BAB II KERANGKA TEORI A. Kepailitan Kepailitan merupakan suatu kondisi diamana perusahaan tidak dapat membayar hutang-hutangnya kepada kreditur sehingga harta perusahaan harus digunakan untuk membayar hutang-hutangnya. Tujuan utama kepailitan adalah untuk melakukan pembagian antara para kreditur atas kekayaan debitur oleh kurator. Kepailitan dimaksudkan untuk menghindari terjadinya sitaan terpisah atau eksekusi terpisah oleh kreditur dan menggantikannya dengan mengadakan sitaan bersama sehingga kekayaan debitur dapat dibagikan kepada semua kreditur sesuai dengan hak masing-masing. Secara etimologi, istilah kepailitan berasal dari “pailit”. Bila ditelusuri lebih mendasar, istilah “pailit”dijumpai dalam pembendaharaan bahasa Belanda, Perancis, Latin, dan Inggris, dengan istilah yang berbeda-beda. Dalam bahasa Belanda pailit berasal dari bahasa “failliet” yang mempunyai arti ganda, yaitu sebagai kata benda dan kata sifat. Dalam bahsa Perancis, pailit berasal dari kata “faillite” yang berarti pemogokan atau kemacetan pembayaran; sedangkan orang yang mogok atau berhenti membayar dalam nahasa Perancis dinamakan “lefaili”. Kata kerja “failir” berarti gagal. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan kata “to fail” dengan arti yang sama; dalam bahasa Latin disebut “faillure”. Di negaranegara berbahasa Inggris, pengertian pailit dan kepailitan diwakili dengan kata- 5 6 kata “bankrupt” dan “bankruptcy” (Victor M. Sitomorang dan Hendri Soekarso, 1994:18-19 dan Zainal Asikin, 2001:26-27 dalam Rachmadi Usman, 2004:12). Sementara itu, kepailitan atau pailit itu sendiri adalah keadaan dimana seorang debitor tidak mampu melunasi utang-utangnya pada saat utang-utang tersebut jatuh tempo. Pernyataan pailit ini tidak boleh diputuskan begitu saja, melainkan harus didahului dengan pernyataan pailit oleh pengadilan, baik atas permohonan sendiri secara sukarela maupun atas permintaan seseorang atau lebih pihak ketiga (sebagai kreditornya) (Rachmadi Usman, 2004:12). Kepailitan merupakan jalan keluar yang bersifat komersial untuk keluar dari persoalan hutang piutang yang menghimpit seseorang debitor, dimana debitor tersebut sudah tidak mempunyai kemampuan lagi untuk membayar utang-utang tersebut kepada kreditornya. Sehingga, bila keadaan ketidakmampuan untuk membayar kewajiban yang telah jatuh tempo tersebut didasari oleh debitor, maka langkah untuk mengajukan permohonan penetapan status pailit terhadap dirinya menjadi suatu langkah yang memungkinkan, atau penetapan status pailit oleh pengadilan terhadap debitor tersebut bila kemudian ditemukan bukti bahwa debitor tersebut memang tidak mampu lagi membayar utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih (Hadi Shubhan, 2008:2-3). Mengenai sesorang untuk dinyatakan pailit dapat dilihat dalam Pasal 1 ayat (1) UUK, yang menyatakan bahwa “debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan yang berwenang, 7 sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 2, baik atas permohonananya sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih kreditornya”. Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) ini, maka agar seorang debitor dapat dinyatakan pailit harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. Debitur mempunyai dua atau lebih kreditor. Ini berarti kalau debitor mempunyai seorang kreditor saja, maka tidak dapat menggunakan ketentuan kepailitan (Rachmadi Usman, 2004:12); 2. Debitor tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu atau dapat ditagih (Rachmadi Usman, 2004:12). B. Model Prediksi Kepailitan Berbasis Akrual dan Kas 1. Model prediksi kepailitan berbasis akrual Basis akrual dalam akuntansi merupakan basis pengakuan transaksi dilihat dari saat terjadinya transaksi, tanpa melihat apakah transaksi tersebut sudah ada pembayaran atau belum. Akibat dari basis yang digunakan akan terlihat jelas pada ada tidaknya piutang usaha atau utang usaha (Hadri Mulya, 2008:52). Rasio-rasio keuangan berbasis akrual yaitu yang diambil dari data laporan laba rugi dan neraca. Penelitian mengenai kepailitan diawali dari analisa rasio keuangan. Alasan utama digunakannya rasio keuangan karena laporan keuangan lazimnya berisi informasi-informasi penting mengenai kondisi dan 8 prospek perusahaan tersebut di masa datang (Fraser, 1995 dalam Muliaman D Hadad, dkk.). Laporan keuangan merupakan laporan kinerja masa lalu perusahaan yang sering digunakan sebagai prediksi kinerja perusahaan di masa datang. Keputusan-keputusan yang diambil manajemen perusahaan biasanya terkait dengan 2 informasi utama. Pertama, informasi yang tercantum pada kelompok pendapatan dan biaya, dan kedua, waktu terjadinya transaksi-transaksi pendapatan dan biaya tersebut. Pada beberapa kasus, manajemen termotivasi untuk tidak jujur sepenuhnya dalam melaporkan pendapatan dan jumlah pajak yang harus dibayar. Manajemen juga terkadang melaporkan peningkatan laba, hanya untuk menarik investor atau untuk mengatasi tekanan keuangan yang sedang dihadapi perusahaan. Rasio-rasio keuangan berbasis akrual yang terbukti mempunyai kemampuan memprediksi kepailitan dalam penelitian terdahulu adalah rasio likuiditas yang mengukur kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajibannya terhadap utang jangka pendek. Tingkat likuiditas merupakan faktor yang penting dalam memprediksi kepailitan. Beaver (1966), Deakin (1972), Elam (1975) dan Libby (1975) dalam penelitiannya menemukan bukti rasio ini signifikan untuk memprediksi kepailitan. 9 Adapun beberapa macam Rasio Likuiditas adalah sebagai beikut: a. Current Rasio Rasio ini digunakan untuk mengetahui seberapa jauh aktiva lancar perusahaan digunakan untuk melunasi hutang (kewajiban) lancar yang akan jatuh tempo/segera dibayar. Current ratio biasa digunakan untuk mengukur solvensi jangka pendek. = Total Aktiva Lancar Total Kewajiban Lancar Jika perusahaan memiliki current ratio 1,47x, artinya setiap Rp.1.00 kewajiban lancar perusahaan dijamin pembayarannya oleh Rp1,47 aktiva lancar. b. Quick Ratio (Acid Test Ratio) Pos persediaan tidak dihitung dalam ratio ini karena persediaan merupakan pos yang paling tidak likuid dalam aktiva lancar. Hal ini disebabkan oleh panjangnya tahap yang panjang untuk menjadi kas. = Total Aktiva Lancar − Persediaan Total Kewajiban Lancar Jika perusahaan memiliki quick ratio 0,8 X, artinya Rp.1,00 utang lancar perusahaan dijamin pembayarannya oleh Rp.0,80 kas dan piutang yang ada tanpa harus menunggu hasil penjualan persediaan yang dimiliki perusahaan. 10 c. Cash Ratio Rasio ini merupakan perbandingan anatara kas yang ada diperusahaan-cash on hand dan di bank (termasuk surat berharga seperti deposito)-dan total utang lancar. ℎ = Kas Total Kewajiban Lancar Jika perusahaan memiliki cash ratio 0.13 X, artinya perusahaan hanya mempunyai kas sebesar Rp.0,13 untuk melunasi setiap hutang lancar sebesar Rp.1,00. d. Cash Flow Liquidity Ratio Pendekatan lain dalam mengukur likuiditas perusahaan adalah dengan cash flow liquidity ratio karena penggunaan pembilang merupakan kas dan setara dengan kas serta diikutsertakan dalam arus kas dari hasil operasi perusahaan. ℎ = Kas + Surat Berharga + CF Total Kewajiban Lancar Perusahaan yang mempunyai rasio likuiditas rendah belum dapat dikategorikan sebagai perusahaan yang mempunyai kinerja yang kurang bagus. Namun, kita harus memahami terlebuh dahulu mengenai karakteristrik industri dan perusahaan tersebut. Rasio berbasis akrual lainnya yang menunjukkan tingkat signifikansi tinggi menurut Elam (1975), Deakin (1972), Atlman (1968), 11 Beaver (1966) adalah leverage (total liabilities/total assets). Rasio ini digunakan untuk mengukur proporsi penggunaan utang untuk membiayai investasi perusahaan. Semakin besar leverage perusahaan, maka semakin besar pula risiko kegagalan perusahaan. Leverage keuangan dihasilkan dari penggunaan dana sebagai pengembalian pembayaran yang sifatnya tetap, misalkan pembayaran bunga. Makin tinggi tingkat pengeluaran bunga yang ditanggung, makin rendah tingkat leverage keuangan (James O. Gill, 2006). Menurut Arief Sugiono dalam bukunya yang berjudul ”Manajemen Keuangan Untuk Praktisi Keuangan” menyatakan bahwa rasio leverage bertujuan untuk menganalisis pembelanjaan yang dilakukan berupa komposisi uang dan modal serta kemampuan perusahaan untuk membayar bunga dan beban tetap lainnya. Rasio ini terdiri atas beberapa jenis, yaitu sebagai berikut: a. Debt Ratio Rasio ini dikenal juga dengan Debt to Asset yang membandingkan total utang dengan total aktiva. Para kreditur menginginkan debt ratio yang rendah karena semakin tinggi rasio ini semakin tinggi resiko kreditor. = Total Kewajiban Total Aktiva Jika perusahaan memiliki debt ratio 0,71 atau 71%, artinya setiap Rp.1,00 aktiva dibiayai oleh hutang sebesar Rp.0,71. Semakin besar ratio 12 ini berarti semakin besar pembelian aset yang menggunakan utang yang menunjukkan semakin tingginya risiko kreditur (orang/perusahaan yang memberikan pinjaman). b. Finacial Laverage Rasio ini juga dikenal dengan DER (debt to equity ratio). Rasio ini menunjukkan perbandingan utang dan modal. Rasio ini merupakan salah satu rasio yang penting karena berkaitan dengan masalah trading on equity, yang dapat memberikan pengaruh positif dan negatif terhadap rentabilitas modal sendiri dari perusahaan tersebut. = Total Kewajiban Total Modal Jika perusahaan mempunyai financial leverage 2,42 X, artinya para kreditur menempatkan dana sebesar Rp.2,42 setiap Rp.1,00 modal sendiri. c. TIER (Time Interest Earning Ratio) Rasio ini mengukur kamampuan perusahaan yang berasal dari EBIT (earning before interest and tax) atau laba sebelum bunga dan pajak untuk membayar bunga pinjaman. TIER = EBIT Biaya Bunga Jika perusahaan mempunyai TIER 2X, artinya biaya bunga sebesar Rp.1,00 dijamin pembayarannya oleh Rp.2,00 laba operasi. 13 TIER ≥ 1, menunjukkan perusahaan mampu memenuhi kewajibannya berupa pembayaran bunga. Rasio ini sangat penting bagi para kreditur seperti bank untuk memberikan pinjaman kepada perusahaan karena merupakan indikasi kemampuan perusahaan untuk membayar biaya bunga. Semakin tinggi rasio TIER semakin baik dan positif tanggapan dari pihak kreditur. d. Fixed Charge Coverage Ratio Rasio ini lebih luas daripada TIER karen selain bunga pinjaman, kita juga ingin melihat sampai berapa jauh laba usaha perusahaan sebelum dikurangi bunga pinjaman dan pajak (EBIT) dan pembayaran sewa guna usaha (leasing) dapat diandalkan untuk membayar kewajiban financial berupa biaya bunga dan pembayaran leasing. ℎ = Laba Operasi + Pembayaran Biaya Bunga + Pembayaran e. Cash Flow Coverage Rasio ini mengukur kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajibannya berupa bunga dan pembayaran cicilan utang baik berupa utang bank maupun leasing. Cash in flow dihitung atas dasar EBIT + Lease Obligation + Pnyusutan atau biaya nonkas, sedangkan dividen saham preferen dan pembayaran angsuran pinjaman harus disesuiakan terlebih dahulu dengan membagi 1-Tax karena keduanya bukan 14 merupakan biaya yang dapat dikurangi dalam perhitungan pajak atas laba perusahaan. ℎ = ℎ Dividen Preferen Angsuran Pinjaman Beban Tetap + + (1 − Tax) (1 − Tax) Biasanya rasio ini tidak memiliki rata-rata industrinya, tapi secara umum dapat diambil suatu patokan bahwa cash flow coverage ratio yang baik adalah jika dilakukan sekurang-kurangnya dua kali. Selain itu ada juga yang menghitung Rasio Kecukupan Arus Kas (cash flow adequency). Biasanya lembaga pemberi kredit menggunakan rasio ini untuk mengevaluasi seberapa jauh perusahaan dapat menutupi biaya tahunan seperti utang, pengeluaran barang modal, dan dividen dari arus kas hasil operasi. Rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam menutup utang jangka panjang yang jatuh tempo setiap tahun. Rasio ini diharapkan memberikan hasil sekurang-kurangnya satu kali. Dalam jangka panjang perusahaan harus menghasilkan uang tunai dari usahanya untuk menutupi aktivitas investasinya. Jika pembelian aktiva tetap dibiayai oleh utang, perusahaan harus dapat menutupi pembayaran utang pokok dengan uang tunai yang dihasilkan. ℎ = Harga Pokok Persediaan Persediaan Rasio lainnya yang dianggap dapat memprediksi kepailitan menurut penelitian Surroh Zu’amah adalah ROI (Return On Investmet). 15 Menurut Toto Prihadi, 2008, ROI (Return On Investment) adalah rasio yang paling banyak variasinya. Pengertian variasi disini adalah: a. Pembilang, menyangkut jenis dan cakupan laba yang dihitung. b. Penyebut, menyangkut aset tertentu atau utang dan modal tertentu. Rumus untuk ROI (Return On Investment) itu sendiri adalah sebagai berikut: = Net Income Total Assets Rasio produktivitas (modal kerja/total aset) ini secara signifikan berpengaruh positif dengan prediksi kepailitan perusahaan (Horrigan, 1966 dalam Surroh Zu’amah). Rasio berbasis akrual ini mengukur efektivitas penggunaan sumber-sumber dana yang ada di perusahaan. Semakin tinggi produktivitas perusahaan maka semakin kecil pula risiko kegagalan perusahaan. Menurut Surroh Zu’amah dalam penelitiannya, Ou dan Penman (1989) menambahkan dalam penelitiannya rasio berbasis akrual yaitu ekuitas (penjualan/hutang lancar) memiliki signifikansi tinggi dalam memprediksi kondisi suatu perusahaan karena rasio ini menggambarkan perbandingan pendapatan atau laba yang dihasilkan perusahaan untuk dapat memenuhi kewajiban-kewajibannya. 16 2. Model prediksi kepailitan berbasis kas Basis kas dalam akuntansi merupakan basis pengakuan transaksi dilihat dari saat pembayarannya. Ini artinya bahwa transaksi dianggap terjadi apabila sudah ada pembayaran kas. Dengan demikian pencatatan baru dilakukan jika ada pembayaran kas (Hadri Mulya, 2008:52). Penelitian mengenai studi kebangkrutan telah dilakukan oleh beberapa peneliti dengan menggunakan rasio-rasio keuangan, diantaranya yaitu Beaver (1966), Damblolena dan Khoury (1980) serta Thomas & Altman (1968). Studi prediksi kebangkrutan pertama kali dilakukan oleh Beaver (1966) yang menggunakan dua rasio keuangan pada lima tahun sebelum terjadinya kebangkrutan. Dalam studinya, Beaver membuat enam kelompok rasio keuangan dan membuat univariate analisis yaitu menghubungkan tiap-tiap rasio untuk menentukan rasio yang mana yang paling baik digunakan sebagai prediktor. Rasio keuangan tersebut terdiri dari cash flow ratios net income ratios, debt to total assets ratios, likuid assets to content debt ratio, turn over ratios & liquid assets to total assets ratio. Dan 6 kelompok rasio tersebut, Beaver menemukan bahwa rasio dari aliran kas terhadap kewajiban total merupakan prediktor yang paling baik untuk menentukan tingkat kebangkrutan perusahaan. Dalam studi ini Beaver menemukan bahwa rasio keuangan terbukti sangat berguna untuk prediksi kebangkrutan dan dapat digunakan untuk membedakan secara akurat perusahaan yang akan jatuh bangkrut dan yang tidak. 17 Menurut Azis dan Lawson (1989), penggunaan rasio keuangan berbasis kas tersebut merajuk pada penelitian Gombola dan Ketz yang menemukan bahwa rasio aliran kas memuat informasi tertentu yang tidak terlihat pada rasio keuangan berbasis akrual. Berdasarkan data pailitnya Penn Central dan W.T Grant diperoleh hasil bahwa aliran kas sangat penting dalam memprediksi kepailitan. Rasio – rasio berbasis aliran kas yang signifikan dan paling sering digunakan dalam penelitian prediksi kepailitan terdahulu adalah: Cash Flow From Operating/Total Assets, Cash Flow From Operating/Net Worth, Cash Flow From Operating/Total Debt, Cash Flow From Operating/Current Liabilities (Raja et al., 1980; Largay & Stickney, 1980; Gombola et al., 1983; Casey & Bartczak, 1985; Takahashi et al., 1984; dan Aziz et al., 1989 dalam Surroh Zu’amah, 2005). Cash Flow From Operating on Total Asset atau menurut Toto Prihadi, 2008 disebut juga dengan Cash flow return on assets (CFROA) mirip dengan ROA (Returtn of Assets). Hanya saja disini basisnya adalah kas. Secara normal, mestinya CFROA lebih tinggi dari ROA apabila perusahaan tidak mempunyai masalah modal kerja. Pertama kali Beaver (1966) melakukan study tentang: Financial Ratios as Predictors of Failure. Dalam studinya Beavier (1996) menggunakan analisis unvariate. Dari beberapa rasio keuangan yang diamati ternyata rasio arus kas terhadap total utang (CF/TL) memiliki 18 kekuatan penjelas yang sangat baik dalam memprediksi kegagalan perusahaan (Rr. Iramani, 2008). 3. Ketepatan Model Prediksi Kepailitan Upaya dalam memperoleh model prediksi kepailitan semakin mengalami perkembangan dengan semakin banyaknnya peneliti yang melakukan penelitian akan hal tersebut. Mulai dari peneliti terdahulu sampai dengan peneliti yang ada pada jaman sekarang. Peneliti sebelumnya yang menjadi bahan acuan peneliti sekarang yaitu Surroh Zu’amah (2005) menyatakan bahwa Hasil pengujian hipotesis dengan menggunakan sampel validasi menunjukkan bahwa model prediksi berbasis akrual mempunyai ketepatan klasifikasi paling tinggi yaitu 100% artinya semua sampel pailit dan tidak pailit terklasifikasi benar sesuai dengan kondisi sesungguhnya (actual) dibanding model prediksi berbasis aliran kas dengan ketepatan klasifikasi 84,85%. Menurut Surroh Zu’amah (2005), penelitian yang berusaha mencari model prediksi kepailitan yang tepat terus mengalami pengembangan. Rasio-raso berbasis akrual yaitu leverage, profitabilitas dan likuiditas telah terbukti signifikan memiliki kemapuan memprediksi kepailitan suatu emiten (Flagg et al., 1991). Ketiga rasio tersebut menurut Daubie & Meskens (2002) mampu mengukur kejadian-kejadian seperti pengurangan dividen, keluarnya opini audit berkualifikasi going concert, restrukturasi hutang yang bermasalah dan pelanggran terhadap perjanjian 19 pembayaran hutang yang merupakan indikator terbaik dalam memprediksi kepailitan. Relevansi informasi arus kas untuk memprediksi kebangkrutan disorot oleh Beaver (1966). Beaver (1966) melaporkan bahwa arus kas dari operasi (CFFO), diproksi oleh pendapatan bersih ditambah penyusutan, deplesi dan amortisasi, untuk total hutang memiliki kesalahan klasifikasi relatif terendah terhadap ukuran akrual umum dari kesehatan keuangan. Namun, pendekatan univariat untuk menganalisis kesulitan keuangan jarang diikuti karena ketika satu rasio menunjukkan kegagalan yang lain dapat menunjukkan ketidak-gagalan. Altman (1968) mengatasi masalah ini melalui penggunaan analisis diskriminan ganda (MDA) yang secara bersamaan mempertimbangkan indikator rasio keuangan kesehatan perusahaan. Altman (1968) melakukannya tidak memeriksa nilai informasi arus kas. Deakin (1972) menunjukkan menggunakan MDA bahwa arus kas untuk total hutang adalah prediktor signifikan hingga tiga tahun sebelum kegagalan. Seperti Beaver (1966), Deakin (1972) mendefinisikan arus kas laba bersih ditambah penyusutan, deplesi dan amortisasi. Sementara peneliti lain (misalnya Blum, 1974; Norton dan Smith, 1979; Mensah, 1983) telah menunjukkan bahwa informasi arus kas berisi informasi isi dalam memprediksi kebangkrutan perusahaan, mereka tidak sering dikutip (dalam Divesh S. Sharma,2001). Namun, menurut Surroh Zu’amah (2005), hasil penelitian Casey & Batrezak (1984) membuktikan bahwa aliran kas operasi merepakan 20 prediktor yang lemah terhadap kepailitan perusahaan. Hal ini juga didukung oleh penelitian Genry et al. (1985) yang menemukan bahwa model prediksi berbasis berbasis aliran kas mempunyai tingkat kesalah klasidikasi yang lebih tinggi dibanding model prediksi berbasis akrual. 21 C. Penelitian – Penelitian Terdahulu Tabel 2.1 Penelitian-penelitian Terdahulu Variabel Penelitian 1. Surroh Zu’amah Dependen : Status Emiten Independen : - Rasio keuangan berbasis akrual. - Rasio keuangan berbasis kas. 2. Rr. Iramani Dependen : Kondisi Prusahaan (Financial distress atau non financial distress) Independen : - Rasio keuangan berbasis aliran akrual. - Rasio keuangan berbasis aliran kas. - Industry Relative Ratios berbasis akrual dan berbasis kas. Hasil Penelitian Hasil pengujian diskriminan dua faktor terhadap model prediksi menunjukan bukti statistis bahwa Hipotesis 1a dan 1b digukung, karena rasio-rasio berbasis akrual memiliki kemampuan dalam membentuk model prediksi kepailitan dan dapet meprediksi status emiten secara dini dengan hasil ketepatan klasifikasi 94,6%. Demikian juga dengan rasio-rasio keuangan berbasis aliran kas secara statistis terbukti mepuanyai kemampuan dalam membentuk model ketepatan klasifikasi kepailitan yang digunakan untuk memprediksi suatu emiten dimasa depan secara dini dengan hasil ketepatan klasifikasi 75,7%. Hasil penelitian hipotesis 2 dengan menggunakan sampel validasi menunjukan bahwa model prediksi kepailitan berbasis akrual mempunyai klasifikasi paling tinggi yaitu 100% artinya semua sampel pailit dan tidak pailit terklasifikasi benar sesuai dengan kondisi sesungguhnya (actual) dibanding model prediksi kepailitan berbasis. aliran kas dengan hasil ketepatan klasifikasi 84,85%. - Rasio keuangan berbasis akrual dapat digunakan sebagai financial destress dapat diterima. - Rasio keuangan berbasis aliran kas dapat digunakan sebagai financial destress dapat diterima. - Industri Relatives Ratios berbasis akrual dapat digunakan sebagai financial destress dapat diterima. - Industri Relatives Ratios berbasis aliran kas dapat digunakan sebagai financial destress dapat diterima. - Sensitifitas terhadap indikator ekonomi makro dapat digunakan sebagai prediktor financial distress. Berdasarkan ringkasan hasil analisis menunjukkan bahwa probabilitas Hosmer and Lemeshow Goodness-of-Fit Test sebesar 0.254 lebih besardari 0.05. Hal ini dapat dijelaskan bahwa model fit dengan data atau model dapat digunakan untuk memprediksifinancial distress. Berdasarkan analisis daya prediksi dapat'diketahui bahwamodel memiliki total daya prediksi sebesar 74.2% Hasil pengujian model. 22 D. Hipotesis Berdasarkan analisis dan studi empiris terdahulu yang dijelaskan di atas, maka hipotesis dari penelitian ini antara lain: H1a: Model prediksi kepailitan yang menggunakan rasio keuangan berbasis akrual mempunyai kemampuan untuk memprediksi kepailitan suatu emiten secara dini. H1b: Model prediksi kepailitan yang menggunakan rasio keuangan berbasis aliran kas mempunyai kemampuan untuk memprediksi kapailitan suatu emiten secara dini. H2: Model prediksi kepailitan yang menggunakan rasio keuangan berbasis akrual berbeda dan mempunyai kemampuan mengklasifikasikan kondisi suatu emiten lebih baik daripada model prediksi kepailitan yang menggunakan rasio keuangan berbasis aliran kas.