BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Diabetes Melitus

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Diabetes Melitus (DM)
a. Definisi dan Diagnosis DM Tipe 2
Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin, atau keduanya. Pada DM tipe 2 terjadi karena defek progresif
pada sekresi insulin sehingga terjadi resistensi insulin (Grant et al, 2015).
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada pasien diabetes. Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM berupa:
polyuria, polydipsia, dan penurunan beratbadan yang tidak dapat
dijelaskan sebabnya. Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan,
gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada
wanita (Rudianto et al, 2011).
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara. Pertama, jika
keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥
200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Kedua, jika
gejala klasik ditemukan dan pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126
mg/dL (7,0 mmol/L). Pemeriksaan glukosa plasma puasa yang lebih
mudah dilakukan, mudah diterima oleh pasien serta murah. Ketiga, dengan
TTGO (tes toleransi glukosa oral) dimana kadar gula plasma 2 jam pada
TTGO (tes toleransi glukosa oral) ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L). Glukosa
plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa
memperhatikan waktu makan terakhir. Puasa diartikan pasien tak
mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam. TTGO yang dilakukan dengan
standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram
glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air. Pemeriksaan HbA1c (≥6,5
%) oleh ADA 2011 sudah dimasukkan menjadi salah satu kriteria diagnosis
1
2
DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium yang telah terstandarisasi
dengan baik (Grant et al, 2015; Rudianto et al, 2011).
b. Kriteria Pengendalian DM
Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diperlukan
pengendalian DM yang baik yang merupakan sasaran terapi. Diabetes
terkendali baik, apabila kadar glukosa darah mencapai kadar yang
diharapkan serta kadar lipid dan HbA1c juga mencapai kadar yang
diharapkan. Demikian pula status gizi dan tekanan darah. Kriteria
keberhasilan pengendalian DM dapat dilihat pada tabel 2.1 (Rudianto et al,
2011)
Tabel 2.1. Kriteria pengendalian DM (Rudianto et al, 2011)
Parameter
Risiko KV (-) Risiko KV (+)
IMT (kg/m2)
Tekanan darah sistolik (mmHg)
Tekanan darah diastolik (mmHg)
Glukosa darah puasa (mg/dL)
Glukosa darah 2 jam PP (mg/dL)
HbA1c (%)
Kolesterol LDL (mg/dL)
Kolesterol HDL (mg/dL)
18,5 - <23
18,5 - <23
<130
<130
<80
<80
<100
<100
<140
<140
<7
<7
<100
<70
Pria > 40
Pria > 40
Wanita > 50
Wanita > 50
Trigliserid (mg/dL)
<150
<150
KV, kardiovaskular; IMT, indeks massa tubuh; PP, post prandial.
2. Fibrilasi Atrium
a. Definisi Fibrilasi Atrium
Fibrilasi atrium adalah takiaritmia supraventrikel dengan karakteristik
aktivasi atrium yang tidak terkoordinasi sehingga memperburuk fungsi
mekanik. Fibrilasi atrium merupakan gangguan irama jantung tersering,
yang makin meningkat prevalensinya dengan usia (Fuster et al, 2011).
3
b. Faktor Risiko Fibrilasi Atrium
Berbagai faktor risiko klinis, parameter elektrokardiografi (EKG),
ekokardiografi,dan penanda biokimia berkaitan dengan peningkatan risiko
fibrilasi atrium. Faktor risiko klinis meliputi: peningkatan usia, hipertensi,
diabetes, infark miokardium, penyakit jantung katup, obstructive sleep
apnea, bedah jantung paru, konsumsi alkohol, peningkatan tekanan nadi,
riwayat keluarga, variasi genetik, obesitas, merokok, hipertiroid, gagal
jantung, dan latihan fisik. Faktor risiko fibrilasi atrium dilihat dari
elektrokardiografi berupa hipertrofi ventrikel kiri. Faktor risiko fibrilasi
atrium dilihat dari ekokardiografi berupa: dilatasi atrium kiri, penurunan
fraksi ejeksi ventrikel kiri, dan peningkatan ketebalan dinding ventrikel
kiri. Penanda biokimiawi fibrilasi atrium meliputi: BNP (B-type natriuretic
peptide) dan CRP (C-reactive protein) (January et al, 2014).
3. Hubungan DM dan Fibrilasi Atrium
a. Insiden dan Prognosis Fibrilasi Atrium pada DM
DM merupakan salah satu penyakit yang paling sering menyertai
pada pasien dengan fibrilasi atrium (Murphy et al, 2007). Berdasarkan
survei pada pasien rawat inap, fibrilasi atrium terjadi pada 14,9% pasien
DM versus 10,3% pasien hipertensi tanpa DM. DM sudah ditetapkan
sebagai faktor risiko terjadinya fibrilasi atrium selama beberapa dekade.
Pada awal tahun 1990an, penelitian Framingham mengindikasikan DM
sebagai faktor risiko terjadinya fibrilasi atrium dengan OR 1,4 untuk lakilaki dan 1,6 untuk wanita setelah diikuti selama 38 tahun (Sun and Hu,
2009).
Berbagai penelitian juga menunjukkan DM dengan kontrol
glikemik yang jelek berkaitan dengan kejadian fibrilasi atrium onset baru
(Dublin et al, 2010; Aksnes et al, 2008; Watanabe et al, 2008). Adanya
DM pada pasien hipertensi meningkatkan risiko fibrilasi atrium secara
bermakna namun peningkatan ini menjadi tidak bermakna setelah
disesuaikan dengan faktor resistensi insulin, sehingga resistensi insulin
4
yang mendasari mekanisme peningkatan risiko fibrilasi atrium (Ostgren
et al, 2004). Selain itu, terdapat hubungan linear antara insiden fibrilasi
atrium dengan kadar HbA1c pada individu dengan dan tanpa diabetes
(Goudis et al, 2015; Dublin et al, 2010). Setiap kenaikan sebesar 1% pada
kadar HbA1C, risiko fibrilasi atrium meningkat 5% pada individu tanpa
DM dan 13% pada individu DM (Huxley et al, 2012).
Pada analisis retrospektif pada penelitian VALUE, pasien dengan
diabetes onset baru memiliki kejadian fibrilasi onset baru secara
signifikan (HR 1,49, 95% CI 1,14-1,94, p=0,0031) dibanding pasien non
diabetes (Nakou et al, 2012). Penelitian meta analisis terbaru
mengindikasikan DM berkaitan dengan peningkatan risiko fibrilasi atrium
sebesar 40% jika dibandingkan dengan pasien nun diabetes dan setelah
disesuaikan berbagai faktor risiko, risiko relatif fibrilasi atrium pada
pasien diabetes adalah 1,24 (Goudis et al, 2015). Tidak diragukan lagi,
diabetes dan fibrilasi atrium saling terkait erat, seperti halnya dengan
hipertensi, aterosklerosis, dan obesitas (Zhang et al, 2014).
Penelitian ADVANCE menunjukkan peningkatan sebesar 61% (p <
0,001) pada semua penyebab mortalitas pada pasien DM dengan fibrilasi
atrium dibandingkan dengan yang tanpa fibrilasi atrium yang diikuti
selama 4,3 tahun. Selain itu, pasien DM dengan fibrilasi atrium memiliki
peningkatan signifikan terhadap kematian kardiovaskular, risiko stroke
dan gagal jantung jika dibandingkan dengan pasien DM tanpa fibrilasi
atrium (Lin et al, 2013).
b. Patofisiologi Fibrilasi Atrium pada DM
Patofisiologi DM terhadap kejadian fibrilasi atrium meliputi
perubahan bentuk/remodeling sistem otonom, elektrik, elektromekanik,
anatomi, stress oksidatif, perubahan bentuk koneksin, dan fluktuasi gula
darah (Gambar 2.1) (Goudis et al, 2015).
Berbagai bentuk remodeling atrium mencetuskan terjadinya
fibrilasi atrium melalui mekanisme dasar aritmia pada gambar 2.2. Baik
5
cetusan ektopik cepat dan reentri dapat mencetuskan fibrilasi atrium
(Nattel et al, 2008). Cetusan ektopik merupakan mekanisme fokal dari
fibrilasi atrium dengan pemicu dari daerah-daerah tertentu. Reentri
merupakan suatu tipe aritmia di mana terjadi eksitasi miokard yang
kontinu dan bergerak berputar mengelilingi daerah yang tidak dapat
dieksitasi (Yuniadi et al, 2014). Mekanisme reentri memerlukan substrat
yang cocok dan pencetus yang bekerja pada substrat untuk inisiasi reentri.
Aktivitas ektopik juga dapat menjadi pencetus untuk induksi reentri.
Perubahan bentuk/remodeling atrium berpotensi memfasilitasi aktivitas
ektopik dan reentri melalui berbagai mekanisme (Nattel et al, 2008).
Gambar 2.1. Patofisiologi DM terhadap terjadinya fibrilasi atrium
(Goudis et al, 2015)
6
Gambar 2.2. Peranan remodeling atrium terhadap mekanisme fibrilasi
atrium (Nattel et al, 2008)
b.1. Perubahan bentuk sistem otonom
Hiperglikemia berperan penting dalam patogenesis neuropati
otonom jantung melalui gangguan perfusi darah ke persarafan dan
aktivasi metabolisme selular (Goudis et al, 2015). Gangguan fungsi
sistem otonom pada pasien diabetes disebabkan oleh pembentukan
advanced glycation end products, peningkatan stres oksidatif,
peningkatan produksi radikal bebas, aktivasi poliol, aktivasi jalur
protein kinase C dan kerusakan neuronal terkait gen akibat
hiperglikemia (Lin et al, 2013).
Pada model tikus diabetes yang diinjeksi dengann streptozotosin
mengindikasikan bahwa stimulasi simpatis meningkatkan insiden
fibrilasi atrium pada tikus diabetes namun tidak pada kontrol (p<0,01)
(Goudis et al, 2015). Stimulasi simpatis memendekkan periode
refrakter efektif secara signifikan pada sel atrium di kedua kelompok
hewan coba, namun heterogenitas periode refrakter efektif atrial
meningkat pada tikus diabetes saja. Hal ini mengindikasikan stimulasi
saraf adrenergik jantung pada individu diabetes dapat menyebabkan
fibrilasi atrium. Heterogenitas inervasi simpatis meningkat pada
pasien diabetes, yang menunjukkan adanya remodeling otonom dapat
7
meningkatkan kepekaan fibrilasi atrium pada kelompok ini (Otake et
al, 2009).
b.2. Perubahan bentuk anatomi atrium
Peningkatan fibrosis atrium dan dilatasi atrium merupakan bentuk
utama pada remodeling struktur atrium pada fibrilasi atrium (Saito et
al, 2014). Berdasarkan penelitian Liu et al (2012), DM meningkatkan
fibrosis terkait protein TGFβ1 pada atrium kelinci diabetes yang
diinduksi aloksan. Kaskade TGFβ1 mungkin yang paling berperan
dalam proses ini, dimana terjadi ketidakseimbangan antara
peningkatan kolagen dan deposisi matriks ekstraseluler yang
berlebihan akibat peningkatan ekspresi TGFβ1. Pada pemeriksaan
western blotting menunjukkan peningkatan TGFβ1 pada jaringan
atrium kiri kelinci diabetes berkorelasi positif dengan fibrosis atrium.
Fibrosis dapat memicu aritmogenesis atrium melalui beberapa
mekanisme (Gambar 2.3). Pertama, jaringan fibrosis dapat
memisahkan serabut-serabut otot atrium secara longitudinal (Gambar
2.3.A), sehingga membentuk hambatan fisik untuk konduksi.
Hambatan konduksi tipe ini membentuk gangguan konduksi lokal dan
blok yang memicu reentri. Kedua, fibrosis dikaitkan dengan
proliferasi fibroblas dan diferensiasinya menjadi fenotif miofibroblas,
meningkatkan kecenderungan interaksi fibroblas-kardiomiosit yang
erat. Interaksi antara kardiomiosit dan fibroblas via cell-coupling
connexin hemichannels menyebabkan fibroblas (dimana tidak bisa
dirangsang namun bisa menghantarkan arus) bekerja sebagai penurun
tegangan listrik untuk bioelektrik kardiomiosit (Gambar 2.3.B). Hal
ini mengakibatkan perlambatan konduksi, depolarisasi potensial
istirahat pada kardiomiosit, variasi efek pada durasi potensial aksi, dan
induksi
spontan
depolarisasi
fase-4.
Depolarisasi
spontan
menyebabkan ektopik fokal dan perlambatan baik konduksi maupun
durasi
potensial
aksi
sehingga
memudahkan
induksi
dan
8
berkembangnya reentri. Sebagai tambahan interaksi langsung listrik,
fibroblas dapat mempengaruhi bioelektrik kardiomiosit dengan
mensekresi substansi aktif secara biologis yang menyebabkan efek
parakrin.
Interaksi
fibroblas-kardiomiosit
dalam
mencetuskan
aritmogenesis tergantung dari jumlah fibroblas, ukurannya, dan (untuk
interaksi elektrik) perluasan sambungan elektrik antara kedua tipe sel
tersebut (Andrade et al, 2014).
Gambar 2.3. Mekanisme fibrosis dalam memicu fibrilasi atrium
(Andrade et al, 2014)
Disfungsi ventrikel kiri, yang meningkatkan tekanan atrium kiri,
merupakan faktor risiko lain terjadinya fibrilasi atrium (Rosenberg
and Manning, 2012). Pada penelitian Saito et al (2014) menunjukkan
sinyal profibrotik meningkat tidak hanya di atrium kiri namun juga di
ventrikel kiri. Fungsi diastolik ventrikel kiri terganggu dan area
fibrosis pada ventrikel kiri lebih luas. Disfungsi diastolik ventrikel kiri
meningkatkan risiko fibrilasi atrium melalui berbagai mekanisme
berikut: (i) peningkatan afterload atrium; (ii) peningkatan regangan
atrium;
(iii)
peningkatan
mengakibatkan dilatasi atrium.
tekanan
dinding
atrium
sehingga
9
b.3. Perubahan bentuk sistem elektrik dan elektromekanik jantung
Bentuk utama remodeling elektrik atrium meliputi pemendekan
periode refrakter efektif atrium, peningkatan dispersi AERP, dan
hilangnya frekuensi adaptasi (Goudis et al, 2015). Penelitian
Watanabe et al (2012) menunjukan perbedaan elektrofisiologi atrium
pada pasien DM dibanding dengan individu sehat. Pertama, kepekaan
terjadinya takikardi atrium meningkat. Kedua, perlambatan konduksi
dan heterogenitasnya meningkat. Ketiga, durasi potensial aksi lebih
lama dan dispersi spasial yang meningkat. Keempat, terjadi
pemendekan durasi potensial aksi jika pacing cycle length diturunkan.
Kelima, durasi potensial aksi alternan lebih sering terjadi pada pasien
diabetes dibanding individu sehat.
b.4. Stres oksidatif
Berbagai penelitian juga telah membuktikan produksi ROS
(reactive oxygen species) dan stres oksidatif meningkat pada jantung
dengan DM. Stres oksidatif juga berperan dalam pemicu dan
perkembangan fibrilasi atrium (Goudis et al, 2015). Stres oksidatif
dapat berperan penting dalam terjadinya remodeling struktur atrium
diabetes melalui aktivasi sistem AGEs/RAGE dengan peningkatan
regulasi CTGF (connective tissue growth factor) (Zhang et al, 2014).
b.5. Perubahan bentuk connexin
Perubahan bentuk pada gap junction tampaknya berperan
signifikan pada substrat fibrilasi atrium terkait hiperglikemia
(Mitasikova et al, 2009). Diabetes dapat mengubah ekspresi dan
distribusi koneksin yang menyebabkan perubahan bentuk struktur
atrium dan abnormalitas konduksi pada fibrilasi atrium (Igarashi et al,
2012).
10
b.6. Fluktuasi glikemik
Telah banyak diteliti bahwa inisiasi fibrilasi atrium pada diabetes
cenderung akibat fluktuasi kadar glukosa dibanding kondisi
hiperglikemi itu sendiri (Goudis et al, 2015). Menurut Saito et al
(2014), fluktuasi glukosa meningkatkan insiden fibrilasi atrium karena
memicu fibrosis jantung pada tikus diabetes yang diinduksi
streptozotocin. Peningkatan kadar ROS yang disebabkan oleh
peningkatan ekspresi NADPH oksidase dan thioredoxin-interacting
protein (Txnip) dapat menjadi mekanisme yang melatarbelakangi
fibrosis akibat fluktuasi glukosa.
b.7. Inflamasi
Penelitian mengindikasikan inflamasi mungkin berperan dalam
pencetusan, berkembangnya dan menetapnya fibrilasi atrium (Sun and
Hu, 2009). Patofisiologi inisiasi fibrilasi atrium yang dipicu oleh
inflamasi secara langsung atau adanya kondisi inflamasi sistemik yang
memicu menetapnya fibrilasi atrium lebih lanjut masih belum jelas.
Kedua mekanisme tersebut saling berkaitan dan mengindikasikan
bahwa inflamasi tidak hanya respon terhadap proses aritmia yang
terjadi namun merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari aritmia
tersebut. Aktivasi atrium cepat telah terbukti memicu akumulasi
kalsium dengan miosit atrium sehingga terjadi kelebihan beban
kalsium dan pada beberapa kasus menginisiasi apoptosis pada miosit
atrium. Kerusakan miokardium atrium dapat memicu respon inflamasi
derajat rendah dan menjadi bagian dalam proses remodeling struktur
dengan peningkatan persistensi fibrilasi atrium (Engelmann and
Svendsen, 2005).
Alternatif lainnya, adanya kondisi inflamasi sistemik (DM) akan
meningkatkan C-reactive protein/CRP sirkulasi sehingga menjadi
predisposisi pasien mencetuskan fokus atrium dan berkembang
menjadi fibrilasi atrium. CRP dapat memiliki peranan secara langsung
11
sebagai mediator inflamasi lokal karena ikatan ligand dan
kemampuannya mengaktivasi jalur komplemen klasik. Aktivasi
komplemen atrium lokal dan kerusakan jaringan lebih lanjut makin
meningkatkan inflamasi sistemik dan lokal. Selain itu, CRP berikatan
dengan fosfokolin, mengenali komponen fosfolipid pada sel yang
rusak dan patogen asing lainnya yang mendasari terjadinya disfungsi
membran dengan mencegah pertukaran ion natrium dengan kalsium
pada vesikel sarkolema sehingga menyebabkan terjadinya aritmia.
Berbagai mekanisme tersebut dapat melatarbelakangi hubungan
antara peningkatan penanda inflamasi dengan terjadinya fibrilasi
atrium (Engelmann and Svendsen, 2005).
4. Pemeriksaan Prediktor Fibrilasi Atrium dengan Ekokardiografi
Kepekaan terhadap terjadinya fibrilasi atrium berkaitan dengan kondisi
atrium dengan sirkuit reentri multipel sehingga menghasilkan perlambatan
konduksi intra atrium (Bissinger et al, 2011). Pemeriksaan ekokardiografi
menggunakan pencitraan doppler jaringan atrium (interval elektromekanik
atrium/PA-TDI) berkorelasi erat dengan waktu konduksi interatrium total.
Pada penelitian Weijs et al (2011) menunjukkan pemanjangan PA-TDI (P
wave to A wave-Tissue Doppler Imaging) merupakan prediktor paling
penting pada fibrilasi atrium onset baru. Pemanjangan interval PA-TDI juga
berkaitan dengan rekurensi fibrilasi atrium setelah ablasi kateter.
Pemeriksaan interval PA-TDI telah terbukti sebagai prediktor fibrilasi
atrium setelah operasi atau fibrilasi atrium onset baru pada berbagai
penelitian (Tabel 2.2) (Yuasa and Imoto, 2016).
Interval PA-TDI didefinisikan sebagai waktu interval dari inisiasi
gelombang P pada elektrokardiografi yang terekam pada alat ekokardiografi
(lead II) sampai puncak gelombang A pada gambaran dopler jaringan atrium
(Gambar 2.4), yang diukur dari 3 kali siklus jantung dan dirata-rata (Yuasa
and Imoto, 2016). Selain itu, terdapat berbagai parameter ekokardiografi
terkait interval PA-TDI seperti peningkatan dimensi atrium kiri, peningkatan
12
diameter aorta, regurgitasi katup aorta, regurgitasi katup mitral dan
pemanjangan waktu deselerasi gelombang E berkaitan dengan pemanjangan
interval PA-TDI (Weijs et al, 2011).
Tabel 2.2. Prediksi kejadian fibrilasi atrium dengan pengukuran interval PATDI (Modifikasi Yuasa and Imoto, 2016).
Jml pasien
Durasi PA-TDI (milidetik)
FA (%)/
FA
Non-FA
Cut-off
non-FA
(AUC)
*
De Vos et al FA onset baru
15(6)/234
172±25 150±20 165(0,74)
(2009)
Antoni et al FA onset baru 38(6)/575
138±29 109±16ᵼ 127(0,84)
(2010)
setelah IMA
Den Uijl et al Kekambuhan
74(35)/139
146±20 124±23ᵼ -(0,765)
(2011)
setelah ablasi FA
Fujiwara et al FA setelah
35(40)/53
156±20 128±15ᵵ 141(0,85)
(2014)
operasi jantung
Takahashi et FA setelah
41(65)/22
155±19 137±13§ 147(0,80)
al (2014)
operasi jantung
Takahashi et FA setelah
44(60)/29
159±22 141±20ᵼ 159(0,74)
al (2015)
operasi jantung
*P=0,001; ᵼP<0,001; ᵵP=0,0001; §P<0,01; FA, fibrilasi atrium; IMA, infark miokard
akut; AUC, area under curve
Gambar 2.4. Pengukuran interval PA-TDI (Yuasa and Imoto, 2016)
13
B. Beberapa Penelitian yang Relevan
Fibrilasi atrium merupakan aritmia yang paling sering terjadi yang berkaitan
dengan peningkatan morbiditas, penurunan status fungsional dan kualitas hidup,
serta peningkatan mortalitas akibat perubahan hemodinamik, ketidaksinkronan
atrioventrikel, disfungsi mekanik atrium dan ventrikel, maupun komplikasi
tromboemboli (Andrade et al, 2014). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa
pemanjangan
waktu
konduksi
interatrium
total
berhubungan
dengan
peningkatan risiko fibrilasi atrium. Berikut ini beberapa penelitian yang
menggunakan waktu konduksi interatrium total.
1. Waktu konduksi interatrium total berhubungan dengan insiden fibrilasi atrium
a. Henmi et al (2015) menyatakan bahwa waktu konduksi interatrium total
merupakan faktor risiko bebas terjadinya fibrilasi atrium onset baru
setelah ablasi flutter atrium tanpa riwayat fibrilasi atrium (OR 13,3; 95%
CI 1.36-152.5; p=0.0255). Pengukuran ini akurat dalam memprediksi
fibrilasi atrium (AUC=0.70). Titik potong optimal waktu konduksi
interatrium total dalam prediksi fibrilasi atrium adalah ≥ 120 milidetik,
dengan sensitivitas 0.476 dan spesifitas 0.898.
b. Fujiwara et al (2014) menyatakan bahwa waktu konduksi interatrium
total, yang diukur dengan dopler ekokardiografi (PA-TDI) merupakan
prediktor kejadian fibrilasi atrium setelah operasi bedah pintas koroner
off-pump dimana pada analisis multivariat menunjukkan durasi PA-TDI
(OR 1.11; 95% CI 1.06-1.16; p<0.001) dan indeks volume atrium kiri (OR
1.11; 95% CI 1.02-120; p=0.01). Pengukuran PA-TDI ini lebih dapat
dipercaya dibandingkan pengukuran indeks volume atrium kiri dalam
mengukur waktu konduksi interatrium total dengan AUC=0.85,
sensitivitas 74.3%, spesifitas 86.8%.
c. Vos et al (2009) juga menyatakan PA-TDI berhubungan dengan fibrilasi
atrium onset baru (OR = 1.375; 95% CI 1.037-1.823; p=0.027). Insiden
fibrilasi atrium dalam 2 tahun sebesar 33% pada pasien dengan interval
14
PA-TDI >190 milidetik versus 0% pada pasien dengan interval PA-TDI <
130 milidetik.
2. Waktu konduksi interatrium total memanjang pada pasien diabetes mellitus
a. Kato et al (2006) melakukan pengukuran waktu konduksi interatrium dari
apendik atrium kanan sampai kiri dengan pemeriksaan elektrofisiologi
dan melaporkan peningkatan waktu konduksi interatrium yang bermakna
pada atrium diabetik tikus dibandingkan kontrol (p<0.01 dibanding
kontrol).
b. Liu et al (2012) melakukan pemeriksaan elektrofisiologi dan histologi
pada kelinci dan didapatkan hasil bahwa waktu konduksi interatrium total
memanjang secara bermakna pada kelompok diabetik dibandingkan
kontrol (37.91±6.81 versus 27.43±1.63 milidetik, p<0.01) dan dispersi
periode refrakter efektif atrium meningkat pada kelompok diabetik
dibandingkan kontrol (30.37±8.33 versus 14.70±5.16 mili detik, p<0.01).
3. Waktu konduksi interatrium total berhubungan dengan inflamasi pada pasien
DM
Bakirci et al (2015) menemukan bahwa waktu konduksi interatrium total
sebagai prediktor fibrilasi atrium memanjang secara bermakna pada individu
DM tipe 2 dibanding individu sehat (131.7 ± 23.6 versus 113.1 ± 21.3,
p<0.001). Waktu konduksi interatrium total berkorelasi positif dengan kadar
hsCRP (r=0.197, p=0.024), rasio neutrophil limfosit (r=0.311, p<0.001) dan
ketebalan tunika intima media karotis (r=0.364, p<0.001). Hal ini
mengindikasikan bahwa aterosklerosis subklinis dan inflamasi berhubungan
secara bebas dengan waktu konduksi interatrium total. Oleh karena itu,
aterosklerosis subklinis dan inflamasi dapat menjadi mekanisme terjadinya
pemanjangan waktu konduksi interatrium total. Pemanjangan waktu konduksi
interatrium total dapat merupakan penanda awal keterlibatan jantung
subklinis pada pasien DM tipe 2 yang belum terbukti secara klinis memiliki
penyakit kardiovaskular.
15
C. Kerangka Pikir
Keterangan:
1
↓
: mengaktivasi
2
IL-6
Ang II
AT-1
ROS
AGE
CRP
: variabel yang diperiksa
:
:
:
:
Interleukin-6
Angiotensin II
Angiotensin type 1
Reactive oxygen
species
: Advanced glycation
end products
: C-reactive protein
hsCRP
TGF-β
TNF-α
: High sensitive C-reactive
protein
: Tranforming Growth Factor
Beta
: Tumor necrosis factor alfa
16
Keterangan bagan kerangka berpikir
Telah diketahui bahwa hiperglikemia mengambil peranan utama dalam
patogenesis komplikasi DM. Peningkatan glukosa darah dan sitoplasma
mengakibatkan terjadinya stres oksidatif yang akan mengaktivasi beberapa elemen
lain yang pada perkembangannya dapat menyebabkan remodeling jantung (Saito et
al, 2014; Zhang et al, 2014).
Stres oksidatif yang diinduksi hiperglikemia akan mengaktivasi jalur AGE,
angiotensin II maupun meningkatkan ROS. Aktivasi AGE akan menyebabkan
perubahan struktur dan fungsional protein pada matrik ekstraseluler berupa deposisi
kolagen I dan III. Pada intraseluler, AGE juga dapat berinteraksi dengan reseptor
spesifik (RAGE), yang akan mengaktivasi kaskade proinflamasi TGFβ (Verrotti et
al, 2014).
Angiotensin II bekerja dengan berikatan reseptornya. Ikatan dengan reseptor
angiotensin tipe I akan menginduksi sintesis TGFβ yang menstimulasi aktivitas
fibroblas. Ekspresi berlebihan pada TGFβ pada jantung dapat menyebabkan fibrosis
selektif pada atrium (Nattel et al, 2008). Fibrosis pada atrium akan mengakibatkan
perlambatan waktu konduksi interatrium total secara langsung dengan menjadi
penghalang konduksi secara longitudinal pada serabut otot jantung (Andrade et al,
2014). Selain itu, fibrosis mengakibatkan perlambatan waktu konduksi interatrium
akibat dilatasi atrium, pemanjangan durasi potensial aksi dan pemendekan periode
refrakter (Andrade et al, 2014; Nattel et al, 2008). Fibrosis dapat menjadi substrat
timbulnya fibrilasi atrium (Iwasaki et al, 2011)
ROS memfasilitasi terjadinya apoptosis dan inflamasi. ROS stimulasi
ekspresi TNF-α yang merupakan promotor apoptosis, demikian juga TNF-α juga
akan meningkatkan produksi ROS dalam mitokondria, yang akan menciptakan
lingkaran setan yang akan menyebabkan produksi ROS dan stress oksidatif makin
meningkat (Saito et al, 2014). Apoptosis menginduksi terjadinya remodeling
jantung, baik disfungsi otonom jantung dan gangguan fungsi connexin. Disfungsi
otonom berupa aktivasi adrenergik jantung dimana terdapat inervasi simpatis
heterogen yang dapat mencetuskan fokus ektopik atrium sehingga terjadi fibrilasi
17
atrium. Fokus ektopik juga berperan menyebabkan fibrilasi atrium dengan bekerja
pada substrat reentri yang sesuai (Goudis et al, 2015; Nattel et al, 2008).
Di sisi lain, adanya inflamasi sistemik akan meningkatkan kadar IL-6 yang
akan stimulasi produksi CRP di hati (Yap, 2009). Peningkatan kadar CRP yang
dapat menjadi predisposisi timbulnya fibrilasi atrium karena dapat menimbulkan
fokus ektopik di atrium (Madrid, 2006).
D. Hipotesis Penelitian
1. Ada hubungan antara waktu konduksi interatrium total dengan hsCRP pada
pasien DM tipe 2.
2. Ada hubungan antara waktu konduksi interatrium total dengan status kontrol
glikemik pada pasien DM tipe 2.
18
Download