BAB II KERANGKA TEORI A. Kepailitan Kepailitan merupakan suatu

advertisement
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Kepailitan
Kepailitan merupakan suatu kondisi diamana perusahaan tidak dapat
membayar hutang-hutangnya kepada kreditur sehingga harta perusahaan harus
digunakan untuk membayar hutang-hutangnya.
Tujuan utama kepailitan adalah untuk melakukan pembagian antara para
kreditur atas kekayaan debitur oleh kurator. Kepailitan dimaksudkan untuk
menghindari terjadinya sitaan terpisah atau eksekusi terpisah oleh kreditur dan
menggantikannya dengan mengadakan sitaan bersama sehingga kekayaan debitur
dapat dibagikan kepada semua kreditur sesuai dengan hak masing-masing.
Secara etimologi, istilah kepailitan berasal dari “pailit”. Bila ditelusuri
lebih mendasar, istilah “pailit”dijumpai dalam pembendaharaan bahasa Belanda,
Perancis, Latin, dan Inggris, dengan istilah yang berbeda-beda. Dalam bahasa
Belanda pailit berasal dari bahasa “failliet” yang mempunyai arti ganda, yaitu
sebagai kata benda dan kata sifat. Dalam bahsa Perancis, pailit berasal dari kata
“faillite” yang berarti pemogokan atau kemacetan pembayaran; sedangkan orang
yang mogok atau berhenti membayar dalam nahasa Perancis dinamakan “lefaili”.
Kata kerja “failir” berarti gagal. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan kata “to
fail” dengan arti yang sama; dalam bahasa Latin disebut “faillure”. Di negaranegara berbahasa Inggris, pengertian pailit dan kepailitan diwakili dengan kata-
5
6
kata “bankrupt” dan “bankruptcy” (Victor M. Sitomorang dan Hendri Soekarso,
1994:18-19 dan Zainal Asikin, 2001:26-27 dalam Rachmadi Usman, 2004:12).
Sementara itu, kepailitan atau pailit itu sendiri adalah keadaan dimana
seorang debitor tidak mampu melunasi utang-utangnya pada saat utang-utang
tersebut jatuh tempo. Pernyataan pailit ini tidak boleh diputuskan begitu saja,
melainkan harus didahului dengan pernyataan pailit oleh pengadilan, baik atas
permohonan sendiri secara sukarela maupun atas permintaan seseorang atau lebih
pihak ketiga (sebagai kreditornya) (Rachmadi Usman, 2004:12).
Kepailitan merupakan jalan keluar yang bersifat komersial untuk keluar
dari persoalan hutang piutang yang menghimpit seseorang debitor, dimana debitor
tersebut sudah tidak mempunyai kemampuan lagi untuk membayar utang-utang
tersebut kepada kreditornya. Sehingga, bila keadaan ketidakmampuan untuk
membayar kewajiban yang telah jatuh tempo tersebut didasari oleh debitor, maka
langkah untuk mengajukan permohonan penetapan status pailit terhadap dirinya
menjadi suatu langkah yang memungkinkan, atau penetapan status pailit oleh
pengadilan terhadap debitor tersebut bila kemudian ditemukan bukti bahwa
debitor tersebut memang tidak mampu lagi membayar utangnya yang telah jatuh
tempo dan dapat ditagih (Hadi Shubhan, 2008:2-3).
Mengenai sesorang untuk dinyatakan pailit dapat dilihat dalam Pasal 1
ayat (1) UUK, yang menyatakan bahwa “debitor yang mempunyai dua atau lebih
kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan
dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan yang berwenang,
7
sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 2, baik atas permohonananya sendiri
maupun atas permintaan seorang atau lebih kreditornya”. Berdasarkan Pasal 1
ayat (1) ini, maka agar seorang debitor dapat dinyatakan pailit harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
1. Debitur mempunyai dua atau lebih kreditor. Ini berarti kalau debitor
mempunyai seorang kreditor saja, maka tidak dapat menggunakan
ketentuan kepailitan (Rachmadi Usman, 2004:12);
2. Debitor tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu
atau dapat ditagih (Rachmadi Usman, 2004:12).
B. Model Prediksi Kepailitan Berbasis Akrual dan Kas
1. Model prediksi kepailitan berbasis akrual
Basis akrual dalam akuntansi merupakan basis pengakuan transaksi
dilihat dari saat terjadinya transaksi, tanpa melihat apakah transaksi
tersebut sudah ada pembayaran atau belum. Akibat dari basis yang
digunakan akan terlihat jelas pada ada tidaknya piutang usaha atau utang
usaha (Hadri Mulya, 2008:52).
Rasio-rasio keuangan berbasis akrual yaitu yang diambil dari data
laporan laba rugi dan neraca.
Penelitian mengenai kepailitan diawali dari analisa rasio keuangan.
Alasan utama digunakannya rasio keuangan karena laporan keuangan
lazimnya berisi informasi-informasi penting mengenai kondisi dan
8
prospek
perusahaan tersebut di masa datang (Fraser, 1995 dalam
Muliaman D Hadad, dkk.). Laporan keuangan merupakan laporan kinerja
masa lalu perusahaan yang sering digunakan sebagai prediksi kinerja
perusahaan
di
masa
datang.
Keputusan-keputusan
yang
diambil
manajemen perusahaan biasanya terkait dengan 2 informasi utama.
Pertama, informasi yang tercantum pada kelompok pendapatan dan biaya,
dan kedua, waktu terjadinya transaksi-transaksi pendapatan dan biaya
tersebut. Pada beberapa kasus, manajemen termotivasi untuk tidak jujur
sepenuhnya dalam melaporkan pendapatan dan jumlah pajak yang harus
dibayar. Manajemen juga terkadang melaporkan peningkatan laba, hanya
untuk menarik investor atau untuk mengatasi tekanan keuangan yang
sedang dihadapi perusahaan.
Rasio-rasio keuangan berbasis akrual yang terbukti mempunyai
kemampuan memprediksi kepailitan dalam penelitian terdahulu adalah
rasio likuiditas yang mengukur kemampuan perusahaan untuk memenuhi
kewajibannya terhadap utang jangka pendek. Tingkat likuiditas merupakan
faktor yang penting dalam memprediksi kepailitan. Beaver (1966), Deakin
(1972), Elam (1975) dan Libby (1975) dalam penelitiannya menemukan
bukti rasio ini signifikan untuk memprediksi kepailitan.
9
Adapun beberapa macam Rasio Likuiditas adalah sebagai beikut:
a. Current Rasio
Rasio ini digunakan untuk mengetahui seberapa jauh aktiva lancar
perusahaan digunakan untuk melunasi hutang (kewajiban) lancar yang
akan jatuh tempo/segera dibayar. Current ratio biasa digunakan untuk
mengukur solvensi jangka pendek.
=
Total Aktiva Lancar
Total Kewajiban Lancar
Jika perusahaan memiliki current ratio 1,47x, artinya setiap
Rp.1.00 kewajiban lancar perusahaan dijamin pembayarannya oleh Rp1,47
aktiva lancar.
b. Quick Ratio (Acid Test Ratio)
Pos persediaan tidak dihitung dalam ratio ini karena persediaan
merupakan pos yang paling tidak likuid dalam aktiva lancar. Hal ini
disebabkan oleh panjangnya tahap yang panjang untuk menjadi kas.
=
Total Aktiva Lancar − Persediaan
Total Kewajiban Lancar
Jika perusahaan memiliki quick ratio 0,8 X, artinya Rp.1,00 utang
lancar perusahaan dijamin pembayarannya oleh Rp.0,80 kas dan piutang
yang ada tanpa harus menunggu hasil penjualan persediaan yang dimiliki
perusahaan.
10
c. Cash Ratio
Rasio ini merupakan perbandingan anatara kas yang ada
diperusahaan-cash on hand dan di bank (termasuk surat berharga seperti
deposito)-dan total utang lancar.
ℎ
=
Kas
Total Kewajiban Lancar
Jika perusahaan memiliki cash ratio 0.13 X, artinya perusahaan
hanya mempunyai kas sebesar Rp.0,13 untuk melunasi setiap hutang
lancar sebesar Rp.1,00.
d. Cash Flow Liquidity Ratio
Pendekatan lain dalam mengukur likuiditas perusahaan adalah
dengan cash flow liquidity ratio karena penggunaan pembilang merupakan
kas dan setara dengan kas serta diikutsertakan dalam arus kas dari hasil
operasi perusahaan.
ℎ
=
Kas + Surat Berharga + CF
Total Kewajiban Lancar
Perusahaan yang mempunyai rasio likuiditas rendah belum dapat
dikategorikan sebagai perusahaan yang mempunyai kinerja yang kurang
bagus. Namun, kita harus memahami terlebuh dahulu mengenai
karakteristrik industri dan perusahaan tersebut.
Rasio
berbasis akrual lainnya
yang menunjukkan tingkat
signifikansi tinggi menurut Elam (1975), Deakin (1972), Atlman (1968),
11
Beaver (1966) adalah leverage (total liabilities/total assets). Rasio ini
digunakan untuk mengukur proporsi penggunaan utang untuk membiayai
investasi perusahaan. Semakin besar leverage perusahaan, maka semakin
besar pula risiko kegagalan perusahaan.
Leverage keuangan dihasilkan dari penggunaan dana sebagai
pengembalian pembayaran yang sifatnya tetap, misalkan pembayaran
bunga. Makin tinggi tingkat pengeluaran bunga yang ditanggung, makin
rendah tingkat leverage keuangan (James O. Gill, 2006).
Menurut Arief Sugiono dalam bukunya yang berjudul ”Manajemen
Keuangan Untuk Praktisi Keuangan” menyatakan bahwa rasio leverage
bertujuan untuk menganalisis pembelanjaan yang dilakukan berupa
komposisi uang dan modal serta kemampuan perusahaan untuk membayar
bunga dan beban tetap lainnya. Rasio ini terdiri atas beberapa jenis, yaitu
sebagai berikut:
a. Debt Ratio
Rasio ini dikenal juga dengan Debt to Asset yang membandingkan
total utang dengan total aktiva. Para kreditur menginginkan debt ratio
yang rendah karena semakin tinggi rasio ini semakin tinggi resiko kreditor.
=
Total Kewajiban
Total Aktiva
Jika perusahaan memiliki debt ratio 0,71 atau 71%, artinya setiap
Rp.1,00 aktiva dibiayai oleh hutang sebesar Rp.0,71. Semakin besar ratio
12
ini berarti semakin besar pembelian aset yang menggunakan utang yang
menunjukkan semakin tingginya risiko kreditur (orang/perusahaan yang
memberikan pinjaman).
b. Finacial Laverage
Rasio ini juga dikenal dengan DER (debt to equity ratio). Rasio ini
menunjukkan perbandingan utang dan modal. Rasio ini merupakan salah
satu rasio yang penting karena berkaitan dengan masalah trading on
equity, yang dapat memberikan pengaruh positif dan negatif terhadap
rentabilitas modal sendiri dari perusahaan tersebut.
=
Total Kewajiban
Total Modal
Jika perusahaan mempunyai financial leverage 2,42 X, artinya para
kreditur menempatkan dana sebesar Rp.2,42 setiap Rp.1,00 modal sendiri.
c. TIER (Time Interest Earning Ratio)
Rasio ini mengukur kamampuan perusahaan yang berasal dari
EBIT (earning before interest and tax) atau laba sebelum bunga dan pajak
untuk membayar bunga pinjaman.
TIER =
EBIT
Biaya Bunga
Jika perusahaan mempunyai TIER 2X, artinya biaya bunga sebesar
Rp.1,00 dijamin pembayarannya oleh Rp.2,00 laba operasi.
13
TIER
≥
1,
menunjukkan
perusahaan
mampu
memenuhi
kewajibannya berupa pembayaran bunga.
Rasio ini sangat penting bagi para kreditur seperti bank untuk
memberikan pinjaman kepada perusahaan karena merupakan indikasi
kemampuan perusahaan untuk membayar biaya bunga. Semakin tinggi
rasio TIER semakin baik dan positif tanggapan dari pihak kreditur.
d. Fixed Charge Coverage Ratio
Rasio ini lebih luas daripada TIER karen selain bunga pinjaman,
kita juga ingin melihat sampai berapa jauh laba usaha perusahaan sebelum
dikurangi bunga pinjaman dan pajak (EBIT) dan pembayaran sewa guna
usaha (leasing) dapat diandalkan untuk membayar kewajiban financial
berupa biaya bunga dan pembayaran leasing.
ℎ
=
Laba Operasi + Pembayaran
Biaya Bunga + Pembayaran
e. Cash Flow Coverage
Rasio ini mengukur kemampuan perusahaan untuk memenuhi
kewajibannya berupa bunga dan pembayaran cicilan utang baik berupa
utang bank maupun leasing. Cash in flow dihitung atas dasar EBIT +
Lease Obligation + Pnyusutan atau biaya nonkas, sedangkan dividen
saham preferen dan pembayaran angsuran pinjaman harus disesuiakan
terlebih dahulu dengan membagi 1-Tax karena keduanya bukan
14
merupakan biaya yang dapat dikurangi dalam perhitungan pajak atas laba
perusahaan.
ℎ
=
ℎ
Dividen Preferen Angsuran Pinjaman
Beban Tetap +
+
(1 − Tax)
(1 − Tax)
Biasanya rasio ini tidak memiliki rata-rata industrinya, tapi secara
umum dapat diambil suatu patokan bahwa cash flow coverage ratio yang
baik adalah jika dilakukan sekurang-kurangnya dua kali.
Selain itu ada juga yang menghitung Rasio Kecukupan Arus Kas
(cash flow adequency). Biasanya lembaga pemberi kredit menggunakan
rasio ini untuk mengevaluasi seberapa jauh perusahaan dapat menutupi
biaya tahunan seperti utang, pengeluaran barang modal, dan dividen dari
arus kas hasil operasi. Rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan
perusahaan dalam menutup utang jangka panjang yang jatuh tempo setiap
tahun. Rasio ini diharapkan memberikan hasil sekurang-kurangnya satu
kali. Dalam jangka panjang perusahaan harus menghasilkan uang tunai
dari usahanya untuk menutupi aktivitas investasinya. Jika pembelian
aktiva tetap dibiayai oleh utang, perusahaan harus dapat menutupi
pembayaran utang pokok dengan uang tunai yang dihasilkan.
ℎ
=
Harga Pokok Persediaan
Persediaan
Rasio lainnya yang dianggap dapat memprediksi kepailitan
menurut penelitian Surroh Zu’amah adalah ROI (Return On Investmet).
15
Menurut Toto Prihadi, 2008, ROI (Return On Investment) adalah
rasio yang paling banyak variasinya. Pengertian variasi disini adalah:
a. Pembilang, menyangkut jenis dan cakupan laba yang dihitung.
b. Penyebut, menyangkut aset tertentu atau utang dan modal tertentu.
Rumus untuk ROI (Return On Investment) itu sendiri adalah
sebagai berikut:
=
Net Income
Total Assets
Rasio produktivitas (modal kerja/total aset) ini secara signifikan
berpengaruh positif dengan prediksi kepailitan perusahaan (Horrigan, 1966
dalam Surroh Zu’amah). Rasio berbasis akrual ini mengukur efektivitas
penggunaan sumber-sumber dana yang ada di perusahaan. Semakin tinggi
produktivitas perusahaan maka semakin kecil pula risiko kegagalan
perusahaan.
Menurut Surroh Zu’amah dalam penelitiannya, Ou dan Penman
(1989) menambahkan dalam penelitiannya rasio berbasis akrual yaitu
ekuitas (penjualan/hutang lancar) memiliki signifikansi tinggi dalam
memprediksi kondisi suatu perusahaan karena rasio ini menggambarkan
perbandingan pendapatan atau laba yang dihasilkan perusahaan untuk
dapat memenuhi kewajiban-kewajibannya.
16
2. Model prediksi kepailitan berbasis kas
Basis kas dalam akuntansi merupakan basis pengakuan transaksi
dilihat dari saat pembayarannya. Ini artinya bahwa transaksi dianggap
terjadi apabila sudah ada pembayaran kas. Dengan demikian pencatatan
baru dilakukan jika ada pembayaran kas (Hadri Mulya, 2008:52).
Penelitian mengenai studi kebangkrutan telah dilakukan oleh
beberapa peneliti dengan menggunakan rasio-rasio keuangan, diantaranya
yaitu Beaver (1966), Damblolena dan Khoury (1980) serta Thomas &
Altman (1968). Studi prediksi kebangkrutan pertama kali dilakukan oleh
Beaver (1966) yang menggunakan dua rasio keuangan pada lima tahun
sebelum terjadinya kebangkrutan. Dalam studinya, Beaver membuat enam
kelompok rasio keuangan dan membuat univariate analisis yaitu
menghubungkan tiap-tiap rasio untuk menentukan rasio yang mana yang
paling baik digunakan sebagai prediktor. Rasio keuangan tersebut terdiri
dari cash flow ratios net income ratios, debt to total assets ratios, likuid
assets to content debt ratio, turn over ratios & liquid assets to total assets
ratio. Dan 6 kelompok rasio tersebut, Beaver menemukan bahwa rasio dari
aliran kas terhadap kewajiban total merupakan prediktor yang paling baik
untuk menentukan tingkat kebangkrutan perusahaan. Dalam studi ini
Beaver menemukan bahwa rasio keuangan terbukti sangat berguna untuk
prediksi kebangkrutan dan dapat digunakan untuk membedakan secara
akurat perusahaan yang akan jatuh bangkrut dan yang tidak.
17
Menurut Azis dan Lawson (1989), penggunaan rasio keuangan
berbasis kas tersebut merajuk pada penelitian Gombola dan Ketz yang
menemukan bahwa rasio aliran kas memuat informasi tertentu yang tidak
terlihat pada rasio keuangan berbasis akrual. Berdasarkan data pailitnya
Penn Central dan W.T Grant diperoleh hasil bahwa aliran kas sangat
penting dalam memprediksi kepailitan.
Rasio – rasio berbasis aliran kas yang signifikan dan paling sering
digunakan dalam penelitian prediksi kepailitan terdahulu adalah: Cash
Flow From Operating/Total Assets, Cash Flow From Operating/Net
Worth, Cash Flow From Operating/Total Debt, Cash Flow From
Operating/Current Liabilities (Raja et al., 1980; Largay & Stickney, 1980;
Gombola et al., 1983; Casey & Bartczak, 1985; Takahashi et al., 1984; dan
Aziz et al., 1989 dalam Surroh Zu’amah, 2005).
Cash Flow From Operating on Total Asset atau menurut Toto
Prihadi, 2008 disebut juga dengan Cash flow return on assets (CFROA)
mirip dengan ROA (Returtn of Assets). Hanya saja disini basisnya adalah
kas. Secara normal, mestinya CFROA lebih tinggi dari ROA apabila
perusahaan tidak mempunyai masalah modal kerja.
Pertama kali Beaver (1966) melakukan study tentang: Financial
Ratios as Predictors of Failure. Dalam studinya Beavier (1996)
menggunakan analisis unvariate. Dari beberapa rasio keuangan yang
diamati ternyata rasio arus kas terhadap total utang (CF/TL) memiliki
18
kekuatan penjelas yang sangat baik dalam memprediksi kegagalan
perusahaan (Rr. Iramani, 2008).
3. Ketepatan Model Prediksi Kepailitan
Upaya dalam memperoleh model prediksi kepailitan semakin
mengalami perkembangan dengan semakin banyaknnya peneliti yang
melakukan penelitian akan hal tersebut. Mulai dari peneliti terdahulu
sampai dengan peneliti yang ada pada jaman sekarang.
Peneliti sebelumnya yang menjadi bahan acuan peneliti sekarang
yaitu Surroh Zu’amah (2005) menyatakan bahwa Hasil pengujian hipotesis
dengan menggunakan sampel validasi menunjukkan bahwa model prediksi
berbasis akrual mempunyai ketepatan klasifikasi paling tinggi yaitu 100%
artinya semua sampel pailit dan tidak pailit terklasifikasi benar sesuai
dengan kondisi sesungguhnya (actual) dibanding model prediksi berbasis
aliran kas dengan ketepatan klasifikasi 84,85%.
Menurut Surroh Zu’amah (2005), penelitian yang berusaha
mencari model prediksi kepailitan
yang tepat
terus mengalami
pengembangan. Rasio-raso berbasis akrual yaitu leverage, profitabilitas
dan likuiditas telah terbukti signifikan memiliki kemapuan memprediksi
kepailitan suatu emiten (Flagg et al., 1991). Ketiga rasio tersebut menurut
Daubie & Meskens (2002) mampu mengukur kejadian-kejadian seperti
pengurangan dividen, keluarnya opini audit berkualifikasi going concert,
restrukturasi hutang yang bermasalah dan pelanggran terhadap perjanjian
19
pembayaran hutang yang merupakan indikator terbaik dalam memprediksi
kepailitan.
Relevansi informasi arus kas untuk memprediksi kebangkrutan
disorot oleh Beaver (1966). Beaver (1966) melaporkan bahwa arus kas
dari operasi (CFFO), diproksi oleh pendapatan bersih ditambah
penyusutan, deplesi dan amortisasi, untuk total hutang memiliki kesalahan
klasifikasi relatif terendah terhadap ukuran akrual umum dari kesehatan
keuangan. Namun, pendekatan univariat untuk menganalisis kesulitan
keuangan jarang diikuti karena ketika satu rasio menunjukkan kegagalan
yang lain dapat menunjukkan ketidak-gagalan. Altman (1968) mengatasi
masalah ini melalui penggunaan analisis diskriminan ganda (MDA) yang
secara bersamaan mempertimbangkan indikator rasio keuangan kesehatan
perusahaan. Altman (1968) melakukannya tidak memeriksa nilai informasi
arus kas. Deakin (1972) menunjukkan menggunakan MDA bahwa arus kas
untuk total hutang adalah prediktor signifikan hingga tiga tahun sebelum
kegagalan. Seperti Beaver (1966), Deakin (1972) mendefinisikan arus kas
laba bersih ditambah penyusutan, deplesi dan amortisasi. Sementara
peneliti lain (misalnya Blum, 1974; Norton dan Smith, 1979; Mensah,
1983) telah menunjukkan bahwa informasi arus kas berisi informasi isi
dalam memprediksi kebangkrutan perusahaan, mereka tidak sering dikutip
(dalam Divesh S. Sharma,2001).
Namun, menurut Surroh Zu’amah (2005), hasil penelitian Casey &
Batrezak (1984) membuktikan bahwa aliran kas operasi merepakan
20
prediktor yang lemah terhadap kepailitan perusahaan. Hal ini juga
didukung oleh penelitian Genry et al. (1985) yang menemukan bahwa
model prediksi berbasis berbasis aliran kas mempunyai tingkat kesalah
klasidikasi yang lebih tinggi dibanding model prediksi berbasis akrual.
21
C. Penelitian – Penelitian Terdahulu
Tabel 2.1 Penelitian-penelitian Terdahulu
Variabel Penelitian
1. Surroh Zu’amah
Dependen : Status Emiten
Independen :
- Rasio
keuangan
berbasis akrual.
- Rasio
keuangan
berbasis kas.
2. Rr. Iramani
Dependen
:
Kondisi
Prusahaan
(Financial
distress atau non financial
distress)
Independen :
- Rasio
keuangan
berbasis aliran akrual.
- Rasio
keuangan
berbasis aliran kas.
- Industry
Relative
Ratios berbasis akrual
dan berbasis kas.
Hasil Penelitian
Hasil pengujian diskriminan dua faktor terhadap model prediksi
menunjukan bukti statistis bahwa Hipotesis 1a dan 1b digukung,
karena rasio-rasio berbasis akrual memiliki kemampuan dalam
membentuk model prediksi kepailitan dan dapet meprediksi status
emiten secara dini dengan hasil ketepatan klasifikasi 94,6%.
Demikian juga dengan rasio-rasio keuangan berbasis aliran kas
secara statistis terbukti mepuanyai kemampuan dalam membentuk
model ketepatan klasifikasi kepailitan yang digunakan untuk
memprediksi suatu emiten dimasa depan secara dini dengan hasil
ketepatan klasifikasi 75,7%.
Hasil penelitian hipotesis 2 dengan menggunakan sampel validasi
menunjukan bahwa model prediksi kepailitan berbasis akrual
mempunyai klasifikasi paling tinggi yaitu 100% artinya semua
sampel pailit dan tidak pailit terklasifikasi benar sesuai dengan
kondisi sesungguhnya (actual) dibanding model prediksi kepailitan
berbasis. aliran kas dengan hasil ketepatan klasifikasi 84,85%.
- Rasio keuangan berbasis akrual dapat digunakan sebagai
financial destress dapat diterima.
- Rasio keuangan berbasis aliran kas dapat digunakan sebagai
financial destress dapat diterima.
- Industri Relatives Ratios berbasis akrual dapat digunakan
sebagai financial destress dapat diterima.
- Industri Relatives Ratios berbasis aliran kas dapat digunakan
sebagai financial destress dapat diterima.
- Sensitifitas terhadap indikator ekonomi makro dapat digunakan
sebagai prediktor financial distress.
Berdasarkan ringkasan hasil analisis menunjukkan bahwa
probabilitas Hosmer and Lemeshow Goodness-of-Fit Test sebesar
0.254 lebih besardari 0.05. Hal ini dapat dijelaskan bahwa model fit
dengan
data
atau
model
dapat
digunakan
untuk
memprediksifinancial distress. Berdasarkan analisis daya prediksi
dapat'diketahui bahwamodel memiliki total daya prediksi sebesar
74.2% Hasil pengujian model.
22
D. Hipotesis
Berdasarkan analisis dan studi empiris terdahulu yang dijelaskan di atas, maka
hipotesis dari penelitian ini antara lain:
H1a: Model prediksi kepailitan yang menggunakan rasio keuangan berbasis
akrual mempunyai kemampuan untuk memprediksi kepailitan suatu emiten
secara dini.
H1b: Model prediksi kepailitan yang menggunakan rasio keuangan berbasis aliran
kas mempunyai kemampuan untuk memprediksi kapailitan suatu emiten
secara dini.
H2: Model prediksi kepailitan yang menggunakan rasio keuangan berbasis akrual
berbeda dan mempunyai kemampuan mengklasifikasikan kondisi suatu
emiten lebih baik daripada model prediksi kepailitan yang menggunakan
rasio keuangan berbasis aliran kas.
Download