BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kinerja

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kinerja perekonomian suatu negara dapat menggunakan pertumbuhan
pendapatan riil sebagai salah satu ukuran. Pertumbuhan dari pendapatan riil telah
menjadi fokus perhatian para ahli ekonomi selama dua dekade (Arsyad, 2010:
269). Para ahli ekonomi dalam mengukur kinerja ekonomi menggunakan tiga
variabel makroekonomi yaitu: Produk Domestik Bruto Riil dalam cakupan
regional adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Riil, tingkat inflasi, dan
tingkat pengangguran (Mankiw, 2007: 3). Menurut Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas) dan United Nations Development Programme
(UNDP) (2008: 6) indikator yang digunakan untuk mengukur kinerja
perekonomian terdiri dari: 1) pertumbuhan PDRB non-migas yang mengukur
gerak perekonomian daerah yang mampu menciptakan lapangan pekerjaan dan
kesejahteraan masyarakat; 2) PDRB per kapita yang mencerminkan tingkat
kesejahteraan masyarakat di daerah yang bersangkutan; 3) rasio PDRB kabupaten
terhadap PDRB provinsi yang akan melihat seberapa besar tingkat perkembangan
ekonomi di satu daerah jika dibandingkan dengan daerah lainnya dalam suatu
wilayah provinsi; 4) angka kemiskinan diukur menggunakan head-countindex,
yaitu persentase jumlah orang miskin dengan penduduk total.
Menurut Boediono (1998: 1), permasalahan kebijaksanaan makro terbagi
atas 2 cakupan permasalahan yaitu: pertama adalah permasalahan jangka pendek
yang terdiri dari inflasi, pengangguran, dan ketimpangan dalam neraca
1
pembayaran. Bagaimana cara mengendalikan ketiga hal tersebut dalam jangka
waktu bulan ke bulan, triwulan ke triwulan atau dari tahun ke tahun. Cakupan
permasalahan yang kedua adalah masalah jangka panjang atau masalah
pertumbuhan, yaitu bagaimana cara mengendalikan supaya terjadi keserasian
antara pertambahan penduduk, pertambahan kapasitas produksi, dan tersedianya
dana untuk investasi dalam prespektif waktu yang lebih panjang (lima tahun,
sepuluh tahun atau bahkan duapuluh tahun).
Direalisasikannya pembangunan jalan tol Cipali (Cikopo – Palimanan)
adalah salah satu contoh infrastruktur sosial ekonomi yang langsung
mempermudah kegiatan ekonomi masyarakat. Jalan tol Cipali yang memiliki
panjang kurang lebih 116 km merupakan tol terpanjang di Indonesia diresmikan
oleh Presiden Jokowi pada tanggal 13 Juni 2015. Diharapkan dengan
pembangunan jalan tol Cipali mampu mengurai kemacetan dan memangkas jarak
tempuh kurang lebih 3,5 jam jalur pantura. Harapan tersebut tentulah memangkas
biaya transport sehingga akan memutar roda perekonomian masyarakat.
Pembangunan infrastruktur jalan tol tersebut merupakan realisasi pengeluaran
pemerintah melalui pos belanja modal dalam Anggaran Pendapatan Belanja
Negara (APBN).
Dengan adanya realisasi pembangunan yang terus dilakukan oleh
pemerintah tentu akan menaikan pengeluaran pemerintah dan akanmendorong
adanya kenaikan pendapatan yang lebih besar. Rasio dari kenaikan pendapatan
(ΔY) yang disebabkan oleh kenaikan pengeluaran pemerintah (ΔG) disebut juga
sebagai pengganda belanja pemerintah (government-purchases multiplier).
2
Pengganda belanja pemerintah ini juga disebut Keynesian multipier effect (Cwik.
dan Wieland, 2010). Pengganda belanja pemerintah memiliki ΔY lebih besar dari
ΔG yang dijelaskan menurut fungsi konsumsi C= C(Y-T), yaitu pendapatan yang
lebih tinggi akan menyebabkan konsumsi yang lebih tinggi. Ketika kenaikan
pengeluaran pemerintah meningkatkan pendapatan, itu juga meningkatkan
konsumsi, yang selanjutnya meningkatkan pendapatan, dan seterusnya. Oleh
karena itu, dalam model ini kenaikan pengeluaran pemerintah menyebabkan
kenaikan pendapatan yang lebih besar (Mankiw, 2007: 278).
Belanja pemerintah menurut Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang
pemerintahan daerah, belanja dibagi menjadi belanja operasi, belanja modal, dan
belanja tak terduga. Struktur belanja modal sendiri perlu mendapat perhatian
khusus, karena tidak semua belanja modal mempunyai efek pada pelayanan
publik. Untuk itu, belanja modal perlu dikaji lebih rinci untuk menemukan belanja
modal yang berefek pada pelayanan publik, misalnya belanja modal infrastruktur.
Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah, pemerintah pusat terus
menghimbau pemerintah daerah (pemda) melalui Peraturan Menteri Dalam
Negeri nomor 27 tahun 2013 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2014, agar persentase belanja modal terus
ditingkatkan sebesar 30 persen dari total belanja daerah. Presentasi itu bahkan
lebih tinggi 2 persen daripada target untuk 2013 yaitu 28 persen, namun masih
banyak pemda yang merasa kesulitan untuk mencapai target tersebut. Salah satu
cara menambah alokasi belanja modal adalah berhemat pada belanja pegawai dan
belanja barang. Belanja pegawai ditekan dengan moratorium pegawai baru kecuali
3
guru, dokter, dan perawat yang memang masih sangat dibutuhkan tenaganya.
Belanja barang dihemat dengan mengurangi perjalanan dinas yang tidak perlu,
atau dengan menghemat pemakaian alat tulis kantor (Direktorat Jenderal
Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri, 2013).
Jawa Tengah memiliki letak geografis yang strategis berada di tengah Pulau
Jawa, selain letak yang strategis Jawa Tengah memiliki luas wilayah dan jumlah
penduduk yang besar jika dibandingkan dengan Banten, Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY), dan Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Pertumbuhan
ekonomi Jawa Tengah masih rendah jika dibandingkan dengan provinsi lain di
Pulau Jawa tetapi masih setingkat di atas DIY.
Pertumbuhan Ekonomi Provinsi di Pulau Jawa
8,00
7,00
6,00
1. DKI Jakarta
Prosentase
5,00
2. Jawa Barat
4,00
3. Jawa Tengah
4. DI Yogyakarta
3,00
5. Jawa Timur
6. Banten
2,00
1,00
0,00
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Sumber: BPS, 2007—2013 (diolah)
Gambar 1.1
Laju Pertumbuhan PDRB ADHK 2000 menurut Provinsi, 2007--2013
4
Data Satistik Provinsi di Pulau Jawa 2010
prosentase/ rupiah
250,00
200,00
150,00
100,00
50,00
ipm
prdb per
kapita (juta)
belanja
pemerintah
per kapita
(sepuluh
ribu)
jumlah
penduduk
(juta)
prosentase
belanja
modal dan
total
belanja
DKI Jakarta
77,60
40,94
224
9,64
28
Jawa Barat
72,29
7,25
21
43,23
14
Banten
70,48
8,28
27
10,69
20
Jawa Tengah
72,49
5,43
18
32,44
9
DI Yogyakarta
75,77
6,07
39
3,47
8
Jawa Timur
71,62
9,07
27
37,57
14
Sumber: BPS, 2010 (diolah)
Gambar 1.2
Data Statitik Provinsi di Pulau Jawa Tahun 2010
Daya dukung infrastruktur di Jawa Tengah masih jauh tertinggal
dibandingkan provinsi lain di Pulau Jawa menurut Gubernur Jawa Tengah.
Gubernur mencanangkan tahun 2015 sebagai tahun infrastruktur dan berharap
pemerintah kabupaten/kota di Jawa Tengah memprioritaskan pembangunan
infrastruktur dalam upaya mendorong percepatan peningkatan infrastruktur di
Jawa Tengah (Oktaviano, 2015). Persentase belanja modal total kabupaten/kota di
Jawa Tengah dibandingkan dengan total belanja masih termasuk peringkat bawah
5
jika dibandingkan dengan provinsi lain di Pulau Jawa. Akan tetapi, persentase
belanja modal di Jawa Tengah masih diatas persentase belanja modal Daerah
Istimewa Yogyakarta. Dengan potensi angka IPM (Indeks Pembangunan
Manusia) tinggi (Gambar 1.2) seharusnya Jawa Tengah mampu meningkatkan
percepatan pembangunan infrastruktur. Peningkatan jumlah persentase anggaran
belanja modal untuk pembangunan infrastruktur adalah salah satu cara untuk
mencapai pendapatan riil perkapita yang tinggi.
Rata-rata jumlah belanja modal pemerintah kabupaten/kota di Jawa Tengah
mempunyai kencenderungan meningkat, dengan meningkatnya belanja modal
diharapkan meningkatkan PDRB atas dasar harga konstan melalui angka
pengganda (multiplier effect) dari pengeluaran pemerintah. Jumlah belanja modal
pemerintah kabupaten/kota setiap tahun tidak bisa dipastikan bertambah, karena
alokasi belanja modal sesuai dengan kebutuhan dan perencanaan masing-masing
kabupaten/kota. Dengan adanya himbauan dari Kementerian Keuangan dan
pencanangan tahun infrastruktur oleh Gubernur Jawa Tengah maka perencanaan
dan penganggaran untuk alokasi belanja modal seluruh pemerintah kabupten/kota
di Jawa Tengah diharapkan untuk ditingkatkan sehingga mampu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat Jawa Tengah. Kecenderungan trend belanja modal di
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah dapat dilihat dalam grafik rata-rata
belanja modal pada Gambar 1.3.
6
Rata-rata Belanja Modal (Milyar Rupiah)
Rata-rata Belanja Modal Jateng
250,00
200,00
150,00
100,00
rata-rata BM Jateng
50,00
2009
2010
2011
2012
2013
Tahun
Sumber: LHP BPK RI, 2009—2013 (diolah)
Gambar 1.3
Rata-rata Belanja Modal di Provinsi Jawa Tengah, 2009--2013
Hubungan antara PDRB riil (atas dasar harga konstan) dan belanja modal
seluruh kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah mempunyai pola yang tidak
teratur jika dituangkan dalam bentuk scatter plot. Ketidakteraturan pola hubungan
antara pertumbuhan dan belanja modal ini menjadikan suatu pertanyaan apakah
belanja modal di Provinsi Jawa Tengah mempunyai multiplier effect terhadap
pendapatan sehingga mampu meningkatkan kinerja perekonomian di Provinsi
Jawa Tengah. Pola hubungan antara kinerja perekonomian dan belanja modal
dapat dilihat pada Gambar 1.4.
7
Scatter PDRB Riil dan Belanja Modal
PDRB riil (Milyar Rupiah)
30.000,00
25.000,00
20.000,00
15.000,00
10.000,00
5.000,00
0,00
100,00
200,00
300,00
400,00
500,00
600,00
700,00
Belanja Modal (Milyar Rupiah)
Sumber: BPS dan LHP BPK RI, 2009—2013 (diolah)
Gambar 1.4
Scatter Plot PDRB ADHK 2000 dan Belanja Modal
1.2 Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelitian Muritala dan Taiwo (2011), terdapat dampak yang
besar dari pengeluaran pemerintah dalam kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi
Nigeria. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa semakin tinggi pengeluaran
pemerintah semakin tinggi tingkat pertumbuhan ekonomi (ceteris paribus), dan
semakin rendah pengeluaran pemerintah semakin rendah tingkat pertumbuhan
ekonomi bangsa. Secara keseluruhan, bukti empiris menunjukkan bahwa
peningkatan pengeluaran pemerintah dalam hal ini telah didasarkan pada
kenyataan bahwa tidak ada korupsi dan penggelapan dalam sistem pemerintah
Nigeria.Penelitian ini memakai data time series dari tahun 1970--2008 dan
menggunakan alat analisis Ordinary Least Square(OLS). Penelitian Muritala dan
Taiwo (2011), menggunakan variabel bebas belanja modal dan belanja rutin,
8
sementara untuk variabel terikat hanya menggunakan GDP sebagai pendekatan
pertumbuhan ekonomi (Muritala dan Taiwo, 2011).
Penelitian yang dilakukan oleh Kalu dan James (2012) menyatakan bahwa
pemerintah harus memastikan bahwa belanja modal dan belanja operasi dikelola
dengan cara yang benar sehingga akan meningkatkan kapasitas produksi negara
dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini diharapkan mampu
memberikan rekomendasi kepada pemerintah supaya meningkatkan efisiensi
dalam mengalokasikan sumberdaya pembangunan dengan cara meningkatkan
penyediaan pelayanan publik. Kalu dan James (2012) menggunakan data time
series dari tahun 1980-2011 dan menggunakan alat analisis Autoregressive
Ditributed Lag (ARDL) dengan hasil bahwa dalam jangka pendek belanja rutin
dan belanja modal berpengaruh positif signifikan. Dalam jangka panjang hanya
belanja rutin saja yang berpengaruh positif signifikan sedangkan belanja modal
berpengaruh positif tidak signifikan (Kalu dan James, 2012).
Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Muritala dan Taiwo (2011)
dengan penelitian yang dilakukan oleh Kalu dan James (2012) adalah alat analisis.
Muritala dan Taiwo menggunakan Ordinary Least Square (OLS) sementara Kalu
dan James menggunakan alat analisis Autoregressive Ditributed Lag (ARDL).
Secara ringkas dapat dilihat penelitian-penelitian terdahulu mengenai belanja
modal pemerintah di Tabel 2.1.
9
Tabel 2.1 Keaslian Penelitian
Penulis
Metodologi
Judul
Data
Time
series
Metode
Ordinary
Least Square
Model
logGDP=logβ0+logβ1REC+logβ2CAP
+μ
GDP = Gross Domestic Bruto
REC = Recurrent Expenditure
CAP = Capital Expenditure
Hasil Penelitian
Muritala dan
Taiwo (2011)
Government
expenditure
and
economic
development:
empirical evidence
from Nigeria
Belanja rutin dan belanja modal
memiliki
pengaruh
positif
terhadap real GDP di Nigeria.
Desmond, Titus
dan Timothy
(2012)
Effects of Public
Expenditure
on
Economic Growth
in
Nigeria:
Disaggregated
Time
Series
Analysis(Desmond,
Titus, & C, 2012)
Time
series
Ordinary
Least Square
GDP = λ0 + λ1CEES + λ2REES +
λ3CESCS + λ4RESCS + λ5CETRANS
+ λ6RETRANS +μ
GDP = economic growth
CEES/REES
=
capital/recurrent
expenditure oneconomic service
CESCS/RESCS = capital/recurrent
expenditures on social and community
services
CETRANS/RETRANS=capital/recurr
ent expenditures on transfers
CEES dan REES berpengaruh
negatif tidak signifikan.
CETRANS berpengaruh positif
tidak signifikan.
CESCS,
RESCS,
dan
RETRANS berpengaruh positif
signifikan.
Pollard
dan
Shackman (2012)
Government
Expenditure,
Economic Growth
and
Conditional
Convergence: What
does the Penn
World Table 7.0
tell us?
Panel
data
Fixed effect /
regresi
data
panel
lnY = β0+β1lnYit-1+ β2lnINVit+
β3lnNGDit+ β4lnSchoolit+ β5Git+
β6Openit+ μit
Y = real GDP; INV = investasi/ GDP;
NGD = population growth ;
School = secondary enrollment ;
G= gov exp/GDP;
OPEN = export+imp/GDP
Di negara amerika latin terjadi
konvergensi yang lebih cepat
sementara negara di asia terjadi
konvergensi yang lebih lambat.
Pengeluaran
pemerintah
berpengaruh signifikan terhadap
GDP di Amerika Latin dan
Afrika tetapi tidak di Asia.
10
Tabel 2.1Lanjutan
Metodologi
Penulis
Judul
Kalu dan James
(2012)
Menyah
dan
Rufel (2013)
Data
Metode
Government
Expenditure
and
Economic Growth
in Nigeria, 19802011(Kalu
&
James, 2012)
Time
series
Autoregressive
Ditributed Lag
(ARDL)
Government
Expenditure And
Economic Growth:
The
Ethiopian
Experience, 1950–
2007
Time
series
Hasil Penelitian
Model
ΔlnGDP= α0 + β1ΔlnREXPt
β2lnREXPt-1
+
β3ΔlnCEXPt
β4lnCEXPt-1
+
β5ΔlnTREVt
β6lnTREVt-1 + β7lnGDPt-1 + εt
+
+
+
GDP = Gross Domestic Bruto
REXP = Recurrent Expenditure
CEXP = Capital Expenditure
TREV = Total Federal collected
Revenue
Autoregressive
Ditributed Lag
(ARDL)
𝜌
ΔlnGt=α0+ 𝑖=1 𝛽𝛥𝑙𝑛𝐺 t-1+
𝜌
𝑖=1 𝜎𝛥𝑙𝑛𝑌t-1 + η1lnGt-1 + η2lnYt-1 + μ1t
𝜌
ΔlnYt=α0+ 𝑖=1 𝜛𝛥𝑙𝑛𝑌t-1+
𝜌
𝑖=1 𝜙𝛥𝑙𝑛𝑌t-1 + δ1lnGt-1 + δ2lnGt-1 + μ2t
Granger
Causality
Dalam
jangka
pendek
pengeluaran rutin dan belanja
modal mempunyai pengaruh
positif dan signifikan terhadap
pertumbuhan
ekonomi
di
Nigeria.
Dalam
jangka
panjang
pengeluaran rutin mempunyai
pengaruh positif signifikan dan
belanja modal mempunyai
pengaruh
positif
tidak
signifikan
pertumbuhan
ekonomi di Nigeria.
Kenaikan GDP 1 persen akan
menaikan 1,73 persen sampai
dengan 1,79 persen belanja
pemerintah Etiopia.
Di
Etiopia
terjadi
uni
directional dari Pendapatan
(GDP) ke Belanja Pemerintah.
11
Tabel 2.1Lanjutan
Metodologi
Penulis
Hamsinah,
Mursinto
Soekarnoto
(2014)
Judul
dan
Influence
of
Capital
Expenditure to the
Economic Growth
and
Manpower
Absorption
and
People Welfare in
Regencies/Cities in
South Sulawesi
Hasil Penelitian
Data
Metode
panel
data
Path Analysis
Model
Y1 = α11X1 + ϛ1
Y2 = α21X1 + β32Y1 + ϛ2
Y3 = β31Y1 + β33Y2 + ϛ3
X = Capital Expenditure
Y1 = Economic Growth
Y2 = Manpower Absorption
Y3 = People Welfare
Pengeluaran pemerintah dari
belanja
modal
memiliki
pengaruh
positif
tidak
signifikan di Provinsi Sulawesi
Selatan.
Pertumbuhan
ekonomi,
keterserapan tenagakerja dan
kesejahteraan masyarakat saling
memiliki kontribusi terhadap
masing masing di Provinsi
Sulawesi Selatan.
12
Penelitian ini lebih mengacu kepada penelitian yang dilakukan oleh
Muritala dan Taiwo (2011), dengan menggunakan alat analisis regresi. Pada
penelitian ini menggunakan data panel kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah
sehingga alat analisisnya menggunakan regresi data panel. Perbedaan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Muritala dan Taiwo (2011), adalah peneliti
menggunakan variabel bebas tambahan sebagai variabel kontrol yang terdiri dari
penanaman modal dalam negeri, penanaman modal asing, dan jumlah tenaga
kerja.
1.3 Rumusan Masalah
PDRB per kapita sebagai indikator kinerja perekonomian di Jawa Tengah
masih rendah dibandingkan dengan provinsi lain di Pulau Jawa (Gambar 1.2),
hubungan dengan belanja modal menunjukkan pola scatter plot yang tidak
beraturan. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah kinerja perekonomian
dipengaruhi oleh belanja modal di kabupaten/kota wilayah Provinsi Jawa Tengah.
Persentase
jumlah
belanja
modal
terhadap
total
belanja
pemerintah
kabupaten/kota di Jawa Tengah masih rendah di antara Provinsi di Pulau Jawa.Hal
ini menarik untuk diteliti karena persentase belanja modal dibandingkan total
belanja pemerintah kabupaten/kota di Jawa Tengah sangat rendah, mengingat
infrastruktur Jawa Tengah masih tertinggal dari provinsi lain di Pulau Jawa.
Hasil beberapa penelitian sebelumnya penulis mengidentifikasi terdapat
perbedaan pengaruhantara belanja pemerintah dan kinerja perekonomian di
berbagai daerah penelitian. Hal ini memperkuat keinginan untuk mengetahui
bagaimana pengaruh belanja modal dengan kinerja perekonomian di Provinsi
13
Jawa Tengah. Dalam penelitian ini penulis memakai belanja modal sebagai
variabel bebas utama dan kinerja perekonomian dengan menggunakan indikator
PDRB atas harga dasar konstan perkapita sebagai variabel terikat. Tujuan
menggunakan PDRB adhk adalah supaya nilai PDRB tidak dipengaruhi oleh
inflasi atau perubahan harga. Belanja operasi Pemerintah Daerah di Jawa Tengah,
investasi dalam negeri, investasi luar negeri serta tenaga kerja di Jawa Tengah
selamaperiode 2009 sampai dengan 2013 adalah sebagai variabel bebas kontrol.
Penulis membagi belanja modal dan belanja operasi dengan jumlah penduduk
masing masing kabupaten/kota, karena kedua belanja tersebut mewakili pelayanan
pemerintah daerah terhadap per satu penduduk.
1.4 Pertanyaan Penelitiaan
Adapun beberapa pertanyaan muncul dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut.
1. Apakah belanja modal pemerintah daerah kabupaten/kota di Jawa Tengah
sebagai variabel bebas utama berpengaruhsignifikan positif atau negatif
terhadap kinerja perekonomian pada kabupaten/kota di Jawa Tengah?
2. Apakah belanja operasi, investasi dalam negeri, investasi luar negeri, dan
jumlah tenaga kerja pada kabupaten/kota di Jawa Tengah sebagai variabel
bebas kontrol berpengaruh signifikan positif atau negatif terhadap kinerja
perekonomianpada kabupaten/kota di Jawa Tengah?
14
1.5 Tujuan Penelitian
Penelitian ini mempunyai beberapa tujuan yaitu:
1. mengetahui pengaruh belanja modal pemerintah daerah kabupaten/kota di Jawa
Tengah sebagai variabel bebas utama terhadap kinerja perekonomian pada
kabupaten/kota di Jawa Tengah;
2. mengetahui pengaruh belanja operasi, investasi dalam negeri, investasi luar
negeri,dan jumlah tenaga kerja pada kabupaten/kota di Jawa Tengah sebagai
variabel bebas kontrol terhadap kinerja perekonomian kabupaten/kota di Jawa
Tengah.
1.6 Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat antara
lain:
1. sebagai referensi dan acuan terhadap penelitian selanjutnya yang berkaitan
dengan permasalahan penelitian yang ada;
2. memberikan bahan referensi bagi pemerintah daerah kabupaten/kota di Jawa
Tengah khususnya mengenai kajian kinerja perekonomian, belanja modal,
belanja operasi, investasi dalam negeri, investasi luar negeri serta jumlah
tenaga kerja.
1.7 Sistematika Penulisan
Penulisan tesis ini terdiri dari lima bab. Bab 1 Pendahuluan yang memuat
dan menguraikan mengenai latar belakang dilakukannya penelitian, keaslian
penelitian, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan, dan manfaat
15
penelitian serta sistematika penelitian. Bab 2 Landasan Teori berisikan uraian
tentang landasan teori mengenai belanja modal dan kinerja perekonomian, kajian
terhadap penelitian terdahulu, hipotesis, model penelitian/kerangka penelitian.
Bab 3Metode Penelitian berisikan mengenai, desain penelitian, metode
pengumpulan data, definisi operasional, metode analisis data. Bab 4 Analisis
menjelaskan deskripsi data, hasil regersi, uji hipotesis, dan pembahasan.Bab 5
Simpulan dan Saran menjelaskan simpulan, implikasi, keterbatasan dan saran.
16
Download