BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Diabetes Melitus (DM) a. Definisi dan Diagnosis DM Tipe 2 Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Pada DM tipe 2 terjadi karena defek progresif pada sekresi insulin sehingga terjadi resistensi insulin (Grant et al, 2015). Berbagai keluhan dapat ditemukan pada pasien diabetes. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM berupa: polyuria, polydipsia, dan penurunan beratbadan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita (Rudianto et al, 2011). Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara. Pertama, jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Kedua, jika gejala klasik ditemukan dan pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL (7,0 mmol/L). Pemeriksaan glukosa plasma puasa yang lebih mudah dilakukan, mudah diterima oleh pasien serta murah. Ketiga, dengan TTGO (tes toleransi glukosa oral) dimana kadar gula plasma 2 jam pada TTGO (tes toleransi glukosa oral) ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L). Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir. Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam. TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air. Pemeriksaan HbA1c (≥6,5 %) oleh ADA 2011 sudah dimasukkan menjadi salah satu kriteria diagnosis 1 2 DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium yang telah terstandarisasi dengan baik (Grant et al, 2015; Rudianto et al, 2011). b. Kriteria Pengendalian DM Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diperlukan pengendalian DM yang baik yang merupakan sasaran terapi. Diabetes terkendali baik, apabila kadar glukosa darah mencapai kadar yang diharapkan serta kadar lipid dan HbA1c juga mencapai kadar yang diharapkan. Demikian pula status gizi dan tekanan darah. Kriteria keberhasilan pengendalian DM dapat dilihat pada tabel 2.1 (Rudianto et al, 2011) Tabel 2.1. Kriteria pengendalian DM (Rudianto et al, 2011) Parameter Risiko KV (-) Risiko KV (+) IMT (kg/m2) Tekanan darah sistolik (mmHg) Tekanan darah diastolik (mmHg) Glukosa darah puasa (mg/dL) Glukosa darah 2 jam PP (mg/dL) HbA1c (%) Kolesterol LDL (mg/dL) Kolesterol HDL (mg/dL) 18,5 - <23 18,5 - <23 <130 <130 <80 <80 <100 <100 <140 <140 <7 <7 <100 <70 Pria > 40 Pria > 40 Wanita > 50 Wanita > 50 Trigliserid (mg/dL) <150 <150 KV, kardiovaskular; IMT, indeks massa tubuh; PP, post prandial. 2. Fibrilasi Atrium a. Definisi Fibrilasi Atrium Fibrilasi atrium adalah takiaritmia supraventrikel dengan karakteristik aktivasi atrium yang tidak terkoordinasi sehingga memperburuk fungsi mekanik. Fibrilasi atrium merupakan gangguan irama jantung tersering, yang makin meningkat prevalensinya dengan usia (Fuster et al, 2011). 3 b. Faktor Risiko Fibrilasi Atrium Berbagai faktor risiko klinis, parameter elektrokardiografi (EKG), ekokardiografi,dan penanda biokimia berkaitan dengan peningkatan risiko fibrilasi atrium. Faktor risiko klinis meliputi: peningkatan usia, hipertensi, diabetes, infark miokardium, penyakit jantung katup, obstructive sleep apnea, bedah jantung paru, konsumsi alkohol, peningkatan tekanan nadi, riwayat keluarga, variasi genetik, obesitas, merokok, hipertiroid, gagal jantung, dan latihan fisik. Faktor risiko fibrilasi atrium dilihat dari elektrokardiografi berupa hipertrofi ventrikel kiri. Faktor risiko fibrilasi atrium dilihat dari ekokardiografi berupa: dilatasi atrium kiri, penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri, dan peningkatan ketebalan dinding ventrikel kiri. Penanda biokimiawi fibrilasi atrium meliputi: BNP (B-type natriuretic peptide) dan CRP (C-reactive protein) (January et al, 2014). 3. Hubungan DM dan Fibrilasi Atrium a. Insiden dan Prognosis Fibrilasi Atrium pada DM DM merupakan salah satu penyakit yang paling sering menyertai pada pasien dengan fibrilasi atrium (Murphy et al, 2007). Berdasarkan survei pada pasien rawat inap, fibrilasi atrium terjadi pada 14,9% pasien DM versus 10,3% pasien hipertensi tanpa DM. DM sudah ditetapkan sebagai faktor risiko terjadinya fibrilasi atrium selama beberapa dekade. Pada awal tahun 1990an, penelitian Framingham mengindikasikan DM sebagai faktor risiko terjadinya fibrilasi atrium dengan OR 1,4 untuk lakilaki dan 1,6 untuk wanita setelah diikuti selama 38 tahun (Sun and Hu, 2009). Berbagai penelitian juga menunjukkan DM dengan kontrol glikemik yang jelek berkaitan dengan kejadian fibrilasi atrium onset baru (Dublin et al, 2010; Aksnes et al, 2008; Watanabe et al, 2008). Adanya DM pada pasien hipertensi meningkatkan risiko fibrilasi atrium secara bermakna namun peningkatan ini menjadi tidak bermakna setelah disesuaikan dengan faktor resistensi insulin, sehingga resistensi insulin 4 yang mendasari mekanisme peningkatan risiko fibrilasi atrium (Ostgren et al, 2004). Selain itu, terdapat hubungan linear antara insiden fibrilasi atrium dengan kadar HbA1c pada individu dengan dan tanpa diabetes (Goudis et al, 2015; Dublin et al, 2010). Setiap kenaikan sebesar 1% pada kadar HbA1C, risiko fibrilasi atrium meningkat 5% pada individu tanpa DM dan 13% pada individu DM (Huxley et al, 2012). Pada analisis retrospektif pada penelitian VALUE, pasien dengan diabetes onset baru memiliki kejadian fibrilasi onset baru secara signifikan (HR 1,49, 95% CI 1,14-1,94, p=0,0031) dibanding pasien non diabetes (Nakou et al, 2012). Penelitian meta analisis terbaru mengindikasikan DM berkaitan dengan peningkatan risiko fibrilasi atrium sebesar 40% jika dibandingkan dengan pasien nun diabetes dan setelah disesuaikan berbagai faktor risiko, risiko relatif fibrilasi atrium pada pasien diabetes adalah 1,24 (Goudis et al, 2015). Tidak diragukan lagi, diabetes dan fibrilasi atrium saling terkait erat, seperti halnya dengan hipertensi, aterosklerosis, dan obesitas (Zhang et al, 2014). Penelitian ADVANCE menunjukkan peningkatan sebesar 61% (p < 0,001) pada semua penyebab mortalitas pada pasien DM dengan fibrilasi atrium dibandingkan dengan yang tanpa fibrilasi atrium yang diikuti selama 4,3 tahun. Selain itu, pasien DM dengan fibrilasi atrium memiliki peningkatan signifikan terhadap kematian kardiovaskular, risiko stroke dan gagal jantung jika dibandingkan dengan pasien DM tanpa fibrilasi atrium (Lin et al, 2013). b. Patofisiologi Fibrilasi Atrium pada DM Patofisiologi DM terhadap kejadian fibrilasi atrium meliputi perubahan bentuk/remodeling sistem otonom, elektrik, elektromekanik, anatomi, stress oksidatif, perubahan bentuk koneksin, dan fluktuasi gula darah (Gambar 2.1) (Goudis et al, 2015). Berbagai bentuk remodeling atrium mencetuskan terjadinya fibrilasi atrium melalui mekanisme dasar aritmia pada gambar 2.2. Baik 5 cetusan ektopik cepat dan reentri dapat mencetuskan fibrilasi atrium (Nattel et al, 2008). Cetusan ektopik merupakan mekanisme fokal dari fibrilasi atrium dengan pemicu dari daerah-daerah tertentu. Reentri merupakan suatu tipe aritmia di mana terjadi eksitasi miokard yang kontinu dan bergerak berputar mengelilingi daerah yang tidak dapat dieksitasi (Yuniadi et al, 2014). Mekanisme reentri memerlukan substrat yang cocok dan pencetus yang bekerja pada substrat untuk inisiasi reentri. Aktivitas ektopik juga dapat menjadi pencetus untuk induksi reentri. Perubahan bentuk/remodeling atrium berpotensi memfasilitasi aktivitas ektopik dan reentri melalui berbagai mekanisme (Nattel et al, 2008). Gambar 2.1. Patofisiologi DM terhadap terjadinya fibrilasi atrium (Goudis et al, 2015) 6 Gambar 2.2. Peranan remodeling atrium terhadap mekanisme fibrilasi atrium (Nattel et al, 2008) b.1. Perubahan bentuk sistem otonom Hiperglikemia berperan penting dalam patogenesis neuropati otonom jantung melalui gangguan perfusi darah ke persarafan dan aktivasi metabolisme selular (Goudis et al, 2015). Gangguan fungsi sistem otonom pada pasien diabetes disebabkan oleh pembentukan advanced glycation end products, peningkatan stres oksidatif, peningkatan produksi radikal bebas, aktivasi poliol, aktivasi jalur protein kinase C dan kerusakan neuronal terkait gen akibat hiperglikemia (Lin et al, 2013). Pada model tikus diabetes yang diinjeksi dengann streptozotosin mengindikasikan bahwa stimulasi simpatis meningkatkan insiden fibrilasi atrium pada tikus diabetes namun tidak pada kontrol (p<0,01) (Goudis et al, 2015). Stimulasi simpatis memendekkan periode refrakter efektif secara signifikan pada sel atrium di kedua kelompok hewan coba, namun heterogenitas periode refrakter efektif atrial meningkat pada tikus diabetes saja. Hal ini mengindikasikan stimulasi saraf adrenergik jantung pada individu diabetes dapat menyebabkan fibrilasi atrium. Heterogenitas inervasi simpatis meningkat pada pasien diabetes, yang menunjukkan adanya remodeling otonom dapat 7 meningkatkan kepekaan fibrilasi atrium pada kelompok ini (Otake et al, 2009). b.2. Perubahan bentuk anatomi atrium Peningkatan fibrosis atrium dan dilatasi atrium merupakan bentuk utama pada remodeling struktur atrium pada fibrilasi atrium (Saito et al, 2014). Berdasarkan penelitian Liu et al (2012), DM meningkatkan fibrosis terkait protein TGFβ1 pada atrium kelinci diabetes yang diinduksi aloksan. Kaskade TGFβ1 mungkin yang paling berperan dalam proses ini, dimana terjadi ketidakseimbangan antara peningkatan kolagen dan deposisi matriks ekstraseluler yang berlebihan akibat peningkatan ekspresi TGFβ1. Pada pemeriksaan western blotting menunjukkan peningkatan TGFβ1 pada jaringan atrium kiri kelinci diabetes berkorelasi positif dengan fibrosis atrium. Fibrosis dapat memicu aritmogenesis atrium melalui beberapa mekanisme (Gambar 2.3). Pertama, jaringan fibrosis dapat memisahkan serabut-serabut otot atrium secara longitudinal (Gambar 2.3.A), sehingga membentuk hambatan fisik untuk konduksi. Hambatan konduksi tipe ini membentuk gangguan konduksi lokal dan blok yang memicu reentri. Kedua, fibrosis dikaitkan dengan proliferasi fibroblas dan diferensiasinya menjadi fenotif miofibroblas, meningkatkan kecenderungan interaksi fibroblas-kardiomiosit yang erat. Interaksi antara kardiomiosit dan fibroblas via cell-coupling connexin hemichannels menyebabkan fibroblas (dimana tidak bisa dirangsang namun bisa menghantarkan arus) bekerja sebagai penurun tegangan listrik untuk bioelektrik kardiomiosit (Gambar 2.3.B). Hal ini mengakibatkan perlambatan konduksi, depolarisasi potensial istirahat pada kardiomiosit, variasi efek pada durasi potensial aksi, dan induksi spontan depolarisasi fase-4. Depolarisasi spontan menyebabkan ektopik fokal dan perlambatan baik konduksi maupun durasi potensial aksi sehingga memudahkan induksi dan 8 berkembangnya reentri. Sebagai tambahan interaksi langsung listrik, fibroblas dapat mempengaruhi bioelektrik kardiomiosit dengan mensekresi substansi aktif secara biologis yang menyebabkan efek parakrin. Interaksi fibroblas-kardiomiosit dalam mencetuskan aritmogenesis tergantung dari jumlah fibroblas, ukurannya, dan (untuk interaksi elektrik) perluasan sambungan elektrik antara kedua tipe sel tersebut (Andrade et al, 2014). Gambar 2.3. Mekanisme fibrosis dalam memicu fibrilasi atrium (Andrade et al, 2014) Disfungsi ventrikel kiri, yang meningkatkan tekanan atrium kiri, merupakan faktor risiko lain terjadinya fibrilasi atrium (Rosenberg and Manning, 2012). Pada penelitian Saito et al (2014) menunjukkan sinyal profibrotik meningkat tidak hanya di atrium kiri namun juga di ventrikel kiri. Fungsi diastolik ventrikel kiri terganggu dan area fibrosis pada ventrikel kiri lebih luas. Disfungsi diastolik ventrikel kiri meningkatkan risiko fibrilasi atrium melalui berbagai mekanisme berikut: (i) peningkatan afterload atrium; (ii) peningkatan regangan atrium; (iii) peningkatan mengakibatkan dilatasi atrium. tekanan dinding atrium sehingga 9 b.3. Perubahan bentuk sistem elektrik dan elektromekanik jantung Bentuk utama remodeling elektrik atrium meliputi pemendekan periode refrakter efektif atrium, peningkatan dispersi AERP, dan hilangnya frekuensi adaptasi (Goudis et al, 2015). Penelitian Watanabe et al (2012) menunjukan perbedaan elektrofisiologi atrium pada pasien DM dibanding dengan individu sehat. Pertama, kepekaan terjadinya takikardi atrium meningkat. Kedua, perlambatan konduksi dan heterogenitasnya meningkat. Ketiga, durasi potensial aksi lebih lama dan dispersi spasial yang meningkat. Keempat, terjadi pemendekan durasi potensial aksi jika pacing cycle length diturunkan. Kelima, durasi potensial aksi alternan lebih sering terjadi pada pasien diabetes dibanding individu sehat. b.4. Stres oksidatif Berbagai penelitian juga telah membuktikan produksi ROS (reactive oxygen species) dan stres oksidatif meningkat pada jantung dengan DM. Stres oksidatif juga berperan dalam pemicu dan perkembangan fibrilasi atrium (Goudis et al, 2015). Stres oksidatif dapat berperan penting dalam terjadinya remodeling struktur atrium diabetes melalui aktivasi sistem AGEs/RAGE dengan peningkatan regulasi CTGF (connective tissue growth factor) (Zhang et al, 2014). b.5. Perubahan bentuk connexin Perubahan bentuk pada gap junction tampaknya berperan signifikan pada substrat fibrilasi atrium terkait hiperglikemia (Mitasikova et al, 2009). Diabetes dapat mengubah ekspresi dan distribusi koneksin yang menyebabkan perubahan bentuk struktur atrium dan abnormalitas konduksi pada fibrilasi atrium (Igarashi et al, 2012). 10 b.6. Fluktuasi glikemik Telah banyak diteliti bahwa inisiasi fibrilasi atrium pada diabetes cenderung akibat fluktuasi kadar glukosa dibanding kondisi hiperglikemi itu sendiri (Goudis et al, 2015). Menurut Saito et al (2014), fluktuasi glukosa meningkatkan insiden fibrilasi atrium karena memicu fibrosis jantung pada tikus diabetes yang diinduksi streptozotocin. Peningkatan kadar ROS yang disebabkan oleh peningkatan ekspresi NADPH oksidase dan thioredoxin-interacting protein (Txnip) dapat menjadi mekanisme yang melatarbelakangi fibrosis akibat fluktuasi glukosa. b.7. Inflamasi Penelitian mengindikasikan inflamasi mungkin berperan dalam pencetusan, berkembangnya dan menetapnya fibrilasi atrium (Sun and Hu, 2009). Patofisiologi inisiasi fibrilasi atrium yang dipicu oleh inflamasi secara langsung atau adanya kondisi inflamasi sistemik yang memicu menetapnya fibrilasi atrium lebih lanjut masih belum jelas. Kedua mekanisme tersebut saling berkaitan dan mengindikasikan bahwa inflamasi tidak hanya respon terhadap proses aritmia yang terjadi namun merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari aritmia tersebut. Aktivasi atrium cepat telah terbukti memicu akumulasi kalsium dengan miosit atrium sehingga terjadi kelebihan beban kalsium dan pada beberapa kasus menginisiasi apoptosis pada miosit atrium. Kerusakan miokardium atrium dapat memicu respon inflamasi derajat rendah dan menjadi bagian dalam proses remodeling struktur dengan peningkatan persistensi fibrilasi atrium (Engelmann and Svendsen, 2005). Alternatif lainnya, adanya kondisi inflamasi sistemik (DM) akan meningkatkan C-reactive protein/CRP sirkulasi sehingga menjadi predisposisi pasien mencetuskan fokus atrium dan berkembang menjadi fibrilasi atrium. CRP dapat memiliki peranan secara langsung 11 sebagai mediator inflamasi lokal karena ikatan ligand dan kemampuannya mengaktivasi jalur komplemen klasik. Aktivasi komplemen atrium lokal dan kerusakan jaringan lebih lanjut makin meningkatkan inflamasi sistemik dan lokal. Selain itu, CRP berikatan dengan fosfokolin, mengenali komponen fosfolipid pada sel yang rusak dan patogen asing lainnya yang mendasari terjadinya disfungsi membran dengan mencegah pertukaran ion natrium dengan kalsium pada vesikel sarkolema sehingga menyebabkan terjadinya aritmia. Berbagai mekanisme tersebut dapat melatarbelakangi hubungan antara peningkatan penanda inflamasi dengan terjadinya fibrilasi atrium (Engelmann and Svendsen, 2005). 4. Pemeriksaan Prediktor Fibrilasi Atrium dengan Ekokardiografi Kepekaan terhadap terjadinya fibrilasi atrium berkaitan dengan kondisi atrium dengan sirkuit reentri multipel sehingga menghasilkan perlambatan konduksi intra atrium (Bissinger et al, 2011). Pemeriksaan ekokardiografi menggunakan pencitraan doppler jaringan atrium (interval elektromekanik atrium/PA-TDI) berkorelasi erat dengan waktu konduksi interatrium total. Pada penelitian Weijs et al (2011) menunjukkan pemanjangan PA-TDI (P wave to A wave-Tissue Doppler Imaging) merupakan prediktor paling penting pada fibrilasi atrium onset baru. Pemanjangan interval PA-TDI juga berkaitan dengan rekurensi fibrilasi atrium setelah ablasi kateter. Pemeriksaan interval PA-TDI telah terbukti sebagai prediktor fibrilasi atrium setelah operasi atau fibrilasi atrium onset baru pada berbagai penelitian (Tabel 2.2) (Yuasa and Imoto, 2016). Interval PA-TDI didefinisikan sebagai waktu interval dari inisiasi gelombang P pada elektrokardiografi yang terekam pada alat ekokardiografi (lead II) sampai puncak gelombang A pada gambaran dopler jaringan atrium (Gambar 2.4), yang diukur dari 3 kali siklus jantung dan dirata-rata (Yuasa and Imoto, 2016). Selain itu, terdapat berbagai parameter ekokardiografi terkait interval PA-TDI seperti peningkatan dimensi atrium kiri, peningkatan 12 diameter aorta, regurgitasi katup aorta, regurgitasi katup mitral dan pemanjangan waktu deselerasi gelombang E berkaitan dengan pemanjangan interval PA-TDI (Weijs et al, 2011). Tabel 2.2. Prediksi kejadian fibrilasi atrium dengan pengukuran interval PATDI (Modifikasi Yuasa and Imoto, 2016). Jml pasien Durasi PA-TDI (milidetik) FA (%)/ FA Non-FA Cut-off non-FA (AUC) * De Vos et al FA onset baru 15(6)/234 172±25 150±20 165(0,74) (2009) Antoni et al FA onset baru 38(6)/575 138±29 109±16ᵼ 127(0,84) (2010) setelah IMA Den Uijl et al Kekambuhan 74(35)/139 146±20 124±23ᵼ -(0,765) (2011) setelah ablasi FA Fujiwara et al FA setelah 35(40)/53 156±20 128±15ᵵ 141(0,85) (2014) operasi jantung Takahashi et FA setelah 41(65)/22 155±19 137±13§ 147(0,80) al (2014) operasi jantung Takahashi et FA setelah 44(60)/29 159±22 141±20ᵼ 159(0,74) al (2015) operasi jantung *P=0,001; ᵼP<0,001; ᵵP=0,0001; §P<0,01; FA, fibrilasi atrium; IMA, infark miokard akut; AUC, area under curve Gambar 2.4. Pengukuran interval PA-TDI (Yuasa and Imoto, 2016) 13 B. Beberapa Penelitian yang Relevan Fibrilasi atrium merupakan aritmia yang paling sering terjadi yang berkaitan dengan peningkatan morbiditas, penurunan status fungsional dan kualitas hidup, serta peningkatan mortalitas akibat perubahan hemodinamik, ketidaksinkronan atrioventrikel, disfungsi mekanik atrium dan ventrikel, maupun komplikasi tromboemboli (Andrade et al, 2014). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemanjangan waktu konduksi interatrium total berhubungan dengan peningkatan risiko fibrilasi atrium. Berikut ini beberapa penelitian yang menggunakan waktu konduksi interatrium total. 1. Waktu konduksi interatrium total berhubungan dengan insiden fibrilasi atrium a. Henmi et al (2015) menyatakan bahwa waktu konduksi interatrium total merupakan faktor risiko bebas terjadinya fibrilasi atrium onset baru setelah ablasi flutter atrium tanpa riwayat fibrilasi atrium (OR 13,3; 95% CI 1.36-152.5; p=0.0255). Pengukuran ini akurat dalam memprediksi fibrilasi atrium (AUC=0.70). Titik potong optimal waktu konduksi interatrium total dalam prediksi fibrilasi atrium adalah ≥ 120 milidetik, dengan sensitivitas 0.476 dan spesifitas 0.898. b. Fujiwara et al (2014) menyatakan bahwa waktu konduksi interatrium total, yang diukur dengan dopler ekokardiografi (PA-TDI) merupakan prediktor kejadian fibrilasi atrium setelah operasi bedah pintas koroner off-pump dimana pada analisis multivariat menunjukkan durasi PA-TDI (OR 1.11; 95% CI 1.06-1.16; p<0.001) dan indeks volume atrium kiri (OR 1.11; 95% CI 1.02-120; p=0.01). Pengukuran PA-TDI ini lebih dapat dipercaya dibandingkan pengukuran indeks volume atrium kiri dalam mengukur waktu konduksi interatrium total dengan AUC=0.85, sensitivitas 74.3%, spesifitas 86.8%. c. Vos et al (2009) juga menyatakan PA-TDI berhubungan dengan fibrilasi atrium onset baru (OR = 1.375; 95% CI 1.037-1.823; p=0.027). Insiden fibrilasi atrium dalam 2 tahun sebesar 33% pada pasien dengan interval 14 PA-TDI >190 milidetik versus 0% pada pasien dengan interval PA-TDI < 130 milidetik. 2. Waktu konduksi interatrium total memanjang pada pasien diabetes mellitus a. Kato et al (2006) melakukan pengukuran waktu konduksi interatrium dari apendik atrium kanan sampai kiri dengan pemeriksaan elektrofisiologi dan melaporkan peningkatan waktu konduksi interatrium yang bermakna pada atrium diabetik tikus dibandingkan kontrol (p<0.01 dibanding kontrol). b. Liu et al (2012) melakukan pemeriksaan elektrofisiologi dan histologi pada kelinci dan didapatkan hasil bahwa waktu konduksi interatrium total memanjang secara bermakna pada kelompok diabetik dibandingkan kontrol (37.91±6.81 versus 27.43±1.63 milidetik, p<0.01) dan dispersi periode refrakter efektif atrium meningkat pada kelompok diabetik dibandingkan kontrol (30.37±8.33 versus 14.70±5.16 mili detik, p<0.01). 3. Waktu konduksi interatrium total berhubungan dengan inflamasi pada pasien DM Bakirci et al (2015) menemukan bahwa waktu konduksi interatrium total sebagai prediktor fibrilasi atrium memanjang secara bermakna pada individu DM tipe 2 dibanding individu sehat (131.7 ± 23.6 versus 113.1 ± 21.3, p<0.001). Waktu konduksi interatrium total berkorelasi positif dengan kadar hsCRP (r=0.197, p=0.024), rasio neutrophil limfosit (r=0.311, p<0.001) dan ketebalan tunika intima media karotis (r=0.364, p<0.001). Hal ini mengindikasikan bahwa aterosklerosis subklinis dan inflamasi berhubungan secara bebas dengan waktu konduksi interatrium total. Oleh karena itu, aterosklerosis subklinis dan inflamasi dapat menjadi mekanisme terjadinya pemanjangan waktu konduksi interatrium total. Pemanjangan waktu konduksi interatrium total dapat merupakan penanda awal keterlibatan jantung subklinis pada pasien DM tipe 2 yang belum terbukti secara klinis memiliki penyakit kardiovaskular. 15 C. Kerangka Pikir Keterangan: 1 ↓ : mengaktivasi 2 IL-6 Ang II AT-1 ROS AGE CRP : variabel yang diperiksa : : : : Interleukin-6 Angiotensin II Angiotensin type 1 Reactive oxygen species : Advanced glycation end products : C-reactive protein hsCRP TGF-β TNF-α : High sensitive C-reactive protein : Tranforming Growth Factor Beta : Tumor necrosis factor alfa 16 Keterangan bagan kerangka berpikir Telah diketahui bahwa hiperglikemia mengambil peranan utama dalam patogenesis komplikasi DM. Peningkatan glukosa darah dan sitoplasma mengakibatkan terjadinya stres oksidatif yang akan mengaktivasi beberapa elemen lain yang pada perkembangannya dapat menyebabkan remodeling jantung (Saito et al, 2014; Zhang et al, 2014). Stres oksidatif yang diinduksi hiperglikemia akan mengaktivasi jalur AGE, angiotensin II maupun meningkatkan ROS. Aktivasi AGE akan menyebabkan perubahan struktur dan fungsional protein pada matrik ekstraseluler berupa deposisi kolagen I dan III. Pada intraseluler, AGE juga dapat berinteraksi dengan reseptor spesifik (RAGE), yang akan mengaktivasi kaskade proinflamasi TGFβ (Verrotti et al, 2014). Angiotensin II bekerja dengan berikatan reseptornya. Ikatan dengan reseptor angiotensin tipe I akan menginduksi sintesis TGFβ yang menstimulasi aktivitas fibroblas. Ekspresi berlebihan pada TGFβ pada jantung dapat menyebabkan fibrosis selektif pada atrium (Nattel et al, 2008). Fibrosis pada atrium akan mengakibatkan perlambatan waktu konduksi interatrium total secara langsung dengan menjadi penghalang konduksi secara longitudinal pada serabut otot jantung (Andrade et al, 2014). Selain itu, fibrosis mengakibatkan perlambatan waktu konduksi interatrium akibat dilatasi atrium, pemanjangan durasi potensial aksi dan pemendekan periode refrakter (Andrade et al, 2014; Nattel et al, 2008). Fibrosis dapat menjadi substrat timbulnya fibrilasi atrium (Iwasaki et al, 2011) ROS memfasilitasi terjadinya apoptosis dan inflamasi. ROS stimulasi ekspresi TNF-α yang merupakan promotor apoptosis, demikian juga TNF-α juga akan meningkatkan produksi ROS dalam mitokondria, yang akan menciptakan lingkaran setan yang akan menyebabkan produksi ROS dan stress oksidatif makin meningkat (Saito et al, 2014). Apoptosis menginduksi terjadinya remodeling jantung, baik disfungsi otonom jantung dan gangguan fungsi connexin. Disfungsi otonom berupa aktivasi adrenergik jantung dimana terdapat inervasi simpatis heterogen yang dapat mencetuskan fokus ektopik atrium sehingga terjadi fibrilasi 17 atrium. Fokus ektopik juga berperan menyebabkan fibrilasi atrium dengan bekerja pada substrat reentri yang sesuai (Goudis et al, 2015; Nattel et al, 2008). Di sisi lain, adanya inflamasi sistemik akan meningkatkan kadar IL-6 yang akan stimulasi produksi CRP di hati (Yap, 2009). Peningkatan kadar CRP yang dapat menjadi predisposisi timbulnya fibrilasi atrium karena dapat menimbulkan fokus ektopik di atrium (Madrid, 2006). D. Hipotesis Penelitian 1. Ada hubungan antara waktu konduksi interatrium total dengan hsCRP pada pasien DM tipe 2. 2. Ada hubungan antara waktu konduksi interatrium total dengan status kontrol glikemik pada pasien DM tipe 2. 18