2. tinjauan pustaka

advertisement
3
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Keadaan Umum Teluk Tomini
Teluk Tomini adalah teluk yang berada di Pulau Sulawesi, Indonesia dan
termasuk kedalam wilayah propinsi Sulawesi Utara, Gorontalo dan Sulawesi Tengah
dengan luasan sekitar 17.200 mil2. Wilayah Teluk Tomini berhubungan langsung
dengan Laut Maluku dan kearah timur laut berhubungan dengan Laut Sulawesi.
Perairan Teluk Tomini relatif subur dan kaya dengan potensi sumberdaya laut.
Kesuburan perairan ini sangat berkaitan dengan unsur hara yang terdapat di Teluk
Tomini, dengan demikian kelimpahan plankton yang dihasilkan pun cukup besar
(Prasetyati, 2004).
Topografi perairan Teluk Tomini sangat dipengaruhi oleh massa air yang
berasal dari Samudera Pasifik dan diperkirakan sangat bervariasi baik secara spasial
ataupun temporal. Kondisi oseanografi di perairan Teluk Tomini dipengaruhi secara
nyata oleh dua musim. yaitu musim barat (northwest monsoon) pada bulan Desember
sampai bulan Februari, yang ditandai pula dengan musim hujan, dan musim timur
(southeast monsoon) pada bulan Juni sampai Oktober ditandai dengan musim kering.
Angin cukup bertiup keras pada bulan Juli/Agustus, namun angin tersebut akan
berkurang kekuatannya dibagian utara (Wyrtki, 1961).
Pada waktu musim timur, arus lebih sering mengarah ke selatan dengan
kecepatan 6-7 knot terutama di daerah persempitan dibagian utara. Pada musim ini
terdapat juga arus kearah utara dengan kecepatan maksimum 3,5 knot, namun
3
4
kadang-kadang arus tersebut hilang akibat pengaruh arus ke selatan. Pada musim
barat terdapat arus yang mengarah ke utara dengan kecepatan maksimum 6-7 knot
yang merupakan gambaran kebalikan dari musim timur. Studi oseanografi fisika di
daerah Laut Maluku menghasilkan bahwa periode upwelling terjadi selama musim
timur. Upwelling yang terjadi kira-kira pada bulan April sampai Oktober
menyebabkan perairan Teluk Tomini diperkaya oleh zat hara yang berasal dari
lapisan bawah sehingga menyebabkan tingginya produktivitas primer di perairan
Teluk Tomini (Wyrtki, 1961).
2.2. Metode Hidroakustik
Hidroakustik adalah teori tentang gelombang suara dan perambatannya di suatu
medium (dalam hal ini mediumnya adalah air laut), sehingga proses pembentukan
dan sifat perambatannya dibatasi oleh air laut (Arnaya, 1991 in Duror, 2004). Untuk
memperoleh informasi tentang objek di dalam air laut digunakan sistem akustik sonar
yang terdiri dari echosounder (sistem pancar vertikal) dan sonar (sistem pancar
horizontal). Sistem ini terdiri dari empat komponen yaitu transmitter untuk
menghasilkan pulsa, transducer yang berfungsi untuk mengubah energi Iistrik
menjadi energi suara dan sebaliknya, receiver yang berfungsi untuk menerima pulsa
dari objek dan display atau recorder untuk mencatat hasil echo. Selain keempat
komponen tersebut ditambah dengan time base yang digunakan untuk mengaktifkan
pulsa. Pada umumnya hasil rekaman dicatat dalam echogram atau dengan osiloskop
yang dapat menvisualisasikan osilasi atau tegangan listrik (Maclennan dan
Simmonds, 1992).
4
5
Gambar 1. Prinsip kerja metode hidroakustik
(Sumber: Maclennan and Simmonds, 1992 )
2.3. Ikan Pelagis
Ikan pelagis adalah organisme yang hidup di laut terbuka, lepas dari dasar
perairan. Ikan pelagis merupakan organisme yang mempunyai kemampuan untuk
bergerak sehingga mereka tidak tergantung pada arus laut yang kuat atau gerakan air
yang disebabkan oleh angin (Nybakken, 1988). Ikan pelagis terdiri dari dua jenis
yaitu ikan pelagis besar yang hidup di perairan oseanis (laut lepas) dan ikan pelagis
kecil yang banyak terdapat di perairan pantai (Dahuri, 2003).
Beberapa ikan pelagis melakukan migrasi vertikal harian (diurnal vertical
migrations). Pada saat migrasi normal ikan naik dari dekat dasar atau dekat lapisan
termoklin menuju dekat lapisan permukaan pada saat gelap, berpencar dan akhirnya
turun dan berkelompok di lapisan yang lebih dalam atau dekat lapisan dasar pada saat
5
6
fajar/dini hari. Hal disebabkan dengan kecenderungan ikan yang akan berenang
menghindari suhu yang lebih tinggi dan menuju ke sebelah dalam pada waktu suhu
permukaan lebih tinggi dari biasanya (Laevastu dan Hayes, 1981).
Menurut Aziz et al (1987) in Wahyuningsih dan Alexander (2006) penyebaran
ikan pelagis di Indonesia merata di seluruh perairan. Jenis-jenis ikan pelagis yang
terdapat di perairan Indonesia antara lain :
1)
Ikan pelagis besar yaitu ikan pelagis yang berukuran besar (100-250 cm)
seperti tuna (Thunnus sp), cakalang (Katsuwonus pelamis), tongkol
(Euthynnus sp), tenggiri (Scomberomorini commersoni), dan lain-lain.
2)
Ikan pelagis kecil yaitu jenis-jenis ikan permukaan yang biasanya bermigrasi
cukup jauh. Salah satu sifat ikan pelagis ini adalah suka bergerombol sehingga
penyebarannya pada suatu kolom perairan tidak merata dan umumnya ikan ini
mempunyai ukuran yang relatif (5-50 cm) seperti kembung (Rastrelliger spp),
lemuru (Sardinella spp), layang (Decapterus russet), teri (Stolephorus spp).
selar (Sclav spp).
Umumnya densitas ikan pelagis kecil memiliki kelimpahan sangat tinggi di
daerah terjadinya pengangkatan massa air ke permukaan (upwelling) yang merupakan
daerah subur akibat adanya pengangkatan zat hara ke daerah permukaan laut (Dahuri,
2003).
6
7
2.4. Target Strength
Dalam pendugaan stok ikan dcngan metode akustik, faktor terpenting yang
harus diketahui adalah target strength. Target strength (TS) adalah kekuatan dari
suatu target untuk mcmantulkan suara. Target strength dari seekor ikan dipengaruhi
oleh ukuran, kekompakan daging, struktur dan anatomi, dan bentuk yang secara
bersama-sama membentuk bangun tubuh ikan secara keseluruhan. Oleh sebab itu
spesies, karakteristik refleksi, orientasi, dan dimensi dari gelembung renang ikan akan
mempengaruhi target strength (Johannesson dan Mitson, 1983).
Target strength didefinisikan sebagai sepuluh kali nilai logaritma dari intensitas
yang dipantulkan pada jarak satu meter dari ikan (Ii), dibagi dengan intensitas yang
mengenai ikan (Ii) (Johannesson dan Mitson, 1983). Target strength dapat
didefinisikan menjadi dua, yaitu intensitas target strength dan energi target strength.
Berdasarkan intensitas, target strength diformulasikan sebagai berikut :
TSi = 10 Log
Ir
Ii
...............................................................................................(1)
TSi = Intensitas target strength
Ir = Intensitas suara yang dipantulkan yang diukur pada jarak 1 m dari target
Ii = Intensitas suara yang mengenai ikan
dan berdasarkan energi, target strength diformulasikan sebagai berikut :
7
8
Tse = 10 Log
Er
Ei
..............................................................................................(2)
TSe = Energi target strength
Er = Energi suara yang pantulkan yang diukur pada jarak 1 m dari target
Ei = Energi suara yang mengenai ikan
Acoustic scattering cross section (σ) merupakan jumlah energi suara yang
dipantulkan ketika suatu objek dikenai sinyal akustik. Backscattering cross section
(σbs) merupakan perbandingan intensitas suara yang dipantulkan oleh target (Ir)
dengan intensitas suara yang mengenai target (Ii). Hubungan TS dan σbs dapat
dirumuskan sebagai berikut:
σbs =
…………............................................................................................(3)
σbs = Backscattering cross section
Ir = Intensitas suara yang dipantulkan yang diukur pada jarak 1 m dari target
Ii = Intensitas suara yang mengenai ikan
sehingga persamaan TS dapat dirumuskan menjadi:
TS = 10 Log (σbs) ...............................................................................................(3)
TS = Target strength
σbs = Backscattering cross section
8
9
2.5. Volume Backscattering Strength
Volume backscattering strength didefinisikan sebagai rasio antara intensitas
yang direfleksikan oleh suatu kelornpok single target yang diinsonifikasikan secara
sesaat yang diukur pada jarak 1 m dari target dengan intensitas suara yang mengenai
target. Pengertian volume backscattering ini sama dengan target strength, dimana
target strength untuk target tunggal sedangkan volume backscattering untuk
kelompok/gerombolan ikan (Johannesson dan Mitson, 1983).
Masing-masing individu target merupakan sumber dari reflected sound wave,
jadi output dari integrasi akan proporsional dengan kuantitas ikan dalam kelompok.
Ada dua metode dasar yang digunakan untuk memperoleh data kelimpahan ikan
dengan metode akustik yaitu echo counting dan echo integration. Jika densitas ikan
pada volume yang disampling rendah, maka echo dari ikan-ikan tunggal dapat dengan
mudah dipisahkan dan kemudian dihitung satu-persatu dengan memakai echo
counting. Metode echo counting jarang digunakan dalam menduga kelimpahan ikan
karena ikan pada umumnya ikan bergerombol, sehingga menyebabkan overlap dari
echo ikan. Hal lain yang menyebabkan metode ini jarang digunakan adalah karena
densitas ikan tidak homogen dan pada umumnya tinggi. Jika densitas ikan tinggi atau
membentuk gerombolan. dimana echo dari target ganda menjadi overlap dan ikan
tunggal sulit dipisahkan maka total biomass dapat diduga dengan menggunakan echo
integrator. Pada dasarnya echo integrator berguna untuk mcngubah energi total dari
echo ikan menjadi densitas ikan dalam ikan/m3 atau kg/m3. Echo integrator ini
banyak digunakan untuk survei kelautan karena dalam survei akustik umumnya
9
10
densitas ikan pada daerah survei tidak merata. Metode echo integration yang
digunakan untuk mengukur volume backscattering berdasarkan pada pengukuran
total power backscattered pada transducer (Johannesson dan Mitson, 1983).
Selanjutnya volume reverberasi digunakan untuk mendapatkan volume
backscattering strength dari kelompok ikan. Menurut Johannesson dan Mitson
(1983) total intensitas suara yang dipantulkan oleh suatu multiple target adalah
jumlah dari intensitas suara yang dipantulkan oleh masing-masing target tunggal atau:
Ir total = Irl + Ir2 + Ir3 + ....+ Irn ..............................................................................(4)
Dimana :
n = jumlah individu ikan
Maka jika n memiliki sifat akustik yang serupa, nilai rata-rata intensitasnya dapat
diduga dengan:
Ir total = n.Ir ...............................................................................................................(5)
Dimana :
Ir = intensitas rata-rata yang direfleksikan oleh target tunggal
Hingga acoustic cross section rata-rata tiap target adalah :
=
……………………………………………………………………….(6)
10
11
juga dapat dicari dengan menggunakan persamaan:
Nilai
= 4π
Ir
Ii
Sehingga Ir =
Ir total =
n.
4
....................................................................................................(7)
.Ii
4
dan Ir total dapat dicari dengan persamaan :
.Ii ...........................................................................................(8)
Dengan persamaan diatas, akan memugkinkan untuk mencari nilai TS rata-rata
(TS). Bila ρf = n/ volume, dalam bentuk persamaan logaritma dengan satuan dB, nilai
SV ( volume backscattering strength ) dapat diselesaikan dengan persamaan :
SV = 10 Log ρf + TS.................................................................................................(9)
Dimana ρf adalah densitas ikan.
2.6. Seleksi sebaran puncak Volume Backscattering Strength (SV)
Nilai volume backscattering strength rata-rata yang diperoleh dapat
dikorelasikan dengan posisi dan kedalaman untuk memperoleh sebaran puncak SV
pada suatu batas threshold tertentu. Proses integrasi dilakukan dengan menggunakan
ping dan layer kedalaman tertentu untuk mendapatkan nilai rata-rata SV (dB)
berdasarkan posisi dan kedalaman. Dari nilai rata-rata SV yang dihasilkan
selanjutnya dilinearkan untuk memperoleh data sebaran puncak threshold. Puncak
threshold yang dihasilkan diintegrasi kembali pada selang (-90) sampai (-42) dB
11
12
dengan laju kenaikan sebesar (-3) dB. Kuantitas sebaran puncak threshold
selanjutnya dicatat dan dianalisis untuk memvisualisasikan hubungan sebaran target
terdeteksi berdasarkan letak posisi dan kedalaman. Sebaran puncak threshold yang
mewakili nilai SV rata-rata dapat dikorelasikan dengan nilai standar deviasi, dimana
nilai standar deviasi dengan kisaran 4 – 60 % dari nilai rata-rata volume
backscattering strength memiliki korelasi negative dengan jumlah kelimpahan suatu
target (Eckmann, R. 1998).
2.7. Faktor-faktor Oseanografi yang Mempengaruhi Distribusi Ikan
Indonesia beriklim laut tropis karena letaknya di daerah tropis dan diapit oleh
dua Samudera yaitu Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Indonesia memiliki dua
musim yaitu musim barat dan musim timur. Namun karena wilayahnya yang luas,
keadaan geografisnya yang berbeda-beda serta daerahnya yang dibelah oleh garis
khatulistiwa maka sering terjadi perbedaan atau penyimpangan musim. Pengetahuan
mengenai penyebaran atau distribusi ikan sangat berkaitan dengan pencarian dan
pemiiihan teknik penangkapan ikan yang sesuai. Pola kehidupan ikan tidak bisa
dipisahkan dari adanya berbagai kondisi lingkungan perairan dan fluktuasi keadaan
lingkungan tersebut. Interaksi antara berbagai. faktor lingkungan terhadap ikan
sangat kompleks mengingat bahwa faktor lingkungan tersebut senantiasa berubah.
Faktor-faktor fisik merupakan faktor yang mudah diamati jika dibandingkan
dengan faktor lingkungan lain. Suhu dan salinitas merupakan parameter fisika yang
penting artinya dalam mempelajari kehidupan biota laut. Adanya perubahan baik
12
13
suhu maupun salinitas akan mempengaruhi keadaan organisme di suatu perairan
(Safruddin, 2007).
2.7.1. Suhu
Suhu adalah salah satu faktor lingkungan yang paling mudah untuk diteliti dan
ditentukan. Suhu air laut merupakan faktor yang banyak mendapatkan perhatian
dalam penelitian-penelitian kelautan, karena suhu merupakan salah satu faktor yang
sangat penting bagi kehidupan organisme laut. Menurut Nybakken (1988) suhu
adalah ukuran energi dari suatu molekul. Suhu perairan Indonesia sangat bervariasi
secara horizontal (menurut garis lintang) dan secara vertikal (menurut garis
kedalaman). Data suhu dapat dimanfaatkan bukan saja untuk mempelajari gejalagejala fisika di dalam laut, tetapi juga berkaitan dengan kehidupan hewan atau
tumbuhan didalamnya (Nontji, 1993). Suhu dapat digunakan sebagai indikator untuk
menentukan perubahan ekologi. Hal ini tidak saja menyangkut suhu dan daerah
fluktuasinya, akan tetapi juga menyangkut gradien horizontal dan vertikalnya, variasi
dari suatu tempat ke tempat lainnya.
Perubahan suhu dapat menyebabkan terjadinya sirkulasi dan stratifikasi air
secara langsung maupun tidak langsung yang nantinya akan berpengaruli terhadap
distribusi ikan (organisme perairan). Ikan-ikan akan cenderung memilih suhu tertentu
untuk dapat hidup dengan baik. Aktivitas metabolisme serta penyebaran ikan banyak
dipengaruhi oleh suhu air tersebut, dalam hal ini ikan sangat peka terhadap perubahan
suhu walau hanya 0,03°C. Fluktuasi suhu ternyata bertindak sebagai faktor penting
yang merangsang dan menentukan ruaya ikan (Wahyuningsih dan Alexander, 2006).
13
14
2.7.2. Salinitas
Salinitas atau kadar garam merupakan jumlah garam (dalam gram) yang terlarut
di dalam 1 liter air, biasanya dinyatakan dengan satuan derajat per-mil (%o).
Salinitas air laut umumnya bervariasi dengan kisaran antara 30-36 permil
(Brotowidjoyo, 1995 in Safruddin, 2007). Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh
berbagai faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan (evaporasi), curah hujan
(presipitasi) dan masukan dari aliran sungai (run off) yang ada disekitarya.
Perubahan salinitas pada perairan bebas (laut lepas) relatif kecil bila
dibandingkan dengan perairan pantai. Hal ini disebabkan karena perairan pantai
banyak memperoleh masukan air tawar dari muara-muara sungai terutama pada
waktu hujan (Safruddin, 2007). Salinitas juga erat hubungannya dengan adanya
penyesuaian tekanan osmotik antara sitoplasma dari sel-sel tubuh ikan dengan
keadaan sekelilingnya. Perubahan salinitas sering menunjukkan perubahan massa air
dan keadaan salinitasnya. Ikan cenderung untuk memilih medium dengan kadar
salinitas yang lebih sesuai dengan tekanan osmotik tubuh mereka masing-masing.
Salinitas lingkungan juga berpengaruh terhadap distribusi telur, larva, juvenil dan
ikan dewasa: orientasi migrasi; dan keberhasilan produksi.
14
Download