UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN PADA PASIEN SPONDILITIS TUBERKULOSIS DI RUMAH SAKIT FATMAWATI KARYA ILMIAH AKHIR NERS (KIA-N) MARHAMATUNNISA 0806334073 FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK JULI 2013 Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN PADA PASIEN SPONDILITIS TUBERKULOSIS DI RUMAH SAKIT FATMAWATI KARYA ILMIAH AKHIR NERS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Profesi Keperawatan MARHAMATUNNISA 0806334073 FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK JULI 2013 Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS Karya Ilmiah Akhir Ners ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar. Nama : Marhamatunnisa NPM : 0806334073 Tanda Tangan : Tanggal : 15 Juli 2013 ii Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 HALAMAN PENGESAHAN Karya Ilmiah Akhir Ners ini (KIA-N) diajukan oleh : Nama : Marhamatunnisa NPM : 0806334073 Program Studi : Ilmu Keperawatan Judul KIAN : Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan Pada Pasien Spondilitis Tuberkulosis di Rumah Sakit Fatmawati Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Ners Keperawatan pada Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia. DEWAN PENGUJI Pembimbing : Riri Maria S.Kp., MANP Penguji : Ns. Sri Sasongkowati, S.Kep. Ditetapkan di : Depok Tanggal : 15 Juli 2013 iii Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 KATA PENGANTAR Puji syukur saya haturkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan karya ilmiah akhir ners ini. Penulisan karya ilmiah ini dilakukan dalam rangka memenuhi tugas akhir sebagai syarat lulus jenjang pendidikan Profesi di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan karya ilmiah ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada: (1)Kuntarti S.Kp., M.Biomed. selaku dosen ketua program studi di Fakultas Ilmu Keperawatan sekaligus koordinator Program Profesi 2012-2013 yang telah meluangkan waktunya dalam mengurusi segala hal yang berkaitan dengan pengurusan selama proses praktik profesi saya dan seluruh teman-teman profesi angkatan 2012; (2)Riri Maria S.Kp., MANP selaku dosen koordinator mata ajar KIA sekaligus pembimbing yang telah bersedia membimbing saya dalam penyusunan karya ilmiah saya, dari mengoreksi proposal, setiap bab dalam laporan KIA, hingga memberikan arahan dan masukan yang sangat berharga dan bermanfaat bagi saya; (3) Ns. Sri Sasongkowati, selaku dosen pembimbing klinik selama berdinas di Rumah Sakit Fatmawati sekaligus penguji KIA yang telah memberikan banyak masukan dan kritik yang sangat membangun bagi perbaikan dan penyempurnaan KIA ini; (4) Orangtua dan kedua adik saya yang senantiasa memotivasi dan memberikan dukungan moral, terutama do’a dari kedua orangtua saya, Ayah dan Mamah, yang senantiasa beliau panjatkan demi keberhasilan saya; (5) Teman-teman FIK UI Profesi angkatan 2012, khususnya teman satu pembimbing selama proses pembuatan KIA, Irma, Lia, dan Ka Indah; (6) Teman-teman di Asrama Aceh Pocut Baren, Eno, Lila, Sulas, Cholida, Lulu, Rara, Esti, Manggar, Desy, Yuyun, yang senantiasa mendukung saya selama proses penyusunan karya ilmiah akhir ini; dan iv Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 (7) Seluruh perawat ruangan di Gedung Profesor Soelarto RS.Fatmawati, Ibu Mursanih, Pak Harun, Ibu Sri, Ka Harice, Ibu Widi, Ibu Ma’rif, Ka Rani, Ka Aini, Ka Yuli, Ka Tita, Ka Elis, Ka Sofyan, Ka Fao, Ka Anas, Ka Endro, Ka Yahya, yang telah memberikan banyak bimbingan dan arahan selama saya berdinas. Akhir kata, semoga Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan dan pengorbanan semua pihak yang telah membantu penyusunan Karya Ilmiah Akhir ini dan semoga Karya Ilmiah Akhir ini dapat bermanfaat bagi keilmuan keperawatan untuk kedepannya. Depok, Juli 2013 Penulis v Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Marhamatunnisa NPM : 0806334073 Program Studi : Ilmu Keperawatan Fakultas : Ilmu Keperawatan Jenis Karya : Karya Ilmiah Akhir demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Nonekslusif (Non-exclusive RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan Pada Pasien Spondilitis Tuberkulosis Di Rumah Sakit Fatmawati beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Nonekslusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/ formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat,dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/ pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di : Depok Pada Tanggal : 15 Juli 2013 Yang menyatakan ( Marhamatunnisa ) vi Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 ABSTRAK Nama : Marhamatunnisa Program Studi : Ilmu Keperawatan Judul : Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan Pada Pasien Spondilitis Tuberkulosis Di Rumah Sakit Fatmawati Wilayah perkotaan identik dengan pemukiman padat, polusi udara, kualitas air yang buruk, dan tinggi angka perokoknya. Hal ini menyebabkan penduduk perkotaan banyak terjangkit masalah kesehatan, terutama penyakit pernapasan dan menular, salah satunya adalah spondilitis. Spondilitis tuberkulosis merupakan inflamasi pada tulang vertebrae yang bisa disebabkan oleh infeksi sekunder dari tuberkulosis. Deformitas vertebrae merupakan manifestasi klinis yang paling sering ditemui dan perlu ditangani dengan pembedahan: debridement dan stabilisasi untuk mencegah masalah berlanjut kepada defisit neurologi. Intervensi mobilisasi dini dengan teknik log roll penting dilakukan guna mencegah komplikasi operasi dan cidera post stabilisasi. Evaluasi hasil intervensi klien dapat defekasi pada hari ke-7 post operasi, luka kering dan tidak infeksi, dan kekuatan otot meningkat. Kata kunci: Kota, Logroll, Mobilisasi, Operasi, Spondilitis Tuberkulosis. ABSTRACT Name : Marhamatunnisa Study Program: Nursing Tittle : Analysis of Clinical Practice of Urban Nursing on Patient with Spondylitis Tuberculosis at Fatmawati Hospital Urban region is characterized by over population, air pollution, lack of water quality, and high smoker rating. These all causing inhabitant suffers from many health problems, particularly respiratory and infected disease, such as spondylitis. Spondylitis tuberculosis is inflammation in vertebrae caused by secondary infection of tuberculosis. Deformity of vertebrae is one of clinical manifestation which most found and have to solve by surgery: debridement and stabilization to prevent new problem, deficit of neurology. Early mobilization with logrolling technique is important to prevent the complication of operation and injury post stabilization. The evaluation is client defecated after 7th day post operation, wound become drying up and do not infected, and the muscle strength was increased. Keywords: City. Logroll. Mobilization. Operation. Spondylitis Tuberculosis. vii Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ............................................................................................ HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................... HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... KATA PENGANTAR .......................................................................................... HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS .................................... ABSTRAK ............................................................................................................ DAFTAR ISI ........................................................................................................ DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... BAB 1 PENDAHULUAN..................................................................................... 1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1.2 Tujuan Penulisan ...................................................................................... 1.3 Manfaat Penulisan .................................................................................... i ii iii iv vi vii viii ix x 1 1 7 7 BAB 2 TINJAUAN TEORI ............................................................................... 9 2.1 Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan ........................................ 9 2.2 Tuberkulosis Paru...................................................................................... 15 2.3 Spondilitis Tuberkulosis ............................................................................ 17 2.4 Tulang Belakang dan Persarafanya ............................................................ 20 2.5 Fraktur Patologis ....................................................................................... 22 2.6 Keperawatan Perioperatif .......................................................................... 23 2.7 Mobilisasi Post Operasi ............................................................................. 27 2.8 Teknik Log Roll ........................................................................................ 28 BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN................................................................... 3.1 Pengkajian .............................................................................................. 3.2 Masalah dan Intervensi Keperawatan........................................................ 3.3 Implementasi dan Evaluasi ....................................................................... 30 30 36 39 BAB 4 PEMBAHASAN ...................................................................................... 4.1 Analisis Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan terkait Kasus ...... 4.2 Analisis Asuhan Keperawatan Kasus ........................................................ 4.3 Analisis Intervensi Mobilisasi Dini dengan Teknik Log Roll .................... 44 44 46 49 BAB 5 PENUTUP ................................................................................................ 55 5.1 Kesimpulan............................................................................................... 55 5.2 Saran ........................................................................................................ 56 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 58 viii Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Hasil Pemeriksaan Penunjang MRI untuk Spondilitis TB………… 19 Gambar 2.2 tulang belakang dan sistem saraf spinal …………………………... 22 ix Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Format Pengkajian Keperawatan Medikal Bedah FIK UI Lampiran 2 Analisa Data Lampiran 3 Rencana Asuhan Keperawatan Lampiran 4 Catatan Perkembangan x Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 BAB 1 PENDAHULUAN Bab 1 merupakan bab pendahuluan yang berisi latar belakang, tujuan penulisan, serta manfaat penulisan. Pada bagian latar belakang akan disampaikan mengenai keperawatan kesehatan masalah perkotaan dan kaitannya dengan diangkatnya tema Spondilitis Tuberkulosis dalam karya ilmiah akhir-Ners ini. Sedangkan tujuan penulisan terdiri atas tujuan umum dan khusus, serta manfaat penulisan meliputi manfaat aplikatif serta keilmuan. 1.1.Latar Belakang Sehat merupakan keadaan saat individu terbebas dari sakit. Adapun definisi sehat menurut UU kesehatan adalah suatu keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis (UU Kesehatan No. 23 tahun 1992). Sedangkan menurut World Health Organization (WHO) (2010), sehat adalah keadaan sejahtera secara fisik, mental, dan sosial bukan hanya sekedar tidak adanya penyakit maupun cacat (USU, 2011). Berdasarkan kedua definisi tersebut, sehat dapat disimpulkan sebagai keadaan sejahtera secara fisik, jiwa, dan sosial sehingga seseorang dapat hidup beraktivitas dan produktif. Sehat adalah hak setiap individu, dimanapun ia berada, baik yang tinggal di desa mapun di kota. Sehat adalah hak setiap individu dan merupakan tanggung jawab bagi setiap tenaga kesehatan dalam membantu individu mencapai kondisi tersebut. Perawat merupakan salah satu bagian dari tenaga kesehatan. Oleh karena itu perawat pun memiliki kewajiban dalam membantu pencapaian kondisi sehat di masyarakat. Sebagaimana yang telah diketahui, perawat bukan hanya bertugas di rumah sakit, melainkan juga di masyarakat, membantu pencapaian masyarakat yang sehat dengan bekerjasama dengan pemerintah dan elemen masyarakat. 1 Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 2 Wilayah kota atau sering disebut pula dengan kawasan urban semakin lama pertumbuhannya semakin pesat. Laju urbanisasi (perpindahan penduduk dari desa ke kota) meningkat merupakan salah satu penyebabnya dan Indonesia merupakan salah satu negara dengan laju urbanisasi yang tinggi (Gundayaini, 2009). Berdasarkan hasil survei, pertumbuhan penduduk kota di Jawa Barat meningkat persentasenya dari tahun 2005 yang hanya mencapai 58.8% menjadi 66.2% pada tahun 2010 dan diperkirakan akan meningkat pada tahun 2015 menjadi 72.4% (BPS, 2013). Sementara laju urbanisasi meningkat, kompleksitas masalah di wilayah perkotaan pun turut meningkat. Wilayah perkotaan identik dengan pertumbuhan industri dan ekonomi. Kawasan perkotaan (urban) adalah wilayah dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, serta pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi (PP RI No.34 tahun 2009). Oleh karena itu, beberapa kekhasan dari wilayah perkotaan adalah kondisi pemukiman yang padat penduduk, terdapat wilayah yang didalamnya terdapat pusat pemerintahan dan seluruh pelayanan jasa pemerintahan, serta terdapat wilayah pusat perekonomian. Kondisi kota yang seperti itu umumnya diiringi pula dengan padatnya transportasi demi menunjang seluruh aktivitas penduduknya. Oleh karena itu, pemusatan dan kepadatan wilayah perkotaan menimbulkan banyak faktor resiko masalah kesehatan, diantaranya adalah udara kota banyak dipenuhi asap kendaraan bermotor, sedikitnya kawasan hijau, pemukiman terlalu padat seringkali terkesan kumuh dan tidak sehat, serta minimnya sanitasi dan ketersediaan air bersih (Kemenkes, 2012). Salah satu faktor resiko masalah kesehatan di wilayah perkotaan adalah aspek demografi, yakni kepadatan penduduk. Kepadatan penduduk di kota seringkali diiringi dengan kesan kumuh dan kurang sehat sehingga mempengaruhi kondisi fisik, mental, serta sosial Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 3 penduduknya (Kemenkes,, 2012). Sisi kepadatan penduduk saja sudah merupakan satu faktor resiko terhadap masalah kesehatan, yakni mudahnya penularan penyakit bagi penduduk yang tinggal didalamnya. Beberapa penyakit menular yang khas menyerang wilayah padat adalah demam berdarah, malaria, diare, dan ISPA (Kemenkes, 2012). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh tim pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan Kemenkes RI, angka kesakitan penderita DBD di wilayah kota pada tahun 2012 adalah 34,3%, meningkat dari tahun 2011 yang hanya mencapai 26,67% (Kemenkes, 2012). Selain kepadatan penduduk, kemiskinan yang berdampak pada kekumuhan pemukiman peduduk kota pun menjadi faktor pemberat munculnya masalah kesehatan di perkotaan, diantaranya adalah tingginya angka kejadian gizi buruk serta angka kematian ibu dan bayi di perkotaan (Mukti, 2012). Faktor lainnya yang mempengaruhi kerentanan masyarakat perkotaan adalah kurangnya air bersih dan sanitasi. Berdasarkan data dari International Relief and Development (IRD), masalah buruknya sanitasi dan kurangnya air bersih terjadi di 50% wilayah perkotaan sehingga dampaknya adalah meningkatnya angka kejadian diare, penyakit kulit, penyakit usus dan penyakit-penyakit lain yang berasal dari air (IRD, 2012). Studi yang dilakukan oleh Bank Dunia pada tahun 2008 pun menghasilkan data bahwa sekitar 120 juta kasus penyakit dan 50.000 kematian dini setiap tahun terjadi akibat dari sanitasi yang buruk (IRD, 2012). Hal ini menambah bukti betapa wilayah perkotaan sangat membutuhkan perhatian besar bagi seluruh lapisan masyarakat. Tidak hanya masalah sanitasi dan air bersih, pesatnya industri di wilayah perkotaan menambah catatan tingginya polusi dan minimnya ruang terbuka hijau di wilayah perkotaan. Lingkungan yang berpolusi, kotor, minimnya ruang terbuka hijau, padatnya pemukiman merupakan beberapa faktor pendukung Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 4 munculnya masalah pada saluran pernapasan seperti infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), pneumonia, bronchitis, hingga tuberkulosis (Kemenkes, 2012). Menurut Kepala Subdirektorat Tuberkulosis Kementerian Kesehatan Dyah Erti Mustikawati, masyarakat perkotaan adalah kelompok masyarakat paling rentan terserang tuberkulosis karena kondisi lingkungan tempat tinggal yang padat, kurang ventilasi dan mendapat pencahayaan matahari, kumuh serta rendahnya mutu asupan nutrisi. Hal tersebut membuat kuman tuberkulosis dalam tubuh mudah menjadi aktif (Kompas, 2013). Saat ini, tuberkulosis (TB) merupakan salah satu masalah kesehatan di wilayah kota yang cukup mendapat perhatian karena angka kejadiannya yang cukup tinggi di Indonesia. Berdasarkan data dari Balitbangkes, penyumbang tertinggi dari beban penyakit di Indonesia pada tahun 2010 adalah stroke, tuberkulosis dan kecelakaan lalu-lintas (Kemenkes, 2013). Berdasarkan laporan WHO dalam Global Tuberculosis Control 2010, pada tahun 2009 Indonesia menempati posisi kelima untuk kejadian TB dengan jumlah penderita TB sebesar 429 ribu orang, setelah India, Cina, Afrika Selatan, dan Nigeria. dan Indonesia (Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesi/ PPTI, 2012). Sementara kejadian TB yang sudah bermetastase ke luar paru mencapai 11215 kasus,TB. Namun pemerintah bukan berarti tidak melakukan apa-apa, sudah banyak kemajuan terkait penanggulangan TB di Indonesia, diantaranya ditunjukkan dengan angka keberhasilan pengobatan dari tahun 2003 sampai tahun 2008 (dalam %), tahun 2003 (87%), tahun 2004 (90%), tahun 2005 sampai 2008 semuanya sama (91%) (Sedyaningsih, 2011). Berdasarkan data-data tersebut, dapat disimpulkan bahwa masalah TB sudah bukan lagi masalah baru di Indonesia dan perhatian pemerintah terhadap hal tersebut sudah cukup tinggi. Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 5 Tuberkulosis atau biasa disingkat dengan TBC/TB adalah penyakit infeksius, terutama menyerang parenkim paru, namun dapat pula ditularkan ke bagian tubuh lainnya, termasuk meningen, ginjal, tulang, dan nodus limfe (Smeltzer & Bare, 2002). Agen utama penyebab penyakit ini adalah bakteri mycobacterium tuberculosis,ia merupakan bakteri gram positif bersifat aerob dan tahan asam, tumbuh lambat dan sensitif terhadap panas dan sinar ultraviolet. Bakteri ini tumbuh dengan lambat dibanding dengan bakteri lain, dan penyakit yang disebabkannya semuanya kronik dan progresif (Smeltzer & Bare, 2002). Oleh karena itu, tuberkulosis merupakan penyakit kronik yang kadang disepelekan hingga ia mencapai tahap komplikasi yang sudah cukup berat bahkan hingga menyerang organ lain selain paru. Salah satu komplikasi yang kejadiannya cukup sering adalah spondylitis dimana penyebaran tuberkulosis sudah mencapai tulang belakang dan sudah mengakibatkan adanya kelainan pada tulang belakang. Spondilitis Tuberkolisis adalah salah satu komplikasi kronik dari TB yang tidak tertangani atau buruk penanganannya (Smeltzer & Bare, 2002). Banyak sekali kasus spondilis diawali dengan ketidakpatuhan para penderita TB untuk menjalani program pengobatan yang memang harus dijalani dalam waktu yang panjang, berbulan-bulan, biasanya 6-9 bulan (PPTI, 2012). Spondilitis adalah inflamasi pada tulang vertebrae yang bisa disebabkan oleh beberapa hal, misalnya proses infeksi, imunitas, biasanya merupakan kelanjutan proses penyakit tuberkulosis. Saat tulang terinfeksi, bagian dalam tulang yang lunak (sumsum tulang) sering membengkak dan menekan dinding sebelah luar tulang yang kaku sehingga pembuluh darah di dalam sumsum bisa tertekan, menyebabkan berkurangnya aliran darah ke tulang (Rasjad, 2003). Tanpa pasokan darah yang memadai, bagian dari tulang bisa mati. Manistasi klinis yang paling mudah untuk diamati adalah tampak adanya kelainan karena inflamasi pada tulang belakang. Oleh karena Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 6 terjadinya penekanan pada tulang dan perubahan bentuk, spondilitis seringkali masuk kedalam masalah fraktur jenis patologis: terkompresi. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang terjadi karena adanya tekanan pada tulang yang melebihi absorpsi tulang (Smeltzer & Bare, 2002). Pada masalah spondilitis, fraktur yang berkaitan adalah fraktur patologik karena ia disebabkan oleh proses penyakit (Subagjo, 2012). Spondilitis dikategorikan kedalam fraktur karena manifestasi yang muncul adalah kelainan perubahan/ deformitas tulang belakang yang juga disertai kelemahan tulang hingga tulang beresiko untuk terjadi fraktur karena aktivitas atau perubahan posisi tertentu. Penatalaksanaan yang umum untuk spondilitis TB umumnya adalah tindakan medikamentosa dimana terapi pengobatan (sama dengan pengobatan TB) disertai dengan pembedahan, yakni stabilisasi tulang belakang (Hidalgo, 2006). Kasus spondilitis TB di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini cukup marak terjadi di Indonesia. Di Ruang rawat orthopedi, Gedung Profesor Soelarto (GPS) lantai 1 RS Fatmawati, kasus spondilitis selama 2 bulan terakhir terhitung terdapat kurang lebih 6 pasien dengan spondilitis tuberkulosis. Hal ini menunjukkan jumlah yang tidak sedikit untuk kasus yang sebenarnya tidak terlalu umum. Dari 6 pasien yang menderita spondilitis TB, 3 orang pasien merupakan remaja (usia 19-25 tahun) sementara 3 lainnya merupakan dewasa (3050 tahun). Berdasarkan penuturan pasien berusia 21 tahun, awalnya ia mengeluhkan batuk-batuk, namun berangsur-angsur diikuti oleh perubahan struktur tulang belakang, hingga terjadi skoliosis dan kifosis. Hal tersebut kemudian mengejutkan pasien dan keluarga pasien karena masih awam dengan penyakit ini, terutama karena prognosis penyakitnya yang cukup cepat. Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 7 Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik mengangkat kasus spondilitis TB sebagai tema untuk Karya Ilmiah Akhir-Ners yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan program pemdidikan Ners di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Dalam KIA-N ini, penulis akan memaparkan hal yang berkaitan dengan masalah Spondilitis TB sesuai dengan kondisi pasien kelolaan penulis selama menjalani praktik profesi keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan di GPS 1 RS.Fatmawati dengan dikaitkan dengan masalah kesehatan perkotaan sekaligus analisis terhadap satu intervensi, yakni mobilisasi dini dengan teknik logroll, yang dilakukan secara kontinyu kepada pasien selama ia dirawat di ruang GPS 1 RS.Fatmawati. 1.2 Tujuan Penulisan 1.2.1 Tujuan Umum: Penulisan Karya Ilmiah Akhir-Ners (KIA-N) ini bertujuan untuk melakukan analisa terhadap kasus kelolaan dengan klien Spondilitis Tuberkulosis di ruang rawat orthopedi Gedung Profesor Soelarto RS.Fatmawati. 1.2.2 Tujuan khusus: 1.2.2.1 Menganalisis keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan berdasarkan agregat dan kaitannya dengan masalah klien kelolaan 1.2.2.2 Menganalisis kasus kelolaan dengan diagnose medis spondilitis tuberkulosis 1.2.2.3 Menganalisis intervensi mobilisasi dini dengan teknik logroll yang diterapkan secara kontinyu kepada klien kelolaan dengan spondilitis tuberkulosis 1.3 Manfaat Penulisan Penulisan KIA-N ini diharapkan dapat bermanfaat dalam tiga aspek yaitu manfaat aplikatif, manfaat keilmuan dan manfaat metodologi: 1.3.1 Manfaat Aplikatif Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 8 1.3.1.1 Memberikan masukan bagi perawat untuk memberikan edukasi yang tepat terkait mobilisasi kepada pasien dengan spondilitis tuberkulosis dengan post stabilisasi 1.3.1.2 Memberikan informasi bagi klien dengan spondilits tuberkulosis dan keluarga yang merawat agar dapat segera melakukan mobilisasi dini pasca stabilisasi untuk mencegah komplikasi imobilisasi serta melakukan teknik ubah posisi yang benar untuk mencegah cidera pascaoperasi 1.3.1.3 Memberikan informasi bagi seluruh tenaga kesehatan terkait penerapan teknik ubah posisi dengan log roll untuk mencegah cidera pascaoperasi 1.3.2 Manfaat Keilmuan 1.3.2.1 Memberikan masukan bagi pengembangan ilmu pengetahuan yang aplikatif terhadap keperawatan terkait masalah spondilitis tuberkulosis serta bagaimana mobilisasi dengan teknik yang benar 1.3.2.2 Hasil penulisan juga dapat memberikan informasi bagi staf akademik dan mahasiswa dalam rangka pengembangan proses belajar mengajar khususnya keperawatan medikal bedah, kekhususan tulang belakang/ spine. Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Bab 2 ini merupakan tinjauan pustaka. Tinjauan pustaka yang akan dibahas adalah beberapa hal yang berkaitan dengan tema dari karya tulis ini, meliputi fokus utama yakni keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan, diikuti dengan tuberkulosis sebagai salah satu masalah perkotaan. Kemudian selanjutnya adalah spondilitis tuberkulosis sebagai komplikasi dari tuberkulosis yang sudah bermetastase hingga ke tulang. Kemudian dilanjutkan dengan sedikit pembahasan mengenai tulang belakang/ spinal. Setelah itu adalah fraktur patologis terkait spondilitis, lalu penatalaksanaan pembedahan sekaligus peran perawat selama perioperatif. Bagian terakhir adalah perawatan post operasi, yakni mobilisasi dini dengan teknik mengubah posisi logrolling untuk mencegah komplikasi cidera post operatif. 2.1. Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan Sehat adalah keadaan saat seseorang terbebas dari penyakit, baik secara fisik, mental, maupun sosial. Didalam keperawatan, sehat didefinisikan lebih luas lagi, yakni mencakup aspek biologis, psikologis, social, spiritual, dan kultural (Potter & Perry, 2002). Sedangkan menurut World Health Organization, sehat merupakan keadaan sejahtera secara fisik, mental, dan sosial bukan hanya sekedar tidak adanya penyakit maupun cacat (Kemenkes, 2012). Sehat dalam pengertian yang lebih luas juga dapat diartikan dengan keadaan yang dinamis dimana individu menyesuaikan diri dengan perubahan- perubahan lingkungan internal dan eksternal untuk mempertahankan keadaan kesehatannya. Berdasarkan penjelasan tersebut, lingkungan eksternal ikut mempengaruhi kesehatan seseorang, salah satunya adalah lingkungan fisik tempat seseorang tinggal (Potter & Perry, 2002). Lingkungan fisik tempat dimana seseorang bekerja atau tinggal dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya penyakit tertentu. Misalnya saja lingkungan perkotaan yang tinggi polusi udara, padat penduduk, dan 9 Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 10 kurangnya ventilasi serta pencahayaan matahari merupakan faktor resiko terhadap masalah kesehatan tuberkulosis, lingkungan yang kotor, sanitasi dan kualitas air bersih yang buruk dapat menyebabkan penyakit kulit, diare, dan sebagainya (Kemenkes, 2012). 2.1.1 Faktor yang mempengaruhi Kesehatan Masyarakat Blum memaparkan bahwa kesehatan manusia terdiri atas tiga dimensi, yakni fisik, mental, dan social dan terdapat empat faktor dasar yang mempengaruhi kesehatan suatu masyarakat (Anderson & McFarlane, 2007). Faktor tersebut adalah: a. Lingkungan. Lingkungan ini meliputi lingkungan fisik (baik natural atau buatan manusia), sosial (misal seperti homeless dan anak jalanan) dan psikologis (misalnya kekerasan, depresi, dan stress). Pada lingkungan fisik, misalnya kesehatan akan dipengaruhi oleh kebersiha udara yang dihirup, air yang diminum, dan lain sebagainya. b. Perilaku atau Gaya Hidup Gaya hidup individu atau masyarakat sangat mempengaruhi derajat kesehatan. Misalnya saja dalam masyarakat perkotaan, aktivitas wanita karir semakin padat sehingga tidak memiliki banyak waktu untuk menyajikan makanan sehat bagi keluarga. Akibatnya mereka lebih suka dengan hal-hal praktis misalnya makan dengan membeli makanan cepat saji, yang secara kesehatan kurang sehat karena banyak mengandung zat pengawet dan kimia lainnya. c. Heredity Faktor genetik ini sangat berpengaruh pada derajat kesehatan. Hal ini karena ada beberapa penyakit yang diturunkan lewat genetik, seperti leukemia. Faktor hereditas sulit untuk diintervensi karena hal ini merupakan bawaan dari lahir. d. Pelayanan kesehatan Pelayanan kesehatan juga mempengaruhi derajat kesehatan. Pelayanan kesehatan disini adalah pelayanan kesehatan utama dan intregatif antara promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Semakin mudah akses Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 11 individu/masyarakat terhadap pelayanan kesehatan maka derajat kesehatan masyarakat akan semakin baik. 2.1.2 Definisi Perkotaan Salah satu lingkungan fisik yang memiliki banyak faktor resiko terhadap kondisi kesehatan individunya adalah lingkungan perkotaan. Wilayah kota atau sering disebut pula dengan kawasan urban semakin lama pertumbuhannya semakin pesat. Kawasan perkotaan (urban) adalah wilayah dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, serta pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi (PP RI No.34 tahun 2009). Oleh karena itu, beberapa kekhasan dari wilayah perkotaan adalah kondisi pemukiman yang padat penduduk, terdapat wilayah yang didalamnya terdapat pusat pemerintahan dan seluruh pelayanan jasa pemerintahan, terdapat wilayah pusat perekonomian serta padat angkutan transportasi. Berdasarkan kondisi tersebut, wilayah perkotaan memiliki banyak faktor resiko masalah kesehatan, diantaranya adalah udara kota banyak dipenuhi asap kendaraan bermotor, sedikitnya kawasan hijau, pemukiman terlalu padat seringkali terkesan kumuh dan tidak sehat, serta minimnya sanitasi dan ketersediaan air bersih (Kemenkes, 2012). 2.1.3. Konsep Resiko Kata beresiko biasanya muncul ketika mengumpulkan data riwayat penyakit klien. Dalam model epidemiologi, beresiko berarti suatu kondisi kesehatan yang merupakan hasil interaksi beberapa faktor, diantaranya adalah faktor genetik, gaya hidup, dan lingkungan fisik serta sosial dimana individu tinggal dan atau bekerja (Stanhope & Lancaster, 2004). Efek dari akumulasi dan integrasi faktor- faktor tersebut adalah respon individu terhadap masalah kesehatan, mungkin menjadi lebih mudah atau justru semakin sulit terjangkit masalah kesehatan. Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 12 Beresiko berarti adalah kemungkinan terhadap munculnya suatu kejadian, seperti status kesehatan seseorang yang terpapar oleh suatu faktor spesifik tertentu maka akan menderita suatu penyakit spesifik tertentu tersebut (Stanhope & Lancaster, 2004). Berdasarkan definisi tersebut, hampir setiap individu merupakan individu beresiko terhadap masalah kesehatan karena dikelilingi oleh faktor-faktor, hanya saja masing-masing mungkin berbeda terhadap masalah kesehatan tertentu karena faktor spesifik yang berbeda pula (Allender, 2010). Misalnya saja penduduk perkotaan beresiko terhadap masalah kesehatan daripada penduduk pedesaa karena udara di kota sudah banyak tercemari. Adapun faktor resiko merupakan faktor paparan yang spesifik yang secara terus menerus bersinggungan terhadap individu dari luar, seperti asap rokok, stress yang berlebihan, dan zat kimia yang ada di lingkungan. Faktor resiko juga berkaitan dengan karakteristik seseorang seperti umur, jenis kelamin, dan genetik. Gaya hidup seseorang juga menentukan terhadap adanya faktor resiko munculnya suatu penyakit pada seseorang (Stanhope & Lancaster, 2004). Dengan demikian, faktor resiko adalah seluruh elemen di sekitar lingkungan internal maupun eksternal individu yang mempengaruhi kondisi kesehatannya. Populasi beresiko merupakan kumpulan dari orang-orang yang memiliki beberapa kemungkinan yang telah jelas teridentifikasi atau telah ditentukan meskipun sedikit atau kecil terhadap munculnya suatu peristiwa (Stanhope & Lancaster, 2004; Hitchcock, Schubert & Thomas, 2004). Identifikasi yang menyeluruh pada populasi risiko membutuhkan suatu instrumen yang baik dalam mengidentifikasi faktor-faktor risiko yang berkontribusi terhadap munculnya penyakit atau masalah (Stanhope & Lancaster, 2004). Populasi beresiko adalah populasi yang melakukan aktifitas-aktivitas tertentu atau memiliki ciri-ciri tertentu yang meningkatkan potensi populasi tersebut untuk mengalami penyakit, cedera, atau masalah kesehatan lainnya (Eugsti, Guire & Stone, 2002). Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 13 2.1.4 Konsep Kerentanan/ Vulnerable Vulnerable/ kerentanan mengarah kepada bagaimana individu lebih berpotensi terhadap gangguan fisik (serangan fisik) dan memiliki system pertahanan yang rendah, lebih rentan sehingga lebih mudah terjangkit (Lundy, 2009). Lebih jauh lagi, kerentanan mengarah kepada bagaimana individu atau sekelompok orang lebih mudah mengalami masalah kesehatan tertentu dan nantinya mendapatkan hasil/ dampak lebih serius karena akumulasi terpajan banyak fakto resiko (Clark, 1998). Populasi rentan adalah sub kelompok yang memiliki kerentanan lebih tinggi terhadap masalah kesehatan karena memiliki faktor (kombinasi faktor) yang memperberat kondisi kelompok tersebut, misalnya saja faktor kemiskinan atau status ekonomi rendah (Clark, 1998). Kelompok rentan lebih sensitif terhadap masalah kesehatan dibandingkan kelompok lain pada umumnya atau kelompok at risk karena mereka lebih sensitif terhadap faktor resiko pada umumya, yakni faktor ekonomi, fisik, sosial, biologi, genetik, ataupun gaya hidup (Stanhope & Lancaster, 2004). 2.1.4 Konsep dan Teori Agregat Agregat adalah sebuah komunitas yang tersusun dari individu yang memiliki karakteristik umum yang sama (Anderson, 2006). Misalnya, anggota komunitas yang bertempat tinggal di kota yang sama, keanggotaan dalam organisasi keagamaan yang sama, atau memiliki kesamaan umur atau etnis. Banyak faktor yang dapat menggambarkan suatu agregat, salah satunya adalah tumbuh kembang. Agregat juga dapat diklasifikasikan berdasarkan tahapan tumbuh kembang. Berdasarkan hal tersebut, agregat terdiri atas agregat bayi, agregat anak prasekoah-sekolah, agregat remaja, dewasa: dewasa awal, tengah, dan akhir, serta agregat lansia (Potter & Perry, 2002). Dalam bab ini, agregat akan difokuskan kepada agregat dewasa, khususnya adalah dewasa awal. Berdasarkan penelitian oleh ilmuan klasik, Levinson pada Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 14 tahun 1978 (Nies & McEwen 2007), karakteristik perkembangan masa dewasa adalah: a. Awal transisi dewasa (usia 18- 20 tahun), ketika seseorang berpisah dari keluarga dan merasakan kebebasan. b. Memasuki dunia kedewasaan (usia 21 – 27 tahun), ketika seseorang menyiapkan dan mencoba berkarier. c. Masa transisi (usia 28 – 32 tahun) adalah ketika seseorang secara besar-besaran memodifikasi aktivitas kehidupannya dan memikirkan tujuan masa depan. d. Masa tenang ( usia 33 – 39 tahun) adalah ketika seseorang mencapai stabilitas yang besar. e. Masa keberhasilan (usia 40 – 65 tahun) merupakan waktu untuk pengaruh maksimal, membimbing dan menilai diri sendiri. Masa dewasa awal merupakan kelanjutan dari masa remaja (Wong, Perry & Hockenberry, 2002). Seseorang dapat dikatakan dewasa saat sudah mencapai keseimbangan pertumbuhan fisiologis, psikologis, psikososial, dan kognitif. Beberapa masalah yang khas pada masa dewasa awal, terutama dewasa pria adalah masalah karena penggunaan NAPZA, terutama yang paling umum adalah rokok, serta masalah fraktur karena kecelakaan (Nies & McEwen, 2007). Menurut Nies dan McEwen (2007), dewasa pria dan wanita berbeda berdasarkan pekerjaan, gaya hidup, dan aktivitas waktu senggang. Karakteristik mendasar dari pria adalah kompetitif, aktif secara fisik, kuat, kasar, dan mandiri. Pada pria lebih banyak mengambil pekerjaan di luar rumah (kantor, proyek, pabrik) waktu penuh bahkan hingga mengambil lembur. Insiden terluka saat berolahraga, kecelakaan saat berkendara dengan kecepatan tinggi, ketergantungan hingga kematian akibat penggunaan NAPZA secara illegal, ketergantungan terhadap minuman beralkohol dan rokok adalah berbagai masalah kesehatan yang mengancam kesehatan pria. Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 15 2.2 Tuberkulosis Paru Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki prevalensi kejadian Tuberkulosis yang cukup tinggi. Berdasarkan laporan WHO dalam Global Tuberculosis Control 2010, pada tahun 2009 Indonesia menempati posisi kelima untuk kejadian TB dengan jumlah penderita TB sebesar 429 ribu orang, setelah India, Cina, Afrika Selatan, dan Nigeria. dan Indonesia (Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesi/ PPTI, 2013). 2.2.1 Definisi dan Agen Penyebab Tuberkulosis atau biasa disingkat dengan TBC/TB adalah penyakit infeksius, terutama menyerang parenkim paru, namun dapat pula ditularkan ke bagian tubuh lainnya, termasuk meningen, ginjal, tulang, dan nodus limfe (Smeltzer & Bare, 2002). Agen utama penyebab penyakit ini adalah bakteri mycobacterium tuberculosis,ia merupakan bakteri gram positif bersifat aerob dan tahan asam, tumbuh lambat dan sensitif terhadap panas dan sinar ultraviolet (Suryo, 2010). Bakteri ini tumbuh dengan lambat dibanding dengan bakteri lain, dan penyakit yang disebabkannya semuanya kronik dan progresif (Smeltzer & Bare, 2002). Oleh karena itu, tuberkulosis merupakan penyakit kronik yang seringkali manifestasi klinisnya baru muncul setelah beberapa tahun terpapar bakteri tersebut. 2.2.1 Manifestasi Klinis Beberapa manifestasi klinis tuberkulosis diantaranya adalah munculnya demam tingkat rendah, keletihan, anoreksia, penurunan berat badan, berkeringat malam, nyeri dada, batuk menetap (kurang lebih 1 bulan), tidak ada nafsu makan selama 3 bulan tanpa sebab (Smeltzer & Bare, 2002). Kemudian batuk pada awalnya mungkin nonproduktif, namun dapat berkembang ke arah pembentukan sputum mikropurulen dengan hemoptisis (Spiegelburg, 2007). Manifestasi awal dari tuberkulosis seringkali dianggap sebagai penyakit ringan, seperti demam dan batuk pilek biasa, sehingga sering disepelekan hingga ia mencapai tahap Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 16 komplikasi yang sudah cukup berat dan menyerang organ lain selain paru (PPTI, 2013). 2.2.2 Penularan dan Faktor Resiko Tuberkulosis Berdasarkan Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia/ PPTI (2013), beberapa cara penularan dari tuberkulosis adalah melalui transmisi udara, dan kontak langsung dengan penderita TB aktif. Tuberkulosis tergolong airborne disease yakni penularan melalui droplet nuclei yang dikeluarkan ke udara oleh individu terinfeksi dalam fase aktif, dengan jumlah 3000 droplet nuclei setiap kali batuk (Price & Wilson, 2005). Droplet nuclei kemudian dapat menetap di udara dalam waktu tertentu. Di bawah sinar matahari langsung basil tuberkel mati dengan cepat tetapi dalam ruang yang gelap lembab dapat bertahan sampai beberapa jam. Dalam hal penularan, terdapat dua faktor penentu keberhasilan pemaparan Tuberkulosis pada individu baru yakni konsentrasi droplet nuclei dalam udara dan panjang waktu individu bernapas dalam udara yang terkontaminasi tersebut di samping daya tahan tubuh yang bersangkutan (Soedarsono, 2000). Sementara beberapa faktor resikonya adalah individu imunosupresif (termasuk lansia, pasien dengan kanker, pasien yang dalam terapi kortikosteroid, orang yang terinfeksi HIV), pengguna obat- obatan intravena dan alkoholik, individu tanpa perawatan kesehatan yang adekuat, merokok, dan tinggal ditempat kumuh (PPTI, 2013). Chatman (2008) juga menyebutkan bahwa asap rokok ataupun asap kendaraan mengandung beberapa racun bagi paru-paru sehingga bila orang tersebut terhirup bakteri TB maka akan mudah terkena penyakit TB. Dari beberapa faktor resiko tersebut terdapat beberapa hal yang khas dengan wilayah perkotaan. 2.2.3 Penyebaran Infeksi dan Komplikasi Penyebaran bakteri TB lambat namun sangat progresif dan cara penyebarannya diantaranya adalah melalui aliran limfe, aliran darah, Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 17 maupun organ terdekat (Smeltzer & Bare, 2002). Cara penyebaran lewat aliran darah merupakan yang paling sering dijumpai dengan manifestasinya adalah infeksi di organ lain, seperti orchitis (peradangan pada testis), spondilitis (peradangan pada tulang belakang), meningitis (peradangan pada meningen), dan lain sebagainya (Smeltzer & Bare, 2002). Penyebaran infeksi tubuh ke bagian selain paru disebut dengan TB miliaris atau extrapulmonary TB (WHO, 2012). Penyebaran diawali dengan invasi bakteri tuberkel TB (tubercle Gohn) yang keluar dari paru-paru melalui cabang vena pulmonalis, lalu masuk ke jantung kiri, kemudian ke aorta, dan akhirnya bersamaan dengan aliran darah sistemik mencapai seluruh tubuh. Akhirnya bakteri berdiseminasi melalui semua jaringan, dengan tuberkel miliaris kecil yang berkembang dalam paru-paru, limfa, hepar, sumsum tulang, mata, ginjal, kelenjar adrenal, meninges, dan organ lainnya (Smeltzer & Bare, 2002). Salah satu komplikasi yang paling sering muncul dari tuberkulosis adalah spondilitis dimana infeksi sudah mencapai tulang belakang atau biasa dikenal pula dengan TB tulang (PPTI, 2013). 2.3. Spondilitis Tuberkulosis Spondilitis adalah inflamasi pada tulang vertebrae yang bisa disebabkan oleh beberapa hal, misalnya adalah proses infeksi dan penurunan imunitas (Kotze & Erasmus, 2006). Salah satu penyebab spondilitis yang paling sering terjadi adalah infeksi tuberkulosis yang sudah bermetastase ke tulang belakang. Spondilitis Tuberkulosis ini paling sering ditemukan pada vertebra T8 – L3 dan paling jarang pada vertebra C1 – C2 (Moesbar, 2006). Spondilitis tuberkulosis biasanya mengenai korpus vertebra, tetapi jarang menyerang arkus vertebrae. Oleh karena itu, kondisi defisit neurologi tidak selalu ditemui pada penderita spondilitis. Bahkan beberapa penderita tampak bisa beraktivitas normal dan hanya memerlukan terapi konservatif untuk mengatasi nyeri karena deformitas tulang belakang (Moesbar, 2006). Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 18 2.3.1 Patogenesis Spondilitis ini biasanya disebabkan infeksi sekunder dari tuberkulosis ekstraspinalis yang mengenai korpus vertebrae (Moesbar, 2006). Tuberkulosis bisa menyebar sampai ke diskus intervertebralis. Sehingga menyebabkan destruksi tulang yang progressif dan menyebabkan tulang vertebrae menjadi kolaps dan kiposis (Mak & Cheung, 2013). Kanalis spinalis bisa menjadi kecil atau sempit oleh karena abses, granulasi jaringan, atau invasi secara langsung, dan inilah yang menyebabkan medula spinalis mengalami kompresi dan terjadi defisit neurologi sesuai pada lokasi vertebra yang terkena (Garg & Somvanshi, 2011). 2.3.2 Manifestasi Klinis dan Pemeriksaan Penunjang Nyeri dan kaku pada punggung, deformitas pada punggung (gibbus), pembengkakan setempat (abses), kelemahan/ kelumpuhan ekstremitas atau gangguan fungsi buli-buli dan anus (defisit nerurologi), dan adanya proses TB (Moesbar, 2006). Alavi dan Sharifi (2010) juga menyatakan bahwa dari 69 responden didapatkan hasil 98,5% mengalami nyeri punggung, 26% merasa demam dimalam hari, 28,9% bentuk tubuh kifosis, 17,4% berkeringat dimalam hari dan sekitar 14,5% mengalami penurunan berat badan. Beberapa pemeriksaan penunjang sama dengan yang dilakukan untuk penderita TB yakni tes tuberkulin, darah rutin, dan biasanya Laju Endap Darah (LED) akan meningkat hingga >100mm/h (Paramarta et al., 2008). Menurut Alavi & Shafiri (2010 foto rontgen akan memperlihatkan hasil dekalsifikasi suatu korpus vertebra karena terdapat suatu kaverne. Dengan demikian terjadi suatu fraktur kompresi, sehingga bagian depan dari korpus vertebra menjadi lebih tipis daripada bagian belakangnya (korpus vertebra jadi berbentuk baji) dan tampaklah suatu gibbus pada tulang belakang (Moesbar, 2006). Moesbar (2006) juga menyebutkan akan tampak adanya dekplate korpus vertebra yang tampak kabur (tidak tajam) dan tidak teratur, dan diskus intervertebrae akan tampak menyempit, serta Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 19 muncul abses dingin, yakni akan tampak sebagai suatu bayangan yang berbentuk kumparan atau spindle. Gambar 2.1 Hasil Pemeriksaan Penunjang MRI untuk Spondilitis TB (Sumber: Kotze & Erasmus, 2006) 2.3.3 Tatalaksana Penatalaksanaan spondilitis tuberkulosis terdiri atas terapi konservatif, medikamentosa, dan operatif (Moesbar, 2006). a) Terapi Konservatif Berupa istirahat di tempat tidur untuk mengurangi nyeri dan spasme otot, mencegah paraplegia serta mengurangi destruksi tulang belakang (Wilkinson & Ahhem, 2009). Mengurangi destruksi tulang belakang dilakukan dengan pemberian korset yang mencegah gerak vertebrae/ membatasi gerak vertebrae (Moesbar, 2006). Korset memungkinkan penderita dapat duduk/berjalan sehingga tidak memerlukan perawatan di rumah sakit. b) Medikamentosa Obat antituberkulosa (OAT) misalnya rifampicin dan kombinasi obat antituberkulosis lain. Terapi dengan mengkonsumsi obat OAT untuk mencegah bakteri untuk resisten (Nawas, 2010). Dosis untuk dewasa yaitu 10 mg/kg BB/4x1 atau 600mg/hari dibagi 4 dosis. c) Terapi Operatif Bedah kostotransversektomi yang dilakukan berupa debrideman dan penggantian korpus vertebra yang rusak dengan tulang spongiosa/ kortiko Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 20 spongiosa. Debridement bertujuan untuk menghilangkan sumber infeksi, mengkoreksi deformitas, menghilangkan komplikasi neurologik dan kerusakan lebih lanjut (Dewald, 2003). Terapi operasi dilakukan jika terapi konservatif tidak memberikan hasil yang memuaskan, terjadi kompresi pada medulla spinalis, dan hasil radiologis menunjukkan adanya sekuester dan kaseonekrotik dalam jumlah banyak (Moesbar, 2006) 2.5 Tulang Belakang dan Persarafannya Kolumna vertebralis atau rangkaian tulang belakang adalah sebuah struktur lentur yang dibentuk oleh sejumlah tulang yang disebut vertebrae atau ruas tulang belakang. Diantara tiap dua ruas tulang pada vertebra terdapat bantalan tulang rawan. Panjang rangkaian tulang belakang orang dewasa dapat mencapai 57 sampai 67 centimeter (Pearce, 2002). Vertebra dikelompokkan dan dinamai berdasarkan daerah lokasinya, yakni vertebra servikalis (leher), torakalis (punggung), lumbalis (pinggang), sakralis (kelangkang), dan koksigis (ekor). Setiap vertebra terdiri atas dua bagian, yaitu anterior disebut badan vertebra, dan posterior disebut arkus neuralis yang melingkari kanalis neuralis (foramen vertebra atau saluran sumsum tulang belakang) yang dilalui sumsum tulang belakang. Oleh karena itu, selain sebagai pendukung bentuk tubuh dan pergerakan, memungkinkan gerakan kepala dan tungkai, dan menstabilkan struktur tulang untuk ambulasi, ia juga berfungsis untuk melindungi medulla spinalis atau sumsum tulang belakang yang merupakan bagian dari sistem persarafan. Masing- masing tulang belakang memiliki hubungan dengan ventral tubuh dan dorsal atau lengkungan saraf, dimana semua berada di posterior tubuh. Secara anatomis, sumsum tulang belakang merupakan kumpulan sistem saraf yang dilindungi oleh ruas-ruas tulang belakang. Sumsum tulang belakang atau biasa disebut medulla spinalis ini, merupakan kumpulan sistem saraf dari dan Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 21 ke otak. Medulla spinalis dan batang otak membentuk struktur kontinu yang keluar dari hemisfer serebral dan memberikan tugas sebagai penghubung otak dan saraf perifer, seperti kulit dan otot (Pearce, 2002). Medulla spinalis tersusun dari 31 pasang saraf spinal, masing-masing segmen mempunyai satu untuk setiap sisi tubuh, terdiri atas 8 segmen servikal, 12 torakal, 5 lumbal, 5 sakral, dan 1 koksigis (Smeltzer & Bare, 2002). Masing-masing saraf spinal memiliki tugas masing-masing. Oleh karena itu, bila ada bagian yang mengalami cidera, maka akan mempengaruhi sistem saraf disekitarnya sehingga mengganggu fungsi yang dimilikinya. 2.4.1 Fungsi saraf-saraf Spinal Medulla spinalis bekerja secara sadar dan tak sadar (saraf otonom). Medulla spinalis yang bekerja secara sadar di atur oleh otak sedangkan sistem saraf tidak sadar (saraf otonom) mengontrol aktivitas yang tidak diatur oleh kerja otak seperti denyut jantung, sistem pencernaan, sekresi keringat, gerak peristaltik usus, dan lain-lain (Smeltzer & Bare, 2002). Selain itu, ia juga memungkinan jalan terpendek dari gerak refleks. Sehingga sumsum tulang belakang juga biasa disebut saraf refleks. Salah satu refleks yang diatur adalah refleks pada usus besar yakni gastrokolik. Refleks gastrokolik terjadi ketika makanan masuk lambung dan menimbulkan peristaltik di usus besar yang kemudian menyebabkan sensasi untuk defekasi (Pierce, 2002). Saraf-saraf otonom pada daerah sakral juga berfungsi dalam mengatur gerak otot sfingter pilorik pada lambung, ileokolik pada usus, uretra interna, dan kolon sehingga berperan dalam proses defekasi dan miksi (Pearce, 2002). Selain itu, serabut primer anterior pada saraf spinalis, kecuali yang timbul pada daerah torakal dan membentuk saraf interkostal, tersusun dalam empat plexus (jalinan) utama, yakni plexus servikalis, brakhialis, lumbo sakralis, lumbalis, dan sakralis (Pierce, 2002). Plexus servikalis berfungsi untuk pergerakan otot leher dan pergerakan diafragma. Plexus brakhialis melayani pergerakan lengan dan beberapa otot leher dan dada. Plexus Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 22 lumbo sakralis berfungsi dalam menyalurkan saraf – saraf yang utama untuk anggota tubuh bagian bawah. Plexus lumbalis berfungsi dalam pergerakan pergerakan otot-otot paha. Plexus sakralis melayani otot sebelah belakang paha dan semua otot di sebelah belakang dan depan dibawah lutut. Gambar 2.2 tulang belakang dan sistem saraf spinal (Sumber :Raven, 2005) 2.7 Fraktur Patologis Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang terjadi karena adanya tekanan pada tulang yang melebihi absorpsi tulang (Smeltzer & Bare, 2002). Fraktur dapat disebabkan oleh trauma langsung, misalnya karena benturan pada tulang dan mengakibatkan fraktur pada tempat itu, trauma tidak langsung, terjadi bilamana titik tumpul benturan dengan terjadinya fraktur Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 23 berjauhan, proses penyakit/ patologis, misalnya pada penyakit kanker dan riketsia, compresion force: klien yang melompat dari tempat ketinggian dapat mengakibatkan fraktur kompresi tulang belakang, atau pada muscle (otot): akibat injuri/sakit terjadi regangan otot yang kuat sehingga dapat menyebabkan fraktur (misal; elektrik shock dan tetani) (Smeltzer & Bare, 2020). Salah satu jenis fraktur adalah fraktur patologis. Fraktur patologis adalah fraktur yang disebabkan oleh proses penyakit, misalnya pada penyakit spondilitis tuberkulosis, kanker, riketsia (Cluett, 2008). Dampak yang disebabkan oleh fraktur patologis biasanya adalah terjadinya penekanan pada organ disekitar fraktur. Misalnya saja pada spondilitis tuberkulosis, adanya deformitas pada vertebrae menyebabkan terjadinya penekanan pada kolumna vertebrae atau hingga arkus vertebrae sehingga terdapat cidera pada bagian tersebut. Bila hal tersebut terjadi, maka dampaknya adalah terjadi hambatan produksi sel darah (jika penekanan di pembuluh darah) atau defisit neurologi (bila menekan sel saraf). 2.8 Keperawatan Perioperatif Operasi (perioperatif) merupakan tindakan pembedahan pada suatu bagian tubuh yang mencakup fase praoperatif, intraoperatif dan pascaoperatif (postoperatif), yang pada umumnya merupakan suatu peristiwa kompleks yang menegangkan bagi individu yang bersangkutan (Potter & Perry, 2002). Dengan demikian, keperawatan perioperatif merupakan tindakan/fungsi keperawatan yang berkaitan dengan perioperatif. 2.6.1 Pre Operatif Tahap pertama dari perawatan perioperatif adalah preoperative atau tahap sebelum operasi. Preoperatif dimulai sejak pasien diterima masuk di ruang terima pasien dan berakhir ketika pasien dipindahkan ke meja operasi untuk dilakukan tindakan pembedahan. Semua pemeriksaan (anamnesa, pemeriksaan fisik, laboratorium, radiologi, dan lain-lain) dilakukan Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 24 sebelum penderita dilakukan operasi. Perawatan pre operatif untuk pembedahan muskuloskeletal biasanya direncanakan dan diberikan waktu untuk mempersiapkan keadaan jasmani klien dan psikososial. Pre operatif dilakukan minimal satu hari sebelum operasi. Pre operatif sangat berperan untuk keselamatan pasien. Peran perawat dalam masa pre operatif diantaranya adalah memastikan kebersihan tubuh klien sebelum operasi, mengingatkan klien untuk puasa 8 jam sebelum operasi dan melakukan pengosongan lambung, dan memastikan klien tidak menggunakan perhiasan maupun alat bantu/ protese (Potter & Perry, 2002). 2.6.2 Intraoperatif Perawatan yang dilakukan pada intraoperatif ialah perawatan klien selama di ruang operasi (Smeltzer & Bare, 2002). Secara umum anggota tim dalam prosedur pembedahan ialah ahli bedah, dokter dan perawat anestesi, perawat sirkulasi, perawat scrub, dan asisten. Secara umum fungsi perawat di dalam kamar operasi disebut sebagai perawat scrub (instrumentator) dan perawat sirkulasi. Perawat scrub berfungsi sebagai penyedia instrument bagi ahli bedah. Perawat sirkulasi berperan mengatur ruang operasi, melindungi keselamatan dan kebutuhan pasien dengan memantau aktivitas anggota tim bedah, memeriksa kondisi di dalam ruang operasi, dan membantu memposisikan pasien pada posisi yang tepat (Potter & Perry, 2002). Salah satu hal yang perlu perawat dan seluruh tim perhatikan selama intraoperatif adalah komplikasi seperti perdarahan hebat (Potter & Perry, 2002). 2.6.2 Postoperatif Keperawatan post operatif adalah periode akhir dari keperawatan perioperatif (Smeltzer & Bare). Selama periode ini proses keperawatan diarahkan pada menstabilkan kondisi pasien, menghilangkan nyeri dan pencegahan komplikasi. Pengkajian yang cermat dan intervensi segera membantu pasien kembali pada fungsi optimalnya dengan cepat, aman dan nyaman. Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 25 Upaya yang dapat dilakukan diarahkan untuk mengantisipasi dan mencegah masalah yang kemungkinan mucul pada tahap ini. Memperhatikan asuhan keperawatan post operatif sama pentingnya dengan prosedur pembedahan itu sendiri. Beberapa peran perawat yang penting diantaranya adalah penanganan nyeri, mobilisasi dini, dan pencegahan infeksi (Potter & Perry, 2002). 2.6.2.1 Komplikasi Post Operasi a) Syok Syok yang terjadi pada pasien bedah biasanya berupa syok hipovolemik karena perdarahan pada tahap intraoperati. Tandatanda syok diantaranya adalah pucat, kulit dingin, basah, pernafasan cepat, sianosis pada bibir, gusi dan lidah, nadi cepat, lemah dan bergetar, penurunan tekanan darah, dan urine pekat (Smeltzer & Bare, 2002). Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan adalah kolaborasi dengan dokter terkait dengan pengobatan yang dilakukan seperti terapi obat, penggantian cairan per intravena dan juga terapi pernafasan. Status pernapasan dipantau melalui pemeriksaan gas darah arteri, fungsi pulmonal dan juga pemberian oksigen melalui intubasi atau nasal kanul. Intervensi mandiri keperawatan meliputi dukungan psikologis, pembatasan penggunaan energi, pemantauan reaksi pasien terhadap pengobatan, peningkatan periode istirahat, pencegahan hipotermi dengan menjaga tubuh pasien agar tetap hangat karena hipotermi mengurangi oksigenasi jaringan (Potter & Perry, 2002). Selain itu, melakukan perubahan posisi pasien tiap 2 jam dan mendorong pasien untuk melakukan nafas dalam penting untuk meningkatkan fungsi optimal paru, Pencegahan komplikasi dilakukan dengan memonitor pasien secara ketat selama 24 jam. Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 26 b) Perdarahan Penatalaksanaan perdarahan seperti halnya pada pasien syok. Selain itu pasien diberikan posisi terlentang dengan posisi tungkai kaki membentuk sudut 20 derajat dari tempat tidur sementara lutut harus dijaga tetap lurus (Smeltzer & Bare, 2002). Kemudian penyebab perdarahan harus dikaji dan diatasi. Luka bedah harus selalu diinspeksi terhadap perdarahan. Jika perdarahan terjadi, kassa steril dan balutan yang kuat dipasangkan dan tempat perdarahan ditinggikan pada posisi ketinggian jantung (Smeltzer & Bare, 2002). c) Trombosis vena profunda Trombosis vena profunda adalah trombosis yang terjadi pada pembuluh darah vena bagian dalam (Smeltzer & Bare, 2002). Komplikasi serius yang bisa ditimbulkan adalah embolisme pulmonari dan sindrom pasca flebitis. d) Retensi urin Retensi urin paling sering terjadi pada kasus-kasus pembedahan rektum, anus dan vagina.Penyebabnya adalah adanya spasme spinkter kandung kemih. Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan adalah pemasangan kateter untuk membatu mengeluarkan urine dari kandung kemih (Potter & Perry, 2002). e) Infeksi luka operasi Infeksi luka post operasi dapat terjadi karena adanya kontaminasi luka operasi pada saat operasi maupun pada saat perawatan di ruang perawatan. Pencegahan infeksi penting dilakukan dengan pemberian antibiotik sesuai indikasi dan juga perawatan luka dengan prinsip steril (Smeltzer & Bare, 2002). Selain itu, pemenuhan nutrisi adekuat terutama tinggi protein pun penting untuk disampaikan kepada pasien dan keluarga. Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 27 f) Embolisme Pulmonal Embolsime dapat terjadi karena benda asing (bekuan darah, udara dan lemak) yang terlepas dari tempat asalnya terbawa di sepanjang aliran darah. Embolus ini bisa menyumbat arteri pulmonal yang akan mengakibatkan pasien merasa nyeri seperti ditusuk-tusuk dan sesak nafas, cemas dan sianosis. Intervensi keperawatan seperti ambulatori pasca operatif dini dapat mengurangi resiko embolus pulmonal (Smeltzer & Bare, 2002). g) Komplikasi Gastrointestinal Komplikasi pada gastrointestinal paling sering terjadi pada pasien yang mengalami pembedahan abdomen dan pelvis.Komplikasinya meliputi obstruksi intestinal, nyeri dan juga distensi abdomen. Mobilisasi dini pun menjadi salah satu intervensi yang dapat dilakukan untuk mengatasi komplikasi pada gastrointestinal, terutama konstipasi. Namun, perawat perlu tahu apakah penyebab masalah hanya komplikasi operasi atau terjadi deficit neurologi. Konstipasi karena defisit neurologi seringkali terjadi pada pembedahan tulan belakang khususnya pada lokasi lumbal dan sakral (Pearce, 2002). 2.7 Mobilisasi Post Operasi Banyaknya komplikasi post operasi mengharuskan adanya manajemen post operasi di ruangan, salah satunya adalah dengan mobilisasi dini post operasi. Mobilisasi atau kemampuan seseorang untuk bergerak bebas merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang harus terpenuhi. Tujuan mobilisasi adalah memenuhi kebutuhan dasar (termasuk melakukan aktifitas hidup sehari-hari dan aktifitas rekreasi), mempertahankan diri (melindungi diri dari trauma), mempertahankan konsep diri, mengekspresikan emosi dengan gerakan tangan nonverbal (Potter & Perry, 2002). Mobilisasi dini post operasi menjadi hal penting karena dapat mencegah komplikasi post operasi diantaranya adalah mencegah thrombosis vena profunda, memulihkan fungsi Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 28 bowel dan distensi abdomen, mencegah kaku sendi dan kontraktur, serta meningkatkan status mental dan memotivasi pasien untuk sembuh (Siribaddana, 2009). Immobilisasi adalah suatu keadaan di mana individu mengalami atau berisiko mengalami keterbatasan gerak fisik. Mobilisasi dan immobilisasi berada pada suatu rentang. Immobilisasi dapat berbentuk tirah baring yang bertujuan mengurangi aktivitas fisik dan kebutuhan oksigen tubuh, mengurangi nyeri, dan untuk mengembalikan kekuatan (Potter & Perry, 2002). Namun imobilisasi dalam waktu yang lama, seperti tirah dapat menyebabkan individu mengalami kehilangan kekuatan otot rata-rata 3% sehari (atropi disuse (Potter & Perry, 2002). 2.8 Teknik Log Roll Teknik log roll adalah teknik mentransfer atau mengubah posisi pasien dengan gerakan mengangkat atau membalikkan punggung secara serentak guna mencegah cidera lebih lanjut pada vertebra. Teknik ini biasa dilakukan untuk menstabilisasi tulang belakang, dan sering digunakan pada pasienpasien dengan cidera vertebra. (Ghobrial, 2013). Prosedur log roll tidak dapat dilakukan oleh hanya satu orang, melainkan dua sampai 4 orang. Satu orang untuk memegang bagian kepala, orang kedua untuk bagian punggung, orang ketiga untuk bagian pinggang dan orang terakhir untuk bagian ekstremitas (Elliot, 2004). Hal terpenting dari prosedur log roll adalah kesejajaran tulang belakang serta mencegah adanya puntiran pada tulang belakang saat mengubah posisi (Royal National Orthopaedic Hospital, 2006). Teknik log roll juga diterapkan pada pasien post operasi tulang belakang karena prinsipnya adalah untuk tetap menstabilkan dan mencegah cidera post operasi. Berdasarkan pedoman rehabilitasi pada pasien post operasi stabilisasi tulang belakang di Royal National Orthopaedic Hospital (2006), pasien baru mencapai pemulihan dari rasa nyeri, tulang belakang kembali stabil, dan Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 29 mulai dapat beraktivitas seperti biasa dalam waktu 6-12 bulan. Selama itu pasien hendaknya tetap menjaga kesejajara dan kestabilan tulang belakang. Setelah lebih dari 12 bulan, pasien juga hendaknya tetap membatasi aktivitas dan memodifikasi beberapa aktivitas berat, diantaranya tidak mengangkat beban berat (untuk stabilisasi anterior) dan tidak mendorong atau menopang beban di punggung (untuk stabilisasi posterior) (RNOH, 2006). Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN Bab 3 ini membahas mengenai asuhan keperawatan pada Tn.I dengan fraktur patologis yang disebabkan oleh spondilitis tuberkulosis. Asuhan keperawatan meliputi pengkajian, masalah keperawatan dan intervensi, implementasi dan evaluasi disesuaikan dengan kondisi preoperasi dan post operasi. 3.1 Pengkajian 3.1.1 Data dan Riwayat Kesehatan Klien adalah Tn.I (No.RM: 1218447), laki-laki berusia 21 tahun dan belum menikah, lahir pada tanggal 11 Juni 1992. Klien masuk ruang rawat GPS Lantai 1 pada tanggal 24 April 2013 dengan diagnosa medis spondilitis tuberkulosis pada vertebra torakal IV hingga lumbal I. Selama pengkajian, sumber informasi berasal dari klien, keluarga klien (ayah dan ibu klien), dan rekam medis klien. Klien memiliki riwayat tuberkulosis paru pada tahun 2007 dan menjalani pengobatan dengan OAT 9 bulan namun tidak tuntas (putus obat sekitar 7 atau 8 bulan). Kemudian sekitar 3 tahun lalu sudah muncul pembengkakan kelenjar getah bening hingga mengeluarkan nanah (di sekitar leher). Sejak itu klien sakit-sakitan namun tidak pernah berobat ke RS. Kemudian sekitar 3 tahun lalu klien jatuh di sekolah, dan langsung tidak dapat berjalan selama 1 tahun. Selama itu klien hanya beraktivitas di rumah dengan bantuan keluarga. Setelah itu lama kelamaan terjadi pembesaran skrotum/ orchitis. Pembesaran sempat pecah dan mengeluarkan darah, namun kembali membesar dan lama kelamaan terasa nyeri. Jarak kurang lebih 3 bulan kemudian mulai muncul benjolan di tulang belakang. Pada mulanya kecil dan tidak terlalu mengganggu sehingga klien dan keluarga tidak melakukan apa-apa. Tapi berangsur- angsur tonjolan semakin besar hingga 37 Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 38 membuat tubuh klien melengkung. Meski begitu klien dan keluarga belum memeriksakannya ke dokter/ RS, namun hanya meminum obat ramuan Cina. Hingga akhirnya klien merasa sangat nyeri di bagian tonjolan tersebut saat digerakkan maupun hanya disentuh, sakit bertambah ketika dibawa berjalan. Rasa nyeri pun hampir dirasakan setiap waktu. Klien memiliki riwayat merokok sejak kelas 2 SMP hingga 2 SMA. Klien tinggal di pesantren (santri) sejak SMP. 3.1.2 Pengkajian Fisik a) Aktivitas/ istirahat Berdasarkan anamnesa dengan klien dan keluarga serta observasi aktivitas klien, klien mampu beraktivitas mandiri (ketergantungan minimal). Sebelum masuk ke RS, aktivitas klien adalah pelajar di sebuah pesantren (santri), klien mampu beraktivitas mandiri meski dengan keadaan tulang belakang yang mengalami skoliosis dan kifosis. Selama dirawat pun klien mandiri, seringkali klien tidak ditunggui oleh keluarga dan tetap mampu beraktivitas. Misalnya saja untuk memakai baju, klien biasanya memakai kemeja sehingga tidak perlu meminta bantuan orang lain dalam memakainkannya. Klien juga mampu makan sendiri, makan 3x/hari sesuai dengan porsi yang diberikan di ruangan. Klien terhitung sangat mandiri, dan sesuai penuturannya ia memang tidak ingin merepotkan anggota keluarga, terutama karena klien merupakan anak pertama dan memiliki 3 adik yang masih perlu perhatian orangtua. Karena kondisi fisiknya yang memang sudah lama (3 tahun) mengalami masalah tersebut, klien juga sudah mampu beradaptasi dan sangat menerima kondisinya. Klien cukup mandiri, namun aktivitas klien lebih banyak dihabiskan dengan duduk di kursi atau tempat tidur karena klien tidak terlalu kuat untuk berdiri lama. Hal ini karena kedua kaki sering mengalami kesemutan sejak muncul kifosis dan skoliosis. Selain itu klien juga Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 39 tidak mengalami masalah kesulitan tidur, namun posisi tidur tidak mampu telentang sepenuhnya, biasanya punggung harus disangga oleh bantal atau klien tidur dengan posisi miring atau duduk. Berdasarkan pemeriksaan langsung, kekuatan otot klien normal dan mampu bergerak maksimal, 5555 5555 5555 5555 Untuk ekstremitas, tidak ada masalah pergerakan, hanya untuk pergerakan tulang belakang klien sangat terbatas karena terdapat gibbus di tulang belakang sekitar torakolumbar. b) Sirkulasi Klien tidak memiliki riwayat penyakit hipertensi, masalah jantung, maupun diabetes. Hasil pemeriksaan tanda vital tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 82 x/menit, frekuensi pernapasan 18x/ menit, dan suhu 360C. Pada pemerisaan fisik jantung paru didapatkan inspeksi dada tampak dada kiri sedikit lebih menonjol kedepan (karena terdorong oleh gibbus di vertebrae) dan pengembangan dada kurang maksimal, inspirasi sedikit memendek, suara paru terdengar vesikuler, tidak ada ronhki, wheezing, maupun bronkial. Sementara pada pemeriksaan jantung tidak ditemukan suara abnormal, S1 dan S2 normal, tidak ada gallops ataupun murmur. Kondisi hidrasi klien tampak sedikit bermasalah, CRT < 3detik, warna lidah pink pucat, konjungtiva sedikit anemis, sklera tidak ikterik, turgor kulit lembab, tidak ada asites maupun distensi vena jugularis, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid. Namun kulit klien tampak pucat. Berdasarkan hasil laboratorium, klien cenderung mengalami anemia karena Hb hanya berkisar 9-10 g/dl, Hb terakhir adalah 10.2 g/dl dan jumlah eritrosit yang rendah yakni 4.35 juta/ul. Oleh karena itu pula klien harus menunggu perbaikan Hb terlebih dahulu sebelum menjalani operasi. Klien juga sering mendapatkan transfusi PRC pre operasi. Berdasarkan pemeriksaan hematologi klien juga didiagnosis Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 40 mengalami anemia mikrositik hipokrom. Kemungkinan hal ini juga diakibatkan oleh proses penyakit spondilitis dimana gibbus sudah sampai menekan sumsum tulang belakang yang salah satu fungsinya adalah produksi sel darah merah. c) Integritas Ego Klien mengatakan memikirkan penyakit yang sedang dideritanya saat ini, namun ia cukup mampu mengatasi emosinya tersebut sehingga klien tampak selalu tenang dan kooperatif. Namun, klien mengatakan cemas dengan tindakan operasi yang akan dilakukan. Klien mengatakan ini merupakan pertama kalinya klien melakukan operasi. Klien mengatakan sebelumnya sudah pernah dijelaskan tentang prosedur yang akan dilakukan. Dokter mengatakan klien akan menjalani prosedur pembedahan tulang belakang agar bentuknya kembali lurus dan tidak ada benjolan, namun tidak dijelaskan terkait anestesi dan efek yang akan dirasakan setelah operasi. d) Eliminasi Klien mampu melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri, termasuk dalam memenuhi kebutuhan eliminasi. Biasanya, klien defekasi 1x setiap hari, dilakukan di kamar mandi. Klien mengatakan defekasi tidak sakit, feses lunak, kuning kecoklatan, dan tidak ada darah. Begitu pula dengan miksi, klien melakukannya sendiri hanya sesekali mengeluhkan nyeri saat buang air kecil karena klien juga mengalami pembesaran pada testis akibat infeksi sekunder dari TB yang sudah menyebar (milier). Biasanya klien BAK >5 kali setiap hari, urin encer, berwarna kuning jernih. e) Makanan dan Cairan Diit biasa 3x/hari porsi, tidak ada keluhan muntah dan mual, gangguan menelan, maupun alergi terhadap makanan tertentu. Sebelum masuk rumah sakit, klien makan 3x per hari. Hasil pemeriksaan berat badan Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 41 klien 47 kg dengan tinggi badan 167 cm. Sehingga didapatkan IMT klien 16.9 dan termasuk kedalam golongan berat badan kurang. f) Higiene Aktifitas sehari-hari dilakukan secara mandiri. Saat ini klien masih dapat beraktivitas seperti biasa meskipun memiliki kelainan tulang belakang. Penampilan umum klien bersih, tidak ada bau badan, pakaian sesuai dengan kondisi/keadaan. g) Neurosensori Klien mengatakan tidak ada keluhan sakit kepala. Tidak ada gangguan pendengaran, hanya sering merasa kesemutan pada kedua ekstremitas bawah. Hasil pemeriksaan menunjukkan status mental/ tingkat kesadaran klien adalah compos mentis (CM). Klien masih terorientasi waktu, tempat dan orang. Klien dapat dapat mengingat memori jangka panjang (riwayat klien masuk RS) dan riwayat jangka pendek. Reaksi pupil baik. Klien tidak menggunakan alat bantu penglihatan. Penggunaan alat bantu dengar tidak ada. h) Nyeri/ Ketidaknyamanan Saat pengkajian dilakukan, klien hanya mengeluhkan rasa nyeri yang terus-menerus muncul di daerah punggung. Saat punggung klien diraba, klien tampak meringis dan mengatakan sakit. Rasa nyeri yang dirasakan rata-rata berada pada skala 2-4, masih bisa ditahan. Untuk rasa nyeri ini klien mendapatkan terapi medikasi nonflamin capsule 3x1. i) Pernapasan Saat dilakukan pengkajian, klien mengatakan tidak merasakan sesak, namun rasa sesak sesekali muncul. Klien juga mengatakan ada keluhan batuk dan sulit bernapas panjang (karena deformitas vertebra torakal). Klien memiliki riwayat perokok berat (sejak kelas 2 SMP – 2 SMA), namun sejak sakit dan masuk RS klien sudah tidak merokok. Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 42 Pada pemeriksaan tanda vital didapatkan frekuensi napas klien adalah 18x/ menit, nafas cuping hidung tidak ada. Penggunaan otot bantu nafas tidak ada. Dada kiri sedikit lebih membusung ke depan. Tidak ada sianosis. Auskultasi dilakukan dengan mendengarkan suara pernapasan diperoleh hasil suara nafas vesikuler. j) Keamanaan Klien dapat berakitivitas secara normal hanya tidak seaktif orang sehat. Klien masih mampu berjalan-jalan dan tidak menggunakan alat bantu. Alergi terhadap obat tidak ada. Tonus otot baik. Rentang gerak tulang belakang terbatas, tampak skoliosis dan kifosis. k) Seksualitas Klien belum menikah. Pada skrotum sedikit terdapat pembesaran karena orchitis (infeksi sekunder TB yang metastase hingga ke saluran reproduksi). l) Interaksi Sosial Klien berusia 21 tahun, namun sudah tidak melanjutkan pendidikans emenjak sakit. Klien anak pertama dari empat bersaudara. Klien berhubungan baik dengan orangtua dan seluruh adiknya. Hal ini dapat dilihat dari keseharian klien selama dirawat, orangtua dan adik bergantian menjaga klien. Selain itu, klien pun cukup kooperatif dengan perawat maupun mahasiswa. Dengan sesame pasien satu ruangan pun klien saling mengenal dan sering bercengkerama. m) Penyuluhan dan pembelajaran Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 43 Bahasa dominan klien adalah bahasa Indonesia. Klien mampu membaca dan menulis, tingkat pendidikan terakhir klien adalah SLTP. Klien mengetahui tentang penyakit yang dialaminya 3.2 Masalah dan Intervensi Keperawatan Berdasarkan hasil pengkajian dari anamnesa dan pengkajian fisik sebelum klien menjalani operasi, dapat ditemukan beberapa masalah keperawatan yang muncul pada klien. Masalah keperawatan pertama yang aktual adalah nyeri kronik berhubungan dengan deformitas tulang belakang. Rasa nyeri yang dirasakan merupakan akibat dari terjadinya penekanan pada tulang belakang karena gibbus atau penonjolan akibat dari bakteri tuberkel yang sudah menyebar hingga ke sumsum tulang belakang. Skala nyeri yang dirasakan klien berkisar 2-4, dan masih tertahankan. Biasanya bila tiba-tiba klien merasakan nyeri, klien cukup melakukan istirahat hingga rasa nyeri nantinya hilang sendiri. Berdasarkan masalah nyeri tersebut, intervensi yang dilakukan adalah mengajarkan klien manajemen nyeri dengan teknik relaksasi napas dalam. Tujuan dari intervensi diharapkan klien dapat merespon nyeri dengan relaksasi dan melaporkan penurunan rasa nyeri setelah melakukannya. Manajemen nyeri relaksasi napas dalam adalah metode menurunkan nyeri tanpa medikasi (analgetik). Manajemen nyeri diajarkan kepada klien sesuai prosedur yang tepat, yakni menarik napas dari hidung kemudian menahannya dan menghembuskannya perlahan. Tarik napas dilakukan dalam tiga kali hitungan atau hingga klien merasa nyaman. Masalah keperawatan kedua adalah resiko cidera berhubungan dengan keterbatasan gerak dan anemia. Berdasarkan buku diagnosa NANDA (NANDA, 2012), masalah resiko cidera adalah bagaimaan individu beresiko mengalami cidera karena kondisi lingkungan berinteraksi dengan kondisi fisik individu/ internal yang kurang baik. Sementara pada Tn.I, masalah ini tegak berdasarkan adanya masalah deformitas vertebra disertai dengan anemia dan Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 44 kondisi imunitas yang buruk, albumin cenderung rendah (nilai albumin 3.30 gr/dl, Laju Endap Darah (LED) meningkat hingga 100mm dan globulin mencapai 4.10 gr/dl), serta infeksi TB yang sudah menyebar. Padahal klien harus memiliki kondisi yang baik sebelum menjalani operasi, jika tidak kemungkinan cidera benar terjadi saat operasi sangat tinggi. Oleh karena itu, intervensi yang diberikan bertujuan untuk memperbaiki kondisi internal/ fisik klien serta mencegah cidera dengan memperingatkan klien untuk memasang bedsite rail setiap kali klien tidur, atau berhati-hati saat beraktivitas dan meminta bantuan jika memang tidak mampu. Serta menasehati klien agar rutin meminum obat oral yang diberikan serta meningkatkan intake nutrisi adekuat. Intervensi kolaborasi pemberian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) pun diberikan untuk menekan invasi bakteri TB agar tidak semakin meluas. Sementara masalah yang muncul setelah operasi adalah kekurangan volume cairan, hambatan mobilitas fisik, dan resiko infeksi. Masalah hambatan mobilitas fisik didefinisikan sebagai keterbatasan pergerakan baik pada seluruh tubuh maupun pada satu atau lebih ekstremitas (NANDA, 2012). Pada Tn.I, masalah ini tegak berdasarkan adanya keterbatasan gerak pada kedua ekstremitas bawah, terutama bagian kanan. Selain itu adapun kecemasan atau kekhawatiran klien untuk mobilisasi karena rasa nyeri post operasi dan adanya alat yang dipasang didalam tubuh. Intervensi yang diberikan bertujuan agar klien mampu melaksanakan aktivitas fisik sesuai dengan kemampuannya. Kriteria hasil yang diharapkan adalah klien dapat ikut serta dalam program latihan, tidak terjadi kontraktur sendi, bertambahnya kekuatan otot, dan klien menunjukan tindakan untuk meningkatkan mobilitas. Beberapa intervensi yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut, diantaranya adalah ubah posisi dan ROM pasif serta aktif asistif dilakukan untuk meningkatkan kemampuan mobilisasi dan mencegah komplikasi post operasi/ imobilisasi. Dalam melakukan intervensi ini, mahasiswa dibantu oleh perawat ruangan dan keluarga untuk mengubah posisi karena pengubahan posisi harus tetap mempertahan stabilisasi pada tulang belakang. Oleh karena Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 45 itu, teknik log roll dilakukan dalam mempertahankan itu. Selain itu, jumlah bantal yang mencukupi pun menjadi hal yang penting untuk mencegah penekanan atau gesekan pada tonjolan tulang. Sementara untuk pelaksanaan ROM, mahasiswa melakukannya dengan hati-hati dan bertahap sesuai dengan kemampuan klien. Masalah keperawatan selanjutnya adalah kurang volume cairan. Berdasarkan NANDA (2012), masalah kurang volume cairan adalah kondisi dimana terjadi penurunan jumlah cairan intravaskuler, interstisial, dan / atau intraseluler. Tegaknya maslah ini pada Tn.I karena ia memiliki riwayat perdarahan intraoperasi mencapai 3 Liter dan hingga post operasi hari ke-tiga, klien masih terus mendapatkan transfusi sel darah merah karena nilai Hb yang juga masih rendah dan drainase masih produktif (400 cc). Untuk masalah ini, intervensi yang dilakukan adalah kolaborasi transfuse sel darah merah dan albumin 20%. Sementara intervensi mandiri adalah dengan memotivasi klien dan mengingatkan keluarga agar klien mendapatkan nutrisi dan cairan adekuat, terutama intake tinggi zat besi (memastikan klien makan habis dan minum air 1,5-2 liter setiap hari) dan mengobservasi tanda vital dan status hidrasi dan keseimbangan cairan klien. Masalah ketiga adalah resiko infeksi. NANDA (2012) menyebutkan bahwa resiko infeksi merupakan kondisi dimana individu beresiko terserang organisme patogen. Masalah ini diangkat pada Tn.I berdasarkan adanya luka operasi pada tulang belakang sepanjang 35 centimeter. Perlukaana pada tubuh merupakan jalur masuknya bakteri dan organism pathogen yang berasal dri lingkungan. Selain itu kondisi fisik klien yang juga sudah memiliki masalah diantaranya adalah anemia, serta albumin yang menurun akan meningkatkan resiko klien terserang infeksi. Berdasarkan hal tersebut, intervensi yang dilakukan diantaranya adalah melakukan perawataan luka rutin dengan teknik steril (setiap 2 hari sekali atau segera bila ada rembes) serta membalut luka dengan balutan kering steril dan Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 46 sufratul. Selain itu, klien dan keluarga pun diberika pendidikan kesehatan terkait pentingnya meningkatkan intake nutrisi terutama tinggi protein, salah satunya adalah dengan memakan telur rebus (bagian putihnya saja) 2-3 butir setiap kali makan. Hal ini karena putih telur mengandung protein: albumin yang merupakan zat penting bagi pembentukan kolagen dan jaringan baru sehingga baik untuk penyembuhan luka. 3.3 Impelementasi dan Evaluasi Masalah keperawatan yang muncul saat klien belum menjalani operasi adalah nyeri kronik dan resiko cidera/ injuri. Sedangkan masalah keperawtan post operasi adalah kurang volume cairan, hambatan mobilitas fisik, dan resiko infeksi. Berdasarkan masalah tersebut, implementasi yang dilakukan kepada klien saat sebelum operasi, diantaranya adalah dengan memberikan edukasi kepada klien dan keluarga terkait persiapan – persiapan operasi termasuk didalamnya adalah manajemen nyeri serta pentingnya meningkatkan asupan nutrisi adekuat termasuk bahan-bahan makanan tinggi zat besi dan protein guna meningkatkan imunitas tubuh dan memenuhi kebutuhan nutrisi tubuh serta membantu pembenutkan kondisi fisik yang vit sehingga siap untuk menjalani operasi Implementasi pertama dilakukan pada tanggal 8 Mei 2013 hingga seterusnya selama masa perawatan pre operasi (14 Mei 2013), yakni menjelaskan kepada klien dan keluarga mengenai pentingnya menjaga keamanan klien termasuk mencegah klien jatuh dengan selalu memasang bed site rail setiap klien tidur atau menasehati aagr klien berhati-hati dalam beraktivitas serta meminta bantuan bila memang tidak mampu melakukan suatu hal. Setelah implementasi dilakukan sampai enam hari (sampai klien menjalani operasi) klien tidak mengalami cidera apapun, tidak jatuh maupun terjadi perburukan kondisi. Kondisi Hb klien pun berangsur membaik, hingga mencapai 11 gr/dl menjelang operasi. Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 47 Implementasi untuk masalah keperawatan kedua efektif dilakukan bersamaan dengan edukasi persiapan operasi, yakni pada tanggal 13 dan 14 Mei 2013. Dalam edukasi tersebut, manajemen nyeri berupa relaksasi napas dalam diajarkan kepada klien. Selain itu, beberapa teknik relaksasi lainnya pun disebutkan kepada klien, diantaranya adalah dengan mendengarkan music ataupun membayangkan hal-hal yang indah atau menyenangkan. Namun keduanya tidak dipraktekkan. Evaluasi dari tindakan yang diberikan adalah klien merasa lebih nyaman saat melakukan relaksasi napas dalam, hati sedikit lebih lega, dan rasa nyeri berkurang. Klien juga mengatakan senang mendengarkan musik dan akan mencoba nanti setelah operasi bila nyeri memang tidak tertahankan. Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital juga berada dalam rentang normal, yakni TD 110/80 mmHg, Nadi 84 kali per menit, RR 20 kali per menit, suhu 36,5 0C. Selain itu, klien dapat melakukan teknik nafas dalam dengan benar. Ekspresi wajah klien pun tenang dan tidak menunjukkan tanda-tanda ketegangan. Selain manajemen nyeri, persiapan lainnya sebelum operasi juga dijelaskan kepada klien dan keluarga, diantaranya adalah persiapan fisik berupa konsul-konsul dokter jantung, paru, anestesi, puasa 8 jam sebelum operasi, membersihkan diri, dan melepaskan perhiasan sebelum masuk ruang operasi, dan lain sebagainya. Penjelasan mengenai operasi yakni debridement dan stabilisasi pun diberitahukun secara singkat dengan bahasa yang mudah klien pahami, misalnya operasi nantinya berupa pengangkatan benjolan pada tulang belakang dan mereposisi tulang belakang agar kembali normal dengan pemasangan implant/ stabilisasi seperti kawat. Selain itu selama operasi klien tidak akan merasakana sakit karena telah dibius/ diberikan anestesi total. Kemudian setelah operasi efek anestesi mungkin masih akan dirasakan sampai 6 jam post operasi. Setelahnya klien mungkin baru akan merasakan nyeri dan saat itulah manajemen nyeri dapat klien lakukan, tentu disertai dengan obat nyeri yang sudah diprogram. Mahasiswa juga menjelaskan hal-hal yang perlu diperhatiakan operasi, Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 48 diantaranya adalah makan dan minum bila sudah flatus serta mobilisasi dini 6-12 jam post operasi untuk mencegah komplikasi operasi. Evaluasi dari tindakan edukasi ini diantaranya adalah klien merasa lebih paham dan lebih tenang untuk menghadapi operasi. Wajah klien pun tampak memahami dan tidak merengut. Implementasi post operasi mulai dilakukan pada tanggal 17 Mei 2013, hari ketiga post operasi akrena klien masuk ICU selama dua hari post operasi. Implementasi post operatif yang dilakukan meliputi implementasi untuk diagnosa kurang volume cairan, hambatan mobilitas fisik, dan resiko infeksi. Ketika sampai ruangan pada tanggal 17 Mei pukul 15.00, pemeriksaan tanda vital dilakukan dan didapatkan hasil tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 65x/menit, frekuensi pernapasan 20x/menit, serta suhu tubuh 370C. Selain itu, keseimbangan cairan pun diukur, dengan memperhitungkan intake dan output. Evaluasi dari tindakan ini adalah cairan keluar terdiri atas urin produksi 500, drainase (darah) produksi 400, dan cairan infuse RL masuk 500ml/8 jam. Implementasi kedua merespon masalah keperawatan hambatan mobilitas fisik. Untuk masalah ini, mahasiswa membantu klien dan keluarga dalam mengubah posisi klien setiap dua jam serta melakukan ROM pasif dan aktif asistif. Selain itu, klien dan keluarga juga diberi penjelasan mengenai manfaat mengubah posisi dan melakukan ROM (pasif pada kaki kanan dan aktif asistif pada kaki kiri), diantaranya adalah untuk mencegah munculnya masalah baru setelah operasi seperti luka yang tiak sembuh karena selalu tertekan, konstipasi, hingga kekauan dan pengecilan masa otot. Selama tindakan dilakukan, mahasiswa melakukannya dengan hati-hati karena kondisi klien yang masih cukup lemas, kekhawatirannya masih tinggi terutama terkait lat yang dipasang dan rasa nyeri/ linu pada luka operasi. Oleh karena itu, pemantauan skala nyeri juga dilakukan setiap tindakan. Pemberian analgetik dilakukan dengan melakukan kolaborasi tindakan dengan dokter. Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 49 Evaluasi dari implementasi ubah posisi dan ROM adalah klien merasa masih lemas, kaki masih kesemutan, punggun pun begitu, masih sangat linu dan kebas. Namun dengan teknik yang benar (log roll) klien mengatakan nyaman dengan posisi miring (miring kiri), wajah klien pun tampak tidak meringis. Klien miring dengan ditopang oleh lima buah bantal, yakni 1 untuk kepala, 2 untuk menyangga punggung, 1 diapit di antara kedua paha dan 1 diapit diatanra kedua tungkai bawah (tibia). Pelaksanaan intervensi ini dilakukan terus menerus hingga tanggal 20 Mei 2013 dan hasilnya tidaka muncul komplikasi dari imobilisasi, luka klien pun cepat kering, hingga tanggal 22 siang klien sudah dipindahkan ke ruang rehabilitasi. Impementasi terakhir adalah terkait resiko infeksi, yang difokuskan pada perawatan luka dengan teknik streril dan balutan kering steril disertai sufratul. Perawatan luka dilakukan pada tanggal 18 Mei, 20 Mei, dan 22 Mei 2013 (setiap dua hari sekali). Selama perawatan luka, luka dibersihkan menggunakan cairan NaCl dan pada akhirnya dikeringkan lalu ditutup dengan sufratul dan kasa steril kering. Evaluasi dari implementasi ini adalah luka kering, tidak ada pus ataupun kemerahan di sekitar luka, serta drainase sudah dilepas pada tanggal 20 mei karena produksi sudah minimal. Ada tanggal 20 Mei 2013, klien sudah direncanakan untuk pindah ke ruang rehabilitasi agar pemulihan lebih maksimal. Oleh karena itu, mahasiswa melakukan discharge planning yang diberikan meliputi konsumsi cairan minimal delapan gelas per hari, makan buah dan sayuran terutama kaya zat besi dan protein, menghindari merokok ,serta melanjutkan minuman obatobat yang diresepkan serta melanjutkan OAT. Selain itu, penjelasan tentang komplikasi yang mungkin terjadi seperti adanya darahatau nanah pada luka post operasi. Klien juga diberikan penjelasan tentang perubahan posisi yang sebaiknya dilakukan adalah dengan tetap menjaga kesejajaran tulang belakang ataua menjaganya tetap stabil. Selain itu, karena klien akan melanjutkan perawtan di ruang rehabilitasi, klien dijelaskan bahwa disana Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 50 klien akan mendapatkan alat untuk tetap menjaga kondisi tulang belakang lurus dan stabil, yakni brace. Dengan pemakaian brace ini, aktivitas klien akan lebih terbantu karena bahan brace yang kuat dan tegas akan mebantu fiksasi tulang belakang dan mencegah cidera serta membantu tulang kembali ke posisi normal hingga pulih sempurna. Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 BAB 4 ANALISA MASALAH Bab 4 merupakan bab pembahasan berupa analisa masalah. Analisa yang disampaikan terdiri atas analisa kasus spondilitis tuberkulosis dengan keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan, analisa asuhan keperawatan pada pasien spondilitis tuberkulosis pre dan post operasi, dan terakhir adalah analisa intervensi mobilisasi dini dengan teknik log roll yang diterapkan pada Tn.I dengan post operasi stabilisasi dengan disertai penelitian-penelitian yang menunjang. 4.1 Analisa Keperawatan Kesehatan Masalah Perkotaan terkait Kasus Klien adalah Tn.I, laki-laki berusia 21 tahun. Berdasarkan konsep agregat, klien termasuk kedalam agregat dewasa awal (Potter & Perry, 2002). Sesuai dengan tahapan tumbuh kembang, dewasa awal adalah kelanjutan dari tahap kembang remaja. Individu dianggap matang dan dewasa ketika ia telah mencapai keseimbangan secara fisik, jiwa, maupun sosial. Sesuai dengan pendapat Nies dan McEwen (2007), bahwa masalah yang paling sering terjadi pada individu dewasa awal, terutama pria, adalah masalah – masalah karena penggunaan NAPZA maupun alkohol, rokok termasuk didalamnya. Hal inilah yang juga terjadi pada Tn.I, ia mengaku sudah aktif merokok sejak usia 13 tahun (kelas 2 SMP) hingga usia 17 tahun (kelas 2 SMA) dan baru berhenti sejak sakit. Kebiasaan merokok mengakibatkan berbagai masalah kesehatana, terutama pada saluran pernapasan, salah satunya adalah penyakit tuberkulosis paru (TB). Berdasarkan laporan WHO dalam Global Tuberculosis Control 2010, pada tahun 2009 Indonesia menempati posisi kelima untuk kejadian TB dengan jumlah penderita TB sebesar 429 ribu orang, setelah India, Cina, Afrika Selatan, dan Nigeria. dan Indonesia (Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesi/ PPTI, 2012). Tingginya angka TB di Indonesia disinyalir karena banyaknya faktor resiko yang dimiliki oleh Indonesia, salah satunya adalah luasnya wilayah perkotaannya yang turut menyumbangkan 44 Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 45 faktor-faktor penyebab TB tersebut, diantaranya adalah jumlah perokok yang tinggi, tempat tinggal padat dan kumuh, serta polusi udara yang tinggi (PPTI, 2013). Sejalan dengan hal tersebut, selain merokok, Tn.I pun merupakan penduduk wilayah perkotaan yang setiap harinya hampir selalu terpapar dengan faktor-faktor tersebut. oleh karena itu, berawal dari banyaknya faktor resiko, akhirnya Tn.I merupakan salah satu individu yang beresiko. Berdasarkan konsep resiko dan kerentanan yang berkaitan dengan munculnya masalah kesehatan, hampir setiap individu merupakan individu beresiko terhadap masalah kesehatan karena dikelilingi oleh faktor-faktor, hanya saja masing-masing mungkin berbeda terhadap masalah kesehatan tertentu karena faktor spesifik yang berbeda pula (Allender, 2010). Tn.I sebagai penduduk perkotaan termasuk kedalam individu beresiko mengalami tuberkulosis karena sehari-sehari terpapar dengan faktor resiko. Namun, Tn.I ternyata tidak hanya beresiko tapi lebih rentan mengalami tuberkulosis. Kerentanan mengarah kepada bagaimana individu atau sekelompok orang lebih mudah mengalami masalah kesehatan tertentu dan nantinya mendapatkan hasil/ dampak lebih serius karena akumulasi terpajan banyak fakto resiko (Stanhope & Lancaster, 2004). Allender (2010) juga sependapat bahwa dalam masyarakat ada kelompok yang lebih dari beresiko, tapi rentan terhadap masalah kesehatan karena memiliki faktor (kombinasi faktor) yang memperberat kondisi kelompok tersebut, misalnya saja faktor kemiskinan atau status ekonomi rendah. Tn.I berasal dari keluarga yang sederhana, tidak berkecukupan. Ayahnya hanya seorang wiraswasta yang berpenghasilan seadanya, sementara ibunya hanya ibu rumah tangga. Perekonomian keluarga yang serba tidak berkecukupan membuat keluarga tidak memiliki simpanan lebih untuk biaya yang tidak terduga, misalnya saja biaya ke pelayanan kesehatan. Hal tersebut yang kemudian terjadi pada Tn.I, dimana gejala penyakit sudah muncul sejak tahun 2007 namun tidak ada usaha dari keluarga untuk membawanya ke pelayanan kesehatan. Tn.I juga menuturkan bahwa dirinya sudah merasakan Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 46 gejala sakit sejak tahun 2007 namun keluarga hanya memberikan obat ramuan Cina. Berdasarkan hal tersebut, Tn.I yang awalnya beresiko, menjadi lebih rentan, karena faktor tidak ada perawatan atau sebatas pemeriksaan yang dilakukan hingga akhirnya masalah sudah semakin serius, keluarga baru pergi ke pelayanan kesehatan. Akhirnya ketika sudah muncul gejala komplikasi yakni perubahan struktur tulang belakang karena spondilitis tuberkulosis, Tn.I datang ke RS Fatmawati dan diberikan perawatan hingga pembedahan. Harga yang dibayar menjadi sangat mahal karena ia menjadi harus menghentikan seluruh aktivitas nya selama masa perawatan di rumah sakit dan setelah operasi pun, ia perlu membatasi aktivitas terutama untuk aktivitas berat. 4.2 Analisa Asuhan Keperawatan Kasus Pasien adalah Tn.I dengan spondilitis TB. Tn.I masuk RS pada tanggal 24 April 2013, itu berarti sudah 12 hari ia dirawat di ruang bedah orthopedi ini. Klien pada mulanya masuk dengan keluhan nyeri yang teramat sangat pada daerah punggung, punggung sudah mengalami perubahan bentuk yakni kifosis dan skoliosis. Klien masuk dari Instalasi Gawat Darurat (IGD), ketika itu klien hanya mendapat tindakan injeksi analgetik yakni ketorolax. Ketika dilakukan pengkajian di IGD, klien datang sudah dalam keadaan terdapat perubahan struktur tulang belakang. Berdasarkan hasil pengkajian awal, Look (L), Feel (F) and Movement (M) didapatkan bahwa secara inspeksi (L) terdapat gibbus atau penonjolan di vertebra torakalis, serta deformitas tulang vertebra yakni tampak kifosisdan skoliosis. Sementara saat dipalpasi (F) teraba adanya penonjolan tulang, keras, dan nyeri tekan positif sepanjang penonjolan dan deformitas (sepanjang vertebra torakalis), dan secara pergerakan, mobilisasi tulang belakang sangat terbatas, kemampuan klien untuk membungkuk sangat terbatas, klien juga tidak mampu berbaring telentang, biasanya ia berbaring lateral kanan/ kiri atau lebih sering duduk. Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 47 Berdasarkan anamnesa dengan klien dan melihat status rekam medik klien, perubahan bentuk tulang belakang sudah ia alami sejak kurang lebih 3 tahun lalu, pada mulanya hanya muncul benjolan kecil dan tidak mengganggu, tapi lama kelamaan membesar hingga mengakibatkan tubuhnya melengkung dan nyeri sekali, bahkan untuk hanya dipegang. Berdasarkan hasil pemeriksaan awal dan anamnesa kepada klien, masalah deformitas tulang belakang berupa gibbus merupakan salah satu manifestasi klinis dari spondilitis tuberkulosis. Namun hal ini masih perlu ditunjang dengan beberapa pemeriksaan diagnostic yang terkait. Untuk itu, pemeriksaan diagnostik juga dilakukan pada klien, diantaranya adalah tes BTA untuk penegakan diagnosis Tb sebagai penyebab utama. Hasil dari BTA, ketiga pemeriksaan menyakatakan bahwa BTA aktif. Sesuai dengan penelitian Moesbar (2006), BTA aktif merupakan salah satu tanda bahwa sesorang menderita tuberkulosis. Kemudian pemeriksaan selanjutnya untuk mendukung diagnostik adalah rontgen dada, rontgen tulang belakang, MRI tulang belakang. Hasil dari rontgen dada menyimpulkan bahwa pada paru klien terdapat bercak infiltrat suprahiler bilateral paracardial. Sedangkan hasil rontgen tulang belakang (radiografi vertebra torakal) klien menyatakan bahwa terdapat kifosis kurvatura torakal dengan apeks pada thorakal 12, kolaps korpus vertebra thorakal 11 dan 12 dengan kompresi korpus thorakal 10 dan lumbal 1, penyempitan ireguler dan sklerotik diskus intervertebralis thorakal 10-11 sampai dengan thorakal 12 dan lumbal 1, serta suspek paravertebra mass setinggi thorakal 7 sampai dengan lumbal 2. Berdasarkan hasil rontgen ini, diagnosis spondilitis dapat ditegakkan pada klien. Penonjolan tulang atau gibbus, kifosis, merupakan beberapa manifestasi klinis dari spondilitis tuberkulosis (Moesbar, 2006) merupakan komplikasi dari tuberkulosis. Salah satu komplikasi yang paling sering muncul dari tuberkulosis adalah spondilitis dimana infeksi sudah mencapai tulang belakang atau biasa dikenal pula dengan TB tulang (PPTI, 2013). Spondilitis tuberkulosisadalah inflamasi pada tulang vertebrae yang bisa disebabkan oleh Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 48 beberapa hal, misalnya adalah proses infeksi dan penurunan imunitas. Salah satu penyebab spondilitis yang paling sering terjadi adalah infeksi tuberkulosis yang sudah bermetastase ke tulang belakang (Moesbar, 2006). Hal yang perlu diperhatikan pada kasus-kasus spondilitis tuberkulosis adalah lokasi vertebra yang terkena karena ia akan mempengaruhi fungsi saraf pada lokasi tersebut. Sesuai dengan pendapat Garg dan Somvanshi (2011), fraktur pada vertebra karena spondilitis dapat menyebabkan kompresi pada vertebra yang kemudian mengakibatkan defisit neurologi, misalnya saja kelumpuhan atau masalah pada saluran pencernaan. Pendapat yang sama disampaikan oleh Pearce (2002) pun menyebutkan bahwa cidera atau gangguan pada vertebra akan mempengaruhi sarap spinal disekitarnya dan gangguan pada vertebra torakal dan lumbal mengakibatkan paralisis otot interkostal (vertebra torakal) dan dan paralisis pada abdomen, otot-otot kedua ekstremitas bawah, serta sfingter uretra dan rektum. Dari hasil pemeriksaan melalui MRI, kompresi terjadi pada korpus vertebra torakal. Seharusnya bila memang bagian torakal terkena, masalah kesulitan pernapasan dan pergerakan pada ekstremitas atas akan muncul karena plexusbrakhialis pada torakal akan terganggu. Plexus brakhialis berfungsi melayani pergerakan otot dada, leher, dan lengan (Pierce, 2002). Namun, justifikasi yang bisa diangkat kemungkinan kompresi tidak sampai menekan medulla spinalis, hanya pada badan atau korpus vertebra sehingga tidak ada defisit neurologi khususnya ppada fungsi terkait. Sesuai dengan pendapat Moesbar (2006), bahwa tidak selalu spondilitis menimbulkan defisit neurologi. Hanya saja, berdasarkan hasil anamnesa dengan klien, ia sering mengalami kesemutan pada ekstremitas bawah sehingga sering tidak kuat untuk berjalan dan pernah ada riwayat jatuh tiba-tiba saat di sekolah. Bila seperti itu kemungkinan cidera terjadi pada vertebra lumosakral karena disana terdapat plexus lumbosakralis yang berfungsi melayani pergerakan otot ekstremiats bawah terutama bagian paha. Hasil pemeriksaan MRI: kompresi korpus thorakal 10 dan lumbal 1, penyempitan ireguler dan sklerotik diskus Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 49 intervertebralis thorakal 10-11 sampai dengan thorakal 12 dan lumbal 1, serta suspek paravertebra mass setinggi thorakal 7 sampai dengan lumbal 2 menunjukkan bahwa memang ada masalah pada vertebra lumbal. Kemungkinan inilah penyebab seringnya klien mengalami parastesia atau kesemutan. Namun, kesemutan tidak selalu klien rasakan sehingga klien tetap mampu beraktivitas sehari-hari mandiri. Berdasarkan hasil pengkajian, beberapa masalah keperawatan yang muncul pada klien sebelum menjalani operasi adalah nyeri kronik berhubungan dengan inflamasi tulang belakang, dan resiko cidera berhubungan dengan deformitas tulang belakang dan anemia. Sementara masalah keperawatan post operasi adalah kurang volume cairan, hambatan mobilitas fisik, dan resiko infeksi. Kondisi klien post operasi, saat kembali ke ruangan, pada 17 Mei 2013, kesadaran compos mentis, tanda vital: Tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 80x/menit, RR 20x/ menit, suhu 37. Klien memiliki riwayat perdarahan itraoperatif sebanyak 3-4 liter, ditransfusi sebanyak 20 kantong, dan sat ini Hb 8,3 gr/dl. Kondisi penurunan Hb serta yang sangat drastis ini selain karena prosedur operasi, adalah karena masalah anemia mikrositik hipokrom yang dimiliki oleh klien. Anemia mikrositik hipokrom merupakan anemia yang ditandai dengan defisiensi besi yang menahun dan dapat disebabkan oleh penyakit kronik (Smeltzer & Bare, 2002). Hal inilah yang tampaknya terjadi pada klien dimana penyakit infeksi tuberkulosia yang menahun, menyebar ke tulang belakang, menyebabkan gangguan pembentukan besi dan anemia kronik. Anemia mikrositik hipokrom ditangani dengan menyelesaikan penyebab masalah, yakni penyakit itu sendiri. 4.3 Analisa Intervensi: Mobilisasi Dini dengan Teknik Logroll Klien adalah Tn.I dengan spondilitis TB. Tn.I menjalani operasi stabilisasi tulang belakang pada hari Rabu, 15 Mei 2013. Operasi berlangsung selama kurang lebih 12 jam. Selama dioperasi klien mengalami perdarahan hinggal 4 Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 50 Liter dan mendapat transfusi darah hingga kurang lebih 5 Liter/ 20 kantong darah. Post operasi adalah keadaan dimana klien telah menjalani operasi, terhitung sejak klien dipindahkan dari ruang operasi yakni di recovery room atau ruang pemulihan (Smeltzer & Bare, 2005). Pada klien Tn. I, post operasi klien masuk ruang Intensive Care Unit, hingga hari kedua post operasi klien baru dibawa kembali ke ruangan. Klien kembali ke ruangan pada tgl.17 Mei 2013 pukul 15.00. klien tiba di ruangan sudah dalam keadaan Compos Mentis (CM). Mobilisasi atau kemampuan seseorang untuk bergerak bebas merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang harus terpenuhi. Tujuan mobilisasi adalah memenuhi kebutuhan dasar (termasuk melakukan aktifitas hidup sehari-hari dan aktifitas rekreasi), mempertahankan diri (melindungi diri dari trauma), mempertahankan konsep diri, mengekspresikan emosi dengan gerakan tangan nonverbal (Potter & Perry, 2002). Mobilisasi dini post operasi merupakan hal penting untuk mencegah komplikasi dari imobilisasi yang lama, serta mempercepat pemulihan luka post operasi. Immobilisasi adalah suatu keadaan di mana individu mengalami atau berisiko mengalami keterbatasan gerak fisik. Mobilisasi dan immobilisasi berada pada suatu rentang. Immobilisasi dapat berbentuk tirah baring yang bertujuan mengurangi aktivitas fisik dan kebutuhan oksigen tubuh, mengurangi nyeri, dan untuk mengembalikan kekuatan. Individu normal yang mengalami tirah baring akan kehilangan kekuatan otot rata-rata 3% sehari (atropi disuse). Mobilisasi sangat dipengaruhi oleh sistem neuromuskular, meliputi sistem otot, skeletal, sendi, ligament, tendon, kartilago, dan saraf. Berdasarkan penelitian, imobilisasi menurunkan kekuatan otot 1%-1.5% per hari, dan 4%-5% per minggu selama tirah baring, bahkan penurunan dapat mencapai 10% dalam satu minggu bila tirah baring total (Serrano, 2011). Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 51 Imobilisasi juga akan meningkatkan rata-rata hari rawat dan memperlambat kepulangan pasien. Oleh karena itu, melakukan mobilisasi dini merupakan hal penting untuk dilakukan. Menurut Siribaddana (2009), mobilisasi minimal dilakukan 1-2 hari post operasi disesuaikan dengan kemampuan dan bergantuan pada jenis operasinya. Hal ini karena mobilisasi akan mempercepat proses pemulihan jaringan pada luka post operasi (Siribaddana, 2009). Berdasarkan hal tersebut, penulis mengaplikasikan bagaimana efektivitas mobilisasi dini pada pasien post operasi, yakni Tn.I dengan post operasi stabilisasi. Dalam menerapkan tindakan mobilisasi dini pada Tn.I, asuhan keperawatan yang dilakukan adalah dengan mengubah posisi pasien : miring kanan-kiri per 2 jam. Kondisi pasien yang masih cukup lemah (post operasi hari ke-3) membuat mahasiswa perlu berhati-hati selama mengubah posisi. Selain itu, kondisi pasien yang merupakan pasien post operasi stabilisasi mengharuskan pasien berpindah posisi dengan gerakan serentak untuk mencegah cidera post operasi, termasuk pada lokasi stabilisasi atau biasa disebut dengan teknik log roll. Teknik log roll adalah teknik mentransfer atau mengubah posisi pasien dengan gerakan mengangkat atau membalikkan punggung secara serentak guna mencegah cidera lebih lanjut pada vertebra. Teknik ini biasa dilakukan untuk menstabilisasi tulang belakang, dan sering digunakan pada pasienpasien dengan cidera vertebra. (Ghobrial, 2013). Berdasarkan hal tersebut, penulis mengaplikasikannya kepada Tn.I dengan dibantu oleh keluarga serta beberapa teman dalam pelaksanaannya karena teknik ini membutuhkan paling tidak 3 orang dalam menjalankannya. Sesuai dengan pedoman prosedur log roll orang pertama memegang kepala, namun karena klien mampu mengimobilisais kepala dan tidak ada cidera servikal, maka orang pertama memegang bahu hingga pinggang, dan orang kedua memegang pinggang hingga paha, dan orang ketiga bertugas meletakkan bantal di belakang tubuh klien. Bantal penopang diletakkan sebanyak 5 buah, satu untuk kepala, kemudian 2 untuk di sepanjang punggung, dan 2 untuk diapit diantara kedua Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 52 kaki (diantara paha dan tulang tibia). Selain melatih kemampuan mobilisasi, posisi miring diharapkan dapat mengurangi penekanan langsung pada luka post operasi di sepanjang vertebrae sehingga pemulihan luka akan lebih cepat. Setelah intervensi berupa mobilisasi dini dengan teknik log rol dilakukan kepada Tn.I, beberapa hal telah dievaluasi untuk mengetahui efektivitas dari intervensi yang diberikan. Hal pertama yang dilihat adalah bagaimana mobilisasasi mencegah beberapa efek imobilisasi yang seringkali terjadi, diantaranya adalah: a. Thrombosis vena dalam/ deep vein thrombosis (DVT). Imobilisasi memiliki efek yang cukup serius salah satunya adalah terjadinya thrombosis vena dalam. Thrombosis vena dalam seringkali terjadai setelah operasi karena bekuan atau kloting darah yang terbentuk selama proses operasi mengalir bersama sirkulasi darah dan mungkin mencapai venavena dalam yang ukurannya lebih kecil dari trombus tersebut sehingga terbentuklah trombosis. Trombosis ini menjadi lebih mudah terjadi saat tidak terjadi mobilisasi dan yang mengkhawatirkan adalah saat thrombus terjadi di pembuluh darah di jantung atau organ vital lainnya. Bila hal tersebut terjadi maka dampak paling buruk adalah nekrosis dan kematian organ terkait. Oleh karena itu, mobilisasi akan menurunkan resiko terjadinya thrombus pada pasien-pasien post operasi, terutama untuk operasi besar, termasuk lower limb operation (Sirribaddana, 2009). Demikian pula yang diharapkan pada Tn.I Tn.I menjalani operasi pada lokasi thorakolumbal. Operasi pada bagian tersebut tentunya bukanlah jenis operasi yang kecil, melainkan operasi yang cukup besar dengan perlukaan jaringan yang cukup panjang (mencapai 35 cm) serta resisko terbentuknya thrombus yang tinggi post operasi. Namun mobilisasi dini membuat komplikasi tersebut tidak terjadi pada Tn.I. sampai dengan ahri terakhir klien dirawat tidak terjadi masalah DVT. Dengan demikian, terkait salah satu tujuan mobilisasi dini, mencegah DVT, dapat dikatakan cukup efektif. Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 53 b. Tujuan kedua adalah memulihkan fungsi bowel dan distensi abdomen. Efek anestesi yang diberikan menjelang pasien menjalani operasi diantaranya bertujuan untuk mengistirahatkan seluruh aktivitas dalam tubuh dengan sifat anestesi yakni muscle relaxant, salah satunya adalah aktivitas peristaltik usus. Oleh karena itu, masalah yang paling sering terjadi ketika pasien post operasi adalah system pencernaan yang belum kembali berfungsi, salah satu tandanya adalah belum adanya flatus atau terjadi distensi abdomen karena akumulasi gas. Selain itu, imobilisasi sendiri akan memperburuk fungsi pencernaan karena peristaltik usus sangat bergantung dengan mobilisasi. Rendahnya mobilisasi mengakibtkan rendah pula gerak atau peristaltik usus. Berdasarkan hal tersebut, mobilisasi dini dilakukan pada Tn.I. Meskipun pasien tidak segera setelah operasi kembali ke ruangan (pasien masuk ICU post operasi hingga hari ke-3) dan baru kembali ke ruangan ketika siang hari ke-3 post operasi, pasien masih mengeluhkan adanya masalah pada bowel, yakni belum defekasi sejak hari setelah operasi. Kondisi klien yang baru menjalani operasi pada lokasi vertebra/ tulang belakang pun menjadi satu faktor kemungkinan yang turut memicu konstipasi karena gangguan neuromuskuler terutam yang mengatur defekasi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pearce (2002), bahwa cidera pada vertebra akan mempengaruhi fungsi saraf dibagian yang terkena, dan salah satu pengatur defekasi adalah saraf pada vertebra lumbalis. Oleh karena itu, mobilisasi dini diberikan dengan harapan neuromuskuler mendapat stimulus, begitu pula dengan peristaltik usus karena mobilisasi dini meliputi pengubahan posisi per 2 jam dan ROM berguna untuk mengaktifkan kembali fungsi neuromuskuler (Siribaddana, 2009). c. Tujuan selanjutnya yang ingin dicapai dari pelaksanaan intervensi mobilisasi dini adalah mencegah infeksi luka operasi dan mempercepat penyembuhan luka operasi. Berdasarkan Siribaddana (2009), pemulihan Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 54 jaringan luka operasi operasi sangat dipengaruhi oleh imobilisasi. Selain itu, mobilisasi miring kanan-kiri pada Tn.I memungkinkan pengurangan penekanan pada lokasi luka operasi di vertebra sehingga pemulihan luka akan lebih baik. Efektivitas mobilisasi dini untuk mencegah infeksi luka operasi dapat terukur dari luka yang mongering pada hari ke-6 post operasi, tidak tampak adanya pus atau kemerahan di sekitar luka, dan drain pun sudah dapat dilepas pada hari ke-6 post operasi karena produksinya sudah tidak ada. Berdasarkan pelaksanaan intervensi mobilisasi dini dengan log roll pada pasien post operasi stabilisasi, banyak sekali manfaat yang didapatkan terutama dalam pencegahan komplikasi operasi. Manfaat tersebut tampak pula pada Tn.I setelah intervensi diberikan selama 4 hari post operasi, sejak hari ke-tiga hingga ke-enam. Hingga ahri ke-delapan post operasi, ia telah pindah ke ruang rehabilitasi untuk pemulihan lebih optimal atas kondisi neuromuskuler pasca stabilisasi. Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 BAB 5 PENUTUP Bab 5 merupakan bab penutup. Penutup ini terdiri atas kesimpulan dan saran. Kesimpulan disampaikan secara keseluruhan dari bab dalam karya ilmiah akhir ini, sementara saran ditujukan kepada pemerintah, pendidikan, dan rumah sakit. 5.1 Kesimpulan 5.1.1. Wilayah perkotaan memiliki banyak faktor resiko terhadap masalah kesehatan, diantaranya adalah pemukiman yang padat dan kumuh, polusi udara yang tinggi, sedikit kawasan hijau, minimalnya sanitasi dan ketersediaan air bersih, serta bannyaknya jumlah perokok. 5.1.2. Tuberkulosis menjadi salah satu masalah kesehatan khas perkotaan karena faktor-faktor diatas, ia sangat merugikan, menular lewat udara, dan dapat menyebabkan komplikasi yakni penyebaran infeksi ke organ lain, salah satunya adalah ke tulang belakang. 5.1.3. Spondilitis tuberkulosis dapat menyebabkan kompresi pada korpus vertebra sehingga menyebabkan masalah seperti gangguan pembentukan darah dan defisit neurologi, untuk itu perlu dilakukan tindakan pembedahan untuk memperbaikinya. 5.1.4. Perawat berperan penting dalam pencapaian keamanan/ safety pasien selama perioperatif, terutama pada pre dan post operasi. 5.1.5. Asuhan pre operatif diantaranya dengan memberikan edukasi persiapan operasi, sementara post operatif berupa intervensi untuk mencegah komplikasi operasi. 5.1.6. Mobilisasi dini merupakan salah satu intervensi penting untuk mencegah komplikasi operasi, seperti DVT, gangguan fungsi bowel, infeksi luka operasi, retensi urin, dan embolisme pulmonal. 55 Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 56 5.1.7. Teknik log roll selama melakukan mobilisasi pada pasien post stabilisasi vertebre bertujuan untuk mempertahankan kesejajaran vertebra sehingga mencegah komplikasi post stabilisasi, seperti terjadi puntiran pada vertebra. 5.1.8. Beberapa efektivitas yang dapat diamati pada pasien diantaranya adalah pasien tidak mengalami thrombosis vena dalam, masalah konstipasi teratasi dalam empat hari pelaksanaan intervensi, tidak terjadi stasis urin dan produksi urin positif, tidak terjadi pneumoni ataupun embolisme pulmonal, serta penyembuhan luka yang baik/ luka kering dalam 3 hari pemberian intervensi, tidak terdapat pus, ataupun tanda infeksi, serta tidak muncul luka baru karena imobilisasi (dekubitus). 5.2 Saran 5.2.1 Rumah Sakit Saran bagi rumah sakit selaku pemberi pelayanan keperawatan hendaknya dapat memberikan asuhan keperawatan yang holistik, termasuk dalam mempersiapkan klien agar dapat menjalani operasi dengan baik dan terhindar dari komplikasi operasi. Selain itu, perawat hendaknya menunjukkan perannya sebagai advokat klien dengan pemberian edukasi-edukasi yang menunjang kesehatan klien. 5.2.2 Pendidikan Saran bagi pemberi pendidikan keperawatan terutama spesialisasi keperawatan komunitas hendaknya agar dapat bekerja sama dengan institusi kesehatan dan pemerintahan di wilayah-wilayah perkotaan untuk memberikan penyuluhan sebagai tindakan preventif dan promotif terkait penyakit tuberkulosis guna menekan angka kejadiannya di perkotaan dan mencegah peningkatan komplikasi. Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 57 5.2.3 Pemerintah Saran kepada pemerintah agar dapat meninjau kembali bagaimana pengaturan wilayah kota sehingga dapat menunjang terhadap pemenuhan kualitas kesehatan penduduknya. Selain itu, pemerintah hendaknya lebih massif dalam mensosialisasikan pelayanan kesehatan gratis terhadap penderita tuberkulosis agar seluruh lapisan msyarakat mengetahui dan tidak salah dalam menangani penyakit tersebut. Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 DAFTAR PUSTAKA Alavi, S.M .,& Sharifi, M. (2010). Tuberculosis Spondylitis: clinical/ paraclinical aspect in the south west of iran. Journal of Infection and Public Health, 3, 196-200. Allender, J.A. 2010. Community health nursing: promoting and protecting the public’s health. 7th ed. China: Lippincott Williams & Wilkins Anderson. E. T & McFarlane. J. (2007). Community as partner (theory and practice in nursing. Philadelphia: Lippincott Raven, P.(2005). Atlas of Human Anatomy Interactive, Anatomi. Chicago: World Book Encyclopedia Deluxe Word Book Inc. Chicago. Anonim. Urbanisasi Meningkat, Problem Kesehatan Bertambah. 06 Apr 2010 Diunduh dari http://bataviase.co.id Badan Pusat Statistik. (2013). Urbanization. Stylesheet: http://www/datastatistikindonesia.com Balitbangkes Kemenkes. (2013). Hasil The Global Burden of Disease. Stylesheet: http://www.depkes.go.id Clark, Mary J. (1998). Nursing in the Community : Dimensions of Community Health Nursing. Stamford, Connecticut : Appleton & Lange Chatman, I.J. (2008). Tuberculosis: Arresting everyone enemy, (2 nded). USA: Joint Commion Resourcer. Cluett, J. (2008). Pathologic Fracture. Diunduh dari http://orthopedics.about.com/cs/brokenbones/g/pathologic.htm Dewald, R. (2003). Spinal deformities: the comprehensive text. New York: Thieme. Departemen Kesehatan RI. (2009). Profil Kesehatan Indonesia 2008. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 58 Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 59 Doenges, Marilyn E, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien edisi 3 alih bahasa I Made Kariasa, Ni Made Sumarwati, Jakarta : EGC, 1999. Elliot, R. (2004). Procedure for log-rolling a patient with a cervical spine injury (or suspected injury). Royal North Shore Hospital- Intensive Care Unit Eugsti, CS. Guire, L.S, Stone CS, (2002) Comprehensive Community Health Nursing Family, Aggregate, & Community Practice. St. Louis: Mosby Ervin, N.F. (2002). Advanced Community Health Nursing Practice. Population Focused Care. Prentice Hall: New Jersey Garg, R.K., & Somvanshi, D.S. (2011). Spinal Tuberculosis: A review. Journal Spinal Cord Med. ;34(5): 440-454 doi: 10.1179/2045772311Y.0000000023 PMCID: PMC3184481 diunduh dari: http://www.rnoh.nhs.uk/sites/default/files/rehabilitation-guidelines-for-postoperative-shoulder-instability-repair-updated20june08_0.pdf Hidalgo JA. (2006). Pott Disease (Tuberculous Spondylitis). Diunduh dari http://www.emedicine.com/med/infecMEDICAL_TOPICS.htm Hitchcock, J.E. Schubert, P.E. & Thomas, S.A. (2004) Community Health Nursing: Caring in Action. Albany: Delmar Publisher International Relief and Development. (2012). Program Air Bersih dan Sanitasi. Stylesheet: http://www.ird.or.id Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2012). Pengembangan Kota Sehat untuk Mengatasi Masalah Urbanisasi. Stylesheet: http://www.depkes.go.id Kemenkes. (2012). Pengembangan Kota Sehat untuk Mengatasi Masalah Urbanisasi. Stylesheet: http://www.depkes.go.id Kompas. (2010). Opini Pikiran Rakyat, Urbanisasi dan Kemiskinan Kota. diunduh dari http://kompas.com Kotze & Erasmus. (2006) MRI findings in proven Mycobacterium Tuberculosis (TB) spondylitis. SA Journal of Radiology. Department of Diagnostic Radiology, University of the Free State, Bloemfontein Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 60 Lundy, Karen S.(2009).Community Health Nursing : Caring for the Public’s health.2nd ed. Massachusetts : Jones and Bartlett Publisher Mak, KC., & Cheung, KM. (2013). Surgical treatment of acute TB spondylitis: indications and outcomes. European Spine Journal. 22(Suppl 4): 603-611. doi: 10.1007/s00586-012-2455-0 diunduh dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3691407/ Moesbar, N. (2006). Infeksi tuberculosa pada tulang belakang. Jurnal dari Departemen Orthopaedi dan Trauma Departemen Ilmu Bedah FKUSU/RSUP H. Adam Malik, Medan, 3, 279-289. Mukti, G. (2012). Gerakan Indonesia Cinta Sehat Pembangunan Kesehatan Dengan Upaya Promotif- Preventif dengan Tidak Mengabaikan Kuratif dan Rehabilitatif. Stylesheet: http://www.depkes.go.id NANDA. (2012). Diagnosis Keperawatan: definisi dan klasifikasi 2012-2014. (Made Sumarwati & Nike Budhi Subekti, Penerjemah). Jakarta: EGC. Nawas, A. (2010). Penatalaksanaan TB MDR dan strategi Dots plus. Jurnal Tuberkuosis Indonesia, 7, 1-7 Nies, Mary., McEwen, Melanie. (2007). Community public health nursing: promoting the health of the population. 4th ed. St.Louis: Mosby Paramarta, I.G.E., Purniti, P.S., Subanada, I.B. & Astawa, P. (2008). Spondylitis tuberculosis. Jurnal dari bagian Ilmu Kesehatan Anak dan Ilmu Bedah Ortopedi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Rumah Sakit Sanglah Denpasar, 3, 177-183. Pearce, Evelyn. (2002). Anatomy & Physiology for Nurses. Alih bahasa: Sri Yuliani Handoyo. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia. (2012). TB di Indonesia Peringkat Ke-4. Stylesheet: http://www.ppti.info Potter, P.A., & Perry,A.G.(2002). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik, 4th Ed. Jakarta: EGC Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 61 Price & Wilson (1995), Patofisologi-Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Ed.4, EGC, Jakarta Rasjad, C. (2003). Spondilitis Tuberkulosa dalam Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Ed.II. Makassar: Bintang Lamumpatue Royal National Orthopaedic Hospital. NHS Trust. Rehabilitation Guidelines for Post-Operative Shoulder Instability Repair Sedyaningsih, E.. (2011). Pedoman nasional pengendalian tuberculosis. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Diunduh dari www.depkes.go.id Sekretariat Negara RI Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan Bidang Perekonomian dan Industri. (2009). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Perkotaan. Salinan sesuai dengan aslinya. Diunduh dari: http://datahukum.pnri.go.id/index.php?option=com_phocadownload&view=ca tegory&download=2942:pp34tahun2009&id=29:tahun2009&Itemid=28&start=20 Siribaddana, P. (2009). The Benefits of Early Mobilization Following Surgery. Diunduh dari http://www.helium.com/items/1685732-benefits-of-early- mobilization-following-surgery Sjamsulhidayat, R. dan Wim de Jong, 1998, Buku Ajar Imu Bedah, Edisi revisi, EGC, Jakarta Smeltzer, Suzanne C. and Brenda G. Bare, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah: Brunner Suddarth, Vol. 1, EGC, Jakarta Soedarsono (2000), Tuberkulosis Paru-Aspek Klinis, Diagnosis dan Terapi, Lab. Ilmu Penyakit Paru FK Unair/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya. Spielgelburg,D.D. (2007). New topics in tuberculosis research. New York: Nova Science Publishers. Stanhope, M and Lancaster, J. (2004). Community and Public Health Nursing. The Mosby Year Book. St Louis Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 62 Subagjo, B. (2012). Asuhan Keperawatan Pasien dengan Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Surabaya: Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Suryo, J. (2010). Herbal penyebab gangguan sistem pernapasan: Pneumonia, kanker paru-paru, TB paru, bronchitis, pleurisy. Yogyakarta: B First The Lakeshore General Hospital. Preoperative Teaching Guide For Same Day Surgery Clientele. Stillview Ave: The West Island HSSC Universitas Sumatra Utara. (2011). Tinjauan Pustaka. Diunduh dari: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33995/4/Chapter%20II.pdf WHO. (2011). Global tuberculosis control; WHO report 2011. Geneva: Publication Data WHO. (2012). Global tuberculosis report 2012. France: Publication Data. Wilkinson, J. M., & Ahhern.N.R. (2009). Buku saku diagnosis keperawatan (edisi 9). (Esty Wahyuningsih, Penerjemah). Jakarta: EGC. Wong, D.L., Perry, S.E., & Hockenberry, M.J. (2002). Maternal Child Nursing Care. (2nd Ed). St Louis: Mosby Elsevier Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 FORMAT PENGKAJIAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH FIK-UI Nama Mahasiswa: Marhamatunnisa NPM : 0806334073 INFORMASI UMUM Nama: Tn. I Informasi: Klien, orangtua klien, rekam medis klien. Reliabilitas (skala 1-4): 4 Usia: 21 th. Tanggal lahir: 11 Juni 1992 Suku bangsa: Sunda Jenis kelamin: Laki - laki Tanggal masuk: 24 April 2013 Dari: IGD. AKTIVITAS/ISTIRAHAT Pekerjaan: pelajar (santri) Gejala (subjektif): Keterbatasan karena penyakit: “aktivitas terhambat karena merasa nyeri.” Tidur: tidak mampu terlentang sempurna, harus sedikit miring atau lebih baik duduk Alat bantu: - Insomnia: tidak ada. Respon terhadap aktivitas yang dihadapi: Tanda (objektif): Status mental: sadar. KU: baik. Pengkajian neuromuscular: terkadang ada kesemutan diekstremitas bawah Rentang gerak: terbatas, terutama pada punggung. Tremor:. Deformitas:givud di vertebra torakal Hipertensi: -. Masalah jantung: -. Demam rematik: -. Edema SIRKULASI Gejala (subjektif): mata kaki/kaki: -. Flebitis: -. Penyembuhan lambat: -. Klaudikasi: -. Ekstrimitas: kesemutan: +, kebas: -. Batuk/hemoptisis: - . Perubahan frekuensi/jumlah urin: -. TD: ka: berbaring: 110/70 mmHg. Tanda (objektif): Nadi: Radialis: 82. Kualitas: kuat. Irama: teratur. Auskultasi dada: vesikuler Warna kulit: sawo matang. Pengisian kapiler: < 3 dtk. Tanda Homan’s: -. Kuku jari: bersih, sedikit panjang. Penyebaran/kualitas rambut: baik, tidak mudah dicabut. Warna umum: normal, tidak pucat. Konjungtiva: sedikit anemis. Sklera: tidak ikterik Faktor stress: penyakit. Cara menangani stress: berdoa. INTEGRITAS EGO Gejala (subjektif): Masalah finansial: klien masih bergantung pada orangtua. Status hubungan: anak pertama dari 4. Faktor budaya: -. Agama: Islam/dijalani kurang teratur. Gaya hidup: menengah ke bawah. Perubahan terakhir: -. Perasaan: Tanda (objektif): berharap cepat sembuh. Status emosi: pasrah, menerima. Respon psikologis yang terobservasi: kooperatif, tenang. ELIMINASI Gejala (subjektif): Pola BAB: 1x/ hari. BAB terakhir: -. Karakter feces:lunak, kuning kecoklatan Perdarahan: tidak. Hemorrhoid: tidak. Konstipasi: -. Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 Tanda (objektif): MAKANAN/ CAIRAN Gejala (subjektif): Tanda (objektif): HYGIENE Gejala (subjektif): Tanda (objektif): NEUROSENSORI Gejala (subjektif): Tanda (objektif): NYERI/ TIDAK NYAMAN Gejala (subjektif): Tanda (objektif): PERNAPASAN Gejala (subjektif): Tanda (objektif): Penggunaan laksatif: tidak. BAK: “sering, >5x/hari”. Karakter urin: encer, kuning jernih, seperti biasa”. Riwayat penyakit ginjal: -. Nyeri tekan abdomen: tidak. Teraba massa: tidak. Bising usus: aktif pada keempat kuadran: 8 x/menit. Diit biasa: makan teratur, dihabiskan. Jumlah makan per hari: 3x. Minum: > 1.5 L/hari. Mual: -. Muntah: -. Nyeri ulu hati: -. Alergi/intoleransi makanan:-. Masalah mengunyah: -. BB sekarang: 47 kg. Tinggi: 167 cm. Bentuk tubuh: kurus, ada skoliosis dan kifosis. Turgor kulit: baik. Edema: -. Pembesaran tiroid: -. Hernia: -. Halitosis: -. Kondisi gigi/gusi: baik, bersih, merah muda. Penampilan lidah: agak pucat. Bising usus: aktif pada keempat kuadran: 8 x/menit. Aktivitas sehari-hari: mandiri pada semua bidang, sejak sakit dikurangi dan dibantu. Waktu mandi yang disukai: pagi & sore. Penampilan umum/ Cara berpakaian: rapi. Bau badan: -. Kulit kepala: bersih. Sakit kepala: -. Rasa ingin pingsan/pusing: -. Kesemutan: terkadang ada di ekstremitas bawah. Stroke: -. Kejang: -. Mata: tak. Telinga: tak. Status mental: CM. Orientasi terhadap waktu: tak. Afek: sesuai. Memori yang lama & baru: jelas dan utuh. Bicara: jelas. Reaksi pupil: positif. Kaca mata: -. Alat bantu dengar: -. Genggaman tangan/lepas: kuat/sama. Lokasi: di sekitar punggung, terutama pada gibbus di vertebra. Intensitas (0-10): 3, masih bisa ditahan. Kualitas: seperti berdenyut. Durasi: < 30menit. Penjalaran: -. Faktor pencetus: bergerak yang melibatkan tulang belakang, disentuh pada lokasi deformitas. Cara mengatasi: istirahat, tidak disentuh Mengerutkan muka: +. Menjaga area yang sakit: +. Respon emosi: meminta untuk tidak disentuh pada bagian yang sakit. Dispnea: - (sesak hanya sesekali muncul). Batuk: ada keluhan. Riwayat penyakit paru: + (TBC sejak tahun 2007) Perokok: + (sejak tahun 2005 – 2009) Penggunaan alat pernapasan: -. Pernapasan, frekuensi: 20. Kedalaman: baik. Simetri: sama, bilateral (namun dada kiri tampak lebih menonjol karena deformitas vertebra) Auskultasi: vesikuler. Sianosis: -. Jari tabuh: -. Karakteristik sputum: kental, putih kekuningan. Fungsi mental: sadar. Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 KEAMANAN Gejala (subjektif): Tanda (objektif): SEKSUALITAS Gejala (subjektif): Tanda (objektif): INTERAKSI SOSIAL Gejala (subjektif): Tanda (objektif): PENYULUHAN/ PEMBELAJARAN Gejala (subjektif): Alergi: -. Riwayat penyakit hubungan seksual: -. Transfusi darah: -. Riwayat cidera: pernah jatuh di sekolah pada tahun 2008 dan tidak bisa jalan selama 1 tahun. Fraktur: patologis + kompresi vertebra torakolumbar. Masalah punggung: skoliosis, kifosis, gibbus di vertebra torakal. Perubahan tahi lalat: -. Pembesaran nodus: kelenjar limfe (riwayat), orchitis (pembesaran skrotum). Kerusakan penglihatan, pendengaran: -. Protese: -. Alat ambulatori: -. Suhu tubuh: 36,5°C aksila. Diaphoresis: -. Integritas kulit: ada lesi di leher (aga dibawah dagu) karena pembengkakan kelenjar getah bening. Kemerahan: -. Laserasi: -. Ulserasi: . Ekimosis: -. Lepuh: -. Luka bakar: -. Kekuatan umum: sama pada semua ekstremitas. Tonus otot: tak. Cara berjalan: sedikit membungkuk karena kifosis. Parastesia: terkadang ada di ekstremitas bawah. Aktif melakukan hubungan seksual: tidak, klien belum menikah. Penggunaan kondom: -. Masalah/kesulitan seksual:-. Perubahan dalam frekuensi: -. Rabas penis: tak terkaji. Gangguan prostat: tak terkaji. Sirkumsisi: sudah dilakukan. Vasektomi: -. Melakukan pemeriksaan sendiri: tak terkaji. Payudara/testis: membesar, ada orchitis (infeksi pada testis karena infeksi sekunder TB). Protoskopi/pemeriksaan prostat terkahir: tak terkaji. Status perkawinan: belum menikah. Hidup dengan: orangutan dan 3 adik. Masalah/ stress: penyakit. Orang pendukung lain:keluarga (orangtua dan adik) Peran: anak Masalah yang berhubungan dengan penyakit: tidak dapat mengerjakan aktivitas lain di luar rumah, pendidikan tidak dapat dilanjutkan Bicara: jelas. Komunikasi verbal/non verbal dengan keluarga/ orang terdekat lain: baik. Pola interaksi keluarga (perilaku): baik. Bahasa dominan: Indonesia. Melek huruf: ya. Tingkat pendidikan: tamat SMP. Ketidakmampuan belajar: tak. Keterbatasan kognitif: tak. Keyakinan kesehatan/ yang dijalankan: pasrah, ingin cepat sembuh. Orientasi spesifik terhadap perawatan kesehatan: mengikuti program perawatan, berharap cepat sembuh. Faktor risiko keluarga: Diabetes: -. Tuberculosis: -. Penyakit jantung: -. Stroke: -. TD tinggi: -. Epilepsy: -. Penyakit ginjal: -. Kanker: -. Penyakit jiwa: -. Lain-lain: -. Obat yang diresepkan: a. Ceftriaxone 2 x 500 gr, I: antibiotic b. Ketorolax 3 x 1 ml. : analgesik c. Ranitidine : blok H+ d. INH : OAT e. Etambuthol: OAT Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 Post operasi: a. Ceftriaxone 2 x 1g b. Ketorolax 3 x 30 mg c. Ranitidine 2x 1mp d. Transamin 3 x 1 amp: mencegah perdarahan. e. Vit K 3 x 1 amp. : faktor pembekuan darah (mencegah perdarahan). f. Vit C 2 x 200mg I: terapi perdarahan kapiler g. IVFD RL 3 kolf/ 24 jam h. Metilprednisolon 3x125mg per IV: kortikostreroid: antiinflamasi Penggunaan alkohol: -. Diagnose saat masuk per dokter: spondilitis tuberkulosis MRM tanggal 24/04/13. Riwayat keluhan terakhir: nyeri Harapan pasien terhadap perawatan ini: dapat segera sembuh. Bukti kegagalan untuk perbaikan: -. Pemeriksaan fisik terakhir: tekanan darah cenderung rendah, Hb rendah: 10.2. Pertimbangan rencana pulang: Rencana pulang: belum diketahui. Sumber-sumber yang tersedia: orang: orangtua. Keuangan: pembayaran melalui Jamkesda. Antisipasi perubahan pola hidup: patuh minum obat OAT, batasi aktivitas berat terutama yang mengangkat atau mendorong serta menggendong beban berat di punggung Bantuan yang dibutuhkan: brace Situasi pasien: Spondilitis tuberkulosis Pro Debridemen dan stabilisasi Klien adalah Tn.I (No.RM: 1218447), laki-laki berusia 21 tahun dan belum menikah, masuk ruangan pada tanggal 24 April 2013 dengan diagnosa medis spondilitis tuberkulosis pada vertebra torakal IV hingga lumbal I. Klien memiliki riwayat tuberkulosis paru pada tahun 2007 dan menjalani pengobatan dengan OAT 9 bulan namun tidak tuntas (putus obat sekitar 7 atau 8 bulan). Kemudian sekitar 3 tahun lalu sudah muncul pembengkakan kelenjar getah bening hingga mengeluarkan nanah (di sekitar leher). Sejak itu klien sakit-sakitan namun tidak pernah berobat ke RS. Kemudian sekitar 3 tahun lalu klien jatuh di sekolah, dan langsung tidak dapat berjalan selama 1 tahun. Selama itu klien hanya beraktivitas di rumah dengan bantuan keluarga. Setelah itu lama kelamaan terjadi pembesaran skrotum/ orchitis. Pembesaran sempat pecah dan mengeluarkan darah, namun kembali membesar dan lama kelamaan terasa nyeri. Jarak kurang lebih 3 bulan kemudian mulai muncul benjolan di tulang belakang. Pada mulanya kecil dan tidak terlalu mengganggu sehingga klien dan keluarga tidak melakukan apa-apa. Tapi berangsur- angsur Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 tonjolan semakin besar hingga membuat tubuh klien melengkung. Meski begitu klien dan keluarga belum memeriksakannya ke dokter/ RS, namun hanya meminum obat ramuan Cina. Hingga akhirnya klien merasa sangat nyeri di bagian tonjolan tersebut saat digerakkan maupun hanya disentuh, sakit bertambah ketika dibawa berjalan. Rasa nyeri pun hampir dirasakan setiap waktu. Klien memiliki riwayat merokok sejak kelas 2 SMP hingga 2 SMA. Klien tinggal di pesantren (santri) sejak SMP. Saat ini klien sedang perbaikan KU untuk persiapan operasi debridement dan stabilisasi tulang belakang. Klien akhirnya menjalani operasi pada tanggal 15 Mei 2013 dan terjadi perdarahan hebat intraoperatif sebanyak 3 Liter. Post operasi klien masuk ICU dan baru kembali ke ruangan pada tanggal 17 Mei 2013/ hari ke-3 post operasi. Kondisi post operasi: kesadaran CM, TD 110/70 mmHg, Nadi 65x/menit, suhu 36.5 0C, pernapasan 20x/menit. Klien terpasang drainase (produktif) di sekitar vertebra lumbal, kateter urin, infuse RL. Keluhan post operasi rasa nyeri dan ngilu di luka post operasi, masih lemas, terutama pada kedua kaki juga masih kesemutan. Pemeriksaan Penunjang a. Radiologi: - Rontgen Dada: bercak infiltrat suprahiler bilateral paracardial Gambar rontgen dada Tn.I - MRI Vertebra torakal: terdapat kifosis kurvatura torakal dengan apeks pada thorakal 12, kolaps korpus vertebra thorakal 11 dan 12 dengan kompresi korpus thorakal 10 dan lumbal 1, penyempitan ireguler dan sklerotik diskus intervertebralis thorakal 10-11 sampai dengan thorakal 12 dan lumbal 1, Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 serta suspek paravertebra mass setinggi thorakal 7 sampai dengan lumbal 2. Kesan sesuai dengan gambaran spondilitis Gambar: MRI vertebra torakal Tn.I - MRI Vertebra lumbal: kolaps korpus vertebra torakal 12 dengan kompresi vertebra Lumbal 1 disertai penyempitan ireguler dan sklerotik celah diskus intervetbralis torakal 12 – lumbal 1 dan suspek paravertebral mass sisi kanan setinggi torakal 9-lumbal 2. Kesan: sesuai dengan gambaran spondilitis, degenertif diskus disease lumbal 5-sakral 1, skoliosis lumbal sinistrokonveks, dan osteopororsis. - Rontgen tulang belakang: Gambar: tulang belakang preoperasi Gambar: post stablisasi Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 tulang belakang b. Pemeriksaan Laboraturium: Test Hasil Pemeriksaan Nilai normal Hematologi Darah Rutin Leukosit 6,1 5 – 10 ribu/mm3 Trombosit 283 150-440 ribu/mm3 Eritrosit 4,35 4,4 – 5,9 juta/ul Hb 10,2 13,2 – 17,3 g/dl Ht 32 33 – 45 fL VER 74,6 80,0- 100,0 % HER 23,5 26,0- 34,0 pg KHER 31,5 32,0-36,0 % RDW – CV 16,2 11,5- 14,5 % Protein total 7,40 6,0 – 8,0 gr/dl Albumin 3,30 3,4 – 4,8 gr/dl Globulin 4,10 2,5 – 3,0 gr/dl Kimia klinik: fungsi hati c. Hasil pemeriksaan gambaran darah: - Eritrosit: mikrositik hipokrom, anisositosis, polikromasi + - Leukosit: jumlah menurun, limposit atipik - Trombosit: jumlah dan morfologi normal Kesan: anemia mikrositik hipokrom + leukopeni, suspek penyakit kronis, diagnose pembanding: anemia defisiensi Fe, hemoglobinopathi Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 Lampiran 2 Analisis Data Sebelum dan Setelah Operasi Pre Op Data Pengkajian Masalah Keperawatan Ds: klien mengatakan: - nyeri skala 2-3 di tulang belakang, terutama bagian penonjolan tulang, nyeri seperti ditusuk, nyeri bertambaha bila bagian tersebut disentuh atau digerakkan atau tertekan (saat berbaring). Nyeri sudah drasakan sejak kurang lebih satu tahun,dan progresif (berangsur-angsur tingkatan nyeri meningkat) - Klien mengatakan tidak mengetahui prosedur yang akan dilakukan Do: - Tekanan darah 110/70mmHg, Nyeri kronik 0 nadi=82x/menit, Suhu=36,5 C, dan frekuensi napas 18x/menit, - Wajah tampak meringis saat deformitas disentuh, klien tampak melindungi bagian yang sakit DS: - Klien mengatakan sudah sakit sejak tahun 2007, sakit pembengkakan kelenjar getah bening, minum obat tiap hari Kesulitan berjalan dan beraktivitas Resiko cidera DO: - Klien putus OAT (hanya 8 bulan) Ada defomitas vertebra: gibbus, skoliosis dan kifosis Albumin rendah: 3.3 gr/dl, LED meningkat hingga 100mm Infeksi tb hingga ke tulang belakang, limfa, dan testis, Didiagnosis memiliki anemia mikrositik hipokrom Universitas Indonesia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 Post Op Ds: Lemas, minu masih sedikit DO: - Riwayat perdarahan intraoperatif sebanyak 3 Liter - Hb post operasi hari ke-3 (saat kembali ke ruangan) 8.3 gr/dl - TD: 110/70 mmHg, nadi 65x/menit, RR 18 x/menit, suhu 370C - Konjungtiva anemis, kulit pucat - CRT <3detik - Drain produktif 400cc DS: - Kaki lemas, tidak bisa digerakkan terutama kaki kiri - Punggung juga masih kaku, kesemutan - Sudah mulai miring-miring tapi masih sakit dan kaku - Belum BAB sejak hari operasi Kurang volume cairan Hambatan mobilitas fisik DO: - Kekuatan otot: 5555 5555 5554 4455 DS: Masih terasa ngilu dan kaku di punggung, di luka operasi, tidak gatal DO: - - tampak luka operasi sepanjang vertebra kurang lebih 35cm luka operasi kering, tidak ada kemerahan, tidak ada pus, tidak ada bengkak luka masih terpasang drain produksi 400cc Resiko infeksi Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 C. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan Sebelum Operasi No. Diagonsa Keperawatan 1. Nyeri kronik berhubungan dengan inflamasi penyakit patologis spondilitis TB torakal 4-lumbal 1 (Nanda, 2012) Karakteristik: DS: nyeri skala 2-3 di tulang belakang, terutama bagian penonjolan tulang, seperti ditusuk, dan bertambah bila bagian tersebut disentuh atau digerakkan atau tertekan (saat berbaring). Nyeri sudah drasakan sejak kurang lebih satu tahun,dan progresif (berangsur-angsur tingkatan nyeri meningkat) DO: - TD 110/70mmHg, nadi Tujuan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam nyeri klien berkurang atau dapat diadaptasi oleh klien Kriteria Hasil: Intervensi - Kaji skala nyeri Rasional - Nyeri merupakan respon subjektif yang bisa dikaji dengan menggunakan skala nyeri - Ajarkan relaksasi:teknik-teknik untuk menurunkan ketegangan otot rangka, yang dapat menurunkan intensitas nyeri dan juga tingkatkan relaksasi masase - Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut - Berikan waktu istirahat bila terasa nyeri dan beri posisi yang nyaman - Akan melancarkan peredaran darah, sehingga kebutuhan oksigen terpenuhi, sehingga akan mengurangi nyeri - Secara verbal klien nyatakan nyeri hilang/berkurang - Klien dapat melakukan tehnik mengurangi nyeri - Kolaborasi: - Klien tidak gelisah Pemberian analgesic - Skala nyeri 0-1 atau teradaptasi 0 82x/menit, Suhu 36,5 C, dan frekuensi napas 18x/menit, - Wajah tampak meringis saat deformitas disentuh, klien tampak melindungi bagian yang sakit Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 - Mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-hal yang menyenangkan - Istirahat akan merelaksasikan jaringan sehingga akan meningkatkan kenyamanan - Analgesik mengurangi nyeri No. Diagonsa Keperawatan 2. Resiko cidera berhubungan dengan deformitas tulang belakang, infeksi TB, dan anemia (NANDA, 2012) Tujuan Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x 24 jam, klien tidak mengalami cidera: Kriteria hasil: - Klien melaporkan tidak adanya kejadian jatuh atau hal-hal yang memperburuk keadaan klien - Nilai Hb klien mencapai 10 atau lebih - Klien menunjukkan teknik untuk meningkatkan lingkungan aman - Suhu tubuh 36,737,50C - Klien dapat menjalani operasi - Klien tidaka mengalami masalah selama operasi ataupun post operasi Intervensi Ajarkan klien dan keluarga agar selalu memasang bed site rail setiapa kali klien tidur, terutama saat tidur malam Ajarkan kepada klien agar berhati-hati dalam beraktivitas dan agar meminta bantuan bila tidak mampu melakukan suatu aktivitas Beritahukan klien agar memencet bel atau meminta bantuan perawat bila ada yang perlu dibantu - - Berhati-hati dan meminta bantuan menjadi tindakan preventif untuk mencegah klien cidera - Intake cairan dan nutrisi adekuat akan membantu perbaikan kondisi klien dan meningkatkan imunitas tubuh - Mewaspadai bila terjadi perburukan kondisi - Mencegah terjadinya cidera atau hal yang tidak diinginkan sebelum dan setelah operasi Motivasi klien agar meningkatkan intake cairan dan nutrisi adekuat, terutama makanan tinggi zat besi dan protein Beritahukan klien agar melaporkan setiap hal yang dirasakan terutama seperti kenaikan suhu, rasa pusing, nyeri meningkat, dll Jelaskan kepada klien persiapan operasi yang harus dilakukaan dan bagaimana keadaan setelah operasi, apa yang harus dilakukan, dan apa yang tidak boleh dilakukan Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 Rasional Bed site rail digunakan untuk mencegah klien jatuh D. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan Setelah Operasi No. 1. Diagonsa Keperawatan Kurang volume cairan berhubungan dengan perdarahan hebat intraoperatif dan anemia DS: Klien mengatakan masih lemas DO: - Riwayat perdarahan intraoperatif sebanyak 3 Liter - Hb post operasi hari ke-3 (saat kembali ke ruangan) 8.3 gr/dl - TD: 110/70 mmHg, nadi 65x/menit, RR 18 x/menit, suhu 370C - Konjungtiva anemis, kulit pucat - CRT <3detik - Drain produktif 400cc Tujuan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam kondisi kurang volume cairan dapat diperbaiki Intervensi - Kaji status hidrasi - Observasi dan waspadai bila terdapat tanda dehidrasi atau syok Rasional - Status hidrasi menggambarkan kondisi cairan dalam tubuh, termasuk kondisi sirkulasi - Observasi penting untuk memberi tindakan segera bila tampak tanda perburukan: tanda syok/ dehidrasi Kriteria Hasil: - Monitor tanda vital - Tanda vital merupakan salah satu cara untuk mengetahui status sirkulasi oksigenasi tubuh yang dapat berubah bila terdapat dehidrasi - Monitor balance cairan - Balance cairan membantu pemantauan status hidrasi - Monitor status mental - Perubahan status mental (kemunduran) merupakan tanda masalah dehidrasi berat - Motivasi klien untuk meningkatkan intake cairan adekuat - Intake cairan adekuat akan membantu memperbaiki status hidrasi - Tanda vital dalam batas normal - Tidak muncul tanda dehidrasi/ syok - Konjungtiva tidak anemis, CRT < 3 detik, produksi drain berkurang atau minimal - Hb menunjukkan perbaikan - Kolaborasi: Pemberian resusitasi cairan atau transfusi (bila perlu) per intravena Pemeriksaan laboratorium: elektrolit, hematologi, BUN, albumin Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 - Resusitasi membantu perbaikan kondisi hidrasi - Memastikan kondisi hidrasi dalam tubuh No. Diagonsa Keperawatan 2 Hambatan Mobilitas Fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot DS: - Kaki lemas, tidak bisa digerakkan terutama kaki - Punggung juga masih kaku, kesemutan - Sudah mulai miring-miring tapi masih sakit dan kaku - Belum BAB sejak hari operasi DO: - Kekuatan otot: 5555 5555 5554 4455 3 Resiko infeksi berhubungan dengan luka post operasi DS: Masih terasa ngilu dan kaku di punggung, di luka operasi DO: - tampak luka operasi sepanjang vertebra Tujuan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam klien dapat melakukan mobilisasi secara optimal: Kriteria hasil : - Klien dapat ikut serta dalam program latihan - Mencari bantuan sesuai kebutuhan - Mempertahankan koordinasi dan mobilitas sesuai tingkat optimal Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x 24 jam faktor resiko infeksi akan hilang Kriteria hasil : - Menunjukkan faktor resiko individu - Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah resiko Intervensi - Kaji mobilitas yang ada dan observasi terhadap peningkatan kerusakan - Bantu klien dalam melakukan latihan ROM - Ubah posisi setiap 2 jam dengan teknik log roll - - Pantau kulit dan membran mukosa terhadap iritasi dan tanda inflamasi - Bantu klien ambulasi Kolaborasi: - Kolaborasi dengan ahli terapi dalam pemberian terapi - Observasi tanda-tanda infeksi dan peradangan - Tingkatkan upaya pencegahan dengan mencuci tangan sebelum dan sesudah - Pertahankan tehnik aseptik pada prosedur invansif - Pantau suhu dan istirahat - Ganti dressing sesuai petunjuk umum Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 - Rasional Mengetahui tingkat kemampuan klien dalam melakukan aktivitas Untuk memelihara fleksibilitas sendi sesuai kemampuan Mempertahankan posisi tulang belakang tetap sejajar Deteksi dini dari kemungkinan komplikasi imobilisasi Mencegah kekakuan otot - Terapi yang tepat dapat mempercepat proses pemulihan - Pasien mengkin dapat mengalami infeksi nosokomial - Mencegah timbulnya infeksi silang (infeksi nosokomial) - Mencegah timbulnya infeksi silang - Peningkatan suhu menandakan peningkatan laju metabolik dari proses inflamasi - Mencegah timbulnya infeksi No. Diagonsa Keperawatan kurang lebih 35cm - luka operasi kering, tidak ada kemerahan, tidak ada pus, tidak ada bengkak Tujuan infeksi - Menunjukkan teknik untuk meningkatkan lingkungan aman - Suhu tubuh normal: 36,7-37,50C Intervensi (pertahankan teknik steril) Kolaborasi: Terapi antibiotik Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 Rasional nosokomial - Untuk menurunkan inflamasi E. Catatan Perkembangan Pasien Nama Klien: Tn.I 103 Ruang Rawat: Prof.Dr. Soelarto kamar Dx Medis: Spondilitis Tb (Pre Operasi) No 1 Tanggal Diagnosa Keperawatan 8-5- 2013 Nyeri kronik berhubungan dengan penyakit patologis spondilitis TB torakal 9-10 Pukul: 11.15 (Nanda, 2012) Implementasi Evaluasi - Mengkaji skala nyeri yang dirasakan pasien sebelum intervensi diberikan - Mengukur tanda-tanda vital klien - Mengajarkan kepada pasien cara mengurangi nyeri dengan cara teknik napas dalam - Mengkaji skala nyeri setelah diberikan intervensi - Memberikan kesempatan klien untuk lebih banyak beristirahat untuk mengurangi nyeri S: - Klien mengatakan nyeri skala 3, masih bisa ditahan asal jangan disentuh, biasanya nanti hilang sendiri dengan istirahat - Ya, enak dengan tarik napas dalam, jadi lebih tenang, tapi nyeri belum berkuran masih dirasakan O : tanda vital: TD 110/70 mmHg, nadi 80x/menit, pernapasan 18x/ menit, suhu 360C - Wajah masih tampak meringis A: nyeri P: - Observasi skala nyeri, waspadai bila terdapat peningkatan nyeri - Evaluasi kemampuan melakukan teknik relaksasi napas dalam - Ajarkan teknik relaksasi lainnya: mendengarkan musik - Berikan waktu istirahat bila terasa nyeri dan beri posisi yang nyaman Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 No 2 Tanggal 9-5- 2013 Diagnosa Keperawatan Resiko cidera berhubungan dengan deformitas tulang belakang, infeksi TB, dan anemia Implementasi Evaluasi Memperingatkan klien dan keluarga agar selalu memasang bed site rail setiapa kali klien tidur, terutama saat tidur malam S: ya, biasanya pegangan tempat tidur dipasang kalau tidur malam Mengarahkan kepada klien agar berhati-hati dalam beraktivitas dan agar meminta bantuan bila tidak mampu melakukan suatu aktivitas A: resiko cidera Memberitahukan kepada klien agar memencet bel atau meminta bantuan perawat bila ada yang perlu dibantu 3 13-05-2013 Ansietas berhubungan dengan persiapan menjelang operasi Memotivasi klien agar meningkatkan intake cairan dan nutrisi adekuat, terutama makanan tinggi zat besi dan protein Menanyakan perasaan klien menuju operasi Mengkaji tingkat ansietas klien: tanda verbal dan nonverbal Membantu klien mengatasi ansietas dengan relaksasi napas dalam Memberikan lingkungan yang nyaman dan suasana penuh istirahat dengan membatasi pengunjung O: klien mendengarkan penjelasan mahasiswa P: - pantau aktivitas klien dan bantu ADL sesuai kemampuan klien perhatikan lingkungan pasien, hindari faktor-faktor pemicu cidera: lantai licin motivasi klien untuk tingkatkan intake nutrisi S: ya, belum tau operasinya jadi kapan, katanya rabu. Sedikit takut O: tanda vital TD: 110/70mmHg, nadi 80x/menit, suhu 36, RR 18x/ menit. Mimik wajah tampak tenang, biasa. Klien duduk di tempat tidur ditunggui oleh ayah klien A: ansietas ringan P: lakukan edukasi pre operasi Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 No 4 Tanggal 14-05-2013 Diagnosa Keperawatan Ansietas berhubungan dengan akan dilakukan operasi Implementasi Memberikan privasi untuk klien dan keluarga terdekat Menanyakan perasaan klien menjelang esok operasi Evaluasi S: ya, sedikit takut, hanya bisa berdoa O: mimik wajah tampak cemas, kening berkerut, Mengkaji tanda verbal dan nonverbal ansietas Tanda vital 110/70 mmHg, nadi 83x/menit, suhu 37, RR 19x/menit. Mulai melakukan tindakan untuk mengurangi kecemasan (tarik napas dalam). Klien mampu melakukan relaksasi napas dalam dengan baik hanya inspirasi kurang maksimal (pendek) A: ansietas ringan Memberikan penjelasan mengenai persiapan operasi: konsul dokter, persiapan darah untuk transfusi: crosstest dan donor, informed consent tindakan operasi, persiapan ICU, anestesi, dan transfuse, persiapan fisik: puasa 8 jam sebelum operasi, pembersihan anggota tubuh yang akan dioperasi, pengosongan lambung dengan klisma, tidak menggunakan perhiasan, protese, dsb., memakai baju operasi tanpa pakaian dalam P: motivasi klien untuk menenangkan diri menjelang operasi lengkapi persiapan-persiapan menjelang operasi pastikan kondisi klien memenuhi syarat dilakukan operasi pastikan ketersediaan ICU untuk perawatan postoperasi Memberikan edukasi manajemen nyeri post operasi dengan relaksasi napas dalam Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 No Tanggal Diagnosa Keperawatan Implementasi Evaluasi Menjelaskan kondisi post operasi, pentingnya mobilisasi dini pos operasi dan memenuhi intake nutrisi kaya protein, dsb F. Catatan Perkembangan Pasien Nama Klien: Tn.I Ruang Rawat: Prof.Dr. Soelarto kamar 103 Dx Medis: Spondilitis Tb Post Op debridement dan stabilisasi No Tanggal 17-05-2013 Diagnosa keperawatan hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot Implementasi Mengkaji mobilitas yang ada dan observasi terhadap peningkatan kerusakan Mengubah posisi setiap 2 jam dengan teknik log roll Evaluasi - Memantau kulit dan membran mukosa terhadap iritasi dan tanda inflamasi - Menjelaskan kepada klien dan keluarga pentingnya melakuka - - S: klien mengatakan: masih nyeri, ga kuat badan gerak-gerak, kaki masih lemas sekali, punggung juga kesemutan di ICU juga sudah belajar miring-miring tapi tidak BAB juga punggung tidak gatal hanya kaku ya, enak tidur miring, tidak tertekan punggungnya O: klien post-operasi stabilisasi hari ketiga. Klien masih tampak cemas dan takut dengan kondisi post operasi Klien terlihat sedikit meringis ketika rasa nyerinya mulai timbul. TTV: TD= 110/70mmHg Nadi: 85x/menit, RR=18x/menit, S= 360C Klien berbaring posisi miring lateral kiri dengan 5 bantal penopang: 1 untuk kepala, 2 untuk vertebra, 1 untuk diapit paha, 1 untuk diapit tibia Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 No Tanggal Diagnosa keperawatan Implementasi mobilisasi dini: mencegah komplikasi, memudahkan defekasi, mempercepat penyembuhan luka, mempercepat penyembuhan Evaluasi - Kekuatan otot paha belum meningkat, klien hanya mampu menggerakkan ujung/ jari kaki A: Hambatan mobilitas fisik - 2. 18-05-2013 Resiko infeksi berhubungan dengan luka operasi - Mengobservasi tandatanda infeksi dan peradangan - Mencuci tangan sebelum dan sesudah - Pantau suhu dan istirahat - Melakukan perawatan luka dengan teknik steril P: kaji peningkatan kemampuan mobilisasi ukur tanda-tanda vital klien Mengajarkan kepada klien dan keluarga cara ubah posisi dengan log roll S: masih ngilu, sakit kalau disentuh, digerakkan O: luka kering, tidak ada kemerahana, tdk ada pus, luka vertical sepanjang vertebrae kurang lebih sepanjang 35cm, terdapat drain dengan produksi sekitar 300cc, tidak ada pus atau kemerahan di luka drainase, tidak ada kenaikan suhu (suhu 36.5) A: resiko infeksi P: lanjutkan pearawatan luka per hari dengan prinsip steril, lanjutkan terapi antibiotik, lanjutkan diet tinggi protein 3. 18-05-2013 Kurang volume cairan berhubungan dengan riwayat perdarahan hebat intraoperatif - Mengkaji status hidrasi - Mengobservasi bila terdapat tanda dehidrasi atau syok - Memonitor tanda vital, balance cairan, status mental - Memotivasi klien untuk S: ia, sudah minum banyak, pusing sedikit, makan masih belum banyak, tapi masuk O: tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 80x/menit, suhu 36, RR 19x/menit. Status mental:klien CM. Hb terakhir 8.3gr/dl. Klien makan tidak habis RL masuk 500/8 jam dilanjutkan dengan albumin 20% A:kurang volume cairan P: Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 No Tanggal Diagnosa keperawatan Implementasi Evaluasi meningkatkan intake cairan adekuat - Kolaborasi: Pemberian resusitasi cairan atau transfusi per intravena: PRC 250, albumin 20% 4. 18-05-2013 Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot - Mengkaji mobilitas yang ada dan observasi terhadap peningkatan kerusakan - Mengubah posisi setiap 2 jam dengan teknik log roll - Mengajarkan ROM aktif dan pasif pada ekstremitas: fleksiekstensi, abduksiadduksi - monitor tanda vital dan status mental - observasi tanda dehidrasi - monitor cairan infuse dan transfusi S: klien mengatakan: - Nyeri sudah berkurang, kaku di punggung sudah berkurang, tapi kaki masih lemas tapi sudah dilatih digerakkan - ya, enak tidur miring, sudah bisa miring sendiri dengan dibantu - sudah kuat miring lebih dari 15 menit O: klien post-operasi stabilisasi hari ke-empat. - Klien sudah mulai lebih rileks, wajah tidak tampak meringis, cukup tenang - TTV: TD= 110/70mmHg Nadi: 82x/menit, RR=19x/menit, S= 360C - Klien berbaring posisi miring lateral kanan dengan 5 bantal penopang: 1 untuk kepala, 2 untuk vertebra, 1 untuk diapit paha, 1 untuk diapit tibia - Kekuatan otot:5555 5555 5554 4455 Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 No Tanggal Diagnosa keperawatan Implementasi Evaluasi A: Hambatan mobilitas fisik P: - Lanjutkan ubah posisi dengan log roll - Ajarkan klien dan keluarga melakukan latihan ROM aktif, pasif, dan aktif asistif 5. 20-05-2013 Resiko infeksi 6. 20-05-2013 Hambatan Mobilitas fisik S: masih ngilu sedikit, nyeri sudah sangat berkurang - Mengobservasi tandaO: luka kering, tidak ada kemerahana, tidak ada pus, luka tanda infeksi dan vertikal sepanjang vertebrae kurang lebih sepanjang peradangan 35cm, terdapat drain dengan produksi minimal: drain - Mencuci tangan dilepas, luka tidak ada pus atau kemerahan di luka sebelum dan sesudah drainase, tidak ada kenaikan suhu (suhu 36.5) - Pantau suhu dan A: resiko infeksi istirahat P: - Melakukan perawatan -lanjutkan perawatan luka per hari dengan prinsip steril, luka dengan teknik - lanjutkan terapi antibiotik, lanjutkan diet tinggi protein steril -Motivasi klien untuk minum OAT rutin - Memotivasi klien untuk - Edukasi keluarga tentang Pengawas Minum Obat meningkatkan intak (PMO) ketika nanti di rumah cairan dan nutrisi terutama makanan tinggi protein: makan putih telur S: klien mengatakan: - Mengkaji kemampuan mobilitas, observasi - Nyeri sudah sangat berkurang, kaku di punggung sudah tidak terhadap peningkatan lagi, tapi kaki masih lemas tapi sudah rajin dilatih digerakkan mobilitas - Mengubah posisi setiap - sudah bisa miring sendiri dengan sedikit dibantu 2 jam dengan teknik - sudah kuat miring lebih dari 30 menit log roll Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013 No Tanggal Diagnosa keperawatan Implementasi - Memantau kulit dan membran mukosa terhadap iritasi dan tanda inflamasi - Membantu klien berlatih ROM aktif pada ekstremitas atas, aktif asistif pada ekstremitas bawahi kanan, dan pasif pada ekstremitas bawah kiri: fleksi-ekstensi, abduksi-adduksi Evaluasi - klien sudah defekasi O: klien post-operasi stabilisasi hari ke-enamt. - Klien sudah tampak rileks, tenang - TTV: TD= 110/80mmHg Nadi: 85x/menit, RR=19x/menit, S= 360C - Klien berbaring posisi miring lateral kanan dengan 5 bantal penopang: 1 untuk kepala, 2 untuk vertebra, 1 untuk diapit paha, 1 untuk diapit tibia. Kondisi luka kering, tidak ada pus atau kemerahan,, tidak muncul luka baru karena tirah baring. - Kekuatan otot: 5555 5555 5555 4455 A: Hambatan mobilitas fisik P: - Lanjutkan ubah posisi dengan log roll - Lanjutkan latihan ROM sehari minimal 2x Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013