, tindakan
atau kegiatan.
Dari pengertian komunikasi yang dikemukakan para ahli di atas dapat
dilihat juga proses terjadinya komunikasi. Oleh karena itu, apakah suatu
komunikasi dapat berlangsung dengan baik atau tidak tergantung dari proses yang
berlangsung. Menurut Rusady (2003), proses komunikasi diartikan sebagai
“transfer informasi” atau pesan (message) dari pengirim pesan sebagai
komunikator dan kepada penerima pesan sebagai komunikan untuk mencapai
saling pengertian (mutual understanding) antara kedua belah pihak.
9
Menurut Effendy (2000) dalam Budiman (2009), proses komunikasi terbagi
dua tahap, yaitu :
1. Proses komunikasi secara primer
Proses komunikasi secara primer adalah proses penyampaian pikiran dan atau
perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang (simbol)
sebagai media. Lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi
adalah bahasa, gerakan tangan, atau badan (kial), isyarat, gambar, warna dan
lain sebagainya yang secara langsung mampu menerjemahkan pikiran dan atau
perasaan komunikator kepada komunikan.
2. Proses komunikasi secara sekunder
Proses komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian pesan oleh
seorang kepada orang lain dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media
kedua setelah menggunakan lambang sebagai media pertama. Seorang
komunikator menggunakan media kedua (sekunder) dalam melancarkan
komunikasinya karena komunikan sebagai sasarannya berada di tempat yang
relatif jauh atau jumlahnya banyak. Surat, telepon rumah, handphone, teleks,
radio, film, televisi, dan media internet yang sering digunakan dalam
komunikasi secara sekunder.
Berdasarkan pernyataan dan definisi tersebut dapat dikemukakan secara
umum bahwa komunikasi adalah proses pernyataan antara manusia mengenai isi
pikiran dan perasaannya untuk memperoleh persamaan makna. Mengungkapkan
isi pikiran dan perasaan tersebut apabila diaplikasikan secara benar dengan etika
yang tepat akan memberikan manfaat terhadap individu maupun kelompok.
Komunikasi memiliki peranan penting dalam membentuk sikap dan perilaku
seseorang. Dengan kata lain, komunikasi menentukan baik buruknya sikap dan
perilaku seseorang.
Demikian pula komunikasi yang terjadi dalam Posdaya. Dalam Posdaya,
komunikasi dilakukan melalui berbagai macam proses komunikasi baik proses
komunikasi secara primer maupun sekunder dapat membentuk sikap dan perilaku
masyarakat sebagai kader Posdaya. Jika proses komunikasi yang dilakukan efektif
maka akan mempengaruhi rasa kepuasan yang kemudian berpengaruh terhadap
tingkat keberdayaan kader Posdaya. Jika masyarakat puas, maka dapat
meningkatkan kredibilitas pendamping atau pengelola Posdaya.
Komunikasi dan Pembangunan
Menurut Schramm (1976) dalam Nasution (2002), bahwa untuk
meningkatkan kehidupan masyarakat perlu pembangunan. Pembangunan
memerlukan keaktifan masyarakat. Supaya masyarakat berpartisipasi, maka
pembangunan harus diinformasikan. Oleh karena itu, perlu adanya sarana atau
saluran informasi dan pembangunan komunikasi. Pembangunan komunikasi dapat
dilakukan melalui suatu perencanaan komunikasi yang dapat mengaktualisasikan
pesan pembangunan dengan cara-cara yang dapat mendorong tercapainya tujuan
pembangunan (Nasution, 2002).
Dalam penelitiannya, Mahmud (2007) menginterpretasikan bahwa dalam
konteks pembangunan prasarana pedesaan dan pembangunan wilayah kota, dapat
dibuat sebuah model hubungan komunikasi dengan pembagunan sebagai berikut:
10
Kesejahteraan
Masyarakat
Pembangunan
Wilayah/Kota
Pembangunan
Pedesaan
Penyedia
Prasarana
Informasi
Pembangunan
Partisipasi
Masyarakat
Saluran
Komunikasi
Teknik
Komunikasi
Komunikasi
Pembangunan
Gambar 1 Hubungan komunikasi dengan pembangunan
(Mahmud, 2007)
Dengan demikian komunikasi memiliki peran penting dalam pembangunan
yang berorientasi pada rakyat yang dapat mendorong warga terhadap
pembangunan. Dengan komunikasi, informasi atau pesan-pesan pembangunan
dapat disampaikan melalui komunikasi pembagunan. Komunikasi pembangunan
harus selalu diselaraskan dengan keadaan karakteristik komunikasi masyarakat
yang melibatkan unsur-unsur komunikasi (komunikator, isi pesan, saluran
komunikasi, dan sasaran komunikasi), teknik komunikasi dan saluran komunikasi.
Hasil akhir dari komunikasi pembangunan adalah untuk menciptakan partisipasi
masyarakat dalam mengisi pembangunan pedesaan atau perkotaan agar dapat
meningkatkan kesejahteraan atau taraf hidupnya dengan mengoptimalkan sumber
daya manusia dan sumber daya alam sebaik mungkin.
Pengertian Komunikasi Pembangunan
Effendy (2006) mendefinisikan komunikasi pembangunan (KP) sebagai
proses penyebaran pesan oleh seseorang atau sekelompok orang kepada khalayak
guna mengubah sikap, pendapat, dan perilakunya dalam rangka meningkatkan
kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah. Pada komunikasi pembangunan proses
interaksi seluruh warga masyarakat (aparat pemerintah, penyuluh, tokoh
masyarakat, LSM, individu atau kelompok/organisasi sosial) ditujukan untuk
menumbuhkan kesadaran dan menggerakkan partisipasi melalui proses perubahan
terencana demi tercapainya kualitas hidup secara berkesinambungan.
Komunikasi pembangunan meliputi peran dan fungsi komunikasi sebagai
suatu aktivitas pertukaran pesan secara timbal balik di antara semua pihak yang
terlibat dalam usaha pembangunan, terutama antara masyarakat dengan
pemerintah, sejak dari proses perencanaan, pelaksanaan dan penilaian terhadap
pembangunan. Komunikasi pembangunan juga meliputi upaya, cara dan teknik
penyampaian gagasan, serta keterampilan pembangunan yang berasal dari pihak
yang memprakarsai pembangunan dan ditujukan kepada masyarakat luas
(Nasution, 2002).
11
Menurut Dilla (2007), komunikasi pembangunan sebagai komunikasi yang
berisi pesan-pesan (message) pembangunan. Komunikasi pembangunan ini ada
pada segala macam tingkatan, dari seorang petani sampai pejabat, pemerintah, dan
negara, termasuk juga di dalamnya dapat berbentuk pembicaraan kelompok,
musyawarah pada lembaga formal dan nonformal. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa komunikasi pembangunan merupakan suatu inovasi yang
diterima oleh masyarakat melalui proses komunikasi. Dalam penelitian ini, yang
dimaksud komunikasi pembangunan adalah proses interaksi dan penyebaran
informasi secara timbal balik antara pihak-pihak yang terlibat dalam proses
pembangunan (pemerintah, masyarakat, dan lembaga kemasyarakatan) sejak tahap
perencanaan, pelaksanaan hingga penilaian pembangunan. Komunikasi
pembangunan dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran dan partisipasi
masyarakat.
Komunikasi Penunjang Pembangunan
Saleh (2006) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa komunikasi
pembangunan yang dilakukan di Indonesia, seperti halnya di banyak negara
berkembang sebenarnya bukan komunikasi pembangunan. Menurut Schramm dan
Lerner (1976) dalam Saleh (2006) bahwa komunikasi sebagai unsur penting
dalam proses pembangunan yang dengan komunikasi diharapkan mampu
mengubah sikap, pikiran, serta kepribadian tradisional menjadi modern.
Komunikasi bukan merupakan alat untuk diseminasi, tetapi menjadi alat bagi
peternak sendiri untuk menentukan saluran komunikasi yang akan digunakannya
dan informasi yang akan diambil, seperti halnya program pengembangan sapi
potong di desa-desa yang umumnya dilaksanakan dalam situasi dan keadaan
mikro berbentuk kampanye dan kaji tindak yang segera diakhiri bila proyek
pembangunan telah selesai dilaksanakan (Jayaweera dan Amunugawa, 1989
dalam Saleh, 2006). Oleh karena itu, perlu adanya komunikasi penunjang
pembangunan (KPP) dalam pelaksanaan berbagai macam program pembangunan
termasuk program-program dalam pemberdayaan masyarakat.
Saleh (2006) menjelaskan bahwa pelaksanaan KPP pada dasarnya tidak
bertentangan dengan komunikasi pembangunan dan tidak mengubah paradigma
pembangunan itu sendiri. Kegagalan komunikasi pembangunan di Indonesia lebih
merupakan kegagalan paradigma pembangunan itu sendiri, yaitu paradigma
pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pembangunan fisik. Oleh karena
itu, kegagalan komunikasi dalam pembangunan di Indonesia merupakan
kegagalan komunikasi linier, maka studi-studi komunikasi hendaknya mengacu
pada model komunikasi konvergensi yang memandang proses komunikasi bukan
secara sepihak dari komunikator kepada penerima (user), melainkan suatu proses
berbagi informasi tanpa menunjukkan superioritas salah satu unsur yang terlibat
dalam proses komunikasi.
Istilah KPP yang dikemukakan oleh Erskine Childers dari United Nations
Development Programe (UNDP), sebagai komunikasi yang secara khusus disusun
untuk mendukung program-program pembangunan (Jayaweera dan Amunugawa,
1989 dalam Saleh, 2006). Komunikasi Pembangunan lebih besar dibandingkan
dengan KPP, seperti halnya KPP yang dapat bekerja dengan efektif pada bidang
12
tertentu (terbatas) walaupun dengan ketidakhadiran komunikasi pembagunan.
Tabel 1 berikut memperlihatkan bagaimana komunikasi pembangunan dibedakan
dengan komunikasi penunjang pembagunan.
Tabel 1 Perbedaan komunikasi
pembangunan
Komunikasi Pembangunan
1. Secara umum digunakan untuk
nasional atau makro.
2. Berfungsi tidak langsung dan
samar-samar.
3. Bersifat persuasif dan terbuka.
4. Mengandalkan pengaruh yang
kuat dari karakteristik teknologi.
5. Dibatasi teknologi media massa.
6. Bersifat top down dan hierarki.
7. Penelitian banyak masalah,
jumlah peubah banyak, kesulitan
dalam mengontrol. Secara
konsekuen kekurangan penelitian
8. Semakin kehilangan kredibilitas.
pembangunan dan komunikasi penunjang
Komunikasi Penunjang Pembangunan
1. Secara umum digunakan untuk lokal
atau mikro.
2. Berfungsi langsung sesuai dengan efek
dan tujuan.
3. Dibatasi waktu dan mengambil bentuk
kelompok.
4. Berorientasi pesan. Secara teliti
menunjukkan kepuasan.
5. Menggunakan semua budaya media.
6. Selalu interaksi dan partisipasi.
7. Penelitian mudah, peubah dapat
diisolasi, dikontrol dan diukur. Secara
konsekuen masih ada penelitian.
8. Kredibilitas sangat besar. Diadopsi
oleh seluruh agen pembangunan
nasional dan internasional.
Sumber: Saleh, 2006
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa komunikasi penunjang
pembangunan (communication supporting development) merupakan sebuah
komunikasi yang berkembang sesuai dengan perkembangan wilayah (bersifat
lokal atau mikro) yang dilandasi proses interaksi dan partisipasi masyarakat
dengan tujuan untuk menyampaikan pesan-pesan pembangunan atau
memasyarakatkan program-program pembangunan melalui forum dialog akar
rumput (grass roots), budaya media, berbagi pengetahuan (knowledge sharing),
dan melalui komunikator. Dialog akar rumput (grass roots dialogue) didasarkan
atas kaidah partisipasi untuk mempertemukan sumber dan agen perubahan
langsung dengan masyarakat.
Dalam penelitian ini, komunikasi penunjang pembangunan memiliki
peranan dan kredibilitas yang sangat besar dalam memajukan kelompok Posdaya
baik di Kota maupun Kabupaten Bogor agar tercapai perbaikan mutu hidup
segenap warga masyarakat melalui proses perubahan dalam berbagai aspek
kehidupan yang mencakup pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan lingkungan. Oleh
karena itu, pesan komunikasi yang harus dikomunikasikan di dalam proses
komunikasi penunjang pembangunan haruslah sesuai dengan tujuan
memberdayakan dan menyejahterakan masyarakat serta mendorong
berlangsungnya perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik lagi, sekaligus
memiliki sifat inovatif dalam pembangunan.
13
Komunikasi Penunjang Pembangunan dalam Pemberdayaan Masyarakat
Proses pemberdayaan tidak dapat berjalan jika tidak didukung komunikasi
yang baik dan efektif. Lubis (2009) menjelaskan secara sederhana bahwa
komunikasi berperan untuk memfasilitasi penemuan (invention) dan menyebarkan
inovasi ke sistem sosial yang lebih luas dan komunikasi sangat bermanfaat untuk
pembangunan. Pada saat pemerintah Indonesia melakukan pembangunan yang
sentralistik, bergantung pada pemerintah pusat, pendekatan pembangunan yang
dipakai adalah bersifat (top down) dan masyarakat mengikuti apa yang dianjurkan
dari atas. Komunikasi pembangunan bertujuan untuk membujuk masyarakat, agar
mengikuti apa yang dikatakan pemerintah. Model komunikasi yang dipakai untuk
keperluan ini adalah model linier.
Saat ini, pembangunan banyak mempergunakan pendekatan partisipatif
yang melibatkan seluruh warga dalam proses penunjang pembangunan, yaitu
sejak tahap perencanaan, pelaksanaan, evaluasi sampai ke tahap menikmati hasil
pembangunan. Pada pendekatan ini, proses komunikasi penunjang pembangunan
memegang peranan yang sangat penting dalam menumbuhkan partisipasi
masyarakat. Dalam hal ini pendekatan komunikasi yang dipakai untuk
pembangunan adalah model komunikasi konvergensi dengan pendekatan
partisipasi masyarakat.
Model komunikasi yang dibutuhkan adalah model yang memungkinkan
adanya pertukaran informasi antarkomponen dalam proses komunikasi dengan
banyak dimensi. Pendekatan ini sering disebut dengan model partisipasi
(participatory model) atau model interaktif (interactive model). Komunikasi dua
arah adalah model komunikasi interaksional, merupakan kelanjutan dari
pendekatan linier. Pada model ini terjadi komunikasi umpan balik (feedback)
gagasan. Ada pengirim (sender) yang mengirimkan informasi dan ada penerima
(receiver) yang melakukan seleksi, interpretasi, dan memberikan respons balik
terhadap pesan dari pengirim (sender). Dengan demikian, komunikasi
berlangsung dalam proses dua arah (two way communication) maupun proses
peredaran atau perputaran arah (cyclical process). Setiap partisipan memiliki
peran ganda, pada satu waktu bertindak sebagai sender, sedangkan pada waktu
lain berlaku sebagai receiver, terus seperti itu sebaliknya (Bungin, 2009).
Dalam komunikasi dua arah bukan hanya pesan yang diperhatikan tetapi
juga arusnya yang dua arah. Jika pesan yang dipentingkan, maka yang keluar
hanya perintah, pengarahan atau petunjuk yang tanpa diskusi atau komunikasi
sekalipun. Komunikasi diutamakan berbentuk komunikasi dua arah, di mana
alternatif pendapat, saran dan cara pemecahan yang timbul dari keinginan
bersama. Menurut Freire (1984) dalam Waskita (2005), proses komunikasi dua
arah yang berkelanjutan sehingga menemukan suatu pemahaman dan pengertian
yang membentuk suatu kesadaran. Proses komunikasi tersebut sering disebut
sebagai model komunikasi konvergensi. Dalam konteks pembangunan, model
komunikasi penunjang pembangunan dapat digambarkan seperti pada Gambar 2.
14
L1
L2
P
K
K
M
A
S
Y
A
R
A
K
A
T
Keterangan:
L1 = Lembaga atau instansi pemerintah
L2 = Lembaga pengelola pemberdayaan
P = Pemberdayaan masyarakat
K = Komunikasi dua arah
Gambar 2 Model komunikasi penunjang pembangunan untuk
pemberdayaan
(Waskita, 2005)
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada pemberdayaan
masyarakat, komunikasi penunjang pembangunan merupakan alat atau jalan
mencapai partisipasi masyarakat dan juga merancang pesan pembangunan yang
diperlukan dalam proses perubahan perilaku masyarakat yaitu memiliki
pengetahuan, sikap, dan tindakan untuk berperilaku menerapkan pesan-pesan
pembangunan (ide-ide atau teknologi) yang terpilih guna mencapai perbaikan
mutu hidup yang diharapkan melalui komunikasi dua arah yang berlangsung terus
menerus hingga tercapai kesamaan makna pesan.
Komunikasi penunjang pembangunan dalam program Posdaya di Kota dan
Kabupaten Bogor merupakan desain pesan komunikasi yang dapat menciptakan
keberdayaan, peningkatan kesadaran partisipasi pembangunan dengan melakukan
pendekatan persuasif melibatkan peran serta kader Posdaya, tokoh masyarakat,
aparat pemerintah/penyuluh, menciptakan suasana komunikasi yang dapat
mendorong kader Posdaya berani mengeluarkan pendapat atau ide pembangunan
dan memanfaatkan saluran komunikasi penunjang pembangunan yang berfungsi
sebagai saluran pesan yang akrab serta mampu mengembangkan komunikasi
partisipatoris dalam setiap program Posdaya.
Karakteristik Individu sebagai Pelaku Komunikasi
Penerapan model komunikasi pembangunan apa pun tidak akan efektif
apabila tidak disesuaikan dengan berbagai ragam karakteristik masyarakat yang
menjadi sasaran kegiatan komunikasi. Peserta program Posdaya memiliki
karakteristik tersendiri yang membedakan dengan kelompok-kelompok
masyarakat lainnya. Identifikasi karakteristik kader Posdaya sebagai pelaku
komunikasi akan sangat bermanfaat dalam menentukan serangkaian kegiatan
15
komunikasi yang sesuai dengan kondisi masyarakat, terutama dalam mengenali
kelompok-kelompok potensial dalam melakukan langkah-langkah perubahan
melalui pemberdayaan masyarakat.
Merujuk teori Nasution (2002) bahwa usaha pembangunan ditandai adanya
sejumlah orang yang mempelopori, menggerakkan dan menyebarluaskan proses
perubahan. Penelitian Mahmud (2007) menyebutkan ada beberapa indikator
kecenderungan ke arah perubahan yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk
mengidentifikasi karakteristik pelaku komunikasi yaitu: 1) aspek pendidikan,
meliputi indikator tingkat pendidikan formal dan nonformal; 2) aspek mobilitas,
meliputi indikator tempat kerja dan tingkat keseringan ke luar kota; 3) aspek akses
media, meliputi indikator kepemilikan media massa, muatan media yang disukai,
terpaan informasi; 4) aspek keorganisasian, dilihat dari indikator keikutsertaan
dalam organisasi masyarakat; dan 5) aspek pendapatan yang dilihat dari indikator
penghasilan rata-rata tiap bulan.
Menurut Far-Far (2011), karakteristik individu merupakan salah satu faktor
penting untuk diketahui dalam rangka mengetahui kecenderungan perilaku
seseorang atau masyarakat dalam kehidupannya. Kemampuan atau potensi yang
dimiliki petani dapat dipelajari melalui karakteristik yang melekat pada diri petani
itu sendiri. Karakteristik individu tersebut meliputi: umur, pendidikan,
pendapatan, pengalaman dan luas lahan petani merupakan karakteristik yang
berhubungan nyata dan sangat nyata dengan perilaku komunikasi interpersonal.
Hubungan tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi umur, pendidikan,
pendapatan dan luas lahan yang dimiliki petani, cenderung komunikasi
interpersonal semakin tinggi dan baik.
Hasil penelitian Utami (2007) menyimpulkan bahwa beberapa aspek
karakteristik individu yang memiliki pengaruh besar terhadap perilaku wirausaha
dan tingkat kemandirian adalah pendidikan, motivasi berusaha, dan aspek gender
melalui intensitas komunikasi dan pemenuhan kebutuhan. Penelitian Prihandoko
et al. (2012) menyebutkan salah satu profil nelayan adalah tingkat pendidikan
(pendidikan formal dan nonformal). Minimnya tingkat capaian nelayan terhadap
akses pendidikan formal ternyata tidak berbeda dengan kondisi nelayan ketika
mereka mengakses jenis pendidikan nonformal seperti dalam bentuk kursus,
magang atau pelatihan.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa untuk dapat melakukan aktivitas
komunikasi, seseorang mempunyai karakteristik tertentu. Sehubungan dengan
penelitian ini, karakteristik individu kader Posdaya yang akan diamati adalah
umur, pendidikan (formal maupun nonformal), pengalaman menjadi kader
Posdaya, tingkat kekosmopolitan, tingkat pendapatan, motivasi dan kepemilikan
media massa.
1) Umur
Umur atau usia merupakan rentang kehidupan yang diukur dengan tahun.
Siahaan (2002), menyatakan bahwa pertambahan usia akan menimbulkan
tindakan (konatif) untuk mengelola sistem usaha tani supaya lebih baik dan
berupaya mendapatkan informasi-informasi baru (pengetahuan berupa inovasi).
Hasil penelitian Nurmalia dan Lumintang (2006) menyatakan umur yang
produktif mempengaruhi kemampuan dalam melakukan kegiatan usaha
pengolahan ikan asin. Berbeda dengan penelitian Aprolita et al. (2008) yang
16
menyatakan umur tidak mempengaruhi kemandirian responden dalam kegiatan
usaha budidaya ikan patin, baik pada aspek pengelolaan modal, proses produksi,
maupun pemasaran. Pada lokasi penelitian, umur pembudidaya tidaklah menjadi
aspek penghalang pembudidaya dalam kemandirian usaha budidaya ikan patin, di
mana usia muda, sedang, dan tua masing-masing memiliki kemandirian yang
sama dalam melakukan usaha budidaya ikan patin.
Berdasarkan pendapat tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa umur dalam
penelitian ini adalah rentang kehidupan yang dijalani oleh kader Posdaya sampai
dengan waktu penelitian, yang dinyatakan dalam tahun. Umur kader Posdaya
diharapkan mempengaruhi kader Posdaya dalam melaksanakan aktivitas
komunikasi dan dalam konteks pemberdayaan, umur mempunyai pengaruh positif
terhadap tingkat keberdayaan.
2) Pendidikan
Menurut Sudjana (2004) sistem pendidikan nasional Indonesia terdiri dari
subsistem pendidikan formal yang berlangsung di sekolah, subsistem pendidikan
informal yang berlangsung di dalam keluarga dan lingkungannya, dan subsistem
pendidikan nonformal yang berlangsung secara opsional dapat di mana saja.
Pendidikan nonformal adalah setiap kegiatan terorganisasi dan sistematis, di luar
sistem sekolah yang mapan, dilakukan secara mandiri atau merupakan bagian
penting dari kegiatan yang lebih luas, yang sengaja dilakukan untuk melayani
peserta didik tertentu di dalam mencapai tujuan belajarnya. Pendidikan nonformal
tersebut mempunyai beragam nama misalnya kursus, pelatihan, penataran,
upgrading, bimbingan belajar, dan tutorial.
Menurut Suyono (2006), pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Fungsi
pendidikan adalah untuk mengembangkan kemampuan, kualitas individu,
meningkatkan mutu kehidupan, dan martabat manusia serta membebaskan
manusia dari belenggu kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, dan penindasan.
Pendidikan, baik formal maupun nonformal adalah sarana untuk
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan. Pada umumnya seseorang yang
berpendidikan lebih baik dan berpengetahuan teknis yang lebih banyak akan lebih
mudah dan lebih mampu berkomunikasi dengan baik. Semakin tinggi pendidikan
formal akan semakin tinggi pula kemampuannya untuk menerima, menyaring, dan
menerapkan inovasi yang dikenalkan kepadanya. Rogers (2003) menyatakan
bahwa orang yang mengadopsi inovasi lebih awal dalam proses difusi, cenderung
lebih berpendidikan. Pendidikan menggambarkan tingkat kemampuan kognitif
dan derajat ilmu pengetahuan yang dimiliki seseorang. Dalam hal keberdayaan,
Suyono (2006) menjelaskan bahwa ada hubungan kausal antara tingkat
pendidikan dengan keberdayaan. Keberdayaan hanya dapat dicapai oleh individu
atau masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan memadai (well educated). Bagi
masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan yang memadai, jalan menuju
keberdayaan lebih terbuka lebar ketimbang mereka yang tidak berpendidikan.
Hasil penelitian Herawati dan Pulungan (2006) menyatakan bahwa
pendidikan formal responden dalam penelitian ini cukup bervariasi mulai dari
17
yang mengikuti Sekolah Dasar sampai yang mengikuti pendidikan di perguruan
tinggi. Hasil penelitian menunjukkan semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang
semakin tinggi pula partisipasinya dalam mengajukan saran. Hasil penelitian
Purnaningsih dan Sugihen (2008) menunjukkan peubah tingkat pendidikan secara
positif berpengaruh nyata terhadap model kinerja petani dalam hal penggunaan
teknologi produksi, dan penggunaan pestisida tepat guna. Semakin tinggi
pendidikan petani, kinerjanya semakin baik. Dengan memiliki tingkat pendidikan
tertentu baik itu pendidikan formal ataupun nonformal, maka seseorang akan
meningkat pengetahuannya, sikapnya, dan keterampilannya.
3) Pengalaman
Menurut Gagne dalam Wardhani (1994), pengalaman adalah akumulasi dari
proses belajar mengajar yang dialami oleh seseorang. Kecenderungan seseorang
untuk berbuat tergantung dari pengalamannya, karena menentukan minat dan
kebutuhan yang dirasakan. Hasil penelitian Murtiyeni (2002) menunjukkan bahwa
semakin tinggi tingkat pengalaman berusaha ternak sapi perah, semakin tinggi
pula respons responden pada saluran interpersonal.
Pengalaman berkelompok perlu dijadikan salah satu pertimbangan, karena
menentukan mudah tidaknya bagi kader Posdaya untuk menyesuaikan diri dengan
kondisi lingkungan biofisik, sosial, ekonomi, dan teknologi. Pengalaman memiliki
kontribusi terhadap perkembangan skill, kemampuan, dan kompetensi yang
memiliki fungsi untuk menggerakkan ide-ide dalam pengembangan Posdaya.
Untuk dapat mempunyai tanggapan dan penghayatan, seseorang harus mempunyai
pengalaman yang berkaitan dengan obyek psikologis. Sehubungan dengan itu,
Azwar (2003) mengatakan bahwa tidak adanya pengalaman sama sekali dengan
suatu obyek psikologis cenderung akan membentuk sikap negatif terhadap obyek
tersebut.
Menurut Bird (2001), pembelajaran yang diperoleh dari pengalaman
memberikan kemampuan (ability) bagi seseorang untuk: 1) belajar dari
pengalaman yang berasal dari kegagalan dan keberhasilan; 2) merefleksikan
pengalaman dengan melibatkan ego, emosi, dan asumsi untuk melihat apa yang
akan terjadi; 3) mengabstraksi pengalaman yang dialami dan menghubungkan
dengan pengalaman orang lain, kemudian membuat prediksi apa yang akan
dilakukan; 4) mencoba sesuatu yang baru pada masa yang akan datang.
Pengalaman yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengalaman
menjadi kader Posdaya yaitu akumulasi keikutsertaan kader Posdaya dalam
menduduki posisi sebagai kader Posdaya baik sebagai koordinator, sekretaris,
bendahara, kader Posdaya bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan kader
Posdaya bidang lingkungan. Pengalaman ini menjadi faktor penting bagi
keberlangsungan aktivitas komunikasi dan tingkat keberdayaan kader Posdaya.
4) Tingkat kekosmopolitan
Menurut Mardikanto (1996) sifat kekosmopolitan adalah tingkat
hubungannya dengan dunia luar di luar sistem sosialnya sendiri. Sifat
kekosmopolitan dicirikan oleh frekuensi dan jarak perjalanan yang dilakukan,
serta pemanfaatan media massa. Tomatala (2008) mengemukakan bahwa orang
yang sifat kekosmopolitan tinggi biasanya mencari informasi dari sumber di luar
lingkungannya. Sebaliknya, orang yang sifat kekosmopolitannya rendah
18
cenderung mempunyai ketergantungan yang tinggi pada tetangga atau temanteman dalam lingkungan yang sama lalu mengandalkannya sebagai sumber
informasi. Seseorang yang mempunyai pergaulan luas dan mempunyai kecepatan
pencarian informasi yang diperlukan dapat diartikan mempunyai kekosmopolitan
tinggi.
Hasil penelitian Herawati dan Pulungan (2006) menyatakan bahwa dalam
tingkat kekosmopolitan kontak tani, pengalaman berkunjung ke daerah lain dan
melihat kemajuan yang sudah dicapai oleh petani lain baik sebagai utusan dari
Unit Penyuluhan Pertanian (UPP) maupun dengan kunjungan yang bersifat
pribadi dapat menambah perbendaharaan pengetahuan dan keterampilan tentang
usaha tani, merangsang diri dan kelompok agar lebih dinamis, dan menimbulkan
semangat kerja untuk meningkatkan produktivitas. Hal ini membuat kontak tani
lebih banyak mengajukan saran atau usul dalam pembahasan programa.
Kunjungan dan interaksi dapat mempengaruhi sikap dan mental kontak tani yang
biasanya akan lebih cepat menyambut dan berpartisipasi pada setiap usaha yang
bertujuan memperbaiki atau membangun usaha pertanian masyarakat.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka tingkat kekosmopolitan dalam
penelitian ini adalah keterbukaan seorang kader Posdaya melalui kunjungan ke
daerah lain untuk mendapatkan berbagai sumber informasi. Tingkat
kekosmopolitan individu dicirikan oleh sejumlah atribut yang membedakan kader
Posdaya dari orang-orang lain di dalam kelompoknya, yaitu banyak berhubungan
dengan pihak luar, memiliki hubungan lebih banyak dengan orang lain maupun
lembaga yang berada di luar komunitasnya yang ditunjukkan dengan frekuensi
kunjungan kader Posdaya ke sumber informasi dalam rangka pencarian informasi
yang ada kaitannya dengan program Posdaya.
5) Tingkat Pendapatan
Tingkat pendapatan adalah jenjang penerimaan yang diperoleh oleh tiap
individu sebagai balas jasa atau imbalan yang diperoleh dari kegiatan ekonomi
yang dilakukan oleh individu-individu. Sinaga (2007) dalam penelitiannya
menjelaskan bahwa tingkat pendapatan keluarga adalah seluruh penerimaan yang
diterima keluarga yang didapatkan dari penghasilan per bulan. Penelitian
Suhartini et al. (2009) menjelaskan bahwa pendapatan masyarakat bersumber dari
berbagai aktivitas usaha pertanian (on farm), usaha di luar pertanian (off farm),
dan usaha di luar sektor pertanian (nonfarm). Usaha pertanian on farm meliputi
bertani padi, palawija, hortikultura, peternakan, dan perkebunan. Usaha pertanian
off farm seperti menjadi buruh tani. Usaha nonfarm meliputi usaha di luar
pertanian seperti karyawan di perusahaan/industri, pertukangan, transportasi,
PNS/TNI/POLRI, buruh bangunan, dagang, dan sebagainya.
Penduduk pedesaan yang pada umumnya bekerja di sektor pertanian
ternyata memiliki sumber pendapatan yang beragam. Nurmanaf (1988) dalam
Suhartini et al. (2009) mendapatkan bahwa di pedesaan Sumatera Barat hanya 319 persen rumah tangga yang mempunyai satu sumber pendapatan dan sebagian
besar memiliki dua atau lebih sumber pendapatan. Sementara itu sebaran
pendapatan rumah tangga bervariasi antar daerah dan antar tahun.
Dengan demikian tingkat pendapatan dalam penelitian ini adalah jenjang
penerimaan atau penghasilan yang diperoleh kader Posdaya berupa uang untuk
jangka waktu tertentu (setiap bulan) melalui usaha pertanian, usaha di luar
19
pertanian dan usaha di luar sektor pertanian. Tingkat pendapatan merupakan aspek
penting untuk menggambarkan karakteristik kader Posdaya, karena pendapatan
sangat berpengaruh terhadap aspek-aspek yang lain. Dengan pendapatan yang
memadai seseorang akan lebih memiliki peluang untuk menempuh pendidikan
yang lebih tinggi, memilih media massa yang diinginkan, dan melakukan
aktivitas-aktivitas yang lain.
6) Motivasi
Setiap aktivitas manusia selalu berhubungan dengan adanya dorongan,
alasan ataupun kemauan. Begitu pula kehendak untuk menjalin dan membina
hubungan interpersonal, juga dilandasi oleh adanya dorongan tertentu yang
disebut motivasi. Secara etimologis, motivasi berasal dari bahasa Latin yaitu
”motif” yang berarti alasan dasar, pikiran dasar, dorongan bagi seseorang untuk
berbuat atau ide pokok yang selalu berpengaruh terhadap tingkah laku manusia
(Kartono, 1988 dalam Sitompul, 2009). Motivasi merupakan proses psikologis
yang mencerminkan interaksi antara sikap, kebutuhan, persepsi dan keputusan
pada seseorang yang timbul karena adanya faktor intrinsik dan ekstrinsik
(Wahyusumidjo, 1984 dalam Sitompul, 2009).
Penelitian Siswanto (2011) menyebutkan bahwa motivasi adalah suatu
keadaan dalam pribadi yang mendorong keinginan individu untuk melakukan
keinginan tertentu guna mencapai tujuan. Lebih tegas lagi Schiffman dan Kanuk
(2000) dalam Siswanto (2011) menyatakan bahwa motivasi merupakan kekuatan
penggerak dalam diri seseorang yang memaksanya untuk bertindak. Penelitian
Saleh (2010) menyimpulkan bahwa motivasi berhubungan nyata dengan tingkat
penerapan teknologi produksi kakao. Semakin tinggi motivasi petani semakin
tinggi tingkat penerapan teknologi produksi kakao. Dalam penelitiannya, Saleh
(2010) membagi motivasi menjadi dua yaitu motivasi intrinsik dan motivasi
ekstrinsik. Motivasi intrinsik yang dimaksud: memenuhi kebutuhan, menjalin
pergaulan, merasa dihargai, bersemangat, menyenangkan dalam bekerja dan
kemauan sendiri. Selain itu, motivasi ekstrinsik di antaranya: mengutamakan
mutu produk, bekerja efektif, tingginya harga produk, tidak merugikan, bekerja
efisien, anjuran orang lain.
Dalam penelitian Wahyuningsih (2011), yang dimaksud dengan motivasi
adalah keinginan atau dorongan masyarakat yang menggunakan telepon seluler
sebagai media komunikasi. Hasil penelitian Maksum et al. (2008) menyimpulkan
bahwa responden memiliki motivasi tinggi terhadap akses informasi dan
kemampuan berkomunikasi untuk mengekspresikan kebutuhan informasi mereka
melalui pendekatan personal, kelompok maupun massa.
Dari uraian tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa motivasi
adalah daya pendorong yang menyebabkan seseorang berbuat sesuatu guna
mencapai tujuan yang diinginkannya. Tujuan tersebut adalah terpenuhinya
kebutuhan yang dirasakan. Dalam konteks aktivitas komunikasi kader Posdaya,
motivasi merupakan salah satu faktor yang mendorong kader Posdaya untuk
memenuhi kebutuhan berkomunikasi dengan menggunakan media cetak, media
elektronik dan media lainnya. Pada konteks kelompok Posdaya, motivasi dalam
penelitian ini adalah dorongan yang muncul dari dalam diri kader Posdaya sebagai
motivasi intrinsik dan berasal dari luar atau lingkungan sebagai motivasi
ekstrinsik.
20
7) Kepemilikan Media Massa
Kepemilikan media (media ownership) mempunyai arti penting untuk
melihat peran, ideologi, konten media dan efek yang ditimbulkan media kepada
masyarakat. Baik di tingkat nasional maupun internasional, ada tendensi yang
mengarah pada konsentrasi kepemilikan media massa oleh masyarakat. Menurut
Saleh (2006), kepemilikan media massa kelompok peternak terdiri dari radio,
televisi, telepon rumah, handphone (hp), berlangganan koran, dan majalah. Hasil
penelitiannya, Saleh (2006) menyatakan bahwa media massa yang hampir dimiliki
semua peternak ialah televisi (87 persen) dan radio (76 persen), media massa
lainnya dengan kepemilikan yang masih kecil antara lain: handphone (8 persen),
telepon dan koran (masing-masing 6 persen) dan majalah (hampir 5 persen).
Dengan demikian, kepemilikan media massa dalam penelitian ini adalah
segala bentuk media massa (media cetak, media elektronik dan media terbaru)
yang dipunyai atau dimiliki oleh kader Posdaya. Kepemilikan media massa ini
sangat berpengaruh terhadap aktivitas komunikasi yang dilakukan oleh kader
Posdaya yang mendorong pada tingkat keberdayaan maupun kemandirian sebagai
kader Posdaya.
Lingkungan Pendukung Aktivitas Komunikasi
Lingkungan pendukung aktivitas komunikasi disebut juga sebagai faktor
situasional atau faktor lingkungan. Faktor ini mempengaruhi aktivitas komunikasi
seseorang sebagai cerminan dari perilaku. Faktor situasional merupakan aspek
yang berasal dari luar pribadi yang berpengaruh terhadap perilaku. Samson dalam
Rakhmat (2005) membagi faktor situasional ke dalam tiga kelompok yaitu: 1)
aspek obyektif dari lingkungan seperti geografis, iklim, sosial, temporal, suasana
perilaku; 2) lingkungan psikososial seperti iklim organisasi/kelompok; 3) stimuli
yang mendorong dan memperteguh perilaku seperti orang lain.
Lingkungan psikososial yang dikaji dalam penelitian ini adalah iklim
organisasi atau kelompok yang terjadi dan dalam hal ini adalah dinamika
kelompok Posdaya serta stimuli yang mendorong dan memperteguh perilaku
adalah peran pendamping Posdaya dengan berbagai macam cara atau metode yang
dilakukan dalam pendampingan atau pembinaan Posdaya. Dengan kedua faktor
lingkungan dinamika kelompok dan peran pendamping tersebut, diharapkan dapat
meningkatkan aktivitas komunikasi yang mendorong terjadinya keberdayaan
kader Posdaya.
1) Dinamika Kelompok
Dinamika kelompok memiliki nilai kekuatan atau gerak yang terdapat di
dalam kelompok yang menentukan perilaku kelompok dan anggotanya, dalam
pencapaian tujuan. Kekuatan-kekuatan tersebut ditinjau dari pendekatan psikologi
sosial, seperti dikemukakan Margono (2001) dalam Widarjanto dan Nurmawati
(2011) berasal dari unsur-unsur:
a) Tujuan kelompok, yaitu perwujudan hasil yang diharapkan akan dicapai oleh
kelompok, sehingga diperlukan berbagai usaha untuk mencapainya.
21
b) Struktur kelompok merupakan bentuk hubungan antara individu-individu
dalam kelompok dan pengaturan peranan yang disesuaikan dengan tujuan
kelompok.
c) Fungsi tugas merupakan kegiatan yang harus dilakukan kelompok untuk
mencapai tujuan kelompok yang telah disepakati. Keberhasilan pencapaian
fungsi tugas dapat ditelusuri dari kepuasan, informasi, koordinasi, prakarsa,
dan penyebaran.
d) Pengembangan dan penyuluhan kelompok. Unsur ini adalah usaha-usaha
yang berorientasi pada pengembangan dan pemantapan kehidupan kelompok.
Eksistensi dari situasi ini dapat diamati dari beberapa hal yaitu partisipasi,
fasilitas, komunikasi, dan penambahan anggota.
e) Kekompakan kelompok. Unsur ini merupakan kesatuan kelompok yang
dicirikan oleh keterikatan yang kuat di antara anggota dan sekaligus
menggambarkan kekuatan kelompok untuk bertahan dari tekanan yang
berasal dari dalam dan dari luar kelompok.
f) Suasana kelompok adalah perasaan-perasaan yang ada pada anggota
kelompok secara umum. Dalam kaitannya dengan dinamika kelompok,
perasaan-perasaan ini dapat berupa suasana kelompok yang hangat, saling
menghargai dan setiakawan.
g) Tekanan kelompok, merupakan suatu stimuli yang menyebabkan kelompok
bereaksi dan tidak statis. Berdasarkan sumbernya tekanan tersebut dapat
berasal dari dalam maupun dari luar.
h) Keberhasilan kelompok. Keberhasilan kelompok dapat dilihat dari: (1)
pencapaian tujuan kelompok yang dilihat dari segi produktivitas, moral, dan
kepuasan anggota; (2) suasana kelompok; dan (3) rasa puas anggota menjadi
bagian dari kelompok.
Hubungan kelompok dengan aktivitas komunikasi harus dapat memberikan
kesempatan kepada anggota-anggotanya untuk berinisiatif memberikan gagasan
dan pemikiran, serta mengolah menjadi tindakan nyata. Dengan demikian
dinamika kelompok dalam penelitian ini adalah kondisi kelompok yang dapat
mempengaruhi aktivitas komunikasi dalam kelompok. Dinamika kelompok dalam
penelitian ini diukur dengan menggunakan parameter dari items level tujuan,
pengembangan dan penyuluhan kelompok, suasana, serta fungsi tugas.
2) Peran Pendamping
Upaya untuk mempercepat proses perbaikan dalam pemberdayaan
masyarakat diperlukan seorang pendamping. Karsidi (2002) mengungkapkan
bahwa dalam pemberdayaan, seorang pendamping harus mampu belajar dari
masyarakat; pendamping adalah fasilitator, bukan guru dan tidak menggurui;
saling belajar, saling berbagi pengalaman mengandung makna pengakuan akan
pengalaman dan pengetahuan tradisional masyarakat (adanya pengakuan).
Menurut Asngari (2001), pendamping “sebagai agen pembaharuan dapat
berperan sebagai juru penerang (pemberi informasi), guru, penasihat,
pembimbing, konsultan, dan pengarah dalam kaitan dengan bisnis klien baik
bisnis on farm maupun bisnis off farm serta wawasan pembaharuan dan
modernisasi. Tenaga pendamping menurut Jamasy (2004), setidaknya harus
22
mempunyai empat sifat, yakni: (1) harus memiliki keterampilan dalam
menyesaikan masalah (problem solving), (2) harus memiliki kepedulian dan
keberpihakan kepada masyarakat yang diberdayakan (sense of community), (3)
harus mempunyai visi (sense of mission), dan (4) harus memiliki kejujuran kepada
diri sendiri dan kepada orang lain (honesty with others and with self).
Peran pendamping dalam upaya meningkatkan partisipasi dan keberdayaan
kelompok Posdaya sangat urgent untuk dilakukan. Peran pendamping sebagai
salah satu alternatif pemberdayaan yang dilaksanakan untuk meningkatkan
kemampuan dan meningkatkan kegiatan kelompok, agar dalam pelaksanaan
kegiatan kelompok berjalan lebih efektif dan dapat diterima oleh anggota
kelompok yang didampingi atau yang diberdayakan baik sebagai fasilitator,
komunikator, mediator, ataupun dinamisator serta membantu mencari cara
pemecahan masalah yang tidak dapat dilakukan oleh masyarakat sendiri.
Dengan demikian peran pendamping yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah peran dari seorang agen pembaharu (pendamping Posdaya) yang terampil,
peduli dan jujur serta mampu bekerja sama karena mempunyai kesamaan aspirasi
dan kegiatan bersama, di mana hubungan di antaranya akrab dan mampu
berkomunikasi dengan masyarakat atau anggota kelompok Posdaya baik sebagai
fasilitator, komunikator maupun mediator.
Aktivitas Komunikasi
Segala sesuatu yang dilakukan atau kegiatan-kegiatan yang terjadi baik fisik
maupun nonfisik, merupakan suatu aktivitas. Aktivitas juga diartikan segala
kegiatan yang dilaksanakan baik secara jasmani atau rohani (Rosalia, 2005).
Aktivitas komunikasi adalah proses dalam berkomunikasi yang merupakan semua
kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk memperoleh informasi. Heath
dan Bryant (2000) dalam Poentarie (2009) membagi dua cara manusia
berkomunikasi yaitu komunikasi langsung (direct communication) dan
komunikasi yang termediasi (mediated communication/indirect communication).
Dalam penelitiannya, Poentarie (2009) menyebut komunikasi langsung dengan
istilah komunikasi nonmedia yaitu komunikasi yang dilakukan secara langsung
tatap muka (face to face) atau komunikasi interpersonal.
Menurut Far-Far (2011), komunikasi antara sesama petani mendominasi
aktivitas komunikasi sehari-hari. Aktivitas komunikasi petani ditunjukkan dengan
adanya frekuensi komunikasi interpersonal melalui kontak dengan sesama petani,
kontak dengan Petugas Penyuluh Lapangan (PPL), kontak dengan peneliti, kontak
dengan tokoh masyarakat, dan kontak dengan sesama petani dalam kelompok.
Lumban (2005) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa aktivitas komunikasi
merupakan aksesibilitas responden berkomunikasi dengan orang atau sumber lain
melalui intensitas komunikasi interpersonal, partisipasi dalam kelompok, dan
frekuensi komunikasi melalui media massa.
Berdasarkan definisi aktivitas komunikasi di atas, dapat dinyatakan bahwa
aktivitas komunikasi dalam penelitian ini adalah tindakan atau respons seseorang
terhadap sumber dan pesan. Pada kebanyakan orang, aktivitas komunikasi dapat
diamati melalui kebiasaan mereka berkomunikasi. Aktivitas yang dilakukan kader
Posdaya dalam usaha memperoleh informasi sebagai bahan pertimbangan untuk
23
mengambil keputusan dan mengadopsi berbagai macam pelaksanaan dan
penyelenggaraan Posdaya. Aktivitas komunikasi yang dilakukan seseorang atau
kelompok akan menentukan efektivitas komunikasi. Dalam penelitian ini,
aktivitas komunikasi yang terjadi pada Posdaya meliputi frekuensi dan intensitas
kontak interpersonal (kontak kader dengan pendamping, kontak kader dengan
aparat pemerintah/penyuluh, kontak kader dengan tokoh masyarakat, kontak kader
dengan anggota Posdaya), frekuensi dan durasi penggunaan media, serta aktivitas
komunikasi di dalam kelompok yang meliputi; frekuensi, intensitas komunikasi
dalam kelompok dan partisipasi kader dalam kegiatan Posdaya.
Komunikasi Interpersonal
Menurut Tubbs dan Moss (2005), komunikasi interpersonal atau komunikasi
antarpribadi disebut juga komunikasi insani (human communication) yang
diartikan sebagai proses pembentukan makna di antara dua orang atau lebih.
Peristiwa komunikasi dua orang mencakup hampir semua komunikasi informasi
dan basa-basi, percakapan sehari-hari, mencakup hubungan antarmanusia yang
paling erat. Dalam penelitiannya, Hadiyanto (2001) menyebutkan bahwa budaya
komunikasi masyarakat desa pada umumnya masih didominasi budaya
komunikasi sosial tradisional yang lebih mengutamakan komunikasi tatap muka
atau interpersonal communication yang ditandai dengan frekuensi dan intensitas
kontak interpersonal. Menurut Soekanto (2002), kontak merupakan tahap awal
dari terjadinya interaksi sosial menyangkut hubungan antarindividu,
antarkelompok, maupun antara individu dan kelompok, yang hanya mungkin
terjadi apabila dipenuhi dua syarat yaitu adanya kontak sosial (social contact) dan
adanya komunikasi.
1) Frekuensi Komunikasi Interpersonal
Menurut Hadiyanto (2001), frekuensi berhubungan dengan agen pembaharu,
dalam hal ini petani berhubungan erat dengan tingkat penerapan suatu inovasi.
Semakin sering petani berhubungan dengan agen pembaharu, semakin banyak
informasi yang dapat dihimpun oleh petani, sehingga menyebabkan terjadinya
penguatan dalam dirinya dan melahirkan motivasi untuk mencoba melaksanakan
inovasi tersebut. Hasil penelitian Hadiyanto (2001) menunjukkan adanya
kecenderungan peternak desa urban lebih jarang melakukan kontak dengan
kelompok masyarakat yang ada, antara lain dengan tetangga, petani lain desa,
tokoh masyarakat, penyuluh, dan aparat desa.
2) Intensitas Komunikasi Interpersonal
Intensitas komunikasi merupakan aktivitas dalam mencari atau menerima
informasi melalui kontak dengan petugas atau pendamping. Hal ini penting untuk
diketahui karena berhubungan dengan jumlah pencarian informasi oleh khalayak.
Menurut Rogers (2003) petugas pemberi informasi/penyuluh menyediakan mata
rantai komunikasi antara sistem sumber daya (umumnya disebut agen perubahan)
dan sistem klien.
Hasil penelitian Herawati dan Pulungan (2006) menunjukkan bahwa
intensitas penyuluhan berhubungan secara nyata dengan tingkat kehadiran
24
kontaktani. Hal ini berarti semakin tinggi intensitas penyuluhan maka kesadaran
untuk mengetahui pentingnya programa sangat tinggi, tetapi tingginya kehadiran
mereka tidak selaras dengan keaktifan dalam mengajukan saran.
Komunikasi Termediasi
Menurut Heath dan Bryant (2000) dalam Poentarie (2009), komunikasi
termediasi merupakan komunikasi menggunakan media (mediated) yaitu cara
manusia berkomunikasi dengan menggunakan sarana-sarana media massa yang
mampu menyampaikan pesan kepada suatu khalayak dalam waktu relatif atau
bahkan secara langsung. Poentarie (2009) membagi mediated dalam empat media
yaitu media cetak (surat kabar, majalah, tabloid, buku), media elektronik (radio
dan televisi), media luar ruangan (spanduk, baliho, umbul-umbul, leaflet, dan
brosur), serta media baru (HP dan internet).
Menurut Steven M. Chaffe dalam Budiman (2009), efek penggunaan media
akan menyebabkan perubahan yang terjadi pada diri khalayak, seperti penerimaan
informasi, perubahan perasaan atau sikap, dan perubahan perilaku (dengan istilah
lain, perubahan kognitif, afektif, dan konatif). Selanjutnya terpaan media menurut
Rosengreen (1974) dalam Budiman (2009), dapat dioperasionalkan menjadi
jumlah waktu yang digunakan dalam berbagai jenis media, isi media yang
dikonsumsi, dan berbagai hubungan antara individu konsumen media dengan isi
media yang dikonsumsi atau dengan media keseluruhan (Rahmat, 2010). Menurut
Kriyantono (2009) pengukuran terhadap kepuasan terhadap menonton televisi
dapat dioperasionalkan ke dalam frekuensi dan durasi seseorang dalam menonton
televisi. Sitompul (2009), menambahkan terdapat beberapa variabel dalam
penggunaan radio, di antaranya durasi yang digunakan, frekuensi penggunaan, isi
(bahan pembicaraan), dan jenis isi (klasifikasi ekonomi, sosial, politik,
pendidikan). Pada penelitian tersebut, Sitompul (2009) menyatakan bahwa
penggunaan media massa seperti televisi dapat diukur dengan frekuensi menonton
televisi, terpaan media televisi, durasi menonton televisi. Penggunaan radio diukur
dengan frekuensi mendengarkan radio, topik siaran radio, daya tarik siaran radio,
pemahaman siaran radio. Penggunaan surat kabar diukur dengan topik yang
dibaca dalam surat kabar.
Frekuensi dan Durasi Penggunaan Media
Frekuensi dan durasi penggunaan media dalam hal ini mencari informasi
merupakan bagian dari komunikasi termediasi. Dalam penelitiannya, Saleh (2006)
menyatakan tendensi frekuensi mendengarkan siaran radio di kalangan responden
peternak sapi potong ini adalah 1-3 kali seminggu. Rata-rata frekuensi
mendengarkan radio tersebut hampir sama dengan penelitian Hadiyanto (2001)
yang mencapai 3,39 kali per minggu.
Saleh (2006), menjelaskan bahwa intensitas mendengar radio pada peternak
kelompok maju jauh lebih banyak. Menurut Hadiyanto (2001) durasi atau
lamanya mendengarkan radio, menonton televisi, dan membaca surat kabar
diukur dalam jam per hari, baik pada pagi hari, siang hari, sore hari, maupun
malam hari.
25
Berdasarkan terminologi dan hasil penelitian sebelumnya yang
dikemukakan di atas, maka dalam penelitian ini komunikasi termediasi
merupakan bentuk aktivitas komunikasi dengan menggunakan media sebagai
saluran komunikasi yang ditandai dengan adanya kontak dengan media baik
media elektronik, media cetak, media luar ruangan maupun media terbaru. Kontak
dengan media dapat berarti mendengarkan, melihat, membaca atau secara lebih
umum mengalami dengan sedikitnya jumlah perhatian pada pesan media yang
ditandai dengan adanya frekuensi penggunaan media dan durasi penggunaan
media komunikasi.
Komunikasi dalam Kelompok
Wiryanto (2006) mendefinisikan komunikasi kelompok sebagai interaksi
secara tatap muka antara tiga orang atau lebih, dengan tujuan yang telah diketahui,
seperti berbagi informasi, menjaga diri, pemecahan masalah, yang mana anggotaanggotanya dapat mengingat karakteristik pribadi anggota-anggota yang lain
secara tepat. Definisi komunikasi kelompok tersebut menunjukkan adanya
komunikasi tatap muka, dan memiliki susunan rencana kerja tertentu untuk
mencapai tujuan kelompok. Suatu kelompok dikatakan efektif apabila kelompok
tersebut dapat menjalankan fungsinya yaitu untuk saling berbagi informasi.
Menurut Rakhmat (2005), keefektifan suatu kelompok dapat dilihat dari berapa
banyak informasi yang diperoleh anggota kelompok dan sejauh mana anggota
kelompok memuaskan kebutuhannya dalam kegiatan kelompok.
Penelitian Marhaeni (2011) menegaskan bahwa komunikasi kelompok
diartikan sebagai sekumpulan orang (3-20 orang) yang saling berinteraksi,
biasanya tatap muka dalam waktu yang lama guna mencapai tujuan. Komunikasi
kelompok ini dapat dianalisis melalui empat aspek pokok yaitu: (1) frekuensi
komunikasi yang dilakukan antaranggota kelompok, (2) intensitas dalam
berkomunikasi, (3) partisipasi anggota dalam kelompok, dan (4) perasaan senang
atau tidak senang ketika masuk menjadi anggota kelompok.
Ada beberapa unsur dalam komunikasi kelompok di antaranya adalah: (1)
pelaku komunikasi dalam komunikasi kelompok, (2) pesan-pesan yang
dipertukarkan dalam komunikasi kelompok, (3) interaksi yang terjadi dalam
proses komunikasi kelompok, (4) kohesivitas yang terjadi di dalam proses
komunikasi kelompok, dan (5) norma kelompok yang diterapkan (Gurning et al.,
2012). Dalam situasi kelompok terdapat hubungan psikologis. Orang-orang yang
terikat dalam hubungan psikologis itu tidak selalu berada secara bersama-sama di
suatu tempat, mereka dapat saja berpisah, tetapi tetap terikat oleh hubungan
psikologis yang menyebabkan mereka berkumpul bersama-sama secara berulangulang (Effendy, 2006). Bentuk-bentuk komunikasi kelompok antara lain: ceramah,
diskusi panel, simposium, diskusi forum, seminar, curah pendapat, sumbang saran
dan lain-lain (Effendy, 2006). Penelitian Runtuwaro (2002) menyebutkan bahwa
komunikasi di dalam kelompok tani terjadi melalui: (1) pelatihan usaha tani
(kursus tani), (2) kunjungan penyuluh pertanian, (3) pertemuan anggota kelompok
tani atau temu karya, (4) temu usaha, dan (5) pertemuan dengan pemimpin formal
atau temu tugas.
Berdasarkan beberapa pengertian komunikasi kelompok tersebut di atas,
maka dalam penelitian ini yang dimaksud dengan komunikasi kelompok dalam
26
kegiatan Posdaya adalah komunikasi yang berlangsung antara beberapa orang
dalam suatu kelompok yang diikuti oleh kader Posdaya seperti pelatihan (kursus),
pertemuan dengan anggota kelompok melalui rapat koordinasi (rapat rutin kader
dan anggota Posdaya, rapat khusus atau temu kader, penyuluhan) kunjungan
pendamping atau pembina, temu usaha dan lain-lain. Komunikasi dalam
kelompok Posdaya dapat dilihat dari jenis komunikasi kelompok yang biasa
dilakukan dan diikuti oleh kader Posdaya dengan memperhatikan frekuensi dan
intensitas komunikasi dalam kelompok, serta partisipasi kader Posdaya dalam
kegiatan kelompok.
1) Frekuensi Komunikasi dalam Kelompok
Dalam penelitiannya, Kaliky (2002) mendefinisikan bahwa frekuensi
komunikasi kelompok adalah kekerapan peternak melakukan komunikasi dalam
forum pertemuan kelompok baik pertemuan kelompok lokalit maupun
kosmopolit. Frekuensi komunikasi kelompok lokalit adalah kekerapan responden
mengikuti pertemuan kelompok di lingkungannya tanpa keterlibatan pihak luar.
Frekuensi komunikasi kelompok kosmopolit adalah kekerapan responden
mengikuti pertemuan kelompok dengan pihak di luar sistem sosialnya.
Dalam penelitian ini, frekuensi komunikasi dalam kelompok Posdaya adalah
kekerapan kader Posdaya dalam mengikuti kegiatan Posdaya seperti pelatihan
(kursus), pertemuan dengan anggota kelompok melalui rapat koordinasi (rapat
rutin kader dan anggota Posdaya, rapat khusus atau temu kader, penyuluhan)
kunjungan pendamping atau pembina, temu usaha dan lain-lain.
2) Intensitas Komunikasi dalam Kelompok
Intensitas komunikasi merupakan tingkat ke dalaman penyampaian pesan
dari individu sebagai anggota keluarga kepada yang lainnya (Djamarah, 2004
dalam Ihsan, 2009). Intensitas komunikasi mencakup aspek-aspek seperti:
kejujuran, keterbukaan, pengertian, percaya, yang mutlak di antara kedua belah
pihak dan dukungan, Intensitas komunikasi dapat diukur dari apa-apa dan siapa
yang dibicarakan, pikiran, perasaan, obyek tertentu, orang lain atau dirinya
sendiri.
Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan intensitas komunikasi dalam
kelompok Posdaya adalah durasi atau lamanya kader Posdaya dalam setiap
mengikuti kegiatan Posdaya seperti pelatihan (kursus), pertemuan dengan anggota
kelompok melalui rapat koordinasi (rapat rutin kader dan anggota Posdaya, rapat
khusus atau temu kader, penyuluhan) kunjungan pendamping atau pembina, temu
usaha dan lain-lain.
3) Partisipasi dalam Kelompok
Komunikasi dalam kelompok dapat diwujudkan melalui kegiatan-kegiatan
yang melibatkan partisipasi anggota kelompoknya. Menurut Soekanto (2002),
partisipasi adalah setiap proses identifikasi atau menjadi peran serta suatu proses
komunikasi atau kegiatan bersama dalam situasi tertentu. Singarimbun dan
Effendi (2010) mengemukakan bahwa dalam mengukur partisipasi sosial
seseorang adalah terlihat dari tingkat keterlibatannya dalam organisasi yang
ditempatinya. Derajat keterlibatannya terlihat meningkat dari awalnya hanya
27
sebagai anggota dan berangsur-angsur meningkat dan akhirnya menjadi pimpinan.
Awal keterlibatannya hanya pada tataran sekedar menjadi anggota, menghadiri
pertemuan, disiplin membayar iuran, ikut dalam kepanitiaan dan akhirnya
mendapat kepercayaan dan sekaligus tuntutan tangung jawab sebagai pimpinan.
Dalam penelitian ini, ditegaskan bahwa partisipasi dalam kelompok yang
dimaksud adalah aktivitas komunikasi kader Posdaya dalam interaksi dan
keterlibatannya dalam kegiatan sosial dan pertemuan-pertemuan Posdaya yang
meliputi pelatihan, rapat koordinasi (rapat rutin kader dan anggota Posdaya, rapat
koordinasi, rapat khusus atau temu kader, penyuluhan) dan pendampingan atau
pembinaan serta keterlibatannya dalam perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan
pengambilan keputusan.
Program Pos Pemberdayaan Keluarga
Berkaitan dengan gerakan pemberdayaan masyarakat, khususnya keluarga,
maka muncullah sebuah gagasan pemberdayaan masyarakat yang disebut dengan
Pos Pemberdayaan Keluarga (Posdaya) yang dikembangkan oleh Pusat
Pengembangan Sumber Daya Manusia-Lembaga Penelitian dan Pengabdian
Kepada Masyarakat (P2SDM-LPPM) IPB bekerja sama dengan Yayasan
Damandiri. Posdaya sebagai sebuah gagasan pemberdayaan dari, oleh, dan untuk
masyarakat adalah sebuah kegiatan pemberdayaan masyarakat yang
mengimplementasikan nilai-nilai kegotongroyongan di masyarakat. Posdaya juga
merupakan sebuah gerakan dengan ciri khas “bottom up programme,“
kemandirian, dan pemanfaatan sumber daya serta potensi lokal sebagai sumber
segala solusi. Pihak luar hanya berperan sebagai fasilitator, mediator, dan
pembangkit gagasan. Menurut Warcito et al. (2011), Posdaya dibentuk melalui
tahapan yang bersifat bottom up, artinya Posdaya dibentuk oleh masyarakat dan
keluarga. Dalam pembentukkan Posdaya membutuhkan komitmen dari para tokoh
masyarakat, ibu-ibu, dan para pemuda lapisan bawah untuk memberdayakan
dirinya. Selain pendekatan bottom up, pembentukkan Posdaya juga menggunakan
pendekatan top down, sehingga diperlukan peran pemerintah daerah beserta
jajarannya.
Sesuai dengan delapan fungsi keluarga, sasaran kegiatan yang dituju adalah
upaya bersama agar setiap keluarga mempunyai kemampuan melaksanakan
delapan fungsi keluarga. Dalam rangka pelaksanaan MDGs, sasarannya diarahkan
kepada empat prioritas utama, yaitu komitmen pimpinan pada tingkat desa,
kecamatan dan kabupaten, bidang keluarga berencana (KB), dan kesehatan,
bidang pendidikan dan bidang wirausaha. Tujuannya adalah menjadikan Posdaya
sebagai wahana bersama untuk membantu pemberdayaan keluarga yang
memungkinkan setiap keluarga dapat saling belajar dari keluarga lain sehingga
makin mampu menjadi subyek untuk secara mandiri membangun anggota
keluarganya (Suyono & Rohadi, 2009).
Pengembangan Posdaya ditujukan untuk mencapai hal-hal sebagai berikut:
(a) Dihidupkannya dukungan sosial budaya atau social capital seperti hidup
gotong royong dalam masyarakat untuk menolong keluarga lain, membantu
pemberdayaan secara terpadu atau bersama-sama memecahkan masalah
kehidupan yang kompleks, melalui wadah atau forum yang memberi kesempatan
28
para keluarga untuk saling asah, asih, dan asuh, dalam memenuhi kebutuhan
membangun keluarga bahagia dan sejahtera; (b) Terpeliharanya infrastruktur
sosial kemasyarakatan yang terkecil dan solid, yaitu keluarga, yang dapat menjadi
perekat atau kohesi sosial, sehingga tercipta suatu kehidupan yang rukun, damai
dan memiliki dinamika yang tinggi; (c) Terbentuknya lembaga sosial dengan
keanggotaan dan partisipasi keluarga di desa atau kelurahan yang dinamis dan
menjadi wadah atau wahana partisipasi sosial, di mana para keluarga dapat
memberi dan menerima pembaharuan yang dapat membantu proses pembangunan
kehidupan keluarga dengan mulus dan sejuk (P2SDM IPB, 2010).
Dari pengertian tersebut, beberapa hal perlu diperjelas antara lain: Posdaya,
bukan dimaksudkan untuk mengganti pelayanan sosial ekonomi kepada
masyarakat berupa pelayanan terpadu, tetapi semata-mata dimaksudkan untuk
mengembangkan forum pemberdayaan terpadu yang dinamis, yaitu pemberdayaan
pembangunan kepada pimpinan keluarga yang dipadukan satu dengan lainnya.
Tujuannya adalah agar pimpinan keluarga mengetahui peran dan fungsinya dalam
melakukan pemberdayaan untuk anggotanya secara mandiri. Terpadu berarti
dalam perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, pembinaan dan evaluasi
melibatkan berbagai petugas atau sukarelawan secara terkoordinir, yaitu petugas
pemerintah, organisasi sosial, dan unsur-unsur masyarakat. Penyerasian dinamis
di sini berarti diperlukan adanya keserasian dalam hal memadukan kepentingan
masyarakat dan kemampuan penyediaan bantuan profesional dari pemerintah dan
swasta yang disediakan untuk mendukung kegiatan. Kegiatan dimaksud dapat
meliputi bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi dan lingkungan (Muljono, 2010).
1) Peran Posdaya
Menurut Bachtiar (2010), ada empat jenis peran yang dilakukan oleh
Posdaya, yaitu: (1) jika pada suatu wilayah tertentu belum terdapat suatu program
pemberdayaan apa pun atau suatu bentuk kerja sama masyarakat untuk
pemberdayaan masyarakat, maka di tempat itu Posdaya dapat berperan
membangun kegiatan-kegiatan baru yang bermanfaat bagi masyarakat. Kegiatan
dimaksud dapat meliputi bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan lingkungan,
(2) jika pada wilayah tersebut pernah ada suatu kegiatan pemberdayaan tetapi
sudah ditinggalkan oleh masyarakat, maka Posdaya dapat menghidupkan kembali
kegiatan-kegiatan tersebut, (3) jika pada suatu wilayah sudah terdapat kegiatankegiatan pemberdayaan, maka kehadiran Posdaya dapat berperan untuk
meningkatkan kualitas program yang sudah ada, baik kuantitas maupun
kualitasnya, (4) Posdaya juga berperan “menjahit” semua kegiatan/kelembagaan
masyarakat yang ada di wilayah tersebut, sehingga dapat berpayung bersama
secara keseluruhan dalam gerakan Posdaya.
2) Tujuan Posdaya
Menurut Bachtiar (2010), Posdaya sebagai sebuah implementasi paradigma
bottom up planning dan pembangunan berbasis masyarakat memiliki tujuan: (1)
menyegarkan modal sosial seperti hidup gotong royong dalam masyarakat untuk
membantu pemberdayaan keluarga secara terpadu dan membangun keluarga
bahagia dan sejahtera, (2) ikut memelihara lembaga sosial kemasyarakatan yang
terkecil, yaitu keluarga, yang dapat menjadi perekat masyarakat sehingga tercipta
kehidupan yang rukun, damai, dan memiliki dinamika tinggi, (3) memberi
29
kesempatan kepada setiap keluarga untuk memberi atau menerima pembaharuan
yang dapat dipergunakan dalam proses pembangunan keluarga yang bahagia dan
sejahtera.
3) Pendampingan atau pembinaan Posdaya
Salah satu faktor pendukung keberhasilan pemberdayaan masyarakat
melalui Posdaya adalah pendampingan atau pembinaan. Posdaya di Kota dan
Kabupaten Bogor telah menunjukkan berbagai perkembangan di berbagai bidang,
telah mendapatkan program pendampingan atau pembinaan dari mahasiswa dan
dosen, dan sebagian darinya juga mendapat dampingan dari guru-guru SMA dan
penyuluh pendamping.
Bentuk pendampingan atau pembinaan dapat dikembangkan dengan kreatif
melalui teknologi komunikasi yang semakin mudah diakses oleh setiap orang.
Pendampingan yang dilakukan antara lain adalah dalam bentuk kunjungan ke
Posdaya, konsultasi pengurus/kader, mendampingi mereka melihat kegiatan
Posdaya lain yang berhasil, mengikutkan dalam berbagai kegiatan diskusi,
seminar atau kegiatan pelatihan, mendampingi penyusunan proposal kegiatan
untuk diajukan ke pihak luar. Pendampingan yang dilakukan bertujuan untuk
membantu bagaimana Posdaya dapat mencari solusi berbagai permasalahan yang
mereka hadapi sehingga mereka mempunyai program kegiatan yang benar-benar
sesuai kebutuhan dan dapat terlaksana dengan baik. Bahkan pendampingan yang
dilakukan bisa berlangsung 24 jam sehari karena kader Posdaya juga rajin bersms-an kepada pendampingnya.
Kader Posdaya
Kader adalah tenaga sukarela yang dipilih oleh, dari masyarakat dan
bertugas mengembangkan masyarakat, seperti kader Posyandu, kader program
kesejahteraan keluaraga (PKK), maupun kader lainnya. Zulkifli (2003)
mendefinisikan bahwa kader Posyandu adalah warga masyarakat setempat yang
dipilih dan ditinjau oleh masyarakat dan dapat bekerja secara sukarela mengelola
Posyandu. Dinkes Jatim (2006) menambahkan bahwa kader adalah pria atau
wanita yang berbadan sehat jasmani dan rohani serta mau bekerja secara sukarela
mengelola Posyandu. Seorang kader Posyandu merupakan pilar utama penggerak
pembangunan khususnya di bidang kesehatan. Mereka secara swadaya dilibatkan
oleh Puskesmas dalam kegiatan pelayanan kesehatan desa yang salah satunya
adalah pemberian imunisasi polio. Kader Posyandu sebaiknya mampu menjadi
pengelola Posyandu, karena merekalah yang paling memahami masyarakat di
wilayahnya (Dinkes Jatim, 2006). Kader bertugas melaksanakan penyuluhan di
Posyandu, salah satunya penyuluhan tentang bayi atau balita mengenai jadwal
pemberian imunisasi dan manfaatnya (Dinkes Jatim, 2005).
Dengan demikian kader yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kader
Posdaya yang didefinisikan sebagai warga desa setempat baik laki-laki maupun
perempuan yang sehat jasmani dan rohani, yang dipilih oleh, dari dan untuk
masyarakat, memiliki waktu luang serta mau bekerja secara sukarela, tulus ikhlas
untuk memajukan Posdaya.
30
Tingkat Keberdayaan
Arti berdaya menurut Slamet (2003) sama dengan mampu, tahu, mengerti,
paham, termotivasi, berkesempatan melihat peluang, dapat memanfaatkan
peluang, berenergi, mampu bekerja sama, tahu berbagai alternatif, mampu
mengambil keputusan, berani menghadapi risiko, mampu mencari dan menangkap
informasi, dan mampu bertindak sesuai situasi. Keberdayaan merupakan
internalisasi dari proses pemberdayaan dan merupakan unsur dasar yang
memungkinkan suatu komunitas dapat bertahan dalam mengembangkan diri untuk
mencapai kemajuan.
Menurut Hendratmoko dan Marsudi (2010) keberdayaan masyarakat adalah
unsur-unsur yang memungkinkan masyarakat untuk bertahan (survive) dan dalam
pengertian dinamis mengembangkan diri dan mencapai kemajuan. Sumodiningrat
(2000) dalam Widjayanti (2011) menjelaskan bahwa keberdayaan masyarakat
yang ditandai adanya kemandiriannya dapat dicapai melalui proses pemberdayaan
masyarakat. Keberdayaan masyarakat dapat diwujudkan melalui partisipasi aktif
masyarakat yang difasilitasi dengan adanya pelaku pemberdayaan. Tujuan akhir
dari proses pemberdayaan masyarakat adalah untuk memandirikan warga
masyarakat agar dapat meningkatkan taraf hidup keluarga dan mengoptimalkan
sumber daya yang dimilikinya (Widjayanti, 2011).
Menurut Widjayanti (2011), keberdayaan masyarakat adalah dimilikinya
daya, kekuatan atau kemampuan oleh masyarakat untuk mengidentifikasi potensi
dan masalah serta dapat menentukan alternatif pemecahannya secara mandiri.
Keberdayaan masyarakat diukur melalui tiga aspek (a) kemampuan dalam
pengambilan keputusan, (b) kemandirian, dan (c) kemampuan memanfaatkan
usaha untuk masa depan.
Hasil penelitian Sadono (2008) menunjukkan bahwa melalui Sekolah
Lapang (SL) telah terjadi peningkatan keberdayaan petani. Indikator yang
menunjukkan hal tersebut adalah: peningkatan penggunaan pengetahuan dalam
pengelolaan usaha tani, peningkatan kegiatan petani antarkelompok dalam
kegiatan diskusi dan Laboratorium Lapangan Petani (LLP) untuk pengujian
teknologi atau varietas baru oleh petani, penemuan dan penyempurnaan teknik
pengendalian hama (seperti: teknik “lumpurisasi” untuk hama tikus), serta
tumbuhnya inisiatif pembiakan musuh alami agar lebih tersedia di sawah.
Penelitian Barzman dan Desilles (2002) menemukan bahwa melalui SL
petani mengalami pemberdayaan dalam hal: peningkatan pengetahuan bertani,
peningkatan aktivitas secara berkelompok dalam kelompok tani (melakukan
eksperimen teknik/tanaman baru, pengamatan dan membandingkan hasil dengan
petani lain), dan pemberdayaan wanita.
Tingkat keberdayaan masyarakat bisa dilihat dari aspek ekonomi maupun
nonekonomi sesuai dengan konsep yang dikemukakan oleh Uphoff (2003) dalam
Susilowati et al. (2004), bahwa tingkat keberdayaan dapat ditinjau melalui aspek
usaha, pasar, teknologi, dan peran kelembagaan/stakeholders. Lumban (2005)
dalam penelitiannya menyebutkan bahwa keberdayaan masyarakat petani Daerah
Aliran Sungai (DAS) Kahayan meliputi pengetahuan, sikap dan tindakan petani
tentang aspek-aspek pengelolaan usahatani padi DAS Kahayan.
Penelitian Warcito et al. (2011) menyebutkan bahwa kemandirian
masyarakat melalui program Posdaya dapat diukur dari partisipasi warga
31
masyarakat dalam kegiatan pendidikan, kesehatan dan ekonomi yang merupakan
faktor pendorong untuk perubahan. Kegiatan pemberdayaan masyarakat melalui
Posdaya perlu ditujukan kepada penyadaran masyarakat akan pentingnya
kemandirian dirinya sendiri (empowerment), sadar akan lingkungan (menjaga
kebersihan lingkungan), kesehatan, pendidikan, dan semangat kewirausahaan
melalui transformasi ekonomi, transformasi sosial, dan transformasi budaya.
Suyono (2006) menambahkan bahwa program pemberdayaan keluarga dapat
memperkuat dan meningkatkan usaha-usaha ekonomi keluarga dan anggotanya
mengembangkan dirinya sesuai dengan peluang dan kesempatan yang ada untuk
mencapai kesejahteraan dan kemandirian.
Ciri-ciri masyarakat yang telah berdaya menurut Sumardjo dan Saharuddin
(2004) adalah sebagai berikut: a) mampu memahami diri dan potensinya, b)
mampu merencanakan (mengantisipasi kondisi perubahan ke depan) dan
mengarahkan dirinya sendiri, c) memiliki kekuatan untuk berunding dan
bekerjasama secara saling menguntungkan dengan ”bargaining power” yang
memadai, dan d) bertanggung jawab atas tindakan sendiri.
Terkait dengan tujuan pemberdayaan, Sulistiyani (2004) menjelaskan bahwa
tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan masyarakat adalah untuk
membentuk individu dan masyarakat menjadi mandiri. Berdaya mempunyai arti
yang sama dengan kemandirian masyarakat. Kemandirian tersebut meliputi
kemandirian berpikir, bertindak, dan mengendalikan apa yang mereka lakukan.
Kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi yang dialami oleh masyarakat
yang ditandai dengan kemampuan memikirkan, memutuskan serta melakukan
sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan masalah yang dihadapi
dengan mempergunakan daya atau kemampuan yang dimiliki. Daya atau
kemampuan yang dimaksud adalah kemampuan kognitif, afektif dan konatif serta
sumber daya lainnya yang bersifat fisik atau material. Penelitian Tomatala (2008)
menyebutkan tiga aspek mendasar yang perlu dimiliki oleh peternak agar dapat
meningkatkan keberdayaannya meliputi aspek pengetahuan, sikap mental, dan
aspek tindakan. Muljono (2010) menambahkan bahwa melalui upaya
pemberdayaan diharapkan mereka juga dapat menjangkau sumber-sumber
produktif yang memungkinkan bagi mereka untuk meningkatkan pengetahuan
(kognitif), sikap (afektif) dan tindakan (konatif), serta ikut berpartisipasi dalam
proses pembangunan.
1) Keberdayaan pada Aspek Pengetahuan (Kognitif)
Kondisi kognitif pada hakikatnya merupakan kemampuan berpikir yang
dilandasi oleh pengetahuan dan wawasan seseorang dalam rangka mencari solusi
atas permasalahan yang dihadapi. Penelitian Utami (2007) menjelaskan bahwa
keberdayaan masyarakat pada aspek kognitif meliputi 1) mempunyai ilmu
pengetahuan yang cukup, 2) paham atas kebutuhan riil dan potensi dirinya, serta
memiliki pengertian atas permasalahan yang dihadapi. Slamet (2003)
menambahkan tentang ciri-ciri masyarakat berdaya pada aspek pengetahuan yaitu
1) memiliki pengetahuan yang luas, 2) memiliki wawasan jauh ke depan, 3) dapat
mengenal potensi dan kebutuhan dirinya dengan baik, dan 4) memahami unsurunsur manajemen dan kepemimpinan.
32
2) Keberdayaan pada Aspek Sikap (Afektif)
Kondisi afektif merupakan perasaan yang dimiliki oleh individu yang
diharapkan dapat diintervensi untuk mencapai keberdayaan dalam sikap dan
perilaku. Sikap memiliki kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir, dan
merasa dalam menghadapi obyek, ide, situasi atau nilai. Sikap mempunyai daya
pendorong atau motivasi. Penelitian Utami (2007) menjelaskan bahwa
keberdayaan masyarakat pada aspek afektif meliputi berani menghadapi risiko,
mempunyai rasa tanggung jawab atas tindakannya, menolak tindakan subordinasi
atas dirinya dan menyukai prestasi. Slamet (2003) menambahkan tentang ciri-ciri
masyarakat berdaya pada aspek sikap yaitu 1) percaya diri, 2) pantang menyerah,
3) selektif, 4) komunikatif, 5) jujur dan bertanggungjawab dalam bertutur dan
bertindak, dan 6) terbuka, bekerjasama dan peduli terhadap sesamanya.
3) Keberdayaan pada Aspek Tindakan (Konatif)
Kemampuan konatif merupakan kecakapan tindakan yang dimiliki
masyarakat sebagai upaya mendukung masyarakat dalam rangka melakukan
aktivitas pembangunan. Tindakan diartikan sebagai suatu pelaksanaan pekerjaan
badaniah atau perilaku nyata. Penelitian Utami (2007) menjelaskan bahwa
keberdayaan masyarakat pada aspek konatif meliputi teliti dalam menyelesaikan
setiap pekerjaan, tanggap dalam memanfaatkan peluang, cermat dalam melakukan
kerja sama yang saling menguntungkan dan memiliki etos kerja yang tinggi.
Slamet (2003) menambahkan tentang ciri-ciri masyarakat berdaya pada aspek
keterampilan yaitu 1) dapat mengidentifikasi kebutuhan dan potensi yang dimiliki
secara tepat, 2) mampu menerapkan unsur manajemen dan kepemimpinan dalam
kehidupannya secara baik, 3) berkemampuan mencari dan memanfaatkan
informasi dan peluang baru, dan 4) berkemampuan memenuhi kebutuhannya.
Berdasarkan pengertian tentang keberdayaan di atas, maka dalam konteks
Posdaya makna keberdayaan diartikan sebagai proses mengoptimalkan sumber
daya yang berkesinambungan yang ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan,
sikap dan tindakan nyata pada setiap kegiatan Posdaya yang meliputi empat
bidang (pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan lingkungan). Posdaya yang berdaya
adalah Posdaya yang memiliki ciri-ciri yang ada pada perilaku kader Posdaya
menuju kemandirian kelompok Posdaya. Kader Posdaya yang memiliki
keberdayaan tinggi berarti memiliki pemahaman tentang program Posdaya yang
memadai dengan keberdayaan pada aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek
konatif akan dapat memberikan kontribusi pada terciptanya kemandirian kader
Posdaya dan masyarakat yang dicita-citakan.
Mengacu pada pendapat Widjayanti (2011), Sadono (2008), Barzman dan
Desilles (2002), Susilowati et al. (2004), Sumardjo dan Saharuddin (2004),
Sulistiyani (2004), Utami (2007), dan Slamet (2003) tentang ciri-ciri masyarakat
berdaya maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat (kader Posdaya) dapat
dikatakan berdaya jika memiliki pengetahuan, sikap dan tindakan yang memadai
seperti yang disajikan dalam Tabel 2.
33
Tabel 2 Ciri-ciri keberdayaan kader Posdaya dilihat dari aspek
pengetahuan, sikap, dan tindakan
Aspek
Keberdayaan Kader Posdaya
perilaku
Pengetahuan
1) memiliki pengetahuan yang luas tentang kegiatan Posdaya.
(kognitif)
2) memiliki wawasan jauh ke depan tentang kegiatan Posdaya.
3) paham atas potensi dan kebutuhan dirinya dengan baik.
4) memahami unsur-unsur manajemen dan kepemimpinan.
Sikap
1) percaya diri.
(Afektif)
2) pantang menyerah dan berani menghadapi risiko.
3) selektif.
4) komunikatif.
5) jujur dan bertanggung jawab atas tindakannya sendiri.
6) terbuka dan peduli terhadap sesamanya.
7) menyukai prestasi.
Tindakan
1) dapat mengidentifikasi dan memenuhi kebutuhan serta
(Konatif)
potensi yang dimiliki secara tepat.
2) memiliki etos kerja yang tinggi.
3) mampu melakukan kerja sama yang menguntungkan.
4) teliti dalam menyelesaikan setiap pekerjaan.
5) mampu menjalankan unsur-unsur manajemen dan
kepemimpinan (mengantisipasi kondisi perubahan ke
depan) dan mengarahkan dirinya sendiri.
6) cepat tanggap dan mampu memanfaatkan peluang usaha
untuk masa depan.
Penelitian Terdahulu yang Mendukung
Hasil penelitian Astuti (2007), menunjukkan bahwa aktivitas komunikasi
responden yaitu dalam hal keterdedahan pada koran relatif rendah dibandingkan
dengan radio dan televisi, rendahnya minat baca disebabkan oleh kesibukan
responden dalam bekerja, sehingga waktu yang tersedia lebih banyak
dimanfaatkan untuk mendengarkan radio atau menonton televisi. Sebagian besar
responden melakukan kontak dengan pembina Perkampungan Budaya Betawi Situ
Babakan (PBBSB), yakni penyuluh, tokoh masyarakat, dan pengelola PBBSB.
Partisipasi sosial responden dalam kegiatan pengajian, arisan, kerja bakti, dan
ronda malam relatif tinggi. Hasil analisis menunjukkan bahwa karakteristik
individu yang berhubungan sangat nyata dengan pengetahuan adalah pendidikan
formal dan nonformal, pendapatan berhubungan nyata dengan sikap dan
berhubungan sangat nyata dengan tindakan, lokasi tempat tinggal berhubungan
nyata dengan sikap dan sangat nyata dengan tindakan. Keterdedahan pada media
massa yang berhubungan sangat nyata dengan sikap dan tindakan. Keterdedahan
pada saluran interpersonal berhubungan sangat nyata dengan pengetahuan,
partisipasi sosial berhubungan sangat nyata dengan sikap dan berhubungan nyata
dengan tindakan.
Kurniawati (2002) menemukan aktivitas komunikasi reponden
menunjukkan pembinaan rohani cukup tinggi. Pada aktivitas komunikasi
34
responden frekuensi pembinaan jasmani rendah. Intensitas komunikasi dengan
orang tua di kedua kelompok tinggi. Hasil penelitian Nursalam (2000)
menemukan bahwa semakin sering nelayan melakukan komunikasi interpersonal
dengan pembina, akan semakin bertambah pula kemampuan nelayan dengan
mengembangkan subsistem produksi agribisnis perikanan tangkap. Komunikasi
interpersonal dengan kontak nelayan, khususnya pada nelayan pandega
berpengaruh nyata (arah hubungan positif) pada perilaku mereka dalam
mengembangkan subsistem produksi agribisnis perikanan tangkap. Dengan
demikian, semakin sering nelayan berkomunikasi dengan kontak nelayan, akan
semakin menambah kemampuan nelayan pandega dalam mengembangkan
subsistem produksi agribisnis perikanan tangkap. Kehadiran dalam pertemuan
kelompok berpengaruh nyata (dengan arah hubungan positif) pada perilaku
nelayan dalam pengembangan subsistem produksi agribisnis perikanan tangkap.
Semakin sering nelayan menghadiri pertemuan kelompok dan semakin
menambah kemampuan nelayan dalam mengembangkan subsistem produksi
agribisnis perikanan tangkap. Keterdedahan pada siaran radio, pada tayangan
televisi, pada media cetak berpengaruh nyata pada perilaku nelayan dalam
pengembangan subsistem produksi agribisnis perikanan tangkap. Dengan kata
lain, semakin sering nelayan mendengarkan radio, menonton tayangan televisi,
membaca media cetak akan semakin menambah kemampuan nelayan dalam
mengembangkan subsistem produksi agribisnis perikanan tangkap.
Haji (1991) menemukan aktivitas komunikasi wanita pasangan usia subur
(PUS) di Semplak (daerah perkotaan) maupun wanita PUS Wargajaya (daerah
pedesaan) dilakukan melalui radio, televisi, maupun media cetak. Hubungan yang
sangat nyata antara aktivitas komunikasi dengan pengetahuan KB wanita PUS di
dua desa penelitian memberi petunjuk kuat bahwa penyebarluasan informasi KB
pada masyarakat yang kondisinya belum siap secara intern untuk melakukan
aktivitas komunikasi, hanya akan efektif melalui saluran interpersonal.
Kerangka Pemikiran
Posdaya merupakan gagasan baru guna menyambut anjuran pemerintah
untuk membangun sumber daya manusia melalui partisipasi keluarga secara aktif.
Proses pemberdayaan itu diprioritaskan pada peningkatan kemampuan keluarga
untuk bekerja keras mengentaskan kebodohan, kemalasan, dan kemiskinan dalam
arti yang luas. Di Kota dan di Kabupaten Bogor, Posdaya itu dibentuk di antara
kalangan keluarga maupun antarkeluarga, sehingga Posdaya dapat saja memiliki
basis pribadi, basis kelompok, misalnya Posdaya berbasis masjid, Posdaya
berbasis tanaman, atau Posdaya berbasis pendidikan, dan lainnya. Mengenai
program utama Posdaya terbagi dalam empat bidang yaitu pendidikan, kesehatan,
ekonomi, dan lingkungan.
Untuk merealisasikan program-program tersebut, diperlukan metode
pengembangan Posdaya melalui kegiatan pelatihan, rapat koordinasi (rapat rutin
kader dan anggota Posdaya, rapat koordinasi, rapat khusus atau temu kader,
penyuluhan) dan pendampingan atau pembinaan yang melibatkan peran
pendamping Posdaya. Kegiatan pelatihan, rapat koordinasi, dan pendampingan
atau pembinaan menunjukkan sebuah aktivitas komunikasi yang diperankan oleh
35
kader Posdaya. Aktivitas komunikasi yang terjadi pada kegiatan Posdaya
dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya karakteristik kader Posdaya (umur,
pendidikan formal, pendidikan nonformal, pengalaman menjadi kader Posdaya,
tingkat kekosmopolitan, tingkat pendapatan, motivasi dan kepemilikan media
massa), dan faktor lingkungan (dinamika kelompok dan peran pendamping).
Keberhasilan program Posdaya dapat dilihat sejauh mana aktivitas
komunikasi yang diperankan kader Posdaya berpengaruh terhadap tingkat
keberdayaan kader Posdaya yang merupakan fokus dari penelitian ini. Liliweri
(2004) menjelaskan bahwa dalam sebuah aktivitas komunikasi terdapat proses
komunikasi yang hasil akhirnya disebut dengan efek. Efek komunikasi dapat
bersifat positif yaitu tercapainya tujuan komunikasi yang diinginkan, dalam hal ini
terciptanya hubungan yang kondusif atau baik antara pendamping atau pembina
dengan kader Posdaya, kader Posdaya dengan aparat pemerintah atau penyuluh,
kader Posdaya dengan tokoh masyarakat, kader Posdaya dengan anggotanya. Efek
komunikasi juga bisa berakibat buruk atau bersifat negatif seperti timbulnya rasa
ketidakpuasan yang menjurus kepada konflik-konflik destruktif yang merugikan
bagi kelompok dan kader sebagai pelaksana program Posdaya itu sendiri.
Keterkaitan dengan keberdayaan kader Posdaya di Kota dan Kabupaten
Bogor terletak pada proses bagaimana pemberdayaan dan pengembangan
masyarakat dapat diterima dan diaplikasikan oleh kader Posdaya. Dalam konteks
ini diperlukan kepedulian dan keterlibatan berbagai sistem, baik yang terlibat
dengan komponen utama maupun komponen pendukung. Dalam proses demikian,
aktivitas komunikasi kader Posdaya menjadi hal yang penting dalam membentuk
prinsip kerjasama karena masyarakat mempunyai hak-hak dan keberdayaan di
masa yang akan datang.
Tujuan pemberdayaan adalah keberdayaan, maka prioritas utama program
Posdaya adalah kesertaan seluruh keluarga yang menjadi anggota Posdaya dalam
bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan lingkungan yang lebih sejahtera yang
didukung keberdayaan pada pengetahuan (kognitif), sikap (afektif) dan tindakan
(konatif). Keberdayaan seorang kader Posdaya sangat ditentukan oleh
karakteristik individu dan lingkungan, selain itu tingkat keberdayaan kader
Posdaya juga dipengaruhi oleh aktivitas komunikasi dalam pencarian informasi
pada setiap bidang Posdaya (pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan lingkungan).
Dengan demikian tingkat keberdayaan kader Posdaya di Kota dan Kabupaten
Bogor berpeluang memiliki hubungan yang nyata dengan karakteristik kader
Posdaya, faktor lingkungan dan aktivitas komunikasi.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di bidang Ilmu Komunikasi, tidak
dapat dipungkiri bahwa karakteristik kader Posdaya mempunyai hubungan yang
sangat kuat dengan aktivitas komunikasi seseorang yang meliputi aktivitas
komunikasi interpersonal (frekuensi dan intensitas kontak interpersonal), aktivitas
komunikasi termediasi (frekuensi dan durasi penggunaan media), dan aktivitas
komunikasi di dalam kelompok (frekuensi dan intensitas komunikasi dalam
kelompok, serta partisipasi kader Posdaya dalam kegiatan kelompok).
Dalam penelitian ini peubah yang diteliti meliputi peubah bebas (X) dan
peubah terikat (Y). Peubah bebas terdiri dari karakteristik kader Posdaya (X1):
umur (X1.1), pendidikan formal (X1.2), pendidikan nonformal (X1.3), pengalaman
menjadi kader (X1.4), tingkat kekosmopolitan (X1.5), tingkat pendapatan (X1.6),
motivasi (X1.7), kepemilikan media massa (X1.8) serta peubah bebas faktor
36
lingkungan (X2) berupa: dinamika kelompok (X2.1), dan peran pendamping (X2.2).
Adapun peubah terikat terdiri dari aktivitas komunikasi (Y1) dan tingkat
keberdayaan kader Posdaya (Y2) di Kota dan Kabupaten Bogor. Untuk
mengetahui apakah karakteristik kader Posdaya, faktor lingkungan dan aktivitas
komunikasi berhubungan secara nyata dengan tingkat keberdayaan kader Posdaya,
maka penelitian ini memfokuskan keberdayaan kader Posdaya pada aspek
pengetahuan (kognitif), sikap (afektif), dan tindakan (konatif).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa aktivitas komunikasi memiliki
hubungan yang nyata dengan tingkat keberdayaan kader Posdaya atau semakin
tinggi aktivitas komunikasi kader Posdaya, maka semakin tinggi tingkat
keberdayaan kader Posdaya. Demikian pula sebaliknya, semakin rendah aktivitas
komunikasi kader, semakin rendah tingkat keberdayaan kader Posdaya. Gambaran
mengenai hubungan antara aktivitas komunikasi dengan tingkat keberdayaan
kader Posdaya, dapat dilihat pada Gambar 3.
Karakteristik Kader Posdaya
(X1)
X1.1 Umur
X1.2 Pendidikan formal
X1.3 Pendidikan nonformal
X1.4 Pengalaman menjadi kader
X1.5 Tingkat kekosmopolitan
X1.6 Tingkat pendapatan
X1.7 Motivasi
X1.8 Kepemilikan media massa
Aktivitas Komunikasi Kader
Posdaya (Y1)
Y1.1 Komunikasi interpersonal
Y1.2 Komunikasi termediasi
Y1.3 Komunikasi dalam kelompok
X2.1
X2.2
Keberdayaan Kader Posdaya
(Y2)
Y2.1 Keberdayaan kognitif
Y2.2 Keberdayaan afektif
Y2.3 Keberdayaan konatif
Faktor Lingkungan
(X2)
Dinamika kelompok
Peran Pendamping
Gambar 3 Kerangka berpikir hubungan antarpeubah dalam penelitian
37
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka berpikir hubungan antarpeubah dalam penelitian,
maka dapat dirumuskan tujuh hipotesis penelitian sebagai berikut:
1 : Terdapat perbedaan yang nyata antara aktivitas komunikasi kader Posdaya di
Kota Bogor dengan Kader Posdaya di Kabupaten Bogor.
2 : Terdapat perbedaan yang nyata antara tingkat keberdayaan kader Posdaya di
Kota Bogor dengan kader Posdaya di Kabupaten Bogor.
3 : Terdapat hubungan yang nyata antara karakteristik dengan aktivitas
komunikasi kader Posdaya di Kota Bogor dan Kabupaten Bogor.
4 : Terdapat hubungan yang nyata positif antara faktor lingkungan dengan
aktivitas komunikasi kader Posdaya di Kota Bogor dan Kabupaten Bogor.
5 : Terdapat hubungan yang nyata positif antara karakteristik dengan tingkat
keberdayaan kader Posdaya di Kota Bogor dan Kabupaten Bogor.
6 : Terdapat hubungan yang nyata positif antara faktor lingkungan dengan
tingkat keberdayaan kader Posdaya di Kota Bogor dan Kabupaten Bogor.
7 : Terdapat hubungan yang nyata positif antara aktivitas komunikasi dengan
tingkat keberdayaan kader Posdaya di Kota Bogor dan Kabupaten Bogor.
Download