II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teoritis 2.1.1. Integrasi Pasar Integrasi pasar merupakan keterpaduan diantara beberapa pasar yang memiliki korelasi harga tinggi. Muwanga dan Snyder (1997) dalam Adiyoga (2006) mengemukakan bahwa pasar-pasar terintegrasi jika terjadi aktivitas perdagangan antara dua atau lebih pasar-pasar yang terpisah secara spasial, kemudian harga di suatu pasar berhubungan atau berkorelasi dengan harga di pasar-pasar lainnya. Dalam hal ini, perubahan harga di suatu pasar secara parsial atau total ditransmisikan ke pasar-pasar lain, baik dalam jangka pendek atau jangka panjang. Analisis integrasi pasar merupakan salah satu indikator untuk mengetahui efisiensi pasar. Pasar akan berjalan secara efisien jika memanfaatkan semua informasi yang tersedia. Informasi harga dan kemungkinan substitusi produk antar pasar selalu berpengaruh terhadap perilaku penjual dan pembeli. Transmisi dan pemanfaatan informasi diantara berbagai pasar mengakibatkan harga dari komoditas tertentu bergerak secara bersamaan di berbagai pasar tersebut. Kondisi ini menunjukkan keberadaan integrasi pasar yang merupakan indikator efisiensi sistem pemasaran (Heytens 1986 dalam Adiyoga 2006). Menurut Baffes dan Bruce (2003) pasar dapat dikatakan terintegrasi apabila perubahan harga yang terjadi di pasar dunia tersebut langsung diteruskan dan direfleksikan ke pasar dalam negeri. Dengan kata lain pola harga yang 16 ditunjukkan harus sama. Sebuah sistem pasar yang terintegrasi secara efisien akan memiliki hubungan yang positif antara harganya di wilayah pasar yang berbeda. Selanjutnya jika perdagangan terjadi pada dua wilayah yang berbeda dan harga di daerah yang mengimpor sebanding dengan harga di daerah yang mengekspor ditambah dengan biaya yang diperlukan, maka kedua pasar tersebut dapat dikatakan telah terintegrasi (Ravallion, 1986). Berbeda dengan Barrett (1996) yang menyatakan bahwa pasar yang tidak terintegrasi spasial maupun intertemporal ini dapat mengindikasikan bahwa terjadi ketidakefisienan pasar seperti terjadi kolusi dan adanya konsentrasi pasar sehingga mengakibatkan adanya permainan harga dan terjadinya distorsi harga di pasar. Rifin dan Nurdiyani (2007) mengatakan bahwa terintegrasi atau tidaknya suatu pasar dapat dianalisis dengan memperhatikan faktor: 1. Segmentansi pasar Pasar dikatakan tidak terintegrasi jika pasar tersegmentasi dimana apabila perubahan harga yang terjadi di pasar acuan tidak mempunyai pengaruh, baik cepat atau lambat terhadap harga di pasar domestik. Dengan demikian diharapkan dengan terintegrasinya pasar domestik, maka harga yang terjadi di pasar domestik dipengaruhi oleh perubahan harga yang ada di pasar acuan. 2. Integrasi jangka Pendek Pasar dikatakan terintegrasi dalam jangka pendek apabila perubahan harga yang terjadi di pasar acuan secara langsung dan utuh diteruskan ke dalam harga di pasar domestik. Analisis ini juga mensyaratkan bahwa tidak ada efek lag pada harga dimasa yang akan datang. 17 Dalam makroekonomi dan ekonomi internasional konsep yang umum dari integrasi pasar terfokus pada kemampuan dalam melakukan perdagangan (trability/tradabilitas). Transfer sinyal tradabilitas terhadap kelebihan permintaan dari suatu pasar ke pasar lainnya ditrasmisikan sebagai arus fisik aktual maupun potensial. Arus perdagangan yang positif dapat mendemontrasikan integrasi pasar spasial berdasarkan konsep tradabilitas (Barret, 2005). Riset integrasi spasial pasar tradisional mengasumsikan bahwa dua daerah dengan pasar ekonomi yang sama untuk produk yang homogen terjadi jika perbedaan harga antara dua daerah sama persis dengan biaya transaksi yang berhubungan dengan perdagangan (Sexton, Kling dan Carman dalam Bernal 2003). Pada suatu keseimbangan yang kompetitif, arus perdagangan terjadi sampai laba potensi menjadi jenuh. Jika perbedaan harga kurang dari biaya biayabiaya transaksi, maka pasar mungkin tersegmentasi atau jika perdagangan masih terjadi juga maka perbedaan ini mengindikasikan adanya strategi maksimisasi keuntungan jangka panjang atau kegagalan atas informasi jangka pendek. Pasar autarki menyediakan penjelasan alternatif untuk pasar tersegmentasi dengan kondisi keseimbangan (Spiller dan Huang dalam Bernal, 2003). Kemudian Anwar (2005) menyatakan bahwa dua pasar terpadu apabila perubahan harga suatu pasar dirambatkan ke pasar lain, semakin cepat perambatannya maka semakin terpadu pasarnya. Kajian tentang integrasi pasar penting dilakukan untuk melihat sejauh mana kelancaran informasi dan efisiensi pemasaran pada pasar. Tingkat keterpaduan pasar yang tinggi menunjukkan telah lancarnya arus informasi diantara lembaga pemasaran sehingga harga yang terjadi pada pasar yang dihadapi 18 oleh lembaga pemasaran yang lebih rendah dipengaruhi oleh lembaga pemasaran yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan apabila arus informasi berjalan dengan lancar dan seimbang, tingkat lembaga pemasaran yang lebih rendah mengetahui informasi yang dihadapi oleh lembaga pemasaran diatasnya, sehingga dapat menentukan posisi tawarnya dalam pembentukan harga. Pada dasarnya analisis integrasi pasar dapat dibedakan menjadi dua bagian berdasarkan hubungan pasar yang dianalisis, yaitu: 1. Integrasi Pasar Spasial Integrasi pasar spasial merupakan tingkat keterkaitan hubungan antara pasar regional dan pasar regional lainnya. Integrasi pasar spasial menunjukkan pergerakan harga, dan secara umum merupakan signal dari transmisi harga dan informasi diantara pasar yang terpisah secara spasial. Prilaku harga spasial dalam pasar regional merupakan indikator penting dalam melihat market performance. Pasar yang tidak terintegrasi bisa membawa informasi harga yang tidak akurat yang dapat mendistorsi keputusan pasar produsen dan kontribusi pergerakan produk menjadi tidak efisien. Tingkat keefisienan antar pasar di berbagai lokasi yang berjauhan mempunyai implikasi penting dalam liberalisasi pasar dan perumusan kebijakan. Mengingat akan pentingnya masalah ini, maka sejumlah uji empiris terhadap Dalil Harga Tunggal (The Law of One Price/LOP) dan ukuran kesatuan dan keefisienan pasar telah banyak dilakukan (Fackler dan Goodwin, 2001 dalam Hutabarat 2006). Dalil ini menyatakan bahwa pada keadaan pasar bersaing, semua hargaharga dalam suatu pasar akan seragam setelah adanya biaya tambahan terhadap kegunaan tempat, waktu dan bentuk dari suatu barang di pasar yang bersangkutan. 19 Apabila pasar terintegrasi maka peningkatan harga di suatu daerah atau negara akan ditransmisikan ke pasar-pasar lainnya. Namun ada beberapa prinsip-prinsip yang menentukan perbedaan harga pasar spasial antar negara berlaku sama pada harga internasional, dimana tidak tersedia rintangan dari pergerakan produk antara negara-negara tersebut. Untuk berbagai komoditi pertanian, tentu saja kondisi rintangan tersebut sangat dibutuhkan dalam perdagangan bebas. Prinsip-prinsip yang mendasari perbedaan harga diantara daerah menurut Tomek dan Robinson (1972) (dengan asumsi sebuah struktur pasar kompetitif termasuk komoditi yang homogen, informasi sempurna dan tidak ada rintangan yang mengganggu perdagangan) dapat diringkas sebagai berikut: a) Perbedaan harga antara tiap dua daerah yang melakukan perdagangan satu sama lain akan sama dengan biaya transfer yang dikeluarkan. Perbedaan harga antara tiap dua daerah yang tidak melakukan perdagangan satu sama lain akan menjadi kurang dari atau sama dengan biaya transfer. b) Perbedaan harga antara daerah tidak dapat melebihi dari biaya transfer. Alasan untuk hal ini sudah jelas karena jika pada saat perbedaan harga lebih besar daripada biaya transfer, para pembeli akan membeli komoditi dari pasar dengan harga yang rendah dan mengirimkannya ke pasar yang harganya lebih tinggi, pada akhirnya pergerakan harga barang dari pasar dengan harga yang lebih rendah ke yang lebih tinggi akan membawa pada kondisi keseimbangan baru. Dengan kata lain pola pembelian ini akan terus menerus berlangsung sampai tidak menguntungkan lagi untuk melakukan pengiriman komoditi antar pasar, karena itu perbedaan harga antar daerah tidak lagi melebihi biaya transfer (Tomek dan Robinson, 1972). 20 Untuk perdagangan internasional, dua pasar dengan terintegrasi spasial dapat terjadi jika harga untuk suatu komoditas yang secara terus-menerus diperdagangakan antar dua negara (ketika penyesuaian kelayakan untuk nilai tukar dan biaya-biaya transaksi) adalah sama seperti Dalil Harga Tunggal. Analisa empiris hubungan harga di pasar internasional telah banyak dikembangkan, tapi hasilnya beragam sehingga tidak mendapatkan dukungan yang kuat tentang Dalil Harga Tunggal (Officer et al. dalam Bernal, 2003). Hubungan harga secara geografis dapat dianalisa dengan menggunakan model keseimbangan spasial (Spatial Equilibrium Model). Model ini memungkinkan untuk mengestimasi net harga yang berlaku di tiap daerah dan kuantitas pertukaran komoditi di tiap daerah yang akan menjual atau membeli dari daerah lain. Model keseimbangan spasial sangat berguna dalam menganalisis hubungan harga antar daerah dan bentuk perdagangan di mana terdapat sejumlah daerah yang mengkonsumsi sekaligus berproduksi. Jika semua daerah menerima satu produsen surplus dan mengirimkannya secara tunggal ke daerah defisit, maka mengurangi biaya transfer dari harga pasar pusat produksi. Akan tetapi, jika masing-masing daerah memproduksi sekaligus mengkonsumsi komoditi yang diperdagangkan maka hal yang tidak selalu dapat ditentukan yakni daerah mana yang akan menyediakan kelebihan penawaran untuk dijual kepada daerah defisit dan yang akan meminta impor. Analisis integrasi pasar spasial membagi pasar dalam dua kategori yakni: pasar yang berpotensi defisit atau kekurangan dan pasar yang berpotensi surplus atau berlebih. Seperti halnya Indonesia memiliki potensi surplus dalam hal memproduksi karet alam sedangkan pasar di negara lain dalam penelitian ini 21 yakni dimisalkan Singapura berpotensi defisit atau dengan kata lain tidak memproduksi karet. Gambar 4 menunjukkan apabila tidak terjadi perdagangan maka harga yang terjadi adalah PA yakni di pasar Indonesia (A) dan PB di pasar Singapura (B) dimana PA < PB. Pada harga diatas PA, pasar Indonesia akan mengalami excess supply, sehingga beberapa produk akan tersedia untuk dijual ke pasar lain. Sedangkan impor akan dilakukan untuk memenuhi kelebihan permintaan (excess demand) di pasar Singapura apabila harga dibawah PB. Selanjutnya informasi dari kurva ini dapat digunakan untuk mengembangkan model keseimbangan spasial akibat perdagangan antara dua pasar dengan menggunakan kurva excess supply dan excess demand seperti yang ditunjukkan oleh kurva pada Gambar 4 bagian c. Kurva excess supply dan excess demand dapat berubah dengan perubahan faktor kekuatan supply dan demand pada masing-masing pasar. Excess supply adalah selisih jumlah yang ditawarkan dengan jumlah yang diminta pada suatu tingkat harga dan waktu tertentu, yang semakin tinggi dengan semakin meningkatnya harga dan bernilai nol pada harga keseimbangan pasar A (PA). Kurva excess supply di dasarkan pada garis datar (selisih) antara kurva supply dan demand di pasar A (Indonesia) pada harga diatas titik keseimbangan (titik b dikurang titik a, yang ditunjukkan oleh grafik bagian a pada (Gambar 4). Grafik juga digunakan untuk menggambarkan kurva excess supply yang ditunjukkan grafik bagian c. Seperti kurva supply biasa, kurva excess supply mempunyai kemiringan (slope) positif dikarenakan selisih antara supply dan demand yang makin melebar akibat peningkatan harga. 22 a. Pasar A (Surplus) b. Pasar B (Defisit) c. Keseimbangan excess supply dan excess demand Harga (P) Transfer Cost (t) SB Excess Supply PB ESA PA’ a di pasar A (ESA) PB SA PEB1 E PE b c d PEA1 PA EDB Excess Demand PA di pasar B (EDB) DB Pt x t DA y 0 QA QB Sumber: Tomek dan Robinson, 1972. Gambar 4. Model Keseimbangan Integrasi Spasial Dua Pasar QE1 QE2 Komoditi (Q) 23 Excess demand adalah selisih jumlah yang diminta dengan jumlah yang ditawarkan pada suatu tingkat harga dan waktu tertentu, yang semakin meningkat dengan semakin rendahnya harga dan bernilai nol pada harga keseimbangan pasar B (PB). Kurva excess demand didasarkan pada garis datar (selisih) antara kurva supply dan demand dibawah titik keseimbangan pada pasar B (titik d dikurang titik c, yang ditunjukkan oleh grafik bagian b pada Gambar 4). Grafik ini juga dapat digunakan untuk menggambarkan kurva excess demand yang ditunjukkan grafik bagian panel c pada Gambar 4. Kurva excess demand mempunyai kemiringan (slope) negatif dikarenakan selisih antara supply dan demand yang makin melebar akibat penurunan harga. Kurva excess supply dan excess demand berpotongan pada harga PB jika tidak ada biaya transfer antara dua pasar, total komoditi sebannyak QE2 (sebesar ab=cd) dapat dijual dari pasar A ke pasar B harga diantara kedua pasar akan sama yaitu sebesar PE. Sedangkan bila biaya transfer dari pasar A ke Pasar B melebihi atau lebih besar dari Pt maka perdagangan tidak akan terjadi. Dalam kasus ini demand dan supply sama di setiap pasar dan perbedaan harga akan lebih kecil dari biaya transfer. Perubahan biaya transfer dapat diilustrasikan dengan garis volume perdagangan yang digambarkan oleh garis xy. Garis vertikal antara 0 sampai Pt menunjukkan besaran biaya transfer, semakin tinggi biaya transfer semakin kecil volume perdagangan dan perdagangan tidak akan terjadi jika biaya transfer sama atau melebihi Pt. Sedangkan garis horizontal antara 0 sampai QE2 menunjukkan besaran perdagangan. Perdagangan akan maksimum pada QE2 ketika biaya transfer sama dengan nol. Sebagai contoh apabila biaya transfer sebesar t, maka 24 total output yang akan ditransfer sebesar QE1 unit. Apabila diasumsikan harga di setiap pasar dapat ditentukan dan slope kurva demand dan supply diperkirakan sama maka efek dari biaya transfer sebesar t akan menurunkan harga dari PB menjadi PB1 pada pasar B (Singpura) dan menaikkan harga dari PA menjadi PA1 pada pasar A (Indonesia). Restriksi perdagangan akan meningkatkan biaya transfer yang menyebabkan perdagangan akan terus berlangsung samapai biaya transfer sama dengan selisih harga. Jika biaya transfer lebih besar atau sama dengan selisih harga antar pasar maka pedagang tidak memiliki insentif untuk melakukan perdagangan. Hal ini mengakibatkan transfer excess demand maupun excess supply antara kedua pasar tidak terjadi dan harga akan bergerak secara mandiri (independence). 2. Integrasi Pasar Vertikal Integrasi pasar vertikal terjadi ketika rantai pemasaran atau produksi dan pemasaran secara berturut-turut saling berhubungan. Kajian mengenai integrasi pasar vertikal penting diketahui untuk melihat keeratan hubungan antara konsumen, lembaga pemasaran dan produsen. Jika konsumen, lembaga pemasaran dan produsen saling berhubungan dan berinteraksi dalam penentuan harga yang terjadi di masing-masing pasar maka dapat dikatakan bahwa pasar tersebut berlangsung secara efisien. Terjadinya perubahan permintaan akan menyebabkan perubahan harga di simpul tersebut, selanjutnya akan diteruskan kepada produsen melalui perubahan permintaan dari pedagang dan seterusnya perubahan tersebut akan dilanjutkan lagi ke pasar produsen, demikian selanjutnya. Salah satu alasan bagi pelaku pasar ritel 25 mengintegrasikan proses penanaman sampai penjualan produk ke tingkat produsen adalah untuk memastikan laju dari produk dengan spesifikasi tertentu dengan batas jangka pengiriman yang konstan. Selanjutnya, integrasi dapat mengurangi biaya pemasaran khususnya penjualan dari suatu tingkat ke tingkat lainnya. Salah satu aspek yang menarik dari integrasi pasar vertikal berdasarkan sudut pandang ekonomi adalah perubahan alami dari sistem harga. Integrasi pasar vertikal telah mengubah kedudukan formasi harga dan telah mengurangi jumlah titik/ simpul dari rantai pemasaran dimana harga tersebut dibentuk. Koordinasi harga secara parsial telah digantikan dengan koordinasi administrasi (Tomek dan Robinson, 1972). 2.1.2. Pasar Berjangka Harga merupakan indikator utama dan kekuatan penggerak suatu sistem pasar bebas di setiap titik kunci dalam mata rantai tata niaga suatu produk. Dalam upaya menciptakan keseimbangan suatu lingkungan yang goyah, yang ditandai oleh sinyal-sinyal harga, maka risiko harga telah berkembang menjadi suatu isu yang besar sejak beberapa kurun waktu yang lalu. Kondisi ini selanjutnya memberi nilai terhadap tersedianya informasi yang tepat waktu dan akurat. Hal ini terjadi karena para pelaku pasar yang bermula berasal dari suatu sistem perekonomian yang direncanakan secara terpusat, telah bergeser kepada sistem berbasis pasar, dan organisasi terkait harus belajar menyiasati kondisi lingkungan harga yang tidak stabil. Faktor-faktor tersebut akan meningkatkan pentingnya praktek-praktek manajemen risiko bagi perusahaan 26 yang beroperasi dalam ekonomi pasar, sebagai suatu jalan untuk mengelola pergerakan harga yang sangat tajam dan yang telah mengakar dalam bisnis. Suatu terobosan teknologi yang menawarkan informasi global around-the-clock access atas kontrak-kontrak dunia yang paling aktif di dalam menjembatani masa sekarang dengan masa yang akan datang, serta mengembangkan perdagangan berjangka ke arah dan yang melampaui wawasan perdagangan komoditi pertanian menuju ke perdagangan keuangan dunia melalui pasar uang dunia, menjadi terasa sangat dibutuhkan. Pasar berjangka sebagai salah satu jenis pasar derivatif berbeda dengan pasar komoditi secara fisik, di pasar berjangka diperdagangkan kontrak berjangka atas komoditi tertentu yang telah ditetapkan persyratannya secara standar dalam kontrak berjangka, antara lain jenis komoditi, mutu, jumlah satuan perkontrak, bulan penyerahan, tempat penyerahan dan persyaratan penyerahan. Hanya harga yang tidak ditetapkan dalam kontrak. Harga kontrak berjangka tersebut itulah yang dijadikan sebagai objek tawar menawar di pasar berjangka. Karena dalam perdagangan berjangka yang ditransaksikan adalah kontrak standar, maka para pelaku atau penjual dan pembeli setiap saat bisa masuk atau keluar secara mudah, selama kontrak tersebut belum jatuh tempo. Perdagangan berjangka juga merupakan bentuk lain dari kegiatan asuransi yang diciptakan berdasarkan mekanisme yang terjadi di pasar, yaitu dengan membentuk pasar bayangan atau pasar derivatif dari pasar komoditi fisiknya, dengan melakukan transaksi di dua pasar tersebut secara bersamaan dengan posisi yang berlawanan (jual dan beli) untuk jumlah dan jenis komoditi yang sama. Dengan demikian, kedua pasar ini akan saling menutupi kerugian yang diderita 27 pada salah satu pasar. Jadi perdagangan berjangka merupakan suatu bentuk lain kegiatan yang dapat dimanfaatkan oleh kalangan dunia usaha sebagai sarana lindung nilai (hedging) yang sangat efektif untuk mengurangi pengaruh timbulnya resiko kerugian yang disebabkan karena adanya fluktuasi harga serta sebagai sarana alternatif investasi bagi pihak yang bermaksud menginvestasikan modalnya di bursa berjangka. Pada awalnya fungsi bursa berjangka komoditi adalah prasarana pembentukan harga (price discovery) yang trasparan, sesuai dengan hukum pasar yaitu supply dan demand dan melindungi kepentingan pihak produsen dan konsumen/processor yakni pabrikan seperti terlihat pada Gambar 5. Pasar Konvensional Petani dan Produsen lain Perusahaan Harga Perusahaan Produsen dan Barang Pedagang Pedagang Eceran dan Konsumen Hedging Fluktuasi Harga Badan Pengawas Stock Barang dan Komite Bursa Komoditi Berjangka Regulasi Pelaku Bursa Spot Kontrak Kontrak Jual/ Beli Future Kontrak Jual/Beli Sumber: Ferlianto et al. 2008. Gambar 5. Hubungan Pasar Konvensional dan Bursa Berjangka 28 Produsen yakni petani menggunakan harga jual untuk pedoman perkiraan besarnya area penanaman, jumlah barang dan kualitas barang bahan baku yang dihasilkan. Sementara processor menggunakan harga pembelian bahan baku sebagai perkiraan biaya produksi, jumlah barang jadi/olahan, tingkat kualitas dan harga penjualan barang nantinya. Dewasa ini bursa tidak hanya sebagai sarana untuk memperdagangkan objek transaksi yang dimaksud, tetapi telah berkembang menjadi sebuah investasi/penanaman modal yang efektif bagi masyarakat pemodal (investor). Tujuannya adalah untuk memperoleh peluang mendapatkan keuntungan/nilai tambah dari selisih harga pembelian dan penjualan tanpa harus terkait langsung dengan fisik barang yang ditransaksikan. Perubahan dan fluktuasi harga yang terus menerus terjadi akibat tingginya aktivitas transaksi di lantai bursa, merupakan indikasi nyata adanya likuiditas yang tinggi, sehingga memungkinkan customer atau pemodal melakukan transaksi sesuai dengan keinginan untuk memperoleh laba. Peserta yang melakukan transaksi di pasar berjangka tidak membutuhkan barang, tetapi memanfaatkan pergerakan harga baik yang naik maupun yang turun untuk menghasilkan suatu keuntungan atau profit. Sedangkan untuk sistem perdagangan untuk menentukan harga dilantai bursa ada 2 cara yakni: a. Free Call System yakni sistem transaksi yang tidak terkait dengan waktu. Contohnya perdagangan valuta asing, komoditi. b. Session Call System yakni sistem transaksi yang terkait oleh Contohnya komoditi dan saham. waktu. 29 Sedangkan untuk kelebihan-kelebihan menanamkan investasi melalui bursa komoditi antara lain sebagai berikut ( Ferlianto et al. 2008): 1. Komoditi bergerak mengikuti musim jenis tanam. Oleh karena itu lebih mudah diperkirakan arah pergerakannya. Pola musim tersebut mengikuti pola supply dan demand. 2. Lebih mudah memahami/mengerti untuk memprediksikan harga yang akan berlaku pada waktu mendatang. Faktor-faktor yang saling mempengaruhi tidaklah serumit bursa-bursa jenis lain. 3. Pergerakan harga komoditi tidak selalu terpengaruh kondisi nilai perbandingan mata uang asing (valas). 4. Komoditi dikontrol oleh kekuatan supply dan demand tidak demikian yang terjadi pada bursa jenis lain. 5. Komoditi lebih cenderung bergerak sendiri berdasarkan supply dan demand dari komoditi tersebut dalam jangka waktu tertentu, sedangkan burasa lain lebih bersifat kelompok. 6. Bursa komoditi terus berlangsung karena sangat penting untuk kehidupan manusia. Penanaman tanaman jenis baru berlangsung setiap musim tanam sedangkan bursa jenis lain tidaklah demikian. 7. Permintaan terhadap komoditi selalu ada sedangkan bursa jenis lain tidaklah demikian. 8. Setiap tahun komoditi tidak berubah, ataupun jika bertambah, sedikit sekali (sangat jarang) sedangkan di bursa jenis lain perputarannya sangatlah cepat. 30 2.1.3. Hubungan Harga Fisik dengan Harga Berjangka Harga fisik (spot price) merupakan harga yang terjadi di pasar fisik untuk komoditi yang langsung diambil atau diantar pada tempat dan waktu tertentu. Harga tersebut terjadi atas kesepakatan bersama penjual dan pembeli, termasuk di dalamnya persyaratan penyerahan atau standar komoditi yang diperdagangkan. Harga fisik terbentuk karena adanya permintaan dan penawaran sehingga bila terjadi perubahan pada faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan dan penawaran maka harga fisik akan berubah. Kenaikan permintaan oleh konsumen atau berkurangnya supply oleh produsen akan suatu komoditi akan menaikkan harga dan bila permintaan menurun atau supply meningkat akan terjadi kelebihan stok yang dapat menurunkan harga. Harga berjangka (future price) merupakan harga yang terjadi di bursa berjangka pada waktu tertentu dan penyerahan di kemudian hari. Harga terbentuk dari harapan-harapan para pelaku bursa komoditas berdasarkan prediksi permintaan dan penawaran suatu komoditas di berbagai produsen dan konsumen komoditas yang bersangkutan. Harga berjangka merupakan harga kontrak futures yaitu sebuah kontrak berjangka yang bersifat mengikat bagi kedua belah pihak untuk membeli ataupun menjual suatu asset finansial maupun nonfinansial tertentu yang penyerahannya dilakukan secara cash settlement di masa yang akan datang, dengan harga yang ditetapkan sekarang (Rambey, 1999). Harga fisik dan harga berjangka mempunyai hubungan saling mempengaruhi. Kedua harga tersebut cenderung memiliki pergerakan searah dengan fluktuasi yang tidak selalu sama, namun hal tersebut tidak selalu terjadi. Pergerakan searah itulah yang dijadikan oleh hedger untuk melindungi 31 perdagangan komoditas di pasar fisik dengan cara mengambil posisi yang berlawanan antara pasar fisik dan berjangka. Harga fisik merupakan acuan bagi harga berjangka, namun hal tersebut tidak selalu terjadi karena tidak semua harga berjangka bereaksi terhadap perubahan harga fisik. Sebaliknya harga berjangka merupakan sinyal harga future untuk pasar fisik. Pengaruh perubahan harga berjangka terhadap harga fisik pada umumnya tergantung pada waktu penyerahan yang terjadi pada perdagangan berjangka. Harga berjangka akan terpengaruh kuat oleh harga fisik bila penyerahan hampir jatuh tempo, otomatis harga berjangka mencerminkan harga fisik. Sedangkan bila waktu penyerahan lebih lama maka harga fisik tidak terlalu berpengaruh karena faktor-faktor yang mempengaruhi harga fisik saat ini belum tentu berlaku di kemudian hari. Harga berjangka bisa juga terbentuk oleh harapan-harapan dari para pelaku bursa berjangka. Harga berjangka suatu komoditi pada saat tertentu merupakan proyeksi kekuatan permintaan dan penawaran suatu komoditi tertentu dari para penjual dan pembeli dan perubahan-perubahan pada harga berjangka sendiri merupakan perbaikan terus menerus dari perkiraan itu sendiri. Ancaman terjadinya kekeringan atau bahaya timbulnya penyakit tanaman bisa menyebabkan kegagalan panen, misalnya bisa mendorong kenaikan harga berjangka, sebelum kejadian yang sesungguhnya terjadi. Dalam bursa berjangka menawarkan kontrak berjangka yang spesifik, antara pasar fisik atau instrumen keuangan, akibatnya akan memunculkan perbedaan karakter yang mendasar antara harga pasar fisik dengan harga yang 32 terjadi di pasar berjangka (harga future). Perbedaan antara harga fisik dan harga berjangka (future) inilah yang dinamakan dengan basis. Basis merupakan salah satu konsep yang paling penting, yang sering digunakan oleh para hedger dalam melakukan lindung nilai mereka. Seorang hedger biasanya selalu lebih memperhatikan perubahan basis daripada perubahan harga. Pergerakan harga di pasar berjangka dengan pasar fisik pada dasarnya berjalan searah (paralel), walaupun pada saat-saat tertentu posisinya bisa mengecil dan membesar. Nilai basis yang diperoleh bisa negatif atau sering disebut pasar normal bisa pula positif atau sering disebut pasar tidak normal. Pada saat akan jatuh tempo terdapat kecenderungan harga berjangka mendekati harga fisik. Pasar normal ditandai dengan harga di pasar berjangka lebih tinggi dibandingkan harga di pasar fisik yang berarti basis ini negatif. Pasar normal juga dikenal dengan pasar at premium atau pasar contago. Pasar normal ditandai dengan penawaran di masa yang akan sangat sedikit, sedangkan permintaan sangatlah banyak. Contohnya sekarang musim panen dan pada bulan Maret musim paceklik/panen gagal. Akibatnya harga future menjadi sangat tinggi di bulan Maret dan bulan berikutnya. Pasar tidak normal ditandai dengan harga di pasar fisik lebih tinggi dari harga pada pasar berjangka yang berarti basis ini positif. Pasar tidak normal juga dikenal dengan pasar at discount atau pasar backwardation. Pasar tidak normal ditandai dengan penawaran di masa yang akan datang lebih besar dari permintaan. Misalnya sekarang musim paceklik, harga fisik sekarang sangat tinggi, tapi harga berjangka lebih rendah karena beberapa bulan kemudian akan terjadi musim panen/panen raya (Widjaya, 2002). 33 Ada beberapa variasi perubahan basis akibat pergerakan harga di pasar fisik dan berjangka yang mempengaruhi keuntungan/kerugian yang dialami hedger, yaitu (Rose, 1997): 1. Penyempitan/penguatanan basis (nerrowing strengthening basis), terjadi bila: a) harga fisik turun dan harga berjangka turun dengan penurunan lebih besar dari pada harga fisik, dan b) harga fisik naik dan harga berjangka turun atau naik dengan kenaikan lebih kecil daripada harga fisik. Dalam keadaan normal market, penguatan basis lebih menguntungkan pengambil posisi short atau selling pada bursa berjangka karena kerugian pada suatu pasar akan dikurangi oleh perolehan yang lebih besar pada pasar lainnya. Sebaliknya pengambil posisi long atau buying hedge akan dirugikan oleh adanya penguatan basis karena kerugian pada suatu pasar akan melebar perolehannya yang diterima pada pasar lainnya. 2. Pelebaran/pelemahan basis (widening weakening basis), terjadi bila: a) harga fisik naik dan harga berjangka naik dengan kenaikan lebih besar daripada harga fisik, dan b) harga fisik turun dan harga berjangka turun atau naik dengan penurunan lebih kecil daripada harga fisik. Dalam keadaan normal market, pelemahan basis lebih menguntungkan pengambil posisi long (buying hedge) pada bursa berjangka karena kerugian pada suatu pasar akan dikurangi oleh perolehan yang lebih besar pada pasar lainnya. Sebaliknya pengambil posisi short atau selling hedge akan dirugikan oleh adanya 34 pelemahan basis karena kerugian pada suatu pasar akan melebihi perolehan yang diterima pada pasar lainnya. 3. Perfect hedge, terjadi bila: a) saat nilai basis selama periode hedging tidak berubah sehingga kerugian pada suatu pasar akan ditutupi oleh perolehan yang sama besar pada pasar lainnya, dan b) terjadi kenaikan atau penurunan harga-harga pada pasar fisik dan berjangka secara paralel pada basis yang sama. Namun perfect hedge jarang terjadi dalam perdagangan berjangka, karena biasanya basis berfluktuasi dan menimbulkan resiko. 2.1.4. Metode Analisis Integrasi Pasar Untuk meneliti integrasi pasar, beberapa metode telah banyak dikembangkan sejalan dengan perkembangan teknologi pengolahan data dan tersedianya data deret waktu. Metode-metode ini antara lain: 1) korelasi, dengan menghitung total sum square correlation antara harga yang bergerak bersamaan pada pasar yang diuji, 2) penguraian keragaman (variance decomposition), 3) hubungan antarpasar radial, 4) analisis kointegrasi, 5) model batas paritas, dan 6) kointegrasi ambang (threshold cointegration). Pemikiran-pemikiran ini, kecuali pendekatan korelasi menekankan tentang perlunya penggunaan pendekatan ekonometrika yang tepat untuk mengelola data deret waktu yang nonstasioner dan berkointegrasi. Integrasi pasar dalam jangka panjang mempunyai pengertian bahwa antara dua pasar terdapat hubungan yang erat dan stabil dalam jangka panjang melalui harga-harga di kedua tempat, 35 meskipun hubungan ini dapat terganggu oleh pengaruh jangka pendek. Dengan kata lain, kalau hubungan kointegrasi pasar ada, maka perkembangan harga di suatu pasar dapat diperkirakan dari perkembangan harga di pasar yang lain yang berkointegrasi (Hutabarat, 2006). Ravallion (1986) mengembangkan model integrasi pasar untuk pasar urban (sentral) yang berhubungan dengan pasar-pasar pedesaan (lokal), dimana harga pasar sentral mempengaruhi harga pasar lokal. Akan tetapi dalam pengembangan konsep kerangka kerja dilakukan melalui semua pasangan harga (bivariate price) pada area spasial. Tingkah laku harga spasial pada pasar regional/internasional adalah indikator yang penting yang menggambarkan keragaan pasar secara keseluruhan. Pasar tidak terintegrasi kemungkinan dikarenakan informasi harga tidak akurat yang disebabkan oleh keputusan produsen dalam memasarkan produknya terdistorsi, dan kontribusi dari pergerakan produk yang tidak efisien. Prosedur alternatif untuk mengevaluasi keterkaitan pasar secara spasial telah dikembangkan dalam kerangka kointegrasi oleh Engle dan Granger dalam Goodwin dan Schroeeder. The Law of One Price (LOP) yang merupakan persyaratan integrasi pasar akan tercapai jika harga-harga pasar berbeda hanya karena biaya transportasi Engle dan Granger (1987) mengembangkan uji kointegrasi dengan meregresikan suatu variabel nonstasioner terhadap variabel nonstasioner lainnya, kedua variabel akan terintegrasi pada ordo yng sama dan uji dari bentuk sisaan adalah stasioner. Jika bentuk sisaan stasioner dengan proses white noise, maka kedua variabel tersebut terkointegrasi dan mempunyai hubungan jangka panjang. 36 Aplikasi dari metode kointegrasi secara nyata dapat digunakan untuk menganalisis integrasi pasar, paritas daya beli (Purchasing Power Parity/PPP), hukum satu harga dan hipotesis arbitrase. Adapun prosedur untuk menguji sifatsifat kointegrasi dari sepasang data ekonomi deret waktu yang stasioner terdiri dari dua tahap. Tahap pertama adalah pendugaan parameter dari regresi kointegrasi dengan menggunakan teknik regresi OLS standar, adalah: et = P1t – α – ß P2t .......................................................................................(1) dimana et merupakan deret sisaan yang juga stasioner, α dan ß adalah parameter kointegrasi. Persamaan (1) ini digunakan untuk menguji sifat- sifat kointegrasi dari deret sisaan masing-masing variabel yang nonstasioner. Jika persamaan menghasilkan sisaan yang stasioner maka dapat dikatakan bahwa persamaan tersebut terkointegrasi. Tahap selanjutnya dengan menggunakan hasil estimasi pertama, Engel dan Granger (1987) menyarankan penggunaan uji kointegrasi yang berbeda. Pengujian tersebut adalah: (1) Cointegration Regression Durbin Watson (CDRW), (2) Dickey Fuller (DF), (3) Augmented DF (ADF), (4) Restricted Vektor Autoregression (RVAR) (5) Augmented RVAR (ARVAR), (6) Unrestricted VAR (UVAR), dan (7) Augmented UVAR (AUVAR). Apabila terdapat hubungan kointegrasi, maka dapat diartikan bahwa walaupun jangka pendek peubah ini bergejolak satu sama lain, tetapi dalam jangka panjang mereka membentuk hubungan yang serta dalam suatu keseimbangan. Selanjutnya, menurut teori Granger hubungan kedua peubah dapat dimodifikasi menjadi Error Correction Model (ECM), diperkenalkan oleh Sargan yang dikutip Gujarati (2003). Teorema ini disebut sebagai Granger 37 Representation Theorem. ECM berfungsi menghubungkan prilaku jangka pendek dan jangka panjang kedua peubah dan dicatat sebagai berikut : Δ P1t = a Δ P2t - b(P1t – ß P2t-1) + et ..........................................................(2) dimana et adalah sisaan dengan niai tengah nol dan ragam yang konstan. Parameter a merupakan efek jangka pendek perubahan P1t terhadap P2t, sementara itu ß ukuran keseimbangan jangka panjang antara P1t dan P2t, serta b adalah ukuran koreksi penyesuaian P2t dalam P1t, dituliskan ke dalam persamaan: P1t = ß P2t + vt ...........................................................................................(3) dimana (P1t – ß P2t) adalah sisaan dari hubungan jangka panjang yang divergen dan berhubungan dengan sisaan dari lag persamaan (3), tanda negatif memperlihatkan penyesuaian yang dilakukan untuk mencapai keseimbangan jangka panjang. Hubungan jangka panjang ß dapat di duga dari persamaan (3) dan selanjutnya disubsitusikan pada persamaan (2) untuk mendapatkan penyesuaian jangka pendek. Uji kointegrasi yang dilakukan oleh Engle dan Granger dan tahap awal dikritik karena pengajuan tersebut menyarankan salah satu dari pasangan variabel harus eksogen meskipun uji ini merupakan metode yang mudah dilakukan. Namun ada beberapa kekurangan yang mendasar dari model Engel dan Granger adalah: tidak memiliki prosedur sistematis untuk mengestimasi vektor kointegrasi berganda (multiple cointegration) serta prosedur estimasi Engel dan Granger terdiri dari dua tahap yang saling berkaitan. 38 2.2. Tinjauan Penelitian Terdahulu 2.2.1. Studi Mengenai Integrasi Pasar Komoditi Integrasi pasar di lokasi berbeda mengacu pada terdapatnya pergerakan serempak atau hubungan jangka panjang harga-harga (Golleti et al. 1995). Apabila pasar-pasar tidak terintegrasi dalam lokasi yang berjauhan antar waktu, menunjukkan bahwa ketidakefisienan pasar menyebabkan penetapan dan distorsi harga di pasar. Tingkat keefisienan antara pasar di berbagai lokasi yang berjauhan mempunyai implikasi penting dalam liberalisasi pasar dan perumusan kebijakan. Maka untuk meneliti integrasi pasar beberapa metode telah dikembangkan antara lain: (1) korelasi sepasang harga, (2) penguraian keragaman (variance decomposition), (3) hubungan antar pasar radial (radialinter-market), (4) analisis kointegrasi, (5) model batas paritas (parity bound model), dan (6) kointegrasi ambang (threshold cointegration) (Hutabarat, 2006). Dalam penelitian lainnya Jha et al. (2005) ada dua pendekatan untuk mengetahui tingkat integrasi pasar: (1) menggunakan teknik kointegrasi (Golleti (1994); Ravallion (1988); Dantwala (1993) serta Currey dan Hugo (1984), dan (2) menggunakan metode kointegrasi model Engle Granger variety (seperti Dercon (1995); Jha et al. 1997) serta menggunakan teknik Johansen maximum likelihood (seperti Wilson (2003). Berikut beberapa penelitian yang membahas analisis integrasi pasar komoditas. Adiyoga (2006) dalam penelitiannya membahas analisis integrasi pasar kentang di Indonesia dengan mengggunakan analisis korelasi dan analisis kointegrasi. Hasilnya menyatakan koefisien korelasi bukan indikator yang 39 konsisten atau tegas untuk menentukan integrasi pasar. Korelasi bivariat yang tinggi antara dua pasar yang tidak melakukan perdagangan satu sama lain (tersegregasi) masih tetap dimungkinkan, jika harga-harga di setiap pasar berkorelasi tinggi melalui hubungan harga dan perdagangan dengan suatu pasar destinasi gabungan (pasar ketiga). Hasil penelitian ini menyarankan agar pendekatan korelasi sebagai alat diagnosa integrasi pasar, sebaiknya digunakan secara hati-hati karena berbagai bukti kelemahan yang melekat pada pendekatan tersebut. Penggunaan analisis kointegrasi terhadap data serial harga harian, mingguan dan bulanan secara konsisten mengindikasikan bahwa pasar kentang di Jakarta, Bandung, Sumatera Utara dan Singapura terintegrasi. Kointegrasi dalam hal ini merupakan implikasi statistik dari adanya hubungan jangka panjang antara peubah-peubah ekonomi (harga). Hubungan jangka panjang tersebut mengandung arti bahwa peubah harga bergerak bersamaan sejalan dengan waktu. Pasar kentang yang terintegrasi seperti ini akan banyak membantu produsen dan konsumen, karena rantai pasokan yang ada dapat mentransmisikan sinyal harga secara benar. Selanjutnya Purwoto et al. (2002) menganalisis korelasi harga dan derajat integrasi spasial antara pasar dunia dan pasar domestik untuk komoditas pangan. Hasilnya menyebutkan bahwa dinamika harga beras, jagung dan kedelai tingkat pedagang besar, produsen maupun pengecer tidak mengikuti dinamika harga tingkat importir. Penelitian yang sama dilakukan Irawan dan Rosmayanti (2006) mengenai integrasi spasial dan integrasi vertikal antar pasar beras di tingkat kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu dengan pendekatan uji kointegrasi Johansen, Vector Error 40 Correction Model dan uji Kausalitas Granger. Hasil penelitian menunjukkan: (1) pasar beras Bengkulu adalah pasar yang terintegrasi spasial secara tidak sempurna, dimana jika terjadi guncangan di pasar kota Bengkulu hanya akan ditransmisikan ke pasar Bengkulu Selatan dan Bengkulu Utara tetapi tidak untuk pasar Rejang Lebong, dan (2) integrasi pasar vertikal di Kota Bengkulu dan Kabupaten Bengkulu Selatan adalah tidak sempurna sedangkan keberadaan integrasi vertikal secara statistik dapat dibuktikan signifikan terjadi di Kabupaten Rejang Lebong dan Bengkulu Utara. Temuan lainnya dikemukakan Gonzalez dan Helfand (2001) dalam menganalisis besar, pola dan tingkat integrasi pasar menggunakan data pasar beras Brazil menggunakan multivariate system dengan restriksi kointegrasi. Hasil temuannya menyatakan bahwa bivariat model tidak cukup untuk menangkap atau memahami dynamic spasial dari penyesuaian harga. Kemudian Dharmasena (2003) menggunakan Vector Autoregression (VAR) menguji integrasi pasar teh hitam dunia dan pembentukan harga di mana dalam aplikasinya juga menggunakan grafik, Impulse Response Function dan Forecast Error Decomposition Analyses. Hasilnya tidak terdapat integrasi antara pasar teh hitam dunia serta pembentukan harga juga tidak efisien antar pasar. Akan tetapi dalam jangka panjang Srilanka, Indonesia dan Malawi adalah price leader dalam bentuk USD dan uang lokal. Sedangkan penelitian untuk pasar hewan potong di Kanada dan Amerika dari 1988 sampai 2000 menggunakan kerangka LOP dan model VAR juga telah dilakukan oleh Vollrath dan Hallahan (2006). Hasilnya menemukan bahwa besarnya pengaruh harga di pasar Amerika pada harga di pasar Kanada 41 dibandingkan pasar Kanada pada Amerika dan hubungan keduanya sangat responsif terhadap perubahan nilai tukar. 2.2.2. Studi Mengenai Karet Alam Berbagai penelitian telah dilakukan mengenai karet alam antara lain penelitian yang dilakukan Tety (2002) tentang penawaran dan permintaan karet alam Indonesia di pasar domestik dan internasional, analisis dilakukan dengan membangun model ekonometrika dalam bentuk persamaan simultan. Hasil analisisnya dapat disimpulkan bahwa peubah-peubah yang berpengaruh terhadap penawaran ekspor karet alam Indonesia ke masing-masing negara tujuan ekspor (AS, Jepang, Singapura dan Korea Selatan) adalah harga ekspor karet Indonesia, produksi, nilai tukar Rupiah terhadap USD, pajak ekspor dan jumlah ekspor karet bedakala ke masing-masing negara. Sedangkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penawaran karet alam negara-negara pesaing Indonesia dalam penelitian Tety yaitu Thailand dan Malaysia mengenai harga ekspor karet alam, produksi dan nilai tukar mata uang negara pengekspor. Selanjutnya faktor-faktor yang mempengaruhi prilaku impor dari ke empat negara utama yaitu Amerika Serikat, Jepang, Singapura dan Korea Selatan adalah harga impor karet alam, harga impor karet sintesis, nilai tukar, pendapatan perkapita masing-masing negara dan jumlah impor bedakala masingmasing negara. Untuk harga karet alam Internasional dipengaruhi oleh rasio total permintaan impor dan total penawaran ekspor serta harga karet internasional bedakala. 42 Penelitian mengenai dampak kebijakan perdagangan terhadap dinamika ekspor karet alam Indonesia ke negara-negara importir utama telah dilakukan Prabowo (2006) dengan menggunakan model ekonometrika dinamis yakni metode kointegrasi dan Error Correction Model (ECM). Hasil analisisnya menyimpulkan perdagangan karet alam Indonesia ke Amerika Serikat dan Jepang menunjukkan tren yang terus meningkat dimana telah terjadi pergeseran jenis karet alam yang diperdagangkan dari dominasi jenis mutu sit asap (RSS) menjadi karet jenis spesifikasi teknis (TSR) yang memiliki kualitas dan harga jual yang lebih rendah namun memiliki keunggulan dari segi pengemasan sehingga memudahkan industri pengolahan selaku konsumen. Pada penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa harga impor karet alam Amerika Serikat dan Jepang responsif terhadap perubahan harga karet alam dunia namun tidak dapat ditrasmisikan dengan baik pada permintaan impor dan ekspor karet alam Amerika Serikat dan Jepang ke Indonesia dan Thailand di pasar karet alam karena perubahan rasio harga yang inelastis. Sedangkan penawaran ekspor karet alam Indonesia responsif terhadap perubahan harga ekspor karet alam pada jangka panjang. Prabowo juga menyatakan bahwa terjadinya distorsi pasar akibat kebijakan perdagangan dan perubahan lingkungan ekonomi mempengaruhi volume perdagangan karet alam dimana perubahan pendapatan domestik bruto yang terjadi di negara importir efektif mempengaruhi arus perdagangan karet alam disisi importir dibandingkan dengan jika terjadi perubahan pada harga karet alam dunia. Sedangkan pada kebijakan perdagangan dan perubahan lingkungan ekonomi dari sisi negara eksportir ternyata menunjukkan bahwa distorsi melalui 43 depresiasi mata uang dan inflasi lebih besar pengaruhnya untuk meningkatkan volume ekspor dari pada dengan pengenaan pajak. Penelitian yang berbeda dilakukan Anwar (2005) mengenai prospek karet alam Indonesia di pasar Internasional dengan menggunakan suatu analisis integrasi dan keragaan ekspor. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa prospek karet alam Indonesia di pasar Internasional terkait erat dengan efisiensi pasar yang ditunjukkan oleh integrasi pasar baik secara spasial ataupun vertikal. Pada integrasi pasar spasial, pasar internasional karet alam RSS dan TSR tidak terintegrasi secara penuh dan hukum satu harga (the law of one price) tidak berlaku, maka ketujuh pasar untuk RSS dan lima untuk TSR tidak dapat diperlakukan sebagai pasar tunggal/agregasi. Pada jangka panjang, pasar fisik/spot New York masih merupakan pasar referensi bagi negara-negara konsumen dan produsen baik untuk jenis karet RSS ataupun TSR. Pasar karet alam yang ada tidak terintegrasi secara penuh, hal tersebut disebabkan oleh harga karet alam yang terbentuk mengalami distorsi, baik pada pasar domestik ataupun pasar Internasional. Terdistorsinya harga karet alam disebabkan oleh adanya market power dari buyer (misalkan pabrik-pabrik ban besar), adanya sistem perdagangan langsung antara pabrik TSR dengan pabrik ban, adanya cadangan yang relatif besar (di produsen, konsumen dan afloat stock), biaya transportasi dan biaya transaksi pemasaran, serta perubahan konsenterasi pasar akibat pertumbuhan ekonomi. Pada penelitian Anwar ini juga menyebutkan mengenai fluktuasi nilai tukar pada jangka pendek dan jangka panjang yang mempengaruhi harga karet alam. Pada jangka pendek, ekspor karet alam Indonesia dipengaruhi oleh harga 44 karet dunia dan nilai tukar (Rp/USD), terjadinya depresiasi Rp/USD meningkatkan harga domestik dan volume ekspor atau produksi, akan tetapi produksi itu sendiri dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti konsumsi karet domestik dan opportunity cost upah tenaga kerja. Selanjutnya Lim (2002) mengestimasi harga karet alam jangka pendek dan mengevaluasi pembentukan relatif 19 model dengan dasar 3 teknik peramalan yang berbeda dan 4 set informasi. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa model GARCH/ARCH umumnya lebih baik dari model simple regresi sederhana dan hasilnya potensial dan menguntungkan pelaku di pasar future karet alam. Berbeda dengan Lim (2002) kemudian Khin et al. (2008) menggunakan model ekonometrik untuk meramalkan harga bulanan dalam jangka pendek untuk harga karet SMR20 di pasar dunia. Spesifikasi model karet alam yang digunakan terdiri dari produksi, konsumsi, harga. Diantara tujuan penelitiannya adalah menentukan inter relationship antara produksi, konsumsi dan harga untuk dapat meramalkannya maka menggunakan model multivariate autoregressive-moving average (MARMA). Model umumnya menggunakan peramalan ex ante untuk periode Januari 2007 sampai Desember 2010, hasilnya memperlihatkan bahwa peramalan MARMA expost lebih efisien dalam kriteria statistik atau visualisasi proxinya mendekati harga aktual. Studi ini juga menyebutkan bahwa harga future pada pasar berjangka umumnya efisien dalam menentukan harga di pasar fisik. Kemudian Khawla (2006) meneliti 80 prilaku pelaku usaha industri karet di pasar berjangka Thailand yang terdiri dari petani, pengusaha, eksportir dan konsumen dimana hasilnya ditemukan bahwa 60 persen tidak melakukan 45 keputusan hedging di pasar berjangka dan hanya 40 persen saja yang menggunakan fasilitas hedging di pasar berjangka. 2.2.3. Studi Mengenai Pasar Berjangka Komoditas Suatu hal yang penting untuk prilaku harga yang baik yakni bagaimana harga terakhir dapat digunakan untuk memprediksi harga di masa depan. Hal ini berkaitan dengan bentuk umum yang dikenal dengan hipotesa pasar efisien. Menurut definisi Fama (1970), pasar dikatakan efisien jika selalu mencerminkan tersedianya informasi dalam hal bentuk informasi yang relevan mengenai perkembangan harga. Hasil penelitiannya menyebutkan jika bursa komoditi dikatakan efisien secara informasi maka perubahan harga seharusnya mengikuti pola acak. Jika mengikuti pola harga acak artinya pasar efisien secara informasi bentuk lemah. Maka perubahan harga masa lalu tidak berhubungan dengan harga saat ini yang berarti harga saat ini dan telah mampu mencerminkan informasi peristiwa yang terjadi. Pasar dikatakan tidak efisien jika satu atau beberapa pelaku pasar dapat menikmati return yang tidak normal dalam jangka waktu yang cukup lama. Harga di pasar berjangka komoditas telah dilakukan oleh berbagai peneliti misalnya Cootner (1962) menemukan bahwa perubahan harga komoditi di pasar lebih acak daripada di pasar saham. Larson (1960) melakukan analisis korelasi untuk harga jagung dan saham di Amerika Serikat dan menyimpulkan bahwa tidak ada keterkaitan pada perubahan harga diantara keduanya. Namun, ditemukan beberapa bukti dari beberapa penelitian bahwa adanya keterkaitan harga komoditi di pasar fisik dan berjangka di Amerika. Seperti 46 penelitian yang dilakukan Smidt (1965) menggunakan analisis korelasi untuk menunjukkan bahwa perubahan harga harian kedelai di pasar berjangka Amerika Serikat secara statistik memperlihatkan adanya hubungan korelasi atau adanya keterkaitan dengan harga di pasar fisiknya. Sama dengan penelitian sebelumnya Brinegar (1970) menemukan adanya hubungan korelasi positif pada harga gandum, jagung dan gandum hitam di pasar fisik dan berjangka Amerika. Selanjutnya Stevenson (1970) menggunakan analisis korelasi untuk melihat perdagangan jagung dan kedelai di Amerika Serikat pada bulan Juli dengan menggunakan harga berjangka selama periode 1951-1968 dan menyimpulkan bahwa perubahan harga terjadi secara sistematis bukan secara acak. Kemudian Cargill dan Rausser (1969) menganalisis tentang berbagai kontrak future untuk tahun 1967, termasuk jagung, dan menyimpulkan bahwa perilaku harga komoditi adalah konsisten sehingga mencerminkan pasar yang efisien. Bahkan menurut Leuthold (1972) bahwa peramalan harga future yang efisien untuk harga fisik hanya pada tanggal terdekatnya. Sama dengan penelitian Leuthold (1972), Bessembinder et al. (1995), Bailey dan Chan (1993) serta Fama dan Perancis (1987), menyatakan bahwa harga kontrak future pertama di dekatnya dapat digunakan untuk proxy untuk harga fisik. Oleh karena itu, analisis berdasarkan harga future juga dapat digunakan sebagai dasar pergerakan antara harga future dan harga fisik. Salah satu keuntungan dari menggunakan harga future adalah harga yang didapatkan bisa menghindari masalah yang timbul ketika terjadi tumpang tindih kontrak yang digunakan, serta masalah yang berkaitan dengan volatilitas pada periode waktu pengiriman. 47 Wang dan Ke (2002) dalam studinya menguji tingkat efisiensi pasar berjangka untuk komoditi gandum dan kedelai di China serta kondisi pasar komoditas pertanian di pasar berjangka dan pasar fisik dengan menggunakan pendekatan kointegrasi Johansen. Hasilnya terdapat hubungan antara harga berjangka dan harga fisik pada kedelai dalam keseimbangan jangka panjang dan sangat lemah tingkat efisiensinya dalam jangka pendek sedangkan pasar berjangka gandum tidak efisien dikarenakan banyaknya spekulan dan intervensi pemerintah pada komoditas gandum. Sebuah pasar yang efisien adalah dimana harga selalu dapat sepenuhnya direfleksikan informasi yang ada dan tidak ada pedagang yang dapat keuntungan dan mengontrol informasi dalam bentuk pasar monopolistik. Dengan kata lain sebuah keefisienan pasar berjangka komoditi dapat memberikan signal pada harga di pasar spot dan mengeliminasi kerugian sehingga dimungkinkannya bahwa keuntungan dapat digaransi dalam proses perdagangan (Fama 1970 dalam Wang 2002). Selanjutnya Singh (1998) melihat dampak pasar berjangka Hessian di India sebagai leading dalam mengurangi volatilitas di pasar fisik Hessian. Hasilnya memperlihakan bahwa pasar berjangka dapat dijadikan kebijakan alternatif dalam mengurangi ketidakpastian pasar pertanian. Pasar berjangka dapat memberikan informasi dan sebagai tempat penyimpanan yang tepat pada musim panen sehingga dapat menstabilkan harga fisik. Dalam penelitian lainnya Mashamaite dan Moholwa (2005) melakukan penelitian mengenai hubungan harga vertikal dan spasial dan perubahan prilaku harga di pasar berjangka menggunakan tes asimetri. Harga asimetri memberi 48 implikasi penting pada pasar berjangka. Pertama, model tradisional pada data time series yang memungkinkan adanya sedikit bias ketika peramalan harga berjangka, karena menggunakan asumsi harga simetri. Kedua, tes asimetri hasilnya memberikan informasi untuk peningkatan fungsi dan stabilitas harga berjangka pada limit harga dan margin kebijakan. Meyer (2003) menyatakan ekonomis sering menggunakan integrasi pasar untuk mendefinisikan tingkat transmisi harga antara hubungan pasar vertikal dan spasial sebagai proxy efisiensi pasar. Namun dalam banyak studi evaluasi mengenai integrasi harga hanya pada harga dan mengabaikan efek biaya transaksi. Penggunanaan penyesuaian harga menggunakan kerangka Vector Error Correction Model (VECM) belum cukup untuk menghitung efek biaya transaksi. Maka perluasan dari model VECM yakni menggunakan Threshold Vector Error Correction Model (TVECM) dapat memperlihatkan efek dari biaya transaksi dari transmisi harga tanpa langsung percaya pada data biaya transaksi. 2.2.4. Arah Pengembangan Studi Terdahulu dalam Penelitian Berdasarkan hasil studi terdahulu maka dalam penelitian ini selanjutnya dikembangkan arah studi pada “Analisis Integrasi Pasar Karet Alam antara Pasar Fisik di Indonesia dengan Pasar Berjangka Dunia”. Hal ini dilakukan mengingat pentingnya mengetahui lebih jauh mengenai hubungan pasar fisik karet alam di Indonesia dengan pasar berjangka dunia. Pasar berjangka karet cukup berperan besar sebagai salah satu faktor pemicu fluktuasi harga karet dan pemberi sinyal harga pada pasar fisik. Untuk itu perlu dilakukan penelitian hubungan keterkaitan pasar berjangka karet alam dunia dengan pasar fisik karet alam di Indonesia.