pengembangan integritas kepribadian anak berdasarkan kajian al

advertisement
PENGEMBANGAN INTEGRITAS KEPRIBADIAN ANAK
BERDASARKAN KAJIAN AL-QUR’AN SURAT AL-KAHFI
AYAT 60-82
Skripsi Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memenuhi Gelar Sarjan
Pendidikan Islam (S. Pd. I)
Oleh:
Rifqoh Zakiyah
NIM: 109011000267
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014
t
ABSTRAK
Rifqoh Zakiyah (109011000267). Pengembangan Integritas Kepribadian Anak
Berdasarkan Kajian Al-Qur’an Surat Al-Kahfi Ayat 60-82.
Al-Qur’an merupakan sumber ilmu pengetahuan, di dalamnya menjelaskan
berbagai aspek-aspek kehidupan termasuk mengenai pendidikan. setiap ayat yang
disebutkan di dalam Al-Qur’an mempunyai makna dan nilai-nilai yang berarti, dan
nilai-nilai yang terkandung adalah sebagai pembelajaran dan pendidikan bagi
kehidupan umat manusia. Al-Qur’an surat Al-Kahfi ayat 60-82 merupakan ayat AlQur’an yang di dalamnya menjelaskan hal-hal mengenai metode pendidikan.
Tujuan penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui metode pendidikan yang
terkandung dalam surat Al-Kahfi ayat 60-82 untuk mengembangkan integritas
kepribadian anak, sehingga dapat diimplementasikan dalam proses pendidikan.
Adapun metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode
deskriptif analisis, yaitu menganalisis masalah yang akan dibahas dengan cara
mengumpulkan data-data kepustakaan, pendapat para mufassir. Kemudian
mendeskripsikan pendapat para mufassir, selanjutnya membuat kesimpulan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode pendidikan yang terkandung dalam
Al-Qur’an surat Al-Kahfi ayat 60-82 untuk mengembangkan integritas kepribadian
anak meliputi Metode Inquiry Learning, Metode Uswah Hasanah, Metode Nasihat
dan Metode Hukuman.
i
ABSTRAC
Rifqoh Zakiyah (109011000267). Integrity Development of the Child Based
Personality Assessment Qur'an Surat Al-Kahf Verses 60-82.
The Qur'an is the source of knowledge, in which explain various aspects of
life including education about. any clause mentioned in the Qur'an have the meanings
and values are means, and the values that are contained as learning and education for
human life. Al Quran surah Al-Kahf verses 60-82 is a Qur'anic verse in which to
explain things about the methods of education.
The purpose of this study was intended to determine the educational methods
contained in surah Al-Kahf verses 60-82 to develop the integrity of the child's
personality, so it can be implemented in the educational process.
The method used in this paper is a descriptive method of analysis, which
analyzes the issues to be addressed by collecting data literature, opinions of the
commentators. Then describe the views of commentators, then make a conclusion.
The results showed that the method of education contained in the Qur'an Surat
al-Kahf verses 60-82 to develop the child's personality integrity includes Inquiry
Learning Method, Method Uswah Hasanah, Advice and Method Method punishment.
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah dengan tulus penulis persembahkan kehadirat Allah
SWT, karena atas segala limpahan nikmat yang tak terhitung jumlahnya penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Semoga
rahmat Allah senantiasa tercurahkan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW. sebagai suri tauladan yang sempurna bagi
seluruh ummat manusia.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis tidak dapat menyelesaikan tanpa bantuan
dan partisipasi dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis menyampaikan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ketua dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI), Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Bapak Dr. Anshori, LAL, MA., dosen pembimbing penulis, yang telah
mencurahkan waktu dan tenaganya dalam membimbing penulis
dengan
penuh kesabaran dan keihklasan, sampai penulisan skripsi ini dapat
terselesaikan.
4. Kedua orang tuaku tercinta dan tersayang, Ayahanda H. Jaya Saputra dan
Ummi Hj. Marfu’ah, yang selalu mendo’akan, mendukung, menasihati,
mengarahkan, mengorbankan waktu, tenaga dan biaya, sehingga penulis dapat
melaksanakan semua kegiatan mulai dari awal hingga akhir, mulai dari
perkuliahan sampai menyelesaikan skripsi ini.
iii
5. Teteh-tetehku tersayang, Laily Aliyah, Am. Keb., Nur Fauziah, S. Pi., Ita
Fadilah, S. Pd., serta adik-adiku tersayang, Ali Baidurus, Roudhotul
Mawaddah, senantiasa memberi semangat dan masukan kepada penulis.
6. Dosen-dosen penuh inspiratif dan pemberi motivasi.
7. Sahabat-sahabat the G PAI yang penuh kisah, suka duka, canda tawa, dan
senantiasa menyemangati dan memberi masukan untuk skripsi ini.
8. Serta kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu
dalam goresan ucapan terima kasih ini. Penulis ucapkan terima kasih, semoga
semangat keilmuan dan persahabatan kita senantiasa berjalan terus. Aamiin ya
robbal ‘aalamiin.
Penulis sadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu,
kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan
selanjutnya. Dan penulis juga berharap semoga skripsi ini bermanfaat untuk
menambah khazanah ilmu pengetahuan. Aamiin ya robbal ‘aalamiin.
Ciputat, 30 Januari 2014
Penulis
Rifqoh Zakiyah
iv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
ABSTRAK ......................................................................................
i
ABSTRAC ........................................................................................
ii
KATA PENGANTAR ................................................................................
iii
DAFTAR ISI ..................................................................................................
v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .......................................................................................
1
B. Identifikasi Masalah ................................................................................
8
C. Pembatasan Masalah ...............................................................................
8
D. Rumusan Masalah ..................................................................................
8
E. Tujuan Penelitian ....................................................................................
9
F. Manfaat Penelitian .................................................................................
9
BAB II KAJIAN TEORI
A. Acuan Teori
1. Metode Pendidikan ...........................................................................
10
a. Pengertian Metode ......................................................................
10
b. Pengertian Pendidikan ................................................................
10
c. Macam-macam Metode Pendidikan ...........................................
12
v
2. Al-Qur’an
a. Pengertian Al-Qur’an ..................................................................
16
b. Isi Kandungan Al-Qur’an............................................................
17
c. Fungsi Al-Qur’an ........................................................................
18
3. Mengembangkan Integritas Kepribadian Anak
a. Pengertian Mengembangkan .......................................................
19
b. Pengertian Integritas....................................................................
19
c. Kepribadian Anak .......................................................................
20
1) Pengertian Kepribadian Anak ...............................................
20
2) Faktor yang Mempengaruhi Kepribadian .............................
21
3) Tipe Kepribadian ..................................................................
21
4) Aspek-aspek Kepribadian .....................................................
24
5) Pengertian Anak ....................................................................
25
d. Pengertian Pengembangan Kepribadian Islam…………………
25
e. Pengembangan Kepribadian Islam Menurut Pendekatan Konten 26
f. Pengembangan Kepribadian Islam Menurut Rentang Kehidupan 27
B. Hasil Penelitian yang Relevan ................................................................
30
BAB III METODE PENELITIAN
A. Objek dan Waktu Penelitian ...................................................................
33
B. Metode Penulisan ...................................................................................
33
C. Fokus Penelitian ......................................................................................
34
D. Prosedur Penelitian..................................................................................
34
vi
BAB IV KAJIAN AL-QUR’AN SURAT AL-KAHFI AYAT 60-82
SEBAGAI PENGEMBANGAN INTEGRITAS
KEPRIBADIAN ANAK
A. Tafsir Al-Qur’an Surat Al-Kahfi Ayat 60-82
1. Teks Ayat dan Terjemahannya..........................................................
36
2. Pengertian Secara Umum .................................................................
39
3. Tafsir Ayat .......................................................................................
41
B. Metode Pendidikan yang Terkandung dalam Surat Al-Kahfi Ayat 60-82
1. Metode Inquiry Learning .................................................................
55
2. Metode Uswah Hasanah ..................................................................
61
3. Metode Nasihat .................................................................................
64
4. Metode Hukuman ..............................................................................
67
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................
70
B. Saran .......................................................................................................
72
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................
74
vii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di antara kemurahan Allah terhadap manusia, adalah bahwa Allah tidak
saja menganugerahkan fitrah yang suci yang dapat membimbing manusia
kepada kebaikan. Allah juga mengutus seorang Rasul dari masa ke masa yang
membawa kitab sebagai pedoman hidup, mengajak manusia agar beribadah
hanya kepada Allah semata.
Dikutip Abuddin Nata, Abd. Al-Wahhab Al-Khallaf mengemukakan
bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah SWT. yang diturunkan melalui
malaikat Jibril (Ruh al-Amin) kepada hati Rasulullah SAW., Muhammad bin
Abdullah senang mempergunakan bahasa Arab dan maknanya yang benar,
agar menjadi hujjah (dalil) bagi Muhammad SAW. sebagai Rasul, undangundang bagi kehidupan manusia, serta hidayah bagi orang yang berpedoman
kepadanya, menjadi sarana pendekatan diri kepada Allah dengan cara
membacanya. Ia tersusun di antara dua mushaf yang dimulai dengan surat alFatihah dan diakhiri surat al-Nas, yang disampaikan kepada kita secara
mutawatir baik dari segi tulisan maupun ucapannya, dari satu generasi ke
generasi lain, terpelihara dari berbagai perubahan dan pergantian.1
Said Agil Husain mengatakan, “Untuk memahami ajaran Islam secara
sempurna (kaffah), maka langkah pertama dilakukan adalah memahami
kandungan isi Al-Qur’an dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari
secara sungguh-sungguh dan konsisten”.2
Kehadiran Al-Qur’an yang demikian itu telah memberi pengaruh yang
luar biasa bagi lahirnya berbagai konsep yang diperlukan manusia dalam
berbagai bidang kehidupan. Kaum muslimin sendiri, dalam rangka
1
Abuddin Nata, Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005),
Cet. I, h. 1.
2
Said Agil Husin Al-Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta:
Ciputat Press, 2002), Cet. I, h. 3.
1
2
memahaminya, telah menghasilkan berton-ton kitab tafsir yang berupaya
menjelaskan makna pesannya. Dari sekian masalah yang menjadi fokus kajian
Al-Qur’an adalah pendidikan sebagaimana yang dikemukakan oleh Abuddin
Nata.3
Menurut Shalah al-Khalidy, kisah-kisah dalam Al-Qur’an membuktikan
kepada manusia bahwa apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. adalah
benar merupakan wahyu dari Allah bukan berdasarkan hawa nafsunya. Selain
itu juga memberikan pelajaran kepada manusia untuk mengikuti segala
kebaikan dan menjauhi segala keburukan yang terdapat dalam kisah-kisah itu.4
Dan salah satu manfaat kisah-kisah dalam Al-Qur’an menurut Abdul Jalal
adalah menanamkan nilai pendidikan, seperti pendidikan akhlak karimah dan
mengaplikasikannya. Kata keterangan kisah-kisah yang baik itu dapat meresap
dalam hati nurani dengan mudah dan baik, serta mendidik untuk meneladani
yang baik dan menghindari yang jelek.5
Dari berbagai macam kisah al-Qur’an, penulis tertarik pada kisah Nabi
Musa dan Khidir yang terdapat dalam surat Al-Kahfi ayat 60-82. Penulis
melihat bahwa kisah ini memiliki beberapa kandungan mengenai pendidikan,
di antaranya nilai pendidikan, tujuan dan metode pendidikan.
Pendidikan secara umum menurut Armai Arif adalah:
Pendidikan adalah usaha yang dilakukan seseorang atau sekelompok
orang dalam mempengaruhi orang lain yang bertujuan untuk
mendewasakan manusia seutuhnya, baik lahir maupun batin. Artinya
dengan pendidikan manusia bisa memiliki kesetabilan dalam tingkah laku
atau tindakan, kesetabilan dalam pandangan hidup dan kesetabilan dalam
nilai-nilai kehidupan dengan penuh rasa tanggung jawab.6
Pendidikan dapat mengembangkan seluruh aspek kepribadian. Pendidikan
tidak hanya berlangsung di dalam kelas, tetapi berlangsung pula di luar kelas.
Selain itu, pendidikan bukan hanya bersifat formal, tetapi mencakup pula yang
3
Nata. loc. cit
Shalah al-Khalidy, Kisah-kisah al-Qur’an Pelajaran dari Orang-orang Terdahulu, (Jakarta:
Gema InsaniPress, 2000), Cet. I, h. 5.
5
Abdul Jalal, Ulumul Qur’an, (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000), Cet. II, h. 303.
6
Armai Arif, Pembaharuan Pendidikan Islam di Minangkabau, (Ciputat: Suara ADI, 2009),
Cet, I, h. 33.
4
3
non formal. Maka metode yang diterapkan tidak hanya yang berkaitan dengan
kelas, namun dapat menerapkan metode-metode yang lebih mudah diterima
oleh murid.
Ada tiga term yang digunakan para ahli untuk menunjuk istilah
pendidikan Islam, yaitu Ta’lim, tarbiyah, dan Ta’dib. Namun, menurut Hamka
hanya ada dua istilah dari tiga istilah tersebut yaitu ta’lim (proses
pentransferan seperangkat pengetahuan) dan tarbiyah (mengasuh, bertanggung
jawab, memberi makanan, mengembangkan, memelihara, membesarkan,
menumbuhkan, memproduksi, dan menjinakannya).7
Di dalam Undang-undang nomor 2/1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, pasal 1, dijelaskan bahwa “Pendidikan adalah usaha sadar untuk
menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan/ atau
pelatihan bagi peranannya di masa yang akan datang”.8
Istilah pendidikan biasanya lebih diarahkan pada pembinaan watak,
moral, sikap atau kepribadian, atau lebih mengarah pada afektif. Selain itu
pendidikan juga diperluas cakupanya sebagai aktifitas dan fenomena
sebagaimana dikatakan oleh Muhaimin. Menurutnya, pendidikan sebagai
aktifitas berarti upaya yang secara sadar dirancang untuk membantu seseorang
atau sekelompok orang dalam mengembangkan pandangan hidup (bagaimana
orang akan menjalani dan memanfaatkan hidup dan kehidupannya), sikap
hidup, dan keterampilan hidup, baik yang bertifat manual (petunjuk praktis)
maupun mental dan sosial. Sedangkan pendidikan sebagai fenomena adalah
peristiwa perjumpaan antara dua orang atau lebih yang dampaknya ialah
berkembangnya suatu pandangan hidup, sikap hidup atau keterampilan hidup
pada salah satu atau beberapa pihak.9
Melihat pengertian pendidikan tersebut di atas, maka dapat dipahami
bahwa pendidikan adalah proses yang mempunyai tujuan, sasaran, dan objek.
7
Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentang
Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), Cet. I, h. 105.
8
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional, (Jakarta: CV. Eko Jaya, 1989), Cet. I. h. 3.
9
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), h. 37.
4
Pendidikan juga menuntut adanya langkah-langkah yang secara bertahap harus
dilalui oleh berbagai kegiatan pendidikan, dan kerja pendidik harus mengikuti
aturan penciptaan dan pengadaan yang dilakukan Allah SWT., sebagaimana
harus mengikuti Syara’ dan Din Allah SWT. dengan tujuan pembentukan
kepribadian yang utama.
Mendidik tidak hanya dari segi kognitif, tetapi harus pula dari segi afektif
dan psikomotorik. Terlebih untuk afektif sangat di perlukan seperti integritas
pada kepribadian murid. Seorang murid haruslah memiliki integritas sejak
dini. Supaya seorang murid tidak hanya cerdas secara kognitif, namun
memiliki integritas pada kepribadiannya.
Saat ini integritas kepribadian pada diri anak (murid) sudah sangat rendah.
Mereka sudah kurang menjunjung tinggi nilai kejujuran. Contoh kecilnya
adalah mencontek. Hal mencontek saat ini sudah mengakar pada seorang anak
(murid). Ketika merasa tak mampu untuk mengerjakan tugas dari guru,
mereka dengan mudahnya mencontek hasil kerja teman sekelasnya. Hal ini
tentu sangat memprihatinkan.
Setiap kegiatan yang dilakukan tentu ada tujuan yang ingin dicapai.
Tujuan adalah suatu yang diharapkan tercapai atau kegiatan dapat selesai
sesuai yang diinginkan. Sebagaimana dikutip Abuddin Nata, bahwa sebagian
para ahli mengatakan bahwa “Tujuan pendidikan Islam adalah membimbing
umat manusia agar menjadi hamba yang bertakwa kepada Allah yakni
melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya dengan penuh
kesadaran dan ketulusan ini”.10
Dalam UUSPN No. 20 tahun 2003 ditegaskan bahwa:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.11
10
Nata, op. cit., h. 166.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Pendidikan Nasional,
(Jakarta: Departemen Pendidikan Republik Indonesia, 2003), h. 8.
11
5
Dapat dismpulkan bahwa tujuan pendidikan adalah sasaran yang akan
dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang yang melaksanakan
pendidikan.
Dalam melaksanakan pendidikan Islam, peran pendidik sangat penting,
karena ia yang bertanggung jawab dan menentukan arah pendidikan tersebut.
Itulah sebabnya Islam sangat menghargai dan menghormati orang-orang yang
berilmu pengetahuan yang bertugas sebagai pendidik. Pendidik mempunyai
tugas yang mulia, sehingga Islam memandang pendidik mempunyai derajat
yang lebih tinggi dari pada orang-orang yang tidak mempunyai ilmu dan
orang-orang yang bukan sebagai pendidik. Penghormatan dan penghargaan
Islam terhadap orang-orang yang berilmu itu terbukti di dalam Al-Qur’an
dalam surat Al-Mujaadilah ayat 11.
           
             
      
Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapanglapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi
kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka
berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di
antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.
dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.(Q.S. Al-Mujadilah:11)
Berdasarkan firman Allah SWT., para ulama dan ahli pendidikan Islam
sejak dahulu sampai sekarang secara serius melaksanakan proses pendidikan
dalam upaya mengembangkan ilmu pengetahuan. Kesungguhan mereka itu
terbukti dengan banyak lahirnya kalangan intelektual yang menguasai
berbagai bidang ilmu pengetahuan. Teori dan pemikiran mereka tidak hanya
6
diakui oleh kalangan muslim saja, tetapi diakui dan dijadikan landasan oleh
kalangan non muslim serta masyarakat luas.
Di samping itu dalam upaya mengembangkan ilmu pengetahuan di
tengah-tengah masyarakat telah banyak berdiri lembaga-lembaga Islam yang
bergerak dalam dunia pendidikan. Hal ini terlihat dengan banyak berdirinya
sekolah-sekolah mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Islam
menginginkan manusia secara individu dan masyarakat untuk menjadi orangorang yang berpendidikan. Individu yang berpendidikan merupakan individu
yang berilmu, berketerampilan, berakhlak mulia, berkepribadian luhur,
berintegrasi, berinteraksi dan bekerjasama untuk memanfaatkan alam semesta
dan isinya untuk kesejahteraan umat manusia di bumi.
Melihat fungsi dan tujuan pendidikan nasional di atas, maka tenaga
pendidik (guru) mempunyai tanggung jawab yang besar dalam membina
manusia-manusia yang berkualitas, cerdas dan bertanggung jawab atas bangsa
dan agama, terutama tanggung jawab terhadap moral dan tingkah laku anak
didik. Dalam pendidikan Islam guru merupakan komponen yang sangat
penting karena guru merupakan subjek dalam proses pendidikan. Tanpa
adanya guru berarti tidak akan ada proses pendidikan.
Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003
Bab V pasal 12 ditegaskan: “Peserta didik berhak mendapatkan pendidikan
agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang
sama. Dan Mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat
dan kemampuannya, menjaga norma-norma pendidikan untuk menjamin
keberlangsungan proses dan keberhasilan pendidikan”.12
Untuk mencapai tujuan yang di inginkan, dalam mendidik dan
menyampaikan materi seorang guru tentu memerlukan metode yang baik dan
tepat sehingga akan terlaksana secara optimal. Namun, para guru umumnya
menggunakan metode ceramah. Yang mana para murid merasa bosan dan
tidak tertarik terhadap pelajaran yang sedang dibahas. Oleh sebab itu saat ini
banyak sekali jenis-jenis metode yang mulai inovatif dan kreatif. Hal itu demi
12
Ibid., h. 12.
7
tersampaikannya pelajaran dan pendidikan kepada para murid dengan efektif
dan menyenangkan.
Dari pemaparan di atas terlihat bahwa salah satu permasalahan penting
dalam dunia pendidikan adalah metode pendidikan. Di mana metode
pendidikan ini sangat berpengaruh sekali dalam membentuk pribadi murid,
hendaknya seorang guru memberikan metode pendidikan yang dapat
mengarahkan murid untuk mengetahui pelajaran dari hasil istinbat agar murid
mempelajari ilmu secara runtut setahap demi setahap.
Metode pendidikan sangat penting untuk mencapai tujuan atau sasaran
yang diinginkan. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam
mengenai metode pendidikan yang dapat mengembangkan integritas pada
pribadi anak (murid).
Menurut Armai Arief:
Beberapa manfaat dari pemakaian metodologi pendidikan Islam yaitu:
1. Sebagai alat yang diperlukan dengan cara yang sebaik-baiknya untuk
memperoleh hasil yang sebaik-baiknya pula.
2. Untuk mengetahui sifat dan ciri khusus dari macam-macam mata
pelajaran, hakikat anak didik dan lain-lain. Dengan demikian akan
diketahui metode dengan sifat khusus dari suatu mata pelajaran
sekaligus perkembangan dan kemampuan anak didik.
3. Sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan pilihan metode
mengajar: a). latar belakang sosial siswa dan lingkungan keluarga,
b). penggunaan waktu seefektif mungkin dengan materi yang ada
sehingga dapat disesuaikan dan memadai, c). sebagai strategi
persiapan guru dalam mengajar di tingkat pendidikan yang berbedabeda.
4. Mempermudah pengajaran dalam menanamkan ideologi yang
mantap hingga tidak hilang kepercayaan murid terhadap nila-nilai
yang tersimpan dalam Al-Qur’an.
5. Memperjelas materi keagamaan bagi murid, baik yang bersifat
logika, maupun yang estetika sehingga pengetahuan murid dapat
terbentuk dalam satu pemahaman yang sama dan tidak menyimpang
dari pokok dasarnya (Al-Qu’ran dan Sunnah).13
Begitu pentingnya metode pendidikan dalam proses pembelajaran, Allah
SWT memberikan gambaran dalam bentuk kisah yang hidup. Salah satu kisah
13
Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta : Ciputat Press,
2002), Cet. I, h. 96.
8
yang menggambarkan akan hal tersebut adalah surat Al-Kahfi ayat 60–82.
Atas dasar permasalahan tersebut, maka surat Al-Kahfi ayat 60–82 tersebut
perlu digali dan diteliti lebih dalam dengan mengutip beberapa penafsiran
untuk dapat pemahaman tentang peranan pendidik dalam membimbing anak
didiknya sehingga tujuan pendidikan dapat tercapai.
Sebelumnya penulis menemukan judul skripsi yang sama dengan penulis
lain yaitu mengkaji Al-Qur’an surat Al-Kahfi ayat 60-82. Namun, penulis
memiliki perbedaan dari kajian surat tersebut. Penulis lebih mendalami dan
mengkaji mengenai metode pendidikan yang terdapat dalam Al-Qur’an surat
Al-Kahfi ayat 60-82 untuk mengembangkan integritas kepribadian anak.
Dengan demikian penulis akan mengkaji dan meneliti lebih dalam mengenai
skripsi ini dengan memberi judul:
“Pengembangan Integritas Kepribadian Anak Berdasarkan Kajian AlQur’an Surat AL-Kahfi Ayat 60-82”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan judul skripsi di atas dapat ditarik identifikasi permasalahan
sebagai berikut:
1. Pengembangan integritas kepribadian PAI belum sepenuhnya didasarkan
pada kajian ayat Al-Qur’an.
2. Pendidikan masih mengutamakan ranah kognitif.
3. Metode pendidikan yang belum tepat dalam proses belajar mengajar.
C. Batasan Masalah
Berdasarkan
identifikasi
masalah
tersebut
sekaligus
guna
lebih
memfokuskan kajian ini, maka penulis membatasi masalah pada:
Pengembangan integritas kepribadian PAI belum sepenuhnya didasarkan pada
kajian ayat Al-Qur’an.
9
D. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengembangan integritas kepribadian anak dalam surat AlKahfi ayat 60-82?
2. Apa saja metode pendidikan yang dapat mengembangkan integritas
kepribadian anak dalam surat Al-Kahfi ayat 60-82?
3. Hikmah apa saja yang terkandung dalam surat Al-Kahfi ayat 60-82?
E. Tujuan Penelitian
Tujuan diadakannya penelitian ini adalah:
1. Mengetahui cara untuk mengembangkan integritas kepribadian anak dalam
surat Al-Kahfi ayat 60-82.
2. Mengetahui metode pendidikan yang terkandung di dalam Al-Qur’an surat
Al-Kahfi ayat 60-82.
3. Mengetahui hikmah yang terkandung dalam surat Al-Kahfi ayat 60-82.
F. Manfaat Penelitian
Beberapa manfaat penelitian adalah sebagai berikut:
1. Menambah khazanah ilmu pengetahuan dan wawasan bagi penulis.
2. Dapat memberikan kontribusi dalam penulisan karya ilmiah, khususnya
bidang pendidikan.
3. Penelitian ini merupakan langkah awal dan dapat ditindak lanjuti oleh
penulis berikutnya.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Acuan Teori
1. Metode Pendidikan
a. Pengertian Metode
Al-Rasydin mengatakan, “Secara iteral metode berasal dari bahasa Greek
yang terdiri dari dua kosa kata, yaitu meta yang berarti melalui dan hodos
yang berarti jalan. Jadi metode berarti jalan yang dilalui”. 1 Dikutip AlRasydin,
Mohammad Noor mengatakan bahwa secara teknis metode
memiliki tiga pengertian yaitu:
1) Suatu prosedur yang dipakai untuk mencapai suatu tujuan.
2) Suatu teknik mengetahui yang dipakai dalam proses mencari ilmu
pengetahuan dari suatu materi tertentu.
3) Suatu ilmu yang merumuskan aturan-aturan dari suatu prosedur.2
b. Pengertian Pendidikan
Menurut Al-Rasydin, “Istilah pendidikan dalam konteks Islam pada
umumnya mengacu kepada term al-tarbiyah, al-ta’dib, dan al-ta’lim. Dari
ketiga istilah tersebut term yang popular digunakan dalam praktek pendidikan
Islam ialah term al-tarbiyah”.3
Berikut ini beberapa pendapat yang penulis kutip dari berbagai sumber,
yang menjelaskan arti ketiga term tersebut.
1) Al-Tarbiyah
Kata al-tarbiyah yang berasal dari kata rabb ini menurut Al-Raghib alAsfahany dalam bukunya Abuddin Nata, adalah “Menumbuhkan atau
1
Al-Rasydin dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis, Teoritis dan
Praktis, (Ciputat: PT. Ciputat Press, 2005), cet. II, h. 65-66.
2
Ibid., h. 66.
3
Ibid., h. 25.
10
11
membina sesuatu setahap demi setahap hingga mencapai batas yang
sempurna”.4
2) Ta’dib
Menurut Al-Rasydin al-ta’dib berarti pengenalan dan pengakuan yang
secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam diri manusia (peserta didik)
tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan
penciptaan.5
3) Al-Ta’lim
Menurut Syamsul Nizar, al-ta’lim hanya sebatas proses pentransferan
seperangkat nilai yang ditransfer secara kognitif dan psikomotorik, akan tetapi
tidak dituntut pada domain afektif.6
Para ahli memiliki pendapat yang berbeda dalam mengartikan
pendidikan, yaitu sebagai berikut:
a) Menurut Muhaimin, pengertian pendidikan memiliki arti yang luas
cakupannya. Yaitu sebagai aktifitas dan fenomena. Pendidikan sebagai
aktifitas artinya upaya yang secara sadar dirancang untuk membantu
seseorang atau sekelompok orang dalam mengembangkan pandangan
hidup (bagaimana orang akan menjalani dan memanfaatkan hidup dan
kehidupannya), sikap hidup, dan keterampilan hidup, baik yang
bertifat manual (petunjk praktis) maupun mental dan sosial.
Sedangkan pendidikan sebagai fenomena adalah peristiwa perjumpaan
antara dua orang atau lebih yang dampaknya ialah berkembangnya
suatu pandangan hidup, sikap hidup atau keterampilan hidup pada
salah satu atau beberapa pihak.7
4
Abuddin Nata, Pendidikan dalam Perspektif Al-qur’an, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), Cet. I,
h. 90.
5
Al-Rasydin dan Syamsul Nizar, op. cit., h. 30.
6
Syamsul Nizar, Pemikiran Pendidikan Islam. (Ciputat: Gaya Media Pratama, 2001), Cet. I, h. 86.
7
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), h. 37.
12
b) Hasbullah mengartikan pendidikan sebagai usaha manusia untuk
membina
masyarakat
kepribadiannya
sesuai
dengan
nilai-nilai
di
dalam
dan kebudayaan. Dalam perkembangannya istilah
pendidikan diartikan sebagai bimbingan atau pertolongan yang
diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa.8
c) Ahmad Tafsir mengatakan definisi pendidikan yang mungkin
dirumuskan dalam arti sempit menurut lodge adalah pendidikan
sekolah, yaitu pendidikan formal.9
d) Dikutip Abuddin Nata, bahwa Ki Hajar Dewantara mengartikan
pendidikan sebagai usaha yang dilakukan dengan penuh keinsyafan
yang ditujukan untuk keselamatan dan kebahagiaan manusia.10
c. Macam-Macam Metode Pendidikan
Metode pendidikan tentunya sangat penting dalam proses pencapaian
tujuan pendidikan. Sehingga saat ini banyak sekali metode yang dapat
digunakan dan membatu dalam proses pendidikan. Menurut Hafni Ladjid
metode pendidikan memilki beberapa macam, yaitu:
1) Metode Ceramah
2) Metode Tanya Jawab
3) Metode Diskusi
4) Metode Pemberian Tugas
5) Percobaan/Eksperimen
6) Metode Karyawisata
7) Bermain Peran dan Sosiodrama
8) Metode Demonstrasi/Peragaan.11
8
Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu pendidikan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), h. 1.
Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007),
Cet. XI, h. 6.
10
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Ciputat: Gaya Media Pratama, 2005), Cet. I. h. 10.
11
H. Hafni Ladjid, Pengembangangan Kurikulum Menuju Kurikulum Berbasis Kompetensi,
(Ciputat: Quantum Teaching , 2005), Cet. I, h. 121-127.
9
13
Berikut penjelasan dari para ahli mengenai metode pendidikan yaitu:
a) Metode Ceramah
Menurut Zakiah Daradjat, metode ceramah yaitu guru memberikan uraian
atau penjelasan kepada sejumlah murid pada waktu tertentu (waktunya terba)
dan waktu tertentu. Dilaksanakan dengan bahasa lisan untuk memberikan
pengertian terhadap sesuatu masalah. Metode tersebut disebut juga dengan
metode kuliah, sebab ada persamaan guru mengajar dengan seorang
dosen/mahaguru memeberikan kuliah kepada mahasiswanya.12
b) Metode Tanya Jawab
Menurut Hafni Ladjid, “Metode Tanya jawab adalah suatu cara mengajar
melalui pengajuan pertanyaan-pertanyaan yang mengarahkan siswa untuk
memahami materi tersebut”.13
c) Metode Diskusi
Dikutip dari Suwito, Ibnu Sina mengatakan, murid dihadapkan kepada
suatu masalah berupa pertanyaan untuk dibahas dan dipecahkan bersama
melalui diskusi, diharapkan murid bersikap rasional dan teoritis.
d) Metode Pemberian Tugas
Zakiah Daradjat menjelaskan bahwa “Yang dimaksud dengan metode ini
adalah suatu cara dalam proses belajar-mengajar bilamana guru memberi
tugas tertentu dan murid mengerjakannya, kemudian tugas tersebut
dipertanggung jawabkan kepada guru”.14 Sedangkan menurut Hafni Ladjid,
“Metode pemberian tugas adalah cara mengajar melalui penugasan siswa
untuk melakukan suatu pekerjaan”.15
12
Zakiah Daradjat, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), Cet.
IV, h. 289.
13
Ladjid, op., cit, h. 122.
14
Daradjat, op., cit, h. 298.
15
Ladjid, op., cit, h. 124.
14
e) Percobaan/Eksperimen
Menurut sagala, eksperimen yaitu cara penyajian bahan pelajaran di mana
peserta didik melakukan percobaan dengan mengalami untuk membuktikan
sendiri suatu pertanyaan atau hipotesis yang dipelajari.16
f) Metode Karya Wisata
Pelaksanaan metode ini menurut Hafni Ladjid membutuhkan waktu
cukup lama, sehingga biasanya dilakukan pada waktu khusus, misalnya saat
liburan. Prinsip-prinsip Hafni metode karya wisata adalah sebagai berikut:
1) Siswa dibawa langsung ke objek untuk dapat mengamati secara
langsung.
2) Ruang lingkup sebaiknya sudah ditentukan dan dapat diperluas
sehingga efektif dan efisien.
3) Mengembangkan berbagai macam keterampilan dan penerapan
pengetahuan yang diperoleh (mengamati, menghitung, mengukur,
mengklasifikasi, mencari hubungan satu dengan yang lain).
4) Terencana dan berorientasi pada tujuan.17
g) Metode Peran atau Sosiodrama
Menurut Hafni Ladjid, “Peran dilakukan oleh siswa dalam rangka
menghayati materi yang sedang dipelajari. Dengan bermain peran siswa dapat
mengembangkan imajinasi dan penghayatan atas peran tokoh yang
dilakukannya”.18 Untuk metode sosiodrama, menurut Hafni sebenarnya mirip
dengan metode bermain peran. Perbedaannya adalah:
1) Tema lebih luas dan perlu lakon/skenario secara garis besar.
2) Pameran dipersiapkan lebih matang (latihan) dan seiring dengan
peralatan khusus.
16
Syaiful Sagala, Konsep dan Makna Pembelajaran, (Bandung: CV Alfabeta, 2006), Cet. IV, h.
201.
17
18
Ladjid, op., cit, h. 125-126.
Ibid., h. 126.
15
3) Waktu yang diperlukan relatif lebih panjang.19
h) Metode Demonstrasi/Peragaan
Metode ini digunakan dalam cara mengajar menulis. Guru mencontohkan
di papan tulis dengan mengucapkan huruf yang ditulisnya dan murid
mengikutinya.
Sedangkan menurut
Abuddin Nata,
dalam
penyampaian materi
pendidikan, Al-Qur’an menawarkan beberapa pendekatan dan metode, antara
lain:
1) Metode Teladan
Dalam Al-Qur’an kata teladan diproyeksikan dengan kata uswah yang
kemudian diberi sifat di belakangnya seperti hasanah yang berarti baik.
Sehingga terdapat ungkapan uswatun hasanah yang artinya teladan yang baik.
Kata-kata uswah ini di dalam al-Qur’an diulang sebanyak enam kali dengan
mengambil sampel pada diri Nabi, yaitu Nabi Muhammad SAW., Nabi
Ibrahim, dan kaum yang beriman teguh kepada Allah SWT.
2) Metode Kisah-kisah
Dikutip Abuddin Nata, Quraish Shihab mengatakan bahwa dalam
mengemukakan kisah-kisah Al-Qur’an tidak segan-segan untuk menceritakan
“kelemahan manusian”. Namun, hal tersebut menurutnya digambarkannya
sebagaimana adanya, tanpa menonjolkan segi-segi yang dapat mengandung
tepuk tangan atau rangsangan. Kisah tersebut biasanya diakhiri dengan
menggaris bawahi akibat kelemahan itu, atau dengan melukiskan saat
kesadaran manusia dan kemenangannya mengalahkan kelemahan tadi.
3) Metode Nasihat
Al-Qur’an al-Karim juga menggunakan kalimat-kalimat yang menyentuh
hati untuk mengarahkan manusia kepada ide yang dikehendakinya. Inilah
yang dikenal dengan nasihat.
19
Ibid., h. 127.
16
4) Metode Pembiasaan
Cara lain yang digunakan oleh Al-Qur’an dalam memberikan materi
pendidikan adalah melalui kebiasaan yang dilakukan secara bertahap. Dalam
hal ini termasuk merubah kebiasaan-kebiasaan yang negatif. Kebiasaan yang
ditempatkan oleh manusia sebagai suatu yang istimewa.
5) Metode Hukuman dan Ganjaran
Dikutip Abuddin Nata, Muhammad Quthb mengatakan, bila teladan dan
nasihat tidak mampu, maka pada waktu itu harus diadakan tindakan tegas
yang dapat meletakkan persoalan ditempat yang benar. Tindakan tegas itu
adalah hukuman.
6) Metode ceramah (Khutbah)
Ceramah atau khutbah termasuk cara yang paling banyak digunakan
dalam menyampaikan atau mengajak orang lain mengikuti ajaran yang telah
ditentukan. Metode ceeramah ini dekat dengan kata tabligh yaitu
menyampaikan suatu ajaran.
7) Metode Diskusi
Metode diskusi juga diperhatikan oleh Al-Qur’an dalam mendidik dan
mengajar manusia dengan tujuan lebih memantapkan pengertian dan sikap
pengetahuan mereka terhadap suatu masalah.20
2. Al-Qur’an
a. Pengertian Al-Qur’an
Menurut Quraish Shihab, “Al-Qur’an yang secara harfiah berarti “Bacaan
sempurna” merupakan suatu nama pilihan Allah yang sungguh tepat, karena
tiada satu bacaan pun sejak manusia mengenal tulis-baca lima ribu tahun yang
lalu yang dapat menandingi Al-Qur’an Al-Karim, bacaan sempurna lagi mulia
itu”.21
20
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama,2005), Cet. I, h. 147-
159.
21
Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1997), Cet. VI, h. 3.
17
Menurut Ali Ash-Shabuni “Al-Qur’an adalah Kalam Allah yang bernilai
mukjizat, yang diturunkan kepada “pungkasan” para nabi dan Rasul, dengan
perantaraan malaikat Jibril a.s. yang tertulis pada mashahif.22
Menurut Kahar
Masyhur,
qoro’a-yaqro’u-qur’anan
yang artinya
membaca. Sedangkan dalam ilmu Ushul Fikih adalah Kalam Allah yang
diturunkan-Nya kepada Nabi Muhammad SAW., dibaca dan dikenal orang
banyak.23
Umar Shihab mengatakan maf’ul bahwa, “Al-Qur’an adalah kitab suci
terakhir yang diturunkan oleh Allah kepada umat manusia melalui Nabi
Muhammad SAW untuk dijadikan sebagai pedoman hidup”.24
b. Isi Kandungan Al-Qur’an
Menurut Muhammad Chirzin secara umum kandungan Al-Qur’an yaitu
menyangkut jalan hidup yang harus ditempuh manusia. Pertama, dalam hidup
manusia berusaha meraih kebahagiaan, ketenangan dan cita-citanya. Kedua,
perbuatan-perbuatan yang dilakukan manusia senantiasa berada dalam suatu
kerangka peraturan dan hukum
tertentu. Ketiga, jalan hidup terbaik dan
terkuat manusia adalah jalan hidup berdasarkan fitrah, bukan berdasarkan
emosi-emosi dan dorongan-dorongan individual maupun sosial semua
mengikuti sunnah dan kaidah yang ditentukan Allah SWT.25
Mohammad Daud Ali mengatakan “Al-Qur’an mengandung ajaran
tentang kehidupan manusia, sejarah dan eksistensinya serta arti dari keduanya.
Al-Qur’an mengandung segala pelajaran yang diperlukan manusia untuk
22
Syekh Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis, terjemahan At-Tibyan fi
Ulumil Qur’an, penerjemah: Muhammad Qodirun Nur, (Jakarta: Pustaka Amani, 2001), Cet. I. h. 3.
23
Kahar Masyhur, Pokok-Pokok Ulumul Qur’an, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992), Cet.I, h 1-2.
24
Umar Shihab, Kontekstual Al-Qur’an; Kajian Tematik Atas Ayat-ayat Hukum dalam Al-Qur’an,
(Jakarta: Penamadani, 2005), Cet. III, h. xix.
25
Muhammad Chirzin, op. cit., h. 4.
18
mengetahui siapa dirinya, dari mana ia berasal, di mana ia berada sekarang, ke
mana ia akan pergi dan kepada siapa ia akan kembali”.26
Pendapat lain dari Sayyed Husain Nasr:
Bahwa al-Qur’an mengandung tiga jenis petunjuk bagi manusia.
Pertama, doktrin yang memberi pengetahuan tentang struktur kenyatan
dan posisi manusia di dalamnya. Doktrin itu berisi petunjuk moral dan
hukum yang menjadi dasar syari’at yang mengatur kehidupan manusia
sehari-hari. Kedua, petunjuk yang menyerupai ringkasan sejarah manusia,
rakyat biasa, raja-raja, orang-orang suci dan para Nabi sepanjang zaman
dan segala cobaan yang menimpa mereka. Ketiga, al-Qur’an berisi sesuatu
yang sulit dijelaskan dalam bahasa modern. Sesuatu itu didapat disebut
“magi” yang agung, bukan dalam arti harfiah, melainkan dalam arti
metafisis.27
c. Fungsi Al-Qur’an
Menurut Abuddin Nata, “Al-Qur’an berfungsi sebagai dalil atau petunjuk
atas kerasulan Muhammad SAW., pedoman hidup bagi umat manusia,
menjadi ibadah bagi yang membacanya, serta pedoman dan sumber petunjuk
dalam kehidupan”.28
Quraish Shihab mengatakan bahwa “Al-Qur’an memperkenalkan dirinya
sebagai hu-danli al-nas (petunjuk untuk seluruh manusia). Inilah fungsi utama
kehadira Al-Qur’an. Dalam rangka penjelasan tentang fungsi Al-Qur’an ini,
Allah menegaskan bahwa kitab suci diturunkan untuk memberi putusan (jalan
keluar) terbaik bagi problem-problem kehidupan manusia”.29
26
Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008), h.
103-104.
27
Sayyed Husain Nasr, Islam Dalam Cita dan Fakta, terjemah Abdurrahman Walid dan Hasyim
Wahid, (Jakarta: Leppenas, 1983), h. 27.
28
Abuddin Nata, dkk., Al-Qur’an dan Hadits, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000), Cet. VII. h
57.
29
M. Quraish Shihab, Lentera Al-Qur’an Kisah dan Hikmah Kehidupan, (Bandung: PT. Mizan
Pustaka, 2008), Cet. I, h. 26.
19
1. Pengembangan Integritas Kepribadian Anak
a. Pengertian Pengembangan
Perkembangan merupakan suatu perubahan, dan perubahan ini tidak
bersifat kuantitatif, melainkan kualitatif. Perkembangan tidak ditekankan pada
segi materil, melainkan pada fungsi fungsional.
Dari uraian ini,
perkembangan dapat diartikan sebagai perubahan kualitatif dari pada fungsifungsi.30
Perubahan sesuatu fungsi adalah disebabkan oleh adanya proses
pertumbuhan materil yang memungkinkan adanya fungsi itu, dan di samping
itu, disebabkan oleh karena perubahan tingkah laku hasil belajar.31
Perkembangan sangat dipengaruhi oleh proses dan hasil dari belajar.
Dengan belajar, orang memperoleh pengalaman. Pengalaman belajar meliputi
aspek-aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Belajar merupakan
kegiatan
yang
dinamis,
karena
itu,
wajarlah
bahwa
pengetahuan,
keterampilan, dan sikap seseorang menjadi berkembang. Perkembangan
pengetahuan, keterampilan dan sikap seseorang ini akan menentukan tingkat
kedewasaan seseorang. Tingkat-tingkat kedewasaan seseorang merupakan
indikator penting bagi perkembangan orang itu, baik secara jasmaniah
maupun rohaniah/kejiwaan.32
b. Pengertian Integritas
Secara etimologi, integritas berasal dari bahasa Latin, integer, yang
artinya keseluruhan.integritas dapat diartikan dengan ukuran cinta dan rasa
kasih sayang seorang individu terhadap cita-cita, gagasan, dan keinginan.
30
Wasty Soemanto, Psikologi Pendidikan; Landasan Kerja Pemimpin pendidikan, (Jakarta:Rineka
Cipta, 2006), Cet. V, h. 57.
31
Ibid., h. 57-56.
32
Ibid., h. 59-60.
20
Integritas juga didefinisikan sebagai suatu hal yang berkaitan dengan
kepercayaan dan kejujuran seseorang.33
Integritas merupakan bagian dari kepribadian integritas adalah kesetiaan
pada prinsip yang dianut. Integritas adalah bersikap jujur, konsisten,
komitmen, berani, dan dapat dipercaya. Sikap ini muncul dari kesadaran
terdalam pada diri seseorangyang bersumber dari suara hati. Integritas tidak
menipu dan tidak berbohong integritas tidak memerlukan publikasi dan
popularitas.34
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, integritas didefinisikan sebagai
kebulatan atau keutuhan.35
c. Kepribadian Anak
1) Pengertian Kepribadian
Menurut Sjarkawi, “Kepribadian adalah ciri atau karakteristik atau
gaya atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukanbentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya, keluarga pada masa
kecil, dan juga bawaan seseorang sejak lahir”.36
Rafi
Sapuri
mendefinisikan
kepribadian,
“Secara
etimologi
kepribadian berasal dari bahasa Latin, yaitu kata persona yang berarti
topeng. Pada awalnya kata topeng ini digunakan oleh para pemain
sandiwara. Kemudian lambat laun kata ini menjadi suatu istilah yang
mengacu pada gambaran sosial yang dimiliki seseorang”.37
33
Eko B Supriyanto, Budaya Kerja Perbankan Jalan Lurus Menuju Integritas, (Jakarta: Pustaka
LP3ES Indonesia, 2006), cet. I, h 36.
34
Ibid., h. 32.
35
J.S. Badudu dan Sutan Mohammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1996), Cet. II, h. 535.
36
Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak; Peran Moral, Intelektual, Emosional, dan Sosial
Sebagai Wujud Interitas Membangun Jati Diri, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008), Cet. II, h. 11.
37
Rafy Sapuri, Psikologi Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), h. 149.
21
2) Faktor yang Mempengaruhi Kepribadian
Menurut
Sjarkawi
faktor-faktor
yang
dapat
mempengaruhi
kepribadian seseorang dapat dikelompokkan dalam dua faktor, yaitu:
a) Faktor Internal
Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri orang
itu sendiri. Faktor internal ini biasanya merupakan faktor genetis
atau bawaan faktor genetis maksudnya adalah faktor yang berupa
bawaan sejak lahir dan merupakan keturunan dari salah satu sifat
yang dimiliki satu dari kedua orang tuanya atau bisa jadi
gabungan atau kombinasi dari sifat kedua orang tuanya.
b) Faktor eksternal
Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar orang
tersebut. Faktor eksternal ini biasanya merupakan pengaruh yang
berasal dari lingkungan seseorang mulai dari lingkungan
terkecilnya, yakni keluarga, teman, tetangga, sampai dengan
pengaruh dari berbagai media audiovisual seperti TV dan VCD,
atau media cetak seperti Koran, majalah, dan lain sebagainya.38
3) Tipe Gaya Kepribadian
Dikutip Sjarkawi, Gregory membagi tipe gaya kepribadian menjadi
12 tipe, di antaranya:
a) Kepribadian yang mudah menyesuaikan diri
Seorang dengan gaya kepribadian yang mudah menyesuaikan diri
adalah orang yang memandang hidup ini sebagai perayaan dan setiap
harinya sebagai pesta yang berpindah-pindah. Orang tersebut sadar
tentang penyesuaian diri dengan orang lain, komunikatif dan
bertanggung jawab, ramah, santun, dan memerhatikan perasaan orang
38
Sjarkawi, op. cit., h. 19.
22
lain, jarang sangat agresif dan juga jarang kompetitif secara
destruktif.39
b) Kepribadian yang berambisi
Seseorang dengan gaya kepribadian yang berambisi adalah orang
yang memang benar-benar penuh ambisi terhadap semua hal. Dia
menyambut baik tantangan dan berkompetisi dengan senang hati dan
sengaja.40
c) Kepribadian yang mempengaruhi
Seseorang dengan gaya kepribadian yang mempengaruhi adalah
orang yang terorganisasi dan berpengatuhan cukup yang memancarkan
kepercayaan, dedikasi dan berdikari.41
d) Kepribadian yang berprestasi
Seseorang dengan gaya kepribadian berprestasi adalah orang yang
menghendaki kesempatan untuk bermain dengan baik dan cemerlang,
jika mungkin untuk mempesonakan yang lain agar mendapatkan
sambutan baik, kasih saying, dan tepuk tangan orang lain, dalam hal
ini berarti menerima kehormatan.42
e) Kepribadian yang Idealistis
Seseorang dengan gaya kepribadian yang idealistis adalah orang
yang melihat hidup ini dengan dua cara, yakni hidup sebagaimana
nyata
adanya
kepercayaan.43
39
Ibid., h. 13.
Ibid., h. 14.
41
Ibid.
42
Ibid.
43
Ibid., h. 15
40
dan
hidup
sebagaimana
seharusnya
menurut
23
f) Kepribadian yang Sabar
Seseorang dengan gaya kepribadian yang sabar adalah orang yang
hampir tak pernah berputus asa, ramah tamah, dan rendah hati. Dia
jarang tinggi hati dan kasar.44
g) Kepribadian yang Mendahului
Seseorang dengan gaya kepribadian yang mendahului adalah
orang yang menjunjung tinggi kualitas.45
h) Kepribadian Perseptif
Seseorang dengan gaya kepribadian perseptif adalah orang yang
cepat tanggap terhadap rasa sakit dan kekurangan, bukan hanya yang
di dalamnya sendiri, tetapi juga yang dialami orang lain, meskipun
orang itu asing baginya. Kepribadian ini biasanya adalah orang yang
bersahaja, jujur dan menyenangkan, ramah tamah dan tanggap, setia
dan adil, seorang teman sejati dan persahabatannya tahan lama.46
i) Kepribadian yang Peka
Seseorang dengan gaya kepribadian yang peka adalah orang yang
suka termenung, berintrospeksi, dan sangat peka terhadap suasana jiwa
dan sifat-sifatnya sendiri, perasaan, dan pikirannya.47
j) Kepribadian yang Berketetapan
Seseorang dengan gaya kepribadian yang berketetapan adalah
orang yang menekankan pada tiga hal sebagai landasan dari gaya
kepribadiannya, yaitu kebenaran, tanggung jawab, dan kehormatan.48
k) Kepribadian yang Ulet
Seseorang dengan gaya kepribadian yang ulet adalah orang yang
memandang hidup sebagai perjalanan, atau suatu ziarah.49
44
Ibid.
Ibid.
46
Ibid.
47
Ibid., h. 16.
48
Ibid.
45
24
l) Kepribadian yang Berhati-hati
Seseorang dengan gaya kepribadian yang berhati-hati adalah
orang yang terorganisasi, teliti, berhati-hati, tuntas, dan senantiasa
mencoba menunaikan kewajibannya secara sosial dalam pekerjaan
sebagai warga negara atau yang ada hubungannya dengan masalahmasalah keuangan.50
4) Aspek-aspek Kepribadian
Menurut Ahmad marimba, dalam buku pengantar filsafat pendidikan
agama Islam, aspek-aspek kepribadian yaitu sebagai berikut:
a) Aspek kejasmanian, yang meliputi tingkah laku luar yang mudah
Nampak dan kelihatan dari luar, misalnya: cara-cara berbuat dan
cara-cara berbicara.
b) Aspek kejiwaan, yang meliputi aspek hyang tidak segera dapat
dilihat dan diketahui dari luar, misalnya: cara berpikir, sikap dan
minat.
c) Aspek kerohanian yang luhur meliputi aspek kejiwaan yang lebih
abstrak, yaitu filsafat hidup dan kepercayaan, ini meipti system
nilai-nilai yang telah meresap di dalam kepribadian itu, yang telah
menjadi bagian dan mendarah daging dalam kepribadian itu yang
mengarahkan dan memberi corak seluruh kehidupan individu. Bagi
orang-orang yang beragama aspek-aspek yang menuntutnya ke
arah kebahagiaan bukan saja di dunia tetapi juga akhirat. Ini
memungkinkan seseorang berhubungan dengan hal-hal ghaib,
aspek-aspek inilah memberi kualitas kepribadian seuruhnya.51
49
Ibid.
Ibid., h. 16-17.
51
Ahmad Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Maarif, 1980), Cet. IV, h.
63.
50
25
5) Pengertian Anak
Dalam kamus besar bahasa Indonesia anak di artikan sebagai
keturunan pertama (sesudah ibu bapak).52 Zakiah Deradjat mengatakan
“Untuk membina anak agar mempunyai sifat-sifat terpuji, tidaklah
mungkin
dengan
penjelasan
pengertian
saja,
akan
tetapi
perlu
membiasakannya untuk melakukan yang baik yang diharapkan nanti dia
akan mempunyai sifat-sifat itu, dan menjauhi sifat tercela. Kebiasaan dan
latihan itulah yang membuat dia cenderung kepada melakukan yang baik
dan meninggalkan yang kurang baik”.53
d. Pengertian pengembangan Kepribadian Islam
Abdul Mujib mendefinisikan pengembangan Kepribadian Islam
adalah:
Usaha sadar yang dilakukan oleh individu untuk memaksimalkan
daya-daya insaniya, agar ia mampu realisasi dan aktualisasi diri lebih
baik, sehingga memperoleh kualitas hidup di dunia maupun di akhirat.
Definisi tersebut mengandung arti bahwa dengan metode
pengembangan kepribadian Islam ini diharapkan dapat menjadi terapi
bagi mereka yang sakit dan menjadi daya pendorong bagi mereka yang
sehat. Bagi mereka yang memiliki tipologi kepribadian amarah dapat
beranjak menuju ke kepribadian lawwamah; dari kepribadian
lawwamah dapat menuju muthmainnah; dan dari kepribadian
muthmainnah taraf minimal dapat menuju pada taraf maksimal atau
dari pendekatan kuantitas menuju pada pendekatan kualitas.54
Pengembangan kepribadian Islam dapat ditempuh dengan dua
pendekatan. Yang pertama, pendekatan konten, yaitu serangkaian metode
dan materi dalam pengembangan kepribadian yang secara hierarkis
dilakukan oleh individu, dari jenjang yang rendah menuju yang paling
tinggi, untuk penyembuhan atau peningkatan kepribadiannya. Pola ini
sifatnya umum, tanpa mengenal rentang usia. Kedua, pendekatan rentang
52
Badudu, op. cit., h. 44.
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 2010), Cet. XVII, h. 73.
54
Abdul Mujib, Kepribadian dalam Psikologi Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007), h.
388.
53
26
kehidupan, yaitu serangkaian perilaku yang dikaitkan dengan tugas-tugas
perkembangan menurut rentang usia. Asumsi pendekatan ini adalah bahwa
dalam kehidupan, manusia memiliki tugas-tugas perkembangan yang
harus diperankan menurut jenjang usia.55
e. Pengembangan Kepribadian Islam Menurut Pendekatan Konten
Cara pengembangan kepribadian Islam menurut pendekatan konten
ada tiga tahap. Pertama, tahapan permulaan (al-bidayah). Pada tahapan ini
fitrah manusia merasa rindu kepada Khaliknya. Ia menyadari bahwa
keinginan untuk berjumpa dengan Khaliknya itu terdapat tabir ( al-hijab)
yang menghalangi interaksi dan komunikasinya, sehingga berusaha
menghilangkan tabir tersebut. Segala gangguan pada kepribadian, seperti
perilaku maksiat dan dosa merupakan tabir yang harus disingkap dengan
cara menutup, menghapus dan menghilangkannya. Oleh karena itu,
tahapan ini disebut juga tahapan takhalli, yang berarti mengosongkan diri
dari segala sifat-sifat yang kotor, maksiat, dan tercela.56
Kedua, tahapan kesungguhan dalam menempuh kebaikan (almujahadah). Pada tahapan ini kepribadian seseorang telah bersih dari
sifat-sifat tercela dan maksiat, kemudian berusaha dengan sungguhsungguh mengisi diri dengan perilaku yang mulia, baik yang dimunculkan
dari kepribadian Mukmin, Muslim maupun Muhsin. Tahapan ini disebut
juga dengan tahapan tahalli, yaitu upaya mengisi dan menghiasi diri
dengan sifat-sifat terpuji.57
Tahapan kedua ini harus ditopang oleh tujuh pendidikan dan olah
batin, sebagai berikut:
1) Musyarathah, yaitu menetapkan syarat-syarat atau kontrak pada jiwa
agar ia dapat melaksanakan tugas dengan baik dan menjauhi larangan.
55
Ibid.
56
Ibid., h. 389.
57
Ibid.
27
2) Muraqabah, yaitu mawas diri dan penuh waspada dengan segenap
kekuatan jiwa dan pikiran dari perilaku maksiat, supasa selalu dekat
kepada Allah.
3) Muhasabah, yaitu introspeksi diri dengan membuat perhitungan atau
melihat kembali tingkah laku yang diperbuat, apakah sesuai dengan
yang disyaratkan sebelumnya atau tidak.
4) Mu’aqabah, yaitu menghukum diri karena dalam perniagaan rabbani
selalu mengalami kerugian. Dalam beraktivitas, perilaku buruk
individu lebih dominan daripada yang baik.
5) Mujahadah, yaitu berusaha secara sungguh-sungguh menjadi individu
yang baik, sehingga tidak ada waktu, tempat dan keadaan untuk mainmain, apalagi melakukan perilaku yang buruk.
6) Mu’atabah, yaitu menyesali dan mencela diri atas perbuatan dosa
dengan cara berjanji tidak mengulangi perbuatan, dan melakukan
perbuatan positif.
7) Mukasyafah, yaitu membuka penghalang atau tabir agar tersingkap
ayat-ayat dan rahasia-rahasia Allah.58
f. Pengembangan Kepribadian Islam Menurut Rentang Kehidupan
Fase perkembangan manusia dalam Al-Qur’an terdapat tiga fase
besar, yaitu sebelum kehidupan dunia, kehidupan dunia, dan kehidupan
setelah mati. Upaya pengembangan kepribadian ini, hanya dipilih fase
kehidupan dunia saja. Karena pada fase ini ini ikhtiyar dan usaha manusia
dapat dilakukan.59
Pertama, pra-konsepsi, yaitu fase perkembangan manusia sebelum
masa pembuahan sperma dan ovum. Asumsi adanya fase ini adalah:
58
59
Ibid., h. 390-393.
Ibid., h. 396.
28
1) Dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah, seseorang diwajibkan menikah
untuk kelestarian keturunan. Kelestarian keturunan ini adalah badian
dari pertumbuhan dan perkembangan manusia.
2) Ruh manusia telah diciptakan sebelum jasad tercipta. Ruh yang suci
menghendaki tempat yang suci pula. Dalam konteks ini, maka
kesucian jasad diperoleh melalui lembaga pernikahan.60
Kedua, fase pra-natal, yaitu fase perkembangan manusia yang dimulai
dari pembuahan sperma dan ovum sampai masa kelahiran. Upaya-upaya
pengembangan kepribadian ini diperankan oleh orang tua yaitu dengan:
1) Memelihara lingkungan psikologis yang amanah, rahmah dan
mawaddah, agar secara psikologis janin dapat berkembang secara
normal.
2) Meningkatkan ibadah dan meninggalkan maksiat, agar janin mendapat
nur hidayah dari Allah.61
Ketiga, fase neo-natus, dimulai kelahiran sampai kurang lebih minggu
keempat. Upaya-upaya pengembangan kepribadian ini adalah:
1) Membacakan azan dan iqomah di telinga kiri ketika anak baru
dilahirkan.
2) Memotong akikah.
3) Member nama yang baik.
4) Membiasakan hidup yang bersih, suci dan sehat.
5) Member ASI sampai usia dua tahun.62
Keempat, fase kanak-kanak, yaitu fase yang dimulai usia sebulan
sampai usia sekitar tujuh tahun. Upaya-upaya pengembangan kepribadian
inia adalah:
60
Ibid., h. 396-397.
Ibid., h. 399-400.
62
Ibid., h. 400-401.
61
29
1) Menumbuhkan
potensi-potensi
indera
dan
psikologis.
Yaitu
merangsang pertumbuhan berbagai potensi agar anak mampu
berkembang secara maksimal.
2) Mempersiapkan diri dengan cara membiasakan dan melatih hidup
yang baik, seperti dalam berbicara, makan, bergaul, penyesuaian diri
dengan lingkungan dan berperilaku.
3) Pengenalan aspek-aspek doctrinal agama, terutama yang berkaitan
dengan keimanan, yaitu melalui metode cerita dan uswah hasanah.63
Kelima, fase tamyiz, yaitu fase di mana anak mulai mampu
membedakan yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah.
Upaya-upaya pengembangan kepribadian adalah:
1) Mengubah persepsi konkret mengenai ide-ide ketuhanan, alam akhirat
dan sebagainya.
2) Pengajaran ajaran-ajaran normative agama melauli institusi sekolah,
baik yang berkenaan dengan aspek kognitif, afektif maupun
psikomotorik.64
Keenam, fase baligh, yaitu fase di mana usia anak telah sampai
dewasa.
Usia ini anak telah memiliki kesadaran penuh akan dirinya,
sehingga ia diberi beban tanggung jawab, terutama tanggung jawab agama
dan sosial.65 Upaya-upaya pengembangan kepribadian ini adalah:
1) Memahami perintah Allah dengan memperdalam ilmu pengetahuan.
2) Menyatukan keimanan dan pengetahuannya dalam tingkah laku nyata.
3) Memiliki kesediaan untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah
diperbuat.
4) Menjaga diri dari segala maksiat dan mengisi dengan perbuatan baik.
5) Menikan jika telah mampu, baik kemampuan fisik maupun psikis.
63
Ibid., h. 401
Ibid., h. 402.
65
Ibid., h. 403.
64
30
6) Membina keluarga yang sakinah.
7) Mendidik anak-anaknya dengan pendidikan yang bermanfaat.66
Ketujuh, fase syuyukh, yaitu kearifan dan kebijakan di mana
seseorang telah memiliki tingkat kesadaran dan kecerdasan emosional,
moral,
spiritual,
dan
agama
secara
mendalam.
Upaya-upaya
perkembangan kepribadia di fase ini adalah:
1) Penyatuan sifat-sifat rasul yang agung.
2) Meningkatkan kesadaran akan peran sosial dengan niatan amal saleh.
3) Meningkatkan ketakwaan dan kedekatan kepada Allah.
4) Mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk menjelang kematian.67
Kedelapan, fase menjelang kematian. Yaitu di mana nyawa akan
hilang dari jasad manusia. Upaya-upaya perkembangan kepribadian pada
fase ini adalah:
1) Berwasiat kepada keluarga jika terdapat masalah yang harus
diselesaikan.
2) Tidak mengingat apapun, selain berzikir kepada Allah.
3) Mendengarkan
secara
seksama
talqin
yang
dibacakan
oleh
keluarganya kemudian menirukannya.68
B. Hasil Penelitian yang Relevan
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis telah menemukan beberapa kajian
yang relevan yaitu hasil penulis sebelumnya. Kajian yang relevan tersebut
diantaranya adalah:
1. Penelitian yang dilakukan oleh Abdul Yasir yang berjudul “Nilai-nilai
Motivasi Belajar yang Terkandung dalam Kisah Nabi Musa dan Khidir
(Kajian Tafsir Al-Qur’an Surat Al-Kahfi Ayat 60-82). Metode yang
66
Ibid., h. 405.
Ibid., h. 406.
68
Ibid., h. 407-408.
67
31
digunakan adalah tahlili dan hasil penelitian nilai-nilai motivasi belajar yang
terkandung dalam kisah Nabi Musa dan Khidir surat al-Kahfi ayat 60-82
meliputi: pertama, adanya motivasi belajar Nabi Musa kepada Khidir. Kedua,
terdapat peran kompetensi profesional guru terhadap motivasi belajar siswa.
Ketiga, metode pemberian hukuman sebagai alat meningkatkan motivasi
belajar. Keempat, adanya fungsi evaluasi belajar terhadap peningkatan
motivasi belajar siswa.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Syaikhu (2010) yang berjudul “Proses
Pembelajaran dalam Al-Qur’an (Telaah Kisah Musa dan Khidir dalam QS.
Al-Kahfi ayat 60-82)” menunjukkan bahwa dalam kisah Musa dan Khidir
terkandung proses pembelajaran yaitu sumber ilmu dan motivasi mencari
ilmu, mencari guru yang berkualitas, strategi pembelajaran Musa dan Khidir,
proses pembelajaran Musa dan Khidir, serta evaluasi pembelajaran Khidir
kepada Musa.
3. Penelitian yang dilakukan oleh Lukmanul Hakim (2013) yang berjudul
“Metode Pendidikan Keimanan, Al-Qur’an Surah Al-Waqi’ah ayat 57-74”
menunjukan bahwa surah Al-Waqi’ah ayat 57-74 terkandung metode
pendidikan keimanan yaitu metode Amtsal.
Dari beberapa kajian yang relevan di atas, penulis memiliki perbedaan dalam
penulisan skripsi ini, yaitu sebagai berikut:
a. Penelitian yang dilakukan oleh Abdul Yasir yang berjudul “Nilai-nilai
Motivasi Belajar yang Terkandung dalam Kisah Nabi Musa dan Khidir
(Kajian Tafsir Al-Qur’an Surat Al-Kahfi Ayat 60-82). Perbedaan penulis
dengan pnelitian yang dilakukan oleh Abdul Yasir adalah penulis lebih
mengkaji mengenai pengembangan integritas kepribadian pada anak. Selain
itu metode yang digunakan penulis adalah metode tafsir maudhui, sedangkan
penelitiansebelumnya menggunakan metode tafsir talhili.
b.
Penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Syaikhu yang berjudul “Proses
Pembelajaran dalam Al-Qur’an (Telaah Kisah Musa dan Khidir dalam QS.
32
Al-Kahfi ayat 60-82)”. Perbedaan penulis dengan penelitian yang dilakukan
oleh Ahmad Syaikhu adalah penulis mengkaji mengenai metode yang
diterapkan
dalam
proses
pembelajarannya
tersebut,
sehingga
dapat
mengembangkan integritas kepribadian anak.
c. Penelitian yang dilakukan oleh Lukmanul Hakim yang berjudul “Metode
Pendidikan Keimanan, Al-Qur’an Surah Al-Waqi’ah ayat 57-74”. Perbedaan
penulis dengan penelitian yang dilakukan oleh Lukmanul Hakim adalah
mengenai kajian Al-Qur’an tersebut. Penulis mendalami kajian tafsir surat AlKahfi ayat 60-82, sedangkan penelitian sebelumnya mengkaji tafsir surat AWaqi’ah ayat 57-74. Selain itu penulis memfokuskan penelitian lebih kepada
pengembangan integritas kepribadian anak.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Objek dan Waktu Penelitian
Objek yang dibahas dalam penelitian ini adalah metode pendidikan dalam
Al-Qur’an surat Al-Kahfi ayat 60-82 untuk mengembangkan integritas
kepribadian anak. Sedangkan waktu penelitian dilakukan semester IX
(Sembilan) tahun 2013 selama 5 bulan. Terhitung dari bulan Agustus sampai
dengan bulan Desember 2013.
B. Metode Penulisan
Dalam penelitian skripsi ini penulis menggunakan pendekatan penelitian
kualitatif, penelitian tersebut bertujuan untuk memahami fenomena sosial dari
sudut atau perspektif partisipan. Dalam bukunya Nana Syaodih dijelaskan
bahwa metode penelitian kualitatif adalah “Suatu penelitian yang ditujukan
untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas,
sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individual
maupun kelompok”.1
Menurut Sugiyono
Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang
berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada
kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) di
mana peneliti adalah sebagai instrument kunci, pengambilan sampel
sumber data dilakukan secara purposive dan snowbaal, teknik
pengumpulan dengan trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat
induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna
dari pada generalisasi.2
1
Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2012), Cet. VIII, h. 60.
2
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan; Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D,
(Bandung: Alfabeta, 2013), Cet. XVII, h. 15.
33
34
C. Fokus Penelitian
Berdasarkan judul, maka penulis memfokuskan kajian pada metode
pendidikan
dalam
Al-Qur’an
surat
Al-Kahfi
ayat
60-82
untuk
mengembangkan integritas kepribadian anak. Dalam pembahasan ini penulis
lebih fokus meneliti terhadap empat macam metode yaitu metode inquiry
learning, metode uswah hasanah, metode nasihat dan metode hukuman.
D. Prosedur Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah library research atau penulisan
berdasarkan literatur (studi kepustakaan). Menurut Mestika Zed, library
research atau sering disebut studi pustaka adalah “Serangkaian kegiatan yang
berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat
serta mengolah bahan penelitian”.3
Dengan demikian penelitian dilakukan melalui hasil studi terhadap
beberapa bahan pustaka yang relevan mengenai pembahasan, baik itu
bersumber dari kitab-kitab klasik berupa kitab-kitab tafsir Mu’tabar didukung
oleh buku-buku pendidikannya.
Sedangkan mengenai metode pembahasannya penulis menggunakan
metode deskriptif analisis, yaitu:
1.
Pengumpulan Data
Dikarenakan jenis penelitian yang dilakukan adalah library research,
maka penulis mengumpulkan data dari buku-buku yang berkaitan dengan
judul. Di antara buku-buku yang menjadi rujukan utama dalam penelitian
ini adalah:
a. Terjemah Tafsir al-Maraghi.
b. Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an.
c. Terjemah Tafsir Al-Kahfi.
d. Terjemahan Tafsir Ath-Thabari.
e. Terjemahan Tafsir Adhwa’ul Bayan.
3
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), Cet.
II, h. 3.
35
f. Kisah-kisah Al-Qur’an Pelajaran dari Orang-orang Terdahulu.
g. Pembentukan Kepribadian Anak; Peran Moral, Intelektual,
Emosional, dan Sosial Sebagai Wujud Interitas Membangun Jati
Diri.
h. Bagaimana
Membangun
Kepribadian
Anda:
Resep-resep
Sederhana dan Mudah Membentuk Kepribadian Islam Sejati.
2. Analisis Data
Dalam proses analisis data, penulis menggunakan metode deskriptif
analisis yang terdiri dari tiga kegiatan yaitu reduksi data, penyajian data
dan penarikan kesimpulan. Adapun metode tafsir yang digunakan adalah
metode tafsir maudhu’i. M. Alfatih Suryadilaga mengatakan bahwa
“Metode tafsir maudhu’i disebut dengan metode tematik, karena
pembahasannya berdasarkan tema-tema tertentu yang terdapat dalam AlQur’an”.4
Hal pertama yang penulis lakukan adalah mengumpulkan tafsiran
surat Al-Kahfi ayat 60-82. Kemudian mengutip tafsiran para mufassir.
Setelah selesai, penulis menganalisis materi yang akan dibahas.
Selanjutnya penulis memberi tanggapan terhadap hasil penelitian.
3.
Penarikan kesimpulan
Setelah dilakukan reduksi data, langkah selanjutnya adalah menarik
kesimpulan dari data yang telah diperoleh dan diorganisir yang selanjutnya
dinarasikan untuk diambil kesimpulan.
4
M. Alfatih Suryadilaga dkk., Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2005), Cet. I, h. 47.
BAB IV
KAJIAN AL-QUR’AN SURAT AL-KAHFI AYAT 60-82
SEBAGAI PENGEMBANGAN INTEGRITAS KEPRIBADIAN
ANAK
A. Tafsir Al-Qur’an Surat Al-Kahfi Ayat 60-82
Kelompok ayat-ayat ini menguraikan kisah yang menyangkut Nabi Musa as.
dengan Nabi Khidir as. salah seorang hamba Allah yang saleh. Banyak hal yang
tidak disebut dalam kumpulan ayat-ayat ini yang tidak jelas diuraikan. Misalnya
siapa hamba Allah yang saleh itu, di mana pertemuan mereka dan kapan
terjadinya. Kendati demikian banyak sekali pelajaran yang dapat diambil dari
ayat-ayat ini.
1. Ayat dan Terjemahnya
            
            
            
            
               
      
   
             
            
              
36
37
             
             
             
            
             
               
             
           
             
 
          
           
           
           
           
          
               
Dan ingatlah ketika Musa berkata kepada muridnya: “Aku tidak akan
berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku
akan berjalan bertahun-tahun”. Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan
38
dua buah lau itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat
mengambil jalannya ke laut itu. Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh,
berkatala Musa kepada muridnya, “Bawalah ke mari makanan kita;
sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini”. Muridnya
menjawab, “tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu
tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak
ada yang melupakan aku untuk menceritakannyakecuali setan dan ikan itu
mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali”. Musa berkata,
“itulah (tempat) yang kita cari”. Lalu keduanya kembali mengikuti jejak
mereka semula. Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara
hamba-hamba Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang
telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. Musa berkata kepada
Khidir, “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku
ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?”.Dia
menjawab, “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar
bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu yang kamu
belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?”. Musa berkata,
“Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar, dan aku
tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun”. Dia berkata, “Jika
kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang
sesuatu apa pun sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu”. Maka
berjalanlah keduanya hingga tatkala keduanya menaiki perahu, lalu Khidir
melubanginya. Musa berkata, “Mengapa kamu melubangi perahu itu yang
akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya? Sesungguhnya kamu telah
berbuat sesuatu kesalahan yang besar”. Dia (Khidr) berkata, “Bukankah aku
telah berkata, “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama
dengan aku”. Musa berkata, “Janganlah kamu menghukum aku karena
kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan
dalam urusanku”. Maka berjalanlah keduanya hingga tatkala keduanya
berjumpa dengan seorang anak, maka Khidr membununya. Musa berkata,
“Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh
orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar”.
Khidr berkata, “Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya
kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?”. Musa berkata, “Jika aku
bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah kamu
memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup
memberikan uzur padaku”. Maka keduanya berjalan hingga tatkala
keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka meminta dijamu
kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu
mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah
yang hamper roboh, maka Khidr menegakkan dinding itu. Musa berkata,
“Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu”. Kidr berkata,
“Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; aku akan memberitahukan
kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar
terhadapnya. Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin
yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di
39
hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera. Dan
adapun anak itu maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin, dan
kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada
kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka
mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya
daripada anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu
bapaknya). Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak
yatim di kota itu, dan di bawahnya da harta benda simpanan bagi mereka
berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu
menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan
mengeluarkan simpanannya itu sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah
aku melakukan itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan
perbuatan-perbuatan yang tidak dapat sabar terhadapnya”.
2. Pengertian Secara Umum
Setelah
Allah
menceritakan
kisah
orang-orang
musyrik
yang
membanggakan harta yang banyak, dan pembantu yang banyak, terhadap
orang mukmin yang kafir, dan enggan menghadiri majelis Rasulullah supaya
tidak duduk bersama orang-orang yang melarat di satu tempat, dan supaya
mereka tidak terganggu dengan pemandangan yang buruk serta bau mereka
yang tidak sedap, maka dilanjutkan dengan menceritakan kisah Nabi Musa
bersama Nabi Khidir supaya dengan kisah ini menjadi jelas bahwa sekalipun
Musa adalah seorang Nabi yang diutus oleh Allah kepada Bani Israil sebagai
pemberi kabar gembira dan peringatan, namun dia diperintahkan supaya
menemui Khidir untuk belajar hal-hal yang tidak diketahui. Ini merupakan
dalil bahwa tawadlu‟ adalah lebih baik daripada takabbur.1
Al-Bukhari meriwayatkan sebuah riwayat, yang ringkasnya: Bahwa Nabi
Musa as. berkhutbah di tengah-tengah Bani Israil. Lalu, beliau ditanya
“Siapakah orang yang paling berilmua?”.Musa menjawab, “Saya”. Dengan
jawaban itu Musa mendapatkan kecaman dari teman-temannya, karena tidak
mengembalikan ilmu kepada AllahTa‟ala. Kemudian, Allah menurunkan
wahyu kepadanya; agar Musa menemui Khidir, dan membawa ikan dalam
sebuah keranjang. Lalu di mana ikan itu hilang, maka di situ Khidir berada.
1
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi, Ter. Tafsir al-Maraghi
olehBahrun Abu Bakar, dkk., Juz XVI, (Semarang:Toha Putra, 1993), Cet. II, h. 347.
40
Perintah Allah itu dilaksanakan oleh Nabi Musa, dan berjalanlah Musa
bersama muridnya, Yusa bin Nun. sehingga, ketika mereka sampai pada
sebuah batu besar, maka tidurlah mereka di sana, sementara ikan itu bergerakgerak, lalu jatuh ke laut. Maka, ikan itupun menempuh sebuah liang ke laut
sebagai jalannya. Maksudnya, air mengalir membentuk sebuah lengkungan di
atas ikan, dan ikan itupun lari. Ketika Musa dan muridnya telah melampaui
tempat yang dituju di sekitar pertemuan antara dua laut, dan terus berjalan
pada sisa hari itu sampai malam, Musa merasakan lapar dan teringat akan
ikan bawaannya. Musa meminta makan kepada muridnya.Muridnya berkata,
“Sesungguhnya aku lupa ikan itu”. Kemudian, muridnya menceritakan
pengalaman di batu besar itu, lalu mereka berdua kembali lagi mengikuti
jejak mereka yang telah dilalui, sehingga mereka sampai ke batu besar tadi
dan di sana mereka bertemu dengan Khidir yang berpakaian serba putih.
Adapun cerita berikutnya mengenai kedua hamba Allah itu, yang akan terlihat
dari sejak masalah kapal, anak kecil, sampai dengan masalah dinding.2
Setelah menyajikan perkara-perkara yang dilihat oleh Nabi Musa as.
ketika menyertai Nabi Khidir, dan penentangan yang berkali-kali dilakukan
oleh Nabi Musa, padahal Nabi Khidir telah memberitahukan bahwa dia tidak
akan bersabar bersamanya, sehingga balasannya adalah Nabi Khidir
memisahkannya dan tidak dapat menyertainya lagi. Ayat-ayat berikutnya
Allah menafsirkan problema yang dihadapi oleh Nabi Musa, yaitu perkara
yang secara lahir merupakan kemungkaran, padahal Allah memberikan
hikmah batin kepada Nabi Khidir, karena para Nabi menetapkan hukum
hanya berdasarkan fakta lahir saja. Sementara hukum orang alim ini (Khidir)
didasarkan atas sebab-sebab hakiki yang terjadi pada perkara itu sendiri.
Hukum- hukum ini hanya diberikan oleh Allah hanya kepada sebagian
hambaNya yang khusus.3
Kaitannya dengan ayat ini, bahwa Nabi Khidir sebagai salah satu hambaNya yang khusus, menghukumi tiga kejadian yang terjadi berdasarkan atas
2
Ibid., h. 348.
Ibid., h. 8-9.
3
41
sebab-sebab hakiki yang terjadi pada perkara itu sendiri.Yaitu hukum, “Jika
dua bahaya saling bertentangan, maka yang terendah wajib didahulukan”.
Apabila bahtera itu tidak dicacati dengan dilobangi, niscaya ia akan dirampas
oleh raja zalim, dan manfaatnya akan hilang sama sekali. Apabila anak muda
itu tidak dibunuh, niscaya hidupnya akan merusak kedua orang tuanya dalam
agama dan dunianya, dan kesulitan dalam mendirikan dinding lebih kecil
bahayanya dari pada robohnya dinding itu, karena dengan robohnya akan
hilang harta anak-anak yatim itu.
3. Tafsir Ayat
Ayat 60-61
           
 
Diceritakanlah ketika Musa bin Imran berkata kepada muridnya,
Yusa‟: Aku akan tetap berjalan sampai aku mencapai tempat pertemuan
antara dua laut, atau aku berjalan sampai bertahun-tahun. Adapun sebab
perkataan seperti itu, adalah karena Allah telah mewahyukan kepada
Musa, bahwa ada salah seorang hamba Allah yang mempunyai ilmu,
tinggal di tempat pertemuan antara dua laut, yang belum Musa ketahui,
sehingga Musa ingin pergi menemuinya. Kesimpulannya bahwa, Allah
memberitahukan kepada Musa tentang hamba Allah yang mempunyai
ilmu, tetapi Allah tidak memberitahukan kepada Musa tempat tinggalnya
secara pasti. Maka Musa berkata: Aku akan tetap berjalan hingga menemui
tempat pertemuan antara dua laut itu, atau aku akan meneruskan
perjalanan dalam masa yang lama sampai aku menemuinya.4
4
Ibid., h. 349
42
           
Maka berangkatlah Musa dan Yusa‟, dan tatkala keduanya sampai di
tempat pertemuan antara dua laut, maka keduanya lupa akan ikan mereka.
Sehingga ikan itu kembali ke laut, dan air laut itu menjadi sebuah jembatan
yang menaungi ikan tersebut. Dengan demikian, ikan tersebut menemukan
jalan, sedangkan Musa dan muridnya terheran-heran. Musa telah menugaskan
Yusa‟ untuk memberitahukan kepadanya tempat di mana ikan itu menghilang.
Namun, ketika Musa bangun dari tidurnya, ternyata Yusa‟ lupa untuk
memberitahukan tentang ikan itu.5
Menurut Quraish Shihab, ulama memiliki pendapat berbeda tentang
makna (‫ح ْوتَهُ مَا‬
ُ ‫سيَا‬
ِ َ‫ )ن‬lupa ikan mereka. Ada yang berpendapat bahwa Yusa‟
lupa membawanya setelah mereka beristirahat di suatu tempat, dan Musa
sendiri lupa mengingatkannya. Ada juga yang berpendapat bahwa Yusa‟ itu
lupa memnceritakan tentang ikan yang dilihatnya itu mencebur ke laut. Kata
(‫ )سَ َربَا‬terambil dari kata (َ‫ )سَرَب‬yang pada mulanya berarti lubang atau jurang
yang sangat dalam di bawah tanah. Ada yang memahaminya bahwa ikan itu
menghilang sebagaimana seorang pejalan yang masuk ke jurang atau lubang
terowongan sehingga tidak dapat terlihat lagi. Ada juga yang memahami
bahwa air di mana ikan itu berjalan terbelah sehingga membuat semacam
terowongan, lalu Nabi Musa mengikuti jalan itu dan bertemu dengan hamba
Allah yang dicarinya di tengah suatu pulau di laut itu. 6
Ayat 62-64
            
5
6
Ibid., h. 350.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2004), Cet. II, h. 91.
43
Syaikh Ustaimin menafsirkan lafaz (‫„ )فَلَّمَب جَبوَشَا‬ketika mereka berdua
(Nabi Musa dan Yusa‟) (‫„ )جَبوَشَا‬telah melampaui tempat tersebut, Nabi
Musa berkata kepada Yusa‟: “Bawalah kemari makanan kita”. Pada waktu
itu adalah makan siang. Lafaz (‫ „ )نَصَبَب‬telah‟ (‫„ )مِنْ سَفَسِنَب هَرَا‬karena
perjalanan kita ini‟ yaitu dari tempat mereka tidur yaitu di samping batu
besar, bukan dari awal perjalanan. Oleh karena itu Nabi Musa meminta
makan siang. Dikutip Syaikh Utsaimin, bahwa para ulama mengatakan hal
ini di antara tanda-tanda kekuasaan Allah, mereka berdua telah berjalan
jauh, tetapi mereka belum merasakan lelah. Namun, ketika telah sampai di
tempat Nabi Khidir mereka cepat merasa lelah. Hikmahnya adalah agar
Nabi Musa dan yusa‟ tidak melanjutkan perjalanannya itu.7
           
         
Abu Ja‟far Ath-Thabari menjelaskan bahwa ayat ini, Allah Ta‟ala
berfirman: Ketika Nabi Musa mengatakan kepada muridnya, “Bawalah
kemari makanan kita”, muridnya menjawab: “Tahukah kamu tatkala kita
mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa
(menceritakan tentang) ikan itu,” di sana “Dan tidakladalah yang
melupakan aku untuk menceritakannya kecuali syetan”. Dikutip Abu
Ja‟far Ath-Thabari, Muhammad bin Amr mengatakan bahwa mengenai
firman Allah (‫جبَا‬
َ َ‫“ )فِى ا ْلبَحْرِ ع‬Ke laut dengan cara yang aneh sekali”, yaitu
Nabi Musa merasa heran dengan bekas jalan dan lingkaran yang dibuat
oleh ikan itu, kemudian Nabi Musa bertemu dengan Nabi Khidir.8
7
Syaikh Utsaimin, Tafsir Al-Kahfi. Penerjemah: Abu Abdirrahman bin Thayyib, Editor: Abdul
Basith, (Jakarta: Pustaka as-Sunnah, 2005), Cet. I, h. 209.
8
Abu Ja‟far Muhammad bin Ath-Thabari, Terjemahan Tafsir Ath-Thabari, penerjemah: Ahsan
Askan dan Khairul Anam, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), Cet. I, h. 257-258.
44
          
Al-Maraghi menafsirkan bahwa, lafaz ( ِ‫ )قَالَ ذَ ِلكَ مَا ُكّنَا َنبْغ‬Musa berkata:
“Apa yang terjadi pada ikan yang telah kamu sebutkan itulah yang kita
cari. Kaena hal itu adalah pertanda bahwa kita akan memperoleh apa yang
kita tuju sebenarnya”. Lafaz ( ‫ )فَا ْر َتّدَا عَلَى اثَارِهَمَا قَصَصًا‬maka Nabi Musa dan
Yusa‟ kembali menempuh jalan yang dilaluinya dengan mengikuti jejak
jejak sebelumnya. Sehingga keduanya sampai ke tempat batu besar
tersebut.9
Ayat 65
            
Menurut Quraish Shihab, banyak ulama yang berpendapat bahwa
hamba Allah yang dimaksud di sini adalah salah seorang Nabi yang
bernama al-khidhr. Tetapi riwayat tentang beliau sangat beragam. Namun,
menurutnya dalam sekian banyak buku tafsir, kata al-khidhr bermakna
hijau. Dikutip Quraish shihab, Nabi SAW. bersabda bahwa penamaan itu
disebabkan karena suatu ketika ia duduk di bulu yang berwarna putih, tibatiba warnanya berubah menjadi hijau. Penamaan serta warna itu sebagai
symbol keberkatan yang menyertai hamba Allah yang istimewa itu. Selain
itu ayat tersebut mengisyaratkan bahwa Nabi Khidir dianugerahi rahmat
dan ilmu. Penganugerahan rahmat di lukiskan dengan kata (‫ع ّْن ِّدنَا‬
ِ ْ‫) ِمن‬,
sedang penganugerahan ilmu dengan kata (‫) ِمنْ َلّدُنَا‬, yang keduanya
memiliki makna dari sisi kami.10
Menurut penafsiran syaikh Asy-Syanqithi, bahwa ungkapan rahmat
itu diulang-ulang di dalam Al-Qur‟an yang disandingkan dengan kenabian.
9
Al-Maraghi, op. cit., h. 351.
Shihab, op. cit., h. 94-95.
10
45
Demikian pula dengan ilmu yang diberikan Allah, diungkapkan secara
berulang-ulang yang disandingkan dengan ilmu wahyu.11
Ayat 66-68
           
Pada lafaz (َ‫هلْ أَجَ ِبعُل‬
َ ‫“ )قَبلَ لَهُ مُ ْىسَى‬Nabi Musa berkata kepada Nabi
Khidir: bolehkan aku mengikutimu?”. Menurut syaikh Utsaimin, ini
adalah suatu ekspresi yang lemah lembut dan sopan santun serta merendah
diri. Nabi Musa bersikap dan beradab sangat baik kepada Nabi Khidir,
meskipun beliau sebenarnya lebih afdhal dari pada Nabi Khidir, dan Nabi
Musa juga lebih memiliki kedudukan di sisi Allah. Meskipun demikian,
Nabi Musa bersikap sopan dan santun kepada Nabi Khidir karena beliau
ingin menuntut ilmu yang belum diketahuinya kepada Nabi Khidir. Di
dalam kisah ini terdapat peringatan penting bagi para penuntut ilmu, yaitu
agar memiliki sopan dan santun kepada gurunya. Selain itu Nabi Musa
menjelaskan bahwa beliau ingin mengikuti Nabi Khidir bukanlah untuk
menumpang makan dan minum, tetapi supaya Nabi Khidir mau
mengajarkan ilmu yang benar yang belum diketahuinya.12
      
Dalam ayat ini, dijelaskan bahwa Nabi Khidir berkata kepada Nabi
Musa : “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar
bersamaku”. Al-Maraghi menafsirkan bahwa, alasan Nabi Khidir berkata
demikian, karena sesungguhnya Nabi Khidir memiliki ilmu dari Allah,
yang telah diajarkan kepadanya dan tidak diketahui oleh Nabi Khidir.
11
Syaikh Asy-Syanqithi, Terjemahan Tafsir Adhwa’ul Bayan, penerjemah: Fakhrurazi,
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), Cet. I, h. 301.
12
Syaikh Utsaimin, op. cit., h. 217.
46
Begitu pula dengan Nabi Musa, Allah telah mengajarkan ilmu kepadanya
yang belum Nabi Khidir ketahui. Kemudian Nabi Khidir menunjukkan
alas an bagi Musa takkan mampu bersabar.13
        
Menurut penafsiran Quraish Shihab, ucapan Nabi Khidir “Dan
bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai
pengetahuan yang cukup tentang hal itu?”, hal ini merupakan
pemberitahuan kepada Nabi Musa dengan menunjukkan secara dini
tentang pengetahuan Nabi Khidir itu menyangkut peristiwa-peristiwa yang
akan datang yang merupakan keistimewaan yang diajarkan Allah
kepadanya. Selain itu ucapan Nabi Khidir memberi isyarat bahwa seorang
pendidik hendaknya menuntun anak didiknya dan member tahu kesulitankesulitan
yang
mengarahkannya
akan
dihadapi
dalam
menuntut
untuk
tidak mempelajari
ilmu,
bahkan
sesuatu jika pendidik
mengetahui bahwa potensi yang dimiliki anak didiknya tidak sesuai
dengan ilmu yang dipelajarinya.14
Ayat 69-70
          
Dalam ayat ini Musa berkata: Insya Allah akan mendapati aku sebagai
seorang yang sabar dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu
urusanpu. Menurut syaikh Utsaimin, hal ini diucapkan oleh Nabi Musa
karena itulah yang ada dalam dirinya saat itu, bahwa dia akan bisa
13
14
Al-Maraghi, op. cit., h. 353.
Shihab, op. cit., h. 99.
47
bersabar dan juga mengiringi ucapannya dengan Insya Allah agar tidak ada
perasaan ujub dan sombong.15
Menurut Abu Ja‟far Muhammad bin Ath-Thabari, ayat ini
menjelaskan Nabi Musa akan sabar terhadap apa yang beliau lihat,
meskipun tidak sesuai dengan kebenaran yang beliau ketahui. Kemudian
Nabi Musa akan mengikuti apa yang Nabi Khidir perintahkan kepadanya,
meskipun tidak sesuai dengan keinginannya.16
            
Al-Maraghi menafsirkan, pada ayat ini Nabi Khidir berkata kepada
Nabi Musa: Bila kamu berjalan bersamaku, janganlah kamu bertanya
kepadaku tentang sesuatu yang tidak kamu setujui terhadapku. Sampai aku
terangkan kepadamu segi kebenarannya. Sesungguhnya aku takkan
melakukan sesuatu kecuali yang benar dan di bolehkan, sekalipun dalam
penglihatan itu suatu yang munkar. Kemudian syarat dari Nabi Khidir itu
diterima oleh Nabi Musa.17
Ayat 71-73
            
   
Ayat ini menjelaskan tentang Nabi Khidir melubangi perahu yang
dinaikinya. Syaikh Utsaimin menafsirkan lafaz (‫طلَقَب‬
َ ‫“ )فَ ْن‬Maka berjalanlah
keduanya” ( ِ‫زمِبَب فِيْ الّسَفِيْنَة‬
َ ‫“ )حَحَى اِذَا‬Hingga tatkala keduanya naik
perahu”. Dalam ayat ini Yusha‟ tidak disebutkan keikutsertaannya ketika
15
Syaikh Utsaimin, op. cit., h. 221.
Abu Ja‟far Ath-Thabari, op. cit., h. 285-286.
17
Al-Maraghi, op. cit., h. 355.
16
48
menaiki perahu. Lafaz (‫زمِبَب فِيْ الّسَفِيْنَة‬
َ ‫ )حَحَى اِذَا‬ketika perahu lewat dan
mereka berada di tepi laut mereka menaikinya. (‫خسَ َقهَب‬
َ ) kemudian Khidir
melubanginya yang air laut bisa masuk ke dalamnya. Maka Nabi Musa
berkata: “Maengapa engkau melubangi perahu itu yang mengakibatkan
penumpangnya tenggelam?”. Ini adalah bentuk pengingkaran Nabi Musa
terhadap Nabi Khidir, pdahal Nabi Musa telah berjanji dengan mengatakan
“Insya Allah kamu akan mendapatiku sebagai seorang yang sabar”, tetapi
Nabi Musa tidak bersabar, karena masalahnya berbahaya. Sebuah perahu
di lautan di lubangi, yang dapat mengakibatkan tenggelam.18
        
Quraish Shihab menjelaskan, pada ayat 72 bahwa hamba yang saleh
mengingatkan Nabi Musa as. akan syarat yang telah mereka sepakati, dan
berkata: “Bukankah aku telah berkata, „Sesungguhnya engkau hai Musa
sekali-kali tidak akan mampu sabar ikut dalam perjalanan bersamaku‟?19
          
Menurut syaikh Utsaimin, hal yang menyebabkan Nabi Musa lupa
akan janjinya (untuk tidak mengingkanri perbuatan Nabi Khidir) adalah
bahaya yang sedang mengancam dan membuatnya goncang yaitu Nabi
Musa berpikir bahwa perahu tersebut akan tenggelam sedangkan beliau
sedang berada di dalamnya. Ini adalah sebagai penjelas bahwa seseorang
akan lupa dengan sebab dahsyatnya peristiwa yang ada di benaknya.20
18
Syaikh Utsaimin, op. cit., h. 225-226.
Shihab, op. cit., h. 102.
20
Syaikh Utsaimin, op. cit., h. 229-230.
19
49
Ayat 74-75
            
   
Pada ayat 74 dijelaskan bahwa Musa terkejut dan terheran-heran
ketika Khidir membunuh seorang anak laki-laki. Al-Maraghi menjelaskan,
lafaz ( ‫المًب‬
َ‫غ‬
ُ ‫ )فَنْ َحلَقَب حَحَى اِذَا لَقِيَب‬setelah Khidir dan Musa turun dari perahu
dalam keadaan selamat, maka mereka meneruskan perjalanannya. Lalu
Khidir melihat seorang anak laki-laki yang sedang bermain bersama
teman-temannya, lalu dibunuh. Lafaz ( ‫“ )قَبلَ اَقَ َحلْثَ نَ ْفّسًب‬Musa berkata
kepada Khidir: Apakah kamu membunuh dia yang bersih dari dosa tanpa
alas an, atau dia pernah membunuh suatu jiwa yang diharamkan. Lafaz (
‫ )لَقَدْ جِئْثَ شَيْئًب‬sesungguhnya, kamu telah melakukan sesuatu yang tidak
disetujui oleh akal siapapun dan dibenci oleh perasaan siapapun.21
         
Pada adat 75, Abu Ja‟far Ath-Thabari menafsirkan lafaz ( َ‫قَبلَ َألَمْ أَقُب َاكَ اِنَل‬
‫“ )لَنْ َجّسْحَطِيْعَ صَ ْبسَا‬Khidir berkata: „Bukankah sudah kukatakan kepadamu,
bahwa sesungguhnya kamu tidak akan sabar bersamaku‟?”. “Maksudnya
adalah terhadap apa yang kamu lihat dari perbuatanku, yang kamu tidak
memiliki ilmu tentang hal tersebut”.22
21
Al-Marahgi, op. cit., h. 355.
Abu Ja‟far Ath-Thabari, op. cit., h. 297.
22
50
Ayat 76-77
              
Menurut Quraish Shihab, Nabi Musa sadar bahwa dia telah maelakukan
dua kali kesalahan, tetapi tekadnya yang kuat untuk meraih ma’rifat
mendorongnya untuk memohon agar diberi kesempatan terakhir. Oleh karena
itu Nabi Musa berkata: “Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah
ini, maka janganlah engkau menjadikan aku temanmu. Nabi Musa rela, tidak
berkecil hati dan dapat mengerti apabila kita berpisah. “Sesungguhnya engkau
telah mencapai batas yang sangat wajar dalam memberikan uzur padaku,
maksudnya karena Nabi Musa telah dua kali melanggar perjanjian, dan dua kali
pula Nabi Khidir memaafkannya.23
           
             
Pada ayat 77, Syaikh Asy-Syanqithi menafsirkan bahawa lafaz
(َ‫ )فَىَجَدَافِ ْيهَب جِدَازًا يُسيْدُ أَنْ يَنْقَّضَ فَأَقَبمَه‬terdapat majas, karena menegakkan
didnding yang telah roboh merupakan perbuatan yang tidak mungkin dapat
dilakukan. Padahal ayat-ayat di dalam Al-Qur‟an telah menunjukkan bahwa
tidak ada penghalang untuk menegakkan kembali dinding yang telah roboh,
sebab Allah Maha mengetahui benda-benda mati, baik berupa perkataan
maupun perbuatan.24
Selanjutnya sebagaimana penafsiran Al-Maraghi, lafaz ( َ‫ىشِئْثَ لَحَخَرَت‬
ْ َ‫قَبلَ ل‬
‫جسًا‬
ْ َ‫علَيْهِ أ‬
َ ) Musa berkata: “Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah
untuk itu”. Maksudnya yaitu ingin memberikan dorongan kepada Khidir agar
23
24
Shihab, op. cit., 105.
Asy-Syanqithi, op. cit., h. 336.
51
mengambil upah dari perbuatannya itu, supaya dapat digunakan untuk membeli
makanan, minuman, dan kepentingan hidup lainnya.25
Ayat 78-79
             
Quraish Shihab mengatakan, setelah tiga kali Musa as.melakukan
pelanggaran, kini cukup sudah alasan bagi hamba Allah ini untuk menyatakan
perpisahan. Karena itu dia berkata, “Inilah” masa atau pelanggaran yang
menjadikan perpisahan antara aku denganmu wahai Musa, apalagi engkau
sendiri telah menyatakan kesediaanmu kutinggal jika engkau melanggar sekali
lagi.26
Selanjutnya penafsiran syaikh Utsaimin, menjelaskan bahwa Nabi Khidir
berkata: Aku akan memberitahukan kepadamu ( sebentar lagi ) sebelum kita
berpisah. Yaitu tentang tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat
bersabar menghadapinya.27
          
      
Menurut penafsirannya, Al-Maraghi menjelaskan bahwa Nabi Khidir
mnerangkan kepada Nabi Musa, mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi
terjadi. Adapun perahu yang ditumpangi adalah milik orang miskin dan lemah.
Perahu itu mereka gunakan untuk mencari nafkah. Maka, dengan apa yang
Nabi Khidir perbuat, beliau bermaksud menolong mereka dari apa yang
25
Al-Maraghi, op. cit. h. 5.
Shihab, op. cit., h. 106-17.
27
Syaikh Utsaimin, op. cit., h. 241.
26
52
mereka takuti, yaitu seorang raja yang zalim yang kebiasaannya merampas
perahu-perahu yang layak pakai.28
Menurut
Quraish
Shihab,
Nabi
Khidir
seakan-akan
melanjutkan
perkataannya, “Dengan demikian apa yang kubocorkan itu bukanlah bertujuan
menenggelamkan penumpangnya, tetapi justru menyelamatkan hak-hak orang
miskin.29
Ayat 80-81
          
Abu Ja‟far Muhammad Ath-Thabari menafsirkan, bahwa Allah Ta‟ala
berfirman: Anak muda tersebut adalah kafir, sedangkan kedua orang tuanya
mukmin. Tahu bahwa dia akan mendorong orang tuanya untuk kafir dan
menjadikan keduanya takabur dan kafir.30
Menurut syaikh Utsaimin, bapak dan ibu dari anak kecil itu adalah seorang
mukmin. Sedang dia adalah kafir. Maka dikhawatirkan anak tersebut akan
menyeret kedua orang tuanya kepada kesesatan dan kekafiran. Karena rasa
cinta yang berlebihan terhadap anaknya, terkadang anak dapat mempengaruhi
orang tua.31
         
Dalam Tafsir Al-Maraghi di jelaskan bahwa, orang alim (Nabi Khidir)
berkata: Kami menghendaki agar Allah member rezeki kepada kedua orang
tua anak tersebut seorang anak yang lebih baik agama dan kesalehannya,
disbanding anak yang dibunuh ini serta lebih menyayangi kepada orang
tuanya itu.32
28
Al-Maraghi, op. cit., h. 10.
Shihab, op. cit., h. 107.
30
Abu Ja‟far Ath-thabari, op. cit., h. 315.
31
Syaikh Utsaimin, op. cit., h. 245.
32
Al-Maraghi, op. cit., h. 11.
29
53
Ayat 82
           
          
              
Pada ayat 82, Quraish Shihab menafsirkan, bahwa peristiwa terakhir
dijelaskan oleh Nabi Khidir dengan menyatakan, “Adapun dinding rumah
yang aku tegakkan tanpa mengambil upah itu, ia adalah dua orang anak yatim
di kota itu, dan di bawahnya terdapat harta simpanan orang tua mereka untuk
mereka berdua. Bila Allah menghendaki supaya kita menjaganya supaya
kedua anak yatim itu, setelah dewasa dapat memanfaatkan harta tersebut. Nabi
Khidir berkata, apa yang aku lakukan adalah sebagai rahmat terhadap kedua
yatim itu dari Allah SWT. selanjutnya Nabi Khidir berkata, Dan bukanlah
keinginanku
sendiri
untuk
melakukannya
yakni
perbuatanku
sejak
pembocoran perahu, sampai penegakkan tembok. Tetapi semua adalah atas
perintah Allah SWT berkat ilmu yang diajarkan-Nya kepadaku. Ilmu itu aku
peroleh semata-mata anugerah-Nya. Demikian itu penjelasan mengenai
peristiwa-peristiwa yang engkau tidak dapat bersabar menghadap[inya. 33
4. Hikmah Surat Al-Kahfi ayat 60-82
Ahmad Musthafa Al-Maraghi mengatakan bahwa penyebutan kisa Musa dan
Khidir mengandung beberapa hikmah, yaitu:
a. Hendaknya seseorang tidak merasa bangga dengan ilmunya, dan
hendaknya tidak tergesa-gesa mengingkari apa yang dianggapnya
tidak baik, karena barangkali disitu terdapat rahasia yang belum dia
ketahui.
b. Terdapat pendidikan untuk Nabi Allah agar tidak segera meminta
mendatangkan
hukuman
kepada
orang-orang
musyrik
yang
mendustainya, serta memperolok dirinya dan kitab Allah. Karena,
33
Shihab, op. cit., h. 109.
54
perbuatan mereka itu akan membawa kepada kebinaan dan
kemusnahan di dunia, bahkan di akhiran akan menerima kenistaan
dan azab yang kekal.
c. Apa yang terjadi dalam kisah ini berjalan setiap hari di dalam
kehidupan ini. Tidaklah berpendapat, bahwa pembunuhan anak yang
tidak berdosa menyerupai penyakit ta‟un yang membinasakan umat
dengan cara mengerikan, dan binatang yang dimakan bianatang buas
atau dimakan manusia. Sebaiknya manusia merenungi hikmah semua
itu, tentu mereka mengetahui bahwa andai saja mereka hidup beratesratus tahun lamanya dan tidak ada yang mati, maka bumi ini akan
terasa sempit oleh mereka.
d. Pelobangan kapal milik orang miskin menyerupai kematian sapi milik
seorang petani miskin, hal ini terjadi tidak lain karena hikmah-hikmah
yang hanya diketahui oleh Allah. Di antara hikmah itu, kadang orang
kafir, ketika mati, keluar dari alam ini dengan perasaan ringan, tidak
disedihkan oleh apapun. Sedang orang kaya, jika tidak mendidik
dirinya, ruhnya akan selalu tertarik kepada alam dan melihat-lihat apa
yang ada di dalamnya, sehingga ia ketika mati dia dalam keadaan
merugi.
e. Penyebutan dan penegakkan dinding mengisyaratkan bahwa setiap
orang yang kita lihat secara lahir tidak patut mendapat hikmah,
sesungguhnya telah diliputi oleh nikmat. Maka, penduduk negeri yang
berperangai
keji
dan
kikir
tidak
patut untuk
mendapatkan
penghormatan.34
B. Metode Pendidikan yang terkandung dalam Surat Al-Kahfi
Ayat 60-82
Dari berbagai aspek dalam Al-Qur‟an surat Al-Kahfi ayat 60-82, hasil
penelitian yang penulis temukan tentang metode yang terkandung dalam Al-
34
Al-Maraghi, op., cit, h. 13.
55
Qur‟an surat Al-Kahfi ayat 60-82, maka penulis menemukan beberapa
metode sebagai pengembangan integritas kepribadian anak sebagai berikut:
1. Metode Inquiry Learning
Menurut Shalah al-Khalidy semua tindakan Khidir seolah-olah mengajak
kita agar kita mempertajam pandangan kita dalam meneliti berbagai
fenomena, bentuk, peristiwa, dan perubahan yang terjadi di sekitar kita.35
Khidir menyampaikan kepada Musa bahwa ia akan melihat berbagai peristiwa
dan kejadian yang mengherankan, ia mungkin melihatnya sebagai kebatilan
atau kemungkaran berdasarkan kejadian lahirnya, tetapi ia tidak boleh
menentang dan menanyakannya.36
Sigit Mangun Wardoyo mengatakan, “Metode inquiri learningmerupakan
salah
satu
metode
yang
didasarkan
pada
konsep
pembelajaran
konstruktivisme. Berdasarkan pada perkembangan kognitif organisme,
pandangan konstruktivisme menyatakan bahwa pembelajar membangun
pemahamannya dengan pengalaman yang dimilikinya yang merupakan hasil
dari interaksi dengan lingkungan di luarnya”.37
Selain itu, metode inquiri learning diartikan sebagai perpindahan dari
pengamatan menjadi pemahaman, yang diawali dengan pengamatan dari
pertanyaan yang muncul. Di dalam pembelajaran berdasarkan inquiry, siswa
belajar menggunakan keterampilan berpikir kritis saat mereka berdiskusi dan
menganalisis bukti, mengevaluasi ide dan proposisi, merefleksi validitas data,
memproses,
membuat
kesimpulan,
kemudian
menentukan
bagaimana
mempresentasikan dan menjelaskan penemuannya, dan menghubungkan ideide atau teori untuk mendapatkan konsep sebagaimana yang dikemukakan
oleh Daryanto dan Suryatri.38
35
Shalah A. Fattah al-Khalidy, Kisah-kisah Al-Qur’an; Pelajaran Orang-orang Dahulu,
Penerjemah: Setiawan Budi Utomo, Editor; Dendi Irfan, dkk, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000),
Cet. I, h. 204.
36
Ibid., h. 190.
37
Sigit Mangun Wardoyo, Pembelajaran Konstruktivisme, (Bangung: Alfabeta, 2013), h. 6465.
38
Daryanto, dan Suryatri Darmiatun, Implementasi Pendidikan Karakter Di Sekolah,
(Yogyakarta: Penerbit Gava Media, 2013), Cet. I, h. 185.
56
Menurut penulis, metode inqury ini sangat baik untuk diterapkan dalam
pembelajaran, karena anak didik diberi kesempatan untuk berpikir tanpa
adanya batasan dari gurunya, maka dengan demikian anak didik akan lebih
mandiri,berpikir kritis, mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya dan
lebih memahami materi yang sedang dipelajari. Namun demikan, seorang guru
harus tetap mengontrol bagaimana pola pikir dari anak didik, yaitu dengan
menjelaskan materi yang terkait di akhir pelajaran, serta meluruskan
pemikiran para anak didik yang melenceng atau tidak sesuai dengan tujuan
pendidikan tersebut.
Dalam hal ini, metode inqury learning dapat dilihat dari beberapa
peristiwa yang terkandung dalam surat Al-Kahfi ayat 71, 73 dan 77.Peristiwaperistiwa di mana Nabi Musa berperan aktif dalam psoses pembelajaran
tersebut adalah:
a. Pada ayat 71 menjelaskan bahwa Khidir melubangi perahu yang
dinaikinya. Syaikh Utsaimin menafsirkan lafaz (‫طلَقَب‬
َ ‫“ )فَ ْن‬Maka
berjalanlah keduanya” ( ِ‫زمِبَب فِيْ الّسَفِيْنَة‬
َ ‫“ )حَحَى اِذَا‬Hingga tatkala
keduanya naik perahu”. Dalam ayat ini Yusha‟ tidak disebutkan
keikutsertaannya ketika menaiki perahu. Lafaz (‫زمِبَب فِيْ الّسَفِيْنَة‬
َ ‫)حَحَى اِذَا‬
ketika perahu lewat dan mereka berada di tepi laut mereka menaikinya.
(‫خسَ َقهَب‬
َ ) kemudian Khidir melubanginya dan air laut bisa masuk ke
dalamnya.39 Kemudian Musa menolak dalam hatinya karena
menurutnya perbuatan Khidir telah bertentangan dengan syariat.Lantas
Musa lupa akan janjinya kepada Khidir dan membantahnya.
Dikemukakan oleh Quraish dalam tfasir Al-Mishbah, bahwa
sesungguhnya Khidir telah melindungi orang miskin yang memiliki
perahu tersebut serta menyelamatkan seluruh penumpangnya dari raja
yang zalim. Karena setiap ada perahu bagus melintas, raja yang kejam
39
Syaikh Utsaimin, op. cit., h. 225-226.
57
itu akan memerintahkan petugas-petugasnya untuk mengambilnya
dengan paksa.40
b. Pada ayat 74 dijelaskan bahwa Musa terkejut dan terheran-heran ketika
Khidir membunuh seorang anak laki-laki. Al-Maraghi menjelaskan,
lafaz ( ‫المًب‬
َ‫غ‬
ُ ‫ )فَنْ َحلَقَب حَحَى اِذَا لَقِيَب‬setelah Khidir dan Musa turun dari perahu
dalam keadaan selamat, maka mereka meneruskan perjalanannya. Lalu
Khidir melihat seorang anak laki-laki yang sedang bermain bersama
teman-temannya, lalu dibunuh. Lafaz ( ‫“ )قَبلَ اَقَ َحلْثَ نَ ْفّسًب‬Musa berkata
kepada Khidir: Apakah kamu membunuh dia yang bersih dari dosa
tanpa alas an, atau dia pernah membunuh suatu jiwa yang diharamkan.
Lafaz ( ‫ )لَقَدْ جِئْثَ شَيْئًب‬sesungguhnya, kamu telah melakukan sesuatu
yang tidak disetujui oleh akal siapapun dan dibenci oleh perasaan
siapapun.41Bagaimana Khidir seorang Nabi, membunuh seorang anak
kecil yang tidak bersalah dan berdosa.Karena itu, Musa kembali
menolak dan membantah Khidir.Sesungguhnya Khidir membunuh
anak kecil itu karena untuk menyelamatkan keimanan kedua
orangtuanya. Anak kecil itu akan menjadi kafir jika hidup sampai
dewasa. Maka Khidir khawatir bahwa dia akan mendorong kedua
orangtuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran.
c. Pada ayat 77, syaikh Asy-Syanqithi menafsirkan bahawa lafaz
(َ‫ )فَىَجَدَافِ ْيهَب جِدَازًا يُسيْدُ أَنْ يَنْقَّضَ فَأَقَبمَه‬terdapat majas, karena
menegakkan didnding yang telah roboh merupakan perbuatan yang
tidak mungkin dapat dilakukan. Padahal ayat-ayat di dalam Al-Qur‟an
telah menunjukkan bahwa tidak ada penghalang untuk menegakkan
kembali dinding yang telah roboh, sebab Allah Maha mengetahui
benda-benda
mati,
baik
berupa
perkataan
maupun
perbuatan.42Selanjutnya sebagaimana penafsiran Al-Maraghi, lafaz
(‫جسًا‬
ْ َ‫علَيْهِ أ‬
َ ‫ت‬
َ َ‫ )قَبلَ لَ ْىشِئْثَ لَحَخَر‬Musa berkata: “Jikalau kamu mau, niscaya
40
Shihab, op. cit., h. 107.
Al-Marahgi, op. cit., h. 355.
42
Asy-Syanqithi, op. cit., h. 336.
41
58
kamu mengambil upah untuk itu”. Maksud muka yaitu ingin
memberikan dorongan kepada Khidir agar mengambil upah dari
perbuatannya itu, supaya dapat digunakan untuk membeli makanan,
minuman, dan kepentingan hidup lainnya.43
Dari ketiga peristiwa tersebut, dapat dikatakan bahwa seorang anak secara
langsung sebagai aktor di dalamnya sangat berpengaruh bagi kepribadiannya.
Anak akan merasakan dan bertindak langsung dengan apa yang sedang
dialaminya. Dengan terjun langsung sebagai aktor, seorang anak diajarkan
bagaimana ia menjaga kesabarannya serta berpikir positif terhadapperistiwa
yang
dialaminya.
Hal
ini
dapat
mengembangkan
integritas
pada
kepribadiannya.
Sebagai mana yang dikutip Sigit Mangun Wardoyo, Hanafiah dan Sujana
berpendapat bahwa inquiry learning adalah metode pembelajaran yang
menuntut siswa untuk dapat menemukan sendiri pengetahuan, sikap, dan
keterampilan sebagai wujud perubahan perilaku. Artinya bahwa dalam
penerapan metode inquiry learning siswadituntut melakukan eksplorasi diri
secara maksimal. Eksplorasi berfungsi untuk membangkitkan berbagai potensi
atau kemampuan yang ada di dalam diri sehingga dapat membantu
menemukan sesuatu yang baru di dalam proses pembelajaran.44
Metode inquiry learning memiliki makna yang sama dengan metode
hadap-masalah. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Paulo Freire bahwa,
pendidikan hadap-masalah adalah teori dan metode pendidikan yang
menjawab panggilan manusia untuk menjadi subjek, karena pengingkaran
subjektivitas manusia yang sepanjang sejarah jumlahnya sama dengan
manusia itu sendiri, sehingga muatan pendidikan harus dapat disesuaikan
dengan permasalahan-permasalahan yang muncul. Hal ini dapat terjadi bila
pendidikan telah menekankan aspek penerimaan sentral tentang kesadaran dan
43
44
Al-Maraghi, op. cit. h. 5.
Sigit Mangun Wardoyo, op. cit., h. 66.
59
konsep kebudayaan.45 Menurutnya pendidikan hadap-masalah sebagai suatu
praksis pembebasan yang manusiawi, menganggap sebagai dasariah bahwa
manusia korban penindasan harus berjuang bagi pembebasan dirinya. Untuk
tujuan itu pendidikan ini mendorong para guru dan murid untuk menjadi
subjek dari proses pendidikan dengan membuang otoritarianisme serta
intelektualisme yang mengasingkan, dia memungkinkan manusia untuk
membenahi pangangan mereka yang keliru terhadap realitas.46
Paulo Freire menjelaskan bahwa, pendidikan mengambil kesadaran
sebagai suatu titik tolak yang menampilkan arkeologi kesadaran yaitu
pengujian atas pemikiran manusia yang menemukan keadaan kesadaran.
Freire menekankan peran berpikir dalam pembuatan kembali dunia.Hal
tersebut memungkinkan kesadaran mengambil sikap aktif terhadap dunia.47
Dari pemaparan di atas, penulis menyimpulkan bahwa surat Al-Kahfi ayat
60-82 terdapat metode inquiry learning, yang memiliki makna sama dengan
hadap-masalah. Artinya murid tidak lagi menjadi objek melainkan berperan
aktif di dalam suatu keadaan tertentu guna mencapai tujuan pendidikan. Murid
diberikan kebebasan untuk berpikir mandiri tanpa pengekangan dari guru,
serta berpikir kritis terhadap suatu permasalan. Dengan demikian kepribadian
terbentuk secara langsung hasil dari pemahaman yang murid amati.
Pengembangan kepribadian dapat di lihat dari ketiga peristiwa yang
dialami Khidir dan Musa, yaitu mengajarkan sifat sabar, tolong-menolong/
berbuat kebajikan dan berhusnuzon (berprasangka baik), yang mana sifat
sabar, tolong-menolong/ berbuat kebajikan dan husnuzon adalah bagian dari
integritas kepribadian.
1) Kepribadian Sabar
45
Firdaus M. Yunus, Pendidikan Berbasis Realitas Sosial Paulo Freire dan YB.
Mangunwijaya, ( Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004), h. 43.
46
Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, penerjemah: F Danuwinata, ( Jakarta: Pustaka
LP3ES Indonesia, 2008), Cet. VII. h. 73.
47
Firdaus M. Yunus, Pendidikan Berbasis Realitas Sosial Paulo Freire dan YB.
Mangunwijaya,op. cit., h. 44.
60
Rif‟at Syauqi mengatakan, “Orang-orang yang bersabar adalah orangorang yang melakoni hidup dan kehidupan dengan jiwa sabar, gembira,
yang dicintai Allah, yang pahalanya diberikanNya dengan sempurna tanpa
batas”.48
Menurut Khalil Al-Musawi, kesabaran ada dua macam yaitu:
a) Sabar atas hal-hal yang dibenci. Contoh kesabaran atas apa yang
dibenci adalah: tertimpa musibah, atau tertimpa penyakit, yang
tentunya tidak disukai. Dalam hal ini, kita wajib bersabar atas
musibah yang menimpa itu, sehingga Allah SWT memudahkan
urusan kita.
b) Sabar atas hal-hal yang dicintai. Contoh kesabaran atas apa yang
dicintai adalah mencintai kedua orang tua. Kewajiban untuk sabar
dalam mencintai mereka dan tetap memeliharakecintaan itu.49
Khilal al-Musawi mengatakan bahwa Rasulullah bersabda mengenai
sabar, “Sabar itu ada tiga; sabar atas musibah, sabar atas taat, dan sabar
dari maksiat”. Dan Imam „Ali as. berkata, “Kedudukan sabar di dalam
iman seperti kedudukan kepala di dalam tubuh. Jika kepala berpisah dari
tubuh; makarusaklah tubuh; jika sabar berpisah dari urusan maka
rusaklah urusan”.50
2) Tolong-menolong/ Berbuat Kebajikan
Menurut Khalil al-Musawi, manusia di dalam mengerjakan kebajikan
terbagi kepada dua kelompok:
a) Manusia yang mengerjakan kebijakan dengan mengharapkan rasa
terima kasih dari orang lain.
b) Manusia yang mengerjakan kebajikan tanpa mengharap rasa terima
kasih dari orang lain.51
3) Husnuzon (berbaik sangka)
48
Rif‟at Syauqi Nawawi, Kepribadian Qur’ani, (Jakarta: Amzah, 2011), Cet. I. h. 72.
Khalil Al-Musawi,Bagaimana Membangun Kepribadian Anda: Resep-resep Sederhana dan
Mudah Membentuk Kepribadian Islam Sejati; Penerjemah, Ahmad Subandi; Editor,Has
Manadi,(Jakarta: PT. Lentera Basritama, 1999), Cet. II, h. 26.
50
Ibid., h. 27.
51
Ibid., h. 42.
49
61
Menurut Khalil, “Berbaik sangka kepada orang lain adalah sumber
untuk menumbuhkan hubungan baik dengan manusia. Sedang berburuk
sangka menciptakan ketegangan di dalam hubungan sosial, bahkan bisa
mendorong kepada kedengkian, pemutusan hubungan, dan permusuhan”.52
2. Metode Uswah Hasanah (Suri Tauladan)
Menurut Abdul Aziz,“Metode pendidikan merupakan cara yang dipakai
untuk mencapai tujuan pendidikan. Metode pendidikan ini bermacam-macam.
Dan berdasarkan kisah dalam Al-Qur‟an surat Al-Kahfi ayat 60-82, tampak
bahwa Nabi Khidir menggunakan metode uswahhasanah atau memberi
tauladan yang baik, yaitu selalu berdisiplin, menepati janji, dan sadar akan
tujuan”.53
Penulis setuju bahwa metode uswah hasanah atau suri tauladan sebagai
metode yang digunakan dalam Al-Qur‟ansurat Al-Kahfi ayat 60-82 untuk
mengembangkan integritas kepribadian anak.
Karena metode tersebut, menurut Abdullah Nashih Ulwan:
Merupakan metode yang berpengaruh dan terbukti paling berhasil
dalam mempersiapkan dan membentuk aspek moral, spiritual, dan etos
sosial anak. Hal ini karena pendidik adalah figur terbaik dalam pandangan
anak, yang tindak-tanduknya dan sopan-santunnya, disadari atau tidak,
akan ditiru anak. Masalah keteladanan menjadi faktor penting dalam
menentukan baik-buruknya anak. Jika pendidik jujur, dapat dipercaya,
berakhlak mulia, berani, dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan
yang bertentangan dengan agama, maka si anak akan tumbuh dalam
kejujuran, terbentuk dengan akhlak mulia, berani dan menjauhkan diri dari
perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan agama.54
Maka perlu diketahui pendidik, bahwa pendidikan dengan memberikan
teladan yang baik adalah penopang dalam upaya meluruskan kenakalan anak.
Bahkan merupakan dasar dalam meningkatkan pada keutamaan, kemuliaan
dan etika sosial yang terpuji. Tanpa memberikan teladan yang baik,
pendidikan anak-anak tidak akan berhasil dan nasihat tidak akan
52
Ibid., h.35.
http/Abdul Aziz WS di Cyber Dakwah Media Islam Terdepan 19-07-2013.
54
Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, Penerjemah: Jamaludin Miri, Editor:
Husin Abdullah, (Jakarta: Pustaka Amani, 1995), Cet. I, h. 2.
53
62
berpengaruh.Pendidikan dengan cara memberi teladan yang baik membuat
anak akan mendapatkan sifat-sifat yang utama, akhlak yang sempurna,
meningkat pada keutamaan dan kehormatan.55
Di dalam surat Al-Kahfi, metode uswah hasanah terdapat pada ayat 7882. Pada ayat 79-82 menjelaskan bahwa Khidir memberi konfirmasi atas
semua perbuatan yang ia lakukan sebelumnya. Al-Maraghi menjelaskan, pada
ayat 79, bahwa bahtera adalah milik kaum yang miskin dan lemah. Mereka
menggunakannya untuk mencari nafkah. Maka, dengan apa yang telah aku
perbuat, aku bermaksud menolong mereka dari apa yang mereka takuti dan
tidak mereka tolak, yaitu seorang raja di hadapan mereka yang kebiasaannya
merampas bahtera-bahtera yang layak pakai.56
Kemudian pada ayat 80-81, Quraish Shihab menafsirkan, yaitu hamba
Allah (Khidir) menjelaskan tentang latar belakang peristiwa kedua. Dia
berkata “Dan adapun si anak yang aku bunuh itu, maka kedua orang tuanya
adalah dua orang mukmin yang mantap keimanannya, dan kami khawatir
bahkan tau, jika anak itu hidup dan tumbuh dewasa dia akan membebani
kedua orang tuanya beban yang sangat berat terdorong oleh cinta kepadanya,
atau akibat keberanian dan kekejaman sang anak sehingga orang tuanya
melakukan kedurhakaan dan kekufuran. Maka dengan aku berniat
membunuhnya, aku berdo‟a semoga Allah mengganti dengan anak lain yang
lebih baik darinya.57
Untuk ayat 82, Quraish Shihab menafsirkan bahwa peristiwa terakhir
dijelaskan oleh hamba Allah yang saleh (Khidir) dengan menyatakan,
“Adapun dinding rumah yang aku tegakkan tanpa mengambil upah itu, ia
adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya terdapat
harta simpanan oranf tua mereka bagi mereka berdua. Bila dinding itu roboh,
kemungkinan besar harta simpanan itu ditemukan dan diambil oleh tidak
55
Ibid., h. 42, 141.
Al-Maraghi, op. cit., h. 10.
57
Shihab, op. cit., h. 108.
56
63
berhak, sedangkan ayah dari kedua anak itu adalah seorang yang saleh dan
berniat menyimpan harta itu untuk kedua anaknya. Maka Allah menghendaki
dipeliharanya harta itu agar keduanya setelah mencapai dewasa mereka berdua
dapat memanfaatkan harta simpanannya tersebut. Khidir mengatakan, apa
yang aku lakukan itu adalah sebagai rahmat terhadap kedua anak yatim itu
dari Allah.58
Kemudian pada ayat 78, dijelaskan bahwa terjadi pelanggaran yang
mengakibatkan perpisahan antara keduanya berpisah. Menurut penafsiran
Quraish hihab, telah tiga kali Nabi Musa as. Melakukan pelanggaran. Kini
cukup sudah alasan bagi hamba Allah itu untuk menyatakan perpisahan.59
Menurut Abdurrahman An-Nahlawi, Allah mengutus Nabi Muhammad
SAW. sebagai hamba dan Rasul menjadi teladan bagi manusia dalam
mewujudkan tujuan pendidikan Islam. Karena pada dasarnya, manusia sangat
cenderung memerlukan sosok teladan dan panutan yang mampu mengarahkan
manusia pada jalan kebenaran dan sekaligus menjadi perumpamaan dinamis
yang menjelaskan cara mengamalkan syariat Allah.60
Di dalam surat al-Kahfi ayat 60-82, penulis menemukan bahwa disiplin,
menepati janji dan sadar akan tujuan adalah sifat kepribadian yang dihasilkan
melalui metode pendidikan uswah hasanah, yaitu sebagai metode untuk
mengembangkan integritas kepribadian anak.
a. Kepribadian Disiplin
b. Menepati Janji
Menurut Khalil, salah satu sifat orang mukmin adalah yang arif adalah
menepati janji dan sumpahnya. Mengingkarinya adalah sifat orang yang
58
Ibid., h. 109.
Ibid., loc. cit.
60
Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat;
Penerjemah, Sihabuddin; Editor, Euis Erinawati, (Jakarta: Gema Insani, 1995), Cet. I, h. 260.
59
64
munafik. Kita harus menepati janji selama janji itu tidak menghalalkan
yang haram ataupun mengharamkan yang halal.61
c. Sadar akan Tujuan
Orang yang memiliki kepribadian sadar akan tujuan dapat diartikan
sebagai orang yang berjiwa konsisten (istiqomah). Menurut Rif‟at Syauqi
jiwa konsisten yaitu “Jiwa yang selalu merasa sadar untuk taat asas dan
berpegang teguh pada apa yang diyakini, serta pedoman yang ada”. 62
3. Metode Nasihat
Dalam surat Al-Kahfi terdapat metode nasihat yaitu pada ayat 70, 72 dan
75. Syaikh Utsaimin menafsirkan,pada ayat 70 lafaz (‫“) فَإِنِ اجّبَعْحَنِي‬Jika engkau
mengikutiku(ٍ‫“) َفلَب َجّسْ َألْنِي عَنْ شَيْء‬maka janganlah kamu menanyakan kepada
diriku tentang sesuatu apapun” yaitu tentang apa yang diperbuatnya (Khidir) (
‫) حَحَى أُحْدِخَ َللَ مِنْهُ ِذ ْمسًا‬sampai aku sendiri yang menerangkan kepadamu”.
Kata(‫ ) حَحَى‬untuk ghayah (artinya sampai). Ucapan Khidir di atas ini adalah
nasihat (petunjuk) seorang guru kepada muridnya agar ia tidak tergesa-gesa
dalam membantah gurunya, tapi hendaknya ia (sabar) menunggu sampai
gurunya menerangkan (apa yang diinginkan).63
Quraish Shihab menjelaskan, pada ayat 72 bahwa hamba yang saleh
mengingatkan Nabi Musa as. akan syarat yang telah mereka sepakati, dan
berkata: “Bukankah aku telah berkata, „Sesungguhnya engkau hai Musa
sekali-kali tidak akan mampu sabar ikut dalam perjalanan bersamaku‟?64
Pada adat 75, Abu Ja‟far Ath-Thabari menafsirkan lafaz ( َ‫قَبلَ َألَمْ أَقُب َاكَ اِنَل‬
‫“ )لَنْ َجّسْ َحطِيْعَ صَ ْبسَا‬Khidir berkata: „Bukankah sudah kukatakan kepadamu,
bahwa sesungguhnya kamu tidak akan sabar bersamaku‟?”. “Maksudnya
61
Al-Musawi, op. cit., h. 36-37.
Syauqi, op., cit., h. 53.
63
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Tafsir Al-Kahfi, Penerjemah: Abu Abdirrahman bin
Thayyib, Editor: Abdul Basith, (Jakarta: Pustaka as-Sunnah, 2005), Cet. I, h. 223.
64
Shihab, op. cit., h. 102.
62
65
adalah terhadap apa yang kamu lihat dari perbuatanku, yang kamu tidak
memiliki ilmu tentang hal tersebut”.65
Hemat penulis metode nasihat ini dapat mengembangkan integritas
kepribadian anak.Sebagaimana yang dikatakan Abdullah Nashih bahwa
“Metode lain yang penting dalam pendidikan, pembentukan keimanan,
mempersiapkan moral, spiritual, dan sosial anak adalah pendidikan dengan
pemberian nasihat.Sebab nasihat ini dapat membukakan mata anak-anak
tentang
hakikat
sesuatu
dan
mendorongnya
menuju
situasi
luhur,
menghiasinya dengan akhlak yang mulia, serta membekalinya dengan prinsipprinsip Islam”.66
Hemat penulis, nasihat yang disampaikannya secara baik tanpa
merendahkan anak dan penuh kasih saying, maka anak tersebut akan
mendengarkan dengan baik. Sebaiknya guru tidak hanya satu atau dua kali
menasihati anak supaya melaksanakan apa yang diperintahkan dan menjauhi
apa yang dilarang, namun secara terus-menerus (konsisten). Nasihat juga akan
lebih baik jika ditambah dengan motivasi-motivasi yang dapat menarik para
anak. Hal ini dimaksudkan agar anak tergerak untuk merenungi apa yang
dinasihatkan serta mau mengamalkannya.
Menurut Abdurrahman An-Nahlawi, nasihat memiliki beberapa
bentuk dan konsep. Dan yang terpenting adalah sebagai berikut:
a. Pemberian nasihat berupa penjelasan mengenai kebenaran dan
kepentingan sesuatu dengan tujuan agar orang yang dinasihati
menjauhi kemaksiatan sehingga terarah pada suatu yang dapat
mewujudkan kebahagiaan dan keuntungan.67
b. Pemberian peringatan yang dalam hal ini, pemberi nasihat harus
meuturkan kembali konsep-konsep dan peringatan-peringatan ke
dalam ingatan objek nasihat sehingga konsep dan peringatan itu
dapat menggugah berbagai perasaan, afeksi, dan emosi yang
mendorongnya untuk melakukan amal saleh dan bersegera menuju
ketaatan kepada Allah serta pelaksanaan berbagai perintahNya.68
65
Abu Ja‟far Ath-Thabari, op. cit., h. 297.
Nashih, op,cit., h. 66.
67
An-Nahlawi, op. cit., h. 289.
68
Ibid., h. 293.
66
66
Dalam surat Al-Kahfi ayat 70, 72 dan 75 ini menggunakan metode
nasihat, yaitu dengan menunjukkan sesuatu yang harus dijauhi. Khidir
memberi petunjuk agar Musa tidak tergesa-gesa dalam membantah Khidir, hal
ini yang harus di jauhi oleh Musa. Hal ini dimaksudkan supaya Musa
bersabar. Maka seorang guru haruslah memberi nasihat kepada muridnya apa
yang harus dijauhi. Yaitu dngan memberi petunjuk mengenai hal-hal yang
harus dijauhi, contoh menjauhi maksiat.
Menurut Abdullah Nashih, metode nasihat dengan menunjukkan sesuatu
yang haram (agar dijauhi) memberikan pengaruh yang besar dalam
mengokohkan pengetahuan, membangkitkan pemahaman, menggerakkan
kecerdasan, penerimaan nasihat, dan membangkitkan perhatian yang
mendengar. Para pendidik, bila secara baik memakai metode ini dalam
menyampaikan nasihat dan dan petunjuknya kepada anak didiknya, keluarga,
murid di bangku sekolah atau lainnya, insya Allah mereka akan belajar,
menerapkan dan mengamalkan apa yang dinasihatkan itu.69 Menurutnya
metode nasihat dalam Al-Qur‟an mempunyai andil yang besar dalam upaya
pendidikan jiwa pada kebaikan, mengantarkannya kepada kebenaran, dan
membimbingnya pada petunjuk.70
Menurut penulis kepribadian yang diperoleh melalui metode pendidikan
ini yaitu kepribadian sabar dan tidak tergesa-gesa, dengan penjelasan sebagai
berikut:
a. Menurut Rif‟at Syauqi, “Sabar adalah tekun dan bersungguh-sungguh
dalam mencapai cita-cita, sebab tiada keberhasilan yang luar biasa
selain suatu cita-cita yang diraih dengan kesabaran”.
b. Menurut Khalil,“Tergesa-gesa sebagai sifat manusia, juga menyerupai
kecepatan dalam dunia mekanika. Karena dengan tergesa-gesa,
seorang manusia dapat menyingkat waktu sampai ke tujuan. Namun,
dalam hal manusia, biasanya hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan
yang diharapkan”. Sikap tergesa-gesa mengakibatkan keresahan”.
69
Nashih, op. cit., h. 124.
Ibid., h. 71-72.
70
67
4. Metode Hukuman
Pada ayat 78, terdapat metode hukuman didalamnya. Quraish Shihab
mengatakan, setelah tiga kali Musa as.melakukan pelanggaran, kini cukup
sudah alasan bagi hamba Allah ini untuk menyatakan perpisahan. Karena itu
dia berkata, “Inilah” masa atau pelanggaran yang menjadikan perpisahan
antara aku denganmu wahai Musa, apalagi engkau sendiri telah menyatakan
kesediaanmu kutinggal jika engkau melanggar sekali lagi.71
Menurut Wasty Soewanto prosedur-prosedur pengendalian atau perbaikan
tingkah laku salah satunya dengan cara hukuman. Untuk memperbaiki tingkah
laku hukuman hendaknya diterapkan dikelas dengan bijaksana.Hukuman
dapat mengatasi tingkah laku yang tak diinginkan dalam waktu singkat, untuk
itu perlu disertai dengan reinforcement. Hukuman menunjukkan apa yang
tidak boleh dilakukan murid, sedangkang reward menunjukkan apa yang
mesti dilakukan oleh murid.Hukuman hendaknya dilaksanakan langsung,
secara kalem, disertai reinforcement, dan konsisten.72
Menurut penulis, bagi anak yang mendapat hukuman ketika melanggar,
akan mengerti bahwa apa yang diperbuatnya itu salah. Dan pada saat guru
menghukum anak tersebut, sesungguhnya anak diajarkan untuk paham bahwa
suatu perbuatan yang buruk pastilah akan memberikan sanksi kepadanya.
Dengan demikian diharapkan bagi anak yang melanggar dan mendapat
hukuman ini akan bertaubat dan tidak mengulanginya kembali. Anak akan
mengerti bahwa ia harus mematuhi dan melaksanakan tanggung jawab,
kedisiplinan, menepati janji serta aturan atau perintah baik lainnya.
Bukti menunjukkan, bahwa hukuman atas misasi kelakuan murid yang tak
pantas lebih efektif daripada tidak menghukum. Ada dua bentuk hukuman:
a. Pemberian stimulus derita, misalnya: bentakkan, cemoohan, atau
ancaman.
b. Pembatalan perlakuan positif, misalnya: mengambil kembali suatu
mainan atau mencegah anak untuk bermain-main bersama temantemannya.73
71
Shihab, op. cit., h. 106-17.
Wasty Soemanto, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2006), Cet. V, h. 217.
73
Ibid.
72
68
Abdullah Nashih berpendapat bahwa, metode yang dipakai Islam dalam
upaya memberikan hukuman kepada anak adalah sebagai berikut:
1) Lemah-lembut dan kasih sayang.
2) Menjaga tabiat anak yang salah dalam menggunakan hukuman.
3) Dilakukan secara bertahap, dari yang paling ringan hingga yang paling
keras.74
Menurut Abdullah Nashih, Rasulullah SAW. telah meletakkan metode
dan tata cara bagi para pendidik untuk memperbaiki penyimpangan anak,
mendidik, meluruskan kebengkokannya, membentuk moral dan spiritualnya.
Sehingga pendidik dapat mengambil yang lebih baik, memilih yang lebih
utama untuk mendidik dan memperbaiki.Pada akhirnya dapat membawa
sampai
tujuan
yang
diharapkan.Menjadi
manusia
mukmin
yang
bertakwa.Adapun metode yang diberikan Rasulullah SAW dalam memberikan
hukuman diantaranya:
a) Menunjukkan kesalahan dengan pengarahan.
b) Menunjukkan kesalahan dengan ramah tamah.
c) Menunjukkan kesalahan dengan memberikan isyarat.
d) Menunjukkan kesalahan dengan kecaman.
e) Menunjukkan
kesalahan
dengan
memutuskan
hubungan
(memboikotnya).
f) Menunjukkan kesalahan dengan memukul.
g) Menunjukkan kesalahan dengan memberikan hukuman yang membuat
jera.75
Menurut Abdullah Nashih, “Dengan memberikan hukuman, anak akan
jera dan berhenti dari perilaku buruk, ia akan mempunyai perasaan dan
kepekaan yang menolak mengikuti hawa nafsunya, mengerjakan hal-hal yang
74
Nashih, op. cit., h. 162-163, 165.
Ibid., h. 165-166, 168.
75
69
diharamkan. Tanpa ini anak akan terus-menerus berkubang pada kenistaan,
kemungkaran dan kerusakan”.
Menurut Abuddin Nata, “Pemberlakuan hukuman dalam pendidikan tidak
berhenti pada hukuman itu sendiri, melainkan kepada tujuan yang ada di
belakangnya, yaitu agar manusia yang melanggar itu insyaf, bertaubat, dan
kembali menjadi orang yang baik. Dan ketika sudah berada dalam keadaan
yang baik ini, mereka tidak lagi dihukum”.76
Hemat penulis, hukuman yang diberikan Khidir dengan memutuskan
perjalanannya bersama Musa mengakibatkan perpisahan di antara keduanya.
Hal ini disebabkan karena ketergesa-gesaan Musa dalam menyimpulkan
sesuatu, tidak disiplin, tidak konsisten dan tidak menepati janjinya untuk
bersabar. Hukuman tersebut secara langsung mengajarkan untuk bersifat dan
berjiwa sabar, disiplin, konsisten dan dapat menepati janji.
76
Nata, op. cit., h. 157.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas, penulis menyimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Pengembangan integritas kepribadian anak yang terkandung dalam surat
Al-Kahfi ayat 60-82 adalah dengan cara sebagai berikut:
a. Menjadikan peserta didik sebagai actor yang yang ikut serta di dalam
suatu keadaaan tertentu. Peserta didik diberi kesempatan untuk berpikir
tanpa adanya batasan dari gurunya, maka dengan demikian anak didik
akan lebih mandiri, berpikir kritis, mampu mengembangkan potensi
yang dimilikinya dan lebih memahami materi yang sedang dipelajari.
Namun demikan, seorang guru harus tetap mengontrol bagaimana pola
pikir dari anak didik, yaitu dengan menjelaskan kembali materi yang
terkait di akhir pelajaran, serta meluruskan pemikiran para anak didik
yang melenceng atau tidak sesuai dengan tujuan pendidikan tersebut.
Dengan terjun langsung peserta didik akan lebih memahami dan
merasakan suatu permasalahan tersebut. Di dalam surat Al-Kahfi ayat
60-82 ini terkandung tiga peristiwa yang sesungguhnya Khidir telah
melakukan perbuatan baik yaitu tolong-menolong. Dan melalui
peristiwa tersebut kepribadian Musa terbentuk.
b. Memberikan contoh yang baik kepada peserta didik, yaitu tidak hanya
dengan ucapan namun seorang guru harus mengaplikasikannya pula
dalam kehidupan sehari-hari. Karena ketika seorang guru telah menjadi
tauladan yang baik bagi peserta didiknya, tidak ada alasan lagi bagi
mereka untuk tidak merubah kepridiannya menjadi lebih baik pula.
Selain, itu pada dasarnya seorang anak cenderung mengikuti figur
orang-orang di sekelilingnya, termasuk figur guru. Suri tauladan
terbukti lebih mudah untuk diikuti oleh anak. Ketika anak melihat
contoh yang baik, maka kepribadian anak akan terbentuk sesuai
70
71
dengan suri tauladan yang dia lihat di sekelilingnya. Jika si anak
dikelilingi oleh orang yang disiplin, maka di dalam ansak tumbuh
pribadi demikian.
c. Menyampaikan atau mengarahkan kepada anak mengenai batasan atau
kebenaran yang harus dilaksanakan dan keburukan atau kesalahan
yang harus dihindari. Dari metode ini si anak yang tadinya tidak tahu
menjadi tahu dan dari tidak mengerti menjadi mengerti. Contohnya
seorang guru menasihati kepada muridnya supaya sabar dalam belajar,
tidak
mudah
mencontek
ketika
mengalami
kesulitan
dalam
mengerjakan soal. Dengan demikian murid akan berusaha bersabar dan
tekun dalam belajar.
d. Memberikan alternatif terakhir dalam membentuk kepribadian anak,
yaitu
dengan
memberikan
hukuman
ketika
anak
melakukan
pelanggaran. Hukuman diperlukan ketika seorang anak sudah diberi
nasihat, namun tetap membangkan. Diharapkan ketika diberi hukuman
anak akan berhenti melakukan dan taubat. Kepribadian yang terbentuk
yaitu anak akan istiqomah dan disiplin dalam menjalankan
kewajibannya.
2. Metode pendidikan yang terkandung di dalam surat Al-Kahfi ayat 60-82
sebagai pengembangan integritas kepribadian anak adalah sebagai berikut:
a. Metode Inquiry Learning
b. Metode Uswah Hasanah
c. Metode Nasihat
d. Metode Hukuman
3. Hikmah yang terkandung dalam al-Qur’an surat al-Kahfi ayat 60-82
adalah sebagai berikut:
a. Hendaknya seseorang tidak merasa bangga dengan ilmunya, dan
hendaknya tidak tergesa-gesa mengingkari apa yang dianggapnya tidak
baik, karena mungkin saja di situ terdapat rahasia yang belum
diaketahui.
72
b. Terdapat pendidikan untuk Nabi Allah agar tidak segera meminta
mendatangkan
hukuman
kepada
orang-orang
musyrik
yang
mendustainya, serta memperolok dirinya dan kitab Allah. Karena,
perbuatan mereka itu akan membawa kepada kehinaan dan
kemusnahan di dunia, bahkan di akhirat akan menerima kenistaan dan
azab yang kekal.
c. Apa yang terjadi dalam kisah ini berjalan setiap hari di dalam
kehidupan ini. Tidaklah berpendapat, bahwa pembunuhan anak yang
tidak berdosa menyerupai penyakit ta’un yang membinasakan umat
dengan cara mengerikan, dan binatang yang dimakan bianatang buas
atau dimakan manusia. Sebaiknya manusia merenungi hikmah semua
itu, tentu mereka mengetahui bahwa andai saja mereka hidup beratesratus tahun lamanya dan tidak ada yang mati, maka bumi ini akan
terasa sempit oleh mereka.
d. Pelobangan kapal milik orang miskin menyerupai kematian sapi milik
seorang petani miskin, hal ini terjadi tidak lain karena hikmah-hikmah
yang hanya diketahui oleh Allah. Di antara hikmah itu, kadang orang
kafir, ketikamati, keluar dari alam ini dengan perasaan ringan, tidak
disedihkan oleh apapun. Sedang orang kaya, jika tidak mendidik
dirinya, ruhnya akan selalu tertarik kepada alam dan melihat-lihat apa
yang ada di dalamnya, sehingga ia ketika mati dia dalam keadaan
merugi.
e. Penyebutan dan penegakkan dinding mengisyaratkan bahwa setiap
orang yang kita lihat secara lahir tidak patut mendapat hikmah,
sesungguhnya telah diliputi oleh nikmat. Maka, penduduk negeri yang
berperangai
keji
dan
kikir
tidak
patut
untuk
mendapatkan
penghormatan.
B. Saran
1. Al-Qur’an selain sebagai petunjuk bagi umat manusia juga sebagai sumber
ilmu pengetahuan. Mempelajari dan menghayati isi kandungannya
merupakan kewajiban khususnya bagi umat muslim. Di antaranya dengan
73
cara membaca, mengkaji dan mempelajari penafsiran-penafsiran para
ulama mengenai isi kandungan al-Qur’an.
2. Ketepatan pendidik dalam memilih metode pendidikan sangat penting
dalam proses pembelajaran. Hal ini dimaksudkan agar pendidik tidak
hanya memberi pengetahuan dan pemahaman, namun pendidik juga
berkewajiban membina dan mengembangkan integritas pada setiap anak
didiknya.
3. Penerapan metode dalam proses pendidikan harus disesuaikan dengan
kondisi yang terjadi dalam proses pendidikan tersebut. Terutama
menyesuaikan dengan kemampuan pendidik dalam menggunakan metode
dan keadaan peserta didik. Karena setiap peserta didik mempunyai
karakteristik yang berbeda-beda.
74
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mohammad Daud. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2008.
Arief, Armai. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta : Ciputat
Press, 2002.
_____. Pembaharuan Pendidikan Islam di Minangkabau, Ciputat: Suara ADI, 2009,
Cet. I, 2009.
Badudu, J.S. dan Zain, Sutan Mohammad. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, Cet. II, 1996. .
Chirzin, Muhammad. Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti
Prima Yasa, Cet. I, 1998.
Daradjat, Zakiah. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang, Cet. XVII, 2010.
_____. Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam. Jakarta: Bumi Aksara, Cet. IV,
2008.
Hasbullah. Dasar-dasar Ilmu pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006.
Jalal, Abdul. Ulumul Qur’an. Surabaya: Dunia Ilmu, Cet. II, 2000.
Khalidy, Shalah. Kisah-kisah al-Qur’an Pelajaran dari Orang-orang Terdahulu.
Jakarta: Gema InsaniPress, Cet. I, 2000.
Ladjid,
Hafni.
Pengembangangan
Kurikulum
Menuju
Kurikulum
Berbasis
Kompetensi. Ciputat: Quantum Teaching , Cet. I, 2005.
Al-Maraghi, Ahmad Musthafa. Terjemah Tafsir al-Maraghi. Ter. Tafsir al-Maraghi
oleh Hery Noer Ali, dkk., Jilid XV, Semarang: CV. Toha Putra, Cet. I, 1988.
_____. Terjemah Tafsir al-Maraghi. Ter. Tafsir al-Maraghi oleh Hery Noer Ali, dkk.,
Jilid VI. Semarang: CV. Toha Putra, Cet. I, 1988.
Marimba, Ahmad. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Al-Maarif, Cet.
IV, 1980.
74
75
Masyhur, Kahar. Pokok-Pokok Ulumul Qur’an. Jakarta: PT. Rineka Cipta, Cet.I,
1992.
Muhaimin. Paradigma Pendidikan Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004.
Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Abu Ja’far. Terjemahan Tafsir Ath-Thabari,
penerjemah: Ahsan Askan dan Khairul Anam, Jakarta: Pustaka Azzam, Cet. I,
2009.
Mujib, Abdul,
Kepribadian dalam Psikologi Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2007
Al-Munawar, Said Agil Husain. Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki.
Jakarta: Ciputat Press, Cet. I, 2002.
Al-Musawi, Khalil. Bagaimana Membangun Kepribadian Anda: Resep-resep
Sederhana dan Mudah Membentuk Kepribadian Islam Sejati. Penerjemah,
Ahmad Subandi; Editor,Has Manadi, Jakarta: PT. Lentera Basritama, Cet. II,
1999.
An-Nahlawi, Abdurrahman. Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat.
Terjemah Ushulut Tarbiyah Islamiyah wa Asalibiha Fil Baiti wal Madrasati
wal Mujtama, oleh Shihabuddin. Jakarta: Gema Insani Press, Cet. I, 1995.
Nasr, Sayyed Husain. Islam Dalam Cita dan Fakta. terjemah Abdurrahman Walid
dan Hasyim Wahid. Jakarta: Leppenas, 1983.
Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, Cet. I,
2005.
_____. Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an. Jakarta: UIN Jakarta Press, Cet. I,
2005.
Nawawi, Rif’at Syauqi. Kepribadian Qur’ani. Jakarta: Amzah Cet. I, 2011.
Nizar, Samsul. Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka
tentang Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana, Cet. I, 2008.
_____. Pemikiran Pendidikan Islam. Ciputat: Gaya Media Pratama, Cet. I, 2001.
Rasydin dan Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis, Teoritis
dan Praktis. Ciputat: PT. Ciputat Press, Cet. II, 2005.
76
Sagala, Syaiful. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: CV Alfabeta, Cet. IV,
2006.
Sapuri, Rafy. Psikologi Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009.
Ash-Shabuni, Syekh Muhammad Ali. Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis, terjemahan
At-Tibyan fi Ulumil Qur’an, penerjemah: Muhammad Qodirun Nur, Jakarta:
Pustaka Amani, Cet. I, 2001.
Shihab, Quraish. Lentera Al-Qur’an Kisah dan Hikmah Kehidupan. Bandung: PT.
Mizan Pustaka, Cet. I, 2008.
_____. Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera
Hati, Cet. II, 2004.
_____. Wawasan Al-Qur’an. Bandung: Mizan, Cet. VI, 1997.
Shihab, Umar. Kontekstual Al-Qur’an; Kajian Tematik Atas Ayat-ayat Hukum dalam
Al-Qur’an. Jakarta: Penamadani, 2005, Cet. III, 2005.
Sjarkawi. Pembentukan Kepribadian Anak; Perab Moral, Intelektual, Emosional, dan
Sosial Sebagai Wujud Interitas Membangun Jati Diri. Jakarta: PT. Bumi
Aksara, Cet. II, 2008.
Asy-Syanqithi,
Terjemahan Tafsir Adhwa’ul Bayan, penerjemah: Fakhrurazi,
Jakarta: Pustaka Azzam, Cet. I, 2007.
Sukmadinata, Nana Syaodih. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, Cet. VIII, 2012.
Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan; Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan
R&D. Bandung: Alfabeta, Cet. XVII, 2013.
Suryadilaga, M. Alfatih, dkk. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras, Cet. I,
2005.
Supriyanto, Eko B. Budaya Kerja Perbankan Jalan Lurus Menuju Integritas. Jakarta:
Pustaka LP3ES Indonesia, Cet. I, 2006.
Soemanto, Wasty. Psikologi Pendidikan; Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan.
Jakarta: PT. Rineka Cipta, Cet. V, 2006.
77
Tafsir, Ahmad. Metodologi Pengajaran Agama Islam. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, Cet. XI, 2007.
Ulwan, Abdullah Nashih. Pendidikan Anak dalam Islam. Penerjemah: Jamaludin
Miri, Editor: Husin Abdullah, Jakarta: Pustaka Amani, Cet. I, 1995.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Jakarta: CV. Eko Jaya, Cet. I, 1989.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Pendidikan
Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan Republik Indonesia, 2003.
Al-Utsaimin, Muhammad Shalih. Tafsir Al-Kahfi. Penerjemah: Abu Abdirrahman bin
Thayyib, Editor: Abdul Basith, Jakarta: Pustaka as-Sunnah, Cet. I, 2005.
Zed, Mestika. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
Cet. II, 2008.
http/Abdul Aziz WS di Cyber Dakwah Media Islam Terdepan 19-07-2013.
lr
UJI REFERENSI
Nama
Rifqoh Zakiyah
NIM
109011000267
Fakultas
Ilmu TarbiyahdanKeguruan
Judul Skripsi
MetodePendidikan
dalamAl-Qur'anSuratAl-Kahfi Ayat 6082 untukMengembangkan
IntegritasKepribadianAnak
DosenPembimbing
No
Dr. AnshoriLAL, MA
Judul Buku
HalamanFootnote
Paraf
Dosen
Abdul lalal, Ulumul Qur'an, (Surabaya:
DuniaIlmu,2000),Cet.il.
2
2
Abdullah NashihUlwan, PendidikanAnak
dalamIslam, Penerjemah:JamaludinMiri,
Editor: Husin Abdullah, (Jakarta:Pustaka
Amani, 1995),Cet.I.
57,59,61,62,
3
A bdurrahmanAn-Nah lawi, P endidikan
Islam di Rumah,Sekolah,dan Masyarakat;
Penerjemah,
Sihabuddin;
Editor,Euis
Erinawati,(Jakarta:GemaInsani,1995),
Cet.I.
A
Abuddin Nata, Pendidikan dalam Perspektif 1 , 2 , 4 , 1 4 ,
Al-Qur'an, (Jakarta:UIN JakartaPress,
2005),Cet.I.
4----
5
Abuddin Nata, Filsafat PendidikanIslam,
(Jakarta:Gai'aMedia Pratama,2005),
Cet.I
.4
a
{7
J
t
z-"
{O
)
r t t
lq ))
2
)a
,r
6
Ahmad Marimba, PengantarFilsafat
Pendidikan Islam, (Bandung:Al-Maarif,
1980),Cet.IV.
29
7
Ahmad Musthafaal-Maraghi,Terjemah
Tafsir al-Maraghi,Ter. Tafsir al-Maraghi
oleh Hery Noer Ali, dkk., Jilid XV,
(Semarang:
CV. TohaPutra,1988),Cet.I.
35-42,44-52
8
Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran
Agama Islam, (Bandung:PT. Remaja
Rosdakarya,2007),Cet. XI.
l5
Zr--
9
Al-Rasydin dan SyamsulNizar, Filsafat
P endidikan Islant PendekotanHistoris.
(Ciputat:PT. Clputat Press,2005),Cet. II
5
f
1 0 Armai Arief, Pengantarllmu dan
4t"
.z?-
8
Metodologi PendidikanIslam, (Jakar-ta:
ciputat Press,2002).
II
BayraktarBayrakli, Prinsip dcml{etocle
pendidikanIslanr,(Jakarta:Inisiasipress,
200q" Cel L
t2
Eko B Supriyanto,BudayaKe4ja
PerbankanJalan Lurus Menuju Integritas,
(Jakarta:PustakaLP3ES Indonesia,2006),
Cet.I.
22.s4
4
a1
2z--
ta
IJ
Hafni Ladjid, Pengembangangan
Kur i kulum Menuj u Kur ikulum Ber basis
Kontpetensi,(Ciputat:QuantumTeaching,
2005).Cet.I.
t6,
z-
1I TA
Hanun Asrohah, Sejarah PendidikanIslam,
(Jakarta:PT. Llgos Wacana,1999),Cet. I.
t6
4L-
r5
Hasbullah,Dasar-dasarllmu pendidikan,
(Jakarta:PT. RajaGrafindopersada,2006).
15
.t:=-
r
I
T6 Imam Bukhari, Shahih al-Bukhari; Kitab
35- 38,
TafsirAl-QLtr'en, no. 4725.
t 7 Iwan Soehartono,MetodePenelitian Sosial, l l
(Bandung:Remaja RosdaKarya, 2002),
Cet.V.
1 8 Jalaluddin,TeologiPendidikan,(Jakarta:
PT. RajaGrafindo,2002\,Cet.II.
28
t 9 J.S.Badududan SutanMohammadZain.
27,30
Kamus UmumBahasaIndonesia,(Jakarta:
PustakaSinarHarapan,1996),Cet. II.
20 Kahar Masyhur,Pokok-PokokUlumul
?
2>-
z>-
23
Qur'on, (Jakarta:PT. RinekaCipta, 1992),
Cet.I.
21 Khalil Al-Musawi,Bagointana
Membangun 5 5 ,5 6 ,5 9 , 5 9 ,
Kepribadian Anda: Resep-resepSederhana
dan Mudah MembentukKepribadian Islam
Se"i
at i : Penerjemah,
Ahmad Subandi;
pT. Lentera
Editor.HasN{anadi,(Jakarta:
Basritama,1999),Cet.II.
22 Muhaimin, ParadigmaPendidikanIslam,
(Bandung:PT. RemajaRosdakarya,2004\.
ZJ
)A
ZJ
z2--
l5
Muhammadbin Shalihal-Utsaimin.Tafsir
58
At-Kahfi, Penerjemah
: Abu Abdinahman
bin Thayyib,Editor:Abdul Basith,(Jakarta:
Pustakaaq-Sunnah,
2005),Cet.I.
MuhammadChirzinM.Ag, Al-eur'an dan
Ulumul Qur'an, (Yogyakarta:pT. Dana
BhaktiPrimaYasa,1998),Cet II.
1A
M. HusainThabathaba'
i, Inilah isalant,
terjemahAhsin Muhammad(Jakarta:
Pustaka
Hidayah,1991).
25
4>.4
-1
4
I
.;
26 M. QuraishShihab,WawasanAl-Qur'an,
24
z?
27 M. QuraishShihab,LenteraAl-Qur'an
25
a-
39,43,44,47,48,
.-
(Bandune:Mizan. 199n. Cet.VI.
Kisah dan Hikmah Kehidupan,(Bandung:
PT. Mizan Pustaka.2008).
28 M. Qurais Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan,
Kesandan KeseharianAl-Qur'an, (Jakarta: 5 1 , 6 0
LenteraHati. 2000. Cet. VII.
29 MohammadDaud Ali, PendidikanAgama
24
Islam, (Jakarta:PT. RajaGrafindoPersada,
2008).
3 0 Noeng Muhajir, Metodepenelitian
l1
..<"
Kualitatif, (Yogyakarta:Rake Sarasin,
199O.Cet.VII. Edisike-3.
3l
JL
aa
JJ
Rafy Sapuri,PsikologiIslam, (Jakarta:PT.
RaiaGrafindoPersada.
2009),
28
Rif at SyauqiNawawi,Kepribadian
Amzah,20li), Cet.I
Qur'ani,(Jakarta:
55,58,
SaidAgil Husin Al-Munawar,Al-Qur'an
Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki,
(Jakarta:CiputatPress,2002\,Cet. I.
2
zz-
25
r-
L
.7
28,29,
I
34 SayyedHusainNasr,Islam Dalqm Cita dan
,z-
Fakta, terjemahAbdurrahmanWalid dan
HasyimWahid,(Jakarta:Leppenas,1983).
3 5 Shalahal-Khalidy,Kisah-kisahal-Qur'an
Pelaj aran dari Orang-orang Terdahulu,
(Jakarta:GemaInsaniPress.
2000).Cet.III.
36 Sjarkawi,PembentukanKepribadianAnak;
Perab Moral, Intelektual,Emosional,dan
SosialSebagaiWttiudInteritasMentbanpun
#
r
I
Jati Diri, (Jakarta:PT. Bumi Aksara,2008),
Cet. IL
Supatita,Undang-undangdan Peraturan
pemerintahRI TentangPendidikan,
(Jakarta: Direktorat jenderal Pendidikan
Islam DepartemenAgamaRI, 2006).
Syaiful Sagala,Konsep dan Makna
3 8 Pembelajaran, (Bandung:CV Alfabeta,
2006),Cet. IV.s
JI
416
l7
39
SamsulNizar, MemperbincangkanDi namika
Intelektual dan Pemikiran Hamkn tentang
PendidikanIslam, (Jakarta:Kencana,2008), Cet. I
Umar Shihab,Kontelcstualitas
Al- Qur'an:
40 Kajian TematikAtas Ayat-ayat Hukum,
(Jakarta:Penamadan,
2005),Cet. IIi.
Undang-undangRepublik IndonesiaNomor
A1
+l
2 tahun I989 TentangSistemPendidikan
Nasional,(Jakarta:CV. Eko Jaya,1989),
Cet.I.
J
44
d>--
v-
24
3
42 Wasty Soemanto,PsikologiPendidikan;
43
7
6l
LandasanKerj a P emintpinPendidikan,
(Jakarta:PT. RinekaCipta,2006),Cet.V.
ZakiahDeradjat,Ilmu Jiwa Aganta,
(Jakarta:
BulanBintans.20l0).Cet.XVII
30
http/AbdulAziz WSdi Cyber Dalomh Media
Islam TerdepanI 9-07-20I 3.
56
Mengetahui,
DosenPembimbing
Dr. Anshari LAL. MA
NIP: 195704061994031001
r
ar--
l!'
I
KEMENTERIAN
AGAMA
UINJAKARTA
FITK
No.Dokumen : FITK-FR-AKD-063
Tgl.Terbit
: 1 Maret 2010
No.Revisi:
: 01
Hal
1t1
FoRM(FR)
Jl. lr. H. Juanda No 95 CiDutat 1U12 lndonesh
SURATBIMBINGAN
SKRIPSI
Nomor : Un.01/F.1/I(M
.0L3/......12013
Lamp :Abtraksi/Outline
Hal
: Bimbingan Skripsi
Jakarta.27 Maret2013
KepadaYth.
AnshoriLAL, MA., Dr
PembimbingSkripsi
FakultasIlmu TarbiyahdanKeguruan
UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Assalamu'alaikumwr. wb.
Dengan ini diharapkan kesediaan Saudara untuk menjadi pembimbing I/II
(materi/teknis
) penulisanskripsimahasiswa:
Nama
NIM
Jurusan
Semester
Judul Skripsi
: Rifqoh Zak'tyah
:1090110002'16
: Pendidikan Agama Islam
: VIII (delapan)
:'oMetodePendidikan Dalam Surat Al-Kahfi ayat 66-70 Dalam
Membangun Integritas Pribadi Anak"
Judul tersebuttelah diserujui oleh dosenpembimbing bersangkutanpada tanggal 2l Maret
2013
abstraksi /outline terlampir. Saudara dapat melakukan perubahan redaksional pada
judul tersebut.Apabila perubahansubstansialdianggapperlu, mohon pembimbing menghubungi
jurusan terlebih dahulu.
Bimbingan skripsi ini diharapkan selesai dalam waktu 6 (enam) bulan , dan dapat
diperpanjang selama 6 (enam) bulan berikutnya tanpa surat perpanjangan.
Atas perhatian dan kerja sama Saudara, kami ucapkan terima kasih.
Wassalamu'alaikum wr. wb.
a.n. Dekan
Kajur Pendidikan Agama Islam
Tembusan:
1. DekanFITK
ybs.
2. Mahasiswa
;/*".
9680307199803I 002
Download