6 AgroinovasI DAGING TAHAN SIMPAN DENGAN BAKTERIOSIN Kejadian keracunan pangan, penyakit infeksi, serta pembusukan makanan karena kontaminasi selama pengolahan, transportasi dan penyimpanan pangan di antaranya disebabkan oleh aktivitas mikroba pembusuk dan patogen. Hal ini menjadi permasalahan penting karena dapat menimbulkan kerugian. Untuk mengatasi hal tersebut dilakukan upaya antara lain aplikasi pengawet. Namun hal ini harus dipertimbangkan secara hati-hati bahkan harus sekecil mungkin menggunakan bahan pengawet non pangan dan sintetis karena konsumen yang sadar akan pentingnya kesehatan lebih tertarik pada bahan pangan yang tidak mengandung bahan pengawet terutama yang berasal dari bahan non-pangan. Oleh karena itu, orientasi pencarian bahan pengawet adalah yang dapat diterima konsumen dan secara alamiah ada dalam pangan, misalnya asal tanaman, hewan atau yang dihasilkan oleh mikroba. Pengawet demikian biasa disebut biopreservatif. Target Kementerian Pertanian pada program swasembada daging sapi diharapkan dapat tercapai pada tahun 2014. Hal ini berkaitan dengan upaya mewujudkan ketahanan pangan hewani asal ternak berbasis sumberdaya domestik. Swasembada daging ini harus diikuti oleh terjaminnya mutu dan tingkat keamanannya. Kontaminan mikrobiologis merupakan salah satu penyebab mutu daging berkurang dan bahkan menjadi tidak aman untuk dikonsumsi. Mata rantai teknis operasional dan pengelolaan akan berpengaruh terhadap baik tidaknya mutu daging yang dihasilkan. Keamanan Pangan Daging Mutu daging dapat dinilai dari tingkat kontaminan terhadap mikroba patogen. Keberadaan kontaminan mikroba seperti Escherichia coli, Salmonella sp, Listeria sp., Staphylococcus sp., dan lain-lain pada daging sangat dimungkinkan karena sifat fisikokimia (aw/water activity, pH dan zat gizi) daging mendukung pertumbuhan mikroba tersebut. Kontaminasi mikroba juga terjadi karena adanya kontaminasi silang dari peralatan pascapanen yang digunakan dan feses. Daging sangat rentan terkena kontaminasi mikroba patogen dan pembusuk terutama saat penanganan pascapanen (penyembelihan, pengulitan, pembuluan, pengeluaran jerohan, perecahan karkas, dan lain-lain). Saat ini, kualitas mikrobiologi daging telah menjadi salah satu perhatian masyarakat dalam hal keamanan pangan. Daging yang sehat seharusnya tidak mengandung mikroba patogen, kalaupun mengandung mikroba non patogen maka jumlahnya harus sedikit. Jika kandungan bakteri daging melebihi 106 bakteri/g maka daging tersebut dianggap berkualitas rendah. Kontaminasi mikroba patogen terhadap daging menyebabkan degradasi protein yaitu proses pemecahan protein menjadi molekul yang lebih sederhana seperti asam amino yang menyebabkan selsel daging rusak dan busuk. Oleh karena itu jaminan mutu dan keamanan daging menjadi sangat penting, karena keberadaan mikroba patogen dan pembusuk pada daging yang dapat menyebabkan penyakit dan bahkan kematian. -Peningkatan mutu dan keamanan daging dapat ditempuh dengan menurunkan jumlah mikroba patogen dan pembusuk secara biopreservasi menggunakan Edisi 23 Nopember 2011 No.3432 Tahun XLII Badan Litbang Pertanian AgroinovasI 7 bakteriosin. Biopreservasi menarik perhatian karena potensial untuk diaplikasikan dalam pengawetan pangan yaitu dengan mengontrol mikroba pembusuk dan patogen secara alami. Melalui biopreservasi, maka waktu penyimpanan daging dapat diperpanjang dengan keamanan pangan yang meningkat. Pemakaian bakteriosin komersial sebagai biopreservatif pangan di beberapa negara sudah dilakukan. Bakteriosin sebagai Biopreservatif Daging Bakteriosin adalah agen biopreservatif yang diproduksi oleh bakteri asam laktat (BAL) dan mempunyai beberapa kelebihan sehingga potensial untuk digunakan. Bakteriosin bukan bahan toksik, merupakan senyawa protein yang mudah didegradasi enzim proteolitik. Penggunaan bakteriosin dapat mengurangi pengawetan pangan oleh bahan kimia karena bakteriosin tidak membahayakan alat pencernaan dan mikroflora usus. Selain itu bakteriosin bersifat stabil terhadap pH dan suhu yang cukup luas sehingga tahan selama proses pengolahan yang melibatkan asam dan basa, maupun kondisi panas dan dingin. Bakteriosin sebagai biopreservatif pangan harus memenuhi kriteria seperti pengawet atau bahan tambahan makanan lainnya yaitu aman bagi konsumen, memiliki aktivitas bakterisidal terhadap kelompok bakteri Gram positif dalam sistem makanan, stabil, terdistribusi secara merata dalam sistem makanan, dan ekonomis. Daging mengandung zat gizi yang tinggi yaitu protein 18%, lemak 3,5%, bahan ekstrak tiada nitrogen 3,3%, air 75% dan karbohidrat berupa glikogen dalam jumlah sedikit. Kandungan gizi yang tinggi ini menyebabkan daging mempunyai sifat mudah rusak (perishable) karena mikroba dapat tumbuh dan berkembang biak di dalamnya. Hal ini disebabkan oleh kadar air daging yang termasuk tinggi (6875%). Kualitas daging salah satunya dipengaruhi oleh metode penyimpanan dan preservasi. Daging yang disimpan pada suhu kamar dalam waktu tertentu menjadi cepat rusak dan mutunya menurun akibat kontaminasi mikroba. Secara internal daging akan terkontaminasi bila tidak didinginkan setelah penyembelihan. Jumlah dan jenis mikroba yang mencemari daging ditentukan oleh tingkat pengendalian higienis yang dilaksanakan selama penanganan diawali saat penyembelihan ternak dan pembersihan karkas hingga sampai ke konsumen. Peningkatan jumlah mikroba pembusuk atau patogen berpengaruh terhadap keamanan dan daya tahan atau masa simpan serta kandungan awal mikroba dalam daging segar. Kandungan mikroba awal dalam jumlah sedikit dalam bahan pangan dapat dicapai melalui aplikasi metode sanitasi yang efektif selama penanganannya serta penggunaan biopreservatif yaitu zat yang digunakan pada pengawetan secara biologi untuk mencegah mikroba patogen dan pembusuk. Bakteriosin (Gambar 1) yang dihasilkan oleh beberapa BAL telah diuji sebagai biopreservatif bahan pangan yang potensial. Bakteriosin digunakan sebagai pengawet bahan pangan untuk daya tahan selama proses pengolahan, distribusi dan penyimpnana dalam waktu lama. Aplikasi bakteriosin sebagai biopreservatif tidak merubah rasa dan tekstur, tetapi dapat menghambat pertumbuhan mikroba patogen. Oleh karena itu bakteriosin menjadi perhatian khusus sebagai biopreservatif yang potensial dan aman.Produksi Bakteriosin Badan Litbang Pertanian Edisi 23-29 Nopember 2011 No.3432 Tahun XLI 8 AgroinovasI (a) (b) Gambar 1. Ekstrak Bakteriosin dari Lactobacillus sp. Galur SCG 1223 dan aplikasinya pada daging ayam Bakteriosin merupakan produk ekstraseluler, diproduksi oleh BAL. Bakteri asam laktat terbagi menjadi 8 genus yaitu Lactobacillus, Bifidobacterium, Enterococcus, Streptococcus, Leuconostoc, Lactococcus, Pediococcus dan Corinebacterium. Bakteri asam laktat telah dimanfaatkan dalam industri pangan secara luas karena potensinya sebagai penghasil berbagai asam organik dan secara umum sifatnya bukan sebagai patogen. Bakteri asam laktat yang aktif dalam fermentasi makanan dapat memberikan daya simpan produk lebih lama. Daya awet ini disebabkan khususnya oleh asam laktat dan senyawa asam lain yang dihasilkan dalam proses fermentasi. Senyawa ini dikenal dengan nama antimikroba yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk dan patogen makanan. Selain menghasilkan senyawa organik, beberapa galur BAL menghasilkan senyawa protein yang bersifat bakterisidal terhadap bakteri Gram positif dan Gram negatif yang disebut bakteriosin. Produksi bakteriosin umumnya dilakukan dalam kultur substrat cair. Berbagai faktor dapat mempengaruhi produksi bakteriosin dalam media tersebut. Aktivitas produksi bakteriosin oleh BAL dipengaruhi oleh faktor pH, suhu, sumber karbon, serta fase pertumbuhannya. Secara umum kondisi optimum produksi bakteriosin dipengaruhi oleh fase pertumbuhan, pH media, suhu inkubasi, jenis sumber karbon, jenis sumber nitrogen, dan konsentrasi NaCl. Oleh karena itu produksi bakteriosin dioptimasi antara lain dengan mencari kondisi yang paling sesuai yaitu mengatur pH dan suhu pertumbuhan sel bakteri asam laktat produser. Jenis sumber karbon maupun sumber nitrogen yang digunakan dalam medium produksi juga dapat berpengaruh terhadap laju pertumbuhan sel BAL yang selanjutnya akan mempengaruhi metabolisme produksi bakteriosin, selain itu diketahui juga bahwa tingkat salinitas medium produksi seperti kandungan garam dari media turut mempengaruhi metabolisme produksi bakteriosin. Sri Usmiati Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian Jl. Tentara Pelajar No. 12 Kampus Penelitian Pertanian Cimanggu, Bogor Edisi 23 Nopember 2011 No.3432 Tahun XLII Badan Litbang Pertanian