Keesaan: Tuhan Islam Kita telah melihat bahwa kepercayaan

advertisement
Keesaan: Tuhan Islam
Kita telah melihat bahwa kepercayaan kepada hanya satu
Tuhan
menuntut perubahan kesadaran yang menyakitkan. Seperti halnya
orang-orang Kristen awal, kaum Muslim generasi pertama dituduh
sebagai penganut "ateisme" yang membahayakan masyarakat. Di
Makkah, di mana peradaban kota masih baru dan tentunya tampak
sebagai keberhasilan yang rentan bagi kaum Quraisy yang amat
bangga akan kecukupan dirinya, banyak yang merasakan ketakutan
dan kegelisahan yang sama seperti dirasakan penduduk Roma yang
pada awalnya menolak Kristen. Kaum Quraisy tampaknya merasa
keterputusan dengan dewa-dewa leluhur mereka sebagai ancaman
besar, dan tak lama kemudian nyawa Muhammad sendiri pun terancam.
Para sarjana Barat biasanya menghubungkan keterputusan yang
dialami kaum Quraisy ini dengan peristiwa fiktif Ayat-ayat Setan,
yang menjadi terkenal sejak kasus tragis Salman Rushdie.
Ada tiga sesembahan Arab kuno yang secara khusus disenangi
oleh orang-orang Arab Hijaz, yaitu Al-Lat (yang secara sederhana
berarti "Dewi") dan Al-Uzza (Yang Perkasa), masing-masing
memiliki
kuil suci di Thaif dan Nakhlah, sebelah tenggara Makkah, dan
Manat
(Sang Penentu), yang kuil sucinya bertempat di Qudaid, di pesisir
Laut Merah. Sesembahan ini tidak sepenuhnya dipersonalisasikan
seperti Juno atau Pallas Athene. Mereka sering disebut banat Allah,
yang arti harfiahnya Anak Perempuan Allah, tetapi tidak
merupakan
sesembahan yang telah berkembang sepenuhnya. Orang Arab menggunakan istilah kekeluargaan seperti itu untuk menyatakan suatu
hubungan yang abstrak: dengan demikian, banat al-dahr (harfiahnya
"putri-putri nasib") sekadar bermakna ketidakberuntungan atau pasang
surut kehidupan. Istilah banat Allah mungkin sekadar merujuk kepada
"wujud-wujud suci". Sesembahan ini tidak diwakili oleh patung
yang
realistik di dalam kuil-kuil, tetapi oleh batu-batu besar yang
berdiri
tegak, seperti yang terdapat di kalangan orang Kanaan kuno. Batu
itu tidak disembah oleh orang-orang Arab secara langsung, tetapi
hanya menjadi sebuah fokus keilahian. Seperti Makkah
dengan
Ka'bahnya, kuil-kuil di Thaif, Nakhlah, dan Qudaid telah
menjadi
lambang spiritual yang penting di dalam hati orang-orang Arab. Nenek
moyang mereka telah beribadah di sana sejak zaman
antah-berantah,
dan ini mereka memberi rasa ketersambungan yang melegakan.
Kisah Ayat-ayat Setan tidak disebutkan di dalam Al-Quran maupun
sumber-sumber lisan dan tertulis yang terdahulu. Kisah ini juga
tidak
tercantum di dalam Sirah Ibn Ishaq, biografi Nabi yang paling autoritatif,
Sejarah Tuhan
tetapi hanya ditemukan di dalam karya sejarahwan abad kesepuluh,
Abu Ja'far Al-Thabari (w. 923). Dia menceritakan kepada kita bahwa
Muhammad mengkhawatirkan keretakan hubungan yang terjadi antara
dirinya dengan sebagian besar anggota suku sejak dia
melarang
pemujaan terhadap dewi-dewi mereka. Lalu, Muhammad mengucapkan beberapa bait janggal yang mengizinkan banat Allah diagungkan sebagai perantara, seperti halnya para malaikat. Dalam bait-bait
yang disebut sebagai "Ayat-ayat Setan" ini—karena konon diinspirasikan oleh "setan"—ketiga dewi itu tidak dipandang setara dengan
Allah tetapi merupakan wujud spiritual lebih rendah yang bisa
memohon kepada Allah, atas nama manusia. Akan tetapi, Al-Thabari
kemudian berkata bahwa Jibril memperingatkan kepada Muhammad
bahwa bait-bait tersebut berasal dari setan dan harus dikeluarkan
dari Al-Quran untuk digantikan oleh ayat-ayat berikut ini yang menyatakan bahwa banat Allah hanyalah proyeksi dan isapan jempol
imajinasi:
Maka apakah patut kamu (hai
orang-orang
musyrik)
menganggap
Al-Lata dan Al-Uzza, dan Manah yang ketiga, yang paling terkemudian
(sebagai anak perempuan Allah)
....
Itu tidak lain hanyalah
nama-nama yang kamu dan
bapak-bapak
kamu
mengadakannya; Allah
tidak menurunkan
satu
keterangan
pun untuk (menyembah)-nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti
sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka,
dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan
mereka.21
Ini adalah ayat-ayat yang paling radikal di antara semua ayat AlQuran yang mencela dewa-dewa pagan leluhur kaum Quraisy. Setelah
ayat ini dicantumkan di dalam Al-Quran maka tak ada lagi kesempatan
rekonsiliasi dengan kaum Quraisy. Mulai saat ini, Muhammad menjadi
seorang monoteis yang keras, dan syirk (secara harfiah berarti menyekutukan Allah dengan sesuatu yang lain) menjadi dosa paling besar
dalam pandangan Islam.
Muhammad tidak memberi konsesi apa pun terhadap politeisme
dalam peristiwa Ayat-ayat Setan—kalaupun peristiwa ini memang
pernah terjadi. Juga tidak tepat untuk membayangkan bahwa keterlibatan "setan" itu membuat Al-Quran untuk sesaat telah dinodai
oleh kejahatan: di dalam Islam, setan merupakan karakter yang lebih
206
Keesaan: Tuhan Islam
dapat dikendalikan dibandingkan dengan.di dalam Kristen. Al-Quran
menyatakan kepada kita bahwa setan-setan itu akan diampuni di
Hari Akhir, dan orang Arab sering menggunakan kata "syaithan"
untuk menyebut penggoda manusia atau godaan yang alamiah.22
Peristiwa itu bisa memberi indikasi tentang kesulitan yang tentu
dialami oleh Muhammad ketika dia berusaha menurunkan taraf pesan
suci yang tak terlukiskan ke dalam bahasa manusia: peristiwa itu dikaitkan dengan ayat-ayat Al-Quran kanonikal yang menyatakan bahwa
sebagian besar nabi-nabi lain juga pernah melakukan kekeliruan
ucap yang serupa ketika menyampaikan pesan ilahi, namun Tuhan
selalu meluruskan kesalahan mereka dan menurunkan wahyu yang
baru dan lebih unggul sebagai penggantinya. Cara pandang alternatif
dan lebih sekular terhadap hal ini adalah dengan melihat bahwa
Muhammad merevisi karyanya di bawah bimbingan wawasan baru
tak ubahnya seperti seorang pekerja kreatif seni. Sumber-sumber itu
menunjukkan bahwa Muhammad secara mutlak menolak berkompromi dengan kaum Quraisy dalam soal keberhalaan. Dia adalah seorang yang pragmatis dan siap membuat konsesi dalam hal-hal yang
dianggapnya tidak esensial. Akan tetapi, setiap kali kaum Quraisy
memintanya untuk mengadopsi solusi yang memadukan tauhid dengan
pemberhalaan, membiarkan mereka menyembah dewa-dewa leluhur
mereka, sementara dia dan kaum Muslim menyembah Allah saja,
Muhammad dengan keras menolak usulan itu. Seperti yang difirmankan di dalam Al-Quran: Aku tak akan menyembah apa yang kalian
sembah, dan kalian tak akan menyembah apa yang aku sembah ,..
bagimu agamamu dan bagiku agamaku/ 25 Kaum Muslim hanya akan
tunduk kepada Allah saja dan tidak akan menyerah kepada objekobjek ibadat yang keliru—apakah itu dewa-dewa maupun nilai-nilai—
seperti dianjurkan oleh orang-orang Quraisy.
Persepsi tentang keunikan Tuhan merupakan basis moralitas AlQuran. Menyembah benda-benda material atau meletakkan kepercayaan pada wujud yang lebih rendah adalah syirk (keberhalaan).
Al-Quran menumpahkan celaan terhadap dewa-dewa pagan dalam
cara yang sangat mirip dengan kitab suci Yahudi: dewa-dewa itu
sama sekali tak bisa berbuat apa-apa. Dewa-dewa itu tak mampu
memberikan makanan atau rezeki; tidak ada gunanya meletakkan
mereka sebagai pusat dalam kehidupan seseorang karena mereka
tidaklah berdaya. Sebaliknya, seorang Muslim juga harus yakin bahwa
Allah adalah Realitas Tertinggi dan Unik:
207
Sejarah Tuhan
Katakanlah: "Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang
bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada
pula diperanakkan,
dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan
Dia."24
Penganut Kristen seperti Athanasius juga berkeyakinan bahwa
hanya Sang Pencipta, sumber segala wujud, yang memiliki kekuatan
penebusan. Mereka telah mengungkapkan pandangan ini dalam
doktrin Trinitas dan Inkarnasi. Al-Quran kembali kepada gagasan
Semitik tentang ketunggalan ilahi dan menolak membayangkan bahwa
Tuhan dapat "memperanakkan" seorang putra. Tak ada Tuhan kecuali
Allah, Pencipta langit dan bumi. Hanya Allah yang dapat menyelamatkan manusia dan menganugerahkan rezeki fisik maupun spiritual
yang dibutuhkan manusia. Hanya dengan mengakuinya sebagai AlShamad, "Penyebab yang Tidak Disebabkan atas segala sesuatu,"
kaum Muslim dapat mencapai sebuah dimensi realitas yang melampaui waktu dan sejarah, yang akan menghindarkan mereka dari perselisihan kesukuan yang memecah-belah masyarakat. Muhammad
mengetahui bahwa monoteisme bertentangan dengan tribalisme: satu
Tuhan yang menjadi fokus semua peribadatan akan mempersatukan
masyarakat maupun individu.
Namun, tak ada pandangan tentang Tuhan yang simplistik. Tuhan
yang tunggal ini bukanlah suatu wujud seperti diri kita sendiri yang
dapat kita ketahui dan pahami. Frasa "Allahu Akbar" (Tuhan Mahabesar!), yang menyeru kaum Muslim untuk melaksanakan shalat,
menekankan perbedaan Tuhan dengan semua realitas lain, juga antara
Tuhan dalam dirinya sendiri (Al-Dzat) dengan apa pun yang bisa
kita katakan tentang dia. Sungguhpun demikian, Tuhan yang tidak
bisa dipahami dan dijangkau ini telah berkehendak untuk membuat
dirinya diketahui. Di dalam sebuah hadis qudsi, Tuhan berfirman
kepada Muhammad: "Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi;
Aku
ingin dikenal. Kemudian Aku ciptakan alam agar Aku
bisa
dikenal." 25 Dengan merenungkan tanda-tanda (ayat) alam dan ayatayat Al-Quran, kaum Muslim dapat memperoleh kilasan aspek keilahian yang telah dituangkan di alam semesta, yang oleh Al-Quran disebut
sebagai Wajah Allah (wajh Allah).
Seperti kedua agama yang lebih tua, Islam menekankan bahwa
kita hanya bisa melihat Tuhan melalui aktivitasnya, yang menyesuaikan wujudnya yang tak terlukiskan itu dengan pemahaman kita yang
208
Keesaan: Tuhan Islam
terbatas. Al-Quran memerintahkan kaum Muslim untuk menanamkan
kesadaran yang tak terputus tentang Wajah atau Zat Tuhan yang
melingkupi mereka dari semua sisi: Ke manapun engkau berpaling,
maka di sana akan ada Wajah Allah. 26 Al-Quran memandang Tuhan
sebagai yang Mutlak, pemilik eksistensi sejati: Semua yang ada di
bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.21 Di dalam Al-Quran, disebutkan
sembilan puluh sembilan nama atau sifat Tuhan. Ini menekankan
bahwa dia "lebih besar", sumber dari semua kualitas positif yang
kita jumpai di alam semesta. Dengan demikian, dunia menjadi ada
hanya karena dia adalah Al-Ghani (kaya dan tak terbatas); memberi
kehidupan (Al-Muhyi); mengetahui segala sesuatu (Al-'Alim), berbicara (Al-Kalim); tanpa dia, karenanya, takkan ada kehidupan, pengetahuan, atau kata-kata. Ini merupakan penegasan bahwa hanya Allah
yang memiliki eksistensi yang sejati dan nilai positif. Sungguhpun
demikian, tak jarang sifat-sifat itu kelihatannya seperti bertentangan
satu sama lain. Misalnya, Tuhan adalah Al-Qahhar, yang mendominasi
dan mematahkan tulang musuh-musuhnya, dan Al-Halim, yang sangat
melindungi; Dia adalah Al-Qabid, yang menyempitkan, dan Al-Basit,
yang melapangkan; Dia adalah Al-Khafidh, yang merendahkan, dan
Al-Rafi', yang mengagungkan. Nama-nama Tuhan memainkan peran
sentral dalam peribadatan Muslim: nama-nama itu dibaca, dihitung
pada bulir-bulir tasbih, dan diucapkan seperti mantra. Semua ini
mengingatkan kaum Muslim bahwa Tuhan yang mereka sembah
tidak bisa dicakup oleh kategori-kategori manusia dan mengelak
dari definisi yang sederhana.
Rukun Islam yang pertama adalah syahadat, pengakuan keimanan
seorang Muslim: "Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah
dan bahwa Muhammad utusan Allah." Ini bukan sekadar penegasan
atas eksistensi Tuhan tetapi sebuah pengakuan bahwa Allah merupakan satu-satunya realitas sejati, satu-satunya bentuk eksistensi sejati.
Dia adalah satu-satunya realitas, keindahan, atau kesempurnaan sejati:
semua wujud yang terlihat ada dan memiliki sifat-sifat seperti ini
hanya meminjam keberadaan dan sifat tersebut dari wujud esensial
ini. Mengucapkan penegasan ini menuntut kaum Muslim untuk mengintegrasikan kehidupan mereka dengan menjadikan Allah sebagai
fokus dan prioritas tunggal mereka. Penegasan tentang keesaan Allah
bukan sekadar penyangkalan atas kelayakan dewa-dewa, seperti
banat Allah untuk disembah.
209
Sejarah Tuhan
Mengatakan bahwa Allah itu satu bukan sekadar sebuah definisi
numerik, melainkan seruan untuk menjadikan keesaan itu sebagai
faktor pengendali kehidupan individu dan masyarakat. Keesaan Tuhan
dapat terpantul dalam diri yang benar-benar terintegrasi. Akan tetapi,
keesaan ilahi juga menuntut kaum Muslim untuk menghargai aspirasi
keagamaan lain. Karena hanya ada satu Tuhan, maka semua agama
wahyu pasti berasal darinya. Kepercayaan pada Realitas tunggal
dan tertinggi bisa dikondisikan secara kultural dan diungkapkan oleh
masyarakat yang berbeda dengan cara-cara yang berbeda, tetapi
fokus semua peribadatan sejati harus diinspirasikan oleh, dan diarahkan kepada, wujud yang oleh orang-orang Arab selalu disebut Allah.
Salah satu nama Tuhan yang disebutkan di dalam Al-Quran adalah
Al-Nur, cahaya. Dalam ayat-ayat yang terkenal ini, Tuhan adalah
sumber semua pengetahuan dan sarana yang melaluinya manusia
dapat menangkap kilasan tentang yang transenden:
Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan
cahaya Allah, adalah seperti [ka], sebuah lubang yang tak tembus,
yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca
(dan)
kaca itu seakan-akan bintang (yang
dinyalakan
dengan
minyak
dari
(yaitu) pohon zaitun yang tumbuh
dan tidak pula di sebelah baratnya,
hampir menerangi walaupun tidak
cahaya?28
bercahaya) seperti mutiara, yang
pohon yang
banyak
berkahnya,
tidak di sebelah
timur (sesuatu)
yang minyaknya (saja) hampirdisentuh api.
Cahaya di atas
Sisipan ka merupakan pengingat akan watak simbolik yang
mendasar dalam setiap pembicaraan Al-Quran tentang Tuhan. AlNur, oleh karena itu, bukanlah Tuhan itu sendiri, tetapi merujuk
kepada pencerahan yang dikaruniakannya pada suatu wahyu khusus
(pelita) yang bersinar di hati seseorang (lubang). Cahaya itu sendiri
tidak bisa disamakan sepenuhnya dengan salah seorang pembawanya,
tetapi berlaku sama untuk semua. Sebagaimana ditafsirkan oleh para
mufasir Muslim sejak hari-hari awal Islam, cahaya merupakan simbol
yang sangat baik bagi Realitas ilahi, yang mentransendensi ruang
dan waktu. Citra pohon zaitun di dalam ayat ini telah ditafsirkan
sebagai perumpamaan bagi kesinambungan wahyu, yang tumbuh
dari satu "akar" dan bercabang menjadi berbagai pengalaman keagamaan yang tidak bisa diidentifikasi atau dibatasi pada satu tradisi
atau lokasi tertentu: ia tidak berasal dari Timur maupun dari Barat.
210
Download