BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah Manusia diciptakan sebagai makhluk yang sempurna, karena dilengkapi dengan akal, pikiran dan kemampuan dalam berinteraksi secara personal maupun sosial. Maka dari itu manusia disebut sebagai makhluk individual dan makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendirian, karena manusia membutuhkan manusia lainnya untuk saling memenuhi kebutuhan satu sama lainnya. Sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain, maka manusia harus berinteraksi dengan manusia lainnya untuk dapat memenuhi kodratnya tersebut. Dalam melakukan interaksi, komunikasi merupakan hal penting yang harus diperhatikan, karena pada dasarnya interaksi dan komunikasi adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Tanpa adanya interaksi maka komunikasi tidak dapat dilakukan dan begitu pula sebaliknya, tanpa komunikasi maka interaksi pun tidak dapat dilakukan. Karena pada dasarnya komunikasi dan interaksi merupakan dua hal yang saling melengkapi satu sama lainnya. Komunikasi merupakan kegiatan alamiah manusia yang tidak dapat terlepas dari segala aktivitasnya. Setiap saat manusia melakukan komunikasi, baik secara sengaja maupun tidak disengaja, karena pada hakikatnya berkomunikasi adalah kodrat mutlak manusia yang tidak dapat untuk dihindari. Tanpa berkomunikasi maka manusia tidak akan bertahan hidup, karena berkomunikasi merupakan upaya untuk bertahan hidup. Sebagai kodrat mutlak manusia, kemampuan manusia dalam berkomunikasi tidak dapat terjadi dengan begitu saja. Kemampuan manusia dalam berkomunikasi berkembang dengan berjalannya waktu. Kemampuan manusia dalam berkomunikasi ditentukan oleh lingkungan dimana tempat dia tinggal. Dalam melakukan interaksi dengan sesama manusia, komunikasi sangatlah penting. Dalam hal berinteraksi, komunikasi merupakan mekanisme untuk 1 Universitas Sumatera Utara 2 mensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara horizontal, dari masyarakat kepada masyarakat lainnya, maupun secara vertical, dari suatu generasi kepada generasi berikutnya. Budaya juga menetapkan normanorma (komunikasi) yang dianggap sesuai dengan untuk suatu kelompok (Mulyana, 2010: 7) Alfred Korzybsky dalam (Mulyana, 2010: 7) menyatakan bahwa kemampuan manusia berkomunikasi menjadikan mereka “pengikat waktu” (time binder). Pengikat waktu (time-binding) merujuk pada kemampuan manusia untuk mewariskan pengetahuan dari generasi ke generasi dan dari budaya ke budaya. Manusia tidak perlu memulai setiap generasi sebagai generasi yang baru. Mereka mampu mengambil pengetahuan masa lalu, mengujinya berdaarkan fakta-fakta mutakhir dan meramalkan masa depan. Menurut Korzybsky, Pengikat waktu ini jelas merupakan karakteristik yang membedakan manusia dengan bentuk lain kehidupan. Dengan kemampuan tersebut, manusia mampu mengendalikan dan mengubah lingkungan mereka. Perbedaan latar belakang suku dan budaya dalam suatu masyarakat memberikan dampak yang cukup besar terhadap dinamika interaksi dan pola komunikasi yang terjadi. Pasalnya setiap masyarakat dalam suatu budaya memiliki cara berkomunikasi dan pemaknaan terhadap sesuatu yang tidak sama dengan masyarakat dari budaya lainnya. Hal ini tentu menjadi pertanyaan besar, bagaimana jika dalam suatu tempat masyarakatnya terdiri dari dua atau lebih suku dan budaya. Keberagaman suku dan budaya ini tergambar pada masyarakat Kampung Bali. Kampung Bali merupakan sebuah dusun yang berada di Desa Paya Tusam, Kecamatan Sei Wampu Kabupaten Langkat. Disebut sebagai Kampung Bali karena pada awalnya mayoritas masyarakat yang bermukim di tempat desa ini adalah masyarakat Suku Bali yang berasal dari Pulau Bali. Kampung Bali ini memiliki nama asli Desa Cipta Dharma yang artinya menciptakan kebaikan atau kebenaran. Kampung Bali ini memiliki luas daerah ± 300 Ha, yang dimukimi oleh 90 (Sembilan Puluh) kepala keluarga, dimana 35 (Tiga Puluh Lima ) Universitas Sumatera Utara 3 diantaranya adalah masyarakat Hindu Bali asli yang berasal dari Pulau Dewata. (Sumber : Wawancara Bapak Nyoman Sumandro, 21 Februari 2016) Pada awalnya, masyarakat Suku Bali ini merupakan para transmigran dari Pulau Bali yang mengungsi karena bencana letusan Gunung Agung, kemudian mereka dikirim ke Sumatera Utara dan kemudian terikat kontrak dengan perkebunan di Bandar Selamat dan Tanjung Garbus di Lubuk Pakam. Setelah masa kontrak dengan perkebunan habis, mereka tidak kembali ke Pulau Bali, kemudian pada saat itu pemerintah memberikan mereka lahan untuk dikelola dan dijadikan pemukiman yang tempatnya berada di pedalaman Kabupaten Langkat, dimana pada saat itu setiap kepala keluarga mendapatkan 2 kavlingan lahan yang setiap satu kavlingan memiliki luas sekitar 2 Ha. ( Sumber : Wawancara Bapak Nyoman Sumandro, 21 Februari 2016) Pada sekitaran tahun 1972 atau 1973 masyarakat Hindu Bali pertama kali membuka Kampung Bali ini. Awalnya hanya masyarakat Suku Bali yang bermukim di desa ini, dan mereka harus menghadapi permasalahan yang sangat sulit. Mereka harus bekerja keras untuk bertahan hidup karena dihadapkan dengan sebuah keadaan yang sulit dengan kondisi alam tempat tinggal mereka yang tidak layak huni. Pada masa pembangunan desa ini, mereka harus berjalan kaki sejauh 12 KM untuk mengangkut material bangunan, karena sama sekali tidak ada alat transportasi dan alat bantu lainnya yang dapat masuk ke daerah ini. Akibatnya, pada masa ini banyak masyarakat Suku Bali yang depresi karena tempat yang mereka tinggali merupakan hutan tropis yang sama sekali belum terjamah oleh manusia. Kemudian, masalah selanjutnya yang harus mereka hadapai adalah kesulitan mencari makan, karena Kampung Bali ini berada di pedalaman hutan yang jauh dari akses keramaian, tidak adanya alat tarnsportasi dan aliran listrik menjadi penambah penderitaan masyarakat Suku Bali yang bermukim di Kampung Bali ini. Akibatnya, pada masa ini ada beberapa masyarakat Suku Bali tidak mampu bertahan hidup hingga akhirnya meninggal dunia. ( Sumber : Wawancara Bapak Nyoman Sumandro, 21 Februari 2016.) Lama dan berat perjalanan hidup masyarakat Suku Bali di kampung Bali ini untuk mampu bertahan hidup dan mengatasi segala permasalahan ada. Namun, Universitas Sumatera Utara 4 seiring dengan berjalannya waktu keadaan Kampung Bali ini berangsur membaik sehingga mereka dapat bertahan hidup dan tetap bermukim di Kampung Blai hingga saat ini. Setelah bertahun-tahun meninggalkan Pulau Bali, masyarakat Hindu Bali yang bermukim di Kamung Bali ini selalu mempertahankan nilai-nilai budaya dan ajaran agama leluhur mereka meskipun telah jauh dari tempat asalnya. Masyarakat Hindu Bali ini masih menjaga dan menjalankan upacaraupacara keagamaan dan ritual-ritual tradisi lainnya sesuai dengan adat kebudayaan mereka. Hal ini dibuktikan dengan dibangunnya pura atau tempat ibadah untuk Umat Hindu di Kampung Bali ini. ( Sumber : Wawancara Bapak Nyoman Sumandro, 21 Februari 2016) Saat ini Kampung Bali tidak lagi dimukimi oleh masyarakat yang homogen. Masyarakat Hindu Bali tidak lagi menjadi satu-satunya suku yang bermukim di desa ini. Namun, ada juga masyarakat dari Suku Jawa, Batak dan Karo yang bermukim di Kampung Bali ini, baik yang beragama Islam maupun Kristen. Mereka hidup berdampingan dengan rukun dan saling menghormati satu sama lainnya. Interaksi sosial antar masyarakat yang berbeda budaya ini terjalin dengan harmonis, mereka saling berkomunikasi, saling menghormati dan saling menghargai satu sama lainnya. Dilatarbelakangi oleh perbedaan budaya, sedikit banyak memiliki dampak terhadap proses interaksi dan komunikasi yang terjadi antara masyarakat Suku Bali dengan masyarakat lainnya di Kampung Bali, karena perbedaan latar belakang budaya ini tentunya menimbulkan hambatan-hambatan yang menjadi persoalan mereka dalam berinteraksi di masyarakat. Hambatan dalam komunikasi antarbudaya ini terjadi karena kurangnya pemahaman suatu masyarakat dengan kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat lainnya, yang pada akhirnya bisa menimbulkan persepsi yang salah. Menurut Edward T. Hall dalam ( Lubis, 2012: 1) budaya dan komunikasi tidak dapat dipisahkan. Oleh karena budaya tidak hanya menentukan siapa bicara apa, tentang apa, dan bagaimana orang menyandi pesan, makna yang dimiliki untuk pesan dan kondisi-kondisinya untuk menngirim, memperhatikan dan menafsirkan pesan. Selain itu, Liliweri dalam ( Lubis, 2012: 3) mengatakan Universitas Sumatera Utara 5 bahwa proses komunikasi antarbudaya merupakan interaksi antarpribadi dan komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh beberpa orang yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda. Hubungan timbal balik antara budaya dan komunikasi penting untuk dipahami bila ingin memperlajari komunikasi antarbudaya secara mendalam. Hal ini terjadi karena melalui budayalah orang-orang dapat belajar berkomunikasi. Kemiripan budaya dalam persepsi akan memungkinkan pemberian makna yang cenderung mirip pula terhadap suatu realitas sosial atau peristiwa tertentu. Sebagimana kita memiliki latar belakang budaya yang berbeda-beda maka dengan sendirinya akan mempengaruhi cara dan praktek berkomunikasi kita. Banyak aspek atau unsur dari budaya yang dapat mempengaruhi perilaku komunikasi seseorang. Pengaruh tersebut muncul melalui suatu proses persepsi dan pemaknaan suatu realitas. Salah satu perspektif komunikasi antarbudaya menekankan bahwa tujuan komunikasi antarbudaya adalah mengurangi tingkat ketidakpastian tentang orang lain. Tingkat ketidakpastian itu akan berkurang apabila kita dapat meramalkan secara tepat proses komunikasi. Karena itu, dalam kenyataan sosial disebutkan bahwa manusia tidak dapat dikatakan berinteraksi sosial kalau tidak berkomunikasi. Demikian pula, dapat dikatakan bahwa interaksi antarbudaya efektif sangat bergantung dari komunikasi antarbudaya. Konsep ini sekaligus menerangkan bahwa tujuan komunikasi antarbudaya akan tercapai apabila bentukbentuk hubungan antarbudaya menggambarkan upaya yang sadar dari peserta komunikasi untuk memperbaharui relasi antara komunikator dengan komunikan, menciptakan dan memperbaharui sebuah manajemen komunikasi yang efektif, lahirnya semangat kesetiakawanan, persahabatan, hingga kepada hasilnya pembagian teknologi, mengurangi konflik yang seluruhnya merupakan bentuk dari komunikasi antarbudaya. Menurut Mulyana dan Rakhmat dalam ( Lubis, 2012 :1-2) sebenarnya seluruh aktivitas perilaku manusia sangat bergantung kepada budaya tempat kita dibesarkan. Konsekuensinya, kebudayaan merupakan landasan komunikasi. Bila kebudayaan beraneka ragam, maka beraneka ragam pula praktek komunikasinya. Universitas Sumatera Utara 6 Samovar dan Porter dalam ( Lubis, 2012: 2) menegasakan bahwa komunikasi dan budya seperti dua sisi mata uang, yang mana budaya menjadi bagian dari perilaku komunikais dan pada gilirannya komunikasipun turut menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya. Diantara komunikasi dan budaya terdapat keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan. Smith dalam ( Lubis, 2012: 3) menjelaskan bahwa kebudayaan merupakan suatu kode atau kumpulan peraturan yang dimiliki dan dipelajari secara bersama. Untuk memiliki kode dan kumpulan peraturan, dibutuhkan komunikasi. Komunikasi juga membutuhkan lambang-lambang yang harus dipelajari dan dimiliki bersama. Dalam Komunikasi Antarbudaya perbedaan latar belakang adat istiadat dan budaya seringkali menjadi penghambat bagi kelangsungan komunikasi tersebut. Namun, dengan memahami adat istiadat dan tradisi budaya lain, hal ini dapat dihindari. Untuk dapat memahami dan menerima budaya lain maka yang harus kita lakukan adalah menghapuskan etnosentrisme dalam pemikiran kita. Etnosentrisme merupakan pandangan atau pemikiran dimana kita merasa suku atau budaya kita adalah yang paling baik dan paling benar. Namun, dilain sisi perbedaan bukanlah alasan dalam melakukan komunikasi, karena melalui komunikasi kita dapat belajar dan mengetahui apa yang belum kita ketahui. Dalam konteks komunikasi antarbudaya kita bisa belajar dan tahu mengenai adat istiadat budaya lain yang belum kita ketahui sebelumnya. Berdasarkan uraian konteks masalah diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Pola Komunikasi Masyarakat Hindu Bali dalam Berinteraksi dengan Masyarakat yang Multietnis di Desa Cipta Dharma. 1.2 Fokus Masalah Berdasarkan konteks masalah yang diuraikan di atas, maka penelitian ini menarik fokus masalah yang dapat dirumuskan dalam pertanyaan pokok berikut Universitas Sumatera Utara 7 Bagaimana Pola Komunikasi Masyarakat Suku Bali dalam Berinteraksi dengan Masyarakat yang Multietnis di Desa Cipta Dharma. 1.3 Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui Pola komunikasi Masyarakat Suku Bali dalam berinteraksi dengan masyarakat yang multietnis di Desa Cipta Dharma. 2. Untuk mengetahui hambatan dalam berkomunikasi yang dialami Masyarakat Suku Bali dalam berinteraksi dengan masyarakat yang multietnis di Desa Cipta Dharma. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Secara Akademis, Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya keanekaragaman wacana penelitian di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU dan diharapkan dapat memberikan sumbangan penikiran bagi pembacanya. 2. Secara teoritis, penelitian ini ditujukan untuk memperkaya bidang keilmuan peneliti dan pembaca mengenai Pola komunikasi masyarakat Suku Bali dalam berinteraksi dengan masyarakat yang multietnis di Desa Cipta Dharma. 3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi pembaca dan juga mahasiswa mengenai study etnografi komunikasi. Universitas Sumatera Utara