BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kinerja perekonomian suatu negara dapat menggunakan pertumbuhan pendapatan riil sebagai salah satu ukuran. Pertumbuhan dari pendapatan riil telah menjadi fokus perhatian para ahli ekonomi selama dua dekade (Arsyad, 2010: 269). Para ahli ekonomi dalam mengukur kinerja ekonomi menggunakan tiga variabel makroekonomi yaitu: Produk Domestik Bruto Riil dalam cakupan regional adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Riil, tingkat inflasi, dan tingkat pengangguran (Mankiw, 2007: 3). Menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan United Nations Development Programme (UNDP) (2008: 6) indikator yang digunakan untuk mengukur kinerja perekonomian terdiri dari: 1) pertumbuhan PDRB non-migas yang mengukur gerak perekonomian daerah yang mampu menciptakan lapangan pekerjaan dan kesejahteraan masyarakat; 2) PDRB per kapita yang mencerminkan tingkat kesejahteraan masyarakat di daerah yang bersangkutan; 3) rasio PDRB kabupaten terhadap PDRB provinsi yang akan melihat seberapa besar tingkat perkembangan ekonomi di satu daerah jika dibandingkan dengan daerah lainnya dalam suatu wilayah provinsi; 4) angka kemiskinan diukur menggunakan head-countindex, yaitu persentase jumlah orang miskin dengan penduduk total. Menurut Boediono (1998: 1), permasalahan kebijaksanaan makro terbagi atas 2 cakupan permasalahan yaitu: pertama adalah permasalahan jangka pendek yang terdiri dari inflasi, pengangguran, dan ketimpangan dalam neraca 1 pembayaran. Bagaimana cara mengendalikan ketiga hal tersebut dalam jangka waktu bulan ke bulan, triwulan ke triwulan atau dari tahun ke tahun. Cakupan permasalahan yang kedua adalah masalah jangka panjang atau masalah pertumbuhan, yaitu bagaimana cara mengendalikan supaya terjadi keserasian antara pertambahan penduduk, pertambahan kapasitas produksi, dan tersedianya dana untuk investasi dalam prespektif waktu yang lebih panjang (lima tahun, sepuluh tahun atau bahkan duapuluh tahun). Direalisasikannya pembangunan jalan tol Cipali (Cikopo – Palimanan) adalah salah satu contoh infrastruktur sosial ekonomi yang langsung mempermudah kegiatan ekonomi masyarakat. Jalan tol Cipali yang memiliki panjang kurang lebih 116 km merupakan tol terpanjang di Indonesia diresmikan oleh Presiden Jokowi pada tanggal 13 Juni 2015. Diharapkan dengan pembangunan jalan tol Cipali mampu mengurai kemacetan dan memangkas jarak tempuh kurang lebih 3,5 jam jalur pantura. Harapan tersebut tentulah memangkas biaya transport sehingga akan memutar roda perekonomian masyarakat. Pembangunan infrastruktur jalan tol tersebut merupakan realisasi pengeluaran pemerintah melalui pos belanja modal dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Dengan adanya realisasi pembangunan yang terus dilakukan oleh pemerintah tentu akan menaikan pengeluaran pemerintah dan akanmendorong adanya kenaikan pendapatan yang lebih besar. Rasio dari kenaikan pendapatan (ΔY) yang disebabkan oleh kenaikan pengeluaran pemerintah (ΔG) disebut juga sebagai pengganda belanja pemerintah (government-purchases multiplier). 2 Pengganda belanja pemerintah ini juga disebut Keynesian multipier effect (Cwik. dan Wieland, 2010). Pengganda belanja pemerintah memiliki ΔY lebih besar dari ΔG yang dijelaskan menurut fungsi konsumsi C= C(Y-T), yaitu pendapatan yang lebih tinggi akan menyebabkan konsumsi yang lebih tinggi. Ketika kenaikan pengeluaran pemerintah meningkatkan pendapatan, itu juga meningkatkan konsumsi, yang selanjutnya meningkatkan pendapatan, dan seterusnya. Oleh karena itu, dalam model ini kenaikan pengeluaran pemerintah menyebabkan kenaikan pendapatan yang lebih besar (Mankiw, 2007: 278). Belanja pemerintah menurut Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, belanja dibagi menjadi belanja operasi, belanja modal, dan belanja tak terduga. Struktur belanja modal sendiri perlu mendapat perhatian khusus, karena tidak semua belanja modal mempunyai efek pada pelayanan publik. Untuk itu, belanja modal perlu dikaji lebih rinci untuk menemukan belanja modal yang berefek pada pelayanan publik, misalnya belanja modal infrastruktur. Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah, pemerintah pusat terus menghimbau pemerintah daerah (pemda) melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 27 tahun 2013 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2014, agar persentase belanja modal terus ditingkatkan sebesar 30 persen dari total belanja daerah. Presentasi itu bahkan lebih tinggi 2 persen daripada target untuk 2013 yaitu 28 persen, namun masih banyak pemda yang merasa kesulitan untuk mencapai target tersebut. Salah satu cara menambah alokasi belanja modal adalah berhemat pada belanja pegawai dan belanja barang. Belanja pegawai ditekan dengan moratorium pegawai baru kecuali 3 guru, dokter, dan perawat yang memang masih sangat dibutuhkan tenaganya. Belanja barang dihemat dengan mengurangi perjalanan dinas yang tidak perlu, atau dengan menghemat pemakaian alat tulis kantor (Direktorat Jenderal Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri, 2013). Jawa Tengah memiliki letak geografis yang strategis berada di tengah Pulau Jawa, selain letak yang strategis Jawa Tengah memiliki luas wilayah dan jumlah penduduk yang besar jika dibandingkan dengan Banten, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dan Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah masih rendah jika dibandingkan dengan provinsi lain di Pulau Jawa tetapi masih setingkat di atas DIY. Pertumbuhan Ekonomi Provinsi di Pulau Jawa 8,00 7,00 6,00 1. DKI Jakarta Prosentase 5,00 2. Jawa Barat 4,00 3. Jawa Tengah 4. DI Yogyakarta 3,00 5. Jawa Timur 6. Banten 2,00 1,00 0,00 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Sumber: BPS, 2007—2013 (diolah) Gambar 1.1 Laju Pertumbuhan PDRB ADHK 2000 menurut Provinsi, 2007--2013 4 Data Satistik Provinsi di Pulau Jawa 2010 prosentase/ rupiah 250,00 200,00 150,00 100,00 50,00 ipm prdb per kapita (juta) belanja pemerintah per kapita (sepuluh ribu) jumlah penduduk (juta) prosentase belanja modal dan total belanja DKI Jakarta 77,60 40,94 224 9,64 28 Jawa Barat 72,29 7,25 21 43,23 14 Banten 70,48 8,28 27 10,69 20 Jawa Tengah 72,49 5,43 18 32,44 9 DI Yogyakarta 75,77 6,07 39 3,47 8 Jawa Timur 71,62 9,07 27 37,57 14 Sumber: BPS, 2010 (diolah) Gambar 1.2 Data Statitik Provinsi di Pulau Jawa Tahun 2010 Daya dukung infrastruktur di Jawa Tengah masih jauh tertinggal dibandingkan provinsi lain di Pulau Jawa menurut Gubernur Jawa Tengah. Gubernur mencanangkan tahun 2015 sebagai tahun infrastruktur dan berharap pemerintah kabupaten/kota di Jawa Tengah memprioritaskan pembangunan infrastruktur dalam upaya mendorong percepatan peningkatan infrastruktur di Jawa Tengah (Oktaviano, 2015). Persentase belanja modal total kabupaten/kota di Jawa Tengah dibandingkan dengan total belanja masih termasuk peringkat bawah 5 jika dibandingkan dengan provinsi lain di Pulau Jawa. Akan tetapi, persentase belanja modal di Jawa Tengah masih diatas persentase belanja modal Daerah Istimewa Yogyakarta. Dengan potensi angka IPM (Indeks Pembangunan Manusia) tinggi (Gambar 1.2) seharusnya Jawa Tengah mampu meningkatkan percepatan pembangunan infrastruktur. Peningkatan jumlah persentase anggaran belanja modal untuk pembangunan infrastruktur adalah salah satu cara untuk mencapai pendapatan riil perkapita yang tinggi. Rata-rata jumlah belanja modal pemerintah kabupaten/kota di Jawa Tengah mempunyai kencenderungan meningkat, dengan meningkatnya belanja modal diharapkan meningkatkan PDRB atas dasar harga konstan melalui angka pengganda (multiplier effect) dari pengeluaran pemerintah. Jumlah belanja modal pemerintah kabupaten/kota setiap tahun tidak bisa dipastikan bertambah, karena alokasi belanja modal sesuai dengan kebutuhan dan perencanaan masing-masing kabupaten/kota. Dengan adanya himbauan dari Kementerian Keuangan dan pencanangan tahun infrastruktur oleh Gubernur Jawa Tengah maka perencanaan dan penganggaran untuk alokasi belanja modal seluruh pemerintah kabupten/kota di Jawa Tengah diharapkan untuk ditingkatkan sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat Jawa Tengah. Kecenderungan trend belanja modal di Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah dapat dilihat dalam grafik rata-rata belanja modal pada Gambar 1.3. 6 Rata-rata Belanja Modal (Milyar Rupiah) Rata-rata Belanja Modal Jateng 250,00 200,00 150,00 100,00 rata-rata BM Jateng 50,00 2009 2010 2011 2012 2013 Tahun Sumber: LHP BPK RI, 2009—2013 (diolah) Gambar 1.3 Rata-rata Belanja Modal di Provinsi Jawa Tengah, 2009--2013 Hubungan antara PDRB riil (atas dasar harga konstan) dan belanja modal seluruh kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah mempunyai pola yang tidak teratur jika dituangkan dalam bentuk scatter plot. Ketidakteraturan pola hubungan antara pertumbuhan dan belanja modal ini menjadikan suatu pertanyaan apakah belanja modal di Provinsi Jawa Tengah mempunyai multiplier effect terhadap pendapatan sehingga mampu meningkatkan kinerja perekonomian di Provinsi Jawa Tengah. Pola hubungan antara kinerja perekonomian dan belanja modal dapat dilihat pada Gambar 1.4. 7 Scatter PDRB Riil dan Belanja Modal PDRB riil (Milyar Rupiah) 30.000,00 25.000,00 20.000,00 15.000,00 10.000,00 5.000,00 0,00 100,00 200,00 300,00 400,00 500,00 600,00 700,00 Belanja Modal (Milyar Rupiah) Sumber: BPS dan LHP BPK RI, 2009—2013 (diolah) Gambar 1.4 Scatter Plot PDRB ADHK 2000 dan Belanja Modal 1.2 Keaslian Penelitian Berdasarkan penelitian Muritala dan Taiwo (2011), terdapat dampak yang besar dari pengeluaran pemerintah dalam kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi Nigeria. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa semakin tinggi pengeluaran pemerintah semakin tinggi tingkat pertumbuhan ekonomi (ceteris paribus), dan semakin rendah pengeluaran pemerintah semakin rendah tingkat pertumbuhan ekonomi bangsa. Secara keseluruhan, bukti empiris menunjukkan bahwa peningkatan pengeluaran pemerintah dalam hal ini telah didasarkan pada kenyataan bahwa tidak ada korupsi dan penggelapan dalam sistem pemerintah Nigeria.Penelitian ini memakai data time series dari tahun 1970--2008 dan menggunakan alat analisis Ordinary Least Square(OLS). Penelitian Muritala dan Taiwo (2011), menggunakan variabel bebas belanja modal dan belanja rutin, 8 sementara untuk variabel terikat hanya menggunakan GDP sebagai pendekatan pertumbuhan ekonomi (Muritala dan Taiwo, 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Kalu dan James (2012) menyatakan bahwa pemerintah harus memastikan bahwa belanja modal dan belanja operasi dikelola dengan cara yang benar sehingga akan meningkatkan kapasitas produksi negara dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan rekomendasi kepada pemerintah supaya meningkatkan efisiensi dalam mengalokasikan sumberdaya pembangunan dengan cara meningkatkan penyediaan pelayanan publik. Kalu dan James (2012) menggunakan data time series dari tahun 1980-2011 dan menggunakan alat analisis Autoregressive Ditributed Lag (ARDL) dengan hasil bahwa dalam jangka pendek belanja rutin dan belanja modal berpengaruh positif signifikan. Dalam jangka panjang hanya belanja rutin saja yang berpengaruh positif signifikan sedangkan belanja modal berpengaruh positif tidak signifikan (Kalu dan James, 2012). Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Muritala dan Taiwo (2011) dengan penelitian yang dilakukan oleh Kalu dan James (2012) adalah alat analisis. Muritala dan Taiwo menggunakan Ordinary Least Square (OLS) sementara Kalu dan James menggunakan alat analisis Autoregressive Ditributed Lag (ARDL). Secara ringkas dapat dilihat penelitian-penelitian terdahulu mengenai belanja modal pemerintah di Tabel 2.1. 9 Tabel 2.1 Keaslian Penelitian Penulis Metodologi Judul Data Time series Metode Ordinary Least Square Model logGDP=logβ0+logβ1REC+logβ2CAP +μ GDP = Gross Domestic Bruto REC = Recurrent Expenditure CAP = Capital Expenditure Hasil Penelitian Muritala dan Taiwo (2011) Government expenditure and economic development: empirical evidence from Nigeria Belanja rutin dan belanja modal memiliki pengaruh positif terhadap real GDP di Nigeria. Desmond, Titus dan Timothy (2012) Effects of Public Expenditure on Economic Growth in Nigeria: Disaggregated Time Series Analysis(Desmond, Titus, & C, 2012) Time series Ordinary Least Square GDP = λ0 + λ1CEES + λ2REES + λ3CESCS + λ4RESCS + λ5CETRANS + λ6RETRANS +μ GDP = economic growth CEES/REES = capital/recurrent expenditure oneconomic service CESCS/RESCS = capital/recurrent expenditures on social and community services CETRANS/RETRANS=capital/recurr ent expenditures on transfers CEES dan REES berpengaruh negatif tidak signifikan. CETRANS berpengaruh positif tidak signifikan. CESCS, RESCS, dan RETRANS berpengaruh positif signifikan. Pollard dan Shackman (2012) Government Expenditure, Economic Growth and Conditional Convergence: What does the Penn World Table 7.0 tell us? Panel data Fixed effect / regresi data panel lnY = β0+β1lnYit-1+ β2lnINVit+ β3lnNGDit+ β4lnSchoolit+ β5Git+ β6Openit+ μit Y = real GDP; INV = investasi/ GDP; NGD = population growth ; School = secondary enrollment ; G= gov exp/GDP; OPEN = export+imp/GDP Di negara amerika latin terjadi konvergensi yang lebih cepat sementara negara di asia terjadi konvergensi yang lebih lambat. Pengeluaran pemerintah berpengaruh signifikan terhadap GDP di Amerika Latin dan Afrika tetapi tidak di Asia. 10 Tabel 2.1Lanjutan Metodologi Penulis Judul Kalu dan James (2012) Menyah dan Rufel (2013) Data Metode Government Expenditure and Economic Growth in Nigeria, 19802011(Kalu & James, 2012) Time series Autoregressive Ditributed Lag (ARDL) Government Expenditure And Economic Growth: The Ethiopian Experience, 1950– 2007 Time series Hasil Penelitian Model ΔlnGDP= α0 + β1ΔlnREXPt β2lnREXPt-1 + β3ΔlnCEXPt β4lnCEXPt-1 + β5ΔlnTREVt β6lnTREVt-1 + β7lnGDPt-1 + εt + + + GDP = Gross Domestic Bruto REXP = Recurrent Expenditure CEXP = Capital Expenditure TREV = Total Federal collected Revenue Autoregressive Ditributed Lag (ARDL) 𝜌 ΔlnGt=α0+ 𝑖=1 𝛽𝛥𝑙𝑛𝐺 t-1+ 𝜌 𝑖=1 𝜎𝛥𝑙𝑛𝑌t-1 + η1lnGt-1 + η2lnYt-1 + μ1t 𝜌 ΔlnYt=α0+ 𝑖=1 𝜛𝛥𝑙𝑛𝑌t-1+ 𝜌 𝑖=1 𝜙𝛥𝑙𝑛𝑌t-1 + δ1lnGt-1 + δ2lnGt-1 + μ2t Granger Causality Dalam jangka pendek pengeluaran rutin dan belanja modal mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Nigeria. Dalam jangka panjang pengeluaran rutin mempunyai pengaruh positif signifikan dan belanja modal mempunyai pengaruh positif tidak signifikan pertumbuhan ekonomi di Nigeria. Kenaikan GDP 1 persen akan menaikan 1,73 persen sampai dengan 1,79 persen belanja pemerintah Etiopia. Di Etiopia terjadi uni directional dari Pendapatan (GDP) ke Belanja Pemerintah. 11 Tabel 2.1Lanjutan Metodologi Penulis Hamsinah, Mursinto Soekarnoto (2014) Judul dan Influence of Capital Expenditure to the Economic Growth and Manpower Absorption and People Welfare in Regencies/Cities in South Sulawesi Hasil Penelitian Data Metode panel data Path Analysis Model Y1 = α11X1 + ϛ1 Y2 = α21X1 + β32Y1 + ϛ2 Y3 = β31Y1 + β33Y2 + ϛ3 X = Capital Expenditure Y1 = Economic Growth Y2 = Manpower Absorption Y3 = People Welfare Pengeluaran pemerintah dari belanja modal memiliki pengaruh positif tidak signifikan di Provinsi Sulawesi Selatan. Pertumbuhan ekonomi, keterserapan tenagakerja dan kesejahteraan masyarakat saling memiliki kontribusi terhadap masing masing di Provinsi Sulawesi Selatan. 12 Penelitian ini lebih mengacu kepada penelitian yang dilakukan oleh Muritala dan Taiwo (2011), dengan menggunakan alat analisis regresi. Pada penelitian ini menggunakan data panel kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah sehingga alat analisisnya menggunakan regresi data panel. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh Muritala dan Taiwo (2011), adalah peneliti menggunakan variabel bebas tambahan sebagai variabel kontrol yang terdiri dari penanaman modal dalam negeri, penanaman modal asing, dan jumlah tenaga kerja. 1.3 Rumusan Masalah PDRB per kapita sebagai indikator kinerja perekonomian di Jawa Tengah masih rendah dibandingkan dengan provinsi lain di Pulau Jawa (Gambar 1.2), hubungan dengan belanja modal menunjukkan pola scatter plot yang tidak beraturan. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah kinerja perekonomian dipengaruhi oleh belanja modal di kabupaten/kota wilayah Provinsi Jawa Tengah. Persentase jumlah belanja modal terhadap total belanja pemerintah kabupaten/kota di Jawa Tengah masih rendah di antara Provinsi di Pulau Jawa.Hal ini menarik untuk diteliti karena persentase belanja modal dibandingkan total belanja pemerintah kabupaten/kota di Jawa Tengah sangat rendah, mengingat infrastruktur Jawa Tengah masih tertinggal dari provinsi lain di Pulau Jawa. Hasil beberapa penelitian sebelumnya penulis mengidentifikasi terdapat perbedaan pengaruhantara belanja pemerintah dan kinerja perekonomian di berbagai daerah penelitian. Hal ini memperkuat keinginan untuk mengetahui bagaimana pengaruh belanja modal dengan kinerja perekonomian di Provinsi 13 Jawa Tengah. Dalam penelitian ini penulis memakai belanja modal sebagai variabel bebas utama dan kinerja perekonomian dengan menggunakan indikator PDRB atas harga dasar konstan perkapita sebagai variabel terikat. Tujuan menggunakan PDRB adhk adalah supaya nilai PDRB tidak dipengaruhi oleh inflasi atau perubahan harga. Belanja operasi Pemerintah Daerah di Jawa Tengah, investasi dalam negeri, investasi luar negeri serta tenaga kerja di Jawa Tengah selamaperiode 2009 sampai dengan 2013 adalah sebagai variabel bebas kontrol. Penulis membagi belanja modal dan belanja operasi dengan jumlah penduduk masing masing kabupaten/kota, karena kedua belanja tersebut mewakili pelayanan pemerintah daerah terhadap per satu penduduk. 1.4 Pertanyaan Penelitiaan Adapun beberapa pertanyaan muncul dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Apakah belanja modal pemerintah daerah kabupaten/kota di Jawa Tengah sebagai variabel bebas utama berpengaruhsignifikan positif atau negatif terhadap kinerja perekonomian pada kabupaten/kota di Jawa Tengah? 2. Apakah belanja operasi, investasi dalam negeri, investasi luar negeri, dan jumlah tenaga kerja pada kabupaten/kota di Jawa Tengah sebagai variabel bebas kontrol berpengaruh signifikan positif atau negatif terhadap kinerja perekonomianpada kabupaten/kota di Jawa Tengah? 14 1.5 Tujuan Penelitian Penelitian ini mempunyai beberapa tujuan yaitu: 1. mengetahui pengaruh belanja modal pemerintah daerah kabupaten/kota di Jawa Tengah sebagai variabel bebas utama terhadap kinerja perekonomian pada kabupaten/kota di Jawa Tengah; 2. mengetahui pengaruh belanja operasi, investasi dalam negeri, investasi luar negeri,dan jumlah tenaga kerja pada kabupaten/kota di Jawa Tengah sebagai variabel bebas kontrol terhadap kinerja perekonomian kabupaten/kota di Jawa Tengah. 1.6 Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat antara lain: 1. sebagai referensi dan acuan terhadap penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan permasalahan penelitian yang ada; 2. memberikan bahan referensi bagi pemerintah daerah kabupaten/kota di Jawa Tengah khususnya mengenai kajian kinerja perekonomian, belanja modal, belanja operasi, investasi dalam negeri, investasi luar negeri serta jumlah tenaga kerja. 1.7 Sistematika Penulisan Penulisan tesis ini terdiri dari lima bab. Bab 1 Pendahuluan yang memuat dan menguraikan mengenai latar belakang dilakukannya penelitian, keaslian penelitian, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan, dan manfaat 15 penelitian serta sistematika penelitian. Bab 2 Landasan Teori berisikan uraian tentang landasan teori mengenai belanja modal dan kinerja perekonomian, kajian terhadap penelitian terdahulu, hipotesis, model penelitian/kerangka penelitian. Bab 3Metode Penelitian berisikan mengenai, desain penelitian, metode pengumpulan data, definisi operasional, metode analisis data. Bab 4 Analisis menjelaskan deskripsi data, hasil regersi, uji hipotesis, dan pembahasan.Bab 5 Simpulan dan Saran menjelaskan simpulan, implikasi, keterbatasan dan saran. 16