BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Limbah Cair Kelapa Sawit Naibaho (1998) menyatakan bahwa limbah cair yang dihasilkan pabrik pengolahan kelapa sawit berasal dari; Air crab (Sludge water), Air kondensat (Sterilizer condensate), Air hidrocylicone (Claybath) atau bak pemisah lumpur, Air cucian pabrik dan lain sebagainya. Jumlah air buangan ini tergantung pada sistem pengolahan, kapasitas olah dan keadaan peralatan klarifikasi. Selanjutnya dijelaskan bahwa air buangan sludge separator umumnya 60% dari TBS yang diolah, akan tetapi keadaan ini sering dipengaruhi oleh: 1. Jumlah air pengencer yang digunakan pada vibrating screen atau pada screw press. 2. Sistem dan instalasi yang digunakan dalam stasiun klarifikasi, yaitu klarifikasi yang menggunakan decanter menghasilkan air limbahnya kecil. 3. Efisiensi pengutipan minyak dari air limbah yang rendah akan mempengaruhi karakteristik limbah cair yang dihasilkan. Limbah cair yang mengadung bahan organik majemuk mengalami biodegradasi dalam suasana anaerobik menjadi senyawa-senyawa asam-asam sederhana, terutama asam asetat dan gas-gas. Dengan proses biologis dalam suasana anaerobik kadar BOD dapat diturunkan dari 25.000 mg/l menjadi 5.000 mg/l, dengan proses pengubahan senyawa asam-asam menjadi gas-gas pada kolam anaerobik sekunder kadar BOD turun menjadi 3.500-2.000 mg/l. Untuk memenuhi Baku Mutu limbah cair PKS dilakukan peningkatan efisiensi proses anaerobik dengan WPH (waktu penahan hidrolisis) selama 15 hari dan dibantu proses pengendapan selama 2 hari, dengan cara ini maka BOD dapat diturunkan menjadi < 100 mg/l dengan pH 6-7, sehingga total WPH menjadi 137 hari (Pamin, dkk, 1996). Adanya usaha pemanfaatan limbah cair pabrik kelapa sawit yang telah diolah ke areal kebun sebagai pupuk akan memberikan pengaruh terhadap fauna tanah khususnya dari kelompok Arthropoda, baik keberadaan jenis, kepadatan, frekuensi kehadiran dan struktur komunitasnya (keanekaragaman jenis) di daerah tersebut (Arlen, 1998). Menurut Adianto (1993) fauna tanah dalam melakukan berbagai aktivitas kehidupan bereaksi cepat terhadap perubahan lingkungannya, baik yang datang dari tanah itu sendiri, faktor iklim maupun akibat pengolahan tanah. 2.2 Tanaman Kelapa Sawit 2.2.1 Klasifikasi Tanaman Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit diklasifikasikan oleh Jacquin (1763) sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisio : Spermatophyta Kelas : Monocotyledone Ordo : Arecales Famili : Arecaceae Genus : Elaeis Spesies : Elaeis guineensis Jacq. 2.2.2 Morfologi Tanaman Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit dibedakan atas 2 bagian, yakni: bagian vegetatif dan bagian generatif. Bagian vegetatif tanaman kelapa sawit terdiri dari akar berupa akar serabut, batang dan daun. Batang tidak bercabang dan tidak memiliki kambium. Pada ujung batang terdapat titik tumbuh yang terus berkembang membentuk daun. Batang berfungsi sebagai penyimpan dan pengangkut bahan makanan untuk tanaman serta sebagai penyangga mahkota daun. Daun kelapa sawit membentuk suatu pelepah bersirip genap dan bertulang sejajar (Gambar 2.1b). Panjang pelepah dapat mencapai 9 meter. Pelepah daun sejak mulai terbentuk sampai tua mencapai waktu ± 7 tahun, jumlah pelepah dalam 1 pohon dapat mencapai 60 pelepah. Jumlah anak daun tiap pelepah dapat mencapai 380 helai. Panjang anak daun dapat mencapai 120 cm (Risza, 1994). Bagian generatif tanaman kelapa sawit terdiri dari bunga dan buah (Gambar 2.1a). Kelapa sawit mulai berbunga pada umur 12 bulan. Pembungaan kelapa sawit termasuk monoccious artinya bunga jantan dan bunga betina terdapat pada satu pohon tetapi tidak pada satu tandan yang sama. Namun terkadang dijumpai juga dalam 1 tandan terdapat bunga jantan dan bunga betina. Bunga seperti itu disebut bunga banci (hermaprodit). Buah kelapa sawit termasuk buah batu yang terdiri dari tiga bagian yaitu: lapisan luar (epicarpium) yang disebut kulit luar, lapisan tengah (mesocarpium) yang disebut daging buah, mengandung minyak sawit dan lapisan dalam (endocarpium) yang disebut inti, mengandung minyak inti. Diantara inti dan daging buah terdapat lapisan tempurung (cangkang) yang keras. Biji kelapa sawit terdiri dari 3 bagian yaitu; kulit biji (spermodermis), tali pusat (funiculus) dan inti biji atau nucleus seminis (Risza, 1994). (a) (b) Gambar 2.1 Morfologi (http. Wordpress.com) dan Fisiologi Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq). 2.2.3 Ekologi Tanaman Kelapa Sawit Pada prinsipnya kelapa sawit dapat tumbuh dan bereproduksi di hampir semua jenis tanah namun hendaknya memenuhi kriteria sebagai berikut : keasaman tanah (pH) 5,0-6,5, kemiringan lahan 0-150, kedalaman air tanah 80-150 cm dari permukaan, drainase yang baik, kesuburan kimia yang cukup (diketahui dari hasil analisa tanah). Iklim juga merupakan salah satu faktor pembatas pertumbuhan dan produksi tanaman kelapa sawit. Kelapa sawit hanya dapat tumbuh dan bereproduksi dengan baik di daerah yang beriklim tropis (Hadi, 2004). Curah hujan yang ideal bagi pertumbuhan kelapa sawit berkisar antara 2,5003000 mm per tahun dengan distribusi merata sepanjang tahun. Curah hujan yang terlalu tinggi mengakibatkan proses penyerbukan dan fotosintesis kurang optimal. Radiasi matahari juga dibutuhkan dalam jumlah yang cukup untuk proses fotosintesis, yaitu 1.800 jam penyinaran per tahun dengan lama penyinaran yang optimal 6-7 jam per hari. Suhu optimal rata-rata yang diperlukan oleh kelapa sawit yaitu 27-320C dengan kelembaban udara optimal 80-90% (Hadi, 2004). 2.2.4 Manfaat Kelapa Sawit Kelapa sawit merupakan tanaman tropis penghasil minyak nabati yang rendah kolesterol dan dapat diolah lebih lanjut menjadi suatu produk yang tidak hanya dikonsumsi untuk kebutuhan pangan (minyak goreng, margarin, lemak dan lain-lain) tetapi juga untuk kebutuhan lain seperti sabun, detergen, BBM. Tandan kelapa sawit dapat dimanfaatkan menjadi pupuk, kompos dan bahan bakar. Batang kelapa sawit dapat dimanfaatkan menjadi bahan bangunan. Lumpur (sludge) kelapa sawit dapat dimanfaatkan menjadi sabun, pupuk dan pakan lemak (Hadi, 2004). 2. 3 Fauna Tanah Fauna tanah adalah semua fauna yang hidup di tanah, baik yang hidup di permukaan tanah maupun di dalam tanah, yang sebagian atau seluruh siklus hidupnya berlangsung di dalam tanah, serta dapat berasosiasi dan beradaptasi dengan lingkungan tanah (Wallwork, 1970). Selanjutnya Suin (1997) mengatakan bahwa kelompok fauna tanah ini sangat banyak dan beranekaragam jenisnya, mulai dari Protozoa, Rotifera, Nematoda, Annelida, Molluska, Arthropoda, hingga vertebrata kecil. Wallwork (1970) mengelompokkan fauna tanah berdasarkan ukuran tubuh sebagai berikut : a. Mikrofauna, yaitu fauna tanah yang mempunyai ukuran tubuh antara 20-200 mikron. b. Mesofauna, yaitu fauna tanah yang mempunyai ukuran tubuh antara 200 mikron sampai 2 melimeter. c. Makrofauna, yaitu fauna tanah yang mempunyai ukuran tubuh lebih dari 2 melimeter. Selanjutnya Suin (1997) menjelaskan bahwa yang termasuk makrofauna tanah adalah Annelida, Mollusca, Arthropoda dan Vertebrata kecil. Diantaranya yang paling banyak ditemukan hidup di tanah adalah dari kelompok Arthropoda, seperti : Insekta, Arachnida, Annelida, Diplopoda dan Chilopoda. Pengelompokan fauna tanah disamping berdasarkan ukuran tubuh juga dapat dikelompokkan atas dasar kehadirannya di tanah, habitat yang dipilihnya dan kegiatan makannya. Berdasarkan kehadirannya hewan tanah dibagi atas kelompok transien, temporer, periodik dan permanen. Berdasarkan habitatnya hewan tanah ada yang digolongkan sebagai epigeon (hidup pada lapisan tumbuh-tumbuhan di permukaan tanah), hemiedafon (hidup pada lapisan organik tanah) dan euedafon.(hidup pada tanah lapisan mineral). Berdasarkan kegiatan makannya hewan tanah ada yang bersifat herbivora, saprovora, fungivora, dan predator (Suin, 1997). Salah satu organisme tanah adalah fauna yang termasuk dalam kelompok makrofauna tanah (ukuran > 2 mm) terdiri dari Milipida, Isopoda, Insekta. Moluska dan Annelida (Wood, 1989). 2.4 Klasifikasi Arthropoda Arthropoda adalah hewan yang memiliki tubuh bersegmen-segmen atau berbuku-buku. Arthropoda terbagi menjadi 3 sub phylum yaitu Trilobita, Mandibulata dan Chelicerata. Sub phylum Trilobita yang telah punah dan tinggal sisa-sisanya yang berupa fosil. Sub phylum Mandibulata terbagi menjadi beberapa kelas, salah satu diantaranya adalah kelas insekta (hexapoda), Chelicerata juga terbagi dalam beberapa kelas termasuk Arachnida di dalamnya. Untuk lebih jelasnya, klasifikasi ini dapat dilihat pada bagan berikut: Bagan Klasifikasi Serangga Phylum ARTHROPODA Sub phylum Trilobita (fossil) Chellcerata Mandibulata Arachnida Kelas INSECTA Sub Kelas Apterygota Protura Diplura Thysanura collembola Pterygota Exopterygota Ephemeroptera Odonata Orthoptera Isoptera Plecoptera Dermaptera Embioptera Mallophaga Anoplura Thysanoptera Hemiptera Homoptera Neuroptera (Hadi & Rully, 2009). Endopterygota Coleoptera Mecoptera Trichaoptera Lepidoptera Diptera Siphonatera Hymenoptera 2.5 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Populasi Hewan Tanah. 2.5.1 Kelembaban Tanah Kelembaban tanah sangat erat hubungannya dengan populasi hewan tanah , karena tubuh hewan tanah mengandung air, oleh karena itu kondisi tanah yang kering dapat menyebabkan tubuh hewan tanah kehilangan air dan hal ini merupakan masalah yang besar bagi kelulusan hidupnya (Lee, 1985). 2.5.2 Suhu (temperatur) tanah Kehidupan hewan tanah juga ikut ditentukan oleh suhu tanah. Suhu yang ekstrim tinggi atau rendah dapat mematikan hewan tanah. Disamping itu suhu tanah pada umumnya juga mempengaruhi pertumbuhan, reproduksi, dan metabolisme hewan tanah. Tiap spesies hewan tanah memiliki kisaran suhu optimum (Odum, 1971). Selanjutnya dijelaskan oleh (Suin, 1997) bahwa suhu tanah merupakan salah satu faktor fisik tanah yang sangat menentukan kehadiran dan kepadatan organisme tanah, dengan demikian suhu tanah akan menentukan tingkat dekomposisi material organik tanah. Fluktuasi suhu tanah lebih rendah dari suhu udara. Suhu tanah lapisan atas mengalami fluktuasi dalam satu hari satu malam dan tergantung musim. Fluktuasi itu juga tergantung pada keadaan cuaca, topografi daerah dan keadaan tanah. Menurut Wallwork (1970), besarnya perubahan gelombang suhu di lapisan yang jauh dari tanah berhubungan dengan jumlah radiasi sinar matahari yang jatuh pada permukaan tanah. Besarnya radiasi yang terintersepsi sebelum sampai pada permukaan tanah, tergantung pada vegetasi yang ada di atas permukaannya. 2.5.3 pH tanah Keasaman (pH) tanah sangat berpengaruh terhadap kehidupan dan kegiatan hewan tanah, karena hewan tanah sangat sensitif terhadap pH tanah, sehingga pH tanah merupakan salah satu faktor pembatas. Namun demikian toleransi hewan tanah terhadap pH umumnya bervariasi untuk setiap spesies (Edward & Lofty, 1997). Selanjutnya Suin (1997), menyatakan ada fauna tanah yang hidup pada tanah yang memiliki pH basa. Untuk jenis fauna tanah seperti Collembola yang memilih hidup pada tanah yang asam disebut dengan golongan asidofil, yang memilih hidup pada tanah yang basa disebut dengan golongan kalsinofil, sedangkan yang dapat hidup pada tanah asam dan basa disebut golongan indifferen atau netrofil. Jenis Acarina dapat pula dikelompokkan atas golongan asidofil yaitu hanya dapat hidup pada tanah yang pHnya kecil dari 6,5, yang tergolong netrofil dapat hidup pada pH berkisar antara 6,57,5, sedangkan yang tergolong basofil adalah yang dapat hidup pada pH tanahnya di atas 7,5. 2.5.4 Kadar Organik Tanah Suin (1997) mengatakan materi organik tanah sangat menentukan kepadatan organisme tanah. Materi organik tanah merupakan sisa-sisa tumbuhan, hewan organisme tanah, baik yang telah terdekomposisi maupun yang sedang terdekomposisi. Selanjutnya Buckman & Brady (1982) mengatakan materi organik dalam tanah tidaklah statis tetapi selalu ada perubahan dengan penambahan sisa-sisa tumbuhan tingkat tinggi dan penguraian materi organik oleh jasad pengurai. Materi organik mempunyai pengaruh besar pada sifat tanah karena dapat menyebabkan tanah menjadi gembur, meningkatkan kemampuan mengikat air, meningkatkan absorpsi kation dan juga sebagai ketersediaan unsur hara. 2.6 Peranan Fauna Tanah Peranan fauna tanah adalah untuk mengubah bahan organik, baik yang masih segar maupun setengah segar atau sedang melapuk, sehingga menjadi bentuk senyawa lain yang bermanfaat bagi kesuburan tanah (Buckman & Brady, 1982 ). Selanjutnya Suin (1997) mengatakan fauna tanah juga berperan memperbaiki aerasi tanah dengan cara menerobos tanah sedemikian rupa sehingga pengudaraan tanah menjadi lebih baik, disamping itu fauna tanah juga menyumbangkan unsur hara pada tanah melalui eksresi yang dikeluarkannya, maupun dari tubuhnya yang telah mati. Meskipun fauna tanah sebagai penghasil senyawa-senyawa organik tanah dalam ekosistem tanah, namun bukan berarti berfungsi sebagai subsistem produsen. Tetapi, peranan ini merupakan nilai tambah dari fauna tanah sebagai subsistem konsumen dan subsistem dekomposisi. Sebagai subsistem dekomposisi, fauna tanah sebagai organisme perombak awal bahan makanan, serasah, dan bahan organik lainnya (seperti kayu, daun dan akar) mengkonsumsi bahan-bahan tersebut dengan cara melumatkan dan mengunyah bahan-bahan tersebut. Fauna tanah akan melumat bahan dan mencampurkan dengan sisa-sisa bahan organik lainnya, sehingga menjadi fragmen berukuran kecil yang siap untuk di dekomposisi oleh mikrobio tanah (Arief, 2001). Organisme-organisme yang berkedudukan di dalam tanah sanggup mengadakan perubahan-perubahan besar di dalam tanah, terutama dalam lapisan atas (top soil). Dimana terdapat akar-akar tanaman dan perolehan bahan makanan yang mudah. Akar-akar tanaman yang mati dengan cepat dapat dibusukkan oleh fungsi, bakteri-bakteri dan golongan-golongan organisme lainnya (Sutedjo et al., 1996). Makrofauna tanah mempunyai peran yang sangat beragam di dalam habitatnya. Pada ekosistem binaan, keberadaannya dapat bersifat positif (menguntungkan) maupun negatif (merugikan) bagi sistem budidaya. Pada satu sisi makrofauna tanah berperan menjaga kesuburan tanah melalui perombakan bahan organik, distribusi hara, peningkatan aerasi tanah dan sebagainya, tetapi pada sisi lain juga dapat berperan sebagai hama berbagai jenis tanaman budidaya. Dinamika populasi berbagai jenis makrofauna tanah menentukan perannya dalam mendukung produktivitas ekosistem binaan. Dinamika populasi makrofauna tanah tergantung pada faktor lingkungan yang mendukungnya, baik berupa sumber makanan, kompetitor, predator maupun keadaan lingkungan fisika-kimianya. Bahan organik tanaman merupakan sumber energi utama bagi kehidupan biota tanah, khususnya makrofauna tanah (Suin, 1997), sehingga jenis dan komposisi bahan organik tanaman menentukan kepadatannya (Hakim et al, 1986). Oleh aktivitas biota tanah, bahan organik tanaman dirombak menjadi mineral dan sebagian tersimpan sebagai bahan organik tanah. Bahan organik tanah sangat berperan dalam memperbaiki sifat fisik tanah, meningkatkan aktivitas biologi tanah dan meningkatkan ketersediaan hara bagi tanaman. 2.7 Ekologi Hewan Tanah Tanah merupakan lingkungan yang terdiri dari gabungan antara lingkungan abiotik dan biotik yang dapat dijadikan sebagai tempat tinggal bagi makhluk hidup, salah satunya adalah fauna tanah. Tanah dapat didefinisikan sebagai medium alami untuk pertumbuhan tanaman yang tersusun atas mineral, bahan organik, dan organisme hidup. Kegiatan biologis seperti pertumbuhan akar dan metabolisme mikroba dalam tanah berperan dalam membentuk tekstur dan kesuburannya (Rao, 1994). Fauna tanah adalah fauna yang memanfaatkan tanah sebagai habitat atau lingkungan yang mendukung aktifitas biologinya. Fauna tanah merupakan salah satu organisme penghuni tanah yang berperan sangat besar dalam perbaikan kesuburan tanah dengan menghancurkan fisik, pemecahan bahan menjadi humus, menggabungkan bahan yang membusuk pada lapisan tanah bagian atas, dan membentuk kemantapan agregat antara bahan organik dan bahan mineral tanah (Barnes, 1997). Seluruh kehidupan di alam raya bersama lingkungan secara keseluruhan menyusun ekosfir. Ekosfir yang dihuni oleh berbagai komunitas biota yang mandiri serta lingkungan abiotik (anorganik) dan sumber-sumbernya disebut ekosistem. Setiap ekosistem dicirikan oleh adanya kombinasi yang unik antara biota (organisme) dan sumber-sumber abiotik yang berfungsi memelihara kesinambungan aliran energi dan nutrisi (hara) bagi biota tersebut. Semua ekosistem berdasarkan sumber karbonnya mempunyai dua tipe biota, yaitu jasad ototrofik yang menggunakan C-anorganik terutama CO2 sebagai sumber karbonnya, bertindak selaku produsen C-organik dan jasad heterotrofik yang memanfaatkan C-organik sebagai sumber karbonnya, sehingga bertindak selaku konsumen dan dekomposer (perombak). Kemudian, berdasarkan sumber energinya, biota ini dikelompokkan menjadi fototipe yang memperoleh energi dari matahari dan khemotipe yang memperoleh energi melalui mekanisme oksidasi senyawa anorganik atau campurannya (Hanafiah, et al, 2005).