sejarah perkembangan agama buddha

advertisement
SEJARAH PERKEMBANGAN AGAMA BUDDHA
WAWASAN KEBANGSAAN
Pada suatu kesempatan Buddha ditanya oleh para muridnya mengenai pemakaian
bahasa dalam pengajaran Dharma. Apakah tetap menggunakan bahasa India sesuai
bahasa yang ada di sana atau disesuaikan dengan bahasa setempat. Menanggapi
pertanyaan tersebut, Buddha bersabda :
Para bhikkhu, aku ijinkan engkau sekalian mempelajari sabda-sabda bhagawa dalam
bahasamu sendiri. (Vinaya ii : 139)
Dalam hal ini sangat jelas bahwa pengajaran Dharma tidak tertutup hanya memakai
bahasa India (kuno) tetapi terbuka bagi bahasa apapun. Karena Dharma yang
diajarkan adalah esensi (muatannya) bukan kepada pemakaian bahasa. Bahasa
hanya sebagai pengantar mempermudah orang untuk memahaminya. Pada tahap
tertentu Dharma disampaikan bahkan tanpa memakai kata-kata.
Buddha dharma dibabarkan dengan berbagai cara sesuai dengan kemampuan para
pendengarnya. Cara Buddha menuntun Culapanthaka yang tak pandai menghafal
berbeda dengan Ananda yang intelektual. Begitu pun kepada Kassapa dari Uruwela
yang mahir ilmu gaib berbeda kepada Mahakasyapa yang menerima transmisi tanpa
kata-kata. Semua teknik penyampaian tersebut sesuai dengan kemampuan para
pendengarnya. Cara yang tepat bagaimana orang dapat mencapai pencerahan.
Pada saat Buddha membabarkan dharma kita hanya mengenal ajarannya sebagai
Buddha Dharma. Setelah buddha memasuki Maha Parinibbana ajarannya berkembang
luas dan dikenal beberapa pemahaman/ studi. Perbedaan metode pengajaran yang
telah dibabarkan buddha melahirkan berbagai perguruan. Namun tetap satu Buddha
Dharma
Setelah Buddha memasuki Maha Parinibbana, murid-muridnya memandang perlu
merangkum kembali apa yang telah diajarkan oleh Buddha. Sehingga Dharma ini
dapat dipelajari dan diteruskan kepada siapapun yang ingin mencapai jalan
pencerahan.
KONGSILI DHARMA
Upaya tersebut dapat kita lihat dalam beberapa pertemuan agung/ Kongsili Dharma/
Dharma Samaya, seperti :
Kongsili Dharma Buddhis Pertama
Kongsili ini diadakan pada tahun 543 SM di Rjagaha, India. Pada saat tersebut dibawah
pemerintahan raja Ajatasattu. Hadir dalam persamuan agung tersebut sebanyak 500
(lima ratus) Arahat yang menyusun kembali doktrin ajaran Buddha. Kongsili ini dipimpin
oleh YA. Mahakassapa. YA. Ananda menuturkan Dharma danYA. Upali menuturkan
vinaya.
Konsili Dharma Buddhis Kedua
Kongsili ini diadakan pada tahun 443 SM di Vesali, India. Pada saat tersebut di bawah
pemerintahan raja Kalasoka. Kongsili ini membahas mengenai beberapa aturan kecil
yang menjadi perbedaan pandangan. Sebagian merasa perlu mengubah
beberapa aturan kecil, sebagian tidak. Selain itu, ada muncul cita-cita pencapaian,
yaitu buddhahood vs arahantship. Setelah konsili ini timbul tradisi yang berbeda. Pokok
bahasan utama hanya vinaya.
Konsili Dharma Buddhis Ketiga
Kongsili ini diadakan pada tahun 308 SM, pataliputta, Pada saat tersebut di bawah
pemerintahan raja Asoka. Kongsili ini membaas perbedaan pendapat yang dianut oleh
Sangha. Ketua konsili pada saat itu YA. Moggaliputta Tissa menyusun buku Kathavatthu
yang menolak pandangan keliru yang dianut sebagian murid. Ajaran itu disepakati dan
diterima oleh konsili ini dan dikenal sebagai Theravada atau "jalan para sesepuh". Hal
yang sangat menarik adalah mulai disusun Abhidharma Pitaka dalam konsili ini.
Misionari diutus ke 9 (sembilan) negeri.
Konsili Buddhis Keempat
Kongsili ini diadakan pada tahun 80 SM. Pada saat tersebut di bawah pemerintahan
raja Vattagamani Abhaya, Sri lanka. Kongsili ini berhasil menyusun Tipitaka dan kitab
komentar (Atthakatha) dituliskan pada daun palem.
Konsili Buddhis Kelima
Kongsili ini diadakan pada tahun 1871. Pada saat tersebut di bawah pemerintahan raja
mindon. Kongsili ini diikuti 2.400 biku yang dipimpin oleh YA. Jagarabhivamsa di
Mandalay. Tipitaka dipahatkan pada 728 potongan batu pualam di kuthodaw
pagoda. Pahatan Tipitaka yang memakan waktu 7 tahun, 6 bulan dan 14 hari, ini
dicatat dalam guiness book of world record sebagai ”buku terbesar di dunia”.
Konsili Buddhis Keenam
Kongsili ini diadakan pada tahun 1956 di Yangon. Pada saat itu Mingun Sayadaw
menguncarkan 16.000 halaman Tipitaka di luar kepala (gelar: tipitakadhara). Daya
ingatnya yang luar biasa ini dimasukkan ke dalam guiness book of world record 1985,
mencatat Mingun Sayadaw sebagai: ”Manusia dengan ingatan terdahsyat di dunia”.
Apabila kita pelajari dengan seksama perkembangan agama Buddha ada 2 (dua) rute
penyebaran, yaitu :
Jalur Selatan, tradisi yang berkembang Theravada. Negara yang dituju dari india ke Sri
Lanka, lalu ke Myanmar, Thailand, Laos dan Kamboja. Studi Theravada disebut juga
“Jalan Sesepuh” atau Thera, memakai bahasa Pali, kanon Pali, lebih tradisional dan
beraspirasi menjadi Arahat (Savaka Buddha)
Jalur Utara, tradisi mahayana (berbagai aliran). Negara yang dituju dari india ke Asia
Tengah, China, Korea, Jepang, Vietnam, Tibet, Mongolia dan Indonesia. Studi
Mahayana disebut juga “Kendaraan Besar”, memakai bahasa Sanskerta, China, Tibet,
lebih moderat dan beraspirasi menjadi Sammasambuddha melalui jalan Bodhisattwa
paramitayana: jalur bodhisattwa berdasarkan sutra. Studi ini mengalami perkembangan
yang luas, seperti Madhyamika, Yogacara, Avatamsaka, T’ien-t’ai, Chan/ Zen, Pure
Land/ Amitabha Buddha.
Hal yang menarik studi perkembangan aliran utara, yaitu perkembangan yang pesat
dari Vajrayana: jalur Bodhisattwa berdasarkan Sutra dan Tantra disebut juga
"Kendaraan Intan". Berkembang di Bhutan, Mongolia, Tibet dan Nepal. Ajaran ini
dikembangkan oleh Phadmasambhava dan Shantarakshita. Menyebarkan dharma dari
India ke Tibet pada abad ke-8, atas permintaan raja Tibet: Songsten Gampo.
Dalam perkembangan selanjutnya timbul beberapa studi, di antaranya :
Nyingma didirikan Padmasambhava, tertua. Tokohnya Sogyal Rinpoche
Gelug didirikan Tsongkapa, menekankan ajaran & vinaya. Tokohnya Dalai Lama, Lama
Zopa
Kagyu didirikan Naropa di India, menekankan meditasi. Tokohnya Karmapa, Kalu
Rinpoche
Sakya didirikan biwarpa di India, menekankan ajaran & meditasi. Tokohnya Sakya Trizin
Kadam didirikan Atisha, merupakan penggabungan Gelug + Kagyu + Sakya mewarisi
ajarannya
Ri-Me kombinasi berbagai sekte Vajrayana. Tokohnya Jamyang Khyentze
PERSAMAAN THERAVADA & MAHAYANA
Perkembangan yang sangat pesat dari studi Theravada dan Mahayana telah
mewarnai perkembangan Agama Buddha di dunia ini. Secara garis besar kedua studi
pemahaman ini memiliki kesamaan yang sangat esensial, yaitu :
mengakui Triratna ;
mengakui Buddha Sakyamuni sebagai pendiri ajaran Buddha ;
menerima Tiga Corak Kehidupan, Empat Kebenaran Arya, Jalan Arya Berfaktor
Delapan, Sebab Musabab yang Saling Bergantung sebagai ajaran dasar ;
menerima doktrin Hukum Karma seperti yang diajarkan Buddha ;
menerima doktrin Kelahiran Berulang ;
menerima alam Dewa & alam Brahma ;
mengajarkan “Perhatian Murni” dan pentingnya mengembangkan kebijaksanaan
untuk memahami hakikat kebenaran dan
menerima tujuan umum mengakhiri penderitaan dan mencapai Nirwana.
AJARAN BUDDHA DI BARAT
Agama Buddha, agama yang tumbuh paling pesat di Barat. Sifat ajaran yang menarik
minat orang barat, yaitu Ehipassiko. Masuknya agama Buddha ke barat diawali orangorang Perancis, Belanda, Inggris mulai melancong ke Timur belajar Dhamma lebih dari
seabad yang lampau. Selain itu dorongan perkembangan ini adalah umat Buddha
Timur mengungsi ke Barat, seperti : orang Tibet dan Vietnam, mereka membawa
dharma. Praktik Buddhis yang menarik orang barat, yaitu Meditasi. Jalan yang diikuti:
“One Dharma”
BUDDHAYANA
Buddha menunjukkan jalan dengan 3 wahana (triyana), yaitu : Sravakayana,
Pratyekabuddhayana dan Bodhisattvayana. Seluruh dharma itu hanyalah satu
kendaraan (Ekayana), yaitu Buddhayana (Saddharmapundarika-Sutra II). Jalan yang
berkembang di barat: ”One Dharma” = Non-Sektarian = Ekayana = Buddhayana.
Buddhayana bukan sekte baru, melainkan wadah pemersatu berbagai tradisi buddhis
yang sudah ada.
Perkembangan ajaran Buddha di Indonesia, yaitu dimulai dengan kedatangan dari
Ajisaka
aji --- bahasa kawi = ilmu kitab suci
saka --- berasal dari sakya
jadi, ajisaka artinya ahli dalam kitab suci, sakya / ahli buddha dharma. Ajisaka
merupakan gelar u/ raja Tritustha. Dalam legenda masyarakat jateng tentang perang
dasyat antara ajisaka dengan raja dewoto cengkar ( dewoto = dewa, cengkar = jahat )
= dewa jahat ( avidya ). Sehingga dapat dikatakan perang tersebut, merupakan
perang antara Buddha Dharma melawan kejahatan / kebodohan (avidya)
Siapa Ajisaka ?” Beliau bukan hanya ahli dalam Buddha Dharma, tetapi juga seorang
ahli astronomi dan ahli sastra disamping sebagai dharmaduta, beliau juga
memperkenalkan aksara dan penanggalan tahun Saka (Candrasengkala), yaitu :
"ha – na – ca – ra – ka,
da – ta – sa – wa(ga) – la,
pa – da – ja – ya – nya,
ma – ga(nga) – ba(tha) – tha(ba) – nga(wa)"
"Ada abdi, sama-sama memegang surat (titah), sama-sama jayanya, dan sama-sama
gugur".
dhura & sembada “ nir wuk tanpa jalu “. nir = kosong, wuk = tidak jadi, tanpa=0 jalu =1.
jadi 0001, menurut tahun saka = 14 maret tahun 78 masehi
Perkembangan Agama Buddha di Indonesia, yaitu :
a. Abad I, ditandai kedatangan Ajisaka
b. abad II, III, IV, menurut catatan Fa-Hien pada saat itu di Jawa agama Buddha sudah
ada dan kedatangannya. Pada saat itu banyak membawa rupang dan kitab agama
buddha
c. abad V, VI, bukti perkembangan agama Buddha dari prasasti Purnawarman di Jawa
Barat dan Mulawarman di Kalimantan
d. Abad VII, VIII, jaman keemasan agama Buddha, ditandai dengan pendirian candi
Borobudur
e. Abad VIII, IX, berdiri kerajaan Sriwijaya di Sumatera. Menurut catatan It Shing pernah
datang dan belajar.
f. Abad XI, Atisa Dipankara, seorang bhikkhu yang punya latar belakang pengajaran
Tantrayana, berguru pada Serlingpa Dharma Kirti di Sriwijaya.
g. tahun 1100 – 1478, berdiri kerajaan-kerajaan Kediri, Singosari, Majapahit dan akhirnya
Majapahit runtuh - kerajaan Islam berdiri agama Buddha hilang dari peredaran, dan
tidak pernah di bicarakan, hanya peninggalan berupa candi candi yang masih
dikagumi kebangkitan agama Buddha
h. abad XX tahun 1929, orang Belanda yang beragama Buddha membentuk Java
Buddhist Association (orientasi Theravada). Presiden pandita Josias (upasaka I yang
datang di pulau Jawa) banyak berinteraksi di klenteng dengan bhiksu-bhiksu yang di
klenteng dan niko-niko.
i. tahun 1934, bhikkhu narada thera datang ke Indonesia. Pada tanggal 4 Maret
(seorang Dharmaduta Buddhis terkenal dari Srilangka) pulau Jawa pertama kalinya
dikunjungi bhikkhu Theravada. Penanaman pohon Bodhi di candi Borobudur. 10 Mei
terbentuk Batavia Buddhist Association (condong ke Mahayana). Pada tanggal 23
januari 1923, di Bogor, lahir bayi laki-laki. Ayahnya Tee Hong Gie, ibu Tan Sep Moy. Anak
tersebut diberi nama Tee Boan An mempunyai 2 (dua) kakak laki-laki. Ibu meninggal,
saat Boan an usia 20 tahun. Pada tahun 1946 Tee Boan An nekat ke Belanda. Boan An
kuliah, sering ikut ceramah Theosofi sempat ke Perancis mengikuti ceramah Krisnamurti
(praktisi spiritual). Beliau melanjutkan perjalanan ke Belanda dan semakin mantap
menempuh jalan spiritual. Pada tahun 1951 pulang ke Indonesia. Beliau mengunjungi
teman-teman dan diangkat jadi ketua gabungan Sam Kauw Indonesia. Jabatan ini
membuatnya lebih mudah menyebarkan ajaran Buddha. Beliau pernah menjadi guru di
Sariputra Jakarta. Memutuskan jadi pelayan Buddha (anagarika) berkenalan dengan
Ananda Suyono dan Parwati tahun 1953 melempar ide mengadakan waisak secara
nasional di borobudur, dengan membagikan undangan ke pejabat dan wakil Negara.
Perayaan waisak mendapat dukungan dari theosofi dan orang-orang Sam Kauw
Waisak 2497, 22 mei 1953 adalah sebagai shock therapy, membuat orang tercengang
menyadarkan orang, bahwa dulu ajaran Buddha pernah berjaya dan umatnya masih
ada. Hari-hari Tee Boan An memberikan ceramah ke Jawa Tengah–Jakarta di Jakarta
sering ke klenteng Kong Hoa Sie (vihara silsilah C’han) ada suhu Pen Chin yang berdiam
di sana. (Pen Chin dalam silsilah vihara tersebut termasuk pimpinan dan dipercaya telah
mencapai kesucian). Boan An disarankan untuk mencukur rambutnya. Boan An
menjadi samanera menurut tradisi C’han diberi nama Ti Chen, (hadir saat itu maha
biksu Ju Sung, biksu Ju Khung, biksu Cen Yao, biksu Wu Ching). Sramanera Ti Chen,
Maha biksu Pen Ching mencarikan dana u/muridnya agar dapat ke luar negeri guna
menjadi biku karena di Indonesia keberadaan biku sangat kurang. Desember 1953
sramanera berangkat ke Birma (ongkos pesawat ditutupi oleh dana yang dikumpulkan
biksu Pen Ching dan sahabatnya Ong Tiang Biauw, sramanera Ti Chen, maha biksu Pen
Ching mencarikan dana u/muridnya agar dapat ke luar negeri guna menjadi biku
karena di Indonesia keberadaan biku sangat kurang. Desember 1953 sramanera
berangkat ke Birma (ongkos pesawat ditutupi oleh dana yang dikumpulkan biksu Pen
Ching dan sahabatnya Ong Tiang Biauw. Sramanera Ti Chen – Burma mengikuti latihan
meditasi vipasana dipusat meditasi Mahasi Sasana Yeikhta, Rangoon. perkembangan
yang pesat menarik perhatian dari Mahasi Sayadaw, sehingga menunjuk bhikkhu
Nyanuttara Sayadaw untuk membimbing secara khusus. Pada 23 Januari 1954
sramanera Ti Chen Di tahbiskan sekali lagi secara Theravada menjadi seorang
samanera. Guru spiritualnya YA. Agga Maha Pandita untuk Ashin Sobhana mahathera
(Mahasi Sayadaw) diberi nama Jinarakkhita, dan mendapat gelar Ashin. Ashin = gelar
u/menunjukkan orang yang memakainya sbg bhikkhu yg patut dihormatii. Sedangkan
Jinarakkhita = orang yg pantas dilindungi dan diberkahi Buddha. Bhikkhu Ashin
Jinarakhitta membentuk PUUI (Persaudaraan Upasaka – Upasika Indonesia) di Semarang
Juli 1955 (Asadha). Selanjutnya melakukan pentabisan biku dengan mengundang biku
dari luar negeri sebagai penabis dan beliau sebagai acariya, kemudian membentuk
Sangha Sutji Indonesia. Awal perpecahan. Bhikkhu Ashin selalu mengingatkan upaya
untuk melestarikan agama Buddha di Indonesia tidak boleh lepas dari dari kebudayaan
yang sudah ada, karenanya pembauran dan pluralisme tidak dapat dihindarkan. Pada
tanggal 12 Januari 1972 bhikkhu Girirakhito, bhikkhhu Sumanggalo, b. jinapiya
(titatetuko), b. jinaratana (pandhit kaharudin), b. subhato (moctar rashid) memisahkan
diri – membentuk yang kemudian dikenal dengan sebutan Sangha Theravada
Indonesia. Pada tahun 1978 terbentuk Sangha Mahayana Indonesia, dipimpin oleh
biksu Dharmasagaro akibat beliau berselisih dengan cucu murid bhikkhu ashin namun
bhiksu Dharmasagaro tetap menganggap b. Ashin adalah gurunya. Kemudian Maha
Sangha Indonesia dikenal dengan sebutan Sangha Agung Indonesia.
j. tahun 1980, b. Ashin melihat umat Buddha mulai terkotak-kotak, tetapi biku Ashin tetap
mempertahankan konsep wahana Buddha (Buddhayana) yang kemudian dikenal
sebagai Ekayana (di barat), hal ini sekaligus merupakan pengejawantahan “Bhinneka
Tunggal Ika” yang merupakan sila pertama dari pancasila yang merupakan dasar
negara kita indonesia. Dengan pendekatan konsep ini umat buddha diharapkan dapat
belajar masing-masing yana tanpa mencemooh satu dg yang lain , lalu mereka boleh
memilih mana yg akan didalami guna menunjang praktek mereka yang penting tujuan
utamanya mencapai tujuan akhir Nibbana
TOKOH-TOKOH YANG MEMILIKI SEMANGAT BUDDHAYANA DAN PANDANGANPANDANGANNYA
Thich Nhat Hanh, bermacam-macam obat diperlukan u/ menyembuhkan berbagai
penyakit, ajaran buddha juga membuka pintu pintu dharma yang sesuai bagi setiap
orang dengan keadaan yang berlainan. Meski pintu-pintu itu berbeda, antara orang
satu dengan yang lain, mereka semua adalah pintu dharma
dr. K. Sri Dhammananda, “pengikut Buddha sejati dapat menjalankan ajaran agama
tanpa melekat pada aliran atau sekte apapun. kemelekatan membuta adalah suatu
hal yang menunjukkan ketidak pahaman kita akan konsep dasar ajaran buddha itu
sendiri”
Maha Biksu Hsing Yun dari Buddha Light International Association (BLIA) “masa depan
dapat merupakan dunia paling harmonis, adalah dunia Buddhayana”
Dhammacari Lokamitra, Friend of Western Buddhist Order (FBWO), kami adalah non
sekterian dalam arti bahwa kami mempergunakan ajaran – ajaran dari berbagai sekte
agama buddha sejauh ajaran – ajaran tersebut relevan dan praktis dengan situasi
dimana kami mempraktekkan dharma.
Bhikkhu Dharmawiranatha, “Buddhayana bertujuan mencapai suatu perpaduan,
antara inti sari ajaran dengan pola hidup dan kebudayaan seseorang.“
“konsep buddhayana bertujuan untuk memperlihatkan pentingnya menghindari
pengelompokan dan sekterianisme.”
PROSPEK BUDDHAYANA
keinginan punya lambang persatuan yg diterima ketiga mazhab, sehingga muncul
bendera Buddhis Internasional (1885) ;
Tahun 1943 di London terbit majalah Buddhis Internasional “the Middle Way” yang tidak
memandang mazhab.
Tahun 1950 berdiri WFB (Wolrd Fellowship of Buddhist), dalam WFB lebih dari 25%
organisasi atau institusi memiliki semangat Buddhayana. mereka memakai istilah non
sekterian, intersekterian, menerima segala tradisi, terbuka untuk semua sekte, tidak
berafiliasi dengan sekte
WBSC (World Buddhis Sangha Council) pada tahun 1966 yg menghimpun semua
mahzab dalam kongres dunia i dari WBSC di Colombo 1967, telah disepakati dengan
bulat rumusan prinsip dasar agama Buddha, baik Theravada, Mahayana (termasuk
Tantrayana) mempunyai prinsip yang sama. perbedaan-perbedaan mengenai tata
kehidupan biku, adat dan kepercayaan buddha lokal, upacara, tradisi, dan kebiasaan
hanyalah wujud luar, tidak boleh dianggap sebagai ajaran Buddha
the third annual internasional Buddhist seminar di New York (1974) mencetuskan
harapan perserta seminar untuk tidak mengklasifikasikan ajaran Buddha ke dalam
bermacam-macam yana. harapan ini disambut oleh dr.buddhadasa kirtisinghe, ketua
seminar yang mengusulkan sebutan “Ekayana atau Buddhayana”
dr. Ananda W.P Guruge yg bekerja di unesco dalam ceramahnya “Universal
Buddhisme” menyatakan “ saya meramalkan timbulnya kecenderungan –
kecenderungan baru dalam agama buddha di barat. interaksi yg rapat dari berbagai
aliran dan sekte yang berbeda akan berakibat saling mempengaruhi. pakar-pakar
barat telah menyuarakan bahwa mereka lebih menginginkan suatu bentuk agama
buddha yang menggabungkan ketiga tradisi dari theravada, mahayana, tantrayana.
kita mendengar istilah Triyana dan Buddhayana maupun ekayana sebagai nama dari
agama buddha. “kita seharusnya tidak merendahkan perkembangan alamiah ini,
karena beginalah sebenarnya bagaimana ajaran buddha berkembang selama 2500
tahun terakhir ini.”
KONSEP KETUHANAN DALAM AGAMA BUDDHA
Dalam memahami mengulas mengenai konsep Ketuhanan dalam Agama Buddha. Suatu pertanyaan
yang sering timbul, yaitu : Apa dalam Agama Buddha mengenal Ketuhanan ?” Pertanyaan tersebut
timbul, tidaklah mengherankan. Dalam mengulas mengenai Ketuhanan, ada Beberapa kendala
dalam pemahaman lebih lanjut tentang Ketuhanan, antara lain :
Penyebutan kata “Ketuhanan” tersebut tidak populer dan tidak dipakai sama sekali dalam
pembabaran agama Buddha, seolah-olah tidak memikili ajaran tersebut ; Belum adanya pemahaman
yang memadai dan jarang dibicarakan ; Kekacauan konseptual dalam lingkungan multi religius, umat
Buddha tidak dapat menjauhkan diri dari berinteraksi secara aktif dengan umat agama lain. Di mana
umat non Buddhis dengan mudah menyebut dan memonopoli kata ”Ketuhanan” di segala tempat
dan segala waktu tanpa memperdulikan implikasinya dan ; tidak memiliki akses informasi yang
langsung yang lengkap, leluasa dan otoritatif terhadap ajaran dokrinal agamanya dan secara tergesagesa ikut-ikutan meminjam konsep agama lain.
Agama Buddha menekankan Pragmatis, yaitu : Mengutamakan tindakan-tindakan cepat dan tepat
yang lebih diperlukan di dalam menyelamatkan hidup seseorang yang tengah gawat dan bukan halhal lainnya yang kurang praktis, berbelit-belit, bertele-tele dan kurang penting. Buddha tidak pernah
menghabiskan waktu untuk perkara-perkara spekulatif tentang alam semesta karena hal ini kecil
nilainya bagi pengembangan spiritual menuju Kebahagiaan Sejati.
Hal ini dapat kita lihat pada kisah, orang yang tertembak anak panah beracun, yang menolak untuk
mencabutnya sebelum dia tahu siapa yang memanahnya, kenapa panah itu ditembakkan, dari mana
anak panah itu ditembakkan. Pada saat semua pertanyaannya terjawab, dia sudah akan mati lebih
dahulu. (Cula-Malunkyovada Sutta, Majjhima Nikaya 63)
Sutra tersebut mengajarkan kita memiliki pemahaman yang rasional, efektif, efisien, cerdas dan
bijaksana dalam kehidupan spiritual umat manusia agar tindakan cepat dan tepat segera
diutamakan, tanpa membuang-buang waktu lagi
Dalam mengulas konsep tersebut kita tidak dapat melepaskan 4 (empat) rumusan Kebenaran, yaitu :
Ada awal - Ada akhir
Kebenaran ini menjelaskan ada awal dalam proses pembentukan, pembuatan dan kejadian. Seperti
Pembuatan meja. Ada proses pengerjaan kayu-kayu dibentuk, dihubungkan dan difinishing sehingga
terbentuk meja kayu dengan empat pondasinya atau bentuk desain lainnya. Ada Akhir dalam hal ini
ada kehancuran, kelapukan. Jadi, dengan berjalannya proses waktu, meja tersebut dapat rusak,
hancur atau diolah lagi dalam bentuk lainnya. Seperti meja tersebut dimakan rayap, dijadikan kayu
bakar atau dijadikan pondasi. Maka pada saat bentuk berubah kita mengatakan akhir keberadaan
dari apa yang kita namakan meja tersebut.
Ada Awal - Tanpa Akhir
Kebenaran jenis ini, seperti Bilangan asli yang selalu diawali dengan angka 1 dan angka selanjutnya
tanpa batas. Kita tidak dapat mengakhiri pada angka tertentu. Meskipun penghitungannya angka
tersebut sudah sedemikian besar.
Tanpa awal - Ada akhir
Kebenaran jenis ini, contohnya adalah keberadaan kehidupan manusia. Apabila kita telusuri awal
keberadaan manusia kita tidak akan menemukan suatu jawaban yang pasti. Pada saat kita menarik
kebelakang. Orang pasti memiliki ayah dan ibu. Ayah dan Ibu pun memiliki ayah dan ibunya lagi.
Terus kita tarik baik dari sisi ibu maupun dari sisi ayah kita tidak akan menemukan titik yang tepat.
Meskipun dalam agama tertentu. Ada keberadaan awal manusia.
Dalam hal ini karena keterbatasan dalam mencari awal permulaan maka dikatakan tanpa awal untuk
mempermudah pemahaman lebih lanjut. Apabila kita memaksakan diri untuk menemukan
jawabannya maka kita akan terjebak dalam spekulasi pandangan. Hal ini tentu akan banyak
menghabiskan waktu dan tenaga. Sementara kehidupan kita adalah terbatas. Cepat atau lambat
akan meninggalkan dunia ini.
Pengertian ada akhir, berati orang tersebut telah mencapai pencerahan sehingga tidak dilahirkan
kembali.
Jadi, Sama sekali tidak ada alasan untuk menganggap bahwa segala sesuatu atau dunia ini harus
memiliki suatu permulaan. Gagasan bahwa segala sesuatu harus memiliki permulaan benar-benar
karena miskinnya pikiran kita."
Tanpa awal - Tanpa akhir
Kebenaran jenis ini dapat kita lihat dalam Udana Nikaya : “Ketahuilah Para Bhikkhu, Ada sesuatu
Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Wahai para Bhikkhu,
apabila Tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak,
maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan
dari sebab yang lalu.
Tetapi para Bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta,
Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan,
pemunculan dari sebab yang lalu.
Kebenaran terakhir ini, seperti Nibbana yang memungkinkan kita untuk mencapai pembebasan.
Buddha telah mencapai Pencerahan Sempurna, dengan demikian Buddha menghayati dan
memahami Ketuhanan dengan sempurna pula. Buddha bersabda: “Ada Yang Tidak Terlahir, Yang
Tidak Terjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak (Udana VIII:3).
Yang Mutlak = Asamkhata-Dhamma = Yang Tak Terkondisi. Dengan adanya Yang Tak Terkondisi
(Asamkhata), maka manusia yang terkondisi (Samkhata) dapat mencapai kebebasan mutlak dari
samsara.
Dengan adanya hukum Dharma, unsur IMANEN dari Ketuhanan YME tidak lenyap sama sekali,
namun ajaran Buddha menekankan unsur TRANSENDEN dari Ketuhanan YME. Semua yang
transenden adalah TIDAK TERKONSEPKAN, harus dipahami secara INTUITIF melalui PENCERAHAN,
bukan melalui konsep.
Tak terelakkan, ketika kita bicara tentang konsep Ketuhanan, diperlukanlah: SEBUTAN. Salah satu
sebutan: Adi-Buddha. Sebutan lain: Advaya, Diwarupa, Mahavairocana (kitab-kitab Buddhis bahasa
Kawi), Vajradhara (Tibet: Kargyu & Gelug), Samantabhadra (Tibet: Nyingma), Adinatha (Nepal).
Daftar ini tidak lengkap dan masih bisa diperpanjang lagi sesuai dengan kebutuhan
Ajaran-ajaran mengenai Adi Buddha telah lama dianut oleh leluhur-leluhur kita di tanah Jawa yang
menganut aliran Buddha esoterik yang mendirikan candi borobudur serta candi-candi Buddhis
lainnya.
Adi-Buddha = Realitas Tertinggi
Adi-Buddha = Kebenaran Mutlak.
Adi-Buddha = Ketuhanan Yang Maha Esa
Adi-Buddha = Dharmakaya
Dharmakaya: tubuh Dharma yang absolut, kekal, meliputi segalanya, tidak terbatasi oleh ruang dan
waktu, ada dengan sendirinya, bebas dari pasangan yang berlawanan, bebas dari pertalian sebabakibat.
Adi-Buddha bukan suatu personifikasi.
Adi-Buddha bukan sosok yang punya inti-ego (ego-conscious).
Adi-Buddha bukan Tuhan antropomorfik (menyerupai manusia).
Adi-Buddha bukan Tuhan antropopatis (berperasaan = manusia).
Apakah pengetahuan kita mengenai Adi-Buddha dapat menyelamatkan kita dari samsara?
OH, NO...!!!
Mengapa ?” Karena pengetahuan kita mengenai Adi-Buddha bersifat intelektual semata; bukan
pengalaman intuitif langsung. Selain itu karena kita masih harus berlatih sila dan semadi untuk
mewujudkan kebijaksanaan. Tanpa melakukan ketiga hal ini, kita tidak akan terbebas dari Samsara.
Pandangan C. Wowor mengenai konsep Ketuhanan, beliau mengatakan bahwa Ketuhanan yang
Maha Esa dalam agama Buddha, menurut ajaran dalam Tipitaka adalah Nibbana. Menurutnya Maha
Brahma bukanlah Tuhan dalam versi Buddhis. Sebagaimana kutipan beliau dalam Bramajala Sutta,
disebutkan sebagai berikut :
“Demikianlah pada suatu waktu yang lampau ketika berakhirnya suatu masa yang lama sekali, bumi
ini mulai berevolusi dalam pembentukan. Ketika hal ini terjadi alam Brahma kelihatan dan masih
kosong.
Ada makhluk dari alam dewa Abhassara yang masa hidupnya atau pahala karma baiknya untuk hidup
di alam itu telah habis. Ia meninggal dari alam Abhassara dan terlahir kembali di alam Brahma
Di sini ia hidup ditunjang oleh kekuatan pikirannya diliputi kegiuran, dengan tubuh yang bercahaya
dan melayang-layang di angkasa, hidup diliputi kemegahan, ia hidup demikian dalam masa yang
lama sekali. Karena terlalu lama ia hidup di situ. Maka dalam dirinya muncullah rasa ketidakpuasan,
juga muncul suatu keinginan, “O, Semoga ada makhluk lain yang datang dan hidup bersama saya di
sini !”
Pada saat itu ada makhlukn lain yang disebabkan oleh masa usianya atau pahala karma baiknya telah
habis, mereka meninggalkan alam Abhassara dan terlahir kembali di alam Brahma sebagai
pengikutnya, tetapi banyak hal sama dengan dia.
Para Bhikkhu, berdasarkan hal itu, maka makhluk pertama yang terlahir di alam Brahma
berpendapat, “Saya Brahma, Maha Brahma, Maha Agung, Maha Kuasa, Maha Tahu, Penguasa, tuan
dari semua, Pembuat, Pencipta, Maha Tinggi, Penentu tempat bagi Semua Makhluk, Asal mula
kehidupan, Bapa dari yang telah ada dan yang akan ada. Semua makhluk adalah ciptaanku. Mengapa
Demikian !” Baru saja saya berpikir, semoga mereka datang, dan berdasarkan pada keinginanku
itumaka makhluk-makhluk itu muncul.
Makhluk-makhluk itu pun berpikir, “Dia Brahma, Maha Brahma, Maha Agung, Maha Kuasa, Maha
Tahu, Penguasa, tuan dari semua, Pembuat, Pencipta, Maha Tinggi, Penentu tempat bagi Semua
Makhluk, Asal mula kehidupan, Bapa dari yang telah ada dan yang akan ada. Kita semua adalah
ciptaannya. Mengapa ?” Sebab, setahu kita, dialah yang lebih dahulu berada disini, sedangkan kita
muncul sesudahnya.
“Para bhikkhu dalam hal ini makhluk yang pertama yang berada di situmemiliki usia yang lebih
panjang, lebih mulia, lebih berkuasa daripada makhluk-makhluk yang datang sesudahnya.
Para bhikkhu, selanjutnya ada beberapa makhluk yang meninggal di alam tersebut dan terlahir
kembali di bumi. Setelah berada di bumi ia meninggalkan kehidupan berumah tangga dan menjadi
pertapa. Karena hidup sebagai pertapa, maka dengan bersemangat, tekad, waspada dan menjadi
tenang dan memiliki kemampuan mengingat kembali satu kehidupan lampau, tetapi tak lebih dari
itu.
Mereka berkata Dia Brahma, Maha Brahma, Maha Agung, Maha Kuasa, Maha Tahu, Penguasa, tuan
dari semua, Pembuat, Pencipta, Maha Tinggi, Penentu tempat bagi Semua Makhluk, Asal mula
kehidupan, Bapa dari yang telah ada dan yang akan ada. Diala yang menciptakan kami, ia akan tetap
kekal selamanya, tetapi kami yang diciptakannya dan datang ke sini adalah tidak kekal, berubah, dan
memiliki usia yang terbatas.
Apabila kita cermati dengan seksama, Maha Brahma yang merupakan makhluk alam Abhassara yang
terlahir di alam Brahma. Pada masa awal memiliki tubuh yang bercahaya dan memiliki kemampuan
untuk melayang-layang. Munculnya makhluk alam Brahma lainnya adalah karena habisnya masa
kehidupan mereka di alam Abhassara. Jadi, bukan karena hasil dari ciptaan Maha Brahma.
Setelah menolak Maha Brahma sebagai pencipta, dia menawarkan rumusan lain yang diambil dari
Tipitaka yang menurutnya lebih tepat disebut Ketuhanan Yang Maha Esa dalam agama Buddha.
Beliau mengutip Sutta Pitaka, Udana Nikaya VIII : 3 : “Atthi Ajatam Abhutam Akatam Asamkhatam,
yang artinya : “Suatu yang tidak dilahirkan, tidak dijelmakan, tidak diciptakan dan Mutlak.”
Pandangan Upasaka Sucoko, dalam bukunya Konsep Ketuhanan dalam Agama Buddha, beliau
menyebutkan : Nibbana adalah cita-cita tertinggi. Nibbana merupakan suatu keadaan ketika kita
terbebaskan secara sempurna dari belenggu lahir-mati dan tanha ? Nirvana adalah kebalikan
Samsara. Nibbana harus ditafsirkan sebagai berakhirnya segala manisfestasi dari tanha. Nibbana
adalah akibat dari proses pembersihan hati dan pikiran secara total dan bukan sebaliknya sebab dari
terjadinya proses itu ?
Dalam Anguttara Nikaya, Buddha menjelaskan ada 3 (tiga) pandangan yang berbeda yang dianut
masyarakat luas pada masa kehidupannya. Salah satu dianataranya adalah pandangan bahwa baik
penderitaan maupun kebahagiaan kedua-duanya berasal semata-mata dari seorang Tuhan Pencipta
(Issaranimmanahetu). Menurut pandangan ini kita tidak lebih dari hasil karya seorang Tuhan
Pencipta dan sebagai konsekuensinya, seluruh nasib dan takdir kita bergantung mutlak pada
kehendaknya yang absolut. Dalam pandangan ini manusia tidak memiliki sedikit kebebasan lagi
untuk menentukan nasib dan takdirnya sendiri.
Terhadap pandangan ini, Sakyamuni Buddha bersabda, “Jadi, karena diciptakan oleh seorang Tuhan
yang maha tinggi, maka manusia akan menjadi pembunuh, pencuri, penjahat, pembohong,
pemfitnah, penghina, pembual, pencemburu, pendendam dan orang yang keras kepala. Oleh karena
bagi mereka yang berpandangan bahwa segala sesuatu adalah ciptaan seorang Tuhan, maka mereka
tidak akan lagi mempunyai keinginan, ikhtiar ataupun untuk menghindar dari perbuatan lain.
(Majjhima Nikaya II, Sutta no. 101).
Jika ada suatu makhluk yang merancang kehidupan dunia, kemuliaan dan kesengsaraan, tindakan
baik dan tindakan jahat – maka manusia tidak lain adalah alat dari kehendaknya dan tentu makhluk
itu yang bertanggung jawab (Jataka VI : 208).
SANGHYANG ADI BUDDHA adalah asal usul dari segala sesuatu yang ada di alam semesta, ia sendiri
tanpa asal dan tanpa akhir, ada dengan sendirinya, tidak terhingga, Supreme dalam segala kondisi,
conditionlesss, absolute, ada dimana-mana, esa tiada duanya, kekal abadi. Namun semua kata-kata
indah dan besar itu tidak mampu melukiskan keadaannya yang sebenarnya dari Sanghyang Adi
Buddha.
Apakah Adi Buddha tersebut ?
Adi Buddha tak dapat dikatakan sebagai zat Ilahi yang memiliki inti ego (ego conscious). Adi Buddha
bukanlah Tuhan Antrofomorfik (menyerupai manusia) maupun Tuhan Antropopatis (memiliki
perasaan dan emosi seperti manusia) yang membuat sebuah rencana dibenaknya, lalu berkeinginan
untuk mewujudkannya dan dikemudian hari memutuskan untuk menilai baik tidaknya hasil karya itu
– layaknya seorang arsitek yang memandangi gedung hasil ciptaannya sendiri untuk memuji atau
mencela.
Dalam Literatur Mahayana dapat kita jumpai konsep pemahaman mengenai Ketuhanan tersebut.
Dalam kitab Sutra Vimalakirti Nirdesa, disebutkan Dharma tertinggi adalah tak terkatakan.
Pendekatan pemahaman tersebut kita telusuri dalam Trikaya (tiga tubuh Kebuddhaa), yaitu :
Dharmakaya yang absolut
Yang Mutlak ini bersifat kekal, meliputi segalanya tidak dibatasi oleh ruang dan waktu bukan realitas
personifikasi, esa, bebas dari pasangan yang berlawanan, ada dengan sendirinya, bebas dari
pertalian sebab akibat. Tubuh Dharma ini disebut Tathagatagarbha.
Sambhogakaya
Tubuh rahmat atau tubuh cahaya sering dinyatakan perwujudan surgawi yang dapat dilihat oleh
makhluk surga dan Boddhisatva.
Nirmana kaya
Tubuh perubahan yang dapat dilihat oleh manusia dan dipakai untuk mengajarkan manusia. Buddha
Gotama yang mengajarkan kita memakai tubuh ini
Mengapa harus ada Adi Buddha
Adanya Adi Buddha merupakan penegasan yang penting, bahwa kehidupa ini bukanlah produk
chaos, melainkan hasil dari tata kerja hierarchi spiritual yang menghendakinya. Dengan adanya Adi
Buddha kehidupan ini menjadi berarti dan dapat dimungkinkan untuk mencapai pencerahan dan
kebuddhaan.
Bagaimana dengan pengaturan hukum alam semesta ?”
Ajaran Buddha mengenai asal alam semesta. Selaras dengan ilmu pengetahuan. Dalam Aganna
Sutta, Buddha menggambarkan: alam semesta berulang kali mengalami kehancuran dan tersusun
kembali selama masa yang tak terhitung; bumi ini bukanlah satu-satunya planet; ada gugus-gugus
yang lebih besar, tatasurya, galaksi, mahagalaksi, dst, tanpa batas. kehidupan pertama terbentuk di
atas permukaan air, kehidupan berangsur-angsur berevolusi dari organisme yang sederhana menjadi
makin kompleks. Segala proses ini tidak berawal, tidak berakhir, dan berlangsung alamiah.
“Agama masa depan adalah agama kosmik. Melampaui Tuhan sebagai pribadi serta menghindari
dogma dan teologi. Mencakup baik alamiah maupun spiritual, agama tersebut seharusnya
didasarkan pada rasa keagamaan yang timbul dari pengalaman akan segala sesuatu yang alamiah
dan spiritual, berupa kesatuan yang penuh arti. Ajaran Buddha menjawab gambaran ini. Jika ada
agama yang akan memenuhi kebutuhan ilmu pengetahuan modern, itu adalah ajaran Buddha.”
(Albert Einstein, 1939)
Download