Gambar 1. Kerangka Pemikiran 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Strategi

advertisement
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Strategi Pemberdayaan
Strategi pada hakekatnya adalah merupakan perencanaan dan manajemen
dengan tujuan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Strategi tidak hanya sekedar
sebagai peta yang hanya menunjukkan arahnya saja, tetapi sangat penting bagaimana
strategi yang dirumuskan mampu memaparkan secara rinci bagaimana
melaksanakannya. Strategi sering dikatakan sebagai perencanaan strategis atau
perencanaan jangka panjang. Langkah pertama dalam melakukan strategi adalah
menentukan misi, yaitu suatu gambaran terhadap maksud atau alasan bagi
keberadaan suatu perusahaan atau suatu lembaga. Misi ini penting karena berfungsi
sebagai arah bagi suatu perusahaan atau lembaga pemerintah dalam merencanakan
kegiatan usahanya (Soesilowati, 1997).
Potensi sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil kaya namun poverty
headcount index (PHI) mencapai 3.2 atau dua kali rata-rata kemiskinan nasional.
Untuk mengatasi permasalahan ini DKP melalui Direktorat PMP mengembangkan
strategi pemberdayaan masyarakat.
Adapun Strategi Pemberdayaan Masyarakat dimaksud adalah:
1) Strategi Pemberdayaan Ekonomi
a. Pengembangan Keuangan Mikro, Akses ke CSR dan PKBL
b. Pengembangan Usaha Mikro (SPDN, Kedai Pesisir, Garam, Klinik Bisnis)
2) Strategi Pemberdayaan Sosial-Budaya Iptek
a. Pengembangan Sosial-budaya: (P3MP, Gender, Punggawa Nusantara, Pemuka
Agama & Adat, Anak Nelayan).
b.
Penerapan Iptek : identifikasi Iptek, melalui : lomba, desiminasi, workshop,
kerjasama dengan lembaga pengembang Iptek), implementasi teknologi tepat
guna meliputi peningkatan kualitas SDM pemuda nelayan melalui regenerasi
nelayan implementasi teknologi tepat guna
3) Strategi PNPM-Mandiri Kelautan dan Perikanan
4. Program Baru “pemberdayaan masyarakat pesisir” yang didanai IFAD.
Dalam strategi pembangunan perikanan di Indonesia menurut Dahuri (2000)
ada 2 aspek penting untuk melakukan langkah reformasi agar sumberdaya perikanan
dapat meningkatkan kinerjanya dan mampu memberikan kontribusi bagi penguatan
perekonomian nasional adalah sebagai berikut:
1) Reformasi aspek teknis pembangunan perikanan. Jika sektor perikanan
diharapkan menjadi sektor unggulan, maka pengembangan perikanan harus
dilakukan melalui pendekatan agribisnis secara komprehensif dan terpadu. Untuk
mewujudkan hal ini beberapa program yang harus dilakukan meliputi:
pemanfaatan sumberdaya perikanan berwawasan lingkungan, pemberdayaan
masyarakat nelayan dengan cara memberikan kemudahan-kemudahan dalam
melakukan
usaha
perikanan,
pengembangan
teknologi
pascapanen,
pengembangan sumberdaya manusia dan iptek, pengembangan prasarana dan
sarana keamanan laut, serta pola insentif bagi daerah-daerah terpencil.
2) Reformasi kebijakan pembangunan perikanan. Reformasi yang dilakukan
meliputi empat aspek antara lain: reformasi hukum, reformasi kelembagaan,
reformasi ekonomi, serta reformasi politik.
Pendapat atau pandangan di atas dapat disimpulkan bahwa strategi
pengelolaan sumberdaya perikanan merupakan suatu langkah yang strategis
bagaimana suatu sistem pengelolaan sumberdaya perikanan secara efektif dan efisien
sehingga benar-benar dapat memberikan kontribusi yang optimal bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat nelayan khususnya serta bagaimana sumberdaya
perikanan tersebut dapat meningkatkan perekonomian baik daerah maupun nasional.
Dalam proses pengelolaan dan pemberdayaan masyarakat, Soesilowati
(1997) memaparkan beberapa bentuk strategi yang dapat dilaksanakan sebagai
berikut:
1. Strategi Persuasif, merupakan suatu langkah yang diambil dalam hal bagaimana
membawa langkah suatu perubahan melalui kebiasaan dalam berperilaku, dimana
pesan disusun secara terstruktur dan dipresentasikan. Strategi persuasif lebih
sering digunakan bila sasaran tidak sadar terhadap perubahan atau mempunyai
komitmen yang rendah terhadap perubahan.
2. Strategi Fasilitasi, yaitu strategi yang dipergunakan bila kelompok atau sistem
yang dijadikan target mengetahui adanya suatu masalah dan membutuhkan
perubahan serta adanya sikap keterbukaan terhadap bantuan dari luar dan
keinginan pribadi yang kuat untuk terlibat. Melalui strategi ini diharapkan
perubahan dapat bertindak sebagai fasilitator. Strategi ini dikenal sebagai
kooperatif, yaitu agen perubahan bersama-sama dengan sasaran mencari
penyelesaian melalui kerjasama yang bisa bersifat implementatif.
2.2 Konsep Pemberdayaan
Perberdayaan merupakan satu istilah yang diterjemahkan dari istilah
empowerment yang merupakan sebuah konsep yang lahir sebagai bagian dari
perkembangan alam pemikiran dan kebudayaan masyarakat. Pemberdayaan memiliki
dua kecendrungan yaitu kecendrungan primer dan kecenderungan sekunder.
Kecendrungan primer merupakan pemberdayaan yang menekankan pada proses
memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan
kepada masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya; Kecenderungan skunder,
merupakan pemberdayaan yang menekankan pada proses menstimulasi, mendorong
atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk
menentukan apa yang menjadi pilihan mereka.
Menurut Sumodiningrat (1999), bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan
upaya untuk memandirikan masyarakat lewat perwujudan potensi kemampuan yang
mereka miliki. Adapun pemberdayaan masyarakat senantiasa menyangkut dua
kelompok yang saling terkait, yaitu masyarakat sebagai pihak yang diberdayakan dan
pihak yang menaruh kepedulian sebagai pihak yang memberdayakan.
Keberdayaan masyarakat merupakan unsur dasar yang memungkinkan suatu
masyarakat bertahan, dan dalam pengertian yang dinamis mengembangkan diri dan
mencapai kemajuan. Keberdayaan masyarakat itu sendiri menjadi sumber dari apa
yang di dalam wawasan politik disebut sebagai ketahanan nasional. Artinya bahwa
apabila masyarakat memiliki kemampuan ekonomi yang tinggi, maka hal tersebut
merupakan bagian dari ketahanan ekonomi nasional.
Dalam kerangka pikir inilah upaya memberdayakan masyarakat pertamatama haruslah dimulai dengan menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan
potensi masyarakat berkembang. Di sini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa
setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan.
Artinya, bahwa tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena kalau
demikian akan punah. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu
sendiri, dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi
yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya.
Selanjutnya, upaya tersebut diikuti dengan memperkuat potensi atau daya
yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Dalam konteks ini diperlukan langkahlangkah lebih positif, selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana yang
kondusif. Perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan
berbagai masukan (input), serta pembukaan akses kepada berbagai peluang
(opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya
(Kartasasmita, 1996).
Dalam pengertian yang lebih luas, pemberdayaan masyarakat merupakan
proses untuk memfasilitasi dan mendorong masyarakat agar mampu menempatkan
diri secara proporsional dan menjadi pelaku utama dalam memanfaatkan lingkungan
strategisnya untuk mencapai suatu keberlanjutan dalam jangka panjang.
Pemberdayaan masyarakat memiliki keterkaitan erat dengan sustainable development
dimana pemberdayaan masyarakat merupakan suatu prasyarat utama serta dapat
diibaratkan sebagai gerbong yang akan membawa masyarakat menuju suatu
keberlanjutan secara ekonomi, sosial dan ekologi yang dinamis.
2.3 Tipe Pemberdayaan
Banyak sudah program pemberdayaan yang dilaksanakan pemerintah, salah
satunya adalah pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP). Pada intinya
program ini dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu:
(a)
Kelembagaan. Bahwa untuk memperkuat posisi tawar masyarakat, mereka
haruslah terhimpun dalam suatu kelembagaan yang kokoh, sehingga segala
aspirasi dan tuntutan mereka dapat disalurkan secara baik. Kelembagaan ini
juga dapat menjadi penghubung (intermediate) antara pemerintah dan swasta.
Selain itu kelembagaan ini juga dapat menjadi suatu forum untuk menjamin
terjadinya perguliran dana produktif diantara kelompok lainnya.
(b) Pendampingan. Keberadaan pendamping memang dirasakan sangat dibutuhkan
dalam setiap program pemberdayaan. Masyarakat belum dapat berjalan sendiri
mungkin karena kekurangtauan, tingkat penguasaan ilmu pengetahuan yang
rendah, atau mungkin masih kuatnya tingkat ketergantungan mereka karena
belum pulihnya rasa percaya diri mereka akibat paradigma-paradigma
pembangunan masa lalu. Terlepas dari itu semua, peran pendamping sangatlah
vital terutama mendapingi masyarakat menjalankan aktivitas usahanya. Namun
yang terpenting dari pendampingan ini adalah menempatkan orang yang tepat
pada kelompok yang tepat pula.
(c)
Dana Usaha Produktif Bergulir. Pada program PEMP juga disediakan dana
untuk mengembangkan usaha-usaha produktif yang menjadi pilihan dari
masyarakat itu sendiri. Setelah kelompok pemanfaat dana tersebut berhasil,
mereka harus menyisihkan keuntungannya untuk digulirkan kepada kelompok
masyarakat lain yang membutuhkannya.
Pengaturan pergulirannya akan
disepakati di dalam forum atau lembaga yang dibentuk oleh masyarakat sendiri
dengan fasilitasi pemerintah setempat dan tenaga pendamping.
2.4 CSR (Corporate Social Reponsibility)
Konsep tanggung jawab sosial perusahaan telah dikenal sejak awal 1970,
yang secara umum diartikan sebagai kumpulan kebijakan dan praktik yang
berhubungan dengan stakeholder, nilai-nilai, pemenuhan ketentuan hukum,
penghargaan masyarakat, lingkungan, serta komitmen dunia usaha untuk
berkontribusi dalam pembangunan secara berkelanjutan (Corporate Social
Reponsibility) CSR dan tidak hanya merupakan kegiatan kreatif perusahaan dan tidak
terbatas hanya pada pemenuhan aturan hukum semata, (Chairil, 2007).
Cook (1994) dalam Supriyanto (2004) menyatakan pembangunan masyarakat
merupakan konsep yang berkaitan dengan upaya peningkatan atau pengembangan
masyarakat menuju kearah yang positif. Sedangkan Giarci (2001) dalam Supriyanto
(2004) memandang community development sebagai suatu hal yang memiliki pusat
perhatian dalam membantu masyarakat pada berbagai tingkatan umur untuk tumbuh
dan berkembang melalui berbagai fasilitasi dan dukungan agar mereka mampu
memutuskan, merencanakan dan mengambil tindakan untuk mengelola dan
mengembangkan lingkungan fisiknya serta kesejahteraan sosialnya. Proses ini
berlangsung dengan dukungan collective action dan networking yang dikembangkan
masyarakat. Bartle (2003) dalam Supriyanto (2004) mendefinisikan community
development sebagai alat untuk menjadikan masyarakat semakin komplek dan kuat.
Ini merupakan suatu perubahan sosial dimana masyarakat menjadi lebih komplek,
institusi lokal tumbuh, collective power-nya meningkat serta terjadi perubahan secara
kualitatif pada organisasinya.
2.5 Pendapatan
Ada beberapa definisi pengertian pendapatan dari para ahli antara lain
Mulyanto Sumardi dan Hans Dieter Evers (1982: 20), pendapatan adalah seluruh
penerimaan baik berupa uang maupun barang baik dari pihak lain maupun dari hasil
sendiri. Dengan dinilai sejumlah uang atas harga yang berlaku pada saat itu.
Mulyanto Sumardi dan Hans Dieter Evers (1982: 66) juga membedakan
pendapatan menjadi dua yaitu pendapatan yang berupa uang dan pendapatan yang
berupa barang. Pendapatan yang berupa uang yaitu segala penghasilan yang berupa
uang yang sifatnya reguler dan yang diterima biasanya sebagai balas jasa atau kontra
prestasi, sumber-sumber utama adalah:
1) dari gaji dan upah yang diperoleh dari kerja pokok, kerja sampingan, kerja
lemburan, dan kerja kadang-kadang
2) dari usaha sendiri yang meliputi: hasil bersih dari usaha sendiri, komisi, dan
penjualan dari kerajinan rumah
3) dari hasil investasi yakni pendapatan yang di peroleh dari hak milik tanah
4) keuntungan sosial, yakni pendapatan yang diperoleh dari kerja sosial.
Pendapatan yang berupa barang yaitu segala penghasilan yang sifatnya
regular dan biasa akan tetapi tidak selalu berbentuk balas jasa dan diterimakan dalam
bentuk barang atau jasa. Pendapatan berupa :
1) Bagian pembayaran upah dan gaji yang dibentuk dalam beras, pengobatan,
transportasi, perumahan, dan rekreasi.
2) Beras yang diproduksi dan dikonsumsi di rumah antara lain pemakaian barang
yang diproduksi di rumah, sewa yang seharusnya dikeluarkan terhadap rumah
sendiri yang di tempati.
Pengertian pendapatan menurut Simanora dalam Astuti (2004: 28-29) adalah
kenaikan aktiva perusahaan atau penurunan kewajiban perusahaan (atau kombinasi
antara keduanya) selama periode tertentu yang berasal dari pengiriman barang–
barang, penyerahan jasa, atau kegiatan-kegiatan lainya yang merupakan kegiatan
sentral perusahaan.
Menurut Tohar dalam Eko (2003:15) pendapatan perseorangan adalah jumlah
pendapatan yang diterima setiap orang dalam masyarakat yang sebelum dikurangi
transfer payment. Transfer Payment yaitu pendapatan yang tidak berdasarkan balas
jasa dalam proses produksi dalam tahun yang bersangkutan.
Tohar dalam Eko (2003) juga menambahkan bahwa pendapatan dibedakan
menjadi :
1) Pendapatan asli, yaitu pendapatan yang diterima oleh setiap orang yang langsung
ikut serta dalam produksi barang
2) pendapatan turunan (sekunder) yaitu pendapatan dari golongan penduduk lainnya
yang tidak langsung ikut serta dalam produksi barang seperti dokter, ahli hukum
dan pegawai negeri.
Sedangkan menurut Kasryno (1984: 263) pendapatan menurut perolehannya
dibedakan menjadi:
1) Pendapatan kotor, yaitu pendapatan yang diperoleh sebelum dikurangi
pengeluaran dan biaya-biaya
2) Pendapatan bersih, yaitu pendapatan yang diperoleh sesudah dikurangi
pengeluaran dan biaya-biaya
Pendapatan menurut bentuknya dibedakan menjadi:
1) Pendapatan berupa uang, adalah segala penghasilan yang sifatnya reguler dan
yang diterima biasanya sebagai balasa jasa, sumber utamanya berupa gaji, upah,
bangunan, pendapatan bersih dari usaha sendiri dan pendapatan dari penjualan
seperti : hasil sewa, jaminan sosial, premi asuransi.
2) Pendapatan berupa uang, adalah segala penghasilan yang sifatnya reguler dan
biasanya tidak berbentuk balas jasa dan diterima dalam bentuk barang.
Yudhohusodo dalam Aryani A. (2005) tingkat pendapatan seseorang dapat
digolongkan dalam 4 golongan yaitu:
1) Golongan yang berpenghasilan rendah (low income group) yaitu pendapatan ratarata dari Rp. 150.000 perbulan
2) Golongan berpenghasilan sedang (Moderate income group) yaitu pendapatan
rata-rata Rp. 150.000 – Rp.450.000 perbulan
3) Golongan berpenghasilan menengah (midle income group) yaitu pendapatan ratarata yang diterima Rp. 450.000 – Rp. 900.000 perbulan
4) Golongan yang berpenghasilan tinggi (high income group) yaitu rata-rata
pendapatan lebih dari Rp. 900.000.
2.7. Nelayan
Nelayan Indonesia masih sangat memprihatinkan, bahkan sering dianggap
sebagai kelompok termiskin diantara yang miskin. Mereka miskin modal usaha,
informasi, pendidikan, pengetahuan dan kemampuan usaha, tinggal di daerah yang
miskin akan sarana prasarana dalam mengaktualisasikan dirinya. Banyak Faktor
penyebab kemiskinan nelayan, baik itu faktor internal maupun faktor eksternal yang
berkaitan dengan lingkugan secara umum.
Menurut Undang-undang (UU) No 31 tahun 2004 tentang Perikanan, nelayan
adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Nelayan
adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan
ikan, binatang air lainnya atau tanaman air. Orang yang hanya melakukan pekerjaan
seperti membuat jaring, mengangkut alat-alat atau perlengkapan ke dalam perahu
atau kapal, tidak dimasukkan sebagai nelayan. Ahli mesin dan juru masak yang
bekerja di atas kapal penangkap dimasukkan sebagai nelayan, walaupun tidak secara
langsung melakukan penangkapan. Berdasarkan curahan waktu kerjanya, nelayan
dibedakan menjadi:
1) Nelayan penuh adalah nelayan yang seluruh waktu kerjanya dipergunakan untuk
melakukan operasi penangkapan ikan
2) Nelayan sambilan utama adalah nelayan yang sebagian besar waktu kerjanya
dipergunakan untuk melakukan operasi penangkapan ikan
3) Nelayan sambilan tambahan adalah nelayan yang sebagian kecil dari waktu
kerjanya dipergunakan untuk melakukan operasi penangkapan.
Menurut Hermanto (1986) secara umum berdasarkan bagian yang diterima
dalam usaha penangkapan ikan dibagi menjadi lima kelompok, yaitu:
1) Juragan darat adalah orang yang mempunyai perahu dan alat penangkapan ikan
laut. Juragan darat hanya menerima bagi hasil tangkapan yang diusahakan oleh
orang lain. Pada umumnya juragan darat menangggung seluruh biaya operasi
penangkapan
2) Juragan laut adalah orang yang tidak punya perahu dan alat tangkap, tetapi
bertanggung jawab dalam operasi penangkapan ikan di laut
3) Juragan darat-laut adalah orang yang memiliki perahu dan alat tangkap sekaligus
ikut dalam operasi penangkapan ikan di laut. Juragan darat-laut menerima bagi
hasil sebagai nelayan dan bagi hasil sebagai pemilik unit penangkapan
4) Buruh atau pandega adalah orang yang tidak memiliki unit penangkapan dan
hanya berfungsi sebagai anak buah kapal, umumnya menerima bagi hasil
tangkapan dan jarang diberikan upah harian, dan
5) Anggota kelompok adalah orang yang berusaha pada suatu unit penangkapan
secara berkelompok. Perahu yang dioperasikannya adalah perahu yang dibeli dari
modal yang dikumpulkan oleh semua anggota kelompok.
2.7 Kesejahteraan Nelayan
Pengertian mengenai kesejahteraan berbeda-beda antara yang satu dengan
yang lainnya, sehingga keadaan sejahtera yang dialami oleh seseorang belum tentu
berarti sejahtera bagi yang lainnya. Kesejahteraan tidak saja menyangkut aspek yang
bersifat lahiriah atau material, tetapi juga yang bersifat batiniah atau spritual.
Menurut Sukirno (1985) dalam Suswanti (2005), kesejahteran adalah suatu yang
bersifat subyektif dimana setiap orang mempunyai pedoman, tujuan dan cara hidup
yang berbeda-beda terhadap faktor-faktor yang menentukan tingkat kesejahteraan.
Menurut Sawidak (1985), kesejahteraan merupakan sejumlah kepuasan yang
diperoleh seseorang dari hasil mengkonsumsi pendapatan yang diterima, namun
tingkatan dari kesejahteraan itu sendiri merupakan sesuatu yang bersifat relatif
karena tergantung dari besarnya kepuasan yang diperoleh dari hasil mengkonsumsi
pendapatan tersebut. Konsumsi sendiri pada hakekatnya bukan hanya sesuatu yang
mengeluarkan biaya, karena dalam beberapa hal konsumsi pun dapat dilakukan tanpa
menimbulkan biaya bagi konsumennya.
BPS (1991) menyatakan bahwa kesejahteraan bersifat subyektif, sehingga
ukuran kesejahteraan bagi setiap individu atau keluarga berbeda satu sama lain. Pada
prinsipnya kesejahteraan dari individu atau keluarga tersebut sudah tercapai.
Kebutuhan dasar erat kaitannya dengan kemiskinan. Apabila kebutuhan dasar belum
terpenuhi oleh individu atau keluarga, maka dikatakan bahwa individu atau keluarga
berada dibawah garis kemiskinan.
Menurut BPS (1996), pendapatan per kapita sering digunakan untuk
mengukur tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat. Ekonomi masyarakat yang
makmur ditunjukkan oleh pendapatan per kapita yang tinggi, dan sebaliknya
ekonomi masyarakat yang kurang makmur ditunjukkan oleh pendapatan per kapita
yang rendah.
Kesejahteraan rakyat mempunyai aspek yang sangat kompleks dan tidak
memungkinkan untuk menyajikan data yang mampu mengukur semua aspek
kesejahteraan. Indikator yang digunakan dalam penelitian ini disesuaikan dengan
indikator kesejahteraan yang dipergunakan Badan Pusat Statistik dalam Susenas
1991, indikator tersebut adalah:
1)
Pendapatan per kapita per tahun
2)
Konsumsi rumah tangga per tahun
3)
Keadaan tempat tinggal
4)
Fasilitas tempat tinggal
5)
Kesehatan anggota rumah tangga
6)
Kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan dan medis
7)
Kemudahan memasukkan anak ke jenjang pendidikan
8)
Kemudahan mendapatkan fasilitas transportasi
9)
Kehidupan beragama
10) Perasaan aman dari tindakan kejahatan.
Tingkat kesejahteraan sosial diukur dengan pendekatan pengeluaran rumah
tangga yang didasarkan pada pola pengeluaran untuk pangan, barang dan jasa,
rekreasi, bahan bakar dan perlengkapan rumah tangga. Pendekatan pengamatan
dilakukan terhadap kondisi perumahan, kesehatan, pendidikan, dan pola pengeluaran
rumah tangga. Penilaian terhadap kondisi perumahan didasarkan pada jenis dinding
rumah, jenis lantai, jenis atap serta status kepemilikan. Pendekatan untuk menilai
kondisi kesehatan berdasarkan kondisi sanitasi perumahan serta kondisi
perlengkapan air minum, air mandi, cuci dan kakus (BPS 1991).
Pengukuran kemiskinan yang digunakan dalam penelitian ini adalah garis
kemiskinan menurut Sajogyo (1977) yang membedakannya berdasarkan tingkat
pendapatan per kapita per tahun setara beras antara desa dengan kota. Sajogyo (1977)
membagi tingkat kemiskinan tersebut sebagai berikut
1) Tidak Miskin, yaitu apabila pengeluaran per kapita per tahun lebih tinggi dari
nilai 320 kg beras untuk daerah pedesaan dan lebih dari 480 kg beras untuk
daerah perkotaan
2) Miskin (nilai ambang kecukupan pangan), yaitu apabila pengeluaran per kapita
per tahun lebih rendah dari nilai tukar 320 kg beras untuk daerah pedesaan dan
480 kg beras untuk daerah perkotaan
3) Miskin sekali (tidak cukup pangan), yaitu apabila pengeluaran per kapita per
tahun lebih rendah dari nilai tukar 240 kg beras untuk daerah pedesaan 360 kg
beras untuk daerah perkotaan, dan
4) Paling miskin (melarat), yaitu apabila pengeluaran per kapita per tahun lebih
rendah dari nilai tukar 180 kg beras untuk daerah pedesaan dan 270 kg beras
untuk daerah perkotaan.
Selain pengukuran kemiskinan menurut Sajogyo, juga dapat digunakan
konsep kemiskinan yang ditetapkan oleh Direktorat Tata Guna Tanah, Ditjen Agraria
diacu dalam Hardjanto (1996) yang mengklasifikasikan tingkat kemiskinan
berdasarkan nilai konsumsi total sembilan bahan pokok dalam setahun yang dinilai
dengan harga setempat. Kebutuhan hidup minimum yang digunakan sebagai tolak
ukur adalah:
1) 100 kg beras
2) 15 kg ikan asin
3) 6 kg gula pasir
4) 4 M tekstil kasar
5) 6 kg minyak goreng
6) 60 liter minyak tanah
7) 9 kg garam
8) 20 batang sabun
9) 2 potong kain batik kasar.
Dengan mengunakan tingkat pendapatan per kapita per tahun setara dengan
pengeluaran untuk konsumsi sembilan bahan pokok, Direktorat Tata Guna Tanah,
Ditjen Agraria diacu dalam Hardjanto (1996) membagi tingkat kemiskinan menkadi
empat golongan, yaitu:
1) Miskin sekali: Apabila tingkat pendapatan per kapita per tahun lebih rendah 75%
dari total pengeluaran 9 bahan pokok
2) Miskin: Apabila tingkat pendapatan per kapita per tahun berkisar antara 75-125%
dari total pengeluaran 9 bahan pokok
3) Hampir miskin: apabila tingkat pendapatan per kapita per tahun berkisar antara
126-200% dari total pengeluaran 9 bahan pokok, dan
4) Tingkat miskin: Apabila tingkat pendapatan per kapita per tahun lebih besar
200% dari total pengeluaran 9 bahan pokok.
3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama 7 bulan yang dimulai dari studi literatur,
pembuatan proposal, pengumpulan data dan penyusunan laporan. Penelitian lapang
dilaksanakan pada bulan Desember 2009 sampai dengan Juni 2010. Penelitian ini
dilakukan di desa Kusu Lovra kecamatan Kao Kabupaten Halmahera Utara, Provinsi
Maluku Utara. Lokasi Penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian
Sumber : Hasil Analisa GIS Tim RDTR Kota Kao, 2007
3.2 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode studi kasus. Studi kasus
adalah studi intensif dan terperinci mengenai suatu objek yang dilakukan dengan
berpedoman pada kuesioner (Soekartawi 1986). Aspek yang diteliti meliputi aspek
sosial dan ekonomi berupa tingkat kesejahteraan nelayan.
3.3 Pengolahan dan Analisis Data
Untuk mengarahkan pada pengambilan keputusan berdasarkan situasi
organisasi dan pertimbangan lainnya dibutuhkan suatu kerangka kerja yang logis.
Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk
merumuskan strategi. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat
memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), namun secara
bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats).
3.4 Jenis dan Sumber Data
Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dan
kualitatif. Pendekatan kuantitatif menggunakan analisis kuantitatif terhadap aktoraktor yang berperan dalam pengentasan kemiskinan di desa Kusu Lovra. Sedangkan
analisis kualitatif menggunakan observasi dan wawancara mendalam dengan
lembaga pemerintah, LSM dan tokoh masyarakat.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder yang meliputi:
1. Pengambilan data primer, yaitu data yang dikumpulkan secara langsung melalui
wawancara responden (stakeholders) dengan menggunakan kuesioner yang telah
disusun sebelumnya. Data primer meliputi data yang menyangkut karakteristik
dan pola konsumsi masyarakat nelayan, pendapat responden mengenai strategi
pemberdayaan nelayan, serta beberapa faktor pendukung terhadap kegiatan
ekonomi masyarakat nelayan dalam meningkatkan kesejahteraan di desa Kusu
Lovra kecamatan Kao Kabupaten Halmahera Utara dengan menggunakan daftar
pertanyaan yang terdiri dari beberapa bagian:
a. Karakteristik masyarakat nelayan meliputi: umur, tingkat pendidikan, tingkat
pendapatan, dan jumlah tanggungan
b. Faktor eksternal meliputi: kondisi sosial ekonomi masyarakat, fluktuasi
harga, musim panen
c. Faktor pendukung meliputi: program pemberdayaan, bantuan kredit,
pendamping, informasi pasar.
2. Data sekunder, yaitu data- data yang mendukung yang diperoleh dari lembaga
yang terkait, data tersebut di peroleh dari:
a. Kantor Bupati Halmahera Utara
b. Kantor Bappeda Halmahera Utara
c. Kantor BPS Halmahera Utara
d. Kantor Perikanan dan Kelautan Halmahera Utara
e. Kantor Kecamatan Setempat
f. Pengamatan Langsung
g. Literatur yang relevan dengan topik penelitian ini
h. Data penunjang lainnya yang berhubungan dengan tujuan penelitian ini
3.5 Bahan dan Alat
Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Alat tulis
memulis, kuesioner dan kamera.
3.6 Metode Pengumpulan Data
Pada pelaksanaan kegiatan kajian, untuk mengumpulkan dan mendapatkan
data kualitatif berupa fakta-fakta lisan/tulisan adalah dengan cara:
(1) Observasi
Tujuan teknik observasi adalah agar kita memperoleh gambaran yang lebih
jelas melalui kegiatan pengamatan tentang kehidupan sosial yang sukar diperoleh
melalui metode lain. Adapun syarat untuk melakukan pengumpulan data dengan
teknik ini yaitu bahwa peneliti harus secara langsung ada dalam lingkungan peneliti.
Hal ini dibuktikan bahwa peneliti berasal dari lokasi penelitian sehinga diharapkan
dapat mendalami dan memaknai permasalahan sebagai suatu upaya mengkaji
kondisi masyarakat.
(2) Wawancara Mendalam
Wawancara mendalam dilakukan dengan cara tatap muka anatara peneliti
dengan responden dan stakeholders yang dilakukan dalam suasana formal dan
informal. Tujuan teknik wawancara adalah mencari informasi yang sedalamdalamnya dalam bentuk komunikasi verbal
(3) Kuesioner.
Mengedarkan daftar pertanyaan kepada responden dan stakeholders, baik itu
pertanyaan terbuka maupun tertutup
(4) Studi Kepustakaan.
Tujuan teknik ini adalah untuk mempelajari arsip-arsip atau dokumendokumen yang terkait dengan situasi dan kondisi masyarakat desa Kusu Lovra
kecamatan Kao.
3.7 Metode Analisis Data
Dalam penelitian ini, metode analisa yang digunakan antara lain:
3.7.1 Analisis Deskriptif
Analisys deskriptif yaitu analisis yang dilakukan membaca tabel-tabel,
informasi, gambar gambar, grafik beserta angka angka yang tersedia kemudian
melakukan perbandingan, penafsiran, menarik kesimpulan dari hasil analisis. Hal ini
mengandung pengertian bahwa data yang terkumpul baik berupa data kuantitatif
maupun kualitatif dianalisa secara kualitatif untuk mendapatkan penguraian dan
perbandingan dalam bentuk kalimat atau kata kata untuk ditarik kesimpulan.
Adapun populasi kajian yang menjadi sasaran adalah anggota masyarakat
sebanyak 17 orang yang beraktifitas baik sebagai nelayan, buruh nelayan, maupun
pedagang pengumpul yang dilakukan baik secara perorangan maupun secara
kelompok dan stakholder lain seperti tokoh masyarakat 2 orang, pemerintah terkait 3
orang, tokoh agama 1 orang, tokoh nelayan 2 orang, maupun tokoh LSM 2 orang.
Sedangkan pengambilan sampel responden dilakukan berdasarkan sampling (random
sampling dan purposive sampling) yakni ditujukan kepada perorangan maupun
anggota kelompok dan pihak-pihak terkait baik sebagai responden maupun sebagai
informan yang langsung berkenan dengan kegiatan upaya peningkatan kesejahteraan
masyarakat nelayan di desa Kusu Lovra kecamatan Kao, sebagai berikut:
a. Anggota kelompok
b. Pengurus kelompok
c. Pemilik katinting
d. Nelayan
e. Pedagang pengumpul
f. Aparat desa
g. Tokoh agama.
h. Tokoh masyarakat
i. Instansi terkait.
Selanjutnya untuk mendapatkan data yang lebih optimal maka análisis
deskriptif diharapkan paling kurang dapat menyajikan data dalam beberapa tahapan
sebagai berikut:
1) Reduksi, data yang diperoleh dilapangan dicatat secara lengkap dan rinci. Data
tersebut perlu dirangkum, dipilih hal-hal pokok dan difokuskan sesuai dengan
tujuan penelitian, hasil dari reduksi data adalah tersusunnya data ini secara
sistematis yang memberi gambaran lebih tajam tentang hasil pengamatan dan
juga mempermudah peneliti untuk mencari kembali data yang diperoleh bila
diperlukan
2) Display data yaitu melihat gambar keseluruhan atau bagian-bagian tertentu dari
penelitian maka perlu display data, yaitu menyajikan data dalam tabel, gambar,
matriks, grafik, network dan chart. Dalam tahap ini data hasil wawancara
diuraikan secara terperinci dan selanjutnya ditampilkan tabel untuk memudahkan
membaca hasil penelitian sesuai dengan pertanyaan peneliti
3) Kesimpulan dan verifikasi, yaitu: upaya mencari pola, model, tema, hubungan
dan persamaan serta hal-hal yang sering muncul, sehingga dapat ditarik suatu
kesimpulan. Data hasil penelitian dan analisis berdasarkan kerangka pemikiran
yang telah ditetapkan untuk kemudian dilihat hubungan dan persamaan dari
implikasi teoritiknya, sehinga diperoleh suatu kesimpulan jawaban peneliti.
3.7.2 Analisa SWOT
Analisis ini digunakan sebagai alat untuk menyusun suatu strategi yang
sesuai dan tepat dalam mengembangkan suatu kegiatan. Analisis SWOT dilakukan
berdasarkan asumsi bahwa suatu strategi yang efektif memaksimalkan kekuatan dan
peluang, serta meminimalkan kelemahan dan ancaman. Analisis SWOT digunakan
untuk memperoleh hubungan antara faktor eksternal dan faktor internal. Dengan
analisis ini, kekuatan (Strengths), kelemahan (Weaknesses), yang merupakan faktor
internal dapat diidentifikasi, begitu pula peluang (Opportunities) dan ancaman
(Threats) sebagai faktor eksternal.
Analisis SWOT adalah identifikasi secara sistematik atas kekuatan dan
kelemahan dari faktor-faktor eksternal yang dihadapi suatu sektor. Analisis ini
digunakan untuk memperoleh hubungan antara faktor internal dan faktor eksternal.
Lingkup kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman adalah sebagai berikut:
(1). Kekuatan
Kekuatan yang diidentifikasikan meliputi semua aspek yang berada dalam
strategi pemberdayaan masyarakat untuk penanggulangan kemiskinan yang
memberikan nilai positif.
(2). Kelemahan
Kelemahan yang diidentifikasikan meliputi semua aspek yang berada dalam
sistem pemberdayaan masyarakat untuk penanggulangan kemiskinan yang
memberikan nilai negatif.
(3). Peluang
Peluang yang diidentifikasi adalah potensi atau kesempatan dari strategi
pemberdayaan masyarakat nelayan yang dapat diambil untuk penanggulangan
kemiskinan.
(4). Ancaman
Ancaman yang diidentifikasi adalah semua dampak negatif dari luar strategi
pemberdayaan masyarakat nelayan yang mungkin dihadapi untuk
penanggulangan kemiskinan.
Kemudian, langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis SWOT ini adalah
sebagai berikut:
1) Identifikasi faktor internal dan eksternal
Dari potensi sumberdaya Desa Kusu Lovra, akan diidentifikasi beberapa
faktor kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman dalam pemberdayaan masyarakat
untuk penanggulangan kemiskinan.
2) Analisis SWOT
Setelah teridentifikasi faktor-faktor internal dan eksternal (faktor strategis)
yang berperan dalam pemberdayaan masyarakat untuk penanggulangan kemiskinan
kemudian dibangkitkan (generating) berbagai alternatif strategi yang relevan dengan
menggunakan Matriks SWOT (Tabel 1). Dari matriks SWOT pada tabel itu
diperoleh 4 (empat) kemungkinan alternatif strategi, yaitu:
1.
Strategi SO yaitu menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengambil
peluang yang ada.
2.
Strategi ST yaitu menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi
ancaman yang dihadapi.
3.
Strategi WO yaitu berusaha untuk mendapatkan keuntungan dari peluang yang
ada dengan mengatasi kelemahan-kelemahan.
4.
Strategi WT yaitu berusaha meminimumkan kelemahan dengan menghindari
ancaman yang ada
Tabel 1 Matriks Analisis SWOT
Faktor
Internal
Faktor
STRENGTHS
WEAKNESSES
(S)
(W)
STRATEGI SO
STRATEGI WO
Eksternal
OPPORTUNITI
ES (O)
THREATS
(T)
3.7.3
Ciptakan strategi yang
menggunakan kekuatan
untuk memanfaatkan
peluang.
Ciptakan strategi yang
meminimalkan kelemahan
untuk memanfaatkan peluang
STRATEGI ST
STRATEGI WT
Ciptakan strategi yang
menggunakan kekuatan
untuk mengatasi ancaman.
Ciptakan strategi yang
meminimalkan kelemahan
dan menghindari ancaman.
ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP)
Setelah dilakukan analisa dengan menggunakan SWOT, maka langkah
selanjutnya adalah membuat urutan prioritas program dengan menggunakan analysis
Hirarkhy Proces (AHP). Adapun langkah-langakah dalam analisis data dengan AHP
adalah:
1) Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi masalah.
2) Membuat struktur hirarki yang di awali dengan tujuan umum, dilanjutkan dengan
sub-sub tujuan, kriteria dan memungkinkan alternatif-alternatif pada tingkatan
kriteria yang paling bawah.
3.
Membuat matrik perbadingan berpasangan yang menggambarkan pengaruh
relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan yang
setingkat di atasnya, perbandingan berdasarkan judgment dari para pengambil
keputusan dengan nilai tingkat kepentingan satu elemen dibandingkan dengan
elemen lainnya. Untuk mengkuantifikasikan data kualitatif pada materi
wawancara digunakan nilai skala komparasi berdasarkan skala Saaty.
4.
Melakukan perbandingan berpasangan. Kegiatan ini dilakukan oleh
stakeholder yang berkompeten.
5.
Menghitung akar ciri, vektor ciri, dan menguji konsistensinya. Jika tidak
konsisten maka pengambilan data diulangi atau dikoreksi. Indeks Konsistensi
(CI) menyatakan penyimpangan konsistensi dan menyatakan ukuran tentang
konsisten tidaknya suatu penelitian perbandingan berpasangan. Nilai pengukuran
konsistensi diperlukan untuk mengetahui konsistensi jawaban dari respon karena
akan berpengaruh terhadap keabsahan hasil.
Menurut Saaty, 1993 ada tiga prinsip dalam memecahkan persoalan dengan
AHP, yaitu prinsip menyusun hirarki (Decomposition), prinsip menentukan prioritas
(Comparative Judgement), dan prinsip konsistensi logis (Logical Consistency).
Hirarki yang dimaksud adalah hirarki dari permasalahan yang akan dipecahkan untuk
mempertimbangkan kriteria-kriteria atau komponen-komponen yang mendukung
pencapaian tujuan. Dalam proses menentukan tujuan dan hirarki tujuan, perlu
diperhatikan apakah kumpulan tujuan beserta kriteria-kriteria yang bersangkutan
tepat untuk persoalan yang dihadapi. Dalam memilih kriteria-kriteria pada setiap
masalah pengambilan keputusan perlu memperhatikan kriteria-kriteria sebagai
berikut:
1) Lengkap. Kriteria harus lengkap sehingga mencakup semua aspek yang penting,
yang digunakan dalam mengambil keputusan untuk pencapaian tujuan.
2) Operasional. Operasional dalam artian bahwa setiap kriteria ini harus
mempunyai arti bagi pengambil keputusan, sehingga benar-benar dapat
menghayati terhadap alternatif yang ada, disamping terhadap sarana untuk
membantu penjelasan alat untuk berkomunikasi.
3) Tidak berlebihan. Menghindari adanya kriteria yang pada dasarnya mengandung
pengertian yang sama.
4) Minimum. Diusahakan agar jumlah kriteria seminimal mungkin untuk
mempermudah
pemahaman
terhadap
persoalan,
serta
menyederhanakan
persoalan dalam analisis.
5)
Tabel 2 Skala Angka Saaty
Intensitas/
Pentingnya
Definisi
Keterangan
1
Atribut yang satu dengan yang
lainnya sama penting
Dua aktivitas memberikan kontribusi
yang sama kepada tujuan
3
Atribut yang satu sedikit lebih
penting (agak kuat) dari atribut
Pengalaman dan selera sedikit
menyebabkan yang satu lebih disukai
yang lainnya.
daripada yang lain
5
Sifat lebih pentingnya atribut
yang satu dengan lain kuat
Pengalaman dan selera sangat
menyebabkan penilaian yang satu
lebih dari yang lain, yang satu lebih
disukai dari yang lain.
7
Menunjukkan sifat sangat penting
satu atribut dengan atribut lain
Aktivitas yang satu sangat disukai
dibandingkan dengan yang lain,
dominasinya tampak dalam kenyataan
Satu atribut ekstrim penting dari
atribut lainnya
Bukti bahwa antara yang satu lebih
disukai daripada yang lain
menunjukkan kepastian tingkat
tertinggi yang dapat dicapai.
Nilai tengah di antara dua
penilaian
Diperlukan kesepakatan (kompromi)
Jika atribut i dibandingkan
dengan j mendapat nilai bukan
nol, maka j jika dibandingkan
dengan i mempunyai nilai
kebalikannya
Asumsi yang masuk akal
Rasio yang timbul dari skala
Jika konsistensi perlu dipaksakan
dengan mendapatkan sebanyak n nilai
angka untuk melengkapi matriks
9
2, 4, 6, 8
Resiprokal
Rasional
Hirarki strategi pemberdayaan masyarakat nelayan di desa Kusu Lovra
Kecamatan Kao Kabupaten Halmahera Utara dapat dilihat pada Gambar 3 berikut ini
KEBIJAKAN
PEMBERDAYAAN
NELAYAN DESA KUSU
LOVRA
NELAYAN
EKOLOGI
TOKOH
MASY.
EKONOMI
DKP
SOSIAL
PEMERINT
AH DESA
TEKNOLO
GI
KOPERASI
SDM
Gambar 3. Hierarki Strategi Pemberdayaan Masyarakat Nelayan di Desa Kusu Lovra
Kecamatan Kao Kabupaten Halmahera Utara
4
HASIL PENELITIAN
4.1 Kondisi Umum Nelayan Halmahera utara
Luas perairan Halmahera Utara adalah 19.536,02 Km2 atau 76 % dari luas
wilayah keseluruhan, mengandung berbagai sumber daya perikanan yang bernilai
ekonomis penting. Berdasarkan data Dinas Perikanan dan Kelautan kabupaten
Halmahera Utara standing stock perikanan sebesar 89.865,69 Ton/tahun, potensi
lestari Maksimum Sustainable Yield (MSY) yang dapat dimanfaatkan setiap tahun
diperkirakan sebesar 26.946,41 ton/tahun dengan perincian sebagai berikut:
Perikanan pelagis : 17.986,44 ton/tahun, Perikanan demersel : 71.879,25 ton/tahun.
Perikanan laut di Halmahera Utara merupakan daerah sebaran jenis ikan Pelagis
dan Demersal yang mempunyai nilai ekonomis penting, (Laporan tahunan Dinas
Perikanan dan Kelautan kabupaten Halmahera Utara, 2008).
Menurut laporan tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten
Halmahera Utara tahun 2008, produksi perikanan laut dapat mencapai sebesar
14.686,581 ton. Secara keseluruhan jenis ikan ekonomis penting yang terdapat
dalam sumberdaya alam laut di kabupaten Halmahera Utara yaitu : cakalang
(Katsuwonus pelamis), tatihu / madidihang (Thunnus albacores), mata besar (Thunnus
abesus), albacore (Thunnus alalunga), layang (Decapterus spp), kembung (Rastreliger
sp), lemuru (Clupea spp), teri (Stolephorus spp), komo (Auxis spp), bubara (Caranx
spp), julung (Hanirhampus sp), ikan terbang (Cypsilerus sp) peperek (Leiognathus
sp), beloso (Sameda sp), biji nangka (Upeneus spp), gerot-gerot (Prada tyas spp), ikan
merah (Lutjanus spp), kerapu (Ephynephelus sp), suwangi (Priocathus sp), kakap
(Lotes spp), cucut (Hemigalerus sp), pari (Trygen sp), bawal hitam (Pormia niger),
bawal putih ( Panpus argentus), baronang (Siganus sp), jenis – jenis bukan ikan
krustasea, moluska, echinodermata dan rumput laut, serta terumbu karang. Sumber
daya alam pantai yaitu : ketam kenari (Birgus latro), penyu, burung laut, hutan
mangrove. Dalam perairan ini terdapat juga jenis udang (Penaied sp), kepiting
(Brachyura sp), cumi-cumi (Chaphalopoda sp), kerang mutiara (Pinctada maxima),
tapis-tapis (Pinctada margaritifera), lola (Trochus niloticus), teripang (Holothuridae sp).
Dalam laporan yang sama juga menyebutkan bahwa di beberapa wilayah
kecamatan yang berada di wilayah perairan Teluk Kao merupakan daerah
penangkapan jenis ikan komersial, cakalang, tuna, komo, kerapu, kakap merah,
baronang, ekor kuning, sedangkan alat tangkap yang dominan digunakan nelayan
untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan di perairan Teluk Kao adalah jaring. Alat
tangkap jaring tetap lebih dominan digunakan pada perairan pantai yang jaraknya
dari pantai kurang dari 6 mil. Produksi ikan dengan menggunakan jenis alat
tangkap tersebut antara lain ikan ekor kuning dan ikan komo.
Selain memiliki luas perairan laut yang potensial, kabupaten Halmahera
Utara dikaruniakan sumberdaya darat, tanah yang subur yang ditumbuhi berbagai
jenis pohon dan tanaman yang dapat diusahakan masyarakat berupa tanaman
hortikultura, tanaman perkebunan dan tanaman pangan, menjadi kekuatan
penopang sumber pendapatan masyarakat.
Masyarakat Halmahera Utara terdiri dari berbagai etnis diantaranya etnis
Tobelo, Kao, Galela, Tobaru (sebagai suku-suku asli) dan suku-suku pendatang
diantaranya; suku Batak, Jawa, Toraja, Ambon, Minahasa, Bugis-Makasar, Cina,
Buton Sanger dan Talaud. Etnis-etnis ini sudah sejak lama berbaur dalam
kehidupan masyarakat di Halmahera Utara. Keterbukaan yang tinggi terhadap
siapa saja dimiliki oleh masyarkaat Halmahara Utara karena filosofi “Hibualamo”
yang dianut masyarakatnya. Hibualamo adalah rumah besar tempat berkumpulnya
komunitas masyarakat asli untuk membicarakan berbagai persoalan dalam
komunitas tersebut. Hibualamo sebagai Rumah besar dibangun dalam bentuk segi
delapan tanpa dinding, dengan filosofi siapapun dapat bertetduh dirumah itu.
Selain keterbukaan, nilai-nilai kebersamaan, tolong-menolong, membantu orang
lain dalam keadaan susah, telah membentuk pola hidup masyarakat yang gampag,
tidak perlu terlalu sulit menghadapi kehidupan kesehariannya. O’dora, mencintai,
menyayangi; O’leleani, melayani merupakan nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat adat Hibualamo.
Kondisi itu menyebabkan masyarakat Halmahera Utara di era sampai
dengan tahun 1980-an tidak sulit dalam menghadapi hidup, dan hidup dibangun
dengan biaya yang masih relativ kecil. Kondisi hidup seperti ini berlangsung sudah
sangat lama yang menyebabkan masyarakat setempat terlena. Etos kerja menjadi
relatif rendah kerena semua kebutuhan telah terpenuhi dengan mudah dan
masyarakat bisa hidup dengan nyaman. Mereka menganggap bahwa dari hasil
kebun saja mereka bisa hidup dengan aman dan nyaman. Sebagai ilustrasi, jika kita
melihat buah-buahan di kebun orang lain, jika kita menghendakinya kita bisa
mengambilnya dengan bebas, asalkan sekembali dari kebun dapat diinformasikan
kepada pemiliknya. Artinya bahwa kondisi kesejahteraan masyarakat ketika itu
sudah cukup sejahtera dengan ketersediaan sumberdaya alam di sekitarnya.
Berbeda dengan kondisi sekarang, sejak era 1990-an, masyarakat sudah mulai
menganggap uang menjadi penting bagi kehidupannya, oleh karena itu semua hasil
sumberdaya sudah dapat diperdagangkan untuk memenuhi kebutuhan hidup
keluarganya. Dengan perkembangan kondisi terakhir inilah membuat sebagian
besar masyarakat desa di kabupaten Halmahera Utara mengalami kesulitan dalam
menghadapi kehidupan kesehariannya terutama dalam upaya membangun masa
depan kehidupan keluarga sejahtera.
4.2 Sumber Pendapatan Nelayan
Kabupaten Halmahera Utara secara geografis sebagian besar adalah
wilayah laut yang dapat menggambarkan bahwa masyarakat dalam aktifitasnya
baik segi ekonomi, sosial dan lain-lain selalu ada hubungan dengan perairan laut.
Pemukiman masyarakat pada umumnya berada pada pesisir pantai dan pulaupulau
tetapi
sumber
pencaharian
utama
adalah
sebagai
petani
dengan
mengembangkan tanaman Kelapa dan berbagai jenis tanaman perkebunan seperti
cengkeh, pala, kakao, vanili juga berbagai jenis tanaman hortikurltura dan tanaman
pangan. Oleh karena itu selain bermata pencaharian sebagai petani, sector
perdagangan dan perikanan juga mulai diusahakan oleh masyarakat di Halmahera
Utara. Khusus pada sektor perikanan masyarakat memanfaatkan sumberdaya ini
sebagai pekerjaan sambilan
Nelayan di desa Kusu Lovra terbagi menjadi dua kelompok yaitu nelayan
katinting dan buruh nelayan katinting. Nelayan katinting yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah nelayan yang melakukan penangkapan dengan perahu
katinting milik sendiri. Sedangkan buruh nelayan katinting yaitu nelayan yang
melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan perahu katinting milik orang
lain. Pendapatan buruh nelayan diperoleh melalui pembagian hasil penangkapan
dengan pemilik perahu katinting setelah dikurangi total biaya operasional. Pemilik
perahu katinting mendapat setengah dari total pendapatan bersih, begitu juga
dengan buruh nelayan mendapat bagian yang sama dengan pemilik perahu
katinting.
Secara umum, nelayan desa Kusu Lovra tidak sepenuhnya mengandalkan
pendapatannya dari hasil melaut, tetapi banyak juga dari mereka yang sumber
pendapatannya dari hasil bekerja sebagai petani, khususnya petani kopra. Rata-rata
pendapatan dari sektor pertanian tanaman kelapa sebesar Rp. 450.000,- per bulan
dari lahan seluas 1 sampai 2 hektar. Satu kilogram kopra dijual seharga Rp.3.000,dari rata-rata kopra yang dihasilkan sebanyak 1.200 kilogram. Sedangkan panen
kelapa dilakukan setiap tiga kali dalam setahun. Sebagian besar dari mereka
menjual kelapa di lokasi pemanenan tanpa harus membawanya ke pasar, atau
penjual yang datang langsung ke kebun kelapa, tetapi ada sebagian masyarakat
yang sudah sejak awal menerima panjar sehingga hasil kelapa mereka dijual kepada
langganan mereka. Model yang terakhir ini terkadang selaku petani kelapa ada
dalam ketidakberdayaan karena harga dapat dimainkan oleh pembeli langganan
tersebut, dengan berbagai alasan diantaranya bunga atas panjar yang telah diambil.
Bagi nelayan maupun buruh nelayan di desa Kusu Lovra, pendapatan dari
hasil kebun dianggap sebagai pendapatan tambahan yang diperoleh tanpa
mengorbankan waktu yang cukup banyak. Mereka menjual hasil kebun (kelapa)
setelah kelapa terlihat mulai mengering.
Pendapatan kotor nelayan dari hasil melaut sebesar Rp.100.000-150.000/hari.
Setelah pendapatan tersebut dikurangi dengan total biaya operasional, sisanya
kemudian dibagi dua antara pemilik perahu dengan buruh nelayan. Rata-rata biaya
operasional perhari untuk nelayan katinting adalah sebesar Rp.41.000. Sehingga
rata-rata pendapatan bersih untuk nelayan maupun untuk buruh nelayan perhari
sebesar kurang lebih Rp.42.000,- Begitu juga pendapatan untuk buruh nelayan. Jika
diasumsikan (berdasarkan pengalaman nelayan desa Kusu Lovra) bahwa
penangkapan efektif 14 hari dalam sebulan maka rata-rata pendapatan nelayan
adalah sebesar Rp.588.000- per bulan. Upah Minimum Propinsi (UMP) Maluku
Utara tahun 2008 sebesar Rp. 700.000,-per bulan, pada tahun 2009 naik sebesar 10%
menjadi Rp. 770.000,-per bulan
.
4.3 Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan merupakan suatu gambaran secara umum untuk
melihat kualitas sumber daya manusia (SDM) masyarakat nelayan desa Kusu
Lovra. Hal ini disebabkan karena pendidikan mempunyai pengaruh terhadap
pengetahuan dan keterampilan serta kemampuan adaptasi dan adopsi terhadap
teknologi dan perubahan (kemajuan). Keragaan pendidikan pada masyarakat
nelayan, secara umum diperoleh informasi bahwa tingkat pendidikan masyarakat
nelayan serendah-rendahnya Sekolah Dasar (SD) dan setinggi-tingginya adalah
Sekolah Menengah Pertama (SMP), hal ini tidak menunjukkan adanya perbedaan
berdasarkan perbedaan klasifikasi nelayan. Artinya baik pemilik nelayan katinting
maupun buruh nelayan katinting mempunyai kesempatan yang sama dalam hal
pendidikan. Namun demikian secara keseluruhan tingkat pendidikan masyarakat
nelayan di desa Kusu Lovra dapat dikatakan masih relatif rendah karena
ditemukan sebanyak 76,4% nelayan hanya berpendidikan Sekolah Dasar (SD), dan
23,5% berpendidikan SMP dari total jumlah penduduk 341 jiwa. Tingkat
pendidikan tersebut sangat berpengaruh terhadap inovasi dan kreativitas nelayan
dalam melaksanakan aktivitasnya, dan akan berpengaruh pula terhadap tingkat
pendapatan nelayan.
Menurut Dahuri (2000) bahwa pada umumnya masyarakat pesisir lebih
merupakan masyarakat tradisional dengan kondisi sosial ekonomi yang rendah
dan relatif sederhana. Pendidikan formal yang diterima masyarakat pesisir secara
umum jauh lebih rendah dari pendidikan masyarakat non pantai lainnya.
Berkaitan dengan tingkat sosial ekonomi masyarakat, Rahardjo (1996) menyatakan
bahwa masyarakat pesisir dapat dibedakan secara jelas dari masyarakat kota,
perbedaan utamanya karena keadaan sosial ekonomi mereka yang umumnya
terbelakang. Seperti terlihat dari beberapa indikator, misalnya pendapatan yang
relatif rendah, kurangnya kelembagaan penunjang, lemahnya infrastruktur (sosial,
fisik, ekonomi), rendahnya tingkat pendidikan dan status kesehatan.
Sedangkan perhatian dan tingkat partisipasi nelayan terhadap pendidikan
anak-anaknya cukup tinggi, baik untuk anak perempuan maupun anak laki-laki.
Anak-anak mereka pada umumnya bersekolah hingga jenjang SLTP, walaupun
tidak semua anak nelayan bersekolah hingga SLTP. Kepedulian masyarakat
setempat terhadap arti penting pendidikan bagi masa depan kehidupan anak-anak
mereka, mulai berubah sejak dasa warsa 90-an. Walaupun dengan kondisi yang
demikian, ada juga nelayan yang mulai menyekolahkan anak-anaknya hingga ke
jenjang pendidikan tinggi.
4.4 Sosial ekonomi nelayan
Masayarakat desa Kusu Lovra terdiri dari etnis Tobelo, Boeng, Pagu, Kao,
Tobaru (suku-suku asli), dan suku pendatang; Sanger, Talaud dan Minahasa.
Khusus untuk masyarakat nelayan di desa Kusu Lovra didominasi oleh etnis Sanger
dan Talaud, dan mereka berdomisili dalam satu lokasi yang tidak bercampur
banyak dengan etnis yang lain, oleh karena itu sebagai kelompok masyarakat
sesama etnis, tolong-menolong, saling membantu, gotong royong juga masih hidup
dan berkembang dalam masyarakat., tetapi
dalam perkembangan terakhir ini,
dalam banyak hal, nilai-nilai yang pernah ada dulu sudah mulai terdegradasi hanya
karena berbagai usaha dan aktifitas masyarakat telah memiliki nilai materi (uang).
Kehidupan para nelayan desa Kusu Lovra bukanlah bersifat individual,
tetapi dalam melaksakan pekerjaan sebagai nelayan, sebagian dari mereka ada yang
hidup berkelompok. Setiap kelompok nelayan terdiri dari: (1) juragan pemilik
kapal/perahu; (2) dan buruh nelayan. Ketika melaut buruh nelayan juga terkadang
ada yang sendiri dan ada juga yang lebih dari satu orang. Sebagai sebuah
(organisasi) kelompok nelayan, pola relasi kerja, baik antara juragan/pemilik perahu
dan buruh nelayan sendiri, bukan terjadi dalam kerangka hubungan kerja antara
“atasan” dan “bawahan” yang bersifat “hubungan pengabdian”, tetapi lebih
bersifat “kolegialisme” dan “kekeluargaan”, sekalipun terdapat klasifikasi di antara
mereka sesuai dengan spesifikasi kerja masing-masing. Hubungan kerja di antara
mereka pun sangat longgar, terbuka, suka-hati dan didasarkan atas kerjasama yang
saling menguntungkan. Hal ini menunjukkan betapa faktor-faktor sosial dan
budaya bercampur baur dengan faktor-faktor ekonomi.
Menurut Boeke dalam Mintaroem (2008), masyarakat desa tradisional
mampu membangun dan mengembangkan struktur ekonomi secara otonom dan
swasembada, hal itu tidak lain karena didukung penuh oleh adanya ikatan-ikatan
sosial dan budaya yang asli dan organis, sistem kesukuan tradisional, kebutuhankebutuhan yang tak terbatas dan bersahaja, prinsip produksi pertanian yang
semata-mata untuk keperluan keluarga, pengekangan pertukaran sebagai alat
untuk memuaskan kebutuhan, serta tidak terlalu didasarkan pada motif-motif
murni ekonomi yang sangat berorientasi kepada pasar dan laba (non profit oriented).
Sehubungan dengan hal itu maka pekerjaan tidak lain dipandang sebagai “sarana
pengabdian” terhadap kewajiban-kewajiban moral, sosial, etika dan keagamaan;
atau hanya sebatas sebagai upaya manusia untuk mempertahankan hidup. Dengan
kata lain, setiap aktivitas ekonomi, apapun bentuk dan jenisnya, ia senantiasa
dikuasai atau berada di dalam “konteks tradisi”.
PEMILIK
KAPAL/JURAG
AN
BURUH
NELAYAN
PEDAGANG
PENGEPUL
KONSUMEN
AKHIR
Download