MAKALAH Gaya Berpakaian Remaja (Sebuah Kajian terhadap Gaya Berpakaian Remaja dengan Pendekatan Kognisi Sosial) Disusun oleh: Langgersari Elsari Novianti NIP: 132 316 998 Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran Bandung 2009 Gaya Berpakaian Remaja (Sebuah Kajian terhadap Gaya Berpakaian Remaja dengan Pendekatan Kognisi Sosial) Oleh: Langgersari Elsari Novianti*) I. Pendahuluan Remaja merupakan tahapan usia manusia yang menarik perhatian banyak pihak. Ini dikarenakan pada usia remaja, individu yang bersekolah di tingkat SMP, SMA dan masa awal perguruan tinggi dalam jumlah yang cukup banyak, serta tingginya angka permasalahan yang mereka alami. Mulai dari banyaknya pemberontakan remaja terhadap orangtuanya, yang seringkali menjadikan orangtua bingung menghadapi anaknya sendiri, kesulitan penyesuaian diri di lingkungan sekolah, fenomena berpacaran (interaksi lawan jenis) yang seringkali membuat orangtua khawatir, sampai gaya berbusana dan kegemaran akan aliran musik tertentu yang khas pada remaja dan terkadang sukar dipahami oleh orang-orang dewasa. Salah satu fenomena yang khas remaja, dalam 2 tahun terakhir ini, yang penulis amati adalah kecenderungan remaja untuk menggunakan celana pendek (hot pants-15 hingga 20 cm di atas lutut dan berukuran pas di paha) dipadankan dengan kaos oblong (berlengan pendek, tanpa kerah) ketika pergi ke pusat-pusat keramaian, seperti mall, swalayan, atau pun bioskop. Remaja usia 13-18 tahun, dengan pendidikan SMP, SMA, atau perguruan tinggi mengenakan pakaian seperti ini ketika bepergian bersama teman-teman sebayanya, pacarnya, ataupun bersama dengan orangtua/keluarganya. Makalah ini secara singkat akan membahas mengenai karakteristik perkembangan remaja yang dapat menjelaskan fenomena tersebut, khususnya perkembangan kognisi sosial remaja, dan kemudian mencoba mengulas cara apa yang dapat ditempuh guna mengarahkan gaya berbusana remaja menjadi lebih tepat sesuai dengan konteks sosialnya. Mengapa perlu diarahkan? Karena remaja bukan saja perlu dipahami perkembangannya namun juga perlu dikenalkan akan harapan-harapan lingkungan sosial terhadap dirinya, di mana dalam gaya berbusana sekalipun, lingkungan memiliki nilai dan harapan tersendiri. Makalah ini tidak akan sampai pada etika berpakaian bagi remaja, namun pemahaman apa saja yang harus dimiliki remaja sebelum ia memutuskan gaya berpakaian yang cocok untuk dirinya. *) Staf Pengajar Bagian Psikologi Perkembangan Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran Bandung. 1 II. Usia Remaja Salah satu pakar psikologi perkembangan Elizabeth B. Hurlock (1980) menyatakan bahwa masa remaja ini dimulai pada saat anak mulai matang secara seksual dan berakhir pada saat ia mencapai usia dewasa secara hukum. Masa remaja terbagi menjadi dua yaitu masa remaja awal dan masa remaja akhir. Masa remaja awal dimulai pada saat anak-anak mulai matang secara seksual yaitu pada usia 13 sampai dengan 17 tahun, sedangkan masa remaja akhir meliputi periode setelahnya sampai dengan 18 tahun, yaitu usia dimana seseorang dinyatakan dewasa secara hukum. Erik Erikson mengungkapkan krisis pada masa remaja yakni identity vs identity diffusion. Pada masa remaja, n i dividu berupaya mengeksplorasi diri dan lingkungannya untuk kemudian membentuk jati dirinya yang sesungguhnya (who they are, what they are all about, and where they are going in life) yang akan terus melekat sepanjang kehidupannya. Pengenalan dan eksplorasi terhadap diri dan lingkungan ini ditujukan untuk mengetahui respon-respon lingkungan terhadap dirinya pada saat remaja menampilkan perilaku dan peran-peran tertentu. Respon-respon ini yang pada akhirnya membentuk suatu pemahaman pada remaja mengenai hal yang diharapkan lingkungan pada dirinya dan hal yang tidak diharapkan. Karenanya, untuk mengetahui berbagai respon dari sekelilingnya, remaja seringkali menampilkan berbagai macam perilaku dalam waktu yang cenderung berdekatan. Kemauan dan pilihannya terhadap hobi, bidang tertentu, permainan, seni, berbusana, grup musik, dan lainnya dengan mudah dapat berubah-ubah. Yang perlu diperhatikan adalah eksplorasi perilaku dan peran yang dilakukan oleh remaja berkaitan dengan peran seperti apa yang diharapkan dari diri mereka, karena mereka memahami bahwa mereka bukan lagi kanak-kanak namun belum pula dapat disebut sebagai orang dewasa yang utuh. Karenanya, peran-peran yang diharapkan oleh lingkungan adalah peran orang dewasa yang dipelajari oleh remaja secara bertahap, dan mereka diharapkan mulai meninggalkan perilaku yang biasa ditampilkannya di masa kanak-kanak. Di sisi lain, kegagalan dalam membentuk jati diri akan membuat individu tidak memiliki identitas yang pasti/jelas, yang muncul dalam ketidakmampuan merumuskan ‘saya adalah…’, yakni individu tidak mengenali kekhasan dirinya, kelebihan dan kekurangannya, kebutuhannya, dan ciri lain dari dirinya sendiri. Kegagalan ini diawali dengan ketidakmampuan individu remaja memahami harapan-harapan lingkungan dari dirinya sendiri dan ketidakmampuannya memainkan berbagai peran yang diharapkan oleh lingkungan sosialnya. 2 III. Tugas Perkembangan Masa Remaja Semua tugas-tugas perkembangan masa remaja terfokus pada bagaimana meninggalkan sikap dan pola perilaku kanak-kanak dan mempersiapkan sikap dan perilaku orang dewasa. Rincian tugas-tugas pada masa remaja ini adalah sebagai berikut : (1) Menerima perubahan fisiknya secara positif (2) Mampu menyesuaikan perubahan fisiknya dengan penampilan diri yang diharapkan (3) Mulai belajar menerima peran seks sebagai manusia dewasa (laki- laki=maskulin; perempuan= feminin) (4) Belajar berelasi dengan lawan jenis (5) Belajar mandiri secara emosional dari orangtua (6) Berkembangnya kecakapan sosial melalui relasi dengan banyak orang di sekolah, terutama teman sebaya (7) Belajar mengenai nilai dan perilaku bertanggung jawab yang dapat diterima oleh orang dewasa (8) Bersiap memasuki dunia kerja (9) Bersiap memasuki kehidupan perkawinan Pada makalah ini, gaya berbusana remaja akan secara langsung berkaitan dengan terpenuhinya tugas perkembangan poin 1, 2, dan 7 atau tidak. Gaya berbusana remaja akan berkaitan dengan penerimaan dirinya akan perubahan kondisi fisik yang dialami, kemampuan menyesuaikan penampilan agar relevan dengan yang diharapkan orang dewasa, dan kemampuan mengenali nilai dan perilaku yang bertanggung jawab yang diharapkan oleh orang dewasa. IV. Perkembangan Kognisi Sosial pada Remaja Social cognition atau dapat kita sebut sebagai kognisi sosial mengacu kepada cara individu mengkonseptualkan dan menalar dunia sosial mereka. Hal ini diantaranya mencakup bagaimana individu berpikir mengenai cara mereka berelasi dengan orang lain, bagaimana orang-orang bertingkah laku, interaksi antar orang, interaksi individu dengan orang lain, dan partisipasi mereka dalam sebuah kelompok. Menurut kajian psikologi sosial, kognisi sosial dapat diartikan sebagai pemahaman mengenai diri di lingkungan, pemahaman mengenai lingkungan sosial yang ada di sekitar individu. Dalam kaitannya dengan pemahaman terhadap lingkungan sosial, individu diharapkan dapat menampilkan/memainkan peran yang 3 sesuai dengan harapan lingkungan sosialnya. Peran individu tersebut dapat berbedabeda dalam 1 seting sosial tertentu; dapat pula kompleks, dalam saat bersamaan bisa jadi berbagai peran menempel pada diri individu. Peran menuntut pemahaman, penguasaan diri dan lingkungan, rencana mengenai sikap dan perilaku yang hendak ditampilkan. Khusus pada remaja, pembahasan mengenai kognisi sosial biasanya dikaitkan dengan dua hal yakni adolescent egocentrism dan perspective taking. Perspective taking merupakan term yang sering dilekatkan pada saat pembahasan kognisi sosial. Perspective taking adalah kemampuan untuk memperkirakan perspektif orang lain (terhadap sesuatu hal) dan memahami pikiran dan perasaan orang lain (Lapsley&Murphy, 1985). Dengan tingginya perspective taking pada diri individu, artinya ia dapat memahami pikiran dan perasaan orang lain pada konteks tertentu, dan dengan pemahaman itu individu menyusun/merencanakan perilaku yang tepat sebagai respon terhadap pikiran, perasaan, dan perilaku orang lain yang ada di sekitarnya. Karenanya, dikaitkan dengan kognisi sosial sebagai pemahaman terhadap dunia sosial dan interaksi individu dengan lingkungannya, maka, individu yang memiliki pemahaman yang baik mengenai dunia sosialnya sudah pasti memiliki pemahaman yang baik mengenai pikiran dan perasaan orang lain di sekitarnya. Dengan pemahaman yang baik, ia dapat menampilkan respon perilaku yang tepat sesuai dengan yang diharapkan lingkungan. Persoalannya, apakah dengan mudah remaja dapat memahami dunia sosialnya, harapan-harapan lingkungannya jika ia sangat tertarik dengan dirinya sendiri dan berbagai perubahan yang terjadi dalam dirinya? Adolescent egocentrism adalah kesadaran remaja yang sangat tinggi terhadap dirinya sendiri; yang direfleksikan dalam keyakinan remaja bahwa orang lain (orang-orang di sekitar dirinya) memiliki ketertarikan terhadap diri remaja sama seperti ia tertarik dengan dirinya sendiri, serta ketertarikan terhadap keunikan sang remaja. David Elkind (1976) menjelaskan bahwa dalam kaitannya dengan social thinking, ada 2 pembagian egosentrisme remaja, yakni imagery audience dan personal fable. Remaja merasa ia selalu menjadi pusat perhatian orang-orang di sekitarnya, di manapun ia berada, bahwa orang-orang selalu memperhatikan segala perilakunya; mereka merasa bahwa dirinya adalah aktor/aktris di panggung, dan orang-orang lain adalah penonton/audiensnya. Inilah yang dikenal dengan imagery audience. Konsep personal fable mengacu pada keyakinan remaja akan keunikan diri mereka (personal uniqeness) yang membuat mereka merasa tidak ada yang dapat 4 memahami diri mereka, perasaan, dan pikiran mereka, selain diri mereka sendiri atau teman-teman sebaya yang cenderung memiliki pengalaman yang sama dengan mereka. Selain perasaan unik yang kuat melekat dalam diri remaja, remaja juga berpikiran bahwa ia akan terhindar dari marabahaya atau tragedi akibat perbuatan yang dilakukannya, meskipun ia melihat tragedi itu menimpa orang lain yang berperilaku sama dengan dirinya. Keyakinan diri ini dikenal dengan istilah invicibility. Banyaknya remaja yang menampilkan perilaku beresiko seperti kebut-kebutan di jalan raya, mencoba alkohol dan narkoba, berkelahi dan aksi kekerasan lainnya diyakini dilakukan oleh remaja karena ia berpikir tidak akan mendapatkan bahaya tertentu (misal over dosis, dipidana karena kasus kekerasan, kecelakaan dan cacat) akibat perbuatannya. V. Gaya berbusana remaja, Tugas perkembangan, dan Kognisi Sosial-nya Fenomena banyaknya remaja yang mengenakan hot pants ketika beraktivitas di pusat-pusat keramaian sejogianya dapat dijelaskan dengan pendekatan ilmu psikologi, khususnya mengaitkan antara ciri khas perkembangan kognisi sosial remaja dan tugas perkembangan yang harus dapat dipenuhinya. Jika dikaitkan dengan perkembangan kognisi sosial, remaja merupakan sosok yang selalu merasa dirinya menjadi pusat perhatian layaknya bintang di atas panggung. Keyakinan akan selalu menjadi pusat perhatian ini kiranya yang mendorong remaja untuk selalu berpenampilan menarik dan kecenderungan remaja untuk memberi perhatian mendetail terhadap model pakaian yang ia kenakan, warna yang serasi, aksesori yang menambah menarik perhatian mereka. Dengan demikian, layaknya seorang bintang, remaja memilih pakaian hot pants karena meyakini bahwa penampilan berbeda dengan orang lain di sekitarnya ini akan membuat mereka lebih menjadi pusat perhatian orang-orang di sekitarnya. Penampilan berbeda di sini jika dibandingkan dengan dengan tren berpakaian yang berlaku pada generasi muda umumnya, yakni pergi ke pusat keramaian dengan menggunakan celana jeans panjang dan kaos oblong berlengan. Dengan memilih penampilan berbeda, artinya mengikuti tren berpakaian terbaru, remaja merasa dirinya akan semakin menjadi pusat perhatian orang-orang di sekitarnya. Perlu pula diperhatikan bahwa adanya kecenderungan remaja untuk senantiasa mengikuti perilaku teman sebayanya. Karenanya perilaku mengenakan hot pants akan semakin menguat jika teman-teman sebayanya berperilaku sama atau memberikan reinforcement positif (seperti pujian) kepada sang remaja. 5 Pada remaja yang berpakaian hot pants, kognisi sosial yang berkembang agaknya lebih mengarah kepada egosentrisme remaja dan tidak disertai dengan berkembangnya pemahaman akan pikiran dan perasaan orang-orang lain di sekitar mereka. Artinya, kemampuan perspective taking remaja berkaitan dengan gaya berbusana yang tepat di lingkungan sosial kurang berkembang dengan baik. Kalau penulis perhatikan, tak jarang di pusat-pusat keramaian banyak sekali orang dewasa yang menggelengkan kepalanya melihat hot pants yang dikenakan oleh remaja. Atau orang dewasa yang tak berkedip memperhatikan penampilan sang remaja dari ujung rambut hingga ujung kakinya. Atau orang dewasa yang meneriaki atau menggoda sang remaja dengan kalimat-kalimat tertentu mengacu pada bagian tubuh yang tampak akibat dari hot pants yang dikenakan sang remaja. Dengan perkataan lain, berbagai respon yang ditampilkan oleh orang-orang di sekitar remaja, khususnya orang dewasa, menampilkan bahwa lingkungan sosial kurang mendukung gaya berbusana remaja yang mengenakan hot pants. Lingkungan, melalui berbagai cara, telah pula menampilkan umpan balik terhadap gaya berbusana sang remaja. Yang menjadi persoalan kemudian, mengapa remaja tidak dapat memahami perasaan dan pikiran orang lain di lingkungannya berkaitan dengan gaya berbusana mereka? Bagaimana dengan peran orangtua atau orang dewasa (seperti saudara kandung yang lebih tua) di sekitar remaja terhadap gaya berpakaian remaja? Mengacu pada tugas perkembangan remaja, sejogianya remaja sudah dapat memahami perkembangan fisik yang dialaminya, dan ia dapat menyesuaikan penampilannya di muka umum (di lingkungan sosial). Dengan perkataan lain, remaja yang dapat memenuhi tugas perkembangannya adalah remaja yang memahami kapan dan di mana ia berada, penampilan seperti apa yang diharapkan orang lain/lingkungannya akan dirinya. Misalnya, secara umum gaya berpakaian seperti apa yang masih dapat diterima oleh lingkungan sosial ketika remaja berada di pusat perbelanjaan atau mall. Selain itu tugas perkembangan lainnya berkaitan dengan pemahaman remaja akan nilai dan tanggung jawab, dalam hal ini mengacu pada pemahaman akan nilai pakaian yang sopan, dan perilaku berpakaian yang bertanggung jawab, yang tidak meresahkan atau membuat lingkungan lainnya menjadi tidak nyaman. Jika remaja yang berpakaian hot pants kurang berkembang perspective takingnya dan mengalami hambatan dalam pemenuhan beberapa tugas perkembangannya, siapa yang berperan membantu remaja untuk mengembangkan perspective taking dan memenuhi tugas perkembangannya? Apa yang perlu dilakukan? 6 Keluarga, teman sebaya, dan lingkungan sekolah adalah 3 lingkungan utama yang sangat mempengaruhi remaja dalam bertingkah laku. Ketiga lingkungan ini merupakan tempat remaja belajar mengenai aturan dan norma yang berlaku di masyarakat, belajar mengenai perilaku yang dapat diterima dan perilaku yang tidak dapat diterima oleh lingkungan sosial. Ketiga lingkungan ini pula yang akan mengajarkan kepada remaja bahwa ketika ia berperilaku A, lingkungan menyukai dirinya dan perilaku B tidak diharapkan oleh lingkungan. Dengan perilaku-perilaku itu kemudian remaja membentuk jati dirinya yang sesungguhnya. Pada fenomena berbusana atau gaya berpakaian, remaja lebih banyak mengeksplorasi dirinya. Ia mencoba berbagai gaya busana untuk kemudian menunggu respon yang ditampilkan oleh lingkungan. Kuatnya dorongan dalam diri remaja bahwa ia menarik dan layak diperhatikan oleh lingkungannya, menjadi indikasi bahwa perlu usaha untuk menyeimbangkan antara kebutuhan diperhatikan dengan perlunya memahami harapan lingkungan. Di sini, orang tua dan lingkungan keluarga, sebagai tempat anak mengenal, memahami, menerapkan nilai-nilai kehidupan memegang peranan penting. Sedianya, orangtua memberikan umpan balik terhadap gaya berbusana remaja dengan mengaitkannya terhadap harapan-harapan dari lingkungan sosial. Orangtua perlu terlebih dahulu mengenalkan arti berpakaian, peran yang dimiliki remaja (sebagai dirinya, sebagai anak, sebagai generasi muda, pelajar, dll), dan penilaian lingkungan terhadap dirinya dan gaya berpakaiannya, serta arti atau makna berada di tempat umum bersama orang lain. Orangtua perlu untuk mendengarkan gaya berbusana yang nyaman bagi sang remaja, arti model pakaian tertentu bagi dirinya dan kelompoknya, lalu berdiskusi bersama mengenai gaya berbusana yang tepat di berbagai seting atau tempat pertemuan. Remaja perlu dikenalkan dengan tugas-tugas perkembangannya dan diberikan contoh-contoh perilaku yang dapat dia tampilkan guna memenuhi tugas perkembangannya tersebut. Pendidikan dan relasi yang tepat antara orangtua dan anak adalah relasi yang menghargai satu sama lain, mencoba memahami kemauan, pikiran, perasaan remaja, relasi yang mau mendengarkan, relasi yang tidak banyak mengkritik dan menghakimi remaja, relasi dengan komunikasi yang terbuka, relasi yang membebaskan remaja untuk berpendapat dan berargumentasi. Remaja yang berpakaian hot pants bersama orangtuanya di tempat umum mungkin tidak memiliki pemahaman mengenai gaya berbusana yang lebih tepat karena orangtua tidak mengenalkan hal tersebut kepada dirinya. Karenanya berikanlah pendidikan yang cukup kepada putra-putri kita mulai dari lingkungan rumah tangga dan mulai dari saat ini juga. 7 Kepustakaan 1. Hurlock, Elizabeth. B. 1980. Developmental Psychology A life-Span Approach, fifth edition. New Delhi :Tata McGraw-Hill Publishing Company Ltd. 2. Santrock, John E. 2007. Adolescence.Eleventh edition. USA: Mc Graw Hill. 8