analisis praktik klinik keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan

advertisement
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN
KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN PADA PASIEN
SPONDILITIS TUBERKULOSIS DI RUMAH SAKIT
FATMAWATI
KARYA ILMIAH AKHIR NERS
(KIA-N)
MARHAMATUNNISA
0806334073
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
JULI 2013
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN
KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN PADA PASIEN
SPONDILITIS TUBERKULOSIS DI RUMAH SAKIT
FATMAWATI
KARYA ILMIAH AKHIR NERS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Profesi
Keperawatan
MARHAMATUNNISA
0806334073
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
JULI 2013
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS
Karya Ilmiah Akhir Ners ini adalah hasil karya saya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
: Marhamatunnisa
NPM
: 0806334073
Tanda Tangan :
Tanggal
: 15 Juli 2013
ii
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
HALAMAN PENGESAHAN
Karya Ilmiah Akhir Ners ini (KIA-N) diajukan oleh :
Nama
: Marhamatunnisa
NPM
: 0806334073
Program Studi
: Ilmu Keperawatan
Judul KIAN
: Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan
Masyarakat Perkotaan Pada Pasien Spondilitis
Tuberkulosis di Rumah Sakit Fatmawati
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima
sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Ners
Keperawatan pada Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Ilmu
Keperawatan, Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI
Pembimbing
: Riri Maria S.Kp., MANP
Penguji
: Ns. Sri Sasongkowati, S.Kep.
Ditetapkan di : Depok
Tanggal
: 15 Juli 2013
iii
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya haturkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya,
saya dapat menyelesaikan karya ilmiah akhir ners ini. Penulisan karya ilmiah ini
dilakukan dalam rangka memenuhi tugas akhir sebagai syarat lulus jenjang
pendidikan Profesi di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Saya
menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, sangatlah
sulit bagi saya untuk menyelesaikan karya ilmiah ini. Oleh karena itu, saya
mengucapkan terima kasih kepada:
(1)Kuntarti S.Kp., M.Biomed. selaku dosen ketua program studi di Fakultas Ilmu
Keperawatan sekaligus koordinator Program Profesi 2012-2013 yang telah
meluangkan waktunya dalam mengurusi segala hal yang berkaitan dengan
pengurusan selama proses praktik profesi saya dan seluruh teman-teman
profesi angkatan 2012;
(2)Riri Maria S.Kp., MANP selaku dosen koordinator mata ajar KIA sekaligus
pembimbing yang telah bersedia membimbing saya dalam penyusunan karya
ilmiah saya, dari mengoreksi proposal, setiap bab dalam laporan KIA, hingga
memberikan arahan dan masukan yang sangat berharga dan bermanfaat bagi
saya;
(3) Ns. Sri Sasongkowati, selaku dosen pembimbing klinik selama berdinas di
Rumah Sakit Fatmawati sekaligus penguji KIA yang telah memberikan banyak
masukan dan kritik
yang
sangat
membangun
bagi
perbaikan dan
penyempurnaan KIA ini;
(4) Orangtua dan kedua adik saya yang senantiasa memotivasi dan memberikan
dukungan moral, terutama do’a dari kedua orangtua saya, Ayah dan Mamah,
yang senantiasa beliau panjatkan demi keberhasilan saya;
(5) Teman-teman FIK UI Profesi angkatan 2012, khususnya teman satu
pembimbing selama proses pembuatan KIA, Irma, Lia, dan Ka Indah;
(6) Teman-teman di Asrama Aceh Pocut Baren, Eno, Lila, Sulas, Cholida, Lulu,
Rara, Esti, Manggar, Desy, Yuyun, yang senantiasa mendukung saya selama
proses penyusunan karya ilmiah akhir ini; dan
iv
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
(7) Seluruh perawat ruangan di Gedung Profesor Soelarto RS.Fatmawati, Ibu
Mursanih, Pak Harun, Ibu Sri, Ka Harice, Ibu Widi, Ibu Ma’rif, Ka Rani, Ka
Aini, Ka Yuli, Ka Tita, Ka Elis, Ka Sofyan, Ka Fao, Ka Anas, Ka Endro, Ka
Yahya, yang telah memberikan banyak bimbingan dan arahan selama saya
berdinas.
Akhir kata, semoga Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan dan
pengorbanan semua pihak yang telah membantu penyusunan Karya Ilmiah Akhir
ini dan semoga Karya Ilmiah Akhir ini dapat bermanfaat bagi keilmuan
keperawatan untuk kedepannya.
Depok, Juli 2013
Penulis
v
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di
bawah ini:
Nama
: Marhamatunnisa
NPM
: 0806334073
Program Studi : Ilmu Keperawatan
Fakultas
: Ilmu Keperawatan
Jenis Karya
: Karya Ilmiah Akhir
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Nonekslusif (Non-exclusive RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:
Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan Pada
Pasien Spondilitis Tuberkulosis Di Rumah Sakit Fatmawati
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Nonekslusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/
formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat,dan
memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis/ pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di
: Depok
Pada Tanggal : 15 Juli 2013
Yang menyatakan
( Marhamatunnisa )
vi
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
ABSTRAK
Nama
: Marhamatunnisa
Program Studi : Ilmu Keperawatan
Judul
: Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat
Perkotaan Pada Pasien Spondilitis Tuberkulosis Di Rumah Sakit
Fatmawati
Wilayah perkotaan identik dengan pemukiman padat, polusi udara, kualitas air
yang buruk, dan tinggi angka perokoknya. Hal ini menyebabkan penduduk
perkotaan banyak terjangkit masalah kesehatan, terutama penyakit pernapasan dan
menular, salah satunya adalah spondilitis. Spondilitis tuberkulosis merupakan
inflamasi pada tulang vertebrae yang bisa disebabkan oleh infeksi sekunder dari
tuberkulosis. Deformitas vertebrae merupakan manifestasi klinis yang paling
sering ditemui dan perlu ditangani dengan pembedahan: debridement dan
stabilisasi untuk mencegah masalah berlanjut kepada defisit neurologi. Intervensi
mobilisasi dini dengan teknik log roll penting dilakukan guna mencegah
komplikasi operasi dan cidera post stabilisasi. Evaluasi hasil intervensi klien dapat
defekasi pada hari ke-7 post operasi, luka kering dan tidak infeksi, dan kekuatan
otot meningkat.
Kata kunci: Kota, Logroll, Mobilisasi, Operasi, Spondilitis Tuberkulosis.
ABSTRACT
Name
: Marhamatunnisa
Study Program: Nursing
Tittle
: Analysis of Clinical Practice of Urban Nursing on Patient with
Spondylitis Tuberculosis at Fatmawati Hospital
Urban region is characterized by over population, air pollution, lack of water
quality, and high smoker rating. These all causing inhabitant suffers from many
health problems, particularly respiratory and infected disease, such as spondylitis.
Spondylitis tuberculosis is inflammation in vertebrae caused by secondary
infection of tuberculosis. Deformity of vertebrae is one of clinical manifestation
which most found and have to solve by surgery: debridement and stabilization to
prevent new problem, deficit of neurology. Early mobilization with logrolling
technique is important to prevent the complication of operation and injury post
stabilization. The evaluation is client defecated after 7th day post operation, wound
become drying up and do not infected, and the muscle strength was increased.
Keywords: City. Logroll. Mobilization. Operation. Spondylitis Tuberculosis.
vii
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ...................................................
HALAMAN PENGESAHAN ...............................................................................
KATA PENGANTAR ..........................................................................................
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ....................................
ABSTRAK ............................................................................................................
DAFTAR ISI ........................................................................................................
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN .........................................................................................
BAB 1 PENDAHULUAN.....................................................................................
1.1 Latar Belakang .........................................................................................
1.2 Tujuan Penulisan ......................................................................................
1.3 Manfaat Penulisan ....................................................................................
i
ii
iii
iv
vi
vii
viii
ix
x
1
1
7
7
BAB 2 TINJAUAN TEORI ............................................................................... 9
2.1 Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan ........................................ 9
2.2 Tuberkulosis Paru...................................................................................... 15
2.3 Spondilitis Tuberkulosis ............................................................................ 17
2.4 Tulang Belakang dan Persarafanya ............................................................ 20
2.5 Fraktur Patologis ....................................................................................... 22
2.6 Keperawatan Perioperatif .......................................................................... 23
2.7 Mobilisasi Post Operasi ............................................................................. 27
2.8 Teknik Log Roll ........................................................................................ 28
BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN...................................................................
3.1 Pengkajian ..............................................................................................
3.2 Masalah dan Intervensi Keperawatan........................................................
3.3 Implementasi dan Evaluasi .......................................................................
30
30
36
39
BAB 4 PEMBAHASAN ......................................................................................
4.1 Analisis Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan terkait Kasus ......
4.2 Analisis Asuhan Keperawatan Kasus ........................................................
4.3 Analisis Intervensi Mobilisasi Dini dengan Teknik Log Roll ....................
44
44
46
49
BAB 5 PENUTUP ................................................................................................ 55
5.1 Kesimpulan............................................................................................... 55
5.2 Saran ........................................................................................................ 56
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 58
viii
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Hasil Pemeriksaan Penunjang MRI untuk Spondilitis TB………… 19
Gambar 2.2 tulang belakang dan sistem saraf spinal …………………………... 22
ix
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Format Pengkajian Keperawatan Medikal Bedah FIK UI
Lampiran 2 Analisa Data
Lampiran 3 Rencana Asuhan Keperawatan
Lampiran 4 Catatan Perkembangan
x
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
BAB 1
PENDAHULUAN
Bab 1 merupakan bab pendahuluan yang berisi latar belakang, tujuan
penulisan, serta manfaat penulisan.
Pada bagian latar belakang akan
disampaikan mengenai keperawatan kesehatan masalah perkotaan dan
kaitannya dengan diangkatnya tema Spondilitis Tuberkulosis dalam karya
ilmiah akhir-Ners ini. Sedangkan tujuan penulisan terdiri atas tujuan
umum dan khusus, serta manfaat penulisan meliputi manfaat aplikatif serta
keilmuan.
1.1.Latar Belakang
Sehat merupakan keadaan saat individu terbebas dari sakit. Adapun
definisi sehat menurut UU kesehatan adalah suatu keadaan sejahtera
dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup
produktif secara sosial dan ekonomis (UU Kesehatan No. 23 tahun
1992). Sedangkan menurut World Health Organization (WHO) (2010),
sehat adalah keadaan sejahtera secara fisik, mental, dan sosial bukan
hanya sekedar tidak adanya penyakit maupun cacat (USU, 2011).
Berdasarkan kedua definisi tersebut, sehat dapat disimpulkan sebagai
keadaan sejahtera secara fisik, jiwa, dan sosial sehingga seseorang
dapat hidup beraktivitas dan produktif. Sehat adalah hak setiap
individu, dimanapun ia berada, baik yang tinggal di desa mapun di
kota.
Sehat adalah hak setiap individu dan merupakan tanggung jawab bagi
setiap tenaga kesehatan dalam membantu individu mencapai kondisi
tersebut. Perawat merupakan salah satu bagian dari tenaga kesehatan.
Oleh karena itu perawat pun memiliki kewajiban dalam membantu
pencapaian kondisi sehat di masyarakat.
Sebagaimana yang telah
diketahui, perawat bukan hanya bertugas di rumah sakit, melainkan
juga di masyarakat, membantu pencapaian masyarakat yang sehat
dengan bekerjasama dengan pemerintah dan elemen masyarakat.
1
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
2
Wilayah kota atau sering disebut pula dengan kawasan urban semakin
lama pertumbuhannya semakin pesat. Laju urbanisasi (perpindahan
penduduk dari desa ke kota) meningkat merupakan salah satu
penyebabnya dan Indonesia merupakan salah satu negara dengan laju
urbanisasi yang tinggi (Gundayaini, 2009). Berdasarkan hasil survei,
pertumbuhan penduduk kota di Jawa Barat meningkat persentasenya
dari tahun 2005 yang hanya mencapai 58.8% menjadi 66.2% pada
tahun 2010 dan diperkirakan akan meningkat pada tahun 2015 menjadi
72.4%
(BPS,
2013).
Sementara
laju
urbanisasi
meningkat,
kompleksitas masalah di wilayah perkotaan pun turut meningkat.
Wilayah perkotaan identik dengan pertumbuhan industri dan ekonomi.
Kawasan perkotaan (urban) adalah wilayah dengan susunan fungsi
kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan
distribusi pelayanan jasa pemerintahan, serta pelayanan sosial, dan
kegiatan ekonomi (PP RI No.34 tahun 2009). Oleh karena itu,
beberapa kekhasan dari wilayah perkotaan adalah kondisi pemukiman
yang padat penduduk, terdapat wilayah yang didalamnya terdapat
pusat pemerintahan dan seluruh pelayanan jasa pemerintahan, serta
terdapat wilayah pusat perekonomian. Kondisi kota yang seperti itu
umumnya diiringi pula dengan padatnya transportasi demi menunjang
seluruh aktivitas penduduknya. Oleh karena itu, pemusatan dan
kepadatan wilayah perkotaan menimbulkan banyak faktor resiko
masalah kesehatan, diantaranya adalah udara kota banyak dipenuhi
asap kendaraan bermotor, sedikitnya kawasan hijau, pemukiman
terlalu padat seringkali terkesan kumuh dan tidak sehat, serta
minimnya sanitasi dan ketersediaan air bersih (Kemenkes, 2012).
Salah satu faktor resiko masalah kesehatan di wilayah perkotaan
adalah aspek demografi, yakni kepadatan penduduk. Kepadatan
penduduk di kota seringkali diiringi dengan kesan kumuh dan kurang
sehat sehingga mempengaruhi kondisi fisik, mental, serta sosial
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
3
penduduknya (Kemenkes,, 2012). Sisi kepadatan penduduk saja sudah
merupakan satu faktor resiko terhadap masalah kesehatan, yakni
mudahnya
penularan
penyakit
bagi
penduduk
yang
tinggal
didalamnya. Beberapa penyakit menular yang khas menyerang wilayah
padat adalah demam berdarah, malaria, diare, dan ISPA (Kemenkes,
2012). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh tim pengendalian
penyakit dan penyehatan lingkungan Kemenkes RI, angka kesakitan
penderita DBD di wilayah kota pada tahun 2012 adalah 34,3%,
meningkat dari tahun 2011 yang hanya mencapai 26,67% (Kemenkes,
2012). Selain kepadatan penduduk, kemiskinan yang berdampak pada
kekumuhan pemukiman peduduk kota pun menjadi faktor pemberat
munculnya masalah kesehatan di perkotaan, diantaranya adalah
tingginya angka kejadian gizi buruk serta angka kematian ibu dan bayi
di perkotaan (Mukti, 2012).
Faktor lainnya yang mempengaruhi kerentanan masyarakat perkotaan
adalah kurangnya air bersih dan sanitasi. Berdasarkan data dari
International Relief and Development (IRD), masalah buruknya
sanitasi dan kurangnya air bersih terjadi di 50% wilayah perkotaan
sehingga dampaknya adalah meningkatnya angka kejadian diare,
penyakit kulit, penyakit usus dan penyakit-penyakit lain yang berasal
dari air (IRD, 2012). Studi yang dilakukan oleh Bank Dunia pada
tahun 2008 pun menghasilkan data bahwa sekitar 120 juta kasus
penyakit dan 50.000 kematian dini setiap tahun terjadi akibat dari
sanitasi yang buruk (IRD, 2012). Hal ini menambah bukti betapa
wilayah perkotaan sangat membutuhkan perhatian besar bagi seluruh
lapisan masyarakat. Tidak hanya masalah sanitasi dan air bersih,
pesatnya industri di wilayah perkotaan menambah catatan tingginya
polusi dan minimnya ruang terbuka hijau di wilayah perkotaan.
Lingkungan yang berpolusi, kotor, minimnya ruang terbuka hijau,
padatnya
pemukiman
merupakan
beberapa
faktor
pendukung
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
4
munculnya masalah pada saluran pernapasan seperti infeksi saluran
pernapasan akut (ISPA), pneumonia, bronchitis, hingga tuberkulosis
(Kemenkes, 2012). Menurut Kepala Subdirektorat Tuberkulosis
Kementerian Kesehatan Dyah Erti Mustikawati, masyarakat perkotaan
adalah kelompok masyarakat paling rentan terserang tuberkulosis
karena kondisi lingkungan tempat tinggal yang padat, kurang ventilasi
dan mendapat pencahayaan matahari, kumuh serta rendahnya mutu
asupan nutrisi. Hal tersebut membuat kuman tuberkulosis dalam tubuh
mudah menjadi aktif (Kompas, 2013). Saat ini, tuberkulosis (TB)
merupakan salah satu masalah kesehatan di wilayah kota yang cukup
mendapat perhatian karena angka kejadiannya yang cukup tinggi di
Indonesia. Berdasarkan data dari Balitbangkes, penyumbang tertinggi
dari beban penyakit di Indonesia pada tahun 2010 adalah stroke,
tuberkulosis dan kecelakaan lalu-lintas (Kemenkes, 2013).
Berdasarkan laporan WHO dalam Global Tuberculosis Control 2010,
pada tahun 2009 Indonesia menempati posisi kelima untuk kejadian
TB dengan jumlah penderita TB sebesar 429 ribu orang, setelah India,
Cina, Afrika Selatan, dan Nigeria. dan Indonesia (Perkumpulan
Pemberantasan Tuberkulosis Indonesi/ PPTI, 2012). Sementara
kejadian TB yang sudah bermetastase ke luar paru mencapai 11215
kasus,TB. Namun pemerintah bukan berarti tidak melakukan apa-apa,
sudah banyak kemajuan terkait penanggulangan TB di Indonesia,
diantaranya ditunjukkan dengan angka keberhasilan pengobatan dari
tahun 2003 sampai tahun 2008 (dalam %), tahun 2003 (87%), tahun
2004 (90%), tahun 2005 sampai 2008 semuanya sama (91%)
(Sedyaningsih,
2011).
Berdasarkan
data-data
tersebut,
dapat
disimpulkan bahwa masalah TB sudah bukan lagi masalah baru di
Indonesia dan perhatian pemerintah terhadap hal tersebut sudah cukup
tinggi.
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
5
Tuberkulosis atau biasa disingkat dengan TBC/TB adalah penyakit
infeksius, terutama menyerang parenkim paru, namun dapat pula
ditularkan ke bagian tubuh lainnya, termasuk meningen, ginjal, tulang,
dan nodus limfe (Smeltzer & Bare, 2002). Agen utama penyebab
penyakit ini adalah bakteri mycobacterium tuberculosis,ia merupakan
bakteri gram positif bersifat aerob dan tahan asam, tumbuh lambat dan
sensitif terhadap panas dan sinar ultraviolet. Bakteri ini tumbuh dengan
lambat
dibanding
dengan
bakteri
lain,
dan
penyakit
yang
disebabkannya semuanya kronik dan progresif (Smeltzer & Bare,
2002). Oleh karena itu, tuberkulosis merupakan penyakit kronik yang
kadang disepelekan hingga ia mencapai tahap komplikasi yang sudah
cukup berat bahkan hingga menyerang organ lain selain paru. Salah
satu komplikasi yang kejadiannya cukup sering adalah spondylitis
dimana penyebaran tuberkulosis sudah mencapai tulang belakang dan
sudah mengakibatkan adanya kelainan pada tulang belakang.
Spondilitis Tuberkolisis adalah salah satu komplikasi kronik dari TB
yang tidak tertangani atau buruk penanganannya (Smeltzer & Bare,
2002). Banyak sekali kasus spondilis diawali dengan ketidakpatuhan
para penderita TB untuk menjalani program pengobatan yang memang
harus dijalani dalam waktu yang panjang, berbulan-bulan, biasanya 6-9
bulan (PPTI, 2012). Spondilitis adalah inflamasi pada tulang vertebrae
yang bisa disebabkan oleh beberapa hal, misalnya proses infeksi,
imunitas, biasanya merupakan kelanjutan proses penyakit tuberkulosis.
Saat tulang terinfeksi, bagian dalam tulang yang lunak (sumsum
tulang) sering membengkak dan menekan dinding sebelah luar tulang
yang kaku sehingga pembuluh darah di dalam sumsum bisa tertekan,
menyebabkan berkurangnya aliran darah ke tulang (Rasjad, 2003).
Tanpa pasokan darah yang memadai, bagian dari tulang bisa mati.
Manistasi klinis yang paling mudah untuk diamati adalah tampak
adanya kelainan karena inflamasi pada tulang belakang. Oleh karena
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
6
terjadinya penekanan pada tulang dan perubahan bentuk, spondilitis
seringkali masuk kedalam masalah fraktur jenis patologis: terkompresi.
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang terjadi
karena adanya tekanan pada tulang yang melebihi absorpsi tulang
(Smeltzer & Bare, 2002). Pada masalah spondilitis, fraktur yang
berkaitan adalah fraktur patologik karena ia disebabkan oleh proses
penyakit (Subagjo, 2012). Spondilitis dikategorikan kedalam fraktur
karena
manifestasi yang
muncul adalah kelainan perubahan/
deformitas tulang belakang yang juga disertai kelemahan tulang hingga
tulang beresiko untuk terjadi fraktur karena aktivitas atau perubahan
posisi tertentu. Penatalaksanaan yang umum untuk spondilitis TB
umumnya adalah tindakan medikamentosa dimana terapi pengobatan
(sama dengan pengobatan TB) disertai dengan pembedahan, yakni
stabilisasi tulang belakang (Hidalgo, 2006).
Kasus spondilitis TB di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini
cukup marak terjadi di Indonesia. Di Ruang rawat orthopedi, Gedung
Profesor Soelarto (GPS) lantai 1 RS Fatmawati, kasus spondilitis
selama 2 bulan terakhir terhitung terdapat kurang lebih 6 pasien
dengan spondilitis tuberkulosis. Hal ini menunjukkan jumlah yang
tidak sedikit untuk kasus yang sebenarnya tidak terlalu umum. Dari 6
pasien yang menderita spondilitis TB, 3 orang pasien merupakan
remaja (usia 19-25 tahun) sementara 3 lainnya merupakan dewasa (3050 tahun). Berdasarkan penuturan pasien berusia 21 tahun, awalnya ia
mengeluhkan batuk-batuk, namun berangsur-angsur diikuti oleh
perubahan struktur tulang belakang, hingga terjadi skoliosis dan
kifosis. Hal tersebut kemudian mengejutkan pasien dan keluarga
pasien karena masih awam dengan penyakit ini, terutama karena
prognosis penyakitnya yang cukup cepat.
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
7
Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik mengangkat kasus spondilitis
TB sebagai tema untuk Karya Ilmiah Akhir-Ners yang harus dipenuhi
untuk menyelesaikan program pemdidikan Ners di Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia. Dalam KIA-N ini, penulis akan
memaparkan hal yang berkaitan dengan masalah Spondilitis TB sesuai
dengan kondisi pasien kelolaan penulis selama menjalani praktik
profesi keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan di GPS 1
RS.Fatmawati dengan dikaitkan dengan masalah kesehatan perkotaan
sekaligus analisis terhadap satu intervensi, yakni mobilisasi dini
dengan teknik logroll, yang dilakukan secara kontinyu kepada pasien
selama ia dirawat di ruang GPS 1 RS.Fatmawati.
1.2 Tujuan Penulisan
1.2.1 Tujuan Umum:
Penulisan Karya Ilmiah Akhir-Ners (KIA-N) ini bertujuan untuk
melakukan analisa terhadap kasus kelolaan dengan klien Spondilitis
Tuberkulosis di ruang rawat orthopedi Gedung Profesor Soelarto
RS.Fatmawati.
1.2.2
Tujuan khusus:
1.2.2.1
Menganalisis
keperawatan
kesehatan
masyarakat
perkotaan
berdasarkan agregat dan kaitannya dengan masalah klien kelolaan
1.2.2.2
Menganalisis kasus kelolaan dengan diagnose medis spondilitis
tuberkulosis
1.2.2.3
Menganalisis intervensi mobilisasi dini dengan teknik logroll yang
diterapkan secara kontinyu kepada klien kelolaan dengan
spondilitis tuberkulosis
1.3 Manfaat Penulisan
Penulisan KIA-N ini diharapkan dapat bermanfaat dalam tiga aspek yaitu
manfaat aplikatif, manfaat keilmuan dan manfaat metodologi:
1.3.1 Manfaat Aplikatif
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
8
1.3.1.1 Memberikan masukan bagi perawat untuk memberikan edukasi
yang tepat terkait mobilisasi kepada pasien dengan spondilitis
tuberkulosis dengan post stabilisasi
1.3.1.2 Memberikan informasi bagi klien dengan spondilits tuberkulosis
dan keluarga yang merawat agar dapat segera melakukan
mobilisasi dini pasca stabilisasi untuk mencegah komplikasi
imobilisasi serta melakukan teknik ubah posisi yang benar untuk
mencegah cidera pascaoperasi
1.3.1.3 Memberikan informasi bagi seluruh tenaga kesehatan terkait
penerapan teknik ubah posisi dengan log roll untuk mencegah
cidera pascaoperasi
1.3.2
Manfaat Keilmuan
1.3.2.1 Memberikan masukan bagi pengembangan ilmu pengetahuan
yang aplikatif terhadap keperawatan terkait masalah spondilitis
tuberkulosis serta bagaimana mobilisasi dengan teknik yang
benar
1.3.2.2 Hasil penulisan juga dapat memberikan informasi bagi staf
akademik dan mahasiswa dalam rangka pengembangan proses
belajar mengajar khususnya keperawatan medikal bedah,
kekhususan tulang belakang/ spine.
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Bab 2 ini merupakan tinjauan pustaka. Tinjauan pustaka yang akan dibahas adalah
beberapa hal yang berkaitan dengan tema dari karya tulis ini, meliputi fokus
utama yakni keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan, diikuti dengan
tuberkulosis sebagai salah satu masalah perkotaan. Kemudian selanjutnya adalah
spondilitis tuberkulosis sebagai komplikasi dari tuberkulosis yang sudah
bermetastase hingga ke tulang. Kemudian dilanjutkan dengan sedikit pembahasan
mengenai tulang belakang/ spinal. Setelah itu adalah fraktur patologis terkait
spondilitis, lalu penatalaksanaan pembedahan sekaligus peran perawat selama
perioperatif. Bagian terakhir adalah perawatan post operasi, yakni mobilisasi dini
dengan teknik mengubah posisi logrolling untuk mencegah komplikasi cidera post
operatif.
2.1. Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan
Sehat adalah keadaan saat seseorang terbebas dari penyakit, baik secara fisik,
mental, maupun sosial. Didalam keperawatan, sehat didefinisikan lebih luas
lagi, yakni mencakup aspek biologis, psikologis, social, spiritual, dan kultural
(Potter & Perry, 2002). Sedangkan menurut World Health Organization, sehat
merupakan keadaan sejahtera secara fisik, mental, dan sosial bukan hanya
sekedar tidak adanya penyakit maupun cacat (Kemenkes, 2012). Sehat dalam
pengertian yang lebih luas juga dapat diartikan dengan keadaan yang dinamis
dimana individu menyesuaikan diri dengan perubahan- perubahan lingkungan
internal dan eksternal untuk mempertahankan keadaan kesehatannya.
Berdasarkan penjelasan tersebut, lingkungan eksternal ikut mempengaruhi
kesehatan seseorang, salah satunya adalah lingkungan fisik tempat seseorang
tinggal (Potter & Perry, 2002).
Lingkungan fisik tempat dimana seseorang bekerja atau tinggal dapat
meningkatkan kemungkinan terjadinya penyakit tertentu. Misalnya saja
lingkungan perkotaan yang tinggi polusi udara, padat penduduk, dan
9
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
10
kurangnya ventilasi serta pencahayaan matahari merupakan faktor resiko
terhadap masalah kesehatan tuberkulosis, lingkungan yang kotor, sanitasi dan
kualitas air bersih yang buruk dapat menyebabkan penyakit kulit, diare, dan
sebagainya (Kemenkes, 2012).
2.1.1 Faktor yang mempengaruhi Kesehatan Masyarakat
Blum memaparkan bahwa kesehatan manusia terdiri atas tiga dimensi,
yakni fisik, mental, dan social dan terdapat empat faktor dasar yang
mempengaruhi kesehatan suatu masyarakat (Anderson & McFarlane,
2007). Faktor tersebut adalah:
a. Lingkungan. Lingkungan ini meliputi lingkungan fisik (baik natural
atau buatan manusia), sosial (misal seperti homeless dan anak jalanan)
dan psikologis (misalnya kekerasan, depresi, dan stress). Pada
lingkungan fisik, misalnya kesehatan akan dipengaruhi oleh kebersiha
udara yang dihirup, air yang diminum, dan lain sebagainya.
b. Perilaku atau Gaya Hidup
Gaya hidup individu atau masyarakat sangat mempengaruhi derajat
kesehatan. Misalnya saja dalam masyarakat perkotaan, aktivitas wanita
karir semakin padat sehingga tidak memiliki banyak waktu untuk
menyajikan makanan sehat bagi keluarga. Akibatnya mereka lebih suka
dengan hal-hal praktis misalnya makan dengan membeli makanan cepat
saji, yang secara kesehatan kurang sehat karena banyak mengandung
zat pengawet dan kimia lainnya.
c. Heredity
Faktor genetik ini sangat berpengaruh pada derajat kesehatan. Hal ini
karena ada beberapa penyakit yang diturunkan lewat genetik, seperti
leukemia. Faktor hereditas sulit untuk diintervensi karena hal ini
merupakan bawaan dari lahir.
d. Pelayanan kesehatan
Pelayanan kesehatan juga mempengaruhi derajat kesehatan. Pelayanan
kesehatan disini adalah pelayanan kesehatan utama dan intregatif antara
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Semakin mudah akses
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
11
individu/masyarakat terhadap pelayanan kesehatan maka derajat
kesehatan masyarakat akan semakin baik.
2.1.2 Definisi Perkotaan
Salah satu lingkungan fisik yang memiliki banyak faktor resiko terhadap
kondisi kesehatan individunya adalah lingkungan perkotaan. Wilayah kota
atau sering disebut pula dengan kawasan urban semakin lama
pertumbuhannya semakin pesat. Kawasan perkotaan (urban) adalah
wilayah dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman
perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, serta
pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi (PP RI No.34 tahun 2009). Oleh
karena itu, beberapa kekhasan dari wilayah perkotaan adalah kondisi
pemukiman yang padat penduduk, terdapat wilayah yang didalamnya
terdapat pusat pemerintahan dan seluruh pelayanan jasa pemerintahan,
terdapat wilayah pusat perekonomian serta padat angkutan transportasi.
Berdasarkan kondisi tersebut, wilayah perkotaan memiliki banyak faktor
resiko masalah kesehatan, diantaranya adalah udara kota banyak dipenuhi
asap kendaraan bermotor, sedikitnya kawasan hijau, pemukiman terlalu
padat seringkali terkesan kumuh dan tidak sehat, serta minimnya sanitasi
dan ketersediaan air bersih (Kemenkes, 2012).
2.1.3. Konsep Resiko
Kata beresiko biasanya muncul ketika mengumpulkan data riwayat
penyakit klien. Dalam model epidemiologi, beresiko berarti suatu kondisi
kesehatan yang merupakan hasil interaksi beberapa faktor, diantaranya
adalah faktor genetik, gaya hidup, dan lingkungan fisik serta sosial dimana
individu tinggal dan atau bekerja (Stanhope & Lancaster, 2004). Efek dari
akumulasi dan integrasi faktor- faktor tersebut adalah respon individu
terhadap masalah kesehatan, mungkin menjadi lebih mudah atau justru
semakin sulit terjangkit masalah kesehatan.
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
12
Beresiko berarti adalah kemungkinan terhadap munculnya suatu kejadian,
seperti status kesehatan seseorang yang terpapar oleh suatu faktor spesifik
tertentu maka akan menderita suatu penyakit spesifik tertentu tersebut
(Stanhope & Lancaster, 2004). Berdasarkan definisi tersebut, hampir
setiap individu merupakan individu beresiko terhadap masalah kesehatan
karena dikelilingi oleh faktor-faktor, hanya saja masing-masing mungkin
berbeda terhadap masalah kesehatan tertentu karena faktor spesifik yang
berbeda pula (Allender, 2010). Misalnya saja penduduk perkotaan
beresiko terhadap masalah kesehatan daripada penduduk pedesaa karena
udara di kota sudah banyak tercemari.
Adapun faktor resiko merupakan faktor paparan yang spesifik yang secara
terus menerus bersinggungan terhadap individu dari luar, seperti asap
rokok, stress yang berlebihan, dan zat kimia yang ada di lingkungan.
Faktor resiko juga berkaitan dengan karakteristik seseorang seperti umur,
jenis kelamin, dan genetik. Gaya hidup seseorang juga menentukan
terhadap adanya faktor resiko munculnya suatu penyakit pada seseorang
(Stanhope & Lancaster, 2004). Dengan demikian, faktor resiko adalah
seluruh elemen di sekitar lingkungan internal maupun eksternal individu
yang mempengaruhi kondisi kesehatannya.
Populasi beresiko merupakan kumpulan dari orang-orang yang memiliki
beberapa kemungkinan yang telah jelas teridentifikasi atau telah
ditentukan meskipun sedikit atau kecil terhadap munculnya suatu peristiwa
(Stanhope & Lancaster, 2004; Hitchcock, Schubert & Thomas, 2004).
Identifikasi yang menyeluruh pada populasi risiko membutuhkan suatu
instrumen yang baik dalam mengidentifikasi faktor-faktor risiko yang
berkontribusi terhadap munculnya penyakit atau masalah (Stanhope &
Lancaster, 2004). Populasi beresiko adalah populasi yang melakukan
aktifitas-aktivitas
tertentu
atau
memiliki
ciri-ciri
tertentu
yang
meningkatkan potensi populasi tersebut untuk mengalami penyakit,
cedera, atau masalah kesehatan lainnya (Eugsti, Guire & Stone, 2002).
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
13
2.1.4 Konsep Kerentanan/ Vulnerable
Vulnerable/ kerentanan mengarah kepada bagaimana individu lebih
berpotensi terhadap gangguan fisik (serangan fisik) dan memiliki system
pertahanan yang rendah, lebih rentan sehingga lebih mudah terjangkit
(Lundy, 2009). Lebih jauh lagi, kerentanan mengarah kepada bagaimana
individu atau sekelompok orang lebih mudah mengalami masalah
kesehatan tertentu dan nantinya mendapatkan hasil/ dampak lebih serius
karena akumulasi terpajan banyak fakto resiko (Clark, 1998). Populasi
rentan adalah sub kelompok yang memiliki kerentanan lebih tinggi
terhadap masalah kesehatan karena memiliki faktor (kombinasi faktor)
yang memperberat kondisi kelompok tersebut, misalnya saja faktor
kemiskinan atau status ekonomi rendah (Clark, 1998). Kelompok rentan
lebih sensitif terhadap masalah kesehatan dibandingkan kelompok lain
pada umumnya atau kelompok at risk karena mereka lebih sensitif
terhadap faktor resiko pada umumya, yakni faktor ekonomi, fisik, sosial,
biologi, genetik, ataupun gaya hidup (Stanhope & Lancaster, 2004).
2.1.4 Konsep dan Teori Agregat
Agregat adalah sebuah komunitas yang tersusun dari individu yang
memiliki karakteristik umum yang sama (Anderson, 2006). Misalnya,
anggota komunitas yang bertempat tinggal di kota yang sama,
keanggotaan dalam organisasi keagamaan yang sama, atau memiliki
kesamaan umur atau etnis. Banyak faktor yang dapat menggambarkan
suatu agregat, salah satunya adalah tumbuh kembang.
Agregat juga dapat diklasifikasikan berdasarkan tahapan tumbuh
kembang. Berdasarkan hal tersebut, agregat terdiri atas agregat bayi,
agregat anak prasekoah-sekolah, agregat remaja, dewasa: dewasa awal,
tengah, dan akhir, serta agregat lansia (Potter & Perry, 2002). Dalam bab
ini, agregat akan difokuskan kepada agregat dewasa, khususnya adalah
dewasa awal. Berdasarkan penelitian oleh ilmuan klasik, Levinson pada
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
14
tahun 1978 (Nies & McEwen 2007), karakteristik perkembangan masa
dewasa adalah:
a. Awal transisi dewasa (usia 18- 20 tahun), ketika seseorang berpisah
dari keluarga dan merasakan kebebasan.
b. Memasuki dunia kedewasaan (usia 21 – 27 tahun), ketika seseorang
menyiapkan dan mencoba berkarier.
c. Masa transisi (usia 28 – 32 tahun) adalah ketika seseorang secara
besar-besaran memodifikasi aktivitas kehidupannya dan memikirkan
tujuan masa depan.
d. Masa tenang ( usia 33 – 39 tahun) adalah ketika seseorang mencapai
stabilitas yang besar.
e. Masa keberhasilan (usia 40 – 65 tahun) merupakan waktu untuk
pengaruh maksimal, membimbing dan menilai diri sendiri.
Masa dewasa awal merupakan kelanjutan dari masa remaja (Wong, Perry
& Hockenberry, 2002). Seseorang dapat dikatakan dewasa saat sudah
mencapai keseimbangan pertumbuhan fisiologis, psikologis, psikososial,
dan kognitif. Beberapa masalah yang khas pada masa dewasa awal,
terutama dewasa pria adalah masalah karena penggunaan NAPZA,
terutama yang paling umum adalah rokok, serta masalah fraktur karena
kecelakaan (Nies & McEwen, 2007).
Menurut Nies dan McEwen (2007), dewasa pria dan wanita berbeda
berdasarkan pekerjaan, gaya hidup, dan aktivitas waktu senggang.
Karakteristik mendasar dari pria adalah kompetitif, aktif secara fisik, kuat,
kasar, dan mandiri. Pada pria lebih banyak mengambil pekerjaan di luar
rumah (kantor, proyek, pabrik) waktu penuh bahkan hingga mengambil
lembur. Insiden terluka saat berolahraga, kecelakaan saat berkendara
dengan kecepatan tinggi, ketergantungan hingga kematian akibat
penggunaan NAPZA secara illegal, ketergantungan terhadap minuman
beralkohol dan rokok adalah berbagai masalah kesehatan yang
mengancam kesehatan pria.
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
15
2.2 Tuberkulosis Paru
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki prevalensi kejadian
Tuberkulosis yang cukup tinggi. Berdasarkan laporan WHO dalam Global
Tuberculosis Control 2010, pada tahun 2009 Indonesia menempati posisi
kelima untuk kejadian TB dengan jumlah penderita TB sebesar 429 ribu
orang, setelah India, Cina, Afrika Selatan, dan Nigeria. dan Indonesia
(Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesi/ PPTI, 2013).
2.2.1 Definisi dan Agen Penyebab
Tuberkulosis atau biasa disingkat dengan TBC/TB adalah penyakit
infeksius, terutama menyerang parenkim paru, namun dapat pula
ditularkan ke bagian tubuh lainnya, termasuk meningen, ginjal, tulang, dan
nodus limfe (Smeltzer & Bare, 2002). Agen utama penyebab penyakit ini
adalah bakteri mycobacterium tuberculosis,ia merupakan bakteri gram
positif bersifat aerob dan tahan asam, tumbuh lambat dan sensitif terhadap
panas dan sinar ultraviolet (Suryo, 2010). Bakteri ini tumbuh dengan
lambat dibanding dengan bakteri lain, dan penyakit yang disebabkannya
semuanya kronik dan progresif (Smeltzer & Bare, 2002). Oleh karena itu,
tuberkulosis merupakan penyakit kronik yang seringkali manifestasi
klinisnya baru muncul setelah beberapa tahun terpapar bakteri tersebut.
2.2.1 Manifestasi Klinis
Beberapa manifestasi klinis tuberkulosis diantaranya adalah munculnya
demam tingkat rendah, keletihan, anoreksia, penurunan berat badan,
berkeringat malam, nyeri dada, batuk menetap (kurang lebih 1 bulan),
tidak ada nafsu makan selama 3 bulan tanpa sebab (Smeltzer & Bare,
2002). Kemudian batuk pada awalnya mungkin nonproduktif, namun
dapat berkembang ke arah pembentukan sputum mikropurulen dengan
hemoptisis (Spiegelburg, 2007). Manifestasi awal dari tuberkulosis
seringkali dianggap sebagai penyakit ringan, seperti demam dan batuk
pilek biasa, sehingga sering disepelekan hingga ia mencapai tahap
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
16
komplikasi yang sudah cukup berat dan menyerang organ lain selain paru
(PPTI, 2013).
2.2.2 Penularan dan Faktor Resiko Tuberkulosis
Berdasarkan Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia/ PPTI
(2013), beberapa cara penularan dari tuberkulosis adalah melalui transmisi
udara, dan kontak langsung dengan penderita TB aktif. Tuberkulosis
tergolong airborne disease yakni penularan melalui droplet nuclei yang
dikeluarkan ke udara oleh individu terinfeksi dalam fase aktif, dengan
jumlah 3000 droplet nuclei setiap kali batuk (Price & Wilson, 2005).
Droplet nuclei kemudian dapat menetap di udara dalam waktu tertentu. Di
bawah sinar matahari langsung basil tuberkel mati dengan cepat tetapi
dalam ruang yang gelap lembab dapat bertahan sampai beberapa jam.
Dalam hal penularan, terdapat dua faktor penentu keberhasilan pemaparan
Tuberkulosis pada individu baru yakni konsentrasi droplet nuclei dalam
udara dan panjang waktu individu bernapas dalam udara yang
terkontaminasi tersebut di samping daya tahan tubuh yang bersangkutan
(Soedarsono, 2000).
Sementara beberapa faktor resikonya adalah individu imunosupresif
(termasuk lansia, pasien dengan kanker, pasien yang dalam terapi
kortikosteroid, orang yang terinfeksi HIV), pengguna obat- obatan
intravena dan alkoholik, individu tanpa perawatan kesehatan yang adekuat,
merokok, dan tinggal ditempat kumuh (PPTI, 2013). Chatman (2008) juga
menyebutkan bahwa asap rokok ataupun asap kendaraan mengandung
beberapa racun bagi paru-paru sehingga bila orang tersebut terhirup
bakteri TB maka akan mudah terkena penyakit TB. Dari beberapa faktor
resiko tersebut terdapat beberapa hal yang khas dengan wilayah perkotaan.
2.2.3 Penyebaran Infeksi dan Komplikasi
Penyebaran bakteri TB lambat namun sangat progresif dan cara
penyebarannya diantaranya adalah melalui aliran limfe, aliran darah,
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
17
maupun organ terdekat (Smeltzer & Bare, 2002). Cara penyebaran lewat
aliran
darah
merupakan
yang
paling
sering
dijumpai
dengan
manifestasinya adalah infeksi di organ lain, seperti orchitis (peradangan
pada testis), spondilitis (peradangan pada tulang belakang), meningitis
(peradangan pada meningen), dan lain sebagainya (Smeltzer & Bare,
2002).
Penyebaran infeksi tubuh ke bagian selain paru disebut dengan TB miliaris
atau extrapulmonary TB (WHO, 2012). Penyebaran diawali dengan invasi
bakteri tuberkel TB (tubercle Gohn) yang keluar dari paru-paru melalui
cabang vena pulmonalis, lalu masuk ke jantung kiri, kemudian ke aorta,
dan akhirnya bersamaan dengan aliran darah sistemik mencapai seluruh
tubuh. Akhirnya bakteri berdiseminasi melalui semua jaringan, dengan
tuberkel miliaris kecil yang berkembang dalam paru-paru, limfa, hepar,
sumsum tulang, mata, ginjal, kelenjar adrenal, meninges, dan organ
lainnya (Smeltzer & Bare, 2002). Salah satu komplikasi yang paling sering
muncul dari tuberkulosis adalah spondilitis dimana infeksi sudah mencapai
tulang belakang atau biasa dikenal pula dengan TB tulang (PPTI, 2013).
2.3. Spondilitis Tuberkulosis
Spondilitis adalah inflamasi pada tulang vertebrae yang bisa disebabkan oleh
beberapa hal, misalnya adalah proses infeksi dan penurunan imunitas (Kotze
& Erasmus, 2006). Salah satu penyebab spondilitis yang paling sering terjadi
adalah infeksi tuberkulosis yang sudah bermetastase ke tulang belakang.
Spondilitis Tuberkulosis ini paling sering ditemukan pada vertebra T8 – L3
dan paling jarang pada vertebra C1 – C2 (Moesbar, 2006). Spondilitis
tuberkulosis biasanya mengenai korpus vertebra, tetapi jarang menyerang
arkus vertebrae. Oleh karena itu, kondisi defisit neurologi tidak selalu
ditemui pada penderita spondilitis. Bahkan beberapa penderita tampak bisa
beraktivitas normal dan hanya memerlukan terapi konservatif untuk
mengatasi nyeri karena deformitas tulang belakang (Moesbar, 2006).
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
18
2.3.1 Patogenesis
Spondilitis ini biasanya disebabkan infeksi sekunder dari tuberkulosis
ekstraspinalis yang mengenai korpus vertebrae (Moesbar, 2006).
Tuberkulosis bisa menyebar sampai ke diskus intervertebralis. Sehingga
menyebabkan destruksi tulang yang progressif dan menyebabkan tulang
vertebrae menjadi kolaps dan kiposis (Mak & Cheung, 2013). Kanalis
spinalis bisa menjadi kecil atau sempit oleh karena abses, granulasi
jaringan, atau invasi secara langsung, dan inilah yang menyebabkan
medula spinalis mengalami kompresi dan terjadi defisit neurologi sesuai
pada lokasi vertebra yang terkena (Garg & Somvanshi, 2011).
2.3.2 Manifestasi Klinis dan Pemeriksaan Penunjang
Nyeri dan kaku pada punggung, deformitas pada punggung (gibbus),
pembengkakan setempat (abses), kelemahan/ kelumpuhan ekstremitas atau
gangguan fungsi buli-buli dan anus (defisit nerurologi), dan adanya proses
TB (Moesbar, 2006). Alavi dan Sharifi (2010) juga menyatakan bahwa
dari 69 responden didapatkan hasil 98,5% mengalami nyeri punggung,
26% merasa demam dimalam hari, 28,9% bentuk tubuh kifosis, 17,4%
berkeringat dimalam hari dan sekitar 14,5% mengalami penurunan berat
badan.
Beberapa pemeriksaan penunjang sama dengan yang dilakukan untuk
penderita TB yakni tes tuberkulin, darah rutin, dan biasanya Laju Endap
Darah (LED) akan meningkat hingga >100mm/h (Paramarta et al., 2008).
Menurut Alavi & Shafiri (2010 foto rontgen akan memperlihatkan hasil
dekalsifikasi suatu korpus vertebra karena terdapat suatu kaverne. Dengan
demikian terjadi suatu fraktur kompresi, sehingga bagian depan dari
korpus vertebra menjadi lebih tipis daripada bagian belakangnya (korpus
vertebra jadi berbentuk baji) dan tampaklah suatu gibbus pada tulang
belakang (Moesbar, 2006). Moesbar (2006) juga menyebutkan akan
tampak adanya dekplate korpus vertebra yang tampak kabur (tidak tajam)
dan tidak teratur, dan diskus intervertebrae akan tampak menyempit, serta
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
19
muncul abses dingin, yakni akan tampak sebagai suatu bayangan yang
berbentuk kumparan atau spindle.
Gambar 2.1 Hasil Pemeriksaan Penunjang MRI untuk Spondilitis TB
(Sumber: Kotze & Erasmus, 2006)
2.3.3 Tatalaksana
Penatalaksanaan spondilitis tuberkulosis terdiri atas terapi konservatif,
medikamentosa, dan operatif (Moesbar, 2006).
a) Terapi Konservatif
Berupa istirahat di tempat tidur untuk mengurangi nyeri dan spasme otot,
mencegah paraplegia serta mengurangi destruksi tulang belakang
(Wilkinson & Ahhem, 2009). Mengurangi destruksi tulang belakang
dilakukan dengan pemberian korset yang mencegah gerak vertebrae/
membatasi gerak vertebrae (Moesbar, 2006). Korset memungkinkan
penderita dapat duduk/berjalan sehingga tidak memerlukan perawatan di
rumah sakit.
b) Medikamentosa
Obat antituberkulosa (OAT) misalnya rifampicin dan kombinasi obat
antituberkulosis lain. Terapi dengan mengkonsumsi obat OAT untuk
mencegah bakteri untuk resisten (Nawas, 2010). Dosis untuk dewasa
yaitu 10 mg/kg BB/4x1 atau 600mg/hari dibagi 4 dosis.
c) Terapi Operatif
Bedah kostotransversektomi yang dilakukan berupa debrideman dan
penggantian korpus vertebra yang rusak dengan tulang spongiosa/ kortiko
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
20
spongiosa. Debridement bertujuan untuk menghilangkan sumber infeksi,
mengkoreksi deformitas, menghilangkan komplikasi neurologik dan
kerusakan lebih lanjut (Dewald, 2003). Terapi operasi dilakukan jika
terapi konservatif tidak memberikan hasil yang memuaskan, terjadi
kompresi pada medulla spinalis, dan hasil radiologis menunjukkan
adanya sekuester dan kaseonekrotik dalam jumlah banyak (Moesbar,
2006)
2.5 Tulang Belakang dan Persarafannya
Kolumna vertebralis atau rangkaian tulang belakang adalah sebuah struktur
lentur yang dibentuk oleh sejumlah tulang yang disebut vertebrae atau ruas
tulang belakang. Diantara tiap dua ruas tulang pada vertebra terdapat bantalan
tulang rawan. Panjang rangkaian tulang belakang orang dewasa dapat
mencapai 57 sampai 67 centimeter (Pearce, 2002). Vertebra dikelompokkan
dan dinamai berdasarkan daerah lokasinya, yakni vertebra servikalis (leher),
torakalis (punggung), lumbalis (pinggang), sakralis (kelangkang), dan koksigis
(ekor).
Setiap vertebra terdiri atas dua bagian, yaitu anterior disebut badan vertebra,
dan posterior disebut arkus neuralis yang melingkari kanalis neuralis (foramen
vertebra atau saluran sumsum tulang belakang) yang dilalui sumsum tulang
belakang. Oleh karena itu, selain sebagai pendukung bentuk tubuh dan
pergerakan, memungkinkan gerakan kepala dan tungkai, dan menstabilkan
struktur tulang untuk ambulasi, ia juga berfungsis untuk melindungi medulla
spinalis atau sumsum tulang belakang yang merupakan bagian dari sistem
persarafan. Masing- masing tulang belakang memiliki hubungan dengan
ventral tubuh dan dorsal atau lengkungan saraf, dimana semua berada di
posterior tubuh.
Secara anatomis, sumsum tulang belakang merupakan kumpulan sistem saraf
yang dilindungi oleh ruas-ruas tulang belakang. Sumsum tulang belakang atau
biasa disebut medulla spinalis ini, merupakan kumpulan sistem saraf dari dan
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
21
ke otak. Medulla spinalis dan batang otak membentuk struktur kontinu yang
keluar dari hemisfer serebral dan memberikan tugas sebagai penghubung otak
dan saraf perifer, seperti kulit dan otot (Pearce, 2002). Medulla spinalis
tersusun dari 31 pasang saraf spinal, masing-masing segmen mempunyai satu
untuk setiap sisi tubuh, terdiri atas 8 segmen servikal, 12 torakal, 5 lumbal, 5
sakral, dan 1 koksigis (Smeltzer & Bare, 2002). Masing-masing saraf spinal
memiliki tugas masing-masing. Oleh karena itu, bila ada bagian yang
mengalami cidera, maka akan mempengaruhi sistem saraf disekitarnya
sehingga mengganggu fungsi yang dimilikinya.
2.4.1 Fungsi saraf-saraf Spinal
Medulla spinalis bekerja secara sadar dan tak sadar (saraf otonom).
Medulla spinalis yang bekerja secara sadar di atur oleh otak sedangkan
sistem saraf tidak sadar (saraf otonom) mengontrol aktivitas yang tidak
diatur oleh kerja otak seperti denyut jantung, sistem pencernaan, sekresi
keringat, gerak peristaltik usus, dan lain-lain (Smeltzer & Bare, 2002).
Selain itu, ia juga memungkinan jalan terpendek dari gerak refleks.
Sehingga sumsum tulang belakang juga biasa disebut saraf refleks. Salah
satu refleks yang diatur adalah refleks pada usus besar yakni gastrokolik.
Refleks gastrokolik terjadi ketika makanan masuk lambung dan
menimbulkan peristaltik di usus besar yang kemudian menyebabkan
sensasi untuk defekasi (Pierce, 2002). Saraf-saraf otonom pada daerah
sakral juga berfungsi dalam mengatur gerak otot sfingter pilorik pada
lambung, ileokolik pada usus, uretra interna, dan kolon sehingga berperan
dalam proses defekasi dan miksi (Pearce, 2002).
Selain itu, serabut primer anterior pada saraf spinalis, kecuali yang timbul
pada daerah torakal dan membentuk saraf interkostal, tersusun dalam
empat plexus (jalinan) utama, yakni plexus servikalis, brakhialis, lumbo
sakralis, lumbalis, dan sakralis (Pierce, 2002). Plexus servikalis berfungsi
untuk pergerakan otot leher dan pergerakan diafragma. Plexus brakhialis
melayani pergerakan lengan dan beberapa otot leher dan dada. Plexus
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
22
lumbo sakralis berfungsi dalam menyalurkan saraf – saraf yang utama
untuk anggota tubuh bagian bawah. Plexus lumbalis berfungsi dalam
pergerakan pergerakan otot-otot paha. Plexus sakralis melayani otot
sebelah belakang paha dan semua otot di sebelah belakang dan depan
dibawah lutut.
Gambar 2.2 tulang belakang dan sistem saraf spinal
(Sumber :Raven, 2005)
2.7 Fraktur Patologis
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang terjadi karena
adanya tekanan pada tulang yang melebihi absorpsi tulang (Smeltzer & Bare,
2002). Fraktur dapat disebabkan oleh trauma langsung, misalnya karena
benturan pada tulang dan mengakibatkan fraktur pada tempat itu, trauma tidak
langsung, terjadi bilamana titik tumpul benturan dengan terjadinya fraktur
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
23
berjauhan, proses penyakit/ patologis, misalnya pada penyakit kanker dan
riketsia, compresion force: klien yang melompat dari tempat ketinggian dapat
mengakibatkan fraktur kompresi tulang belakang, atau pada muscle (otot):
akibat
injuri/sakit terjadi regangan otot yang kuat sehingga dapat
menyebabkan fraktur (misal; elektrik shock dan tetani) (Smeltzer & Bare,
2020).
Salah satu jenis fraktur adalah fraktur patologis. Fraktur patologis adalah
fraktur yang disebabkan oleh proses penyakit, misalnya pada penyakit
spondilitis tuberkulosis, kanker, riketsia (Cluett, 2008). Dampak yang
disebabkan oleh fraktur patologis biasanya adalah terjadinya penekanan pada
organ disekitar fraktur. Misalnya saja pada spondilitis tuberkulosis, adanya
deformitas pada vertebrae menyebabkan terjadinya penekanan pada kolumna
vertebrae atau hingga arkus vertebrae sehingga terdapat cidera pada bagian
tersebut. Bila hal tersebut terjadi, maka dampaknya adalah terjadi hambatan
produksi sel darah (jika penekanan di pembuluh darah) atau defisit neurologi
(bila menekan sel saraf).
2.8 Keperawatan Perioperatif
Operasi (perioperatif) merupakan tindakan pembedahan pada suatu bagian
tubuh yang mencakup fase praoperatif, intraoperatif dan pascaoperatif
(postoperatif), yang pada umumnya merupakan suatu peristiwa kompleks
yang menegangkan bagi individu yang bersangkutan (Potter & Perry, 2002).
Dengan demikian, keperawatan perioperatif merupakan tindakan/fungsi
keperawatan yang berkaitan dengan perioperatif.
2.6.1 Pre Operatif
Tahap pertama dari perawatan perioperatif adalah preoperative atau tahap
sebelum operasi. Preoperatif dimulai sejak pasien diterima masuk di ruang
terima pasien dan berakhir ketika pasien dipindahkan ke meja operasi
untuk dilakukan tindakan pembedahan. Semua pemeriksaan (anamnesa,
pemeriksaan fisik, laboratorium, radiologi, dan lain-lain) dilakukan
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
24
sebelum penderita dilakukan operasi. Perawatan pre operatif untuk
pembedahan muskuloskeletal biasanya direncanakan dan diberikan waktu
untuk mempersiapkan keadaan jasmani klien dan psikososial. Pre operatif
dilakukan minimal satu hari sebelum operasi. Pre operatif sangat berperan
untuk keselamatan pasien. Peran perawat dalam masa pre operatif
diantaranya adalah memastikan kebersihan tubuh klien sebelum operasi,
mengingatkan klien untuk puasa 8 jam sebelum operasi dan melakukan
pengosongan lambung, dan memastikan klien tidak menggunakan
perhiasan maupun alat bantu/ protese (Potter & Perry, 2002).
2.6.2 Intraoperatif
Perawatan yang dilakukan pada intraoperatif ialah perawatan klien selama
di ruang operasi (Smeltzer & Bare, 2002). Secara umum anggota tim
dalam prosedur pembedahan ialah ahli bedah, dokter dan perawat anestesi,
perawat sirkulasi, perawat scrub, dan asisten. Secara umum fungsi perawat
di dalam kamar operasi disebut sebagai perawat scrub (instrumentator)
dan perawat sirkulasi. Perawat scrub berfungsi sebagai penyedia
instrument bagi ahli bedah. Perawat sirkulasi berperan mengatur ruang
operasi, melindungi keselamatan dan kebutuhan pasien dengan memantau
aktivitas anggota tim bedah, memeriksa kondisi di dalam ruang operasi,
dan membantu memposisikan pasien pada posisi yang tepat (Potter &
Perry, 2002). Salah satu hal yang perlu perawat dan seluruh tim perhatikan
selama intraoperatif adalah komplikasi seperti perdarahan hebat (Potter &
Perry, 2002).
2.6.2 Postoperatif
Keperawatan post operatif adalah periode akhir dari keperawatan
perioperatif (Smeltzer & Bare). Selama periode ini proses keperawatan
diarahkan pada menstabilkan kondisi pasien, menghilangkan nyeri dan
pencegahan komplikasi. Pengkajian yang cermat dan intervensi segera
membantu pasien kembali pada fungsi optimalnya dengan cepat, aman dan
nyaman.
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
25
Upaya yang dapat dilakukan diarahkan untuk mengantisipasi dan
mencegah
masalah
yang
kemungkinan
mucul
pada
tahap
ini.
Memperhatikan asuhan keperawatan post operatif sama pentingnya
dengan prosedur pembedahan itu sendiri. Beberapa peran perawat yang
penting diantaranya adalah penanganan nyeri, mobilisasi dini, dan
pencegahan infeksi (Potter & Perry, 2002).
2.6.2.1 Komplikasi Post Operasi
a) Syok
Syok yang terjadi pada pasien bedah biasanya berupa syok
hipovolemik karena perdarahan pada tahap intraoperati. Tandatanda syok diantaranya adalah pucat, kulit dingin, basah, pernafasan
cepat, sianosis pada bibir, gusi dan lidah, nadi cepat, lemah dan
bergetar, penurunan tekanan darah, dan urine pekat (Smeltzer &
Bare, 2002).
Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan adalah kolaborasi
dengan dokter terkait dengan pengobatan yang dilakukan seperti
terapi obat, penggantian cairan per intravena dan juga terapi
pernafasan. Status pernapasan dipantau melalui pemeriksaan gas
darah arteri, fungsi pulmonal dan juga pemberian oksigen melalui
intubasi atau nasal kanul. Intervensi mandiri keperawatan meliputi
dukungan psikologis, pembatasan penggunaan energi, pemantauan
reaksi pasien terhadap pengobatan, peningkatan periode istirahat,
pencegahan hipotermi dengan menjaga tubuh pasien agar tetap
hangat karena hipotermi mengurangi oksigenasi jaringan (Potter &
Perry, 2002). Selain itu, melakukan perubahan posisi pasien tiap 2
jam dan mendorong pasien untuk melakukan nafas dalam penting
untuk meningkatkan fungsi optimal paru, Pencegahan komplikasi
dilakukan dengan memonitor pasien secara ketat selama 24 jam.
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
26
b) Perdarahan
Penatalaksanaan perdarahan seperti halnya pada pasien syok. Selain
itu pasien diberikan posisi terlentang dengan posisi tungkai kaki
membentuk sudut 20 derajat dari tempat tidur sementara lutut harus
dijaga tetap lurus (Smeltzer & Bare, 2002). Kemudian penyebab
perdarahan harus dikaji dan diatasi. Luka bedah harus selalu
diinspeksi terhadap perdarahan. Jika perdarahan terjadi, kassa steril
dan balutan yang kuat dipasangkan dan tempat perdarahan
ditinggikan pada posisi ketinggian jantung (Smeltzer & Bare, 2002).
c) Trombosis vena profunda
Trombosis vena profunda adalah trombosis yang terjadi pada
pembuluh darah vena bagian dalam (Smeltzer & Bare, 2002).
Komplikasi serius yang bisa ditimbulkan adalah embolisme
pulmonari dan sindrom pasca flebitis.
d) Retensi urin
Retensi urin paling sering terjadi pada kasus-kasus pembedahan
rektum, anus dan vagina.Penyebabnya adalah adanya spasme
spinkter kandung kemih. Intervensi keperawatan yang dapat
dilakukan adalah pemasangan kateter untuk membatu mengeluarkan
urine dari kandung kemih (Potter & Perry, 2002).
e) Infeksi luka operasi
Infeksi luka post operasi dapat terjadi karena adanya kontaminasi
luka operasi pada saat operasi maupun pada saat perawatan di ruang
perawatan. Pencegahan infeksi penting dilakukan dengan pemberian
antibiotik sesuai indikasi dan juga perawatan luka dengan prinsip
steril (Smeltzer & Bare, 2002). Selain itu, pemenuhan nutrisi
adekuat terutama tinggi protein pun penting untuk disampaikan
kepada pasien dan keluarga.
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
27
f) Embolisme Pulmonal
Embolsime dapat terjadi karena benda asing (bekuan darah, udara
dan lemak) yang terlepas dari tempat asalnya terbawa di sepanjang
aliran darah. Embolus ini bisa menyumbat arteri pulmonal yang
akan mengakibatkan pasien merasa nyeri seperti ditusuk-tusuk dan
sesak nafas, cemas dan sianosis. Intervensi keperawatan seperti
ambulatori pasca operatif dini dapat mengurangi resiko embolus
pulmonal (Smeltzer & Bare, 2002).
g) Komplikasi Gastrointestinal
Komplikasi pada gastrointestinal paling sering terjadi pada pasien
yang mengalami pembedahan abdomen dan pelvis.Komplikasinya
meliputi obstruksi intestinal, nyeri dan juga distensi abdomen.
Mobilisasi dini pun menjadi salah satu intervensi yang dapat
dilakukan untuk mengatasi komplikasi pada gastrointestinal,
terutama konstipasi. Namun, perawat perlu tahu apakah penyebab
masalah hanya komplikasi operasi atau terjadi deficit neurologi.
Konstipasi karena defisit
neurologi seringkali terjadi pada
pembedahan tulan belakang khususnya pada lokasi lumbal dan
sakral (Pearce, 2002).
2.7 Mobilisasi Post Operasi
Banyaknya komplikasi post operasi mengharuskan adanya manajemen post
operasi di ruangan, salah satunya adalah dengan mobilisasi dini post operasi.
Mobilisasi atau kemampuan seseorang untuk bergerak bebas merupakan
salah satu kebutuhan dasar manusia yang harus terpenuhi. Tujuan mobilisasi
adalah memenuhi kebutuhan dasar (termasuk melakukan aktifitas hidup
sehari-hari dan aktifitas rekreasi), mempertahankan diri (melindungi diri dari
trauma), mempertahankan konsep diri, mengekspresikan emosi dengan
gerakan tangan nonverbal (Potter & Perry, 2002). Mobilisasi dini post operasi
menjadi hal penting karena dapat mencegah komplikasi post operasi
diantaranya adalah mencegah thrombosis vena profunda, memulihkan fungsi
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
28
bowel dan distensi abdomen, mencegah kaku sendi dan kontraktur, serta
meningkatkan status mental dan memotivasi pasien untuk sembuh
(Siribaddana, 2009).
Immobilisasi adalah suatu keadaan di mana individu mengalami atau berisiko
mengalami keterbatasan gerak fisik. Mobilisasi dan immobilisasi berada pada
suatu rentang. Immobilisasi dapat berbentuk tirah baring yang bertujuan
mengurangi aktivitas fisik dan kebutuhan oksigen tubuh, mengurangi nyeri,
dan untuk mengembalikan kekuatan (Potter & Perry, 2002). Namun
imobilisasi dalam waktu yang lama, seperti tirah dapat menyebabkan
individu mengalami kehilangan kekuatan otot rata-rata 3% sehari (atropi
disuse (Potter & Perry, 2002).
2.8 Teknik Log Roll
Teknik log roll adalah teknik mentransfer atau mengubah posisi pasien
dengan gerakan mengangkat atau membalikkan punggung secara serentak
guna mencegah cidera lebih lanjut pada vertebra. Teknik ini biasa dilakukan
untuk menstabilisasi tulang belakang, dan sering digunakan pada pasienpasien dengan cidera vertebra. (Ghobrial, 2013). Prosedur log roll tidak dapat
dilakukan oleh hanya satu orang, melainkan dua sampai 4 orang. Satu orang
untuk memegang bagian kepala, orang kedua untuk bagian punggung, orang
ketiga untuk bagian pinggang dan orang terakhir untuk bagian ekstremitas
(Elliot, 2004). Hal terpenting dari prosedur log roll adalah kesejajaran tulang
belakang serta mencegah adanya puntiran pada tulang belakang saat
mengubah posisi (Royal National Orthopaedic Hospital, 2006). Teknik log
roll juga diterapkan pada pasien post operasi tulang belakang karena
prinsipnya adalah untuk tetap menstabilkan dan mencegah cidera post
operasi.
Berdasarkan pedoman rehabilitasi pada pasien post operasi stabilisasi tulang
belakang di Royal National Orthopaedic Hospital (2006), pasien baru
mencapai pemulihan dari rasa nyeri, tulang belakang kembali stabil, dan
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
29
mulai dapat beraktivitas seperti biasa dalam waktu 6-12 bulan. Selama itu
pasien hendaknya tetap menjaga kesejajara dan kestabilan tulang belakang.
Setelah lebih dari 12 bulan, pasien juga hendaknya tetap membatasi aktivitas
dan memodifikasi beberapa aktivitas berat, diantaranya tidak mengangkat
beban berat (untuk stabilisasi anterior) dan tidak mendorong atau menopang
beban di punggung (untuk stabilisasi posterior) (RNOH, 2006).
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
Bab 3 ini membahas mengenai asuhan keperawatan pada Tn.I dengan fraktur
patologis yang disebabkan oleh spondilitis tuberkulosis. Asuhan keperawatan
meliputi pengkajian, masalah keperawatan dan intervensi, implementasi dan
evaluasi disesuaikan dengan kondisi preoperasi dan post operasi.
3.1 Pengkajian
3.1.1 Data dan Riwayat Kesehatan
Klien adalah Tn.I (No.RM: 1218447), laki-laki berusia 21 tahun dan
belum menikah, lahir pada tanggal 11 Juni 1992. Klien masuk ruang rawat
GPS Lantai 1 pada tanggal 24 April 2013 dengan diagnosa medis
spondilitis tuberkulosis pada vertebra torakal IV hingga lumbal I. Selama
pengkajian, sumber informasi berasal dari klien, keluarga klien (ayah dan
ibu klien), dan rekam medis klien.
Klien memiliki riwayat tuberkulosis paru pada tahun 2007 dan menjalani
pengobatan dengan OAT 9 bulan namun tidak tuntas (putus obat sekitar 7
atau 8 bulan). Kemudian sekitar 3 tahun lalu sudah muncul pembengkakan
kelenjar getah bening hingga mengeluarkan nanah (di sekitar leher). Sejak
itu klien sakit-sakitan namun tidak pernah berobat ke RS. Kemudian
sekitar 3 tahun lalu klien jatuh di sekolah, dan langsung tidak dapat
berjalan selama 1 tahun. Selama itu klien hanya beraktivitas di rumah
dengan bantuan keluarga. Setelah itu lama kelamaan terjadi pembesaran
skrotum/ orchitis.
Pembesaran sempat pecah dan mengeluarkan darah, namun kembali
membesar dan lama kelamaan terasa nyeri. Jarak kurang lebih 3 bulan
kemudian mulai muncul benjolan di tulang belakang. Pada mulanya kecil
dan tidak terlalu mengganggu sehingga klien dan keluarga tidak
melakukan apa-apa. Tapi berangsur- angsur tonjolan semakin besar hingga
37
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
38
membuat tubuh klien melengkung. Meski begitu klien dan keluarga belum
memeriksakannya ke dokter/ RS, namun hanya meminum obat ramuan
Cina. Hingga akhirnya klien merasa sangat nyeri di bagian tonjolan
tersebut saat digerakkan maupun hanya disentuh, sakit bertambah ketika
dibawa berjalan. Rasa nyeri pun hampir dirasakan setiap waktu. Klien
memiliki riwayat merokok sejak kelas 2 SMP hingga 2 SMA. Klien
tinggal di pesantren (santri) sejak SMP.
3.1.2 Pengkajian Fisik
a) Aktivitas/ istirahat
Berdasarkan anamnesa dengan klien dan keluarga serta observasi
aktivitas klien, klien mampu beraktivitas mandiri (ketergantungan
minimal). Sebelum masuk ke RS, aktivitas klien adalah pelajar di
sebuah pesantren (santri), klien mampu beraktivitas mandiri meski
dengan keadaan tulang belakang yang mengalami skoliosis dan kifosis.
Selama dirawat pun klien mandiri, seringkali klien tidak ditunggui oleh
keluarga dan tetap mampu beraktivitas. Misalnya saja untuk memakai
baju, klien biasanya memakai kemeja sehingga tidak perlu meminta
bantuan orang lain dalam memakainkannya.
Klien juga mampu makan sendiri, makan 3x/hari sesuai dengan porsi
yang diberikan di ruangan. Klien terhitung sangat mandiri, dan sesuai
penuturannya ia memang tidak ingin merepotkan anggota keluarga,
terutama karena klien merupakan anak pertama dan memiliki 3 adik
yang masih perlu perhatian orangtua. Karena kondisi fisiknya yang
memang sudah lama (3 tahun) mengalami masalah tersebut, klien juga
sudah mampu beradaptasi dan sangat menerima kondisinya.
Klien cukup mandiri, namun aktivitas klien lebih banyak dihabiskan
dengan duduk di kursi atau tempat tidur karena klien tidak terlalu kuat
untuk berdiri lama. Hal ini karena kedua kaki sering mengalami
kesemutan sejak muncul kifosis dan skoliosis. Selain itu klien juga
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
39
tidak mengalami masalah kesulitan tidur, namun posisi tidur tidak
mampu telentang sepenuhnya, biasanya punggung harus disangga oleh
bantal atau klien tidur dengan posisi miring atau duduk. Berdasarkan
pemeriksaan langsung, kekuatan otot klien normal dan mampu
bergerak maksimal, 5555
5555
5555
5555
Untuk ekstremitas, tidak ada masalah pergerakan, hanya untuk
pergerakan tulang belakang klien sangat terbatas karena terdapat gibbus
di tulang belakang sekitar torakolumbar.
b) Sirkulasi
Klien tidak memiliki riwayat penyakit hipertensi, masalah jantung,
maupun diabetes. Hasil pemeriksaan tanda vital tekanan darah 110/70
mmHg, nadi 82 x/menit, frekuensi pernapasan 18x/ menit, dan suhu
360C. Pada pemerisaan fisik jantung paru didapatkan inspeksi dada
tampak dada kiri sedikit lebih menonjol kedepan (karena terdorong
oleh gibbus di vertebrae) dan pengembangan dada kurang maksimal,
inspirasi sedikit memendek, suara paru terdengar vesikuler, tidak ada
ronhki, wheezing, maupun bronkial. Sementara pada pemeriksaan
jantung tidak ditemukan suara abnormal, S1 dan S2 normal, tidak ada
gallops ataupun murmur.
Kondisi hidrasi klien tampak sedikit bermasalah, CRT < 3detik, warna
lidah pink pucat, konjungtiva sedikit anemis, sklera tidak ikterik,
turgor kulit lembab, tidak ada asites maupun distensi vena jugularis,
tidak ada pembesaran kelenjar tiroid. Namun kulit klien tampak pucat.
Berdasarkan hasil laboratorium, klien cenderung mengalami anemia
karena Hb hanya berkisar 9-10 g/dl, Hb terakhir adalah 10.2 g/dl dan
jumlah eritrosit yang rendah yakni 4.35 juta/ul. Oleh karena itu pula
klien harus menunggu perbaikan Hb terlebih dahulu sebelum
menjalani operasi. Klien juga sering mendapatkan transfusi PRC pre
operasi. Berdasarkan pemeriksaan hematologi klien juga didiagnosis
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
40
mengalami anemia mikrositik hipokrom. Kemungkinan hal ini juga
diakibatkan oleh proses penyakit spondilitis dimana gibbus sudah
sampai menekan sumsum tulang belakang yang salah satu fungsinya
adalah produksi sel darah merah.
c) Integritas Ego
Klien mengatakan memikirkan penyakit yang sedang dideritanya saat
ini, namun ia cukup mampu mengatasi emosinya tersebut sehingga
klien tampak selalu tenang dan kooperatif. Namun, klien mengatakan
cemas dengan tindakan operasi yang akan dilakukan. Klien
mengatakan ini merupakan pertama kalinya klien melakukan operasi.
Klien mengatakan sebelumnya sudah pernah dijelaskan tentang
prosedur yang akan dilakukan. Dokter mengatakan klien akan
menjalani prosedur pembedahan tulang belakang agar bentuknya
kembali lurus dan tidak ada benjolan, namun tidak dijelaskan terkait
anestesi dan efek yang akan dirasakan setelah operasi.
d) Eliminasi
Klien mampu melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri, termasuk
dalam memenuhi kebutuhan eliminasi. Biasanya, klien defekasi 1x
setiap hari, dilakukan di kamar mandi. Klien mengatakan defekasi
tidak sakit, feses lunak, kuning kecoklatan, dan tidak ada darah. Begitu
pula dengan miksi, klien melakukannya sendiri hanya sesekali
mengeluhkan nyeri saat buang air kecil karena klien juga mengalami
pembesaran pada testis akibat infeksi sekunder dari TB yang sudah
menyebar (milier). Biasanya klien BAK >5 kali setiap hari, urin encer,
berwarna kuning jernih.
e) Makanan dan Cairan
Diit biasa 3x/hari porsi, tidak ada keluhan muntah dan mual, gangguan
menelan, maupun alergi terhadap makanan tertentu. Sebelum masuk
rumah sakit, klien makan 3x per hari. Hasil pemeriksaan berat badan
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
41
klien 47 kg dengan tinggi badan 167 cm. Sehingga didapatkan IMT
klien 16.9 dan termasuk kedalam golongan berat badan kurang.
f) Higiene
Aktifitas sehari-hari dilakukan secara mandiri. Saat ini klien masih
dapat beraktivitas seperti biasa meskipun memiliki kelainan tulang
belakang. Penampilan umum klien bersih, tidak ada bau badan, pakaian
sesuai dengan kondisi/keadaan.
g) Neurosensori
Klien mengatakan tidak ada keluhan sakit kepala. Tidak ada gangguan
pendengaran, hanya sering merasa kesemutan pada kedua ekstremitas
bawah. Hasil pemeriksaan menunjukkan status mental/ tingkat
kesadaran klien adalah compos mentis (CM). Klien masih terorientasi
waktu, tempat dan orang. Klien dapat dapat mengingat memori jangka
panjang (riwayat klien masuk RS) dan riwayat jangka pendek. Reaksi
pupil baik. Klien tidak menggunakan alat bantu penglihatan.
Penggunaan alat bantu dengar tidak ada.
h) Nyeri/ Ketidaknyamanan
Saat pengkajian dilakukan, klien hanya mengeluhkan rasa nyeri yang
terus-menerus muncul di daerah punggung. Saat punggung klien diraba,
klien tampak meringis dan mengatakan sakit. Rasa nyeri yang dirasakan
rata-rata berada pada skala 2-4, masih bisa ditahan. Untuk rasa nyeri ini
klien mendapatkan terapi medikasi nonflamin capsule 3x1.
i) Pernapasan
Saat dilakukan pengkajian, klien mengatakan tidak merasakan sesak,
namun rasa sesak sesekali muncul. Klien juga mengatakan ada keluhan
batuk dan sulit bernapas panjang (karena deformitas vertebra torakal).
Klien memiliki riwayat perokok berat (sejak kelas 2 SMP – 2 SMA),
namun sejak sakit dan masuk RS klien sudah tidak merokok.
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
42
Pada pemeriksaan tanda vital didapatkan frekuensi napas klien adalah
18x/ menit, nafas cuping hidung tidak ada. Penggunaan otot bantu nafas
tidak ada. Dada kiri sedikit lebih membusung ke depan. Tidak ada
sianosis. Auskultasi dilakukan dengan mendengarkan suara pernapasan
diperoleh hasil suara nafas vesikuler.
j) Keamanaan
Klien dapat berakitivitas secara normal hanya tidak seaktif orang sehat.
Klien masih mampu berjalan-jalan dan tidak menggunakan alat bantu.
Alergi terhadap obat tidak ada. Tonus otot baik. Rentang gerak tulang
belakang terbatas, tampak skoliosis dan kifosis.
k) Seksualitas
Klien belum menikah. Pada skrotum sedikit terdapat pembesaran
karena orchitis (infeksi sekunder TB yang metastase hingga ke saluran
reproduksi).
l) Interaksi Sosial
Klien berusia 21 tahun, namun sudah tidak melanjutkan pendidikans
emenjak sakit. Klien anak pertama dari empat bersaudara. Klien
berhubungan baik dengan orangtua dan seluruh adiknya. Hal ini dapat
dilihat dari keseharian klien selama dirawat, orangtua dan adik
bergantian menjaga klien. Selain itu, klien pun cukup kooperatif dengan
perawat maupun mahasiswa. Dengan sesame pasien satu ruangan pun
klien saling mengenal dan sering bercengkerama.
m) Penyuluhan dan pembelajaran
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
43
Bahasa dominan klien adalah bahasa Indonesia. Klien mampu membaca
dan menulis, tingkat pendidikan terakhir klien adalah SLTP. Klien
mengetahui tentang penyakit yang dialaminya
3.2 Masalah dan Intervensi Keperawatan
Berdasarkan hasil pengkajian dari anamnesa dan pengkajian fisik sebelum
klien menjalani operasi, dapat ditemukan beberapa masalah keperawatan yang
muncul pada klien. Masalah keperawatan pertama yang aktual adalah nyeri
kronik berhubungan dengan deformitas tulang belakang. Rasa nyeri yang
dirasakan merupakan akibat dari terjadinya penekanan pada tulang belakang
karena gibbus atau penonjolan akibat dari bakteri tuberkel yang sudah
menyebar hingga ke sumsum tulang belakang. Skala nyeri yang dirasakan
klien berkisar 2-4, dan masih tertahankan. Biasanya bila tiba-tiba klien
merasakan nyeri, klien cukup melakukan istirahat hingga rasa nyeri nantinya
hilang sendiri.
Berdasarkan masalah nyeri tersebut, intervensi yang dilakukan adalah
mengajarkan klien manajemen nyeri dengan teknik relaksasi napas dalam.
Tujuan dari intervensi diharapkan klien dapat merespon nyeri dengan relaksasi
dan melaporkan penurunan rasa nyeri setelah melakukannya. Manajemen
nyeri relaksasi napas dalam adalah metode menurunkan nyeri tanpa medikasi
(analgetik). Manajemen nyeri diajarkan kepada klien sesuai prosedur yang
tepat, yakni menarik napas dari hidung kemudian menahannya dan
menghembuskannya perlahan. Tarik napas dilakukan dalam tiga kali hitungan
atau hingga klien merasa nyaman.
Masalah keperawatan kedua adalah resiko cidera berhubungan dengan
keterbatasan gerak dan anemia. Berdasarkan buku diagnosa NANDA
(NANDA, 2012), masalah resiko cidera adalah bagaimaan individu beresiko
mengalami cidera karena kondisi lingkungan berinteraksi dengan kondisi fisik
individu/ internal yang kurang baik. Sementara pada Tn.I, masalah ini tegak
berdasarkan adanya masalah deformitas vertebra disertai dengan anemia dan
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
44
kondisi imunitas yang buruk, albumin cenderung rendah (nilai albumin 3.30
gr/dl, Laju Endap Darah (LED) meningkat hingga 100mm dan globulin
mencapai 4.10 gr/dl), serta infeksi TB yang sudah menyebar. Padahal klien
harus memiliki kondisi yang baik sebelum menjalani operasi, jika tidak
kemungkinan cidera benar terjadi saat operasi sangat tinggi. Oleh karena itu,
intervensi yang diberikan bertujuan untuk memperbaiki kondisi internal/ fisik
klien serta mencegah cidera dengan memperingatkan klien untuk memasang
bedsite rail setiap kali klien tidur, atau berhati-hati saat beraktivitas dan
meminta bantuan jika memang tidak mampu. Serta menasehati klien agar rutin
meminum obat oral yang diberikan serta meningkatkan intake nutrisi adekuat.
Intervensi kolaborasi pemberian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) pun diberikan
untuk menekan invasi bakteri TB agar tidak semakin meluas.
Sementara masalah yang muncul setelah operasi adalah kekurangan volume
cairan, hambatan mobilitas fisik, dan resiko infeksi. Masalah hambatan
mobilitas fisik didefinisikan sebagai keterbatasan pergerakan baik pada
seluruh tubuh maupun pada satu atau lebih ekstremitas (NANDA, 2012). Pada
Tn.I, masalah ini tegak berdasarkan adanya keterbatasan gerak pada kedua
ekstremitas bawah, terutama bagian kanan. Selain itu adapun kecemasan atau
kekhawatiran klien untuk mobilisasi karena rasa nyeri post operasi dan adanya
alat yang dipasang didalam tubuh. Intervensi yang diberikan bertujuan agar
klien mampu melaksanakan aktivitas fisik sesuai dengan kemampuannya.
Kriteria hasil yang diharapkan adalah klien dapat ikut serta dalam program
latihan, tidak terjadi kontraktur sendi, bertambahnya kekuatan otot, dan klien
menunjukan tindakan untuk meningkatkan mobilitas.
Beberapa intervensi yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut,
diantaranya adalah ubah posisi dan ROM pasif serta aktif asistif dilakukan
untuk meningkatkan kemampuan mobilisasi dan mencegah komplikasi post
operasi/ imobilisasi. Dalam melakukan intervensi ini, mahasiswa dibantu oleh
perawat ruangan dan keluarga untuk mengubah posisi karena pengubahan
posisi harus tetap mempertahan stabilisasi pada tulang belakang. Oleh karena
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
45
itu, teknik log roll dilakukan dalam mempertahankan itu. Selain itu, jumlah
bantal yang mencukupi pun menjadi hal yang penting untuk mencegah
penekanan atau gesekan pada tonjolan tulang. Sementara untuk pelaksanaan
ROM, mahasiswa melakukannya dengan hati-hati dan bertahap sesuai dengan
kemampuan klien.
Masalah keperawatan selanjutnya adalah kurang volume cairan. Berdasarkan
NANDA (2012), masalah kurang volume cairan adalah kondisi dimana terjadi
penurunan jumlah cairan intravaskuler, interstisial, dan / atau intraseluler.
Tegaknya maslah ini pada Tn.I karena ia memiliki riwayat perdarahan
intraoperasi mencapai 3 Liter dan hingga post operasi hari ke-tiga, klien masih
terus mendapatkan transfusi sel darah merah karena nilai Hb yang juga masih
rendah dan drainase masih produktif (400 cc). Untuk masalah ini, intervensi
yang dilakukan adalah kolaborasi transfuse sel darah merah dan albumin 20%.
Sementara intervensi mandiri adalah dengan memotivasi klien dan
mengingatkan keluarga agar klien mendapatkan nutrisi dan cairan adekuat,
terutama intake tinggi zat besi (memastikan klien makan habis dan minum air
1,5-2 liter setiap hari) dan mengobservasi tanda vital dan status hidrasi dan
keseimbangan cairan klien.
Masalah ketiga adalah resiko infeksi. NANDA (2012) menyebutkan bahwa
resiko infeksi merupakan kondisi dimana individu beresiko terserang
organisme patogen. Masalah ini diangkat pada Tn.I berdasarkan adanya luka
operasi pada tulang belakang sepanjang 35 centimeter. Perlukaana pada tubuh
merupakan jalur masuknya bakteri dan organism pathogen yang berasal dri
lingkungan. Selain itu kondisi fisik klien yang juga sudah memiliki masalah
diantaranya adalah anemia, serta albumin yang menurun akan meningkatkan
resiko klien terserang infeksi.
Berdasarkan hal tersebut, intervensi yang dilakukan diantaranya adalah
melakukan perawataan luka rutin dengan teknik steril (setiap 2 hari sekali atau
segera bila ada rembes) serta membalut luka dengan balutan kering steril dan
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
46
sufratul. Selain itu, klien dan keluarga pun diberika pendidikan kesehatan
terkait pentingnya meningkatkan intake nutrisi terutama tinggi protein, salah
satunya adalah dengan memakan telur rebus (bagian putihnya saja) 2-3 butir
setiap kali makan. Hal ini karena putih telur mengandung protein: albumin
yang merupakan zat penting bagi pembentukan kolagen dan jaringan baru
sehingga baik untuk penyembuhan luka.
3.3 Impelementasi dan Evaluasi
Masalah keperawatan yang muncul saat klien belum menjalani operasi adalah
nyeri kronik dan resiko cidera/ injuri. Sedangkan masalah keperawtan post
operasi adalah kurang volume cairan, hambatan mobilitas fisik, dan resiko
infeksi. Berdasarkan masalah tersebut, implementasi yang dilakukan kepada
klien saat sebelum operasi, diantaranya adalah dengan memberikan edukasi
kepada klien dan keluarga terkait persiapan – persiapan operasi termasuk
didalamnya adalah manajemen nyeri serta pentingnya meningkatkan asupan
nutrisi adekuat termasuk bahan-bahan makanan tinggi zat besi dan protein
guna meningkatkan imunitas tubuh dan memenuhi kebutuhan nutrisi tubuh
serta membantu pembenutkan kondisi fisik yang vit sehingga siap untuk
menjalani operasi
Implementasi pertama dilakukan pada tanggal 8 Mei 2013 hingga seterusnya
selama masa perawatan pre operasi (14 Mei 2013), yakni menjelaskan kepada
klien dan keluarga mengenai pentingnya menjaga keamanan klien termasuk
mencegah klien jatuh dengan selalu memasang bed site rail setiap klien tidur
atau menasehati aagr klien berhati-hati dalam beraktivitas serta meminta
bantuan bila memang tidak mampu melakukan suatu hal. Setelah
implementasi dilakukan sampai enam hari (sampai klien menjalani operasi)
klien tidak mengalami cidera apapun, tidak jatuh maupun terjadi perburukan
kondisi. Kondisi Hb klien pun berangsur membaik, hingga mencapai 11 gr/dl
menjelang operasi.
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
47
Implementasi untuk masalah keperawatan kedua efektif dilakukan
bersamaan dengan edukasi persiapan operasi, yakni pada tanggal 13 dan 14
Mei 2013. Dalam edukasi tersebut, manajemen nyeri berupa relaksasi napas
dalam diajarkan kepada klien. Selain itu, beberapa teknik relaksasi lainnya
pun disebutkan kepada klien, diantaranya adalah dengan mendengarkan
music ataupun membayangkan hal-hal yang indah atau menyenangkan.
Namun keduanya tidak dipraktekkan. Evaluasi dari tindakan yang diberikan
adalah klien merasa lebih nyaman saat melakukan relaksasi napas dalam,
hati sedikit lebih lega, dan rasa nyeri berkurang. Klien juga mengatakan
senang mendengarkan musik dan akan mencoba nanti setelah operasi bila
nyeri memang tidak tertahankan. Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital juga
berada dalam rentang normal, yakni TD 110/80 mmHg, Nadi 84 kali per
menit, RR 20 kali per menit, suhu 36,5 0C. Selain itu, klien dapat melakukan
teknik nafas dalam dengan benar. Ekspresi wajah klien pun tenang dan tidak
menunjukkan tanda-tanda ketegangan.
Selain manajemen nyeri, persiapan lainnya sebelum operasi juga dijelaskan
kepada klien dan keluarga, diantaranya adalah persiapan fisik berupa
konsul-konsul dokter jantung, paru, anestesi, puasa 8 jam sebelum operasi,
membersihkan diri, dan melepaskan perhiasan sebelum masuk ruang
operasi, dan lain sebagainya. Penjelasan mengenai operasi yakni
debridement dan stabilisasi pun diberitahukun secara singkat dengan bahasa
yang mudah klien pahami, misalnya operasi nantinya berupa pengangkatan
benjolan pada tulang belakang dan mereposisi tulang belakang agar kembali
normal dengan pemasangan implant/ stabilisasi seperti kawat.
Selain itu selama operasi klien tidak akan merasakana sakit karena telah
dibius/ diberikan anestesi total. Kemudian setelah operasi efek anestesi
mungkin masih akan dirasakan sampai 6 jam post operasi. Setelahnya klien
mungkin baru akan merasakan nyeri dan saat itulah manajemen nyeri dapat
klien lakukan, tentu disertai dengan obat nyeri yang sudah diprogram.
Mahasiswa juga menjelaskan hal-hal yang perlu diperhatiakan operasi,
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
48
diantaranya adalah makan dan minum bila sudah flatus serta mobilisasi dini
6-12 jam post operasi untuk mencegah komplikasi operasi. Evaluasi dari
tindakan edukasi ini diantaranya adalah klien merasa lebih paham dan lebih
tenang untuk menghadapi operasi. Wajah klien pun tampak memahami dan
tidak merengut.
Implementasi post operasi mulai dilakukan pada tanggal 17 Mei 2013, hari
ketiga post operasi akrena klien masuk ICU selama dua hari post operasi.
Implementasi post operatif yang dilakukan meliputi implementasi untuk
diagnosa kurang volume cairan, hambatan mobilitas fisik, dan resiko
infeksi. Ketika sampai ruangan pada tanggal 17 Mei pukul 15.00,
pemeriksaan tanda vital dilakukan dan didapatkan hasil tekanan darah
110/70 mmHg, nadi 65x/menit, frekuensi pernapasan 20x/menit, serta suhu
tubuh 370C. Selain itu, keseimbangan cairan pun diukur, dengan
memperhitungkan intake dan output. Evaluasi dari tindakan ini adalah
cairan keluar terdiri atas urin produksi 500, drainase (darah) produksi 400,
dan cairan infuse RL masuk 500ml/8 jam.
Implementasi kedua merespon masalah keperawatan hambatan mobilitas
fisik. Untuk masalah ini, mahasiswa membantu klien dan keluarga dalam
mengubah posisi klien setiap dua jam serta melakukan ROM pasif dan aktif
asistif. Selain itu, klien dan keluarga juga diberi penjelasan mengenai
manfaat mengubah posisi dan melakukan ROM (pasif pada kaki kanan dan
aktif asistif pada kaki kiri), diantaranya adalah untuk mencegah munculnya
masalah baru setelah operasi seperti luka yang tiak sembuh karena selalu
tertekan, konstipasi, hingga kekauan dan pengecilan masa otot. Selama
tindakan dilakukan, mahasiswa melakukannya dengan hati-hati karena
kondisi klien yang masih cukup lemas, kekhawatirannya masih tinggi
terutama terkait lat yang dipasang dan rasa nyeri/ linu pada luka operasi.
Oleh karena itu, pemantauan skala nyeri juga dilakukan setiap tindakan.
Pemberian analgetik dilakukan dengan melakukan kolaborasi tindakan
dengan dokter.
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
49
Evaluasi dari implementasi ubah posisi dan ROM adalah klien merasa
masih lemas, kaki masih kesemutan, punggun pun begitu, masih sangat linu
dan kebas. Namun dengan teknik yang benar (log roll) klien mengatakan
nyaman dengan posisi miring (miring kiri), wajah klien pun tampak tidak
meringis. Klien miring dengan ditopang oleh lima buah bantal, yakni 1
untuk kepala, 2 untuk menyangga punggung, 1 diapit di antara kedua paha
dan 1 diapit diatanra kedua tungkai bawah (tibia). Pelaksanaan intervensi ini
dilakukan terus menerus hingga tanggal 20 Mei 2013 dan hasilnya tidaka
muncul komplikasi dari imobilisasi, luka klien pun cepat kering, hingga
tanggal 22 siang klien sudah dipindahkan ke ruang rehabilitasi.
Impementasi terakhir adalah terkait resiko infeksi, yang difokuskan pada
perawatan luka dengan teknik streril dan balutan kering steril disertai
sufratul. Perawatan luka dilakukan pada tanggal 18 Mei, 20 Mei, dan 22
Mei 2013 (setiap dua hari sekali). Selama perawatan luka, luka dibersihkan
menggunakan cairan NaCl dan pada akhirnya dikeringkan lalu ditutup
dengan sufratul dan kasa steril kering. Evaluasi dari implementasi ini adalah
luka kering, tidak ada pus ataupun kemerahan di sekitar luka, serta drainase
sudah dilepas pada tanggal 20 mei karena produksi sudah minimal.
Ada tanggal 20 Mei 2013, klien sudah direncanakan untuk pindah ke ruang
rehabilitasi agar pemulihan lebih maksimal. Oleh karena itu, mahasiswa
melakukan discharge planning yang diberikan meliputi konsumsi cairan
minimal delapan gelas per hari, makan buah dan sayuran terutama kaya zat
besi dan protein, menghindari merokok ,serta melanjutkan minuman obatobat yang diresepkan serta melanjutkan OAT. Selain itu, penjelasan tentang
komplikasi yang mungkin terjadi seperti adanya darahatau nanah pada luka
post operasi. Klien juga diberikan penjelasan tentang perubahan posisi yang
sebaiknya dilakukan adalah dengan tetap menjaga kesejajaran tulang
belakang ataua menjaganya tetap stabil. Selain itu, karena klien akan
melanjutkan perawtan di ruang rehabilitasi, klien dijelaskan bahwa disana
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
50
klien akan mendapatkan alat untuk tetap menjaga kondisi tulang belakang
lurus dan stabil, yakni brace. Dengan pemakaian brace ini, aktivitas klien
akan lebih terbantu karena bahan brace yang kuat dan tegas akan mebantu
fiksasi tulang belakang dan mencegah cidera serta membantu tulang
kembali ke posisi normal hingga pulih sempurna.
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
BAB 4
ANALISA MASALAH
Bab 4 merupakan bab pembahasan berupa analisa masalah. Analisa yang
disampaikan terdiri atas analisa kasus spondilitis tuberkulosis dengan keperawatan
kesehatan masyarakat perkotaan, analisa asuhan keperawatan pada pasien
spondilitis tuberkulosis pre dan post operasi, dan terakhir adalah analisa intervensi
mobilisasi dini dengan teknik log roll yang diterapkan pada Tn.I dengan post
operasi stabilisasi dengan disertai penelitian-penelitian yang menunjang.
4.1 Analisa Keperawatan Kesehatan Masalah Perkotaan terkait Kasus
Klien adalah Tn.I, laki-laki berusia 21 tahun. Berdasarkan konsep agregat,
klien termasuk kedalam agregat dewasa awal (Potter & Perry, 2002). Sesuai
dengan tahapan tumbuh kembang, dewasa awal adalah kelanjutan dari tahap
kembang remaja. Individu dianggap matang dan dewasa ketika ia telah
mencapai keseimbangan secara fisik, jiwa, maupun sosial. Sesuai dengan
pendapat Nies dan McEwen (2007), bahwa masalah yang paling sering terjadi
pada individu dewasa awal, terutama pria, adalah masalah – masalah karena
penggunaan NAPZA maupun alkohol, rokok termasuk didalamnya. Hal inilah
yang juga terjadi pada Tn.I, ia mengaku sudah aktif merokok sejak usia 13
tahun (kelas 2 SMP) hingga usia 17 tahun (kelas 2 SMA) dan baru berhenti
sejak sakit. Kebiasaan merokok mengakibatkan berbagai masalah kesehatana,
terutama pada saluran pernapasan, salah satunya adalah penyakit tuberkulosis
paru (TB).
Berdasarkan laporan WHO dalam Global Tuberculosis Control 2010, pada
tahun 2009 Indonesia menempati posisi kelima untuk kejadian TB dengan
jumlah penderita TB sebesar 429 ribu orang, setelah India, Cina, Afrika
Selatan,
dan
Nigeria.
dan
Indonesia
(Perkumpulan
Pemberantasan
Tuberkulosis Indonesi/ PPTI, 2012). Tingginya angka TB di Indonesia
disinyalir karena banyaknya faktor resiko yang dimiliki oleh Indonesia, salah
satunya adalah luasnya wilayah perkotaannya yang turut menyumbangkan
44
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
45
faktor-faktor penyebab TB tersebut, diantaranya adalah jumlah perokok yang
tinggi, tempat tinggal padat dan kumuh, serta polusi udara yang tinggi (PPTI,
2013). Sejalan dengan hal tersebut, selain merokok, Tn.I pun merupakan
penduduk wilayah perkotaan yang setiap harinya hampir selalu terpapar
dengan faktor-faktor tersebut. oleh karena itu, berawal dari banyaknya faktor
resiko, akhirnya Tn.I merupakan salah satu individu yang beresiko.
Berdasarkan konsep resiko dan kerentanan yang berkaitan dengan munculnya
masalah kesehatan,
hampir setiap individu merupakan individu beresiko
terhadap masalah kesehatan karena dikelilingi oleh faktor-faktor, hanya saja
masing-masing mungkin berbeda terhadap masalah kesehatan tertentu karena
faktor spesifik yang berbeda pula (Allender, 2010). Tn.I sebagai penduduk
perkotaan termasuk kedalam
individu beresiko mengalami tuberkulosis
karena sehari-sehari terpapar dengan faktor resiko. Namun, Tn.I ternyata tidak
hanya beresiko tapi lebih rentan mengalami tuberkulosis. Kerentanan
mengarah kepada bagaimana individu atau sekelompok orang lebih mudah
mengalami masalah kesehatan tertentu dan nantinya mendapatkan hasil/
dampak lebih serius karena akumulasi terpajan banyak fakto resiko (Stanhope
& Lancaster, 2004). Allender (2010) juga sependapat bahwa dalam
masyarakat ada kelompok yang lebih dari beresiko, tapi rentan terhadap
masalah kesehatan karena memiliki faktor (kombinasi faktor) yang
memperberat kondisi kelompok tersebut, misalnya saja faktor kemiskinan atau
status ekonomi rendah.
Tn.I berasal dari keluarga yang sederhana, tidak berkecukupan. Ayahnya
hanya seorang wiraswasta yang berpenghasilan seadanya, sementara ibunya
hanya ibu rumah tangga. Perekonomian keluarga yang serba tidak
berkecukupan membuat keluarga tidak memiliki simpanan lebih untuk biaya
yang tidak terduga, misalnya saja biaya ke pelayanan kesehatan. Hal tersebut
yang kemudian terjadi pada Tn.I, dimana gejala penyakit sudah muncul sejak
tahun 2007 namun tidak ada usaha dari keluarga untuk membawanya ke
pelayanan kesehatan. Tn.I juga menuturkan bahwa dirinya sudah merasakan
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
46
gejala sakit sejak tahun 2007 namun keluarga hanya memberikan obat ramuan
Cina.
Berdasarkan hal tersebut, Tn.I yang awalnya beresiko, menjadi lebih rentan,
karena faktor tidak ada perawatan atau sebatas pemeriksaan yang dilakukan
hingga akhirnya masalah sudah semakin serius, keluarga baru pergi ke
pelayanan kesehatan. Akhirnya ketika sudah muncul gejala komplikasi yakni
perubahan struktur tulang belakang karena spondilitis tuberkulosis, Tn.I
datang ke RS Fatmawati dan diberikan perawatan hingga pembedahan. Harga
yang dibayar menjadi sangat mahal karena ia menjadi harus menghentikan
seluruh aktivitas nya selama masa perawatan di rumah sakit dan setelah
operasi pun, ia perlu membatasi aktivitas terutama untuk aktivitas berat.
4.2 Analisa Asuhan Keperawatan Kasus
Pasien adalah Tn.I dengan spondilitis TB. Tn.I masuk RS pada tanggal 24
April 2013, itu berarti sudah 12 hari ia dirawat di ruang bedah orthopedi ini.
Klien pada mulanya masuk dengan keluhan nyeri yang teramat sangat pada
daerah punggung, punggung sudah mengalami perubahan bentuk yakni kifosis
dan skoliosis. Klien masuk dari Instalasi Gawat Darurat (IGD), ketika itu klien
hanya mendapat tindakan injeksi analgetik yakni ketorolax.
Ketika dilakukan pengkajian di IGD, klien datang sudah dalam keadaan
terdapat perubahan struktur tulang belakang. Berdasarkan hasil pengkajian
awal, Look
(L), Feel (F) and Movement (M) didapatkan bahwa secara
inspeksi (L) terdapat gibbus atau penonjolan di vertebra torakalis, serta
deformitas tulang vertebra yakni tampak kifosisdan skoliosis. Sementara saat
dipalpasi (F) teraba adanya penonjolan tulang, keras, dan nyeri tekan positif
sepanjang penonjolan dan deformitas (sepanjang vertebra torakalis), dan
secara pergerakan, mobilisasi tulang belakang sangat terbatas, kemampuan
klien untuk membungkuk sangat terbatas, klien juga tidak mampu berbaring
telentang, biasanya ia berbaring lateral kanan/ kiri atau lebih sering duduk.
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
47
Berdasarkan anamnesa dengan klien dan melihat status rekam medik klien,
perubahan bentuk tulang belakang sudah ia alami sejak kurang lebih 3 tahun
lalu, pada mulanya hanya muncul benjolan kecil dan tidak mengganggu, tapi
lama kelamaan membesar hingga mengakibatkan tubuhnya melengkung dan
nyeri sekali, bahkan untuk hanya dipegang. Berdasarkan hasil pemeriksaan
awal dan anamnesa kepada klien, masalah deformitas tulang belakang berupa
gibbus merupakan salah satu manifestasi klinis dari spondilitis tuberkulosis.
Namun hal ini masih perlu ditunjang dengan beberapa pemeriksaan diagnostic
yang terkait.
Untuk itu, pemeriksaan diagnostik juga dilakukan pada klien, diantaranya
adalah tes BTA untuk penegakan diagnosis Tb sebagai penyebab utama. Hasil
dari BTA, ketiga pemeriksaan menyakatakan bahwa BTA aktif. Sesuai dengan
penelitian Moesbar (2006), BTA aktif merupakan salah satu tanda bahwa
sesorang menderita tuberkulosis.
Kemudian pemeriksaan selanjutnya untuk mendukung diagnostik adalah
rontgen dada, rontgen tulang belakang, MRI tulang belakang. Hasil dari
rontgen dada menyimpulkan bahwa pada paru klien terdapat bercak infiltrat
suprahiler bilateral paracardial. Sedangkan hasil rontgen tulang belakang
(radiografi vertebra torakal) klien menyatakan bahwa terdapat kifosis
kurvatura torakal dengan apeks pada thorakal 12, kolaps korpus vertebra
thorakal 11 dan 12 dengan kompresi korpus thorakal 10 dan lumbal 1,
penyempitan ireguler dan sklerotik diskus intervertebralis thorakal 10-11
sampai dengan thorakal 12 dan lumbal 1, serta suspek paravertebra mass
setinggi thorakal 7 sampai dengan lumbal 2. Berdasarkan hasil rontgen ini,
diagnosis spondilitis dapat ditegakkan pada klien.
Penonjolan tulang atau gibbus, kifosis, merupakan beberapa manifestasi klinis
dari spondilitis tuberkulosis (Moesbar, 2006) merupakan komplikasi dari
tuberkulosis. Salah satu komplikasi yang paling sering muncul dari
tuberkulosis adalah spondilitis dimana infeksi sudah mencapai tulang
belakang atau biasa dikenal pula dengan TB tulang (PPTI, 2013). Spondilitis
tuberkulosisadalah inflamasi pada tulang vertebrae yang bisa disebabkan oleh
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
48
beberapa hal, misalnya adalah proses infeksi dan penurunan imunitas. Salah
satu penyebab spondilitis yang paling sering terjadi adalah infeksi tuberkulosis
yang sudah bermetastase ke tulang belakang (Moesbar, 2006).
Hal yang perlu diperhatikan pada kasus-kasus spondilitis tuberkulosis adalah
lokasi vertebra yang terkena karena ia akan mempengaruhi fungsi saraf pada
lokasi tersebut. Sesuai dengan pendapat Garg dan Somvanshi (2011), fraktur
pada vertebra karena spondilitis dapat menyebabkan kompresi pada vertebra
yang kemudian mengakibatkan defisit neurologi, misalnya saja kelumpuhan
atau masalah pada saluran pencernaan. Pendapat yang sama disampaikan oleh
Pearce (2002) pun menyebutkan bahwa cidera atau gangguan pada vertebra
akan mempengaruhi sarap spinal disekitarnya dan gangguan pada vertebra
torakal dan lumbal mengakibatkan paralisis otot interkostal (vertebra torakal)
dan dan paralisis pada abdomen, otot-otot kedua ekstremitas bawah, serta
sfingter uretra dan rektum.
Dari hasil pemeriksaan melalui MRI, kompresi terjadi pada korpus vertebra
torakal. Seharusnya bila memang bagian torakal terkena, masalah kesulitan
pernapasan dan pergerakan pada ekstremitas atas akan muncul karena
plexusbrakhialis pada torakal akan terganggu. Plexus brakhialis berfungsi
melayani pergerakan otot dada, leher, dan lengan (Pierce, 2002). Namun,
justifikasi yang bisa diangkat kemungkinan kompresi tidak sampai menekan
medulla spinalis, hanya pada badan atau korpus vertebra sehingga tidak ada
defisit neurologi khususnya ppada fungsi terkait. Sesuai dengan pendapat
Moesbar (2006), bahwa tidak selalu spondilitis menimbulkan defisit
neurologi.
Hanya saja, berdasarkan hasil anamnesa dengan klien, ia sering mengalami
kesemutan pada ekstremitas bawah sehingga sering tidak kuat untuk berjalan
dan pernah ada riwayat jatuh tiba-tiba saat di sekolah. Bila seperti itu
kemungkinan cidera terjadi pada vertebra lumosakral karena disana terdapat
plexus lumbosakralis yang berfungsi melayani pergerakan otot ekstremiats
bawah terutama bagian paha. Hasil pemeriksaan MRI: kompresi korpus
thorakal 10 dan lumbal 1, penyempitan ireguler dan sklerotik diskus
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
49
intervertebralis thorakal 10-11 sampai dengan thorakal 12 dan lumbal 1, serta
suspek paravertebra mass setinggi thorakal 7 sampai dengan lumbal 2
menunjukkan
bahwa
memang
ada
masalah
pada
vertebra
lumbal.
Kemungkinan inilah penyebab seringnya klien mengalami parastesia atau
kesemutan. Namun, kesemutan tidak selalu klien rasakan sehingga klien tetap
mampu beraktivitas sehari-hari mandiri.
Berdasarkan hasil pengkajian, beberapa masalah keperawatan yang muncul
pada klien sebelum menjalani operasi adalah nyeri kronik berhubungan
dengan inflamasi tulang belakang, dan resiko cidera berhubungan dengan
deformitas tulang belakang dan anemia. Sementara masalah keperawatan post
operasi adalah kurang volume cairan, hambatan mobilitas fisik, dan resiko
infeksi.
Kondisi klien post operasi, saat kembali ke ruangan, pada 17 Mei 2013,
kesadaran compos mentis, tanda vital: Tekanan darah 110/70 mmHg, nadi
80x/menit, RR 20x/ menit, suhu 37. Klien memiliki riwayat perdarahan
itraoperatif sebanyak 3-4 liter, ditransfusi sebanyak 20 kantong, dan sat ini Hb
8,3 gr/dl. Kondisi penurunan Hb serta yang sangat drastis ini selain karena
prosedur operasi, adalah karena masalah anemia mikrositik hipokrom yang
dimiliki oleh klien. Anemia mikrositik hipokrom merupakan anemia yang
ditandai dengan defisiensi besi yang menahun dan dapat disebabkan oleh
penyakit kronik (Smeltzer & Bare, 2002). Hal inilah yang tampaknya terjadi
pada klien dimana penyakit infeksi tuberkulosia yang menahun, menyebar ke
tulang belakang, menyebabkan gangguan pembentukan besi dan anemia
kronik. Anemia mikrositik hipokrom ditangani dengan menyelesaikan
penyebab masalah, yakni penyakit itu sendiri.
4.3 Analisa Intervensi: Mobilisasi Dini dengan Teknik Logroll
Klien adalah Tn.I dengan spondilitis TB. Tn.I menjalani operasi stabilisasi
tulang belakang pada hari Rabu, 15 Mei 2013. Operasi berlangsung selama
kurang lebih 12 jam. Selama dioperasi klien mengalami perdarahan hinggal 4
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
50
Liter dan mendapat transfusi darah hingga kurang lebih 5 Liter/ 20 kantong
darah.
Post operasi adalah keadaan dimana klien telah menjalani operasi, terhitung
sejak klien dipindahkan dari ruang operasi yakni di recovery room atau ruang
pemulihan (Smeltzer & Bare, 2005). Pada klien Tn. I, post operasi klien
masuk ruang Intensive Care Unit, hingga hari kedua post operasi klien baru
dibawa kembali ke ruangan. Klien kembali ke ruangan pada tgl.17 Mei 2013
pukul 15.00. klien tiba di ruangan sudah dalam keadaan Compos Mentis
(CM).
Mobilisasi atau kemampuan seseorang untuk bergerak bebas merupakan salah
satu kebutuhan dasar manusia yang harus terpenuhi. Tujuan mobilisasi adalah
memenuhi kebutuhan dasar (termasuk melakukan aktifitas hidup sehari-hari
dan aktifitas rekreasi), mempertahankan diri (melindungi diri dari trauma),
mempertahankan konsep diri, mengekspresikan emosi dengan gerakan tangan
nonverbal (Potter & Perry, 2002). Mobilisasi dini post operasi merupakan hal
penting untuk mencegah komplikasi dari imobilisasi yang lama, serta
mempercepat pemulihan luka post operasi.
Immobilisasi adalah suatu keadaan di mana individu mengalami atau berisiko
mengalami keterbatasan gerak fisik. Mobilisasi dan immobilisasi berada pada
suatu rentang. Immobilisasi dapat berbentuk tirah baring yang bertujuan
mengurangi aktivitas fisik dan kebutuhan oksigen tubuh, mengurangi nyeri,
dan untuk mengembalikan kekuatan. Individu normal yang mengalami tirah
baring akan kehilangan kekuatan otot rata-rata 3% sehari (atropi disuse).
Mobilisasi sangat dipengaruhi oleh sistem neuromuskular, meliputi sistem
otot, skeletal, sendi, ligament, tendon, kartilago, dan saraf.
Berdasarkan penelitian, imobilisasi menurunkan kekuatan otot 1%-1.5% per
hari, dan 4%-5% per minggu selama tirah baring, bahkan penurunan dapat
mencapai 10% dalam satu minggu bila tirah baring total (Serrano, 2011).
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
51
Imobilisasi juga akan meningkatkan rata-rata hari rawat dan memperlambat
kepulangan pasien. Oleh karena itu, melakukan mobilisasi dini merupakan hal
penting untuk dilakukan.
Menurut Siribaddana (2009), mobilisasi minimal dilakukan 1-2 hari post
operasi disesuaikan dengan kemampuan dan bergantuan pada jenis
operasinya. Hal ini karena mobilisasi akan mempercepat proses pemulihan
jaringan pada luka post operasi (Siribaddana, 2009). Berdasarkan hal tersebut,
penulis mengaplikasikan bagaimana efektivitas mobilisasi dini pada pasien
post operasi, yakni Tn.I dengan post operasi stabilisasi. Dalam menerapkan
tindakan mobilisasi dini pada Tn.I, asuhan keperawatan yang dilakukan adalah
dengan mengubah posisi pasien : miring kanan-kiri per 2 jam. Kondisi pasien
yang masih cukup lemah (post operasi hari ke-3) membuat mahasiswa perlu
berhati-hati selama mengubah posisi. Selain itu, kondisi pasien yang
merupakan pasien post operasi stabilisasi mengharuskan pasien berpindah
posisi dengan gerakan serentak untuk mencegah cidera post operasi, termasuk
pada lokasi stabilisasi atau biasa disebut dengan teknik log roll.
Teknik log roll adalah teknik mentransfer atau mengubah posisi pasien
dengan gerakan mengangkat atau membalikkan punggung secara serentak
guna mencegah cidera lebih lanjut pada vertebra. Teknik ini biasa dilakukan
untuk menstabilisasi tulang belakang, dan sering digunakan pada pasienpasien dengan cidera vertebra. (Ghobrial, 2013). Berdasarkan hal tersebut,
penulis mengaplikasikannya kepada Tn.I dengan dibantu oleh keluarga serta
beberapa teman dalam pelaksanaannya karena teknik ini membutuhkan paling
tidak 3 orang dalam menjalankannya. Sesuai dengan pedoman prosedur log
roll orang pertama memegang kepala, namun karena klien mampu
mengimobilisais kepala dan tidak ada cidera servikal, maka orang pertama
memegang bahu hingga pinggang, dan orang kedua memegang pinggang
hingga paha, dan orang ketiga bertugas meletakkan bantal di belakang tubuh
klien. Bantal penopang diletakkan sebanyak 5 buah, satu untuk kepala,
kemudian 2 untuk di sepanjang punggung, dan 2 untuk diapit diantara kedua
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
52
kaki (diantara paha dan tulang tibia). Selain melatih kemampuan mobilisasi,
posisi miring diharapkan dapat mengurangi penekanan langsung pada luka
post operasi di sepanjang vertebrae sehingga pemulihan luka akan lebih cepat.
Setelah intervensi berupa mobilisasi dini dengan teknik log rol dilakukan
kepada Tn.I, beberapa hal telah dievaluasi untuk mengetahui efektivitas dari
intervensi yang diberikan. Hal pertama yang dilihat adalah bagaimana
mobilisasasi mencegah beberapa efek imobilisasi yang seringkali terjadi,
diantaranya adalah:
a. Thrombosis vena dalam/ deep vein thrombosis (DVT). Imobilisasi
memiliki efek yang cukup serius salah satunya adalah terjadinya
thrombosis vena dalam. Thrombosis vena dalam seringkali terjadai setelah
operasi karena bekuan atau kloting darah yang terbentuk selama proses
operasi mengalir bersama sirkulasi darah dan mungkin mencapai venavena dalam yang ukurannya lebih kecil dari trombus tersebut sehingga
terbentuklah trombosis. Trombosis ini menjadi lebih mudah terjadi saat
tidak terjadi mobilisasi dan yang mengkhawatirkan adalah saat thrombus
terjadi di pembuluh darah di jantung atau organ vital lainnya. Bila hal
tersebut terjadi maka dampak paling buruk adalah nekrosis dan kematian
organ terkait. Oleh karena itu, mobilisasi akan menurunkan resiko
terjadinya thrombus pada pasien-pasien post operasi, terutama untuk
operasi besar, termasuk lower limb operation (Sirribaddana, 2009).
Demikian pula yang diharapkan pada Tn.I
Tn.I menjalani operasi pada lokasi thorakolumbal. Operasi pada bagian
tersebut tentunya bukanlah jenis operasi yang kecil, melainkan operasi
yang cukup besar dengan perlukaan jaringan yang cukup panjang
(mencapai 35 cm) serta resisko terbentuknya thrombus yang tinggi post
operasi. Namun mobilisasi dini membuat komplikasi tersebut tidak terjadi
pada Tn.I. sampai dengan ahri terakhir klien dirawat tidak terjadi masalah
DVT. Dengan demikian, terkait salah satu tujuan mobilisasi dini,
mencegah DVT, dapat dikatakan cukup efektif.
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
53
b. Tujuan kedua adalah memulihkan fungsi bowel dan distensi abdomen.
Efek anestesi yang diberikan menjelang pasien menjalani operasi
diantaranya bertujuan untuk mengistirahatkan seluruh aktivitas dalam
tubuh dengan sifat anestesi yakni muscle relaxant, salah satunya adalah
aktivitas peristaltik usus. Oleh karena itu, masalah yang paling sering
terjadi ketika pasien post operasi adalah system pencernaan yang belum
kembali berfungsi, salah satu tandanya adalah belum adanya flatus atau
terjadi distensi abdomen karena akumulasi gas.
Selain itu, imobilisasi sendiri akan memperburuk fungsi pencernaan
karena peristaltik usus sangat bergantung dengan mobilisasi. Rendahnya
mobilisasi mengakibtkan rendah pula gerak atau peristaltik usus.
Berdasarkan hal tersebut, mobilisasi dini dilakukan pada Tn.I. Meskipun
pasien tidak segera setelah operasi kembali ke ruangan (pasien masuk ICU
post operasi hingga hari ke-3) dan baru kembali ke ruangan ketika siang
hari ke-3 post operasi, pasien masih mengeluhkan adanya masalah pada
bowel, yakni belum defekasi sejak hari setelah operasi. Kondisi klien yang
baru menjalani operasi pada lokasi vertebra/ tulang belakang pun menjadi
satu faktor kemungkinan yang turut memicu konstipasi karena gangguan
neuromuskuler terutam yang mengatur defekasi. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Pearce (2002), bahwa cidera pada vertebra akan mempengaruhi
fungsi saraf dibagian yang terkena, dan salah satu pengatur defekasi
adalah saraf pada vertebra lumbalis. Oleh karena itu, mobilisasi dini
diberikan dengan harapan neuromuskuler mendapat stimulus, begitu pula
dengan peristaltik usus karena mobilisasi dini meliputi pengubahan posisi
per 2 jam dan ROM berguna untuk mengaktifkan kembali fungsi
neuromuskuler (Siribaddana, 2009).
c. Tujuan selanjutnya yang ingin dicapai dari pelaksanaan intervensi
mobilisasi dini adalah mencegah infeksi luka operasi dan mempercepat
penyembuhan luka operasi. Berdasarkan Siribaddana (2009), pemulihan
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
54
jaringan luka operasi operasi sangat dipengaruhi oleh imobilisasi. Selain
itu, mobilisasi miring kanan-kiri pada Tn.I memungkinkan pengurangan
penekanan pada lokasi luka operasi di vertebra sehingga pemulihan luka
akan lebih baik. Efektivitas mobilisasi dini untuk mencegah infeksi luka
operasi dapat terukur dari luka yang mongering pada hari ke-6 post
operasi, tidak tampak adanya pus atau kemerahan di sekitar luka, dan drain
pun sudah dapat dilepas pada hari ke-6 post operasi karena produksinya
sudah tidak ada.
Berdasarkan pelaksanaan intervensi mobilisasi dini dengan log roll pada
pasien post operasi stabilisasi, banyak sekali manfaat yang didapatkan
terutama dalam pencegahan komplikasi operasi. Manfaat tersebut tampak
pula pada Tn.I setelah intervensi diberikan selama 4 hari post operasi,
sejak hari ke-tiga hingga ke-enam. Hingga ahri ke-delapan post operasi, ia
telah pindah ke ruang rehabilitasi untuk pemulihan lebih optimal atas
kondisi neuromuskuler pasca stabilisasi.
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
BAB 5
PENUTUP
Bab 5 merupakan bab penutup. Penutup ini terdiri atas kesimpulan dan saran.
Kesimpulan disampaikan secara keseluruhan dari bab dalam karya ilmiah akhir
ini, sementara saran ditujukan kepada pemerintah, pendidikan, dan rumah sakit.
5.1 Kesimpulan
5.1.1. Wilayah perkotaan memiliki banyak faktor resiko terhadap masalah
kesehatan, diantaranya adalah pemukiman yang padat dan kumuh, polusi
udara yang tinggi,
sedikit kawasan hijau, minimalnya sanitasi dan
ketersediaan air bersih, serta bannyaknya jumlah perokok.
5.1.2. Tuberkulosis menjadi salah satu masalah kesehatan khas perkotaan
karena faktor-faktor diatas, ia sangat merugikan, menular lewat udara,
dan dapat menyebabkan komplikasi yakni penyebaran infeksi ke organ
lain, salah satunya adalah ke tulang belakang.
5.1.3. Spondilitis tuberkulosis dapat menyebabkan kompresi pada korpus
vertebra sehingga menyebabkan masalah seperti gangguan pembentukan
darah dan defisit neurologi, untuk itu perlu dilakukan tindakan
pembedahan untuk memperbaikinya.
5.1.4. Perawat berperan penting dalam pencapaian keamanan/ safety pasien
selama perioperatif, terutama pada pre dan post operasi.
5.1.5. Asuhan pre operatif diantaranya dengan memberikan edukasi persiapan
operasi, sementara post operatif berupa intervensi untuk mencegah
komplikasi operasi.
5.1.6. Mobilisasi dini merupakan salah satu intervensi penting untuk mencegah
komplikasi operasi, seperti DVT, gangguan fungsi bowel, infeksi luka
operasi, retensi urin, dan embolisme pulmonal.
55
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
56
5.1.7. Teknik log roll selama melakukan mobilisasi pada pasien post stabilisasi
vertebre bertujuan untuk mempertahankan kesejajaran vertebra sehingga
mencegah komplikasi post stabilisasi, seperti terjadi puntiran pada
vertebra.
5.1.8. Beberapa efektivitas yang dapat diamati pada pasien diantaranya adalah
pasien tidak mengalami thrombosis vena dalam, masalah konstipasi
teratasi dalam empat hari pelaksanaan intervensi, tidak terjadi stasis urin
dan produksi urin positif, tidak terjadi pneumoni ataupun embolisme
pulmonal, serta penyembuhan luka yang baik/ luka kering dalam 3 hari
pemberian intervensi, tidak terdapat pus, ataupun tanda infeksi, serta
tidak muncul luka baru karena imobilisasi (dekubitus).
5.2 Saran
5.2.1 Rumah Sakit
Saran bagi rumah sakit selaku pemberi pelayanan keperawatan
hendaknya dapat memberikan asuhan keperawatan yang holistik,
termasuk dalam mempersiapkan klien agar dapat menjalani operasi
dengan baik dan terhindar dari komplikasi operasi. Selain itu, perawat
hendaknya menunjukkan perannya sebagai advokat klien dengan
pemberian edukasi-edukasi yang menunjang kesehatan klien.
5.2.2 Pendidikan
Saran bagi pemberi pendidikan keperawatan terutama spesialisasi
keperawatan komunitas hendaknya agar dapat bekerja sama dengan
institusi kesehatan dan pemerintahan di wilayah-wilayah perkotaan untuk
memberikan penyuluhan sebagai tindakan preventif dan promotif terkait
penyakit tuberkulosis guna menekan angka kejadiannya di perkotaan dan
mencegah peningkatan komplikasi.
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
57
5.2.3 Pemerintah
Saran kepada pemerintah agar dapat meninjau kembali bagaimana
pengaturan wilayah kota sehingga dapat menunjang terhadap pemenuhan
kualitas kesehatan penduduknya. Selain itu, pemerintah hendaknya lebih
massif dalam mensosialisasikan pelayanan kesehatan gratis terhadap
penderita tuberkulosis agar seluruh lapisan msyarakat mengetahui dan
tidak salah dalam menangani penyakit tersebut.
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
DAFTAR PUSTAKA
Alavi, S.M .,& Sharifi, M. (2010). Tuberculosis Spondylitis: clinical/ paraclinical
aspect in the south west of iran. Journal of Infection and Public Health, 3,
196-200.
Allender, J.A. 2010. Community health nursing: promoting and protecting the
public’s health. 7th ed. China: Lippincott Williams & Wilkins
Anderson. E. T & McFarlane. J. (2007). Community as partner (theory and
practice in nursing. Philadelphia: Lippincott
Raven, P.(2005). Atlas of Human Anatomy Interactive, Anatomi. Chicago: World
Book Encyclopedia Deluxe Word Book Inc. Chicago.
Anonim. Urbanisasi Meningkat, Problem Kesehatan Bertambah. 06 Apr 2010
Diunduh dari http://bataviase.co.id
Badan Pusat Statistik. (2013). Urbanization. Stylesheet: http://www/datastatistikindonesia.com
Balitbangkes Kemenkes. (2013). Hasil The Global Burden of Disease. Stylesheet:
http://www.depkes.go.id
Clark, Mary J. (1998). Nursing in the Community : Dimensions of Community
Health Nursing. Stamford, Connecticut : Appleton & Lange
Chatman, I.J. (2008). Tuberculosis: Arresting everyone enemy, (2 nded). USA:
Joint Commion Resourcer.
Cluett,
J.
(2008).
Pathologic
Fracture.
Diunduh
dari
http://orthopedics.about.com/cs/brokenbones/g/pathologic.htm
Dewald, R. (2003). Spinal deformities: the comprehensive text. New York:
Thieme.
Departemen Kesehatan RI. (2009). Profil Kesehatan Indonesia 2008. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
58
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
59
Doenges, Marilyn E, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan
dan Pendokumentasian Perawatan Pasien edisi 3 alih bahasa I Made Kariasa,
Ni Made Sumarwati, Jakarta : EGC, 1999.
Elliot, R. (2004). Procedure for log-rolling a patient with a cervical spine injury
(or suspected injury). Royal North Shore Hospital- Intensive Care Unit
Eugsti, CS. Guire, L.S, Stone CS, (2002) Comprehensive Community Health
Nursing Family, Aggregate, & Community Practice. St. Louis: Mosby
Ervin, N.F. (2002). Advanced Community Health Nursing Practice. Population
Focused Care. Prentice Hall: New Jersey
Garg, R.K., & Somvanshi, D.S. (2011). Spinal Tuberculosis: A review. Journal
Spinal Cord Med. ;34(5): 440-454 doi: 10.1179/2045772311Y.0000000023
PMCID:
PMC3184481
diunduh
dari:
http://www.rnoh.nhs.uk/sites/default/files/rehabilitation-guidelines-for-postoperative-shoulder-instability-repair-updated20june08_0.pdf
Hidalgo JA. (2006). Pott Disease (Tuberculous Spondylitis). Diunduh dari
http://www.emedicine.com/med/infecMEDICAL_TOPICS.htm
Hitchcock, J.E. Schubert, P.E. & Thomas, S.A. (2004) Community Health
Nursing: Caring in Action. Albany: Delmar Publisher
International Relief and Development. (2012). Program Air Bersih dan Sanitasi.
Stylesheet: http://www.ird.or.id
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2012). Pengembangan Kota Sehat
untuk Mengatasi Masalah Urbanisasi. Stylesheet: http://www.depkes.go.id
Kemenkes. (2012). Pengembangan Kota Sehat untuk Mengatasi Masalah
Urbanisasi. Stylesheet: http://www.depkes.go.id
Kompas. (2010). Opini Pikiran Rakyat, Urbanisasi dan Kemiskinan Kota. diunduh
dari http://kompas.com
Kotze & Erasmus. (2006) MRI findings in proven Mycobacterium Tuberculosis
(TB) spondylitis. SA Journal of Radiology. Department of Diagnostic
Radiology, University of the Free State, Bloemfontein
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
60
Lundy, Karen S.(2009).Community Health Nursing : Caring for the Public’s
health.2nd ed. Massachusetts : Jones and Bartlett Publisher
Mak, KC., & Cheung, KM. (2013). Surgical treatment of acute TB spondylitis:
indications and outcomes. European Spine Journal. 22(Suppl 4): 603-611.
doi:
10.1007/s00586-012-2455-0
diunduh
dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3691407/
Moesbar, N. (2006). Infeksi tuberculosa pada tulang belakang. Jurnal dari
Departemen Orthopaedi dan Trauma Departemen Ilmu Bedah FKUSU/RSUP H. Adam Malik, Medan, 3, 279-289.
Mukti, G. (2012). Gerakan Indonesia Cinta Sehat Pembangunan Kesehatan
Dengan Upaya Promotif- Preventif dengan Tidak Mengabaikan Kuratif dan
Rehabilitatif. Stylesheet: http://www.depkes.go.id
NANDA. (2012). Diagnosis Keperawatan: definisi dan klasifikasi 2012-2014.
(Made Sumarwati & Nike Budhi Subekti, Penerjemah). Jakarta: EGC.
Nawas, A. (2010). Penatalaksanaan TB MDR dan strategi Dots plus. Jurnal
Tuberkuosis Indonesia, 7, 1-7
Nies, Mary., McEwen, Melanie. (2007). Community public health nursing:
promoting the health of the population. 4th ed. St.Louis: Mosby
Paramarta, I.G.E., Purniti, P.S., Subanada, I.B. & Astawa, P. (2008). Spondylitis
tuberculosis. Jurnal dari bagian Ilmu Kesehatan Anak dan Ilmu Bedah
Ortopedi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Rumah Sakit Sanglah
Denpasar, 3, 177-183.
Pearce, Evelyn. (2002). Anatomy & Physiology for Nurses. Alih bahasa: Sri
Yuliani Handoyo. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia. (2012). TB di Indonesia
Peringkat Ke-4. Stylesheet: http://www.ppti.info
Potter, P.A., & Perry,A.G.(2002). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep,
Proses, dan Praktik, 4th Ed. Jakarta: EGC
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
61
Price & Wilson (1995), Patofisologi-Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Ed.4,
EGC, Jakarta
Rasjad, C. (2003). Spondilitis Tuberkulosa dalam Pengantar Ilmu Bedah
Ortopedi. Ed.II. Makassar: Bintang Lamumpatue
Royal National Orthopaedic Hospital. NHS Trust. Rehabilitation Guidelines for
Post-Operative Shoulder Instability Repair
Sedyaningsih, E.. (2011). Pedoman nasional pengendalian tuberculosis.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Ditjen Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan. Diunduh dari www.depkes.go.id
Sekretariat Negara RI Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan Bidang
Perekonomian dan Industri. (2009). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 34 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Perkotaan.
Salinan
sesuai
dengan
aslinya.
Diunduh
dari:
http://datahukum.pnri.go.id/index.php?option=com_phocadownload&view=ca
tegory&download=2942:pp34tahun2009&id=29:tahun2009&Itemid=28&start=20
Siribaddana, P. (2009). The Benefits of Early Mobilization Following Surgery.
Diunduh
dari
http://www.helium.com/items/1685732-benefits-of-early-
mobilization-following-surgery
Sjamsulhidayat, R. dan Wim de Jong, 1998, Buku Ajar Imu Bedah, Edisi revisi,
EGC, Jakarta
Smeltzer, Suzanne C. and Brenda G. Bare, 2002, Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah: Brunner Suddarth, Vol. 1, EGC, Jakarta
Soedarsono (2000), Tuberkulosis Paru-Aspek Klinis, Diagnosis dan Terapi, Lab.
Ilmu Penyakit Paru FK Unair/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya.
Spielgelburg,D.D. (2007). New topics in tuberculosis research. New York: Nova
Science Publishers.
Stanhope, M and Lancaster, J. (2004). Community and Public Health Nursing.
The Mosby Year Book. St Louis
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
62
Subagjo, B. (2012). Asuhan Keperawatan Pasien dengan Gangguan Sistem
Muskuloskeletal. Surabaya: Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga
Suryo, J. (2010). Herbal penyebab gangguan sistem pernapasan: Pneumonia,
kanker paru-paru, TB paru, bronchitis, pleurisy. Yogyakarta: B First
The Lakeshore General Hospital. Preoperative Teaching Guide For Same Day
Surgery Clientele. Stillview Ave: The West Island HSSC
Universitas
Sumatra
Utara.
(2011).
Tinjauan
Pustaka.
Diunduh
dari:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33995/4/Chapter%20II.pdf
WHO. (2011). Global tuberculosis control; WHO report 2011. Geneva:
Publication Data
WHO. (2012). Global tuberculosis report 2012. France: Publication Data.
Wilkinson, J. M., & Ahhern.N.R. (2009). Buku saku diagnosis keperawatan (edisi
9). (Esty Wahyuningsih, Penerjemah). Jakarta: EGC.
Wong, D.L., Perry, S.E., & Hockenberry, M.J. (2002). Maternal Child Nursing
Care. (2nd Ed). St Louis: Mosby Elsevier
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
FORMAT PENGKAJIAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH FIK-UI
Nama Mahasiswa: Marhamatunnisa
NPM : 0806334073
INFORMASI UMUM
Nama: Tn. I Informasi: Klien, orangtua klien, rekam medis klien. Reliabilitas (skala 1-4): 4
Usia: 21 th. Tanggal lahir: 11 Juni 1992 Suku bangsa: Sunda
Jenis kelamin: Laki - laki
Tanggal masuk: 24 April 2013 Dari: IGD.
AKTIVITAS/ISTIRAHAT Pekerjaan: pelajar (santri)
Gejala (subjektif):
Keterbatasan karena penyakit: “aktivitas terhambat karena
merasa nyeri.”
Tidur: tidak mampu terlentang sempurna, harus sedikit
miring atau lebih baik duduk
Alat bantu: - Insomnia: tidak ada.
Respon terhadap aktivitas yang dihadapi:
Tanda (objektif):
Status mental: sadar. KU: baik.
Pengkajian neuromuscular: terkadang ada kesemutan
diekstremitas bawah
Rentang gerak: terbatas, terutama pada punggung. Tremor:. Deformitas:givud di vertebra torakal
Hipertensi: -. Masalah jantung: -. Demam rematik: -. Edema
SIRKULASI
Gejala (subjektif):
mata kaki/kaki: -. Flebitis: -. Penyembuhan lambat: -.
Klaudikasi: -. Ekstrimitas: kesemutan: +, kebas: -.
Batuk/hemoptisis: - . Perubahan frekuensi/jumlah urin: -.
TD: ka: berbaring: 110/70 mmHg.
Tanda (objektif):
Nadi: Radialis: 82. Kualitas: kuat. Irama: teratur.
Auskultasi dada: vesikuler
Warna kulit: sawo matang. Pengisian kapiler: < 3 dtk.
Tanda Homan’s: -.
Kuku jari: bersih, sedikit panjang. Penyebaran/kualitas
rambut: baik, tidak mudah dicabut.
Warna umum: normal, tidak pucat. Konjungtiva: sedikit
anemis. Sklera: tidak ikterik
Faktor stress: penyakit. Cara menangani stress: berdoa.
INTEGRITAS EGO
Gejala (subjektif):
Masalah finansial: klien masih bergantung pada orangtua.
Status hubungan: anak pertama dari 4. Faktor budaya: -.
Agama: Islam/dijalani kurang teratur. Gaya hidup:
menengah ke bawah. Perubahan terakhir: -. Perasaan:
Tanda (objektif):
berharap cepat sembuh. Status emosi: pasrah, menerima.
Respon psikologis yang terobservasi: kooperatif, tenang.
ELIMINASI
Gejala (subjektif):
Pola BAB: 1x/ hari. BAB terakhir: -. Karakter feces:lunak,
kuning kecoklatan
Perdarahan: tidak. Hemorrhoid: tidak. Konstipasi: -.
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
Tanda (objektif):
MAKANAN/ CAIRAN
Gejala (subjektif):
Tanda (objektif):
HYGIENE
Gejala (subjektif):
Tanda (objektif):
NEUROSENSORI
Gejala (subjektif):
Tanda (objektif):
NYERI/ TIDAK
NYAMAN
Gejala (subjektif):
Tanda (objektif):
PERNAPASAN
Gejala (subjektif):
Tanda (objektif):
Penggunaan laksatif: tidak.
BAK: “sering, >5x/hari”. Karakter urin: encer, kuning
jernih, seperti biasa”.
Riwayat penyakit ginjal: -.
Nyeri tekan abdomen: tidak. Teraba massa: tidak. Bising
usus: aktif pada keempat kuadran: 8 x/menit.
Diit biasa: makan teratur, dihabiskan. Jumlah makan per
hari: 3x. Minum: > 1.5 L/hari. Mual: -. Muntah: -. Nyeri
ulu hati: -. Alergi/intoleransi makanan:-. Masalah
mengunyah: -.
BB sekarang: 47 kg. Tinggi: 167 cm. Bentuk tubuh: kurus,
ada skoliosis dan kifosis. Turgor kulit: baik. Edema: -.
Pembesaran tiroid: -. Hernia: -. Halitosis: -. Kondisi
gigi/gusi: baik, bersih, merah muda. Penampilan lidah: agak
pucat. Bising usus: aktif pada keempat kuadran: 8 x/menit.
Aktivitas sehari-hari: mandiri pada semua bidang, sejak
sakit dikurangi dan dibantu.
Waktu mandi yang disukai: pagi & sore.
Penampilan umum/ Cara berpakaian: rapi. Bau badan: -.
Kulit kepala: bersih.
Sakit kepala: -. Rasa ingin pingsan/pusing: -. Kesemutan:
terkadang ada di ekstremitas bawah. Stroke: -. Kejang: -.
Mata: tak.
Telinga: tak.
Status mental: CM. Orientasi terhadap waktu: tak. Afek:
sesuai. Memori yang lama & baru: jelas dan utuh.
Bicara: jelas.
Reaksi pupil: positif. Kaca mata: -. Alat bantu dengar: -.
Genggaman tangan/lepas: kuat/sama.
Lokasi: di sekitar punggung, terutama pada gibbus di
vertebra. Intensitas (0-10): 3, masih bisa ditahan. Kualitas:
seperti berdenyut. Durasi: < 30menit. Penjalaran: -. Faktor
pencetus: bergerak yang melibatkan tulang belakang,
disentuh pada lokasi deformitas. Cara mengatasi: istirahat,
tidak disentuh
Mengerutkan muka: +. Menjaga area yang sakit: +. Respon
emosi: meminta untuk tidak disentuh pada bagian yang
sakit.
Dispnea: - (sesak hanya sesekali muncul). Batuk: ada
keluhan.
Riwayat penyakit paru: + (TBC sejak tahun 2007)
Perokok: + (sejak tahun 2005 – 2009)
Penggunaan alat pernapasan: -.
Pernapasan, frekuensi: 20. Kedalaman: baik. Simetri: sama,
bilateral (namun dada kiri tampak lebih menonjol karena
deformitas vertebra)
Auskultasi: vesikuler.
Sianosis: -. Jari tabuh: -.
Karakteristik sputum: kental, putih kekuningan.
Fungsi mental: sadar.
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
KEAMANAN
Gejala (subjektif):
Tanda (objektif):
SEKSUALITAS
Gejala (subjektif):
Tanda (objektif):
INTERAKSI SOSIAL
Gejala (subjektif):
Tanda (objektif):
PENYULUHAN/
PEMBELAJARAN
Gejala (subjektif):
Alergi: -. Riwayat penyakit hubungan seksual: -. Transfusi
darah: -. Riwayat cidera: pernah jatuh di sekolah pada tahun
2008 dan tidak bisa jalan selama 1 tahun. Fraktur: patologis
+ kompresi vertebra torakolumbar.
Masalah punggung: skoliosis, kifosis, gibbus di vertebra
torakal. Perubahan tahi lalat: -. Pembesaran nodus: kelenjar
limfe (riwayat), orchitis (pembesaran skrotum). Kerusakan
penglihatan, pendengaran: -. Protese: -. Alat ambulatori: -.
Suhu tubuh: 36,5°C aksila. Diaphoresis: -. Integritas kulit:
ada lesi di leher (aga dibawah dagu) karena pembengkakan
kelenjar getah bening. Kemerahan: -. Laserasi: -. Ulserasi: . Ekimosis: -. Lepuh: -. Luka bakar: -.
Kekuatan umum: sama pada semua ekstremitas. Tonus otot:
tak. Cara berjalan: sedikit membungkuk karena kifosis.
Parastesia: terkadang ada di ekstremitas bawah.
Aktif melakukan hubungan seksual: tidak, klien belum
menikah. Penggunaan kondom: -. Masalah/kesulitan
seksual:-. Perubahan dalam frekuensi: -.
Rabas penis: tak terkaji. Gangguan prostat: tak terkaji.
Sirkumsisi: sudah dilakukan. Vasektomi: -. Melakukan
pemeriksaan sendiri: tak terkaji. Payudara/testis: membesar,
ada orchitis (infeksi pada testis karena infeksi sekunder
TB). Protoskopi/pemeriksaan prostat terkahir: tak terkaji.
Status perkawinan: belum menikah. Hidup dengan:
orangutan dan 3 adik. Masalah/ stress: penyakit. Orang
pendukung lain:keluarga (orangtua dan adik)
Peran: anak
Masalah yang berhubungan dengan penyakit: tidak dapat
mengerjakan aktivitas lain di luar rumah, pendidikan tidak
dapat dilanjutkan
Bicara: jelas.
Komunikasi verbal/non verbal dengan keluarga/ orang
terdekat lain: baik. Pola interaksi keluarga (perilaku): baik.
Bahasa dominan: Indonesia. Melek huruf: ya.
Tingkat pendidikan: tamat SMP. Ketidakmampuan belajar:
tak. Keterbatasan kognitif: tak. Keyakinan kesehatan/ yang
dijalankan: pasrah, ingin cepat sembuh.
Orientasi spesifik terhadap perawatan kesehatan: mengikuti
program perawatan, berharap cepat sembuh.
Faktor risiko keluarga:
Diabetes: -. Tuberculosis: -. Penyakit jantung: -. Stroke: -.
TD tinggi: -. Epilepsy: -. Penyakit ginjal: -.
Kanker: -. Penyakit jiwa: -. Lain-lain: -.
Obat yang diresepkan:
a. Ceftriaxone 2 x 500 gr, I: antibiotic
b. Ketorolax 3 x 1 ml. : analgesik
c. Ranitidine : blok H+
d. INH : OAT
e. Etambuthol: OAT
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
Post operasi:
a. Ceftriaxone 2 x 1g
b. Ketorolax 3 x 30 mg
c. Ranitidine 2x 1mp
d. Transamin 3 x 1 amp: mencegah perdarahan.
e. Vit K 3 x 1 amp. : faktor pembekuan darah
(mencegah perdarahan).
f. Vit C 2 x 200mg I: terapi perdarahan kapiler
g. IVFD RL 3 kolf/ 24 jam
h. Metilprednisolon 3x125mg per IV: kortikostreroid:
antiinflamasi
Penggunaan alkohol: -.
Diagnose saat masuk per dokter: spondilitis tuberkulosis
MRM tanggal 24/04/13. Riwayat keluhan terakhir: nyeri
Harapan pasien terhadap perawatan ini: dapat segera
sembuh.
Bukti kegagalan untuk perbaikan: -.
Pemeriksaan fisik terakhir: tekanan darah cenderung
rendah, Hb rendah: 10.2.
Pertimbangan rencana pulang:
Rencana pulang: belum diketahui.
Sumber-sumber yang tersedia: orang: orangtua. Keuangan:
pembayaran melalui Jamkesda.
Antisipasi perubahan pola hidup: patuh minum obat OAT,
batasi aktivitas berat terutama yang mengangkat atau
mendorong serta menggendong beban berat di punggung
Bantuan yang dibutuhkan: brace
Situasi pasien: Spondilitis tuberkulosis Pro Debridemen dan stabilisasi
Klien adalah Tn.I (No.RM: 1218447), laki-laki berusia 21 tahun dan belum
menikah, masuk ruangan pada tanggal 24 April 2013 dengan diagnosa medis
spondilitis tuberkulosis pada vertebra torakal IV hingga lumbal I. Klien memiliki
riwayat tuberkulosis paru pada tahun 2007 dan menjalani pengobatan dengan OAT
9 bulan namun tidak tuntas (putus obat sekitar 7 atau 8 bulan). Kemudian sekitar 3
tahun lalu sudah muncul pembengkakan kelenjar getah bening hingga
mengeluarkan nanah (di sekitar leher). Sejak itu klien sakit-sakitan namun tidak
pernah berobat ke RS. Kemudian sekitar 3 tahun lalu klien jatuh di sekolah, dan
langsung tidak dapat berjalan selama 1 tahun. Selama itu klien hanya beraktivitas
di rumah dengan bantuan keluarga. Setelah itu lama kelamaan terjadi pembesaran
skrotum/ orchitis.
Pembesaran sempat pecah dan mengeluarkan darah, namun kembali membesar dan
lama kelamaan terasa nyeri. Jarak kurang lebih 3 bulan kemudian mulai muncul
benjolan di tulang belakang. Pada mulanya kecil dan tidak terlalu mengganggu
sehingga klien dan keluarga tidak melakukan apa-apa. Tapi berangsur- angsur
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
tonjolan semakin besar hingga membuat tubuh klien melengkung. Meski begitu
klien dan keluarga belum memeriksakannya ke dokter/ RS, namun hanya
meminum obat ramuan Cina. Hingga akhirnya klien merasa sangat nyeri di bagian
tonjolan tersebut saat digerakkan maupun hanya disentuh, sakit bertambah ketika
dibawa berjalan. Rasa nyeri pun hampir dirasakan setiap waktu. Klien memiliki
riwayat merokok sejak kelas 2 SMP hingga 2 SMA. Klien tinggal di pesantren
(santri) sejak SMP.
Saat ini klien sedang perbaikan KU untuk persiapan operasi debridement dan
stabilisasi tulang belakang.
Klien akhirnya menjalani operasi pada tanggal 15 Mei 2013 dan terjadi perdarahan
hebat intraoperatif sebanyak 3 Liter. Post operasi klien masuk ICU dan baru
kembali ke ruangan pada tanggal 17 Mei 2013/ hari ke-3 post operasi. Kondisi post
operasi: kesadaran CM, TD 110/70 mmHg, Nadi 65x/menit, suhu 36.5 0C,
pernapasan 20x/menit. Klien terpasang drainase (produktif) di sekitar vertebra
lumbal, kateter urin, infuse RL. Keluhan post operasi rasa nyeri dan ngilu di luka
post operasi, masih lemas, terutama pada kedua kaki juga masih kesemutan.
Pemeriksaan Penunjang
a. Radiologi:
-
Rontgen Dada: bercak infiltrat suprahiler bilateral paracardial
Gambar rontgen dada Tn.I
-
MRI Vertebra torakal: terdapat kifosis kurvatura torakal dengan apeks pada
thorakal 12, kolaps korpus vertebra thorakal 11 dan 12 dengan kompresi
korpus thorakal 10 dan lumbal 1, penyempitan ireguler dan sklerotik diskus
intervertebralis thorakal 10-11 sampai dengan thorakal 12 dan lumbal 1,
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
serta suspek paravertebra mass setinggi thorakal 7 sampai dengan lumbal 2.
Kesan sesuai dengan gambaran spondilitis
Gambar: MRI vertebra torakal Tn.I
-
MRI Vertebra lumbal: kolaps korpus vertebra torakal 12 dengan kompresi
vertebra Lumbal 1 disertai penyempitan ireguler dan sklerotik celah diskus
intervetbralis torakal 12 – lumbal 1 dan suspek paravertebral mass sisi
kanan setinggi torakal 9-lumbal 2. Kesan: sesuai dengan gambaran
spondilitis, degenertif diskus disease lumbal 5-sakral 1, skoliosis lumbal
sinistrokonveks, dan osteopororsis.
-
Rontgen tulang belakang:
Gambar: tulang belakang preoperasi
Gambar:
post
stablisasi
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
tulang
belakang
b. Pemeriksaan Laboraturium:
Test
Hasil Pemeriksaan
Nilai normal
Hematologi
Darah Rutin
Leukosit
6,1
5 – 10 ribu/mm3
Trombosit
283
150-440 ribu/mm3
Eritrosit
4,35
4,4 – 5,9 juta/ul
Hb
10,2
13,2 – 17,3 g/dl
Ht
32
33 – 45 fL
VER
74,6
80,0- 100,0 %
HER
23,5
26,0- 34,0 pg
KHER
31,5
32,0-36,0 %
RDW – CV
16,2
11,5- 14,5 %
Protein total
7,40
6,0 – 8,0 gr/dl
Albumin
3,30
3,4 – 4,8 gr/dl
Globulin
4,10
2,5 – 3,0 gr/dl
Kimia klinik: fungsi hati
c. Hasil pemeriksaan gambaran darah:
-
Eritrosit: mikrositik hipokrom, anisositosis, polikromasi +
-
Leukosit: jumlah menurun, limposit atipik
-
Trombosit: jumlah dan morfologi normal
Kesan: anemia mikrositik hipokrom + leukopeni, suspek penyakit kronis,
diagnose pembanding: anemia defisiensi Fe, hemoglobinopathi
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
Lampiran 2
Analisis Data Sebelum dan Setelah Operasi
Pre Op
Data Pengkajian
Masalah Keperawatan
Ds: klien mengatakan:
- nyeri skala 2-3 di tulang belakang, terutama
bagian penonjolan tulang, nyeri seperti
ditusuk, nyeri bertambaha bila bagian tersebut
disentuh atau digerakkan atau tertekan (saat
berbaring). Nyeri sudah drasakan sejak
kurang lebih satu tahun,dan progresif
(berangsur-angsur tingkatan nyeri meningkat)
- Klien mengatakan tidak mengetahui prosedur
yang akan dilakukan
Do:
- Tekanan darah 110/70mmHg,
Nyeri kronik
0
nadi=82x/menit, Suhu=36,5 C, dan frekuensi
napas 18x/menit,
- Wajah tampak meringis saat deformitas
disentuh, klien tampak melindungi bagian
yang sakit
DS:
-
Klien mengatakan sudah sakit sejak tahun
2007, sakit pembengkakan kelenjar getah
bening, minum obat tiap hari
Kesulitan berjalan dan beraktivitas
Resiko cidera
DO:
-
Klien putus OAT (hanya 8 bulan)
Ada defomitas vertebra: gibbus, skoliosis
dan kifosis
Albumin rendah: 3.3 gr/dl, LED
meningkat hingga 100mm
Infeksi tb hingga ke tulang belakang,
limfa, dan testis,
Didiagnosis memiliki anemia mikrositik
hipokrom
Universitas Indonesia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
Post Op
Ds: Lemas, minu masih sedikit
DO:
- Riwayat perdarahan intraoperatif
sebanyak 3 Liter
- Hb post operasi hari ke-3 (saat
kembali ke ruangan) 8.3 gr/dl
- TD: 110/70 mmHg, nadi 65x/menit,
RR 18 x/menit, suhu 370C
- Konjungtiva anemis, kulit pucat
- CRT <3detik
- Drain produktif 400cc
DS:
- Kaki lemas, tidak bisa digerakkan
terutama kaki kiri
- Punggung juga masih kaku,
kesemutan
- Sudah mulai miring-miring tapi
masih sakit dan kaku
- Belum BAB sejak hari operasi
Kurang volume cairan
Hambatan mobilitas fisik
DO:
- Kekuatan otot:
5555 5555
5554 4455
DS: Masih terasa ngilu dan kaku di
punggung, di luka operasi, tidak gatal
DO:
-
-
tampak luka operasi sepanjang
vertebra kurang lebih 35cm
luka operasi kering, tidak ada
kemerahan, tidak ada pus,
tidak ada bengkak
luka masih terpasang drain
produksi 400cc
Resiko infeksi
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
C. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan Sebelum Operasi
No.
Diagonsa Keperawatan
1.
Nyeri kronik berhubungan
dengan inflamasi penyakit
patologis spondilitis TB
torakal 4-lumbal 1
(Nanda, 2012)
Karakteristik:
DS: nyeri skala 2-3 di
tulang belakang, terutama
bagian penonjolan tulang,
seperti ditusuk, dan
bertambah bila bagian
tersebut disentuh atau
digerakkan atau tertekan
(saat berbaring). Nyeri
sudah drasakan sejak
kurang lebih satu tahun,dan
progresif (berangsur-angsur
tingkatan nyeri meningkat)
DO:
- TD 110/70mmHg, nadi
Tujuan
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
selama 3x24 jam nyeri
klien berkurang atau
dapat diadaptasi oleh
klien
Kriteria Hasil:
Intervensi
- Kaji skala nyeri
Rasional
- Nyeri merupakan respon subjektif
yang bisa dikaji dengan menggunakan
skala nyeri
- Ajarkan relaksasi:teknik-teknik untuk
menurunkan ketegangan otot rangka,
yang dapat menurunkan intensitas nyeri
dan juga tingkatkan relaksasi masase
- Ajarkan metode distraksi selama nyeri
akut
- Berikan waktu istirahat bila terasa nyeri
dan beri posisi yang nyaman
- Akan melancarkan peredaran darah,
sehingga kebutuhan oksigen terpenuhi,
sehingga akan mengurangi nyeri
- Secara verbal klien
nyatakan nyeri
hilang/berkurang
- Klien dapat melakukan
tehnik mengurangi nyeri - Kolaborasi:
- Klien tidak gelisah
Pemberian analgesic
- Skala nyeri 0-1 atau
teradaptasi
0
82x/menit, Suhu 36,5 C,
dan frekuensi napas
18x/menit,
- Wajah tampak meringis
saat deformitas disentuh,
klien tampak melindungi
bagian yang sakit
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
- Mengalihkan perhatian nyerinya ke
hal-hal yang menyenangkan
- Istirahat akan merelaksasikan jaringan
sehingga akan meningkatkan
kenyamanan
- Analgesik mengurangi nyeri
No.
Diagonsa Keperawatan
2.
Resiko cidera berhubungan
dengan deformitas tulang
belakang, infeksi TB, dan
anemia (NANDA, 2012)
Tujuan
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan 3x
24 jam, klien tidak
mengalami cidera:
Kriteria hasil:
- Klien melaporkan tidak
adanya kejadian jatuh
atau hal-hal yang
memperburuk keadaan
klien
- Nilai Hb klien
mencapai 10 atau lebih
- Klien menunjukkan
teknik untuk
meningkatkan
lingkungan aman
- Suhu tubuh 36,737,50C
- Klien dapat menjalani
operasi
- Klien tidaka mengalami
masalah selama operasi
ataupun post operasi
Intervensi
Ajarkan klien dan keluarga agar selalu
memasang bed site rail setiapa kali klien
tidur, terutama saat tidur malam
Ajarkan kepada klien agar berhati-hati
dalam beraktivitas dan agar meminta
bantuan bila tidak mampu melakukan
suatu aktivitas
Beritahukan klien agar memencet bel atau
meminta bantuan perawat bila ada yang
perlu dibantu
-
-
Berhati-hati dan meminta bantuan
menjadi tindakan preventif untuk
mencegah klien cidera
-
Intake cairan dan nutrisi adekuat
akan membantu perbaikan
kondisi klien dan meningkatkan
imunitas tubuh
-
Mewaspadai bila terjadi
perburukan kondisi
-
Mencegah terjadinya cidera atau
hal yang tidak diinginkan
sebelum dan setelah operasi
Motivasi klien agar meningkatkan intake
cairan dan nutrisi adekuat, terutama
makanan tinggi zat besi dan protein
Beritahukan klien agar melaporkan setiap
hal yang dirasakan terutama seperti
kenaikan suhu, rasa pusing, nyeri
meningkat, dll
Jelaskan kepada klien persiapan operasi
yang harus dilakukaan dan bagaimana
keadaan setelah operasi, apa yang harus
dilakukan, dan apa yang tidak boleh
dilakukan
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
Rasional
Bed site rail digunakan untuk
mencegah klien jatuh
D. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan Setelah Operasi
No.
1.
Diagonsa Keperawatan
Kurang volume cairan
berhubungan dengan
perdarahan hebat
intraoperatif dan anemia
DS: Klien mengatakan masih
lemas
DO:
- Riwayat perdarahan
intraoperatif sebanyak 3 Liter
- Hb post operasi hari ke-3
(saat kembali ke ruangan) 8.3
gr/dl
- TD: 110/70 mmHg, nadi
65x/menit, RR 18 x/menit,
suhu 370C
- Konjungtiva anemis, kulit
pucat
- CRT <3detik
- Drain produktif 400cc
Tujuan
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
selama 3x24 jam kondisi
kurang volume cairan
dapat diperbaiki
Intervensi
- Kaji status hidrasi
- Observasi dan waspadai bila terdapat
tanda dehidrasi atau syok
Rasional
- Status hidrasi menggambarkan
kondisi cairan dalam tubuh,
termasuk kondisi sirkulasi
- Observasi penting untuk memberi
tindakan segera bila tampak tanda
perburukan: tanda syok/ dehidrasi
Kriteria Hasil:
- Monitor tanda vital
- Tanda vital merupakan salah satu
cara untuk mengetahui status
sirkulasi oksigenasi tubuh yang
dapat berubah bila terdapat dehidrasi
- Monitor balance cairan
- Balance cairan membantu
pemantauan status hidrasi
- Monitor status mental
- Perubahan status mental
(kemunduran) merupakan tanda
masalah dehidrasi berat
- Motivasi klien untuk meningkatkan
intake cairan adekuat
- Intake cairan adekuat akan
membantu memperbaiki status
hidrasi
- Tanda vital dalam batas
normal
- Tidak muncul tanda
dehidrasi/ syok
- Konjungtiva tidak
anemis, CRT < 3 detik,
produksi drain
berkurang atau minimal
- Hb menunjukkan
perbaikan
- Kolaborasi:
Pemberian resusitasi cairan atau
transfusi (bila perlu) per intravena
Pemeriksaan laboratorium: elektrolit,
hematologi, BUN, albumin
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
- Resusitasi membantu perbaikan
kondisi hidrasi
- Memastikan kondisi hidrasi dalam
tubuh
No.
Diagonsa Keperawatan
2
Hambatan Mobilitas Fisik
berhubungan dengan
penurunan kekuatan otot
DS:
- Kaki lemas, tidak bisa
digerakkan terutama kaki
- Punggung juga masih kaku,
kesemutan
- Sudah mulai miring-miring
tapi masih sakit dan kaku
- Belum BAB sejak hari
operasi
DO:
- Kekuatan otot:
5555 5555
5554 4455
3
Resiko infeksi berhubungan
dengan luka post operasi
DS: Masih terasa ngilu dan
kaku di punggung, di luka
operasi
DO:
-
tampak luka operasi
sepanjang vertebra
Tujuan
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
selama 3x24 jam klien
dapat melakukan
mobilisasi secara
optimal:
Kriteria hasil :
- Klien dapat ikut serta
dalam program latihan
- Mencari bantuan
sesuai kebutuhan
- Mempertahankan
koordinasi dan
mobilitas sesuai
tingkat optimal
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
selama 3x 24 jam faktor
resiko infeksi akan hilang
Kriteria hasil :
- Menunjukkan faktor
resiko individu
- Mengidentifikasi
intervensi untuk
mencegah resiko
Intervensi
- Kaji mobilitas yang ada dan observasi
terhadap peningkatan kerusakan
- Bantu klien dalam melakukan latihan
ROM
- Ubah posisi setiap 2 jam dengan teknik
log roll
-
- Pantau kulit dan membran mukosa
terhadap iritasi dan tanda inflamasi
- Bantu klien ambulasi
Kolaborasi:
- Kolaborasi dengan ahli terapi dalam
pemberian terapi
- Observasi tanda-tanda infeksi dan
peradangan
- Tingkatkan upaya pencegahan dengan
mencuci tangan sebelum dan sesudah
- Pertahankan tehnik aseptik pada
prosedur invansif
- Pantau suhu dan istirahat
- Ganti dressing sesuai petunjuk umum
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
-
Rasional
Mengetahui tingkat kemampuan klien
dalam melakukan aktivitas
Untuk memelihara fleksibilitas sendi
sesuai kemampuan
Mempertahankan posisi tulang
belakang tetap sejajar
Deteksi dini dari kemungkinan
komplikasi imobilisasi
Mencegah kekakuan otot
- Terapi yang tepat dapat mempercepat
proses pemulihan
- Pasien mengkin dapat mengalami
infeksi nosokomial
- Mencegah timbulnya infeksi silang
(infeksi nosokomial)
- Mencegah timbulnya infeksi silang
- Peningkatan suhu menandakan
peningkatan laju metabolik dari
proses inflamasi
- Mencegah timbulnya infeksi
No.
Diagonsa Keperawatan
kurang lebih 35cm
- luka operasi kering,
tidak ada kemerahan,
tidak ada pus, tidak ada
bengkak
Tujuan
infeksi
- Menunjukkan teknik
untuk meningkatkan
lingkungan aman
- Suhu tubuh normal:
36,7-37,50C
Intervensi
(pertahankan teknik steril)
Kolaborasi:
Terapi antibiotik
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
Rasional
nosokomial
- Untuk menurunkan inflamasi
E. Catatan Perkembangan Pasien
Nama Klien: Tn.I
103
Ruang Rawat: Prof.Dr. Soelarto kamar
Dx Medis: Spondilitis Tb (Pre Operasi)
No
1
Tanggal
Diagnosa Keperawatan
8-5- 2013
Nyeri kronik berhubungan
dengan penyakit patologis
spondilitis TB torakal 9-10
Pukul:
11.15
(Nanda, 2012)
Implementasi
Evaluasi
- Mengkaji skala nyeri yang
dirasakan pasien sebelum intervensi
diberikan
- Mengukur tanda-tanda vital klien
- Mengajarkan kepada pasien cara
mengurangi nyeri dengan cara
teknik napas dalam
- Mengkaji skala nyeri setelah
diberikan intervensi
- Memberikan kesempatan klien
untuk lebih banyak beristirahat
untuk mengurangi nyeri
S:
- Klien mengatakan nyeri skala 3, masih bisa ditahan asal
jangan disentuh, biasanya nanti hilang sendiri dengan
istirahat
- Ya, enak dengan tarik napas dalam, jadi lebih tenang, tapi
nyeri belum berkuran masih dirasakan
O : tanda vital: TD 110/70 mmHg, nadi 80x/menit,
pernapasan 18x/ menit, suhu 360C
- Wajah masih tampak meringis
A: nyeri
P:
- Observasi skala nyeri, waspadai bila terdapat
peningkatan nyeri
- Evaluasi kemampuan melakukan teknik relaksasi napas
dalam
- Ajarkan teknik relaksasi lainnya: mendengarkan musik
- Berikan waktu istirahat bila terasa nyeri dan beri posisi
yang nyaman
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
No
2
Tanggal
9-5- 2013
Diagnosa Keperawatan
Resiko cidera berhubungan
dengan deformitas tulang
belakang, infeksi TB, dan
anemia
Implementasi
Evaluasi
Memperingatkan klien dan keluarga
agar selalu memasang bed site rail
setiapa kali klien tidur, terutama saat
tidur malam
S: ya, biasanya pegangan tempat tidur dipasang kalau tidur
malam
Mengarahkan kepada klien agar
berhati-hati dalam beraktivitas dan
agar meminta bantuan bila tidak
mampu melakukan suatu aktivitas
A: resiko cidera
Memberitahukan kepada klien agar
memencet bel atau meminta bantuan
perawat bila ada yang perlu dibantu
3
13-05-2013
Ansietas berhubungan
dengan persiapan
menjelang operasi
Memotivasi klien agar meningkatkan
intake cairan dan nutrisi adekuat,
terutama makanan tinggi zat besi dan
protein
Menanyakan perasaan klien menuju
operasi
Mengkaji tingkat ansietas klien:
tanda verbal dan nonverbal
Membantu klien mengatasi ansietas
dengan relaksasi napas dalam
Memberikan lingkungan yang
nyaman dan suasana penuh istirahat
dengan membatasi pengunjung
O: klien mendengarkan penjelasan mahasiswa
P:
-
pantau aktivitas klien dan bantu ADL sesuai
kemampuan klien
perhatikan lingkungan pasien, hindari faktor-faktor
pemicu cidera: lantai licin
motivasi klien untuk tingkatkan intake nutrisi
S: ya, belum tau operasinya jadi kapan, katanya rabu.
Sedikit takut
O: tanda vital TD: 110/70mmHg, nadi 80x/menit, suhu 36,
RR 18x/ menit. Mimik wajah tampak tenang, biasa. Klien
duduk di tempat tidur ditunggui oleh ayah klien
A: ansietas ringan
P: lakukan edukasi pre operasi
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
No
4
Tanggal
14-05-2013
Diagnosa Keperawatan
Ansietas berhubungan
dengan akan dilakukan
operasi
Implementasi
Memberikan privasi untuk klien dan
keluarga terdekat
Menanyakan perasaan klien
menjelang esok operasi
Evaluasi
S: ya, sedikit takut, hanya bisa berdoa
O: mimik wajah tampak cemas, kening berkerut,
Mengkaji tanda verbal dan
nonverbal ansietas
Tanda vital 110/70 mmHg, nadi 83x/menit, suhu 37, RR
19x/menit.
Mulai melakukan tindakan untuk
mengurangi kecemasan (tarik napas
dalam).
Klien mampu melakukan relaksasi napas dalam dengan
baik hanya inspirasi kurang maksimal (pendek)
A: ansietas ringan
Memberikan penjelasan mengenai
persiapan operasi: konsul dokter,
persiapan darah untuk transfusi:
crosstest dan donor, informed
consent tindakan operasi, persiapan
ICU, anestesi, dan transfuse,
persiapan fisik: puasa 8 jam sebelum
operasi, pembersihan anggota tubuh
yang akan dioperasi, pengosongan
lambung dengan klisma, tidak
menggunakan perhiasan, protese,
dsb., memakai baju operasi tanpa
pakaian dalam
P:
motivasi klien untuk menenangkan diri menjelang operasi
lengkapi persiapan-persiapan menjelang operasi
pastikan kondisi klien memenuhi syarat dilakukan operasi
pastikan ketersediaan ICU untuk perawatan postoperasi
Memberikan edukasi manajemen
nyeri post operasi dengan relaksasi
napas dalam
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
No
Tanggal
Diagnosa Keperawatan
Implementasi
Evaluasi
Menjelaskan kondisi post operasi,
pentingnya mobilisasi dini pos
operasi dan memenuhi intake nutrisi
kaya protein, dsb
F. Catatan Perkembangan Pasien
Nama Klien: Tn.I
Ruang Rawat: Prof.Dr. Soelarto kamar 103
Dx Medis: Spondilitis Tb Post Op debridement dan stabilisasi
No Tanggal
17-05-2013
Diagnosa keperawatan
hambatan mobilitas fisik
berhubungan dengan
penurunan kekuatan otot
Implementasi
Mengkaji mobilitas
yang ada dan observasi
terhadap peningkatan
kerusakan
Mengubah posisi setiap
2 jam dengan teknik
log roll
Evaluasi
-
Memantau kulit dan
membran mukosa
terhadap iritasi dan
tanda inflamasi
-
Menjelaskan kepada
klien dan keluarga
pentingnya melakuka
-
-
S: klien mengatakan:
masih nyeri, ga kuat badan gerak-gerak, kaki masih
lemas sekali, punggung juga kesemutan
di ICU juga sudah belajar miring-miring tapi tidak BAB
juga
punggung tidak gatal hanya kaku
ya, enak tidur miring, tidak tertekan punggungnya
O: klien post-operasi stabilisasi hari ketiga.
Klien masih tampak cemas dan takut dengan kondisi post
operasi
Klien terlihat sedikit meringis ketika rasa nyerinya mulai
timbul. TTV: TD= 110/70mmHg Nadi: 85x/menit,
RR=18x/menit, S= 360C
Klien berbaring posisi miring lateral kiri dengan 5 bantal
penopang: 1 untuk kepala, 2 untuk vertebra, 1 untuk
diapit paha, 1 untuk diapit tibia
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
No Tanggal
Diagnosa keperawatan
Implementasi
mobilisasi dini:
mencegah komplikasi,
memudahkan defekasi,
mempercepat
penyembuhan luka,
mempercepat
penyembuhan
Evaluasi
-
Kekuatan otot paha belum meningkat, klien hanya
mampu menggerakkan ujung/ jari kaki
A: Hambatan mobilitas fisik
-
2.
18-05-2013
Resiko infeksi
berhubungan dengan luka
operasi
- Mengobservasi tandatanda infeksi dan
peradangan
- Mencuci tangan
sebelum dan sesudah
- Pantau suhu dan
istirahat
- Melakukan perawatan
luka dengan teknik
steril
P:
kaji peningkatan kemampuan mobilisasi
ukur tanda-tanda vital klien
Mengajarkan kepada klien dan keluarga cara ubah posisi
dengan log roll
S: masih ngilu, sakit kalau disentuh, digerakkan
O: luka kering, tidak ada kemerahana, tdk ada pus, luka
vertical sepanjang vertebrae kurang lebih sepanjang
35cm, terdapat drain dengan produksi sekitar 300cc, tidak
ada pus atau kemerahan di luka drainase, tidak ada
kenaikan suhu (suhu 36.5)
A: resiko infeksi
P: lanjutkan pearawatan luka per hari dengan prinsip
steril, lanjutkan terapi antibiotik, lanjutkan diet tinggi
protein
3.
18-05-2013
Kurang volume cairan
berhubungan dengan
riwayat perdarahan hebat
intraoperatif
- Mengkaji status hidrasi
- Mengobservasi bila
terdapat tanda dehidrasi
atau syok
- Memonitor tanda vital,
balance cairan, status
mental
- Memotivasi klien untuk
S: ia, sudah minum banyak, pusing sedikit, makan masih
belum banyak, tapi masuk
O: tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 80x/menit, suhu
36, RR 19x/menit. Status mental:klien CM. Hb terakhir
8.3gr/dl. Klien makan tidak habis
RL masuk 500/8 jam dilanjutkan dengan albumin 20%
A:kurang volume cairan
P:
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
No Tanggal
Diagnosa keperawatan
Implementasi
Evaluasi
meningkatkan intake
cairan adekuat
- Kolaborasi:
Pemberian resusitasi
cairan atau transfusi per
intravena: PRC 250,
albumin 20%
4.
18-05-2013
Hambatan mobilitas fisik
berhubungan dengan
penurunan kekuatan otot
- Mengkaji mobilitas
yang ada dan observasi
terhadap peningkatan
kerusakan
- Mengubah posisi setiap
2 jam dengan teknik
log roll
- Mengajarkan ROM
aktif dan pasif pada
ekstremitas: fleksiekstensi, abduksiadduksi
- monitor tanda vital dan status mental
- observasi tanda dehidrasi
- monitor cairan infuse dan transfusi
S: klien mengatakan:
- Nyeri sudah berkurang, kaku di punggung sudah berkurang,
tapi kaki masih lemas tapi sudah dilatih digerakkan
- ya, enak tidur miring, sudah bisa miring sendiri dengan dibantu
- sudah kuat miring lebih dari 15 menit
O: klien post-operasi stabilisasi hari ke-empat.
- Klien sudah mulai lebih rileks, wajah tidak tampak meringis,
cukup tenang
- TTV: TD= 110/70mmHg Nadi: 82x/menit, RR=19x/menit, S=
360C
- Klien berbaring posisi miring lateral kanan dengan 5 bantal
penopang: 1 untuk kepala, 2 untuk vertebra, 1 untuk diapit
paha, 1 untuk diapit tibia
- Kekuatan otot:5555 5555
5554 4455
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
No Tanggal
Diagnosa keperawatan
Implementasi
Evaluasi
A: Hambatan mobilitas fisik
P:
- Lanjutkan ubah posisi dengan log roll
- Ajarkan klien dan keluarga melakukan latihan ROM aktif,
pasif, dan aktif asistif
5.
20-05-2013
Resiko infeksi
6.
20-05-2013
Hambatan Mobilitas fisik
S: masih ngilu sedikit, nyeri sudah sangat berkurang
- Mengobservasi tandaO: luka kering, tidak ada kemerahana, tidak ada pus, luka
tanda infeksi dan
vertikal sepanjang vertebrae kurang lebih sepanjang
peradangan
35cm, terdapat drain dengan produksi minimal: drain
- Mencuci tangan
dilepas, luka tidak ada pus atau kemerahan di luka
sebelum dan sesudah
drainase, tidak ada kenaikan suhu (suhu 36.5)
- Pantau suhu dan
A: resiko infeksi
istirahat
P:
- Melakukan perawatan
-lanjutkan perawatan luka per hari dengan prinsip steril,
luka dengan teknik
- lanjutkan terapi antibiotik, lanjutkan diet tinggi protein
steril
-Motivasi klien untuk minum OAT rutin
- Memotivasi klien untuk
- Edukasi keluarga tentang Pengawas Minum Obat
meningkatkan intak
(PMO) ketika nanti di rumah
cairan dan nutrisi
terutama makanan
tinggi protein: makan
putih telur
S: klien mengatakan:
- Mengkaji kemampuan
mobilitas, observasi
- Nyeri sudah sangat berkurang, kaku di punggung sudah tidak
terhadap peningkatan
lagi, tapi kaki masih lemas tapi sudah rajin dilatih digerakkan
mobilitas
- Mengubah posisi setiap - sudah bisa miring sendiri dengan sedikit dibantu
2 jam dengan teknik
- sudah kuat miring lebih dari 30 menit
log roll
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
No Tanggal
Diagnosa keperawatan
Implementasi
- Memantau kulit dan
membran mukosa
terhadap iritasi dan
tanda inflamasi
- Membantu klien
berlatih ROM aktif
pada ekstremitas atas,
aktif asistif pada
ekstremitas bawahi
kanan, dan pasif pada
ekstremitas bawah kiri:
fleksi-ekstensi,
abduksi-adduksi
Evaluasi
- klien sudah defekasi
O: klien post-operasi stabilisasi hari ke-enamt.
- Klien sudah tampak rileks, tenang
- TTV: TD= 110/80mmHg Nadi: 85x/menit, RR=19x/menit, S=
360C
- Klien berbaring posisi miring lateral kanan dengan 5 bantal
penopang: 1 untuk kepala, 2 untuk vertebra, 1 untuk diapit
paha, 1 untuk diapit tibia. Kondisi luka kering, tidak ada pus
atau kemerahan,, tidak muncul luka baru karena tirah baring.
- Kekuatan otot:
5555 5555
5555 4455
A: Hambatan mobilitas fisik
P:
- Lanjutkan ubah posisi dengan log roll
- Lanjutkan latihan ROM sehari minimal 2x
Analisis peraktik ..., Marhamatunnisa, FIK UI, 2013
Download