1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker kolon

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kanker kolon menempati urutan ketiga penyebab kematian penduduk
Amerika (Anonim, 2012) dan juga Indonesia setelah kanker paru dan kanker
payudara. American Cancer Society memperkirakan pada tahun 2013, terdapat
100.000 lebih penderita kanker kolon di Amerika Serikat dan setengah
diantaranya meninggal dunia (Marck, 2012). Angka insidensi kanker kolon terus
meningkat seiring dengan pertambahan penduduk baik di negara berkembang
maupun negara maju (Winawer, 2007). Faktor eksogen, seperti konsumsi daging
merah, alkohol, obesitas dan merokok merupakan faktor risiko untuk kanker
kolon dan dapat meningkatkan risiko pengembangan kanker kolon (Boyle dan
Langman, 2000). Pengobatan biasanya didasarkan pada operasi pengangkatan
tumor. Namun menurut Walker dkk. (2002), kemoterapi dapat meningkatkan
kualitas dan kelangsungan hidup penderita kanker kolon hingga 6-12 bulan.
Agen kemoterapi yang biasa digunakan secara luas dalam pengobatan
kanker adalah doxorubicin, termasuk pada kanker kolon. Doxorubicin adalah
salah satu agen yang bekerja melalui penghambatan enzim topoisomerase II
dengan menginduksi kerusakan DNA (Potter dkk., 2002). Namun pada dosis
tinggi, doxorubicin akan menimbulkan efek samping seperti gangguan jantung,
mual, diare, serta alopesia (Gunawan, 2007) serta penekanan sistem imun
(Wattanapitayakul dkk., 2005) dan terjadinya resistensi (Golan dkk., 2008). Salah
1
2
satu solusi untuk mengatasi masalah ini adalah penggunaan agen kokemoterapi
pada terapi kanker. Dengan demikian, diharapkan dapat digunakan obat dengan
dosis rendah namun aktivitas meningkat, sehingga efek samping terhadap jaringan
normal dapat menurun. Agen kokemoterapi yang potensial digunakan dalam
kombinasi adalah dengan bahan alam.
Banyak bahan alam yang memiliki aktivitas kemoprevensi. Salah satunya
adalah kulit buah manggis (Garcinia mangostana L.). Kulit buah manggis
mengandung xanthon dan antosianin. Salah satu senyawa xanthon yang melimpah
pada kulit buah manggis adalah α-mangostin (Chairungsrilerd dkk., 1996).
Berdasarkan uji in vitro pada sel DLD-1 (model sel kanker kolorektal manusia),
terbukti bahwa α-mangostin pada ekstrak kulit buah manggis dapat menghambat
pertumbuhan sel kanker pada dosis 5-20 µM (Matsumoto, 2005). Weecharangsan
dkk. (2006) melaporkan ekstrak air, etanol 50 dan 95%, serta etil asetat kulit buah
manggis mempunyai potensi sebagai penangkal radikal bebas 2,2-difenil-1pikrlhidrazil. Senyawa α-mangostin juga telah diketahui memiliki efek
antiproliferasi dan apoptosis pada kanker hati (Ho dkk., 2002) kemudian dalam
crude extract memiliki potensi sebagai agen kemopreventif kanker kolon
(Nabandith dkk., 2004), kanker payudara (Moongkarndi dkk., 2004) dan kanker
rektum (Nakagawa dkk., 2007). α-mangostin juga terbukti menghambat
metastasis pada sel kanker PC-3 (Hung dkk., 2009). Penelitian tersebut menjadi
dasar pengembangan lebih lanjut kulit buah manggis sebagai agen kokemoterapi
kanker dengan doxorubicin.
Pengembangan yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah menguji
3
sitotoksisitas ekstrak etanolik kulit buah manggis (EKM) terhadap sel kanker
kolon yaitu sel WiDr. Selanjutnya, akan diamati efek EKM terhadap peningkatan
aktivitas sitotoksik doxorubicin terhadap sel WiDr, serta induksi apotosisnya.
Uji sitotoksisitas tunggal maupun kombinasi dalam penelitian ini
dilakukan menggunakan metode MTT [3-(4,5-dimetiltiazol-2-il)-2,5-difenil
tetrazolium bromide] yang bersifat kuantitatif, sedangkan pengamatan efek
induksi apoptosis dilakukan dengan metode double staining menggunakan akridin
oranye-etidium bromida. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan bukti
ilmiah mengenai aktivitas sitotoksik EKM dan induksi apoptosisnya terhadap sel
WiDr dalam meningkatkan efektivitas doxorubicin sehingga dapat menjadi dasar
penggunaan bahan alam sebagai agen kokemoterapi untuk menekan tingkat
insidensi penyakit kanker.
B. Perumusan Masalah
1. Apakah EKM memiliki aktivitas sitotoksik terhadap sel WiDr?
2. Apakah EKM dapat meningkatkan efek sitotoksik doxorubicin pada sel
WiDr?
3. Apakah EKM dan kombinasinya dengan doxorubicin mampu menginduksi
apoptosis pada sel WiDr?
4
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan potensi bahan alam untuk
pengobatan kanker, khususnya kanker kolon.
2. Tujuan Khusus
a. Menguji lebih lanjut sitotoksisitas EKM terhadap sel WiDr melalui
parameter nilai IC50.
b. Mengetahui kemampuan EKM dalam meningkatkan efek sitotoksik
doxorubicin pada sel WiDr.
c. Mengamati efek induksi apoptosis sel WiDr oleh EKM dan kombinasinya
dengan doxorubicin.
D. Tinjauan Pustaka
1. Kanker Kolon
Kanker adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh sel tubuh yang
tumbuh dengan tidak normal. Pada penderita kanker, akan terjadi
perubahan ekspresi gen sehingga keseimbangan proliferasi dan kematian
sel terganggu. Sel tersebut berkembang menjadi populasi sel yang mampu
menyerang bagian tubuh yang lain, hingga dapat menimbulkan kematian
inang (Ruddon, 2007). Sel kanker akan mampu bermetastasis, menghindari
mekanisme apoptosis dan menginduksi angiogenesis (De Vita dkk., 2011).
Hal tersebut disebabkan oleh kurang pekanya sel dalam mengenali sinyal
5
penghambat pertumbuhan, sehingga dapat melakukan replikasi secara
terus-menerus (Hanahan dan Weinberg, 2000).
Kanker dapat menjangkit usus besar manusia yang disebut kanker
kolon. Kanker ini dimulai dari sel yang berbentuk kelenjar pada lapisan
dalam usus besar yang kemudian menyebar ke bagian dinding kolon (Colon
adenocarcinoma). Kanker kolorektal umumnya mulai tumbuh pada
permukaan bagian dalam (mukosa) yang mengarah ke dalam rongga
(Heriady, 2002).
Pada kanker kolon, terjadi peningkatan ekspresi siklooksigenase-2
(COX-2), yaitu enzim yang berperan dalam metabolisme arakidonat.
Ekspresi COX-2 dapat terinduksi dengan cepat apabila ada reaksi
inflamasi. Ekspresi COX-2 akan menginduksi pembentukan prostaglandin
(PGE2) dari asam arakidonat. Ekspresi COX-2 dan prostaglandin
berhubungan dengan regulasi proliferasi sel, diferensiasi, dan tumorigenesis
(Turini dan Dubois, 2002). Prostaglandin akan mengaktivasi phosphatidylinositol-3-kinase (PI3K) melalui jalur RAS/MAPK (Markowitz, 2007) dan
pengaktifan NFкB (Hanahan dan Weinberg, 2011). Aktivasi RAS/MAPK
meningkatkan proliferasi sel, sedangkan aktivasi NFкB akan menghambat
apoptosis (Hanahan dan Weinberg, 2011).
Gen yang berpengaruh pada perkembangan kanker kolon adalah
APC dan RAS. APC merupakan tumor suppressor gene. Jika ekspresi gen
ini terhenti, akan tejadi perkembangan polip pada kolon. RAS juga
berpengaruh pada transisi awal dari epitel normal menjadi jaringan
6
premalignant. Pada premalignant colon polyps, RAS termutasi hingga pada
50% kasus. Fungsi normal dari RAS adalah mengaktivasi gen-gen daerah
downstream transduksi sinyal yang bermuara pada cascade. Selanjutnya,
pada sebagian besar kanker, terjadi mutasi p53. Ketika p53 termutasi,
kerusakan DNA tidak dapat dikenali dan diperbaiki. Mutasi akan terus
terjadi tanpa adanya koreksi sehingga meningkatkan pertumbuhan sel
kanker hingga terjadi metastasis (Yeatman, 2001).
Gambar 1. Tahapan model perkembangan kanker kolon (Yeatman, 2001)
7
Gambar 2. Sel WiDr (ATCC Collection)
Sel WiDr (Gambar 2) merupakan salah satu jenis sel kanker kolon
manusia yang diisolasi dari kolon seorang wanita berusia 78 tahun. Sel ini
merupakan salah satu jenis kultur kanker kolon yang sering digunakan
dalam penelitian. Palozza dkk., (2005) menjelaskan bahwa salah satu
karakteristik dari sel WiDr adalah ekspresi sikolooksigenase-2 (COX-2)
yang tinggi yang memacu proliferasi sel itu sendiri. Pada sel WiDr, terjadi
mutasi p53 GA pada posisi 273 sehingga terjadi perubahan residu arginin
menjadi histidin (Noguchi dkk., 1979). Apoptosis pada sel WiDr dapat
terjadi melalui jalur yang tidak tergantung pada p53, di antaranya melalui
aktivasi p73 (Levrero dkk., 2000). Protein p21 pada sel WiDr yang masih
normal memungkinkan untuk terjadinya penghentian daur sel (Liu dkk.,
2006).
2. Doxorubicin dan kokemoterapi
Doxorubicin (Gambar 3) merupakan obat yang responsif terhadap
berbagai macam kanker, salah satunya kanker kolon. Doxorubicin diisolasi
8
dari fungi Streptomyces peucetius var caesius (Minotti dkk., 2004).
Doxorubicin merupakan antibiotik antrasiklin yang memiliki efek
antitumor (Aschenbrenner dan Venable, 2009). Cara kerja doxorubicin
adalah dengan mengikat DNA sel kanker, kemudian menghambat aktivitas
enzim topoisomerase II dan membuat DNA menjadi kusut (Potter dkk.,
2002). Drummond (2007) menyatakan bahwa mekanisme doxorubicin
dalam menginduksi apoptosis dan menghambat siklus sel sebagian besar
membutuhkan p53. Pada beberapa sel dengan p53 termutasi, doxorubicin
relatif lebih resisten dibandingkan dengan sel kanker tanpa mutasi p53 (Di
Leo dkk., 2007). Doxorubicin bertindak dengan menginterkalasi pasangan
basa tertentu pada DNA sel kanker, sehingga terjadi bloking sintesis RNA
atau DNA baru atau mencegah pemotongan DNA dan pada akhirnya,
penggandaan DNA. Sel normal yang berproliferasi juga turut diserang oleh
doxorubicin, sehingga kadang terjadi efek samping seperti myelosupresi,
alopeksia, atau mukositis (Aschenbrenner dan Venable, 2009)
Gambar 3. Struktur molekul doxorubicin (Chen dkk., 2006)
Doxorubicin yang telah digunakan secara luas dalam terapi kanker
dibatasi oleh timbulnya efek samping. Beberapa efek samping seperti mual,
9
imunosupresi, dan aritmia reversibel masih dapat dikontrol dengan obat
lain. Namun, penggunaan doxorubicin dalam jangka lama dapat
menyebabkan cardiomyopathy hingga gagal jantung (Tyagi dkk., 2004).
Toksisitas kardiak yang terjadi diduga disebabkan oleh perlukaan jaringan
akibat terbentuknya spesies oksigen reaktif, meningkatnya kadar anion
superoksida dan deplesi ATP. Efek samping tersebut terjadi dengan
pemberian doxorubicin yang bergantung pada dosis (Wattanapitayakul
dkk., 2005).
Efek samping yang lain dari doxorubicin adalah timbulnya
resistensi sel terhadap obat. Davis dkk. (2003) dan Notarbartolo dkk.
(2005) menjelaskan mekanisme yang memperantarai resistensi tersebut
antara lain adalah melalui inaktivasi obat, pengeluaran obat oleh pompa
pada membran sel, mutasi pada target obat, serta kegagalan inisiasi
apoptosis. Penyebab lain yang berperan dalam resistensi ini diduga melalui
ekspresi berlebihan dari P-gp, yang merupakan suatu transporter membran
plasma yang dapat mengantarkan agen kemoterapi keluar dari sel
(Kitagawa, 2006).
Pendekatan utama dalam menekan efek samping agen kemoterapi
dalam pengatasan kanker adalah penggunaan agen pendamping yang
kombinasinya bersifat sinergis. Kombinasi tersebut memungkinkan
penggunaan obat dengan dosis yang lebih rendah namun aktivitas
meningkat sehingga toksisitas akan menurun (Alison, 2004). Parameter
10
yang lazim digunakan dalam mengevaluasi karakteristik efikasi kombinasi
secara kuantitatif adalah nilai Combination Index (CI) (Zhao dkk., 2004).
3. Apoptosis
Apoptosis merupakan kematian sel terprogram. Sel akan menyusut
dan kromatin akan terkondensasi kemudian membentuk badan-badan
apoptosom (apoptotic body). Selanjutnya sel menyusun dirinya untuk
dimakan makrofag tanpa memicu inflamasi. Sedangkan kematian sel akibat
nekrosis mengakibatkan isi sel dilepaskan ke lingkungan tanpa terkendali
sehingga menghasilkan kerusakan sel di sekitarnya. Hal tersebut
menyebabkan respon inflamasi yang kuat (Gambar 4) (Leist, 2001; Van
Cruchten, 2002).
Gambar 4. Apoptosis dan nekrosis sel. Sel yang mengalami apoptosis membentuk
apoptotic bodies sedangkan sel yang nekrosis mengalami lisis (Van Cruchten, 2002)
11
Apoptosis dibagi menjadi dua jalur utama yaitu jalur intrinsik dan
ekstrinsik (Gambar 5). Jalur ekstrinsik berkaitan dengan aktivasi reseptor
kematian (death receptors) pada permukaan membran sel yang kemudian
mengaktivasi caspase-8. Caspase-8 mengaktivasi effector caspase yaitu
caspase 3, 6 dan 7 sehingga terjadi apoptosis. Sedangkan jalur intrinsik
berkaitan dengan perubahan permeabilitas membran mitokondria dan
melibatkan famili bcl-2. Kerusakan DNA biasanya terjadi akibat p53 yang
teraktivasi yang akan memacu ekspresi famili bcl-2 yang bersifat proapoptosis, dan mensupresi famili yang bersifat anti-apoptosis (Gewies,
2003).
Gambar 5. Skema beberapa jalur utama sinyal apoptosis. Apoptosis dapat terjadi
melalui jalur intrinsik atau ekstrinsik (Gewies, 2003)
Jalur ekstrinsik dimulai dari pelepasan sinyal molekul yang
berikatan dengan death receptor. Reseptor kematian tersebut merupakan
12
anggota superfamili tumor necrosis factor (TNF) yang terletak di
permukaan sel. Reseptor TNF terdiri dari CD 95 (APO-1/Fas), TNF
receptor 1 (TNFR1), TNF related apoptosis inducing ligand receptor 1
(TRAIL-R1), TRAIL-R2, dan DR3 (TRAMP/Apo-3/WSL-1/LARD)
(Fulda dkk., 2002). Sinyal molekul (ligan) yang berikatan dengan death
receptor akan menyebabkan trimerisasi reseptor, yaitu ikatan death
domain pada reseptor, misalnya Fas-associated death domain (FADD)
dengan procaspase-8 dan ligannya. Kompleks ini disebut DISC (CD95
inducing signaling complex). Procaspase-8 akan teraktivasi menjadi
caspase-8. Caspase-8 kemudian mengaktifkan caspase-3 dan memicu
kematian (Fulda dan Debatin, 2006).
Jalur intrinsik melibatkan procaspase-9 yang diaktifkan oleh
apoptosom, sebuah kompleks death signalling yang terbentuk akibat
pelepasan sitokrom c dari mitokondria (Salvesen, 2002). Apoptosom
merupakan kompleks yang terdiri dari apoptotic protease-activating factor
(Apaf-1), dATP, cyt C, dan caspase-9. Caspase-9 yang aktif akan berperan
sebagai inisiator yang kemudian mengaktifkan caspase eksekutor yaitu
caspase-3, 6, dan 7. Caspase eksekutor akan mendegradasi substrat-substrat
penting di dalam sel, yang berakibat pada kematian sel. Aktivitas protein
apoptosis caspase dihambat oleh famili inhibitor of apoptosis protein
(IAP). Aktivitas IAP dikontrol oleh protein smac/DIABLO dan OMI/HtrA2
(Burz dkk., 2009 ; Cory dan Adam, 2002)
13
Kontrol jalur intrinsik dilakukan oleh protein pro dan antiapoptosis dari famili protein Bcl-2. Famili protein Bcl-2 mempunyai
fungsi dalam mengatur permeabilitas membran mitokondria dan
mempengaruhi pelepasan cyt C (Scorrano dan Korsmeyer, 2003). Anggota
protein Bcl-2 dibagi menjadi 3 grup berdasarkan pada keberadaan Bcl-2
homology domains (BH1 sampai BH4). Grup I yang terdiri dari protein
anti-apoptosis Bcl-2, Mcl-1, Bcl-w, Bcl-xL, dan A1 memiliki domain
BH1, BH2, BH3, dan BH4. Grup II yang terdiri dari Bid, Bim, Bik, Bad,
Bmf, Noxa, Puma, dan Hrk, hanya memiliki domain BH3 dan merupakan
antagonis protein anti apoptosis Bcl-2. Grup III yang memiliki domain
BH1, BH2, dan BH3 terdiri dari protein Bax, Bak, Bok, dan Bcl-xs dan
berperan sebagai protein pro-apoptosis (Burz dkk., 2009).
4. Tanaman Manggis (Garcinia mangostana L.)
a. Klasifikasi tanaman
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Theales
Famili
: Clusiaceae
Genus
: Garcinia
Spesies
: Garcinia mangostana L.
(Cronquist, 1981)
14
(a)
(b)
Gambar 6. Buah Manggis (Garcinia mangostana L.).
(a) Tanaman Manggis, (b) Buah Manggis (Akao dkk., 2008)
b. Deskripsi Tanaman
Manggis (Garcinia mangostana L.) (Gambar 6) termasuk ke dalam
famili Guttiferae dan dikenal sebagai “Ratu buah-buahan” (Jung dkk.,
2006). Budidaya manggis banyak terdapat di beberapa negara Asia
Tenggara seperti Thailand, Sri Lanka, Malaysia dan Indonesia untuk
dikonsumsi sebagai jus atau minuman penyegar di musim panas.
Masa hidup tanaman Manggis dapat mencapai puluhan tahun.
Susunan tubuh tanaman manggis terdiri atas organ vegetatif dan
generatif. Organ vegetatif berupa akar, batang, dan daun yang berfungsi
sebagai alat pengangkutdan penyimpanan makanan. Batang berbentuk
pohon berkayu dan dapat tumbuh hingga 25 meter atau lebih. Kulit
batangnya tidak rata dan berwarna kecoklat-coklatan. Struktur helai daun
tebal dengan permukaan sebelah atas berwarna hijau-mengkilap,
sedangkan permukaan bawah warnanya kekuning-kuningan.
Organ generatif tanaman manggis terdiri atas bunga, buah, dan biji.
Struktur bunga manggis memiliki empat kelopak yang tersusun dalam
15
dua pasang. Mahkota bunga terdiri atas empat helai, berwarna hijau
kekuningan dengan warna merah pada pinggirnya. Benang sarinya
banyak dan bakal buahnya mempunyai 4-8 ruang dengan 4-8 kuping
kepala putik. Bakal buah manggis berbentuk bulat, mengandung 1-3
bakal biji yang mampu tumbuh berkembang menjadi biji normal. Bunga
manggis merupakan bunga sempurna yang mempunyai alat kelamin
jantan dan betina, namun karena benang sari berukuran sangat kecil,
manggis sering dikatakan hanya berbunga betina. Biji manggis demikian
bersifat vegetatif dan mempunyai sifat yang serupa dengan induknya.
Kulit buah manggis berwarna merah gelap, ukurannya tebal dan
mencapai proporsi sepertiga bagian dari buahnya. Kulit buahnya
mengandung getah yang warnanya kuning dan pahit. Bagian yang
terpenting dari buah manggis adalah daging buahnya. Warna daging
buah putih bersih dan cita rasanya sedikit asam sehingga digemari
(Rukmana, 1995).
c. Kandungan Kimia dan Aktivitas Farmakologisnya
Kulit buah manggis mengandung xanthon, antosianin dan tanin.
Senyawa xanthon yang terkandung merupakan xanthon terprenilasi dan
xanthon
teroksigenasi
mangostingon
yang
meliputi
8-hidroksikudraksanton
G,
[7-metoksi-2-(3-metil-2-butenil)-8-(3-metil-2-okso-3-
butenil)-1,3,6-trihidroksiksanton, kudraksanton G, 8-deoksigartanin,
garsimangoson B, garsinon D, garsinon E, gartanin, 1-isomangostin, αmangostin, β-mangostin, γ-mangostin, mangostinon, smeathxanthon A,
16
dan tovofillin A (Jung dkk., 2006). Dibandingkan senyawa xanthon yang
lain, α-, β-, dan γ-mangostin, adalah senyawa bioaktif utama yang
ditemukan dalam kulit buah manggis (Chairungsrilerd dkk., 1996),
sedangkan senyawa antosianin yang melimpah adalah sianidin-3soforosida (Du dan Francis, 1977).
Gambar 7. Struktur α-mangostin
Kulit buah manggis di Asia Tenggara telah digunakan selama
bertahun-tahun untuk mengobati trauma, diare dan infeksi kulit.
Beberapa aktifitas xanthon yang diisolasi dari kulit manggis adalah antioksidan, anti-tumor, anti-inflamasi, anti-alergi, anti-bakteri, anti-fungi,
dan anti-virus (Akao dkk., 2008).
Penelitian dari Tangpong dkk. (2011) menunjukkan bahwa
pemberian xanthon pada tikus yang telah diinduksi doxorubicin
meningkatkan protein p53, Bax dan Bcl-xl. Hal ini seiring dengan
meningkatnya aktivitas caspase-3 dan xanthon dapat menghambat
toksisitas saraf pusat akibat doxorubicin.
Aktivitas biologis dari α-mangostin telah diketahui memiliki
efek antiproliferasi dan apoptosis pada kanker hati (Ho dkk., 2002),
17
Nabandith dkk. (2004) menyatakan bahwa α-mangostin dalam crude
extract berpotensi sebagai agen kemopreventif pada kanker kolon,
kanker payudara (Moongkarndi dkk., 2004) dan kanker rektum
(Nakagawa dkk., 2007). Selain itu, α-mangostin juga terbukti
menghambat metastasis pada sel kanker PC-3 (Hung dkk., 2009).
Berdasarkan uji in vitro pada sel DLD-1 (model sel kanker kolorektal
manusia), terbukti bahwa senyawa ini menghambat pertumbuhan sel
kanker pada dosis rendah 5-20 µm (Matsumoto dkk., 2005). Selain itu,
senyawa α-mangostin juga mampu menghambat proliferasi sel kanker
kolon HT-29 (Chitchumroonchokchai dkk., 2010). Berdasarkan uji
bioassay pada tikus, senyawa α-mangostin yang juga terbukti memiliki
efek preventif atau mencegah kanker (Matsumoto dkk., 2005). Pada sel
kanker payudara yang termutasi p53, senyawa α-mangostin menurunkan
tingkat phospho-Akt-threonine 308 yang artinya dapat menginduksi
apoptosis lewat jalur down-regulation Akt (Shibata dkk., 2011).
Tewtrakul dkk. (2009) juga menyebutkan bahwa senyawa α-mangostin
dapat menurunkan ekspresi COX-2. Peningkatan ekspresi dan aktivitas
COX-2 merupakan salah satu karakteristik dalam beberapa sel kanker,
maka dari itu penurunan ekspresi COX-2 dapat merupakan salah satu
mekanisme untuk menginduksi apoptosis pada sel kanker.
18
E. Landasan Teori
Kulit buah manggis (Garcinia mangostana L.) diketahui mengandung
senyawa xanthon antara lain α-, β-, and γ-mangostin. Aktivitas biologis dari αmangostin yang telah diketahui adalah menghambat pertumbuhan sel DLD-1 yang
merupakan model sel kanker kolorektal manusia. Selain itu juga memiliki efek
antiproliferasi pada kanker hati, kanker payudara dan kanker rektum. Oleh karena
itu, ekstrak etanolik kulit buah manggis memiliki potensi sitotoksik terhadap sel
WiDr
Doxorubicin diketahui sebagai agen kemoterapi yang menyebabkan
beberapa efek samping yang merugikan hingga resistensi obat. Induksi apoptosis
oleh doxorubicin dapat terjadi melalui jalur p53 independent namun kurang
efektif karena sebagian besar mekanismenya membutuhkan p53. Oleh karena itu,
juga akan kurang efektif jika diberikan pada sel WiDr yang memiliki protein p53
termutasi. Untuk mengurangi efek samping dan toksisitas serta menaikkan
efektifitas dari doxorubicin, dapat dilakukan upaya kombinasi (kokemoterapi)
dengan suatu agen kemopreventif.
Senyawa α-mangostin dalam kulit buah manggis dapat mengaktivasi
caspase-9 dan -3 pada sel HL60, hal ini mengindikasikan bahwa α-mangostin
memediasi apoptosis melalui jalur mitokondrial. Mekanisme induksi apoptosis
terhadap sel dengan p53 termutasi terjadi melalui downregulation Akt yang
ditandai dengan penurunan p-Akt pada sel yang telah diberi α-mangostin. Selain
itu, penurunan ekspresi COX-2 juga diduga merupakan mekanisme α-mangostin
dalam menginduksi kematian sel. Doxorubicin sendiri memiliki target yang
19
berbeda dari α-mangostin dalam menginduksi kematian sel yaitu melalui
penghambatan enzim topoisomerase II. Perbedaan target dengan efek yang sama
dari EKM maupun doxorubicin ini diduga mampu memberikan efek sinergis
apabila keduanya dikombinasikan. Oleh karena itu, EKM diharapkan dapat
meningkatkan sitotoksisitas dari doxorubicin dan kombinasinya mampu
menginduksi apoptosis terhadap sel WiDr.
F. Hipotesis
1. EKM memiliki aktivitas sitotoksik terhadap sel WiDr
2. EKM dapat meningkatkan efek sitotoksik doxorubicin pada sel WiDr
3. EKM dan kombinasinya dengan doxorubicin mampu menginduksi
apoptosis pada sel WiDr
Download