BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal jantung

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gagal jantung merupakan kondisi medis yang bersifat kronis dan progresif
dimana jantung tidak dapat menyediakan aliran darah atau tekanan yang cukup
untuk memenuhi kebutuhan seluruh tubuh (Mudd dan Kass, 2008). Sindrom ini
dapat terjadi akibat beberapa abnormalitas, meliputi penyakit jantung Koroner,
hipertensi, dan miokard infark. Simptom utama yang membuat orang-orang
dengan gagal jantung terbatas fungsinya adalah fatigue, edema, dan dyspnea
(Foster et al., 2011). Derajat gagal jantung diklasifikasikan berdasarkan beratnya
simptom dan keterbatasan fisik dalam melaksanakan fungsi sehari-hari (The
Criteria Committee of the New York Heart Association, 1994).
Gagal jantung merupakan masalah kesehatan komunitas yang serius
karena beratnya simptom dan prevalensinya, dimana hampir 5,3 juta masyarakat
di Amerika Serikat mengalaminya terutama pada orang-orang berumur lebih dari
65 tahun (Eun et al., 2010). Pada usia lebih dari 25 tahun prevalensinya 0.89-2%
dan semakin meningkat menjadi 7,6-16,1% dengan bertambahnya usia (Cardoso
et al., 2008). Di indonesia, data-data mengenai gagal jantung secara nasional
masih belum ada. Namun, data dan riset kesehatan dasar tahun 2007 menyebutkan
bahwa penyakit jantung masih merupakan penyebab utama (31,9%)
dari
kematian pasien terbanyak di rumah sakit Indonesia (Widiyani, 2013). Pasien
gagal jantung kronik yang dirawat inap di RSUP Dr. Sardjito tahun 2008
sebanyak 427 orang atau 18,2% dari total pasien yang dirawat inap (Majid, 2010).
Berdasarkan rekam medis poliklinik jantung Rsup Dr. Sardjito, pada tahun 2010
gagal jantung kronik merupakan penyakit kedua terbanyak setelah hipertensi dan
menjadi nomor satu setelah 2010.
Beberapa penelitian yang menginvestigasi komorbiditas dari penyakit
kardiovaskuler dengan gangguan mood, mendapatkan bahwa pasien dengan
1
penyakit jantung lebih mudah menderita depresi di banding individu yang sehat.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa 20-70% pasien gagal jantung juga
menderita depresi, yang
akhirnya akan menurunkan kualitas hidup. Ini juga
sesuai dengan penelitian Pena et al tahun 2011 yang menyebutkan prevalensi
depresi pada pasien gagal jantung rawat inap sebesar 67%.
Lebih kurang 5% populasi dewasa di Amerika menderita depresi berat,
tetapi prevalensi dari gangguan psikologis pada pasien yang bertahan dari
miokard infark adalah 33-45% dan mendekati 50%-70% pada pasien gagal
jantung, tergantung pada populasi klien dan alat pengukuran yang digunakan
(Foster et al., 2011). Ini melebihi prevalensi populasi normal yang hanya 2-9%
(APA, 2000). Sekarang telah diketahui bahwa menderita baik depresi ataupun
penyakit jantung akan meningkatkan kemungkinan berkembangnya gangguan
kedua.
Komorbiditas ini sangat penting karena depresi berat akan meningkatkan
sebanyak dua kali lipat terjadinya serangan jantung (Miokard infark, Stroke)
dalam waktu dua belas bulan setelah pertama kali diagnosa gangguan arteri
koroner (Carney et al., 1988). Jika dibandingkan dengan pasien yang bukan
depresi, pasien gangguan arteri koroner dan gagal jantung yang komorbid dengan
depresi akan mengalami resiko lebih besar mengalami kematian akibat serangan
jantung. Peningkatan simptom depresi berkaitan erat dengan peningkatan
kematian akibat serangan jantung (Frasure-Smith et al., 2011 ; Murberg et al.,
2004).
Depresi mempunyai dampak negatif terhadap kepatuhan, meliputi ;
merokok, kepatuhan pengobatan, diet, dan aktivitas fisik (Casey et al., 2008).
Pengobatan depresi fokus pada pengurangan simptom dan mengembalikan fungsi,
untuk mencapai hal tersebut antidepresan merupakan pilihan utamanya.
Bagaimanapun, berdasarkan metaanalisis, antidepresan hanya mempunyai
keuntungan sedang dibanding plasebo (Blumenthal et al., 2011) sehingga
dibutuhkan pendekatan alternatif yaitu terapi aktivitas fisik.
Awalnya pasien yang menderita gagal jantung disarankan untuk
membatasi aktifitasnya dan bed rest untuk waktu yang lama. Semakin lama,
2
manfaat dari terapi aktivitas fisik semakin diketahui dan sekarang ini aktivitas
fisik merupakan ujung tombak dari rehabilitasi jantung. Aktivitas fisik tidak
hanya dapat mengurangi faktor resiko tradisional jantung seperti hipertensi dan
hiperlipidemia, tetapi juga dapat mengurangi respon kardiovaskuler terhadap stres
mental dan menurunkan terjadinya iskemi miokard. Bukti-bukti terbaru
menunjukkan efek yang menguntungkan dari aktivitas fisik terhadap kesehatan
mental, yang juga relevan bagi pasien jantung karena depresi sangat
mempengaruhi prognosis pasien penyakit jantung koroner. Depresi berhubungan
erat dengan peningkatan mortalitas dan serangan jantung tidak fatal pada jantung
koroner (Blumenthal et al., 2011).
Penderita gangguan jantung memerlukan program rehabilitasi yang
komprehensif untuk mengembalikan kemampuan fisik setelah serangan serta
mencegah terjadinya serangan ulang. Program rehabilitasi tersebut meliputi
perubahan gaya hidup yang meliputi pengaturan pola makan, manajemen stres,
latihan fisik. Pada dasarnya, program rehabilitasi pada penderita gangguan
jantung bertujuan untuk : (1) mengoptimalkan kapasitas fisik tubuh, (2) memberi
penyuluhan pada pasien dan keluarga dalam mencegah perburukan dan (3)
membantu pasien untuk kembali dapat beraktivitas fisik seperti sebelum
mengalami gangguan jantung (Heran et al., 2011).
Latihan fisik merupakan satu-satunya pendekatan nonfarmakologis yang
terbukti efektif pada pasien gagal jantung dalam hal menurunkan morbiditas
(Dontje et al., 2013). Aktivitas fisik mempunyai efek yang menguntungkan bagi
kesehatan mental,
membantu individu mengatasi stres, depresi ringan,
memperbaiki mood, memperbaiki kualitas hidup yang mana sangat relevan untuk
pasien jantung. Pada remaja yang obese, peningkatan simptom depresi
berhubungan erat dengan rendahnya nilai cardiorespiratory finess (Shomaker et
al., 2012). Olahraga tidak hanya bermanfaat bagi kesehatan fisik tetapi juga
bermanfaat bagi kesehatan mental, karena adanya depresi sangat mempengaruhi
prognosis dari penyakit jantungnya.
Latihan fisik berhubungan negatif dengan depresi dan kecemasan artinya
dengan aktivitas fisik secara teratur maka depresi dan kecemasan semakin
3
menurun. Sebagian studi menunjukkan bahwa orang yang aktivitas fisik atau yang
memiliki tubuh bugar mengalami kecemasan, depresi dan tekanan hidup lebih
kecil dari pada mereka yang tidak beraktivitas. Melakukan olahraga secara teratur
untuk kebugaran merupakan salah satu cara terbaik untuk mengurangi stres
(Brotherbangun, 2010). Pada orang dewasa, aktivitas fisik yang lebih berat lebih
direkomendasikan untuk mendapatkan kesehatan mental yang lebih baik daripada
frekuensi aktivitas fisik (Chen et al., 2012). Metaanalisis pada survivor kanker
menunjukkan bahwa latihan olahraga sedikit menurunkan simptom depresi secara
keseluruhan, dimana derajat penurunan simptom depresi paling banyak
didapatkan pada usia 47-62 tahun (Brown et al., 2012).
Hanya sedikit pengetahuan tentang mekanisme yang memediasi efek
terapi dari aktivitas fisik pada depresi. Mekanisme biologi yang diduga berperan
adalah perubahan pada fungsi neuroendokrin, neurotransmiter, temperatur pusat,
aliran darah cerebral atau ketegangan otot. Mekanisme psikososial meliputi
perbaikan persepsi fisik diri sendiri dan kepercayaan diri, dan meningkatnya
interaksi sosial dan penerimaan dukungan dari spesialis olahraga atau grup
olahraga diduga mempunyai efek terapi juga (Chalder et al., 2012).
Terapi standar untuk depresi adalah pengobatan farmakologi, dan yang
paling sering digunakan adalah selective serotonin reuptake inhibbitor (SSRI).
Walaupun telah digunakan secara luas, jika dibandingkan dengan plasebo
antidepresan hanya mempunyai efek sedang pada kebanyakan pasien depresi.
Terapi aktivitas fisik, telah ditetapkan sebagai komponen dari rehabilitasi jantung,
kemungkinan besar manjur untuk mengobati depresi pada pasien jantung.
B. Permasalahan
Dari uraian di atas dapat dirumuskan masalah : Apakah terdapat korelasi
antara aktivitas fisik dengan depresi pada pasien gagal jantung yang rawat jalan di
poliklinik jantung RSUP DR. Sardjito Yogyakarta?
4
C. Tujuan
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui adanya korelasi antara
aktivitas fisik dengan depresi pada pasien gagal jantung yang rawat jalan di
poliklinik jantung RSUP DR. Sardjito Yogyakarta.
D. Manfaat
Apabila hasil penelitian ini dapat menunjukkan ada dan besarnya korelasi
aktivitas fisik dengan depresi pada pasien gagal jantung yang rawat jalan di
poliklinik jantung RSUP DR. Sardjito Yogyakarta diharapkan dapat memberi
manfaat, berupa:
1. Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan tambahan pengetahuan bagi
semua pihak, berupa pengetahuan tentang korelasi aktivitas fisik dengan
depresi pada pasien gagal jantung yang rawat jalan di poliklinik jantung RSUP
DR. Sardjito Yogyakarta.
2. Manfaat Praktis
Diharapkan dengan tulisan ini, dapat menggiatkan pasien gagal jantung untuk
mulai melakukan aktivitas fisik sehingga angka prevalensi depresi dapat
ditekan.
E. Keaslian Penelitian
1. Chen et al (2012); melakukan penelitian mengenai hubungan aktivitas fisik di
waktu senggang dan bukan waktu senggang dengan simptom depresi pada
populasi lanjut usia di taiwan. Persamaan penelitian ini adalah pada variabel
penelitian. Perbedaannya terdapat pada karakteristik subjek penelitian
penelitian dan kuesioner penelitian.
2. Penelitian yang dilakukan oleh de Lima et al 2013 dengan judul hubungan
antara waktu senggang, aktivitas fisik, dan gangguan mood pada individu
dengan epilepsi. Persamaan penelitian ini adalah menginvestigasi hubungan
antara level aktivitas fisik (kerja, olahraga, dan waktu senggang) dengan
depresi. Kuesioner yang digunakan adalah BDI dan aktivitas fisik. Perbedaan
5
penelitian ini dengan penelitian de lima adalah sampel penelitiannya pada
pasien gagal jantung. Pada penelitian de lima membandingkan antara pasien
epilepsi dengan kontrol yang sehat,sedangkan pada penelitian ini semua
sampelnya adalah pasien gagal jantung.
3. Penelitian Alosco et al tahun 2012 dengan judul hubungan depresi dengan
penurunan aktivitas fisik pada orang dengan gagal jantung. Persamaan
penelitian ini adalah pada karakteristik subjek penelitian ,variabel penelitian
dan kuesioner depresi yang menggunakan Beck depression inventory.
Perbedaan penelitian ini adalah pada cara menilai aktivitas fisiknya, dimana
pada penelitian alosco et al, merupakan peaktivitas fisik di nilai dengan
accelerometry sedangkan pada penelitian ini aktivitas fisik dinilai dengan
kuesioner Global physical activity questionnare.
4. Penelitian Berg-Emons et al tahun 2004 dengan judul apakah latihan aerobik
menyebabkan gaya hidup yang lebih aktiv dan memperbaiki kualitas hidup
pada pasien dengan gagal jantung kronik?. Persamaan penelitian ini adalah
pada subjek penelitian dan sebagian variabel penelitian yaitu aktivitas fisik
dan simptom depresi. Perbedaan penelitian terdapat pada design penelitian
dan kuesioner penelitian, dimana pada penelitian Berg-Emons designnya
adalah eksperimental. Kuesioner kualitas hidupnya adalah Minnesota living
with heart Failure Questionnare ofrector et al.
5. Shomaker et al (2012); simptom depresi dan fitnes cardiorespiratori pada
dewasa obese. Tujuan penelitian ini untuk melihat hubungan antara simptom
depresi dengan penurunan aktivitas fisik pada dewasa. Persamaan penelitian
ini adalah pada variabel penelitiannya, sedangkan perbedaannya terdapat pada
subjek penelitian dan kuesioner penelitian.
6. Pena et al (2011); prevalensi dan variabel prediksi dari simptom depresi pada
pasien gagal jantung kronik yang di rawat inap. Persamaan penelitian ini
adalah
pada
kuesioner
penelitian
untuk
depresi
yang
sama-sama
menggunakan Beck Depression Inventory. Perbedaan penelitian ini adalah
pada subjek penelitian, dimana pada penelitian ini adalah pasien gagal
jantung kronik yang di rawat inap.
6
Download