1. Pengertian Tat Twam Asi Tat Twam Asi berasal dari ajaran agama Hindu di India. Artinya : “aku adalah engkau, engkau adalah aku”. Filosofi yang termuat dari ajaran ini adalah bagaimana kita bisa berempati, merasakan apa yang tengah dirasakan oleh orang yang di dekat kita. Ketika kita menyakiti orang lain, maka diri kita pun tersakiti. Ketika kita mencela orang lain, maka kita pun tercela. Maka dari itu, bagaimana menghayati perasaan orang lain, bagaimana mereka berespon akibat dari tingkah laku kita, demikianlah hendaknya ajaran ini menjadi dasar dalam bertingkah laku. Di dalam bahasa Sansekerta, kata ”tat” berasal dari suku kata ”tad” yang berarti ”itu” atau ”dia”. Kata ”tvam’ berasal dari suku kata ”yusmad” yang berarti ”kamu” dan ”asi” berasal dari urat kata ” as(a) ” yang berarti ”adalah”. Jadi secara sederhana kata ”Tat Twam Asi” bisa diartikan ” kamu adalah dia” atau ”dia adalah kamu”. Di dalam Katha Upanisad dinyatakan. “nityo nityanam cetanas cetananam eko bahunam yo vidadhati kaman tam pitha-gam ye 'nupasyanti dhiras tesam santih sasvati netaresam” Artinya: “Diantara kepribadian yang kekal dan yang berkesadaran, ada satu kepribadian yang menyediakan keperluan dari kepribadian-kepribadian yang lainnya. Orang bijaksana yang memuja kepribadian yang satu ini, yang bertempat tinggal di alamNya yang rohani akan mampu mencapai kedamaian sejati sedangkan yang lain, yang tidak memujaNya tidak akan mencapai kedamaian”. Dari sloka ini dapat kita simpulkan bahwa tat tvam asi berarti ”kamu (semua makhluk hidup) dan dia (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) adalah sama”. Kata ”sama” di sini hendaknya tidak disalahartikan. Ini tidak berarti bahwa kita sepenuhnya sama dengan Tuhan, namun kita mempunyai sifat yang sama dengan Tuhan dalam jumlah yang kecil. Di dalam Srimad Bhagavad Gita, kepribadian Ida Sang Hyang Widhi Wasa bersabda: “mamaivamso jiva-bhutah manah-sasthanindriyani prakrti-sthani karsati” Artinya: jiva-loke sanatanah “Para makhluk hidup di dunia material ini merupakan percikan terkecil dari diriku yang kekal. Disebabkan oleh keterikatan hidup, mereka berjuang keras untuk menghadapi 6 indria termasuk pikiran”. Kata ”mama eva amsah” yang berarti percikan terkecil-Ku, mempunyai makna yang sangat penting. Seperti contoh, air yang diambil dari lautan dan dimasukan ke dalam gelas mempunyai sifat yang sama dengan seluruh air laut. Namun air yang di dalam gelas tidak akan mampu menghanyutkan desa, sedangkan ketika bencana sunami, air yang bersifat sama yang berada di lautan mampu menghancurkan berbagai tempat di berbagai negara. Meskipun air yang di dalam gelas sama dengan air laut, yaitu mempunyai rasa yang sama dan juga molekul yang sama, tetapi perbedaannya adalah jumlah dan kekuatan. Sama halnya, makhluk hidup yang merupakan percikan terkecil dari kepribadian Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Sri Visnu, maka mereka mempunyai sifat yang sama dengan Tuhan yaitu sat, cid dan ananda (kekal, penuh pengetahuan dan penuh kebahagiaan). Semua sifat ini dimiliki oleh para makhluk hidup dalam jumlah yang terbatas, sedangkan Ida Sang Hyang Widhi Wasa memiliki sifat tersebut dalam jumlah yang tidak terbatas. Perbedaan lainnya adalah sifat murni yang dimiliki oleh makhluk hidup sangat mudah diselubungi oleh khayalan sedangkan sifat Ida Sang Hyang Widhi Wasa tidak pernah terselubungi. Dengan demikian, meskipun makhluk hidup penuh kebahagiaan, namun karena diselubungi oleh khayalan, makhluk hidup di dunia material ini berjuang keras untuk mencapai kebahagiaan dengan berbagai cara. Jadi ini adalah salah satu pengertian dari kata “Tat Twam Asi”, yang secara sederhana bisa diringkas sebagai berikut ”kamu para makhluk hidup mempunyai sifat yang sama dengan Dia (Tuhan). Karena makhluk hidup mempunyai kesamaan dengan Tuhan, maka dengan menginsyafi dirinya melalui proses Yoga, seseorang akan mendapat contoh dan pengertian tentang Tuhan. Seperti halnya dengan mengerti unsur yang menyusun setetes air laut, kita sudah bisa dianggap mengerti seluruh air di lautan tetapi di dalam jumlah yang berbeda. Dengan mempelajari setetes air laut kita akan bisa membayangkan unsur yang sama yang ada di dalam lautan, namun memiliki kekuatan dan jumlah yang jauh lebih besar. Uraian di atas merupakan pengertian pertama yang bisa diambil dari arti kata “Tat Twam Asi”. Untuk mengerti sedikit lebih lanjut tentang pengertian kata ini, kita akan mengacu kepada sebuah komentar dari seorang acarya (guru besar) pengajar Veda yang telah memperjuangkan dan mempertahankan Veda. Beliau mengajarkan Veda ke seluruh pelosok India pada jaman perkembangan paham kekosongan dari filsafat Budha di daerah India. Beliau adalah Sripad Ramanujacarya, seorang acarya yang hidup sekitar sembilan ratus tahun yang lalu. Berdasarkan Sripad Ramanujacarya, kata ”Tat Twam Asi” dapat diartikan sebagai berikut: ”Tasya Tvam Asi”. Tasya berarti milik dia, jadi “Tasya Tvam Asi” artinya ”Kamu adalah milik Dia”. Bagaimana cara menganalisa pengertian ini, kita akan bahas sedikit berdasarkan tata bahasa Sansekerta sebagai berikut: Di dalam bahasa Sansekerta, ada istilah yang disebut dengan ”samasa” yaitu gabungan kata yang membentuk kalimat baru dan arti yang sama. Ketika beberapa kata di dalam kalimat digabungkan, maka masingmasing kata tersebut kembali ke suku kata dasarnya dan kata terakhir mengambil bentuk sesuai dengan peranan di dalam kalimat, apakah sebagai subjek, predikat atau objek. Di dalam kata “Tat Twam Asi”, kata ’tat- tvam’ bisa dianggap sebagai suatu gabungan kata di dalam sebuah kalimat. Kalimat ini berasal dari kalimat ”tasya tvam”, kemudian ketika digabungkan, kata ”tasya” kembali ke kata dasarnya, yaitu ”tad”. Maka akan menjadi ”tad-tvam”. Kemudian berdasarkan aturan sandi, hurup ”d” yang diikuti oleh huruf ”t” akan berubah menjadi ”t”, maka kita menemukan kata ”tat tvam”. Untuk membentuk sebuah kalimat, maka kata-kata yang digabungkan harus memiliki kata kerja. Dengan demikian kata kerja ”as(a)” yang berarti ”adalah” ditambahkan di dalam kalimat tersebut. Karena tvam (kamu) adalah orang kedua tunggal, maka kata kerja ”as(a)”, berdasarkan aturan tata bahasa Sansekerta akan berubah menjadi ”asi”. Dengan demikian kita mendapatkan kata “Tat Twam Asi”, yang artinya kamu adalah milik-Nya. Kalimat ”Kamu adalah milik-Nya”, berarti semua makhluk hidup merupakan milik kepribadian Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena Ida Sang Hyang Widhi Wasa adalah sumber segala sesuatu, dan segala seuatu berada di bawah kendali Beliau. Pernyataan ini juga ditemukan di dalam Bhagavad Gita sebagai berikut, “aham sarvasya prabhavo mattah sarvam pravartate iti matva bhajante mam budha bhava-samanvitah” Artinya: “Aku adalah sumber dari segala sesuatu baik alam material maupun alam rohani. Segala sesuatu berasal dari diriKu. Orang bijaksana yang mengetahui ini secara sempurna menekuni pengabdian suci bhakti dan menyembahKu dengan sepenuh hatinya”. Dengan demikian, ini merupakan tugas dari semua makhluk hidup, khususnya umat manusia untuk mengabdikan diri kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Singkat kata, arti kedua yang bisa diambil dari kata tat tvam asi adalah sebagai berikut, “kita semua sebagai makhluk hidup merupakan milik Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang berkewajiban untuk menyembah Beliau”. Pengertian yang lain dari kalimat tat tvam asi adalah berhubungan dengan ”Jiva”, yang nantinya akan menghubungkan kita dengan hukum karma phala. ”Kamu adalah dia” dan ”dia adalah kamu” bisa juga diartikan bahwa kita, para jiva, yang merupakan percikan terkecil dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa, atau dengan kata lain sebagai ciptaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, mempunyai sifat dan hak yang sama antara yang satu dengan yang lain. Karena itu, ketika kita melakukan suatu karma atau aktivitas, itu akan selalu berhubungan dengan makhluk lain. 2.2. Konsep Tat Twam Asi dalam mewujudkan Kreta Jagadhita Dalam Hindu untuk mewujudkan Kreta Jagadhita atau menciptakan kesejahteraan dalam kehidupan perlu didasari atas konsepsi “Tat Twam Asi” yang mengisyaratkan pentingnya solidaritas dalam kehidupan bermasyarakat sehingga terbentuk kehidupan masyarakat yang sejahtera. Dalam kitab Bhagawata Purana: 10.22.35 disebutkan sebagai berikut: “Adalah kewajiban bagi setiap orang untuk mendedikasikan (membaktikan) hidupnya, intelejensi (kepandaiannya), kekayaannya, katakatanya, dan pekerjaannya bagi kesejahteraan mahluk lain” Agama Hindu mengajarkan adanya ajaran toleransi umat beragama agar terciptanya kesejahteraan, seperti diterangkan oleh I Ketut Wiana, Wakil Sekjen Parisada Hindu Dharma Indonesia bahwa banyaknya agama yang diturunkan oleh Tuhan adalah suatu kebijaksaan Tuhan. Jalan yang berbeda-beda itu memiliki satu tujuan yaitu jalan menuju Tuhan. Disamping itu sebagai makhluk sosial umat Hindu tidak semata-semata rukun dengan sesama manusia. Tetapi juga harus harmonis secara Vertical dan Horizontal. Secara Vertikal (ke atas) dekat dengan Tuhan sebagai Raja Alam Semesta (Prajapati), Horizontal (kebawah) menanamkan rasa kasih sayang pada semua makhluk secara Horizontal mengembangkan kerukunan dengan sesama manusia. Dalam ajaran Kitab suci Veda, agar terciptanya kehidupan yang Kreta Jagadhita dijelaskan secara gamblang dalam ajaran “Tat Twam Asi”. Ajaran “Tat Twam Asi” merupakan ajaran sosial tanpa batas. Saya adalah kamu, dan sebaliknya kamu adalah saya, dan segala makhluk adalah sama sehingga menolong orang lain berarti menolong diri sendiri dan menyakiti orang lain berarti pula menyakiti diri sendiri (Upadesa, 2002: 42). Antara saya dan kamu sesungguhnya bersaudara. Hakekat atman yang menjadikan hidup diantara saya dan kamu berasal dari satu sumber yaitu Tuhan. Atman yang menghidupkan tubuh makhluk hidup merupakan percikan terkecil dari Tuhan. Kita sama-sama makhluk ciptaaan Tuhan. Sesungguhnya filsafat “Tat Twam Asi” ini mengandung makna yang sangat dalam. Tatwam asi mengajarkan agar kita senantiasa mengasihi orang lain atau menyayangi makhluk lainnya. Bila diri kita sendiri tidak merasa senang disakiti apa bedanya dengan orang lain. Maka dari itu janganlah sekali-kali menyakiti hati orang lain. Dan sebaliknya bantulah orang lain sedapat mungkin kamu membantunya, karena sebenarnya semua tindakan kita juga untuk kita sendiri. Bila dihayati dan diamalkan dengnan baik, maka akan tyerwujud suatu kerukunan. Dalam upanisad dikatakan: “Brahma atma aikhyam”, yang artinya Brahman (Tuhan) dan atman sama. 2.3. Implementasi konsep Tat Twam Asi dalam mewujudkan Kreta Jagadhita Sistem kekeluargaan dan kekerabatan adalah sebuah ciri yang melekat pada seluruh kebudayaan di Indonesia. Tidak terkecuali pada masyarakat Hindu di Bali. Sistem tersebut menjadi hukum adat bagi terciptanya hubungan antara manusia dengan manusia. Hubungan antarmanusia dalam ajaran Hindu di Bali tertuang dalam filosofi “Tat Twam Asi” sebagai dasar hukum. Secara harfiah Tat artinya ia, Twam artinya kamu, dan Asi artinya adalah. Secara keseluruhan berarti “ ia adalah kamu”. Saya adalah kamu dan segala mahkluk adalah sama. Ini berarti menolong orang lain berarti menolong diri sendiri. Dan menyakiti orang lain berarti pula menyakiti diri sendiri. Prinsip dasar Tat Twam Asi ini dalam kehidupan adat Bali diberi pengertian ke dalam asas-asas sebagai berikut. a. Asas suka duka, artinya dalam suka dan duka dirasakan bersama-sama. b. Asas paras paros, artinya orang lain adalah bagian dari diri sendiri dan diri sendiri adalah bagian dari orang lain. c. Asas salunglung sabayantaka, artinya baik buru, mati hidup ditanggung bersama. d. Asas saling asih, saling asah, saling asuh, artinya saling menyayangi atau mencintai, saling memberi dan mengoreksi, serta saling tolong menolong antar sesama hidup. Masyarakat Hindu Bali biasanya menyediakan diri untuk datang ke rumah atau ke tempat warga masyarakat yang lain yang mempunyai atau mengadakan suatu kegiatan misalnya upacara, membangun rumah, selamatan dan lain-lain. Aktifitas ini merupakan pengejawantahan dari asas “Tat Twam Asi”, yang lebih dikenal dengan nama Metelulung. Selain itu, ada juga adat mejotan, yaitu memberi sejenis kue atau makanan atau buah-buahan kepada tetangga atau sahabat-sahabat lainnya ketika seseorang mengadakan suatu upacara atau selesai mengadakan selamatan tertentu. Dalam menjaga hubungan baik antara manusia dengan manusia, rasa hormat memanglah sangat penting untuk diperhatikan. Bagaimana anak muda menghormati yang tua, dan yang tua menghargai yang muda. Penghormatan dalam masyarakat Bali tidak didasarkan atas ekonomi atau kekayaan. Dalam masyarakat Bali, ada tiga kelompok yang dituakan, disebut Tri Kang Sinanggeh Werda (mahuta), di antaranya sebagai berikut. a. Wahya Werda, mereka yang disebut tua karena usianya. b. Jnana Werda, mereka yang disebut tua karena ketinggian ilmu c. pengetahuannya, baik ilmu pengetahuan keduniawian maupun kerohanian. Tepo Werda, mereka yang disebut tua karena telah banyak menimba pengalan hidup. Ketiga kelompok ini dalam masyarakat adat Bali selalu mendapatkan penghormatan yang sesuai dengan kekuatan yang dimiliki dan selalu diperhitungkan dalam setiap acara atau kegiatan sesuai dengan proporsinya masing-masing. Masyarakat Hindu di Bali meyakini bahwa menjaga hubungan antar sesama manusia merupakan wujud kepercayaan agama hindu dan sebagai jalan untuk mewujudkan keselamatan dan kedamaian. Semua ini tidak lain agar terciptanya kehidupan yang Kreta Jagadhita. Sebagai ilustrasi penerapan ajaran “Tat Twam Asi” yang lain dalam kehidupan sehari-hari dicontohkan sebagai berikut: Bila kita menunjuk orang lain dengan menggunakan jari tangan, ternyata spontanitas hanya 2 (dua) jari saja menunjuk orang lain, selebihnya 3 (tiga) jari lainnya menunjuk pada diri kita sendiri. Kesimpulannya perbandingan prosentase menunjuk orang lain dan menunjuk diri sendiri (40:60 %), lebih besar presentase yang ditujukan kepada diri sendiri. Berarti bila kita mengatakan orang lain jahat, sesungguhnya diri kita sendiri jauh lebih jahat dari orang lain yang kita tuduh berbuat kejahatan. Demikian juga sebaliknya, bila mengatakan baik kepada orang lain tentu diri kita lebih baik dari mereka. Lebih parah lagi bila menunjuk dalam keadaan kesal, dongkol, dan emosional tinggi tentu akan menunjuk orang lain dengan tangan dikepal, maka sepenuhnya (100%) jari tangan menunjuk atau mengalamatkan apa yang diucapkan itu tertuju pada diri kita sendiri. Pandangan ini mengkristal dalam upaya membina terwujudnya kerukunan hidup beragama, kehidupan yang sejahtera (Kreta Jagadhita) yang berlandaskan pada prinsip kebenaran ajaran “Tat Ttwam Asi. Oleh karena itu, tidak alasan untuk menjelekjelekkan atau menyakiti orang lain. Maka dari itu berbuat baiklah kepada orang lain atau agama lain, bahkan kepada semua makhluk hidup lainnya di muka bumi ini, tanpa terkecuali. Ajaran tattwam asi mengajak setiap orang penganut agama untuk turut merasakan apa yang sedang dirasakan orang lain. Seseorang bila menyakiti orang lain sebenarnya ia telah bertindak menyakiti aatau menyiksa dirinya sendiri, dan sebaliknya bila telah membuat orang lain menjadi senang dan bahagia, maka sesungguhnya dirinya sendirilah yang ikut merasakan kebahagiaan itu juga. Tattwam asi merupakan kata kunci untuk dapat membina agar terjalinnya hubungan yang serasi atas dasar “asah, asih, dan asuh” di antara sesama hidup. Dalam Sarasamuscaya: 317, menyatakan: “Orang arif bijaksana melihat semuanya sama, baik kepada brahmana budiman yang rendah hati, maupun terhadap makhluk hidup lainnya, orang yang hina papa sekalipun, walaupun perbuatan jahat yang dilakukan orang terhadap dirimu, perbuatan seperti orang sadhu hendaknya sebagai balasanmu. Janganlah sekali-kali membalas dengan perbuatan jahat, sebab oprang yang berhasrat berbuat kejahatan itu pada hakekatnya akan menghancurkan dirinya sendiri” Dalam upaya mewujudkan kehidupan yang Kreta Jagadhita atau kehidupan yang sejahtera dan rukun, selain konsep “Tat Twam Asi” diterapkan sehari-hari antar sesama, juga perlu diterapkan dalam kehidupan intern umat beragama. Agar kerukunan ini tercapai, perlu diterapkannya konsep “Tat Twam Asi”. Seperti halnya dapat ditempuh dengan beberapa pendekatan secara manusiawi (tanpa kekerasan) melalui jalan musyawarah intern umat beragama, musyawarah antar umat beragama melalui wadah yang sudah cukup gencar mengadakan dialog dan juga pertemuan atau musyawarah antara umat beragama dengan pemerintah. Melalui cara-cara seperti itu diharapkan semakain sering diadakan temu muka antara tokoh-tokoh agama, berkomunikasi langsung saling mengenal satu sama lainnya, duduk berdampingan satu sama lainnya membahas masalah kerukunan. Sehingga semakin dapat menghilangkan prasangka buruk sebagai bentuk kesalah pahaman diantara sesama penganut umat beragama. Semua ini dapat terwujud hanya melalui terbinanya kesadaran akan hidup bersama secara berdampingan, kesadaran saling membutuhkan, saling melengkapi satu sama lainnya, niscaya kerukunan hidup beragama dapat terwujud. Kerukunan hidup beragama menjadi dambaan kita semua, sebab bila hal ini terwujud, maka kita akan dapat merasakan satu kedamaian. Kerukunan perlu dipupuk, dan dikembangkan dalam rangka menumbuhkan rasa kesadaran umat beragama, sehingga terwujudnya rasa persatuan dan kesatuan bangsa sesuai bunyi slogan lambang negara kita “Bhineka Tunggal ika” yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Ungkapan ini cocok dengan kondisi negara republik Indonesia yang terdiri dari beraneka ragam agama, kebudayaan, adat istiadat, etnis dan lain sebagainya, namun pada hakekatnya kita semua adalah satu, yaitu satu bangsa, satu bahasa dan satu tanah air, sebagaimana telah diikrarkan dalam sumpah pemuda. Bila dihayati, keadaan yang beraneka ragam agama akan mewujudkan suatu keindahan. Berbhineka dalam keesaan (berbeda dalam kesatuan/unity in diversity). Seperti halnya saebuah taman bunga yang tumbuh di sekeliling taman membuat taman menjadi indah. Kita sebagai komponen bangsa Indonesia harus menyadarai kondisi yang demikian. Pengalaman sejarah membuktikan bahwa keberhasilan dalam mewujudkan kemerdekaan bangsa Indonesia berkat tergalangnya rasa persatuan dan kesatuan bangsa, sehingga kita mampu mewujudkan kemerdekaan. Selain implementasi di atas, contoh yang lain adalah ketika kita melakukan kegiatan yang saleh terhadap orang lain, seperti memberi sedekah. Karena dia adalah kamu dan kamu adalah dia, dengan demikian, sekarang dia (salah satu roh) menerima sedekah dari kamu (yang juga merupakan sang roh), maka suatu hari dia mesti dan pasti akan memberi sedekah kepadamu. Itu merupakan hukum alam. Sama halnya sekarang kamu membunuh dia di dalam bentuk seekor binatang, karena sang roh diuraikan berpindah dari badan yang satu ke badan yang lain setelah meninggal di dalam proses reinkarnasi, ”dehino smin yatha dehe kaumaram yauvanam jara” , maka suatu hari nanti waktu akan mengatur dimana dia akan mendapat badan manusia dan kamu mendapat badan binatang. Saat itu, giliran dia yang akan membunuh kamu. Ini merupakan suatu keadilan Tuhan di dalam bentuk hukum alam. Dengan demikian, ajaran tat tvam asi juga bisa diambil dari segi sosial seperti contoh diatas. Karena dia adalah kamu dan kamu adalah dia, maka kita harus berusaha memperlakukan setiap jiva dengan baik seperti kita memperlakukan diri kita sendiri. Kalimat “Tat Twam Asi” dalam arti ini sangat berhubungan erat dengan istilah Tri Hita Karana, yaitu bagaimana seharusnya kita, sebagai makhluk sosial, berhubungan dengan lingkungan di sekitar kita yaitu alam beserta isinya dan menyadari bahwa semuanya adalah ciptaan Tuhan. Karena itu kita semestinya memelihara ciptaan Tuhan seperti kita memelihara diri kita sendiri. Dengan demikian kesejahteraan semua umat akan tercapai dengan diterapkannya konsep “Tat Twam Asi” ini. Dalam kehidupan, apabila konsep “Tat Twam Asi” tidak diterapkan, kesejahteraan tidak akan pernah tercapai, karena egoisme yang tinggi akan mempengaruhi setiap individu. Adapun contoh konsep “Tat Twam Asi” tidak diterapkan, yaitu adanya konflik antar desa atau antar banjar menjadi bukti nyata. Ketika “Tat Twam Asi” tidak bisa dijadikan acuan, konflik akan makin melebar. Dampaknya akan ada kasepekangi (pengucilan). Kalau sudah kasepekang, sembahyang ke pura pun tidak boleh, apalagi mau ngaben. Suatu saat nanti sepertinya perlu kuburan umum, desa umum dan pedanda umum bagi mereka yang kena kasepekang. Dari contoh ini dapat kita lihat, apabila ajaran “Tat Twam Asi” tidak bisa kita terapkan tentunya hanya akan berdampak buruk bagi kehidupan bermasyarakat, Kreta Jagadhita akan semakin menjauh dari kehidupan kita, karena semua orang hanya akan menjalankan kehendaknya sendiri, orang Bali menyebutnya “nganggoang kite”. Dan sebaliknya apabila konsep ini diterapkan, tentunya tidak akan ada istilah mustahil kesejahteraan akan segera terwujud. http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2003/3/19/bd2.htm Tat Twam Asi antara Perdamaian dan Konflik KEBERAGAMAN itu indah. Bagaikan warna-warni bunga yang ada di taman. Hanya, bagaimana kita menjadikan keberagaman itu harmonis perlu mendapat perhatian semua pihak. Tat Twam Asi bisa dijadikan acuan menciptakan perdamaian. Namun, bila tidak dijalankan secara benar, malah bisa memicu konflik. Bagaimana ini bisa terjadi? Agama Hindu memiliki tiga kerangka dasar. Tatwa (filsafat), Susila (etika) dan Upacara. Dalam Tatwa (filsafat), ada keseragaman. Ini karena yang menjadi acuannya sama, kitab suci Weda. Selain itu Bhagawadgita pun menjadi acuan yang dipakai semua umat Hindu. Baik di Bali, di Indonesia, di India maupun di seluruh dunia. Pada tataran atau kerangka Susila (etika), mulai terjadi ketidakseragaman. Ini karena Hindu menyerap budaya-budaya setempat. Sedangkan dalam Upacara terjadi keberagaman. ''Keberagaman inilah yang harus diperlihara,'' kata I Dewa Gede Ngurah Swastha, S.H., seorang pemerhati Hindu. Keberagaman ini berlaku dalam arti luas. Ketika disinggung tentang adanya unsur Bali yang dibawa ke Jawa, khususnya ke pura-pura yang ada di Jawa, dia menolak anggapan sebagai penyeragaman. ''Bali itu kiblatnya Majapahit, Majapahit itu di Jawa. Ketika terjadi kekosongan upacara di Jawa, masuklah Bali. Bagi orang Jawa mereka percaya yang dibawa adalah ajaran-ajaran Majapahit,'' katanya. Namun, Dewa Ngurah Swastha memberi perkecualian. Hindu Kaharingan di Kalimantan dan Hindu di Tengger memiliki upacara sendiri. Ini merupakan keberagaman Hindu yang ada di Nusantara. Dalam Bhagawadgita ada termuat, apa pun jalan yang kau tempuh, Aku terima. ''Ini maksudnya walaupun jalan dan upacara kita berbeda, tetapi tujuan kita tetap satu, Ida Sang Hyang Widhi Wasa.'' Hal yang sama juga dikemukakan Drs. I Nyoman Wijaya, M.Hum. Ia juga menambahkan tentang adanya berbagai aliran atau sekte. Selama aliran atau sekte-sekte itu bisa diterima, silakan saja. Itu juga keberagaman yang harus kita terima. Jika ada sesuatu yang masuk, harus ada pembelajaran dan membutuhkan waktu. Jadi kalau ada konflikkonflik kecil wajar saja. Dalam Hindu sebenarnya ada suatu konsep yang bisa dipakai sebagai pencegah konflik dalam menyikapi keberagaman. Konsep Tat Twam Asi (aku adalah kamu, kamu adalah aku) dan Ahimsa (tidak menyakiti atau membunuh). Ajaran ini, menurut Swastha, merupakan dasar kesusilaan Hindu yang tinggi. ''Secara nilai, konsep ini Sanatana Dharma (abadi), tanpa batas dan selalu relevan.'' Prof. Nengah Bawa Atmaja dalam makalah ''Multikultur dalam Perpsektif Filsafat Hindu'' menjelaskan, Tat Twam Asi adalah filsafat Hindu yang mengajarkan suatu keharusan bagi manusia untuk membangun persaudaraan universal, karena setiap ia adalah kamu. Saya adalah sama dengan kamu dan segala makhluk adalah sama, sehingga menolong orang lain berarti sama dengan menolong diri sendiri. Begitu pula kalau menyakiti orang lain berarti menyakiti diri sendiri. Budaya Egosentris Dalam perspektif Hindu, muncul kebudayaan egosentris yang tidak bisa dilepaskan dari ahamkara (prinsip keakuan yang melekat pada diri manusia). Karena itu, ke-kita-an dan ke-mereka-an yang bertumpu pada perbedaan kebudayaan dan keagamaan merupakan sumber konflik yang tidak bisa diabaikan dalam kehidupan manusia. Apa pun bentuk dialog yang kita lakukan, tidak mungkin terlaksana kalau kita tidak bersedia melakukan perubahan terhadap paradigma budaya yang kita anut. Di zaman Kali, Swastha mengharap agar konsep ini lebih dikumandangkan untuk memberi penyadaran kepada umat. Bahkan kalau bisa, ia ingin konsep ini mengglobal hingga semua umat hidup dalam perdamaian. Tetapi, ini sepertinya sulit kalau kesadaran umat masih kurang. Ia mencontohkan, sekarang ini egoisme muncul mewarnai hidup manusia. Ini karena corak hidup yang hedonis dan konsumtif. ''Manusia lebih mementingkan material daripada spiritual, harusnya terjadi keseimbangan antara kedua hal tersebut,'' katanya.' Bagaimana caranya memberi penyadaran, ia memberi beberapa saran. Di antaranya, memberikan dharma wacana, dharma tula dan membuat perpustakaan khususnya yang memuat buku-buku agama di wilayah pedesaan. Hal ini penting untuk meningkatkan kualitas hidup umat. ''Kalau kita sudah berkualitas dan memahami ajaran agama, kita tidak akan mendiskreditkan orang. Orang yang memiliki egoisme dan melakukan pendiskreditan adalah orang yang tidak punya pemahaman, apalagi yang berkaitan dengan pendiskreditan agama.'' Hindu juga memiliki ajaran Tri Kaya Parisudha yang bisa menunjang semua itu. Kita harus selalu berpikir, berkata dan berbuat baik, agar tercipta keselarasan dan kedamaian. ''Para pemimpin dan pemuka umat harus memiliki itu semua. Jangan hanya memberi contoh, kalau bisa jadilah contoh.'' Dengan kata lain, ia mengatakan, memberi contoh itu mudah tetapi menjadi contoh itu yang sulit. Wijaya memberi pemahaman lain, Tat Twam Asi sangat bagus dalam tataran teori. Namun, ketika diimplementasikan sangat susah. Ia mencontohkan, jika di masyarakat ada warganya yang kasepekang, Tat Twam Asi tidak berfungsi. Perlu adanya suatu lembaga yang dipercaya masyarakat dalam memberi pemahaman sebenarnya tentang konsep ini. Ia mengkhawatirkan Hindu di Bali kalau tidak memahami sungguh-sungguh makna Tat Twam Asi akan terjadi pengkotak-kotakan. ''Bali akan menjadi eksklusif.'' Untuk menyikapi hal ini, diperlukan perubahan struktur yang luar biasa. Harus ada organisasi lintas sektoral yang menangani ini. Kalau Bali terlelap dalam eksklusivisme ini, ia khawatir umat Hindu di Bali makin hari akan makin berkurang. ''Kalau mau ciri khas Bali berarti biarkan masyarakat dalam pengkotak-kotakan. Akan tetapi kalau mau ciri khas Hindu, jalankan Tat Twam Asi,'' tegasnya. Contoh adanya konflik antardesa atau antarbanjar menjadi bukti yata. Ketika Tat Twam Asi tidak bisa dijadikan acuan, konflik akan makin melebar. Dampaknya akan ada kasepekang. Kalau sudah kasepekang, sembahyang ke pura pun tidak boleh, apalagi mau ngaben. ''Suatu saat nanti sepertinya perlu kuburan umum, desa umum dan pedanda umum bagi mereka yang kena kasepekang.'' Dicontohkannya Pura Jagadnatha. Pura ini menjadi terobosan dalam kebebasan menyembah Tuhan. Pura ini dipergunakan semua umat Hindu, tanpa memandang apa kasta-nya. Desa kala patra juga harus selalu diingat semua umat Hindu. ''Jangan memaksakan kehendak. Kalau mau beda buatlah tempat sendiri,'' kata Wijaya. (wah) SUMBER BUKU WIDYA DARMA AGAMA HINDU A.Pengertian Tat Twam Asi Di dalam kitab Candayoga Upanisad, ada disebutkan Tat Twam Asi. Di dalam filsafat Hindu dijelaskan bahwa Tat Twam Asi adalah ajaran kesusilaan yang tanpa batas, yang identik dengan perikemanusiaan dalam Pancasila. Konsepsi sila perikemanusiaan dalam Pancasila, bila kita cermati secara sungguh-sungguh merupakan realisasi ajaran Tat Twam Asi yang terdapat dalam kitab suci weda. Dengan demikian, dapat dikatakan mengerti dan memehami, serta mengamalkan/melaksanakan Pancasila berarti telah melaksanakan ajaran weda. Karena maksud yang terkandung didalam ajaran Tat Twam Asi “ia adalah kamu, saya adalah kamu, dan semua makhluk adalah sama” sehingga bila kita menolong orang lain berarti B. Bentuk-bentuk juga menolong ajaran Tat diri kita sendiri. Twam Asi Tat Twam Asi adalah ajaran moral yang bernafaskan ajaran agama Hindu. Wujud nyata /riil dari ajaran ini dapat kita cermati dalam kehidupan dan prilaku keseharian dari umat manusia yang bersangkutan. Manusia dalam hidupnya memiliki berbagai macam kebutuhan hidup yang dimotifasi oleh keinginan(kama) manusia yang bersangkutan.Sebelum manusia sebagai makhluk hidup itu banyak jenis, sifat, dan ragamnya, seperti manusia sebagai makhluk, individu, sosial, religius, ekonomis, budaya, dan yang lainnya. Semua itu harus dapat dipenuhi oleh manusia secara menyeluruh dan bersamaan tanpa memperhitungkan situasi dan kondisinya serta keterbatasan yang dimilikinya, betapa susah yang dirasakan oleh individu yang bersangkutan. Disinilah manusia perlu mengenal dan melaksanakan rasa kebersamaan, sehingga seberapa berat masalah yang dihadapinya akan terasa ringan. Dengan memahami dan mengamalkan ajaran Tat Twam Asi, manusia akan dapat merasakan berat dan ringan hidup dan kehidupan ini.Semua diantara kita ini tahu bahwa berat dan ringan Rwabhineda itu ada dan selalu berdampingan adanya, serta sulit dipisahkan keberadaanya. Demikian adanya maka dalam hidup ini kita hendaknya selalu sering tolong menolong, merasa senasib dan sepenanggungan. Misalnya, bila masyarakat Bali ditimpa bencana Bom, sebagai akibat dari bencana itu bukan hanya dirasakan oleh masyarakat Bali sendiri, melainkan juga dirasakan oleh masyarakat Indonesia, bahkan masyarakat duniapun juga ikut terkena biasnya. Bila seorang anak mendapat halangan /kecelakaan sehingga merasa sedih, rasa sedih yang diderita oleh anak yang bersangkutan juga dirasakan oleh orang tuanya. Demikian juga yang lainnya akan selalu dirasakan secara kebersamaan /sosial oleh masing-masing individu yang bersangkutan. Jiwa sosial ini seharusnya diresapi dengan sinar-sinar kesusilaan tuntunan Tuhan dan tidak dibenarkan dengan jiwa kebendaan semata.Ajaran Tat Twan Asi selain merupakan jiwa filsfat social, juga merupakan dasar dari tata susila Hindu di dalam usaha untuk mencapai perbaikan moral. Susila adalah tingkh laku yang baik dan mulia untuk membina hubungan yang selaras dan rukun diantara sesame makhluk hidup lainnya yang diciptakan oleh Tuhan. Sebagai landasan/pedoman guna membina hubungan yang selaras, maka kita mengenal, mengindahkan, dan mengamalkan ajaran moralitas itu dengan sungguh-sungguh sebagai berikut : 1.Kelakuan yang sesuai dengan ukuran-ukuran /norma-norma masyarakat yang timbul 2. dari Rasa hatinya tanggung sendiri(bukan jawab paksaan atas dari tindakannya luar). itu. 3. Lebih mendahulukan mementingkan umum dari pada kepentingan pribadi. Sastra-sastra agama adalah sumber atau dasar dari tata susila(ethika) yang bersifat kokoh dan kekal, ibarat landasan dari suatu bangunan dimana bangunan yang bersangkutan harus didirikan. Jika landasannya itu tidak kuat/kokoh, maka bangunan itu aakan mudah roboh dengan sendirinya.Demikian pula halnya dengan tata susila bila tidak dilandasi dengan pedoman sastra-sastra agama yang kokoh dan kuat, maka tata susila tidak akan meresap dan mendalam di hati sanubari kita. Ajaran agama yang menjadi dasar dan pedoman tata susila Hindu diantaranya adalah ajaran Tri Kaya Parisuhda. Ajaran Tri Kaya Parisudha merupakan tiga kesusilaan yang penting sebagai bagian dari ajaran Dharma. Dengan demikian barang siapa yang dengan kesungguhan hati menganmalkan ajaranya itu sudah barang tentu akan selalu dalam keadaan selamat dan bahagia, karena ia selalu akan mendapat perlindungan dari perbuatanya yang baik itu. Tata susila sering juga disebut dengan ethika(sopan santun). Ethika itu dapat diterapkan sesuai dengan tujuannya, bila manusia memiliki wiweka, yitu kemampuan membedakan dan memilih diantara yang baik dengan yang buruk , yang benar dengan yang salah dan lain sebagainya. Demikianlah tata susila dengan wiweka, keduanya saling melengkapi kegunaanya dalam hidup dan kehidupan ini. Namun dewasa ini bila kita mau secara jujur mengakui, sesungguhnya banyak sekali tanda-tanda kemerosotan moral yang terjadi dilingkugan masyarakat, terutama dikalangan anak-anak(para remaja) kita, hal itu disebabkan oleh karena antara lain : 1. Kurang tertanamnya jiwa agama pada setiap individu yang ada dalam masyarakat. 2. Keadaan masyarakat yang kurang stabil, baik dalam bidang pendidikan, ekonomi, sosial, politik dan keamanan. 3. Pendidikan moral belum terlaksana sebagaimana mestinya baik dilingkungan sekolah, 4. 5. Situasi masyarakat, dan Diperkenalkan kondisi secara maupun rumah popular ditingkat tangga obat-obatan yang dan rumah kurang sarana tangga. stabil/baik. anti hamil. 6. Banyaknya tulisan-tulisan, gambar-gambar, siaran-siaran, kesenian-kesenian yang kurang mengindahkan dasar-dasar,norma-norma/aturan-aturan tentang tuntunan moral. 7. Kurang adanya individu /organisasi/lembaga yang memfasilitasi tempat-tempat bimbingan dan penyuluhan moral bagi anak-anak/remaja yang menganggur. Bila ajaran Tat Twam Asi dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat secara menyeluruh dan sungguh-sungguh,dalam sifat dan prilaku kita maka kehidupan ini akan menjadi sangat harmonis.Satu dengan yang lainnya diantara kita dapat hidup saling menghormati, mengisi dan damai. Demikianlah ajaran Tat Twam Asi patut kita pedomi, cermati dan amalkan kehidupan seharihari Diringkas ini. Oleh : Sumber Buku : Widya Dharma Agama Hindu Ni Ketut Patri