1. Pengertian Tat Twam Asi Tat Twam Asi berasal dari ajaran

advertisement
1.
Pengertian Tat Twam Asi
Tat Twam Asi berasal dari ajaran agama Hindu di India. Artinya : “aku
adalah engkau, engkau adalah aku”. Filosofi yang termuat dari ajaran ini adalah
bagaimana kita bisa berempati, merasakan apa yang tengah dirasakan oleh orang
yang di dekat kita. Ketika kita menyakiti orang lain, maka diri kita pun tersakiti.
Ketika kita mencela orang lain, maka kita pun tercela. Maka dari itu, bagaimana
menghayati perasaan orang lain, bagaimana mereka berespon akibat dari tingkah
laku kita, demikianlah hendaknya ajaran ini menjadi dasar dalam bertingkah laku.
Di dalam bahasa Sansekerta, kata ”tat” berasal dari suku kata ”tad” yang
berarti ”itu” atau ”dia”. Kata ”tvam’ berasal dari suku kata ”yusmad” yang berarti
”kamu” dan ”asi” berasal dari urat kata ” as(a) ” yang berarti ”adalah”. Jadi secara
sederhana kata ”Tat Twam Asi” bisa diartikan ” kamu adalah dia” atau ”dia adalah
kamu”. Di dalam Katha Upanisad dinyatakan.
“nityo
nityanam
cetanas
cetananam
eko
bahunam
yo
vidadhati
kaman
tam
pitha-gam
ye
'nupasyanti
dhiras
tesam santih sasvati netaresam”
Artinya:
“Diantara kepribadian yang kekal dan yang berkesadaran, ada satu
kepribadian yang menyediakan keperluan dari kepribadian-kepribadian yang
lainnya. Orang bijaksana yang memuja kepribadian yang satu ini, yang bertempat
tinggal di alamNya yang rohani akan mampu mencapai kedamaian sejati
sedangkan yang lain, yang tidak memujaNya tidak akan mencapai kedamaian”.
Dari sloka ini dapat kita simpulkan bahwa tat tvam asi berarti
”kamu (semua makhluk hidup) dan dia (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) adalah
sama”. Kata ”sama” di sini hendaknya tidak disalahartikan. Ini tidak berarti bahwa
kita sepenuhnya sama dengan Tuhan, namun kita mempunyai sifat yang sama
dengan Tuhan dalam jumlah yang kecil. Di dalam Srimad Bhagavad Gita,
kepribadian Ida Sang Hyang Widhi Wasa bersabda:
“mamaivamso
jiva-bhutah
manah-sasthanindriyani
prakrti-sthani karsati”
Artinya:
jiva-loke
sanatanah
“Para makhluk hidup di dunia material ini merupakan percikan terkecil
dari diriku yang kekal. Disebabkan oleh keterikatan hidup, mereka berjuang keras
untuk menghadapi 6 indria termasuk pikiran”.
Kata ”mama eva amsah” yang berarti percikan terkecil-Ku,
mempunyai makna yang sangat penting. Seperti contoh, air yang diambil dari
lautan dan dimasukan ke dalam gelas mempunyai sifat yang sama dengan seluruh
air laut. Namun air yang di dalam gelas tidak akan mampu menghanyutkan desa,
sedangkan ketika bencana sunami, air yang bersifat sama yang berada di lautan
mampu menghancurkan berbagai tempat di berbagai negara. Meskipun air yang di
dalam gelas sama dengan air laut, yaitu mempunyai rasa yang sama dan juga
molekul yang sama, tetapi perbedaannya adalah jumlah dan kekuatan. Sama
halnya, makhluk hidup yang merupakan percikan terkecil dari kepribadian Ida
Sang Hyang Widhi Wasa, Sri Visnu, maka mereka mempunyai sifat yang sama
dengan Tuhan yaitu sat, cid dan ananda (kekal, penuh pengetahuan dan penuh
kebahagiaan). Semua sifat ini dimiliki oleh para makhluk hidup dalam jumlah
yang terbatas, sedangkan Ida Sang Hyang Widhi Wasa memiliki sifat tersebut
dalam jumlah yang tidak terbatas. Perbedaan lainnya adalah sifat murni yang
dimiliki oleh makhluk hidup sangat mudah diselubungi oleh khayalan sedangkan
sifat Ida Sang Hyang Widhi Wasa tidak pernah terselubungi. Dengan demikian,
meskipun makhluk hidup penuh kebahagiaan, namun karena diselubungi oleh
khayalan, makhluk hidup di dunia material ini berjuang keras untuk mencapai
kebahagiaan dengan berbagai cara. Jadi ini adalah salah satu pengertian dari kata
“Tat Twam Asi”, yang secara sederhana bisa diringkas sebagai berikut ”kamu para
makhluk hidup mempunyai sifat yang sama dengan Dia (Tuhan). Karena makhluk
hidup mempunyai kesamaan dengan Tuhan, maka dengan menginsyafi dirinya
melalui proses Yoga, seseorang akan mendapat contoh dan pengertian tentang
Tuhan. Seperti halnya dengan mengerti unsur yang menyusun setetes air laut, kita
sudah bisa dianggap mengerti seluruh air di lautan tetapi di dalam jumlah yang
berbeda. Dengan mempelajari setetes air laut kita akan bisa membayangkan unsur
yang sama yang ada di dalam lautan, namun memiliki kekuatan dan jumlah yang
jauh lebih besar.
Uraian di atas merupakan pengertian pertama yang bisa
diambil dari arti kata “Tat Twam Asi”. Untuk mengerti sedikit lebih lanjut tentang
pengertian kata ini, kita akan mengacu kepada sebuah komentar dari seorang
acarya
(guru
besar)
pengajar
Veda
yang
telah
memperjuangkan
dan
mempertahankan Veda. Beliau mengajarkan Veda ke seluruh pelosok India pada
jaman perkembangan paham kekosongan dari filsafat Budha di daerah India.
Beliau adalah Sripad Ramanujacarya, seorang acarya yang hidup sekitar sembilan
ratus tahun yang lalu. Berdasarkan Sripad Ramanujacarya, kata ”Tat Twam Asi”
dapat diartikan sebagai berikut: ”Tasya Tvam Asi”. Tasya berarti milik dia, jadi
“Tasya Tvam Asi” artinya ”Kamu adalah milik Dia”. Bagaimana cara
menganalisa pengertian ini, kita akan bahas sedikit berdasarkan tata bahasa
Sansekerta sebagai berikut: Di dalam bahasa Sansekerta, ada istilah yang disebut
dengan ”samasa” yaitu gabungan kata yang membentuk kalimat baru dan arti
yang sama. Ketika beberapa kata di dalam kalimat digabungkan, maka masingmasing kata tersebut kembali ke suku kata dasarnya dan kata terakhir mengambil
bentuk sesuai dengan peranan di dalam kalimat, apakah sebagai subjek, predikat
atau objek. Di dalam kata “Tat Twam Asi”, kata ’tat- tvam’ bisa dianggap sebagai
suatu gabungan kata di dalam sebuah kalimat. Kalimat ini berasal dari kalimat
”tasya tvam”, kemudian ketika digabungkan, kata ”tasya” kembali ke kata
dasarnya, yaitu ”tad”. Maka akan menjadi ”tad-tvam”. Kemudian berdasarkan
aturan sandi, hurup ”d” yang diikuti oleh huruf ”t” akan berubah menjadi ”t”,
maka kita menemukan kata ”tat tvam”. Untuk membentuk sebuah kalimat, maka
kata-kata yang digabungkan harus memiliki kata kerja. Dengan demikian kata
kerja ”as(a)” yang berarti ”adalah” ditambahkan di dalam kalimat tersebut. Karena
tvam (kamu) adalah orang kedua tunggal, maka kata kerja ”as(a)”, berdasarkan
aturan tata bahasa Sansekerta akan berubah menjadi ”asi”. Dengan demikian kita
mendapatkan kata “Tat Twam Asi”, yang artinya kamu adalah milik-Nya. Kalimat
”Kamu adalah milik-Nya”,
berarti semua makhluk hidup merupakan milik
kepribadian Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena Ida Sang Hyang Widhi Wasa
adalah sumber segala sesuatu, dan segala seuatu berada di bawah kendali Beliau.
Pernyataan ini juga ditemukan di dalam Bhagavad Gita sebagai berikut,
“aham
sarvasya
prabhavo
mattah
sarvam
pravartate
iti
matva
bhajante
mam
budha bhava-samanvitah”
Artinya:
“Aku adalah sumber dari segala sesuatu baik alam material maupun alam
rohani. Segala sesuatu berasal dari diriKu. Orang bijaksana yang mengetahui ini
secara sempurna menekuni pengabdian suci bhakti dan menyembahKu dengan
sepenuh hatinya”.
Dengan demikian, ini merupakan tugas dari semua makhluk hidup,
khususnya umat manusia untuk mengabdikan diri kepada Ida Sang Hyang Widhi
Wasa. Singkat kata, arti kedua yang bisa diambil dari kata tat tvam asi adalah
sebagai berikut, “kita semua sebagai makhluk hidup merupakan milik Ida Sang
Hyang Widhi Wasa yang berkewajiban untuk menyembah Beliau”. Pengertian
yang lain dari kalimat tat tvam asi adalah berhubungan dengan ”Jiva”, yang
nantinya akan menghubungkan kita dengan hukum karma phala. ”Kamu adalah
dia” dan ”dia adalah kamu” bisa juga diartikan bahwa kita, para jiva, yang
merupakan percikan terkecil dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa, atau dengan kata
lain sebagai ciptaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, mempunyai sifat dan hak yang
sama antara yang satu dengan yang lain. Karena itu, ketika kita melakukan suatu
karma atau aktivitas, itu akan selalu berhubungan dengan makhluk lain.
2.2.
Konsep Tat Twam Asi dalam mewujudkan Kreta Jagadhita
Dalam Hindu untuk mewujudkan Kreta Jagadhita atau menciptakan
kesejahteraan dalam kehidupan perlu didasari atas konsepsi “Tat Twam Asi” yang
mengisyaratkan pentingnya solidaritas dalam kehidupan bermasyarakat sehingga
terbentuk kehidupan masyarakat yang sejahtera. Dalam kitab Bhagawata Purana:
10.22.35 disebutkan sebagai berikut:
“Adalah kewajiban bagi setiap orang untuk mendedikasikan
(membaktikan) hidupnya, intelejensi (kepandaiannya), kekayaannya, katakatanya, dan pekerjaannya bagi kesejahteraan mahluk lain”
Agama Hindu mengajarkan adanya ajaran toleransi umat
beragama agar terciptanya kesejahteraan, seperti diterangkan oleh I Ketut Wiana,
Wakil Sekjen Parisada Hindu Dharma Indonesia bahwa banyaknya agama yang
diturunkan oleh Tuhan adalah suatu kebijaksaan Tuhan. Jalan yang berbeda-beda
itu memiliki satu tujuan yaitu jalan menuju Tuhan. Disamping itu sebagai
makhluk sosial umat Hindu tidak semata-semata rukun dengan sesama manusia.
Tetapi juga harus harmonis secara Vertical dan Horizontal. Secara Vertikal (ke
atas) dekat dengan Tuhan sebagai Raja Alam Semesta (Prajapati), Horizontal
(kebawah) menanamkan rasa kasih sayang pada semua makhluk secara Horizontal
mengembangkan kerukunan dengan sesama manusia.
Dalam ajaran Kitab suci Veda, agar terciptanya kehidupan yang Kreta
Jagadhita dijelaskan secara gamblang dalam ajaran “Tat Twam Asi”. Ajaran “Tat
Twam Asi” merupakan ajaran sosial tanpa batas. Saya adalah kamu, dan
sebaliknya kamu adalah saya, dan segala makhluk adalah sama sehingga
menolong orang lain berarti menolong diri sendiri dan menyakiti orang lain
berarti pula menyakiti diri sendiri (Upadesa, 2002: 42). Antara saya dan kamu
sesungguhnya bersaudara. Hakekat atman yang menjadikan hidup diantara saya
dan kamu berasal dari satu sumber yaitu Tuhan. Atman yang menghidupkan tubuh
makhluk hidup merupakan percikan terkecil dari Tuhan. Kita sama-sama makhluk
ciptaaan Tuhan. Sesungguhnya filsafat “Tat Twam Asi” ini mengandung makna
yang sangat dalam. Tatwam asi mengajarkan agar kita senantiasa mengasihi orang
lain atau menyayangi makhluk lainnya. Bila diri kita sendiri tidak merasa senang
disakiti apa bedanya dengan orang lain. Maka dari itu janganlah sekali-kali
menyakiti hati orang lain. Dan sebaliknya bantulah orang lain sedapat mungkin
kamu membantunya, karena sebenarnya semua tindakan kita juga untuk kita
sendiri. Bila dihayati dan diamalkan dengnan baik, maka akan tyerwujud suatu
kerukunan. Dalam upanisad dikatakan: “Brahma atma aikhyam”, yang artinya
Brahman (Tuhan) dan atman sama.
2.3.
Implementasi konsep Tat Twam Asi dalam mewujudkan Kreta Jagadhita
Sistem kekeluargaan dan kekerabatan adalah sebuah ciri yang
melekat pada seluruh kebudayaan di Indonesia. Tidak terkecuali pada masyarakat
Hindu di Bali. Sistem tersebut menjadi hukum adat bagi terciptanya hubungan
antara manusia dengan manusia. Hubungan antarmanusia dalam ajaran Hindu di
Bali tertuang dalam filosofi “Tat Twam Asi” sebagai dasar hukum. Secara harfiah
Tat artinya ia, Twam artinya kamu, dan Asi artinya adalah. Secara keseluruhan
berarti “ ia adalah kamu”. Saya adalah kamu dan segala mahkluk adalah sama.
Ini berarti menolong orang lain berarti menolong diri sendiri. Dan menyakiti
orang lain berarti pula menyakiti diri sendiri. Prinsip dasar Tat Twam Asi ini dalam
kehidupan adat Bali diberi pengertian ke dalam asas-asas sebagai berikut.
a. Asas suka duka, artinya dalam suka dan duka dirasakan bersama-sama.
b. Asas paras paros, artinya orang lain adalah bagian dari diri sendiri dan diri
sendiri adalah bagian dari orang lain.
c. Asas salunglung sabayantaka, artinya baik buru, mati hidup ditanggung bersama.
d. Asas saling asih, saling asah, saling asuh, artinya saling menyayangi atau
mencintai, saling memberi dan mengoreksi, serta saling tolong menolong antar
sesama hidup.
Masyarakat Hindu Bali biasanya menyediakan diri untuk datang ke rumah
atau ke tempat warga masyarakat yang lain yang mempunyai atau mengadakan
suatu kegiatan misalnya upacara, membangun rumah, selamatan dan lain-lain.
Aktifitas ini merupakan pengejawantahan dari asas “Tat Twam Asi”, yang lebih
dikenal dengan nama Metelulung.
Selain itu, ada juga adat mejotan, yaitu memberi sejenis kue atau makanan
atau buah-buahan kepada tetangga atau sahabat-sahabat lainnya ketika seseorang
mengadakan suatu upacara atau selesai mengadakan selamatan tertentu. Dalam
menjaga hubungan baik antara manusia dengan manusia, rasa hormat memanglah
sangat penting untuk diperhatikan. Bagaimana anak muda menghormati yang tua,
dan yang tua menghargai yang muda. Penghormatan dalam masyarakat Bali tidak
didasarkan atas ekonomi atau kekayaan.
Dalam masyarakat Bali, ada tiga kelompok yang dituakan, disebut Tri
Kang Sinanggeh Werda (mahuta), di antaranya sebagai berikut.
a.
Wahya Werda, mereka yang disebut tua karena usianya.
b.
Jnana Werda, mereka yang disebut tua karena ketinggian ilmu
c.
pengetahuannya, baik ilmu pengetahuan keduniawian maupun kerohanian.
Tepo Werda, mereka yang disebut tua karena telah banyak menimba pengalan
hidup.
Ketiga kelompok ini dalam masyarakat adat Bali selalu mendapatkan
penghormatan yang sesuai dengan kekuatan yang dimiliki dan selalu
diperhitungkan dalam setiap acara atau kegiatan sesuai dengan proporsinya
masing-masing. Masyarakat Hindu di Bali meyakini bahwa menjaga hubungan
antar sesama manusia merupakan wujud kepercayaan agama hindu dan sebagai
jalan untuk mewujudkan keselamatan dan kedamaian. Semua ini tidak lain agar
terciptanya kehidupan yang Kreta Jagadhita.
Sebagai ilustrasi penerapan ajaran “Tat Twam Asi” yang lain dalam
kehidupan sehari-hari dicontohkan sebagai berikut:
Bila kita menunjuk orang lain dengan menggunakan jari tangan, ternyata
spontanitas hanya 2 (dua) jari saja menunjuk orang lain, selebihnya 3 (tiga) jari
lainnya menunjuk pada diri kita sendiri. Kesimpulannya perbandingan prosentase
menunjuk orang lain dan menunjuk diri sendiri (40:60 %), lebih besar presentase
yang ditujukan kepada diri sendiri. Berarti bila kita mengatakan orang lain jahat,
sesungguhnya diri kita sendiri jauh lebih jahat dari orang lain yang kita tuduh
berbuat kejahatan. Demikian juga sebaliknya, bila mengatakan baik kepada orang
lain tentu diri kita lebih baik dari mereka. Lebih parah lagi bila menunjuk dalam
keadaan kesal, dongkol, dan emosional tinggi tentu akan menunjuk orang lain
dengan tangan dikepal, maka sepenuhnya (100%) jari tangan menunjuk atau
mengalamatkan apa yang diucapkan itu tertuju pada diri kita sendiri. Pandangan
ini mengkristal dalam upaya membina terwujudnya kerukunan hidup beragama,
kehidupan yang sejahtera (Kreta Jagadhita) yang berlandaskan pada prinsip
kebenaran ajaran “Tat Ttwam Asi. Oleh karena itu, tidak alasan untuk menjelekjelekkan atau menyakiti orang lain. Maka dari itu berbuat baiklah kepada orang
lain atau agama lain, bahkan kepada semua makhluk hidup lainnya di muka bumi
ini, tanpa terkecuali.
Ajaran tattwam asi mengajak setiap orang penganut agama
untuk turut merasakan apa yang sedang dirasakan orang lain. Seseorang bila
menyakiti orang lain sebenarnya ia telah bertindak menyakiti aatau menyiksa
dirinya sendiri, dan sebaliknya bila telah membuat orang lain menjadi senang dan
bahagia, maka sesungguhnya dirinya sendirilah yang ikut merasakan kebahagiaan
itu juga.
Tattwam asi merupakan kata kunci untuk dapat membina agar terjalinnya
hubungan yang serasi atas dasar “asah, asih, dan asuh” di antara sesama hidup.
Dalam Sarasamuscaya: 317, menyatakan:
“Orang arif bijaksana melihat semuanya sama, baik kepada brahmana
budiman yang rendah hati, maupun terhadap makhluk hidup lainnya, orang yang
hina papa sekalipun, walaupun perbuatan jahat yang dilakukan orang terhadap
dirimu, perbuatan seperti orang sadhu hendaknya sebagai balasanmu. Janganlah
sekali-kali membalas dengan perbuatan jahat, sebab oprang yang berhasrat
berbuat kejahatan itu pada hakekatnya akan menghancurkan dirinya sendiri”
Dalam upaya mewujudkan kehidupan yang Kreta Jagadhita
atau kehidupan yang sejahtera dan rukun, selain konsep “Tat Twam Asi”
diterapkan sehari-hari antar sesama, juga perlu diterapkan dalam kehidupan intern
umat beragama. Agar kerukunan ini tercapai, perlu diterapkannya konsep “Tat
Twam Asi”. Seperti halnya dapat ditempuh dengan beberapa pendekatan secara
manusiawi (tanpa kekerasan) melalui jalan musyawarah intern umat beragama,
musyawarah antar umat beragama melalui wadah yang sudah cukup gencar
mengadakan dialog dan juga pertemuan atau musyawarah antara umat beragama
dengan pemerintah. Melalui cara-cara seperti itu diharapkan semakain sering
diadakan temu muka antara tokoh-tokoh agama, berkomunikasi langsung saling
mengenal satu sama lainnya, duduk berdampingan satu sama lainnya membahas
masalah kerukunan. Sehingga semakin dapat menghilangkan prasangka buruk
sebagai bentuk kesalah pahaman diantara sesama penganut umat beragama.
Semua ini dapat terwujud hanya melalui terbinanya kesadaran akan hidup
bersama secara berdampingan, kesadaran saling membutuhkan, saling melengkapi
satu sama lainnya, niscaya kerukunan hidup beragama dapat terwujud. Kerukunan
hidup beragama menjadi dambaan kita semua, sebab bila hal ini terwujud, maka
kita akan dapat merasakan satu kedamaian. Kerukunan perlu dipupuk, dan
dikembangkan dalam rangka menumbuhkan rasa kesadaran umat beragama,
sehingga terwujudnya rasa persatuan dan kesatuan bangsa sesuai bunyi slogan
lambang negara kita “Bhineka Tunggal ika” yang artinya berbeda-beda tetapi
tetap satu jua. Ungkapan ini cocok dengan kondisi negara republik Indonesia yang
terdiri dari beraneka ragam agama, kebudayaan, adat istiadat, etnis dan lain
sebagainya, namun pada hakekatnya kita semua adalah satu, yaitu satu bangsa,
satu bahasa dan satu tanah air, sebagaimana telah diikrarkan dalam sumpah
pemuda.
Bila dihayati, keadaan yang beraneka ragam agama akan mewujudkan
suatu keindahan. Berbhineka dalam keesaan (berbeda dalam kesatuan/unity in
diversity). Seperti halnya saebuah taman bunga yang tumbuh di sekeliling taman
membuat taman menjadi indah. Kita sebagai komponen bangsa Indonesia harus
menyadarai kondisi yang demikian. Pengalaman sejarah membuktikan bahwa
keberhasilan dalam mewujudkan kemerdekaan bangsa Indonesia berkat
tergalangnya rasa persatuan dan kesatuan bangsa, sehingga kita mampu
mewujudkan kemerdekaan.
Selain implementasi di atas, contoh yang lain adalah ketika kita
melakukan kegiatan yang saleh terhadap orang lain, seperti memberi sedekah.
Karena dia adalah kamu dan kamu adalah dia, dengan demikian, sekarang dia
(salah satu roh) menerima sedekah dari kamu (yang juga merupakan sang roh),
maka suatu hari dia mesti dan pasti akan memberi sedekah kepadamu. Itu
merupakan hukum alam. Sama halnya sekarang kamu membunuh dia di dalam
bentuk seekor binatang, karena sang roh diuraikan berpindah dari badan yang satu
ke badan yang lain setelah meninggal di dalam proses reinkarnasi, ”dehino smin
yatha dehe kaumaram yauvanam jara” , maka suatu hari nanti waktu akan
mengatur dimana dia akan mendapat badan manusia dan kamu mendapat badan
binatang. Saat itu, giliran dia yang akan membunuh kamu. Ini merupakan suatu
keadilan Tuhan di dalam bentuk hukum alam. Dengan demikian, ajaran tat tvam
asi juga bisa diambil dari segi sosial seperti contoh diatas. Karena dia adalah
kamu dan kamu adalah dia, maka kita harus berusaha memperlakukan setiap jiva
dengan baik seperti kita memperlakukan diri kita sendiri. Kalimat “Tat Twam
Asi” dalam arti ini sangat berhubungan erat dengan istilah Tri Hita Karana, yaitu
bagaimana seharusnya kita, sebagai makhluk sosial, berhubungan dengan
lingkungan di sekitar kita yaitu alam beserta isinya dan menyadari bahwa
semuanya adalah ciptaan Tuhan. Karena itu kita semestinya memelihara ciptaan
Tuhan seperti kita memelihara diri kita sendiri. Dengan demikian kesejahteraan
semua umat akan tercapai dengan diterapkannya konsep “Tat Twam Asi” ini.
Dalam kehidupan, apabila konsep “Tat Twam Asi” tidak
diterapkan, kesejahteraan tidak akan pernah tercapai, karena egoisme yang tinggi
akan mempengaruhi setiap individu. Adapun contoh konsep “Tat Twam Asi” tidak
diterapkan, yaitu adanya konflik antar desa atau antar banjar menjadi bukti nyata.
Ketika “Tat Twam Asi” tidak bisa dijadikan acuan, konflik akan makin melebar.
Dampaknya akan ada kasepekangi (pengucilan). Kalau sudah kasepekang,
sembahyang ke pura pun tidak boleh, apalagi mau ngaben. Suatu saat nanti
sepertinya perlu kuburan umum, desa umum dan pedanda umum bagi mereka
yang kena kasepekang. Dari contoh ini dapat kita lihat, apabila ajaran “Tat Twam
Asi” tidak bisa kita terapkan tentunya hanya akan berdampak buruk bagi
kehidupan bermasyarakat, Kreta Jagadhita akan semakin menjauh dari kehidupan
kita, karena semua orang hanya akan menjalankan kehendaknya sendiri, orang
Bali menyebutnya “nganggoang kite”. Dan sebaliknya apabila konsep ini
diterapkan, tentunya tidak akan ada istilah mustahil kesejahteraan akan segera
terwujud.
http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2003/3/19/bd2.htm
Tat Twam Asi antara Perdamaian dan Konflik
KEBERAGAMAN itu indah. Bagaikan warna-warni bunga yang ada di taman. Hanya,
bagaimana kita menjadikan keberagaman itu harmonis perlu mendapat perhatian
semua pihak. Tat Twam Asi bisa dijadikan acuan menciptakan perdamaian. Namun, bila
tidak dijalankan secara benar, malah bisa memicu konflik. Bagaimana ini bisa terjadi?
Agama Hindu memiliki tiga kerangka dasar. Tatwa (filsafat), Susila (etika) dan Upacara.
Dalam Tatwa (filsafat), ada keseragaman. Ini karena yang menjadi acuannya sama,
kitab suci Weda. Selain itu Bhagawadgita pun menjadi acuan yang dipakai semua umat
Hindu. Baik di Bali, di Indonesia, di India maupun di seluruh dunia.
Pada tataran atau kerangka Susila (etika), mulai terjadi ketidakseragaman. Ini karena
Hindu menyerap budaya-budaya setempat. Sedangkan dalam Upacara terjadi
keberagaman. ''Keberagaman inilah yang harus diperlihara,'' kata I Dewa Gede Ngurah
Swastha, S.H., seorang pemerhati Hindu.
Keberagaman ini berlaku dalam arti luas. Ketika disinggung tentang adanya unsur Bali
yang dibawa ke Jawa, khususnya ke pura-pura yang ada di Jawa, dia menolak anggapan
sebagai penyeragaman. ''Bali itu kiblatnya Majapahit, Majapahit itu di Jawa. Ketika
terjadi kekosongan upacara di Jawa, masuklah Bali. Bagi orang Jawa mereka percaya
yang dibawa adalah ajaran-ajaran Majapahit,'' katanya.
Namun, Dewa Ngurah Swastha memberi perkecualian. Hindu Kaharingan di Kalimantan
dan Hindu di Tengger memiliki upacara sendiri. Ini merupakan keberagaman Hindu yang
ada di Nusantara. Dalam Bhagawadgita ada termuat, apa pun jalan yang kau tempuh,
Aku terima. ''Ini maksudnya walaupun jalan dan upacara kita berbeda, tetapi tujuan
kita tetap satu, Ida Sang Hyang Widhi Wasa.''
Hal yang sama juga dikemukakan Drs. I Nyoman Wijaya, M.Hum. Ia juga menambahkan
tentang adanya berbagai aliran atau sekte. Selama aliran atau sekte-sekte itu bisa
diterima, silakan saja. Itu juga keberagaman yang harus kita terima. Jika ada sesuatu
yang masuk, harus ada pembelajaran dan membutuhkan waktu. Jadi kalau ada konflikkonflik kecil wajar saja.
Dalam Hindu sebenarnya ada suatu konsep yang bisa dipakai sebagai pencegah konflik
dalam menyikapi keberagaman. Konsep Tat Twam Asi (aku adalah kamu, kamu adalah
aku) dan Ahimsa (tidak menyakiti atau membunuh). Ajaran ini, menurut Swastha,
merupakan dasar kesusilaan Hindu yang tinggi. ''Secara nilai, konsep ini Sanatana
Dharma (abadi), tanpa batas dan selalu relevan.''
Prof. Nengah Bawa Atmaja dalam makalah ''Multikultur dalam Perpsektif Filsafat Hindu''
menjelaskan, Tat Twam Asi adalah filsafat Hindu yang mengajarkan suatu keharusan
bagi manusia untuk membangun persaudaraan universal, karena setiap ia adalah kamu.
Saya adalah sama dengan kamu dan segala makhluk adalah sama, sehingga menolong
orang lain berarti sama dengan menolong diri sendiri. Begitu pula kalau menyakiti orang
lain berarti menyakiti diri sendiri.
Budaya Egosentris
Dalam perspektif Hindu, muncul kebudayaan egosentris yang tidak bisa dilepaskan dari
ahamkara (prinsip keakuan yang melekat pada diri manusia). Karena itu, ke-kita-an dan
ke-mereka-an yang bertumpu pada perbedaan kebudayaan dan keagamaan merupakan
sumber konflik yang tidak bisa diabaikan dalam kehidupan manusia. Apa pun bentuk
dialog yang kita lakukan, tidak mungkin terlaksana kalau kita tidak bersedia melakukan
perubahan terhadap paradigma budaya yang kita anut.
Di zaman Kali, Swastha mengharap agar konsep ini lebih dikumandangkan untuk
memberi penyadaran kepada umat. Bahkan kalau bisa, ia ingin konsep ini mengglobal
hingga semua umat hidup dalam perdamaian. Tetapi, ini sepertinya sulit kalau
kesadaran umat masih kurang.
Ia mencontohkan, sekarang ini egoisme muncul mewarnai hidup manusia. Ini karena
corak hidup yang hedonis dan konsumtif. ''Manusia lebih mementingkan material
daripada spiritual, harusnya terjadi keseimbangan antara kedua hal tersebut,'' katanya.'
Bagaimana caranya memberi penyadaran, ia memberi beberapa saran. Di antaranya,
memberikan dharma wacana, dharma tula dan membuat perpustakaan khususnya yang
memuat buku-buku agama di wilayah pedesaan. Hal ini penting untuk meningkatkan
kualitas hidup umat. ''Kalau kita sudah berkualitas dan memahami ajaran agama, kita
tidak akan mendiskreditkan orang. Orang yang memiliki egoisme dan melakukan
pendiskreditan adalah orang yang tidak punya pemahaman, apalagi yang berkaitan
dengan pendiskreditan agama.''
Hindu juga memiliki ajaran Tri Kaya Parisudha yang bisa menunjang semua itu. Kita
harus selalu berpikir, berkata dan berbuat baik, agar tercipta keselarasan dan
kedamaian. ''Para pemimpin dan pemuka umat harus memiliki itu semua. Jangan hanya
memberi contoh, kalau bisa jadilah contoh.'' Dengan kata lain, ia mengatakan, memberi
contoh itu mudah tetapi menjadi contoh itu yang sulit.
Wijaya memberi pemahaman lain, Tat Twam Asi sangat bagus dalam tataran teori.
Namun, ketika diimplementasikan sangat susah. Ia mencontohkan, jika di masyarakat
ada warganya yang kasepekang, Tat Twam Asi tidak berfungsi. Perlu adanya suatu
lembaga yang dipercaya masyarakat dalam memberi pemahaman sebenarnya tentang
konsep ini. Ia mengkhawatirkan Hindu di Bali kalau tidak memahami sungguh-sungguh
makna Tat Twam Asi akan terjadi pengkotak-kotakan. ''Bali akan menjadi eksklusif.''
Untuk menyikapi hal ini, diperlukan perubahan struktur yang luar biasa. Harus ada
organisasi lintas sektoral yang menangani ini.
Kalau Bali terlelap dalam eksklusivisme ini, ia khawatir umat Hindu di Bali makin hari
akan makin berkurang. ''Kalau mau ciri khas Bali berarti biarkan masyarakat dalam
pengkotak-kotakan. Akan tetapi kalau mau ciri khas Hindu, jalankan Tat Twam Asi,''
tegasnya.
Contoh adanya konflik antardesa atau antarbanjar menjadi bukti yata. Ketika Tat Twam
Asi tidak bisa dijadikan acuan, konflik akan makin melebar. Dampaknya akan ada
kasepekang. Kalau sudah kasepekang, sembahyang ke pura pun tidak boleh, apalagi
mau ngaben. ''Suatu saat nanti sepertinya perlu kuburan umum, desa umum dan
pedanda umum bagi mereka yang kena kasepekang.''
Dicontohkannya Pura Jagadnatha. Pura ini menjadi terobosan dalam kebebasan
menyembah Tuhan. Pura ini dipergunakan semua umat Hindu, tanpa memandang apa
kasta-nya. Desa kala patra juga harus selalu diingat semua umat Hindu. ''Jangan
memaksakan kehendak. Kalau mau beda buatlah tempat sendiri,'' kata Wijaya. (wah)
SUMBER BUKU WIDYA DARMA AGAMA HINDU
A.Pengertian
Tat
Twam
Asi
Di dalam kitab Candayoga Upanisad, ada disebutkan Tat Twam Asi. Di dalam
filsafat Hindu dijelaskan bahwa Tat Twam Asi adalah ajaran kesusilaan yang tanpa
batas, yang identik dengan perikemanusiaan dalam Pancasila. Konsepsi sila
perikemanusiaan dalam Pancasila, bila kita cermati secara sungguh-sungguh
merupakan realisasi ajaran Tat Twam Asi yang terdapat dalam kitab suci weda.
Dengan
demikian,
dapat
dikatakan
mengerti
dan
memehami,
serta
mengamalkan/melaksanakan Pancasila berarti telah melaksanakan ajaran weda.
Karena maksud yang terkandung didalam ajaran Tat Twam Asi “ia adalah kamu,
saya adalah kamu, dan semua makhluk adalah sama” sehingga bila kita menolong
orang
lain
berarti
B.
Bentuk-bentuk
juga
menolong
ajaran
Tat
diri
kita
sendiri.
Twam
Asi
Tat Twam Asi adalah ajaran moral yang bernafaskan ajaran agama Hindu. Wujud
nyata /riil dari ajaran ini dapat kita cermati dalam kehidupan dan prilaku
keseharian dari umat manusia yang bersangkutan. Manusia dalam hidupnya
memiliki berbagai macam kebutuhan hidup yang dimotifasi oleh keinginan(kama)
manusia yang bersangkutan.Sebelum manusia sebagai makhluk hidup itu banyak
jenis, sifat, dan ragamnya, seperti manusia sebagai makhluk, individu, sosial,
religius, ekonomis, budaya, dan yang lainnya. Semua itu harus dapat dipenuhi
oleh manusia secara menyeluruh dan bersamaan tanpa memperhitungkan situasi
dan kondisinya serta keterbatasan yang dimilikinya, betapa susah yang dirasakan
oleh individu yang bersangkutan. Disinilah manusia perlu mengenal dan
melaksanakan rasa kebersamaan, sehingga seberapa berat masalah yang
dihadapinya akan terasa ringan. Dengan memahami dan mengamalkan ajaran Tat
Twam Asi, manusia akan dapat merasakan berat dan ringan hidup dan kehidupan
ini.Semua diantara kita ini tahu bahwa berat dan ringan Rwabhineda itu ada dan
selalu berdampingan adanya, serta sulit dipisahkan keberadaanya. Demikian
adanya maka dalam hidup ini kita hendaknya selalu sering tolong menolong,
merasa
senasib
dan
sepenanggungan.
Misalnya, bila masyarakat Bali ditimpa bencana Bom, sebagai akibat dari bencana
itu bukan hanya dirasakan oleh masyarakat Bali sendiri, melainkan juga dirasakan
oleh masyarakat Indonesia, bahkan masyarakat duniapun juga ikut terkena
biasnya. Bila seorang anak mendapat halangan /kecelakaan sehingga merasa
sedih, rasa sedih yang diderita oleh anak yang bersangkutan juga dirasakan oleh
orang tuanya. Demikian juga yang lainnya akan selalu dirasakan secara
kebersamaan
/sosial
oleh
masing-masing
individu
yang
bersangkutan.
Jiwa sosial ini seharusnya diresapi dengan sinar-sinar kesusilaan tuntunan Tuhan
dan tidak dibenarkan dengan jiwa kebendaan semata.Ajaran Tat Twan Asi selain
merupakan jiwa filsfat social, juga merupakan dasar dari tata susila Hindu di
dalam usaha untuk mencapai perbaikan moral. Susila adalah tingkh laku yang
baik dan mulia untuk membina hubungan yang selaras dan rukun diantara sesame
makhluk hidup lainnya yang diciptakan oleh Tuhan. Sebagai landasan/pedoman
guna membina hubungan yang selaras, maka kita mengenal, mengindahkan, dan
mengamalkan ajaran moralitas itu dengan sungguh-sungguh sebagai berikut :
1.Kelakuan yang sesuai dengan ukuran-ukuran /norma-norma masyarakat yang
timbul
2.
dari
Rasa
hatinya
tanggung
sendiri(bukan
jawab
paksaan
atas
dari
tindakannya
luar).
itu.
3. Lebih mendahulukan mementingkan umum dari pada kepentingan pribadi.
Sastra-sastra agama adalah sumber atau dasar dari tata susila(ethika) yang bersifat
kokoh dan kekal, ibarat landasan dari suatu bangunan dimana bangunan yang
bersangkutan harus didirikan. Jika landasannya itu tidak kuat/kokoh, maka
bangunan itu aakan mudah roboh dengan sendirinya.Demikian pula halnya
dengan tata susila bila tidak dilandasi dengan pedoman sastra-sastra agama yang
kokoh dan kuat, maka tata susila tidak akan meresap dan mendalam di hati
sanubari kita. Ajaran agama yang menjadi dasar dan pedoman tata susila Hindu
diantaranya adalah ajaran Tri Kaya Parisuhda. Ajaran Tri Kaya Parisudha
merupakan tiga kesusilaan yang penting sebagai bagian dari ajaran Dharma.
Dengan demikian barang siapa yang dengan kesungguhan hati menganmalkan
ajaranya itu sudah barang tentu akan selalu dalam keadaan selamat dan bahagia,
karena ia selalu akan mendapat perlindungan dari perbuatanya yang baik itu.
Tata susila sering juga disebut dengan ethika(sopan santun). Ethika itu dapat
diterapkan sesuai dengan tujuannya, bila manusia memiliki wiweka, yitu
kemampuan membedakan dan memilih diantara yang baik dengan yang buruk ,
yang benar dengan yang salah dan lain sebagainya. Demikianlah tata susila
dengan wiweka, keduanya saling melengkapi kegunaanya dalam hidup dan
kehidupan
ini.
Namun dewasa ini bila kita mau secara jujur mengakui, sesungguhnya banyak
sekali tanda-tanda kemerosotan moral yang terjadi dilingkugan masyarakat,
terutama dikalangan anak-anak(para remaja) kita, hal itu disebabkan oleh karena
antara
lain
:
1. Kurang tertanamnya jiwa agama pada setiap individu yang ada dalam
masyarakat.
2. Keadaan masyarakat yang kurang stabil, baik dalam bidang pendidikan,
ekonomi,
sosial,
politik
dan
keamanan.
3. Pendidikan moral belum terlaksana sebagaimana mestinya baik dilingkungan
sekolah,
4.
5.
Situasi
masyarakat,
dan
Diperkenalkan
kondisi
secara
maupun
rumah
popular
ditingkat
tangga
obat-obatan
yang
dan
rumah
kurang
sarana
tangga.
stabil/baik.
anti
hamil.
6. Banyaknya tulisan-tulisan, gambar-gambar, siaran-siaran, kesenian-kesenian
yang kurang mengindahkan dasar-dasar,norma-norma/aturan-aturan tentang
tuntunan
moral.
7. Kurang adanya individu /organisasi/lembaga yang memfasilitasi tempat-tempat
bimbingan dan penyuluhan moral bagi anak-anak/remaja yang menganggur.
Bila ajaran Tat Twam Asi dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat secara menyeluruh dan sungguh-sungguh,dalam sifat dan prilaku kita
maka kehidupan ini akan menjadi sangat harmonis.Satu dengan yang lainnya
diantara kita dapat hidup saling menghormati, mengisi dan damai. Demikianlah
ajaran Tat Twam Asi patut kita pedomi, cermati dan amalkan kehidupan seharihari
Diringkas
ini.
Oleh
:
Sumber Buku : Widya Dharma Agama Hindu
Ni
Ketut
Patri
Download