1 perlindungan hukum terhadap nasabah dalam asuransi syariah

advertisement
1
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NASABAH DALAM
ASURANSI SYARIAH (STUDI DI PT ASURANSI TAKAFUL
KANTOR CABANG PERWAKILAN SURAKARTA)
Penulisan Hukum
(Skripsi )
Disusun dan Diajukan
untuk Melengkapi Syarat-syarat Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam
Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh
SITI AFFENTI
NIM : E. 0005287
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2009
2
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NASABAH DALAM
ASURANSI SYARIAH (STUDI DI PT ASURANSI TAKAFUL
KANTOR CABANG PERWAKILAN SURAKARTA)
Oleh
SITI AFFENTI
NIM : E. 0005287
Disetujui untuk dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum
(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta,
Juni 2009
Dosen Pembimbing
MOH. ADNAN, S.H., M.Hum.
NIP 131 411 014
3
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum ( Skripsi )
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NASABAH DALAM
ASURANSI SYARIAH (STUDI DI PT ASURANSI TAKAFUL
KANTOR CABANG PERWAKILAN SURAKARTA)
Oleh
SITI AFFENTI
NIM : E. 0005287
Telah diterima dan disahkan oleh Dewan Penguji Penulisan Hukum ( Skripsi )
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada :
Hari
Tanggal
: Rabu
: 17 Juni 2009
DEWAN PENGUJI
1. Agus Rianto, S.H., M.Hum
Ketua
: ......................................................
2. Bambang Joko S, S.H.
Sekretaris
: ......................................................
3. Moh. Adnan, S.H., M.Hum
Anggota
: ......................................................
MENGETAHUI
Dekan,
Mohammad Jamin, S.H., M.Hum.
NIP. 131 570 154
4
PERNYATAAN
NAMA
: SITI AFFENTI
NIM
: E. 0005287
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul :
Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Dalam Asuransi Syariah (Studi Di Pt
Asuransi Takaful Kantor Cabang Perwakilan Surakarta) adalah betul-betul karya
sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi
tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari
terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi
akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya
peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta,
Juni 2009
Yang Membuat Pernyataan
SITI AFFENTI
NIM E. 0005287
5
MOTTO
Allah selalu berikan yang terbaik untuk setiap hamba-Nya
Miracles came through the path of hardwork (Penulis)
There is a will, there is a way
More can do with walk your talk...No you can do without
the ones
More walk, less talk, think act
art is a part of my life,
act with heart before feel the art
6
PERSEMBAHAN
Sebuah karya sederhana ini penulis persembahkan kepada:
Dzat yang Maha Agung, ‫ ﷲ‬SWT, dimana dalam genggaman-Nya menghidup
jiwa - jiwa lemahku
Junjungan Nabi Besar Muhammad SAW, suri tauladan yang kami sanjungkan
Ibu dan Bapak tersayang, yang telah mendukung tiap langkah, memberikan
doa-doa, dan kasih sayang yang tulus tanpa pamrih
Adik-adikku tercinta, yang telah memberi warna dalam hidup;
Keluarga Besar Padmo Pandoyo, yang mungkin tidak bisa kutuliskan satu
persatu di sini. Aku bangga menjadi bagian dalam keluarga ini..
Sahabat-sahabatku terhebat, di FH ’05 UNS, UKM BKKT UNS (Mbak Tika,
Vina, Mas Hendrik, Mas Fitri, Mas Kamid, All Team & Crew “OSIK”
PEKSIMIDA 2008, Anna, Mbak Atta, Mas Anung, dan seluruh Pembina,
Pengurus beserta Staf UKM BKKT UNS 2008/2009), Istana Pura
Mangkunegaran & Institut Seni Indonesia (ISI) Ska (Eyang Tarwa, Bu Umi,
Bu Rati, Mas Mbesur, Mas Pebho, Citra, Idi, Dita, Mbak Iin, Mbak Galuh,
Mbak Kadek, Mbak Enno, Mbak Neng, Mbak Pitut, Mbak Rambat, Mas
Bobby, Mbak Isme, Erika, Mas Dodit), Panitia Wisuda FH ’04-‘07, Keluarga
Graha UKM, Team MCC ’05 dan SMAN 4 Ska, dimana kebersamaan dengan
kalian jauh lebih menakjubkan dibanding kesendirian, tempat aku
menumpahkan beban pikiranku, dan memberi ruang aku berkarya ...
Yang telah menunggu, mendukung, menemani, berbagi, menjaga, dan menerima
aku apa adanya....je t’aime Bun...
7
ABSTRAK
SITI AFFENTI, E 0005287. 2009. PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
NASABAH DALAM ASURANSI SYARIAH (STUDI DI PT ASURANSI
TAKAFUL KANTOR CABANG PERWAKILAN SURAKARTA). Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penulisan Hukum (Skripsi) ini bertujuan untuk mengetahui dan mengkaji
peraturan yang memuat mengenai perlindungan hukum nasabah asuransi syariah
serta bagaimana perlindungan hukum nasabah asuransi syariah di PT Asuransi
Takaful Kantor Cabang Perwakilan Surakarta.
Penulisan Hukum (Skripsi) ini termasuk jenis penelitian hukum
doktrinal/normatif dengan menggunakan pendekatan undang-undang. Data yang
digunakan dalam penulisan hukum ini adalah data sekunder, baik yang berupa
bahan hukum primer yang diperoleh dari PT Asuransi Takaful Kantor Cabang
Perwakilan Surakarta, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Teknik
pengumpulan data dalam penulisan hukum ini adalah studi kepustakaan atau studi
dokumen. Teknik analisis data yang digunakan oleh penulis adalah teknik
silogisme interpretasi yang dilakukan dengan kualitatif, berupa teknik yang
digunakan dengan cara menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat
umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi lalu menjabarkannya secara
deskriptif.
Berdasarkan penulisan hukum ini diperoleh kesimpulan bahwa landasan
asuransi syariah yang menjadi sumber dari pengaturan perlindungan hukum
terhadap nasabah terdiri dari dua macam, yaitu landasan dasar syariah berupa AlQur’an, Sunnah Nabi, Piagam Madinah, praktik sahabat, ijma, syar’u man
qablana serta istihsan, dan landasan hukum berupa Undang-Undang, Keputusan
Menteri Keuangan, Keputusan Direktorat Jendral Lembaga Keuangan serta
Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia yang mengatur
mengenai asuransi syariah. Perlindungan hukum yang diberikan PT Asuransi
Takaful Kantor Cabang Perwakilan Surakarta terhadap nasabahnya berupa produk
dan layanan yang bebas dari unsur gharar, maisir, dan riba, unsur perlindungan
hukum terhadap nasabah dalam asuransi syariah yang terkandung di dalam syarat
pengajuan asuransi, polis asuransi syariah, dan syarat-syarat pengajuan klaim
asuransi, serta cara-cara penyelesaian sengketa menurut hukum Islam, sehingga
nasabah tidak hanya merasa terlindungi secara duniawi, namun juga secara
ukhrawi.
Kata kunci : Perlindungan Hukum, Nasabah, Asuransi Syariah
8
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Rabb semesta alam
atas segala Penciptaan-Nya, Keagungan dan Kebesaran-Nya. Shalawat serta salam
bagi sang teladan Nabi Muhammad SAW. Atas rahmat dan pertolongan-Nya lah
penulis dapat menyelesaikan Penulisan Hukum (Skripsi) dengan judul
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NASABAH DALAM ASURANSI
SYARIAH (STUDI DI PT ASURANSI TAKAFUL KANTOR CABANG
PERWAKILAN SURAKARTA).
Seiring dengan telah selesainya penulisan hukum ini, maka dengan segala
kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah memberikan bantuannya, baik moril maupun
materiil, dalam penulisan hukum ini :
1. Bapak Mohammad Jamin, S.H, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Bapak Mohammad Adnan, S.H, M.Hum selaku Ketua bagian Hukum dan
Masyarakat serta selaku dosen Pembimbing yang telah memberikan
bimbingan dan arahan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.
3. Ibu Erna Dyah Kusumawati S.H., M. Hum selaku Pembimbing Akademik.
4. Segenap Dosen dan Karyawan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta, yang telah banyak menyalurkan ilmu dan pengetahuannya
kepada penulis hingga menjadi seorang sarjana hukum.
5. Segenap Karyawan PT Asuransi Takaful Kantor Cabang Perwakilan
Surakarta yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan
data-data kepada penulis guna menyelesaikan penulisan hukum.
6. Ibu dan ayah tercinta yang telah memberikan segalanya kepada penulis.
Terima kasih untuk segala pengorbanan, doa, dukungan, dan semangat
yang tak henti-hentinya yang tidak akan mungkin mampu penulis balas.
9
7. Afa, Isa, dan Denny, untuk semua kasih sayang, keceriaan, masukan,
kritikan, dan dukungannya dalam menyelesaikan penulisan ini.
8. Keluarga Besar Angkatan 2005 FH UNS: Ermel, Sinta, Elisa, Iwan
(Lemot), Roni, Farid, kelompok Panwis ’05 (Bayu, Reza, Fatah, Diah),
kelompok Teater Delik (Wahyu (Kucluk), Dhina, Denok, Novis, Irma),
kelompok Asistensi (Desita, Desi, Febti), kelompok Magang (Faisal,
Intan, Indah, Ratna, Dadi, Hasto) serta teman-teman yang lain yang tidak
mungkin dapat disebutkan satu persatu, yang telah banyak memberikan
banyak pembelajaran selama penulis melakukan studi di Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
9. Keluarga Besar penulis yang telah memberikan perhatian dan dukungan
baik moril maupun materiil kepada penulis.
10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
memberikan bantuannya bagi penulis, baik selama kuliah maupun dalam
penyelesaian penulisan hukum ini. Terimakasih.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan hukum ini masih jauh dari
sempurna, baik dari segi materi maupun penulisannya, hal ini karena keterbatasan
pengetahuan dan kadar keilmuan penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
masukan dan saran yang menunjang kesempurnaan penulisan hukum ini.
Semoga penulisan hukum ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya, sehingga tidak
menjadi suatu karya yang sia-sia.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Surakarta, Juni 2009
Penulis
10
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN .............................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN ..............................................................................
iii
HALAMAN PERNYATAAN .............................................................................
iv
HALAMAN MOTTO ..........................................................................................
v
HALAMAN PERSEMBAHAN ..........................................................................
vi
ABSTRAK............................................................................................................
vii
KATA PENGANTAR..........................................................................................
viii
DAFTAR ISI.........................................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR ...........................................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................
xiv
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..........................................................................
1
B. Perumusan Masalah ...................................................................
8
C. Tujuan Penelitian .......................................................................
9
D. Manfaat Penelitian ....................................................................
9
E. Metode Penelitian ......................................................................
10
F. Sistematika Penelitian ................................................................
14
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori ..........................................................................
16
1. Tinjauan tentang Asuransi......................................................
16
a. Pengertian Asuransi.........................................................
16
b. Perkembangan Asurasi Di Indonesia ..............................
17
c. Prinsip Dasar Asuransi.....................................................
18
d. Jenis-jenis Asuransi.........................................................
20
2. Tinjauan tentang Asuransi Syariah......................................
21
a. Pengertian Asuransi Syariah............................................
21
b. Perkembangan Asurasi Syariah.......................................
23
11
c. Prinsip Dasar Asuransi Syariah.......................................
26
d. Konsep Dasar Asuransi Syariah dalam Islam..................
28
e. Jenis-jenis Asuransi Syariah............................................
31
3. Tinjauan tentang Perlindungan Hukum Peserta Asuransi.....
33
a. Pengertian Perlindungan Hukum Asuransi……………..
33
1) Pihak-pihak dalam Asuransi Konvensional dan
Asuransi Syariah……………………………………
2) Perlindungan Hukum dalam Asuransi……………
BAB III
33
37
b. Pembinaan dan Pengawasan Usaha Perasuransian..........
45
B. Kerangka Pemikiran..................................................................
51
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian…………………...........……………………..
52
1. Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Dalam
Asuransi Syariah....................................................................
52
2. Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Dalam Asuransi
Syariah Di PT Asuransi Takaful
Kantor Cabang
Perwakilan Surakarta.............................................................
54
B. Pembahasan...............................................................................
58
1. Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Dalam
Asuransi Syariah....................................................................
58
a. Landasan Dasar Syariah...................................................
59
b. Landasan Hukum.............................................................
70
2. Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Dalam Asuransi
Syariah Di PT Asuransi Takaful
Kantor Cabang
Perwakilan Surakarta.............................................................
81
a. Jenis Produk dan Layanan Asuransi Takaful...................
82
b. Syarat Pengajuan Asuransi..............................................
95
c. Polis Asuransi Syariah.....................................................
97
d. Syarat Pengajuan Klaim................................................... 109
12
e. Penyelesaian Sengketa Pada Asuransi Syariah................ 110
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................
113
B. Saran.........................................................................................
115
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
13
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kerangka Pemikiran ........................................................... 51
14
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Fatwa DSN-MUI Berkenaan Asuransi Syariah
Lampiran 2. Keputusan Dirjen Lembaga Keuangan No: Kep.4499/LK/2000
Lampiran 3. Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian
Lampiran 4. Formulir Aplikasi Asuransi Takaful
Lampiran 5. Syarat Umum Polis Asuransi Takaful
15
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada era globalisasi seperti sekarang ini, negara-negara di dunia saling
berlomba untuk meningkatkan perekonomiannya. Perdagangan bebas menjadi
isu yang dominan dalam persaingan untuk memperebutkan pasar. Hampir
semua negara di dunia tidak bisa menghindari upaya liberalisasi di bidang
ekonomi. Dampak nyata dari liberalisasi ekonomi adalah imbasnya terhadap
masyarakat. Masyarakat ikut memikul segala risiko beserta konsekuensi dari
pesatnya arus persaingan ekonomi. Tata pergaulan masyarakat khususnya
masyarakat modern seperti sekarang ini, membutuhkan suatu institusi atau
lembaga yang bersedia mengambil alih risiko-risiko masyarakat baik risiko
individu maupun risiko kelompok.
Masyarakat sampai sekarang ini mempunyai kandungan risiko relatif
lebih tinggi dibanding dengan waktu lampau karena kemajuan
teknologi di segala bidang. Kemajuan teknologi yang sedemikian rupa
mempengaruhi kehidupan manusia, dan dapat menimbulkan risiko
yang lebih luas. Dengan demikian lembaga yang mempunyai
kemampuan untuk mengambil alih risiko pihak lain adalah lembaga
asuransi. Perusahaan asuransi mempunyai jangkauan yang sangat luas
karena perusahaan asuransi tersebut mempunyai jangkauan yang
menyangkut kepentingan-kepentingan ekonomi maupun kepentingan
sosial. Di samping itu, perusahaan asuransi juga menjangkau
kepentingan-kepentingan individu maupun kepentingan masyarakat
luas (Sri Rejeki H., 1997: 18 ).
Asal mula kegiatan asuransi yang dijalankan di Indonesia merupakan
kelanjutan asuransi yang ditinggalkan oleh pemerintah Hindia
Belanda. Setelah Indonesia merdeka, kegiatan perasuransian baru
mulai pada tahun 1976 dengan keluarnya Surat Keputusan Menteri
Keuangan pada waktu itu. Dan pada saat ini perkembangan asuransi di
Indonesia belum sepesat seperti negara-negara maju bahkan apabila
16
dibandingkan dengan negara-negara berkembang sekalipun (Kasmir,
2002: 277).
Perjanjian asuransi sebagai lembaga pengalihan dan pembagian risiko
mempunyai kegunaan yang positif baik bagi masyarakat, perusahaan maupun
bagi pembangunan negara. Dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Hukum
Dagang Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Tahun 1979, Emmy
Pangaribuan Simanjuntak menyatakan bahwa mereka yang menutup
perjanjian asuransi akan merasa tentram sebab mendapat perlindungan dari
kemungkinan tertimpa suatu kerugian. Suatu perusahaan yang mengalihkan
risikonya melalui perjanjian asuransi akan dapat meningkatkan usahanya dan
berani menggalang tujuan yang lebih besar. Demikian pula premi-premi yang
terkumpul dalam suatu perusahaan asuransi dapat diusahakan dan digunakan
sebagai dana untuk usaha pembangunan. Hasilnya akan dapat dinikmati
masyarakat.
Usaha pemerintah untuk mengembangkan bidang usaha asuransi ini
juga tampak, misalnya dengan mengeluarkan berbagai peraturan tentang
perizinan usaha perusahaan asuransi jiwa, tata cara perizinan usaha dan
pemenuhan deposito perusahaan-perusahaan asuransi kerugian, pengawasan
atas usaha perasuransian dan sebagainya.
Berdasarkan keadaan perekonomian Indonesia pada saat ini yaitu
dalam bidang asuransi, umat Islam tertarik dengan institusi perekonomian
yang membawa mereka maju di dunia modern ini, asalkan selaras dengan
semangat agama dan prinsip Hukum Islam. Tetapi persoalan yang hangat
dibicarakan di dunia Islam dewasa ini mengenai halal atau haramnya asuransi
itu sendiri. Di tengah-tengah perkembangan asuransi di Indonesia, masih
tersisa adanya kesan negatif bahwa asuransi konvensional itu hanya mau
menerima premi tapi ketika terjadi musibah, perusahaan asuransi tidak mau
membayar klaim. Walau memang sebenarnya alasan tersebut masuk akal,
tidak mudah untuk membayar klaim, karena asuransi adalah pengelola dana
17
milik bersama dan tidak sembarang memberikan uang kepada seorang nasabah
yang mengajukan klaim tanpa terlebih dahulu menyelidikinya.
Beberapa alasan yang menjadikan perusahaan asuransi konvensional
dinilai
memiliki
sejumlah
kelemahan,
diantaranya
adalah
(http://eramuslim.com/bedaasuransi/newbhn/fatwa.htm) :
1. Seseorang yang ikut asuransi harus mendaftarkan diri menjadi anggota dan
diwajibkan untuk membayar premi secara rutin;
2. Asuransi konvensional bersifat tadabuli (jual beli) pada kenyataannya lebih
cenderung sebagai usaha bisnis berskala besar sementara sisi bantuan sosial
hanya menjadi lips service (penghias) sementara hakikatnya tidak lain
merupakan pemerasan dan kerja rentenir;
3. Akad asuransi konvensional adalah akad gharar (ketidakjelasan) karena
masing-masing dari kedua belah pihak (penanggung dan tertanggung) pada
waktu melangsungkan akad tidak mengetahui jumlah yang ia berikan dan
jumlah yang ia ambil. Akad asuransi ini juga disebut akad idz’an
(penundukan) pihak yang kuat adalah perusahaan asuransi karena dialah
yang menentukan syarat-syarat yang tidak dimiliki oleh tertanggung;
4. Mengandung unsur pemerasan, karena pemegang polis apabila tidak bisa
melanjutkan pembayaran preminya, akan hilang premi yang sudah dibayar
atau dikurangi. Pada perusahaan asuransi konvensional, uang masuk dari
premi para peserta yang sudah dibayar akan diputar dalam usaha dan bisnis
dengan praktek riba.
Sedangkan sumber lain menyatakan bahwa kelemahan dari asuransi
konvensional adalah terjadinya transfer resiko. Nasabah membayar sejumlah
premi untuk mengalihkan resiko yang tidak mampu dipikul sendiri kepada
perusahaan asuransi. Di sini terjadi ”jual beli”, komoditasnya berupa resiko
kerugian yang belum pasti terjadi. Hal ini diperburuk lagi dengan kondisi
bahwa uang premi akan hangus apabila kerugian tidak terjadi, sebaliknya akan
18
berjumlah berlipat-lipat manakala dibayarkan sebagai ganti rugi apabila resiko
yang dipertanggungkan terjadi (http://tazkia.com/konsepdasar?id=syari’ah).
Pada dasarnya, tertanggung tidak akan mendapat keuntungan dari sini
karena prinsip ganti rugi tidak akan mungkin akan memberikan lebih dari
jumlah kerugian yang diderita. Akan tetapi, mekanisme transfer resiko seperti
ini memungkinkan adanya ketidakseimbangan kekuatan dalam menjalankan
perjanjian asuransi yang telah disepakati. Pada tataran yang lebih kompleks,
bisa saja terjadi kecurangan-kecurangan dalam pengajuan klaim, baik berupa
klaim palsu (fraudulent claim) maupun pengajuan nilai klaim yang lebih besar
dari yang sebenarnya.
Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya adalah
umat Islam. Namun demikian, produk-produk dengan prinsip syariah baru
berkembang kurang lebih 10 (sepuluh) tahun yang lalu. Asuransi syariah
menjadi alternatif bagi masyarakat yang telah mengetahui akan kekurangan
asuransi konvensional, sehingga pangsa pasar asuransi syariah mengalami
peningkatan yang cukup signifikan. Asuransi syariah menurut Husain Hamid
Hisan adalah sikap ta’awun (saling tolong menolong) yang sangat rapi antara
sejumlah besar manusia yang
semuanya telah siap mengantisipasi suatu
peristiwa. Jika diantara mereka mengalami peristiwa tersebut, maka semuanya
saling tolong-menolong dalam menghadapi peristiwa dengan sedikit pemberian
yang diberikan oleh masing-masing peserta. Dengan pemberian tersebut,
mereka dapat menutupi kerugian-kerugian yang dialami oleh peserta yang
tertimpa musibah. Dengan demikian asuransi adalah ta’awun yang terpuji,
yaitu saling menolong dalam berbuat kebajikan dan taqwa. Dengan ta’awun
mereka saling membantu antara sesama, dan mereka takut dengan
bahaya/malapetaka. (Muhammad Syakir Syula, 2004: 29).
Asuransi syariah bisa dikatakan sebagai asuransi takaful yaitu
pertanggungan yang berbentuk tolong-menolong, atau disebut juga dengan
perbuatan kafal, yaitu perbuatan saling menolong dalam menghadapi suatu
19
resiko yang tidak diperkirakan sebelumnya (Suhrawardi K. Lubis, 2000: 82).
Sistem bagi hasil yang ada dalam lembaga asuransi syariah dengan
meniadakan unsur maisir, gharar, dan riba adalah merupakan dasar adanya
konsep tolong-menolong dalam berasuransi. Sistem tersebut dipakai dalam
konsep operasional asuransi syariah yaitu bagaimana cara pembagian
keuntungannya. Selama ini sistem asuransi yang dijalankan dengan konsep
Barat dirasa kurang memberikan kejelasan dalam pembagian keuntungan
tersebut. Maka dengan penduduk hampir 90% muslim, diperlukan adanya
suatu lembaga perekonomian dengan sistem syariah.
Salah satu lembaga ekonomi syariah yang berkembang sekarang
adalah hadirnya Syarikat Takaful (Asuransi Syariah) yang disponsori oleh
Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) melalui Yayasan Abdi
Bangsa bersama Bank Muamalat Indonesia (BMI). Syarikat Takaful tersebut
merupakan bentuk dari Asuransi Takaful yang disusun oleh Tim Pembentuk
Asuransi Takaful Indonesia (TEPATI). Syarikat Takaful mempunyai prinsip
dan filosofis yaitu : ”Segala musibah dan bencana yang menimpa manusia
merupakan qadha dan qadar Allah. Namun manusia wajib berikhtiar
memperkecil resiko yang seringkali tidak memadai karena yang harus
ditanggung lebih besar dari pada yang diperkirakan. Takaful sebagai asuransi
yang bertumpu pada konsep tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan
(wata’awanu alal biri wataqwa) dan perlindungan (at-ta’min), menyediakan
semua peserta sebagai keluarga besar yang saling menanggung satu sama lain.
Sistem dalam prinsip dan filosofis ini diatur dengan meniadakan tiga unsur
yang
masih
dipertanyakan,
yaitu
gharar,
maisir,
dan
riba”
(http://takaful.com/takafulindonesia»profilperusahaan.htm).
Lembaga asuransi syariah yaitu PT Syarikat Takaful Indonesia
mendirikan dua anak perusahaan, antara lain : PT Asuransi Takaful Keluarga
yang bergerak dalam bidang asuransi jiwa dan PT Asuransi Takaful Umum
yang bergerak dalam bidang asuransi kerugian. Pendirian dua anak perusahaan
PT Syarikat Takaful Indonesia adalah dalam rangka penyesuaian dengan
20
ketentuan yang terdapat dalam Bab III Pasal 3 UU Nomor 2 Tahun 1992
tentang Usaha Perasuransian pada poin a yang berbunyi :
Usaha Asuransi terdiri dari :
1. Usaha asuransi kerugian yang memberikan jasa dalam penanggulangan
risiko atas kerugian, kehilangan manfaat, dan tanggung jawab hukum
kepada pihak ketiga yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti;
2. Usaha asuransi jiwa yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko
yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang
dipertanggungkan;
3. Usaha reasuransi yang memberikan jasa dalam pertanggung ulang terhadap
risiko yang dihadapi perusahaan asuransi kerugian dan perusahaan asuransi
jiwa.
Dengan adanya kegunaan positif tersebut maka keberadaan asuransi
perlu dipertahankan dan dikembangkan. Namun untuk mengembangkan usaha
ini banyak faktor yang perlu diperhatikan antara lain : peraturan perundangundangan yang memadai, kesadaran masyarakat, kejujuran para pihak,
pelayanan yang baik, tingkat pendapatan masyarakat, pemahaman akan
kegunaan asuransi serta pemahaman yang baik terhadap ketentuan perundangundangan terkait. Oleh karena itu tidak hanya ditingkatkan pemasyarakatan
asuransi, tetapi juga perlu diciptakan bisnis asuransi yang sehat, sehingga
masyarakat konsumsi asuransi memperoleh perlindungan hukum, demikian
juga pemerintah memperoleh manfaat dari usaha perasuransian tersebut.
Oleh KUH Perdata sebagai salah satu sumber hukum asuransi,
perjanjian asuransi dimasukkan ke dalam perjanjian kemungkinan, yaitu
dalam Pasal 1774 ayat (2) KUH Perdata. Pada umumnya para ahli tidak
sepakat digolongkannya perjanjian asuransi sebagai perjanjian kemungkinan.
Hal itu disebabkan dalam perjanjian kemungkinan (Kansovereenkomst) para
pihak secara sengaja dan sadar menjalani suatu kesempatan untung-untungan
21
di mana prestasi secara timbal balik tidak seimbang. Namun demikian, para
ahli dapat membenarkan penempatan perjanjian asuransi dalam perjanjian
kemungkinan (perjanjian untung-untungan) hanya dalam pengertian bahwa
pelaksanaan kewajiban penanggung digantungkan kepada suatu peristiwa
yang belum pasti terjadi ( Man Suparman S., 1978: 2 ).
Pasal 1774 ayat (2) KUH Perdata menyebutkan bahwa perjanjian
untung-untungan terdiri dari perjanjian asuransi, bunga cagak hidup serta
perjudian dan pertaruhan. Hal demikian tidak berarti bahwa perjanjian
asuransi itu sama dengan perjudian dan pertaruhan. Di antara kedua perjanjian
tersebut terdapat perbedaan yang sangat mendasar. Perjanjian asuransi
melahirkan suatu akibat hukum sedangkan undang-undang tidak memberikan
suatu tuntutan hukum terhadap utang yang terjadi karena perjudian dan
pertaruhan (Pasal 1788 KUH Perdata). Perjudian dan pertaruhan hanya
melahirkan ikatan perikatan alam. Selain itu dalam perjanjian asuransi
kepentingan merupakan syarat esensial harus ada pada waktu ditutupnya
perjanjian (Pasal 250 KUHD) sedangkan dalam perjudian dan pertaruhan tidak
demikian.
Sebagaimana diketahui, kontrak merupakan bagian yang paling
penting, yang membedakan asuransi syariah dengan asuransi konvensional.
Karena sifat alami risiko memang tidak pasti (gharar) dan sementara Islam
mengharamkan jual-beli atau transaksi yang mengandung gharar, maka
kontrak asuransi syariah haruslah bukan merupakan kontrak jual-beli. Padahal
di dalam KUH Perdata disebutkan mengenai kewajiban para pihak dalam
kontrak jual-beli, yang sekaligus memberi perlindungan hukum apabila salah
satu pihak tidak menepati kewajibannya seperti tertera pada kontrak tersebut.
Perlindungan hukum terhadap nasabah dalam asuransi sudah
disebutkan dalam hukum positif Indonesia yang berhubungan dengan
asuransi, seperti dalam KUHD, perundang-undangan (UU Nomor 2 Tahun
1992 tentang Usaha Perasuransian Lembaran Negara Nomor 13 Tahun 1992
22
tanggal 11 Februari 1992) dan Peraturan Pemerintah tentang perasuransian
(Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas PP
No. 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian Nomor 73
Tahun 1992 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian) walaupun
sebenarnya peraturan-peraturan tersebut lebih mengutamakan pengaturan
asuransi dari segi bisnis dan publik administratif. Akan tetapi hal tersebut
merupakan perlindungan dalam konteks hukum nasional, yang berlaku pada
asuransi konvensional, berbeda halnya dengan asuransi syariah yang belum
ada peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus dan belum
menjadi hukum positif.
Mengingat hal tersebut, muncul pertanyaan tentang bagaimana
mengantisipasi agar landasan syariah tetap mempunyai kekuatan hukum,
sehingga
perlindungan
terhadap
nasabah
berdasarkan
syariah
dapat
dilaksanakan. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, penulis
mengadakan penelitian di PT Asuransi Takaful Cabang Perwakilan Surakarta.
Alasan pemilihan lokasi tersebut karena PT Asuransi Takaful Cabang
Perwakilan Surakarta merupakan salah satu perusahaan asuransi di wilayah
kota Surakarta yang berhasil menjalankan usaha asuransi dengan berdasar
pada prinsip-prinsip syariah.
Bertitik tolak dari latar belakang masalah di atas, penulis ingin
mengkaji lebih mendalam dengan mengadakan penulisan hukum dengan judul
: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NASABAH
DALAM
ASURANSI SYARIAH (STUDI PADA PT ASURANSI TAKAFUL
KANTOR CABANG PERWAKILAN SURAKARTA )”
B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah merupakan hal yang sangat penting dalam setiap
Penulisan Hukum karena dengan adanya perumusan masalah, berarti penulis
telah mengidentifikasi persoalan yang hendak ditulis. Selain itu adanya
perumusan masalah akan memudahkan penulis dalam mengumpulkan data
23
dan menghindari adanya data yang tidak diperlukan sehingga penulisan akan
lebih terarah dan sesuai dengan yang dikehendaki.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan dalam latar belakang
masalah tersebut diatas, maka pokok-pokok masalah yang akan dibahas dalam
penulisan ini adalah :
1. Bagaimana pengaturan perlindungan hukum terhadap nasabah dalam
asuransi syariah?
2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap nasabah dalam asuransi syariah
di PT Asuransi Takaful Kantor Cabang Perwakilan Surakarta?
C. Tujuan Penelitian
Setiap penelitian yang dilakukan mempunyai tujuan-tujuan tertentu
yang hendak dicapai oleh penulis lewat penelitiannya yang tidak lepas dari
permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya. Dalam penulisan ini, tujuan
yang hendak dicapai oleh penulis adalah :
1. Tujuan Objektif
a. Untuk mengetahui pengaturan perlindungan hukum terhadap nasabah
dalam asuransi syariah.
b. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap nasabah dalam
asuransi syariah di PT Asuransi Takaful Cabang Surakarta.
2. Tujuan Subjektif
a. Untuk memperoleh pengetahuan dan meningkatkan kemampuan
penulis melalui penelitian hukum, khususnya mengenai Hukum dan
Masyarakat.
b. Untuk memenuhi tugas akhir sebagai syarat untuk memperoleh gelar
kesarjanaan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
Nilai dari suatu penelitian dapat dilihat dari manfaat yang dapat
diberikan. Penulis mengharapkan agar dari penelitian ini dapat menghasilkan
24
suatu kejelasan dan keterarahan informasi yang memberikan jawaban atas
permasalahan. Adapun manfaat yang akan dapat diperoleh dari penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan sumbangan
pemikiran maupun dijadikan referensi di bidang karya ilmiah bagi
penelitian sejenis di masa yang akan datang.
b. Penelitian ini merupakan sarana pembelajaran bagi penulis dalam
menerapkan ilmu dan teori hukum yang telah diperoleh.
c. Memberikan jawaban terhadap permasalahan yang sedang diteliti.
2. Manfaat Praktis
a. Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir yang dinamis
sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan
ilmu yang diperoleh.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dan memberikan
masukan pengetahuan pada setiap akademisi di bidang hukum maupun
masyarakat umum.
E. Metode Penelitian
Suatu penelitian merupakan suatu sarana ilmiah bagi pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, maka metodologi penelitian yang diterapkan
harus senantiasa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan yang menjadi
induknya, sehingga harus menggunakan suatu metode yang tepat dengan
tujuan yang hendak dicapai sebelumnya untuk memperoleh kebenaran yang
dapat dipercaya keabsahannya. Sedangkan dalam penentuan metode mana
yang akan digunakan, penyusun harus cermat agar metode yang dipilih
nantinya tepat dan jelas sehingga untuk mendapatkan hasil dengan kebenaran
yang dapat dipertanggungjawabkan dapat tercapai.
Metode penelitian merupakan salah satu faktor penting yang
menunjang suatu kegiatan dan proses penelitian.
Dalam arti kata yang
25
sesungguhnya, maka metode adalah cara atau jalan. Metodologi pada
hakekatnya memberikan pedoman, tentang cara-cara seorang ilmuwan
mempelajari, menganalisa, dan memahami lingkungan-lingkungan yang
dihadapinya (Soerjono Soekanto, 1985: 6), karena itu pemilihan jenis metode
tertentu dalam suatu penelitian sangat penting karena akan berpengaruh pada
hasil penelitian nantinya. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Soerjono Soekanto menerangkan bahwa penelitian hukum yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka,
dapat dinamakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum
kepustakaan. Penelitian hukum normatif yang penulis lakukan dalam
penulisan hukum ini adalah dengan cara meneliti bahan pustaka atau data
sekunder yang membahas tentang asuransi syariah dan perlindungan
hukum nasabah asuransi syariah. Bahan-bahan tersebut kemudian disusun
secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan yang
berhubungan dengan masalah yang diteliti.
2. Sifat Penelitian
Penelitian dilihat dari sudut sifatnya dikenal ada tiga jenis yaitu
penelitian eksplanatoris, deskriptif dan eksploratoris. Menurut Soerjono
Soekanto, penelitian deskriptif yaitu penelitian yang bermaksud untuk
memberi data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau
gejaka-gejalanya. Maksudnya adalah mempertegas hipotesa-hipotesa agar
dapat membantu di dalam memperkuat teori-teori lama di dalam
menyusun teori-teori baru (Soerjono Soekanto, 1984: 10).
Adapun sifat penelitian yang digunakan oleh penulis dalam
penulisan hukum ini adalah penelitian deskriptif. Dengan menggunakan
sifat deskriptif dimaksudkan untuk menggambarkan serta menguraikan
26
semua data yang diperoleh dari hasil pengumpulan data yang berkaitan
dengan judul penulisan hukum secara jelas dan rinci yang kemudian
dianalisis guna menjawab permasalahan yang diteliti.
3. Pendekatan Penelitian
Penelitian dalam penulisan hukum ini adalah penelitian normatif
dengan menggunakan pendekatan undang-undang. Pendekatan perundangundangan dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi
yang bersangkutan dengan isu hukum yang sedang diteliti.
4. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan mengambil lokasi penelitian pada
Kantor PT Asuransi Takaful Keluarga Cabang Perwakilan Surakarta yang
beralamat di Jalan Slamet Riyadi No. 33 Surakarta.
5. Jenis Data
Jenis data yang penulis pergunakan dalam penelitian ini berupa data
sekunder, yaitu data atau informasi hasil telaah dokumen penelitian yang
telah ada sebelumnya, bahan kepustakaan seperti buku-buku, literatur,
koran, majalah, jurnal, maupun arsip-arsip yang berkaitan dengan masalah
yang diteliti. Secara umum ciri-ciri dari data sekunder adalah sebagai
berikut :
a. Pada umumnya data sekunder dalam keadaan siap terbuat dan dapat
dipergunakan dengan segera
b. Baik bentuk maupun isi data sekunder, telah dibentuk dan diisi oleh
peneliti-peneliti
terdahulu,
sehingga
peneliti
kemudian,
tidak
mempunyai pengawasan terhadap pengumpulan, pengolahan, analisa,
maupun konstruksi data
c. Tidak terbatas oleh waktu dan tempat (Soerjono Soekanto, 2005: 12).
27
6. Sumber Data
Data secara umum diartikan sebagai fakta atau keterangan dari suatu
objek yang diteliti dari hasil penelitian, sedangkan sumber data merupakan
media dimana dan kemana data dari suatu penelitian dapat diperoleh.
Sumber data dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder yang terdiri
dari :
a. Bahan Hukum Primer
Sumber data primer berasal dari pihak-pihak yang secara langsung
berhubungan dengan masalah yang menjadi objek penelitian. Dalam
penelitian ini data langsung diperoleh dari :
1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata);
2) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD);
3) Undang-Undang
Nomor
2
Tahun
1992
tentang
Usaha
Perasuransian;
4) Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia;
5) Polis Asuransi Syariah PT Asuransi Takaful Keluarga di Kantor
Cabang Perwakilan Surakarta.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang berisi penjelasan
mengenai bahan hukum primer atau secara tidak langsung dapat
memberikan keterangan yang bersifat mendukung sumber data primer,
berupa buku-buku, artikel-artikel, peraturan perundang-undangan,
ketentuan-ketentuan lain yang masih berlaku sepanjang mengatur
tentang asuransi, makalah dan dokumen kepustakaan lainnya yang
berkaitan dengan penelitian ini.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan
petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder, yaitu kamus, ensiklopedi, internet, dan lain-lain.
28
7. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang diambil oleh penulis adalah dengan
memanfaatkan indeks-indeks hukum berupa studi kepustakaan atau studi
dokumen. Teknik ini merupakan teknik pengumpulan data dengan
mempelajari, membaca, dan mencatat buku-buku, literatur, catatancatatan, peraturan perundang-undangan, serta artikel-artikel penting yang
diperoleh dari media internet yang erat kaitannya dengan pokok-pokok
masalah yang digunakan untuk menyusun penulisan hukum ini yang
kemudian dikategorisasikan menurut pengelompokan yang tepat.
8. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan langkah lanjut untuk mengolah hasil
penelitian
menjadi
suatu
laporan.
Analisis
data
adalah
proses
pengorganisasian dan pengurutan data dalam pola, kategori dan uraian
dasar, sehingga akan dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan
hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data (Lexy J. Moleong, 2002:
103). Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat
deskriptif, maka data dianalisis secara silogisme interpretasi, yaitu berupa
teknik
yang digunakan dengan
menarik
kesimpulan
dari
suatu
permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang
dihadapi.
Selanjutnya bahan-bahan yang ada dianalisa, untuk melihat
peranan pengaturan dan ketentuan yang berkaitan dengan perlindungan
hukum nasabah asuransi syariah di Indonesia. Setelah analisis data selesai,
maka hasilnya akan disajikan secara deskriptif
yaitu dengan jalan
menuturkan dan menggambarkan apa adanya sesuai dengan permasalahan
yang akan diteliti dan data yang diperoleh.
F. Sistematika Penulisan Hukum
29
Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh tentang sistematika
penulisan hukum yang sesuai dengan aturan penulisan hukum, maka penulis
menggunakan sistematika penulisan hukum yang terdiri dari empat bab yang
dalam tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk
memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan penulisan hukum ini.
Sistematika penulisan hukum dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis memberikan gambaran penulisan
hukum mengenai latar belakang masalah, perumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi
penelitian ini dan sistematika penulisan hukum.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini penulis menguraikan tentang tinjauan umum
mengenai asuransi meliputi pengertian, perkembangan,
prinsip dan jenis-jenis asuransi. Tinjauan umum mengenai
asuransi syariah meliputi pengertian, perkembangan,
prinsip, konsep dasar, jenis-jenis serta perkembangan
asuransi syariah. Dan yang terakhir adalah tinjauan umum
tentang perlindungan hukum nasabah asuransi.
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini penulis menjelaskan tentang hasil penelitian
mengenai
pengaturan
perlindungan
hukum
terhadap
nasabah dalam asuransi syariah, dan perlindungan hukum
terhadap nasabah dalam asuransi syariah di PT Asuransi
Takaful Cabang Surakarta.
BAB IV
PENUTUP
30
Bab ini berisi kesimpulan dari jawaban permasalahan dan
saran berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Kerangka Teori
a. Tinjauan Tentang Asuransi
a. Pengertian Asuransi
Dalam bahasa Belanda kata asuransi disebut Assurantie yang
terdiri dari kata “assurandeur” yang berarti penanggung dan
“geassureerde” yang berarti tertanggung. Kemudian dalam bahasa
Perancis disebut menanggung sesuatu yang pasti terjadi. Sedangkan
dalam bahasa Latin “Assecurare” yang berarti meyakinkan orang lain.
Selanjutnya bahasa Inggris kata asuransi disebut “Insurance” yang
berarti menanggung sesuatu yang mungkin atau tidak mungkin terjadi
dan “Assurance” yang berarti menanggung sesuatu yang pasti terjadi
( Kasmir, 2002: 276).
Adapun pengertian asuransi secara umum ada beberapa
pendapat antara lain adalah:
1. Menurut Prof. Mehr dan Cammack
Asuransi adalah alat sosial untuk mengurangi risiko, dengan
menggabungkan sejumlah alat yang memadai unit-unit yang
terkena risiko. Menurut Prof. Mehr kerugian-kerugian individual
mereka secara kolektif dapat diramalkan. Kemudian kerugian yang
dapat diramalkan itu dipikul merata oleh mereka yang tergabung.
31
2. Menurut Prof. Willet
Prof. Willet menyatakan bahwa asuransi adalah alat sosial untuk
mengumpulkan dana guna mengatasi kerugian modal yang tak
tentu, yang dilakukan melalui pemindahan risiko dari banyak
individu kepada seseorang atau sekelompok orang.
3. Menurut Prof. Mark R. Green
Asuransi
adalah
suatu
lembaga
ekonomi
yang
bertujuan
mengurangi risiko, dengan jalan mengkombinasikan dalam suatu
pengelolaan sejumlah objek yang cukup besar jumlahnya. Prof.
Mark R. Green juga berpendapat bahwa kerugian yang muncul
secara menyeluruh dapat diramalkan dalam batas-batas tertentu.
4. Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang
Usaha Perasuransian adalah sebagai berikut:
“Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan
mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung,
dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan
penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan
atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung
jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita
tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti,
atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas
meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan”.
5. Menurut Pasal 246 KUHD
“Asuransi adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang
penanggung mengikatkan diri pada tertanggung dengan
menerima suatu premi, untuk memberi penggantian kepadanya
karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan
yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu
peristiwa yang tak tertentu”.
b. Perkembangan Asuransi di Indonesia
Asal mula kegiatan asuransi yang dijalankan di Indonesia
merupakan kelanjutan asuransi yang ditinggalkan oleh pemerintah
Hindia Belanda. Yang pertama kali berdiri adalah Batavianche Zee &
32
Brand Assurantie Maattschaappij pada tahun 1843. Namun Peraturan
Pemerintah Indonesia yang mengatur asuransi baru dikeluarkan pada
tahun 1976 dengan keluarnya Surat Keputusan Menteri Keuangan pada
waktu itu. Baru kemudian akhirnya beberapa Surat Keputusan Menteri
Keuangan diterbitkan, diantaranya :
1) 1136/KMK/IV/1976 tentang Penetapan Besarnya Cadangan Premi
dan Biaya oleh Perusahaan Asuransi di Indonesia;
2) 1249/KMK.013/1988
tanggal
20
Desember
1988
tentang
Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan di bidang Asuransi
Kerugian;
3) 1250/KMK.013/1988 tentang Asuransi Jiwa.
Peraturan Menteri Keuangan tersebut untuk selanjutnya tidak
berlaku lagi dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992
tentang Usaha Perasuransian Indonesia dan Peraturan Pemerintah
Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian.
Selain kedua perundang-undangan dan peraturan tersebut dasar
acuan pembinaan dan pengawasan usaha asuransi di Indonesia juga
didasarkan kepada Keputusan Menteri Keuangan Nomor :
1) 223/KMK.017/1993 tanggal 26 Februari 1993 tentang Izin
Perusahaan Asuransi dan Reasuransi;
2) 224/KMK.017/1993 tanggal 26 Februari 1993 tentang Kesehatan
Keuangan Perusahaan Asuransi dan Reasuransi;
3) 225/KMK.017/1993
tanggal
26
Februari
1993
tentang
Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan Perusahaan Reasuransi;
4) 226/KMK.017/1993 tanggal 26 Februari 1993 tentang Perizinan
dan Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Penunjang Usaha
Asuransi.
c. Prinsip Dasar Asuransi
33
Dalam industri asuransi, baik asuransi kerugian maupun
asuransi jiwa, memiliki prinsip-prinsip yang menjadi pedoman bagi
seluruh penyelenggaraan kegiatan perasuransian, antara lain (AM
Hasan Ali, 2004: 77) :
1) Insurable Interest (Kepentingan yang Dipertanggungkan)
Insurable Interest sebagai hak atau adanya hubungan
dengan persoalan pokok dari kontrak, seperti menderita kerugian
finansial sebagai akibat dari terjadinya kerusakan, kerugian, atau
kehancuran suatu harta. Prinsip ini adalah kepentingan yang
menurut
peraturan
wajib
dimiliki
seseorang
agar
dapat
mengadakan asuransi secara valid.
2) Utmost Good Faith (Kejujuran Sempurna)
Utmost Good Faith adalah bahwa kita berkewajiban
memberitahukan sejelas-jelasnya dan teliti mengenai segala faktafakta penting yang berkaitan dengan objek yang diasuransikan.
3) Indemnity (Indemnitas)
Kebanyakan kontrak asuransi kerugian dan kontrak
asuransi kesehatan merupakan kontrak indemnity atau “kontrak
penggantian kerugian”. Maksudnya, berdasarkan prinsip ini batas
tertinggi kewajiban penanggung adalah memulihkan tertanggung
pada ekonomi yang sama dengan posisinya sebelum terjadi
kerugian. Dengan demikian tertanggung tidak berhak memperoleh
ganti rugi lebih besar daripada kerugian yang diderita.
4) Subrogation (Subrogasi)
Pada umumnya, seseorang yang menyebabkan suatu
kerugian bertanggung jawab atas kerugian itu. Dalam hubungannya
dengan asuransi, pihak penanggung mengambil alih hak menagih
ganti kerugian pada pihak yang menyebabkan kerugian setelah
penanggung melunasi kewajibannya pada tertanggung.
5) Contribution (Kontribusi)
34
Prinsip kontribusi berarti bahwa apabila penanggung telah
membayar penuh ganti rugi yang menjadi hak tertanggung, maka
penanggung berhak menuntut perusahaan-perusahaan lain yang
terlibat suatu pertanggungan (secara bersama-sama menutup
asuransi harta benda tertanggung).
6) Proximate Cause (Kausa Proksima)
Suatu prinsip yang digunakan untuk mencari penyebab
kerugian yang aktif dan efisien. Melalui kausa proksimal akan
dapat diketahui apakah penyebab terjadinya musibah atau
kecelakaan tersebut dijamin dalam kondisi polis asuransi atau
tidak.
d. Jenis-jenis Asuransi
Dalam bab III Pasal 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992
dikemukakan tentang jenis bidang usaha perasuransian di Indonesia,
diantaranya sebagai berikut :
1) Asuransi Kerugian (non life insurance)
Yaitu perusahaan asuransi yang memberikan jasa dalam
penanggulangan resiko atas kerugian, kehilangan menfaat dan
tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang timbul dari suatu
peristiwa yang tidak pasti. Yang termasuk asuransi kerugian
adalah:
a) Asuransi kebakaran yang meliputi kebakaran, peledakan, petir,
kecelakaan kapal terbang, dan lainnya;
b) Asuransi pengangkutan;
c) Asuransi aneka, yaitu asuransi yang tidak termasuk dalam
asuransi kebakaran dan pengangkutan.
2) Asuransi Jiwa (life insurance)
Yaitu perjanjian asuransi yang memberikan jasa dalam
penanggulangan resiko yang dikaitkan dengan penanggulangan
35
jiwa atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan. Jenisjenis asuransi jiwa ini adalah:
a) Asuransi Berjangka (term insurance);
b) Asuransi Tabungan (endowment insurance);
c) Asuransi Seumur Hidup (whole life insurance);
d) Anuitas (annuity contract insurance).
3) Reasuransi (reinsurance)
Merupakan perjanjian asuransi yang memberikan jasa
asuransi dalam pertanggungan ulang terhadap resiko yang dihadapi
oleh perusahaan asuransi kerugian dan atau perusahaan asuransi
jiwa. Asuransi ini digolongkan dalam :
a) Bentuk treaty;
b) Bentuk facultative;
c) Kombinasi dari keduanya.
b. Tinjauan Tentang Asuransi Syariah
a. Pengertian Asuransi Syariah
Asuransi syariah terdiri dari dua kata yaitu asuransi dan
syariah. Asuransi mengandung arti pertanggungan. Dalam bahasa
Arab, disebut at-ta’min diambil dari kata amana yang memiliki arti
memberikan perlindungan, ketenangan, rasa aman, dan bebas dari rasa
takut. Sedangkan syariah itu berarti sebuah prinsip atau sistem yang
bersifat universal yang didasarkan pada wahyu. Maka asuransi syariah
adalah suatu bentuk pertanggungan bersama terhadap kerugian atau
musibah yang terjadi yang dilakukan sesuai dengan konsep-konsep
hukum Islam yang lebih menitikberatkan pada prinsip kerjasama,
keadilan,
gotong
royong,
tolong
menolong
dan
senasib
sepenanggungan antar sesama pemegang polis yang didasarkan oleh
prinsip-prinsip yang dilaksanakan di dalam Islam.
36
Asuransi syariah menurut Musthofa Ahmad Zarqa mengatakan
bahwa sistem asuransi yang dipahami oleh para ulama hukum
(syariah) adalah sebuah sistem ta’awun (saling tolong menolong) dan
tadhamun (saling menanggung) yang bertujuan untuk menutupi
kerugian peristiwa-peristiwa atau musibah-musibah. Tugas ini
dibagikan kepada sekelompok tertanggung, dengan cara memberikan
pengganti kepada orang yang tertimpa musibah. Pengganti tersebut
diambil dari kumpulan premi-premi mereka. Mereka (para ulama ahli
syariah) mengatakan bahwa dalam penetapan suatu hukum yang
berkaitan dengan kehidupan social dan ekonomi, Islam bertujuan agar
suatu masyarakat hidup berdasarkan atas asas saling tolong menolong
dan menjamin dalam pelaksanaan hak dan kewajiban (Muhammad
Syakir Syula, 2004: 29).
Menurut Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia
Nomor 426/KMK.06/2003 Tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi bahwa asuransi atau
reasuransi dengan “prinsip syariah” adalah prinsip perjanjian berdasar
hukum Islam antara perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi
dengan pihak lain, dalam menerima amanah dengan mengelola dana
peserta
melalui
kegiatan
investasi
atau
kegiatan
lain
yang
diselenggarakan sesuai syariah. Fatwa Dewan Syariah NasionalMajelis Ulama Indonesia No.21/DSN-MUI/X/2001 Tentang Pedoman
Umum Asuransi Syariah, berbunyi, “Asuransi syariah (ta’min, takaful,
tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong
diantara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan
atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi
resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.
Asuransi syariah ini berbeda dengan asuransi konvensional.
Bisa dikatakan asuransi syariah menganut asas tolong-menolong
dengan membagi resiko diantara peserta asuransi (risk sharing) bukan
37
transfer resiko dari para peserta kepada perusahaan asuransi (risk
transfer) yang ada pada asuransi konvensional. Oleh karena itu,
kontraknya disebut bukan jual beli (tadabuli) akan tetapi kontrak
tolong-menolong (takafuli), sehingga asuransi ini disebut juga asuransi
takaful yaitu pertanggungan yang berbentuk tolong-menolong, atau
disebut perbuatan kafal, yaitu perbuatan saling tolong-menolong dalam
menghadapi suatu resiko yang tidak diperkirakan sebelumnya.
b. Perkembangan Asuransi Syariah
Berbeda dengan sejarah asuransi konvensional, praktik asuransi
syariah sekarang berasal dari budaya suku arab. Diriwayatkan oleh
Abu Hurairah ra, dia berkata: Berselisih dua orang wanita dari suku
Huzail, kemudian salah satu wanita tersebut melempar batu ke wanita
yang lain sehingga mengakibatkan kematian wanita tersebut beserta
janin yang dikandungnya, dibayarkan oleh aqilahnya (kerabat dari
orang tua laki-laki) (HR. Bukhari). Maka ahli waris dari wanita yang
meninggal mengadukan peristiwa tersebut kepada Rasulullah SAW,
maka Rasulullah SAW memutuskan ganti rugi dari pembunuhan
terhadap janin tersebut dengan pembebasan seorang budak laki-laki
atau perempuan, dan memutuskan ganti rugi kematian wanita tersebut
dengan uang darah (diyat) yang zaman Rasulullah yang disebut dengan
aqilah, menurut Thomas Patrick dalam bukunya Dictionary Of Islam,
menerangkan bahwa jika salah satu anggota suku yang terbunuh oleh
anggota suku lain, keluarga korban akan dibayar sejumlah uang darah
(diyat) sebagai kompensasi oleh saudara terdekat dari pembunuh.
Saudara terdekat pembunuh tersebut yang disebut aqilah, harus
membayar uang darah atas nama pembunuh. Praktik aqilah pada
38
zaman Rasulullah tetap diterima dan menjadi bagian dari Hukum
Islam, hal tersebut dapat dilihat dari hadist Nabi Muhammad SAW.
Selain hadist diatas, ada Pasal khusus dalam konstitusi
Madinah yang memuat semangat untuk saling menanggung bersama,
yaitu Pasal 3 yang isinya sebagai berikut: Orang Quraisy yang
melakukan perpindahan (ke Madinah) melakukan pertanggungan
bersama dan akan saling bekerja sama membayar uang darah di antara
mereka. Aqilah merupakan praktik yang biasa terjadi pada suku Arab
kuno. Jika seorang anggota suku melakukan pembunuhan terhadap
anggota suku yang lain, maka ahli waris korban akan memperoleh
bayaran sejumlah uang darah sebagai kompensasi oleh penutupan
keluarga pembunuh. Penutupan yang dilakukan oleh keluarga
pembunuh itulah yang disebut sebagai aqilah.
Pada tahap selanjutnya, perkembangan asuransi syariah selain
mengembangkan praktik tolong menolong melalui dana tabarru’ juga
memasukan unsur investasi (khususnya pada asuransi jiwa) baik
dengan akad bagi hasil (mudharabah) maupun fee (wakalah).
Dalam syari’at Islam ketentuan hukum asuransi pada umumnya
dikategorikan ke dalam masalah-masalah ijtihad, kerena tidak ada
penjelasan resmi baik dalam Al Qur’an maupun Al Hadits. Di samping
itu, para imam mazhab juga tidak memberikan pendapatnya tentang
hal tersebut, sebab ketika itu masalah perasuransian belum dikenal
(Suhrawardi K. Lubis, 2000: 74).
Adapun hasil ijtihad para ahli hukum Islam tentang hukum
asuransi dapat diklarifikasikan sebagai berikut (www.eramuslim.com):
1) Pendapat pertama: Asuransi dengan segala bentuk perwujudannya
haram menurut ketentuan hukum Islam.
39
Pendapat ini dikemukakan oleh Sayyid Sabiq, Abdullah Al
Qalqili, Yusuf Qardhawi dan Muhammad Bakhil al-Muth’i (mufti
Mesir).
Adapun alasannya adalah sebagai berikut :
a) asuransi sama dengan judi;
b) asuransi mengandung unsur tidak jelas dan tidak pasti
(uncertainly);
c) asuransi mengandung unsur riba/rente;
d) asuransi mengandung unsur pemerasan;
e) premi-premi yang dibayarkan akan diputar dalam praktekpraktek riba (kredit berbunga);
f) asuransi termasuk akad sharfi, artinya jual beli atau tukar
menukar mata uang tidak dengan tunai (cash and carry);
g) hidup dan mati manusia jadi obyek bisnis, berarti sama halnya
mendahului takdir Allah.
2) Pendapat kedua: Asuransi dengan segala bentuknya dapat diterima
dalam syari’at Islam
Pendapat ini dikemukakan oleh Abdul Wahab Khallaf,
Mustafa Akhmad Zarqa (Guru Besar Hukum Islam pada Fakultas
Syari’ah Universitas Syria), Muhammad Yusuf Musa (Guru Besar
Hukum Islam pada Universitas Kairo) dan Abdurrahman Isa
(Pengarang Kitab Al Muamalat al-haditsah wa Ahkamuka), dengan
alasan:
a) tidak ada nash (Al Qur’an dan Al Hadits);
b) ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak;
c) saling menguntungkan kedua belah pihak;
d) mengandung kepentingan umum;
e) asuransi termasuk akad mudharabah (bagi hasil);
f) asuransi termasuk koperasi (syirkah ta’awuniyah);
g) asuransi dianalogikan dengan sistem pensiun seperti taspen
40
3) Pendapat ketiga: Asuransi Sosial diperbolehkan, sedangkan
asuransi yang bersifat komersial tidak diperbolehkan atau
bertentangan dengan syari’at Islam.
Pendapat ini dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah,
beliau menyatakan asuransi sosial diperbolehkan dengan alasan
sebagaimana pendapat yang kedua dan asuransi komersial tidak
diterima dengan alasan sama dengan pendapat pertama.
4) Pendapat keempat: Asuransi dengan segala jenisnya dipandang
syubhat (samar)
Asuransi dengan segala jenisnya dipandang syubhat
(samar/perkara yang tidak diketahui hukumnya oleh orang banyak,
yang masih samar kehalalan maupun keharamannya), alasannya
karena perjanjian asuransi tidak dinyatakan secara jelas tentang
kebolehan dan ketidakbolehannya di dalam Al Qur’an dan Hadits.
Menanggapi polemik tersebut, K.H. Ahmad Azhar Basyir,
MA, menyatakan bahwa perjanjian asuransi dengan asas gotong
royong atau ta’awun menuntut agar mental para tertanggung benarbenar siap. Perjanjian dilakukan benar-benar perjanjian tolongmenolong bukan perjanjian tukar-menukar. Dengan demikian,
bukan untung rugi yang dipikirkan, tetapi bagaimana hubungan
tolong-menolong dapat ditegakkan. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa suatu asuransi diperbolehkan secara syar’i jika tidak
menyimpang dari prinsip-prinsip dan aturan-aturan syari’at Islam.
Selanjutnya,
perkembangan
Asuransi
Syariah
dalam
beberapa tahun terakhir cukup menggembirakan. Setelah Asuransi
Takaful dibuka, berbagai perusahaan asuransi pun menyadari
cukup besarnya potensi bisnis asuransi syariah di Indonesia. Saat
ini, Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan jumlah
41
operator asuransi syariah cukup banyak di dunia. Berdasarkan data
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI),
terdapat 51 pemain asuransi syariah di Indonesia yang telah
mendapatkan rekomendasi syariah. Mereka terdiri dari 42 operator
asuransi syariah, tiga reasuransi syariah, dan enam broker asuransi
dan reasiuransi syariah. Industri asuransi Indonesia mencatat
kenaikan laba yang cukup signifikan dalam 7 tahun terakhir,
dengan pertumbuhan rata-rata 26,5% per tahun.
c. Prinsip Dasar Asuransi Syariah
Prinsip dasar yang ada dalam asuransi syariah tidaklah jauh
berbeda dengan prinsip dasar yang berlaku pada konsep ekonomi
Islam. Prinsip tersebut diantaranya (AM. Hasan Ali, 2004: 125) :
1) Tauhid (Unity)
Prinsip tauhid adalah dasar utama dari setiap bentuk
bangunan yang ada dalam syariah Islam. Dalam berasuransi yang
harus diperhatikan adalah bagaimana seharusnya menciptakan
suasana dan kondisi bermuamalah yang tertuntun oleh nilai-nilai
ketuhanan.
2) Keadilan (justice)
Prinsip kedua dalam berasuransi adalah terpenuhinya nilainilai keadilan antara pihak-pihak yang terikat dengan akad
asuransi. Keadilan dalam hal ini dipahami sebagai upaya dalam
menempatkan hak dan kewajiban antara nasabah dan perusahaan
asuransi.
3) Tolong-menolong (ta’awun)
Dalam melaksanakan kegiatan berasuransi harus didasari
dengan semangat tolong-menolong (ta’awun) antara anggota
(nasabah). Seseorang yang masuk asuransi, sejak awal harus
memiliki niat dan motivasi untuk membantu dan meringankan
beban sesamanya yang mendapatkan musibah atau kerugian.
42
4) Kerja Sama (cooperation)
Prinsip kerjasama merupakan prinsip universal yang selalu
ada dalam literatur ekonomi islami. Kerjasama dalam bisnis
asuransi dapat berwujud dalam bentuk akad yang dijadikan acuan
antara kedua belah pihak yang terlibat, yaitu antara nasabah dan
perusahaan asuransi.
5) Amanah (trustworthy/ al-amanah)
Prinsip amanah dalam organisasi perusahaan dapat
terwujud dalam nilai-nilai akuntabilitas (pertanggungjawaban)
perusahaan melalui penyajian laporan keuangan tiap periode.
Sedangkan prinsip amanah juga harus berlaku pada diri nasabah
asuransi. Nasabah asuransi berkewajiban menyampaikan informasi
yang benar berkaitan dengan pembayaran dana iuran (premi) dan
tidak memanipulasi kerugian yang menimpa.
6) Kerelaan (al-ridha)
Dalam bisnis asuransi, kerelaan (al-ridha) dapat diterapkan
pada tiap nasabah asuransi agar mempunyai motivasi dari awal
untuk merelakan sejumlah dana (premi) yang disetorkan ke
perusahaan asuransi, yang difungsikan sebagai dana sosial
(tabarru’).
7) Larangan riba
Riba adalah mengambil harta orang lain tanpa ada nilai
imbangan apa pun. Riba jelas dilarang dalam Islam, karena
bertentangan dengan keadilan dan persamaan.
8) Larangan maisir (judi)
Unsur maisir (judi) artinya adanya salah satu pihak yang
untung namun di lain pihak justru mengalami kerugian. Hal ini
tampak jelas dalam asuransi konvensional, bila pemegang polis
dengan sebab tertentu membatalkan kontraknya sebelum masa
reversing period, biasanya tahun ketiga maka yang bersangkutan
43
tidak akan menerima kembali uang yang telah dibayarkan kecuali
sebagian kecil saja.
9) Larangan gharar (ketidakpastian)
Gharar
dalam
pengertian
bahasa
adalah
al-khida’
(penipuan) yaitu suatu tindakan yang di dalamya diperkirakan tidak
ada unsur kerelaan. Secara syariah dalam akad pertukaran harus
jelas berapa yang harus dibayarkan dan berapa yang harus
diterima.
d. Konsep Dasar Asuransi Syariah dalam Islam
Menurut ahli perundang-undangan Islam, ada beberapa konsep
yang mengarah kepada konsep at-ta’min (asuransi) berdasarkan
syariah Islam (Muhammad Syakir Sula, 2004:82-84), diantaranya:
1) Al’aqilah
Saling
memikul
atau
bertanggung
jawab
untuk
keluarganya. Aqilah merupakan istilah yang mahsyur di kalangan
fuqaha, yang dianggap oleh sebagian ulama sebagai cikal bakal
konsep asuransi syariah. Jadi Aqilah merupakan tanggung jawab
kelompok, sehingga para ahli hukum Islam mengklaim bahwa
dasar dari tanggung jawab kelompok itu terdapat pada system
aqilah sebagaimana dipraktekkan oleh kaum Muhajirin dan
Anshor.
2) Al-Muwalat (perjanjian jaminan)
Yaitu perjanjian jaminan. Penjamin menjamin seseorang
yang tidak memilliki waris dan tidak diketahui ahli warisnya.
Penjamin setuju untuk menanggung bayarannya, jika orang yang
dijamin tersebut melakukan jinayah. Apabila orang yang dijamin
meninggal, maka penjamin boleh mewarisi hartanya sepanjang
tidak ada ahli warisnya.
3) Al-Qasamah
44
Konsep perjanjian ini juga berhubungan dengan jiwa
manusia. Sistem ini melibatkan usaha pengumpulan dana dalam
sebuah tabungan atau pengumpulan uang iuran dari peserta atau
majelis.
4) Al-Tahamud
Makanan yang dikumpulkan dari para peserta safar
kemudian dicampur menjadi satu. Makanan tersebut dibagikan
pada saatnya kepada mereka kendati mereka mendapatkan porsi
yang berbeda-beda. Dalam kasus ini, makanan yang diserahkan
bisa jadi sama kadarnya atau berbeda-beda. Begitu halnya dengan
makanan yang diterima, bisa jadi sama porsinya dan bisa berbedabeda.
5) Al Umra
Al Baji (494 H) bemadzhab Maliki ketika mendiskusikan
masalah jual beli gharar mengatakan “ jika A menyerahkan
rumahnya kepada pihak B dengan kompensasi B memberikan
biaya hidup kepada A sampai ia meninggal”. Albaji berkomentar
“saya tidak setuju dengan model transaksi seperti itu, tapi jika
terjadi, saya tidak membatalkannya.
Rumah, dalam kasus diatas, sebagai premi dalam asuransi,
sedangkan biaya hidup selama hayat adalah sebagai manfaat
asuransi yang akan diperoleh oleh (A)/peserta. Dr. Jafril Khalil,
dalam makalahnya menambahkan beberapa bentuk-bentuk akad
lainnya, selain yang telah kita jelaskan diatas yang mirip dengan
konsep asuransi dan sudah jama’ dan biasa digunakan di dunia
Islam, diantaranya:
a) Kontak pengawal keselamatan;
b) Jaminan keamanan lalu lintas, suatu akad yang diterima oleh
ulama’ Madzhab Hanafi;
c) Penerimaan pengganti bayaran bila barang amanah rusak;
45
d) Sistem pensiun.
6) Aqd al-hirasah (Kontrak Pengawal Keselamatan)
Di dunia Islam terjadi berbagai kontrak antar individu,
misalnya ada individu yang ingin selamat lalu ia membuat kontrak
dengan seseorang untuk menjaga keselamatannya, dimana ia
membayar sejumlah uang kepada pengawal, dengan konpensasi
keamanannya akan dijaga oleh pengawal.
7) Dhiman Khatr Tariq
Kontrak ini merupakan jaminan keselamatan lalu lintas.
Para pedagang muslim pada masa lampau ingin mendapatkan
perlindungan keselamatan, lalu ia membuat kontrak dengan orangorang yang kuat dan berani di daerah rawan. Mereka membayar
sejumlah uang, dan pihak lain menjaga keselamatan perjalanannya.
8) Al-Wadi’ah biujrin
Dalam kontrak wadiah ini jikalau kerusakan pada barang
ketika dikembalikan, maka pihak penerima wadiah wajib
menggantinya, karena ketika menitipkan pihak penitip telah
membayar sejumlah uang kepada tempat penitipan.
9) Nizam al-Taqaud
Sistem pensiun yang sudah lama berjalan di dunia Islam.
Jadi pegawai suatu instansi berhak mendapat jaminan haritua
berupa pensiun.
Bentuk-bentuk muamalah diatas, karena memiliki kemiripan
dengan prinsip-prinsip asuransi Islam, oleh sebagian ulama dianggap
sebagai embrio dan acuan operasional asuransi Islam yang dikelola
secara profesional. Bedanya, sistem muamalah tersebut didasari atas
amal Tathowwu’ dan tabarru’ terbuka yang tidak berorientasi kepada
profit.
46
e. Jenis-jenis Asuransi Syariah
Asuransi syariah dibagi menjadi dua jenis, yaitu :
1) Asuransi Jiwa (life insurance)
Dalam
asuransi
jiwa
ini
fokus
utamanya
adalah
memberikan layanan dan bantuan yang menyangkut jiwa dan
keluarga yang mana untuk mempersiapkan diri dalam kehidupan
yang akan datang seperti dana siswa untuk masa depan anak, dana
haji untuk mempersiapkan bekal haji, dan lain-lain. Dalam
Asuransi Takaful, asuransi jiwa dapat diklasifikasikan sebagai
berikut :
a) Produk yang ada unsur tabungan (Saving)
(1) Takaful Dana Investasi
(2) Takaful Dana Siswa
(3) Takaful Dana Haji
(4) Takaful Dana Jabatan
(5) Takaful Hasanah
b) Produk-produk Individu (Non Saving)
(1) Takaful Kesehatan Individu
(2) Takaful Kecelakaan Diri Individu
(3) Takaful Al-Khairat Individu
c) Produk-produk Kumpulan
(1) Takaful Kecelakaan Diri Kumpulan
(2) Takaful Kecelakaan Siswa
(3) Takaful Wisata dan Perjalanan
(4) Takaful Pembiayaan
(5) Takaful Majelis Taklim
(6) Takaful Al Khairat
(7) Takaful Medicare
(8) Takaful Al-Khairat+ Tabungan Haji (Takaful Iuran Haji)
(9) Takaful Perjalanan Haji dan Umrah
2) Asuransi Umum (general insurance)
47
Yaitu asuransi syariah yang fokus utamanya adalah
memberikan pelayanan dan bantuan menyangkut asuransi di
bidang
kerugian
seperti
perlindungan
dari
kebakaran,
pengangkutan, niaga dan kendaraan bermotor. Dalam Asuransi
Takaful terdiri dari :
a) Produk-produk Simple Risk
(1) Takaful Kebakaran (fire insurance)
(2) Takaful Kendaraan Bermotor (motor vehicle insurance)
(3) Takaful Kecelakaan Diri (personal accident insurance)
b) Produk-produk Mega Risk
(1) Takaful Kebakaran (industrial risk)
(2) Takaful Rekayasa (engineering insurance)
(3) Takaful Pengangkutan (cargo insurance)
(4) Takaful Surety Bond (construction contract insurance)
(5) Takaful Rangka Kapal (marine hull insurance)
(6) Takaful Energi (oil and gas insurance)
(7) Takaful Tanggung Gugat (liability insurance)
c. Tinjauan Tentang Perlindungan Hukum Peserta Asuransi
a. Pengertian Perlindungan Hukum Asuransi
1) Pihak-pihak dalam Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah
Hubungan antara nasabah (peserta asuransi) dengan
perusahaan asuransi adalah hubungan antar subjek hukum sebagai
pembawa hak dan kewajiban. Pengertian subjek hukum adalah
orang dan badan, sedangkan pengertian badan adalah badan hukum
dan bukan badan hukum. Pembedaan demikian akan menyangkut
terhadap identifikasi nasabah. Landasan utama dalam perjanjian
tersebut adalah dipenuhinya syarat-syarat sahnya perjanjian
sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu adanya
kecakapan untuk membuat perjanjian, adanya kesepakatan
48
mengenai suatu hal tertentu dan sebab yang halal. Sebagai subjek
hukum, kedua belah pihak harus juga memenuhi aspek hukum dari
subjek hukum.
a) Pihak nasabah
(1) Orang
Nasabah dapat berupa orang atau badan. Nasabah terbagi
menjadi orang yang dewasa dan orang yang belum dewasa.
Nasabah orang yang belum dewasa memang dianggap
belum cakap untuk membuat suatu perjanjian namun
dimungkinkan
mengikuti
program-program
asuransi,
asalkan tetap berdasarkan kesepakatan oleh wali atau orang
tuanya. Biasanya orang yang belum dewasa menjadi peserta
program asuransi pendidikan, dana siswa, beasiswa, dsb.
(2) Badan
Untuk nasabah berupa badan, perlu diperhatikan aspek
legalitas badan tersebut serta kewenangan bertindak dari
pihak yang berhubungan dengan perusahaan asuransi.
Secara umum, pembagian bentuk usaha dari badan usaha
adalah sebagai berikut:
(a) Macam-Macam Badan Bukan Badan Hukum
(i) Persekutuan Perdata, diatur dalam Pasal 1618 s/d
1652 KUHPerdata;
(ii) Firma, diatur dalam Pasal 16 s/d 18 dan 22 s/d 35
KUHDagang;
(iii)Persekutuan Komanditer, diatur dalam Pasal 19 s/d
21 KUHDagang.
(b) Macam-Macam Badan Hukum
(i)
Badan Hukum Publik, seperti Negara/Pemda;
49
(ii)
Perseroan Terbatas, diatur dalam UU No. 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
(iii) Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), diatur
dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah, yang menyatakan bahwa pemerintah
daerah dapat membentuk BUMD;
(iv) Badan Usaha Milik Negara (BUMN), diatur
dalam UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan
Usaha Milik Negara;
(v)
Koperasi, yang diatur dalam UU No. 25 Tahun
1992 tentang Perkoperasian;
(vi) Yayasan, diatur dalam UU No. 17 Tahun 2001
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 28
Tahun 2004;
(vii) Badan Hukum Milik Negara (BHMN), diatur
dalam PP No. 152 tahun 2000 tentang Status
Perguruan Tinggi Negeri Menjadi BHMN;
(viii) Dana Pensiun, diatur dalam UU No. 11 Tahun
1992 tentang Dana Pensiun;
(ix) Partai Politik dan Organisasi Kemasyarakatan
yang memenuhi syarat sebagai badan hukum (UU
No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik dan UU
No.
8
Tahun
1988
tentang
Organisasi
Kemasyarakatan jo PP No. 18 Tahun 1986);
(x)
Perkumpulan Umum, diatur dalam Pasal 1653 s/d
1665 KUHPerdata;
(xi) Usaha Perorangan;
(xii) Badan Usaha yang dalam perkembangannya
terdapat bentuk-bentuk usaha lain dengan nama
yang berbeda-beda, seperti konsorsium, yang
diatur dalam Pasal 1618 s/d 1652 KUHPerdata.
50
b) Pihak Perusahaan Asuransi
Pasal 7 ayat (1) UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian menyatakan bahwa usaha perasuransian hanya
dapat dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk :
(1) Perusahaan Perseroan (PERSERO);
(2) Koperasi;
(3) Perseroan Terbatas;
(4) Usaha Bersama (Mutual).
Bagi perusahaan asuransi yang berbentuk perseroan
terbatas berlaku juga azas-azas umum dalam perseroan
terbatas, diantaranya adanya limitatif tanggung jawab. Azas
“terbatas” dalam perseroan terbatas sering dijadikan landasan
berlindung dari tuntutan hukum. Berdasarkan Pasal 1 ayat (1)
UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang
selanjutnya disebut perseroan adalah badan hukum yang
merupakan
persekutuan
modal,
didirikan
berdasarkan
perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang
seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan
yang
ditetapkan
dalam
undang-undang
serta
peraturan
pelaksanaannya.
Pengertian asuransi dalam Pasal 1 UU No. 2 Tahun
1992 menyebutkan istilah penanggung dan tertanggung. Arti
kata penanggung, dalam hal ini adalah perusahaan asuransi,
merupakan pihak yang menerima premi asuransi dari tertanggung
dan menanggung risiko atas kerugian atau musibah yang menimpa
harta benda yang diasuransikan. Sedangkan tertanggung, yang
dalam hal ini adalah nasabah atau peserta asuransi, merupakan
seseorang atau badan hukum yang memiliki atau berkepentingan
atas harta benda yang diasuransikan.
51
Dalam asuransi syariah terdapat dua pihak utama yaitu
pihak peserta asuransi dan pihak perusahaan asuransi. Berbeda
dengan asuransi konvensional, yang terjadi adalah hubungan
antara penanggung (perusahaan asuransi) dan tertanggung
(peserta asuransi) yang mana perusahaan asuransi menanggung
kerugian, resiko, dan musibah yang terjadi pada peserta
asuransi. Yang terjadi dalam asuransi syariah adalah para
peserta asuransi yang saling bertanggungjawab terhadap
dirinya atau wajib ditanggung bersama (risk sharing), yang
mana di dalamnya diterapkan prinsip-prinsip kerjasama,
proteksi dan saling bertanggungjawab.
Peranan perusahaan asuransi terbatas pada pengelolaan
operasi perusahaan asuransi (underwriter, collector, claim
payer) dan investasi dana-dana asuransi yang terkumpul (fund
manager). Perusahaan asuransi syariah dalam menjalankan
bisnisnya mendapatkan fee atas jasa akseptasi, underwriting,
collection, claim, dan manajemen. Selain itu perusahaan
asuransi syariah akan mendapat bagi hasil atas investasi dana
peserta dan dapat pula memperoleh alokasi surplus berdasarkan
perjanjian. Premi yang dibayarkan peserta asuransi tidak
otomatis menjadi hak milik perusahaan asuransi. Tetapi
merupakan
kepemilikan
kolektif
para
pemegang
polis.
Kemudian, kumpulan dana dari pembayaran premi tersebut
digunakan untuk menanggung resiko diantara peserta asuransi.
2) Perlindungan Hukum dalam Asuransi
Agar perjanjian asuransi berjalan sebagaimana yang
diharapkan, diperlukan adanya peraturan yang memadai sehingga
masing-masing pihak memahami hak dan kewajibannya untuk
dilaksanakan. Sebagai tindak lanjut diperlukan pula pengawasan
52
yang tepat. Diperlukannya hal demikian adalah dengan alasanalasan antara lain seperti berikut ini :
a) Dari Pasal 246 KUHD dapat disimpulkan bahwa asuransi
merupakan perjanjian timbal balik yang berarti masing-masing
pihak mempunyai hak dan kewajiban yang saling berhadaphadapan. Oleh sebab itu dalam hubungan dengan pemegang
polis, di samping harus melaksanakan kewajiban-kewajibannya
juga perlu mendapat perlindungan untuk menuntut hak-haknya.
Adanya peraturan yang memadai dan mudah dipahami akan
sangat membantu pemegang polis;
b) Perkembangan usaha asuransi memerlukan kepercayaan dari
masyarakat. Sudah selayaknyalah apabila kepercayaan itu telah
diletakkan atasnya, maka perlindungan harus diberikan
sepenuhnya terhadap kemungkinan segala tindakan dari
perusahaan asuransi yang merugikannya;
c) Penutupan perjanjian asuransi berhubungan pula dengan
kepercayaan pemegang polis yang meminta perlindungan
terhadap risiko yang mungkin menimpanya yang berkaitan pula
dengan penyerahan dan (premi) untuk dikelolanya yang secara
keseluruhan
perlindungan
akan
besar
terhadap
jumlahnya.
pemegang
Dengan
polis
yang
demikian
meminta
perlindungan tersebut sudah sewajarnya diberikan;
d) Sifat perjanjian asuransi sangat teknis perumusannya serta
sepihak sifatnya. Pihak pemegang polis tidak berkesempatan
untuk mengubah kondisi-kondisi yang tertera pada polis sedang
di lain pihak proteksi asuransi dirasakannya perlu. Dengan
demikian dapat dikatakan pemegang polis yang pada umumnya
awam dalam menelaah perjanjian demikian perlu diberi
perlindungan;
e) Perjanjian asuransi mempunyai sifat dan ciri yang khusus,
antara lain perjanjian asuransi merupakan perjanjian aletoir dan
53
bukan perjanjian komutatif, perjanjian asuransi merupakan
perjanjian sepihak, dan perjanjian asuransi adalah perjanjian
yang melekat pada syarat penanggung. Dengan adanya sifat
yang khusus pada perjanjian asuransi tersebut maka diperlukan
adanya peraturan, tata cara serta syarat-syarat yang khusus
pula.
Ketentuan yang berkaitan dengan perjanjian asuransi
terdapat dalam KUH Perdata, KUHD, peraturan perundangundangan lainnya lainnya, dan praktek asuransi seperti yang dapat
dipelajari dalam polis dan yurisprudensi. Berikut perlindungan
yang dapat diberikan pada pemegang polis berdasarkan ketentuan
hukum yang berlaku:
a) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
Ketentuan umum perjanjian dalam KUH Perdata dapat
berlaku pula bagi perjanjian asuransi dengan kepentingan
pemegang polis, terdapat beberapa ketentuan dalam KUH
Perdata yang perlu diperhatikan, antara lain:
(1) Pasal 1320 KUH Perdata yang mengatur mengenai syarat
sahnya perjanjian yaitu:
(a) Sepakat mereka yang mengikatkan diri;
(b) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
(c) Suatu hal tertentu;
(d) Suatu sebab yang halal.
Apabila perjanjian asuransi tersebut dinyatakan
batal baik untuk seluruhnya maupun untuk sebagian dan
tertanggung/
pemegang
polis
beritikad
baik,
maka
pemegang polis tersebut berhak menuntut pengembalian
premi yang sudah dibayarkannya (Pasal 281 KUHD);
(2) Pasal 1266 KUH Perdata mengatur bahwa syarat batal
dianggap selalu dicantumkan dalam perjanjian timbal balik
54
apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.
Namun demikian disebutkan pula bahwa perjanjian tidak
batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan
kepada hakim;
(3) Apabila ternyata penanggung wajib memberikan ganti
kerugian atau sejumlah uang dalam perjanjian asuransi dan
ternyata melakukan ingkar janji, maka pemegang polis
dapat menuntut penggantian biaya, rugi dan bunga dengan
memperhatikan Pasal 1267 KUH Perdata yang menyatakan
bahwa pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat
memilih apakah ia akan memaksa pihak lain untuk
memenuhi perjanjian atau apakah ia akan menuntut
pembatalan dengan biaya ganti kerugian;
(4) Perjanjian asuransi juga termasuk perikatan bersyarat, maka
sebaiknya pemegang polis memperhatikan ketentuan Pasal
1253 s/d Pasal 1262 KUH Perdata;
(5) Ahli
waris
pemegang
polis
juga
berhak
atas
dilaksanakannya prestasi dari perjanjian tersebut. Hal ini
dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1318 KUH Perdata;
(6) Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata mengatakan bahwa
semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi yang membuatnya. Hal ini melahirkan
asas kebebasan berkontrak, asas kekuatan mengikat, dan
asas kepercayaan. Bila dihubungkan dengan perjanjian
asuransi bahwa pihak penanggung dan tertanggung/
pemegang polis terikat untuk melaksanakan ketentuan
perjanjian yang telah disepakati. Sehingga pemegang polis
mempunyai landasan hukum untuk menuntut penanggung
melaksanakan prestasinya;
(7) Pasal 1339 KUH Perdata berbunyi bahwa perjanjian tidak
hanya
mengikat
untuk
hal-hal
yang dengan
tegas
55
dinyatakan di dalamnya, tapi juga untuk segala sesuatu
yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan,
kebiasaan, atau undang-undang. Sehingga kepentingan
pemegang polis perjanjian asuransi asas di atas perlu
mendapat perhatian;
(8) Pasal 1342 KUH Perdata menafsirkan perjanjian harus
diperhatikan pula oleh para pihak yang mengadakan
perjanjian asuransi;
(9) Pasal 1365 KUH Perdata tentang perbuatan melanggar
hukum dapat juga dipergunakan oleh pemegang polis,
apabila dapat membuktikan penanggung telah melakukan
perbuatan yang merugikannya;
Demikianlah antara lain ketentuan-ketentuan dalam
KUH Perdata yang dapat dipergunakan oleh pemegang polis
dalam mempertahankan hak-haknya pada suatu perjanjian
asuransi.
b) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)
Dalam hubungan dengan perlindungan kepentingan
pemegang polis asuransi, di dalam KUHD terdapat pula
beberapa peraturan lainnya yang harus diperhatikan, antara
lain:
(1) Pasal 254 KUHD yang melarang para pihak dalam
perjanjian untuk melepaskan hal-hal yang oleh ketentuan
undang-undang diharuskan sebagai pokok suatu perjanjian
asuransi. Apabila hal demikian dilakukan mengakibatkan
perjanjian asuransi itu batal;
(2) Pasal 257 dan Pasal 258 KUHD menafsirkan bahwa
perjanjian asuransi juga merupakan perjanjian konsensual,
sehingga telah terbentuk dengan adanya kata sepakat kedua
pihak. Dalam hal ini polis hanya merupakan bukti saja.
56
Apabila kedua pihak menutup perjanjian asuransi tetapi
polisnya belum dibuat, maka tertanggung tetap berhak
menuntut ganti rugi apabila peristiwa yang diperjanjikan
terjadi. Adapun yang harus dilakukan tertanggung adalah
membuktikan bahwa perjanjian tersebut telah terbentuk;
(3) Pasal 260 dan 261 KUHD yang mengatur tentang asuransi
yang ditutup dengan perantaraan makelar. Mengenai
perjanjian asuransi yang ditutup melalui perantaraan
dikenal tentang petugas Dinas Luar dan broker asuransi.
Apabila terdapat kesalahan yang dilakukan broker asuransi
dalam melakukan pelayanan terhadap tertanggung, maka
broker dapat dituntut secara perdata maupun pidana. Secara
moralpun broker asuransi merasa berkewajiban untuk
menggantikan kerugian yang diderita nasabah atau pihak
lain akibat perbuatan broker asuransi;
(4) Pasal 269 KUHD yang mengatur bahwa dalam perjanjian
asuransi dianut peristiwa yang belum pasti terjadi secara
subyektif. Maksudnya, peristiwa dapat dinyatakan batal jika
tertanggung atau yang memberikan kuasa telah mengetahui
sebelumnya bahwa kerugian atau peristiwa tersebut telah
terjadi. Ketentuan tersebut merupakan peraturan menambah
sehingga tertanggung atau pemegang polis yang tetap ingin
melangsungkan perjanjian dengan kondisi tertentu dapat
memperjanjikan lain secara tegas;
(5) Pasal 271 KUHD mengatur mengenai hak penanggung
untuk menutup kembali (reasuransi) penanggungannya
kepada perusahaan asuransi yang lain. Dengan ditutupnya
perjanjian asuransi berakibat bahwa penanggung bersedia
memberikan ganti rugi atau sejumlah uang apabila terjadi
kerugian yang menimpanya. Sehingga dapat dikatakan
bahwa tindakan menutup reasuransi di samping melindungi
57
penanggung pertama juga secara tidak langsung melindungi
kepentingan pemegang polis;
(6) Pemegang polis yang ragu-ragu terhadap kemampuan
penanggungnya dapat menutup lagi asuransi dengan
penanggung yang lain dengan memperhatikan Pasal 280
KUHD;
(7) Pasal 281 KUHD yang mengatur tentang premi restorno,
ditentukan bahwa pemegang polis dapat menuntut kembali
premi yang sudah dibayarkan dengan syarat apabila
asuransi gugur atau batal, pemegang polis beritikad baik,
dan penanggung belum memberikan ganti rugi seluruhnya
maupun sebagian;
(8) Agar pemegang polis terlindungi dalam menuntut hakhaknya maka harus memperhatikan kewajiban yang
ditentukan oleh Pasal 283 KUHD.
c) Peraturan Perundang-undangan
Selain terdapat pengaturannya dalam KUH Perdata dan
KUHD, perasuransian juga terdapat di dalam peraturan
perundang-undangan lainnya, diantaranya:
(1) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 40 Tahun
1988 tanggal 26 Oktober 1988 Tentang Usaha di Bidang
Asuransi Kerugian;
(2) Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
1249/KMK.013/1988 tanggal 20 Desember 1988 Tentang
Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Usaha di Bidang
Asuransi Kerugian;
(3) Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
1250/KMK.013/1988 tanggal 20 Desember 1988 Tentang
Usaha Asuransi Jiwa.
58
Mengenai perlindungan terhadap tertanggung maka
undang-undang yang terkait adalah UU No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen. Karena tertanggung atau
nasabah asuransi merupakan konsumen dari produk yang
ditawarkan oleh perusahaan asuransi. Dalam Pasal 18 UUPK
ada rambu-rambu yang harus diperhatikan dalam pencantuman
klausula baku dalam kontrak, yaitu :
(1) Pelaku usaha dalam menawarkan menawarkan barang
dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan
dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada
setiap dokumen perjanjian apabila :
a) Menyatakan pengalihan tanggung tanggung jawab
pelaku usaha;
b) Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan
barang atau pemanfaatan pemanfaatan jasa yang dibeli
oleh konsumen;
c) Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi
manfaat
jasa
atau
mengurangi
harta
kekayaan
konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
d) Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada
pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan
tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap
barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang
letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca
secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
Pencantuman klausula baku dari perusahaan asuransi
yang melanggar ketentuan dalam Pasal 18 UUPK, akan
mengakibatkan kontrak tersebut bertentangan dengan hukum
yang berlaku dan mengakibatkan klausula baku tersebut batal
59
demi hukum. Sehingga, pelaku usaha wajib menyesuaikan
klausula baku yang bertentangan dengan undang-undang ini.
d) Polis Asuransi
Meskipun polis bukan merupakan syarat mutlak untuk
terbentuknya perjanjian asuransi, akan tetapi polis tersebut
cukup penting. Hal itu disebabkan dalam polis yang
bersangkutan dapat diketahui isi dari perjanjian asuransi yang
telah ditutup oleh pemegang polis dan penanggung. Dengan
demikian, pemegang polis dapat mengetahui kewajiban dan
hak-haknya, sesuai dengan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata
yang mengikat para pihak sebagaimana undang-undang (Man
Suparman, 2003: 28).
e) Yurisprudensi
Tidak diragukan lagi bahwa yurisprudensi sangat
membantu dalam praktek perasuransian dan perkembangannya.
Oleh sebab itu sebagai bahan perbandingan, yurisprudensi
negeri Belanda dapat dijadikan pedoman. Dalam hubungan
dengan kepentingan pemegang polis perlu juga mendapat
perhatian, misalnya dalam yurisprudensi di Belanda tanggal 19
Mei 1978 mempertimbangkan bahwa jika penanggung sendiri
sudah tahu tentang adanya suatu keadaan yang dapat dipakai
untuk menolak klaim, namun tidak memberitahukan kepada
tertanggung, maka berdasarkan asas itikad baik, klaim yang
bersangkutan tidak boleh ditolak.
Seperti yang telah dikemukakan di atas, ketentuan hukum
mengenai usaha perasuransian telah diatur dalam hukum positif di
Indonesia, situasi ini mendorong perkembangan perusahaan
asuransi di Indonesia semakin marak. Namun, hal lain yang sering
60
dipermasalahkan atas asuransi konvensional adalah adanya dana
hangus. Meskipun telah ada peraturan perundang-undangan yang
melindungi kepentingan peserta asuransi, akan tetapi dalam
prakteknya bila ada peserta yang tidak dapat melanjutkan
pembayaran premi dan ingin mengundurkan diri sebelum reversing
period, dana peserta itu hangus dan bila masa kontrak habis dan
tidak terjadi klaim, premi yang akan dibayarkan akan hangus,
sekaligus menjadi milik asuransi. Hal ini jelas merugikan peserta
asuransi.
b.
Pembinaan dan Pengawasan Usaha Perasuransian
Menurut Pasal 8 Keputusan Presiden RI Nomor 40 Tahun
1989 Tentang Usaha di Bidang Asuransi Kerugian, diatur bahwa
yang berwenang mengadakan pembinaan dan pengawasan usaha
asuransi adalah Menteri Keuangan. Pengawasan dan pembinaan
tersebut
ditujukan
terhadap
perusahaan
asuransi
kerugian,
perusahaan reasuransi, perusahaan broker asuransi, dan adjuster
asuransi. Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1978 sebelumnya
telah
menetapkan
pula
bahwa
instansi
pengawas
usaha
perasuransian berada di bawah Departemen Keuangan, yaitu
Direktorat Lembaga Keuangan dalam lingkungan Direktorat
Jenderal Moneter Dalam Negeri.
Pembinaan dan Pengawasan ini meliputi:
a) Kesehatan keuangan bagi perusahaan asuransi kerugian bagi
perusahaan asuransi jiwa dan perusahaan reasuransi, yang
terdiri dari :
(1) Batas tingkat solvabilitas;
(2) Retensi sendiri;
(3) Reasuransi;
(4) Investasi;
61
(5) Cadangan Teknis;
(6) Ketentuan-ketentuan
lain
yang
berhubungan
dengan
kesehatan keuangan.
b) Penyelenggaraan usaha terdiri dari :
(1) Syarat-syarat polis asuransi;
(2) Tingkat premi;
(3) Penyelesaian klaim;
(4) Persyaratan keahlian di bidang perasuransian;
(5) Ketentuan-ketentuan
lain
yang
berhubungan
dengan
penyelenggaraan usaha.
Pembinaan dan pengawasan yang tersebut di atas termasuk
jenis pengawasan aktif. Sedangkan jenis pengawasan pasif dapat
dilakukan melalui kewajiban-kewajiban perusahaan asuransi yang
terdiri dari :
a) Setiap perusahaan asuransi wajib menyampaikan neraca
perhitungan laba rugi perusahaan beserta penjelasannya kepada
Menteri;
b) Setiap perusahaan asuransi wajib menyampaikan laporan
operasional kepada Menteri;
c) Setiap perusahaan asuransi wajib mengumumkan neraca dan
perhitungan laba rugi perusahaan dalam surat kabar harian di
Indonesia yang memiliki peredaran luas;
d) Khusus untuk asuransi jiwa, perusahaan asuransi wajib
menyampaikan laporan investasi kepada menteri.
Pada Asuransi Takaful, seluruh kegiatan diawasi, Dewan
Pengawas Syariah (DPS) baik dari segi operasional perusahaan,
investasi maupun sumberdaya manusia (SDM), Dewan Syariah
Nasional
(DSN),
dan
Badan
Arbitrase
(BASYARNAS).
a) Dewan Pengawas Syariah (DPS)
Syariah
Nasional
62
Perusahaan yang beroperasi berdasarkan sistem syariah.
setiap perusahaan asuransi syariah, harus membentuk Dewan
Pengawas
Syariah.
Pembentukan,
pengangkatan,
dan
pemberhentian pengurus Dewan Pengawas Syariah adalah
berdasarkan Rapat Umum Pemegang Saham setelah mendapat
rekomendasi dari Dewan Syariah Nasional.
Salah satu tugas Dewan Pengawas Syariah adalah
mengawasi pelaksanaan keputusan Dewan Syariah Nasional di
perusahaan syariah tersebut.
Fungsi Dewan Pengawas Syariah adalah:
(1) Melakukan pengawasan secara periodik pada perusahaan
syariah yang berada di bawah pengawasannya;
(2) Berkewajiban
mengajukan
usul-usul
pengembangan
perusahaan syariah kepada pimpinan perusahaan dan
Dewan Syariah Nasional;
(3) Melaporkan
perkembangan
produk
dan
operasional
perusahaan syariah yang diawasinya kepada Dewan Syariah
Nasional sekurang-kurangnya dua kali dalam satu tahun
anggaran;
(4) Merumuskan
masalah-masalah
yang
memerlukan
pembahasan Dewan Syariah Nasional;
(5) Berlaku sebagai mediator antara Lembaga Keuangan
Syariah dengan Dewan Syariah Nasional (DSN) dalam
mengkomunikasikan usul dan saran pengembangan produk
dan
jasa
dari
Lembaga
Keuangan
Syariah
yang
memerlukan kajian dan fatwa dari DSN.
Peran utama para ulama dalam Dewan Pengawas
Syariah adalah mengawasi jalannya operasional sehari-hari
perusahaan syariah agar selalu sesuai dengan ketentuan syariah.
63
Fungsi pengawasan DPS berlangsung sejak produkproduk syariah akan berjalan hingga akad tersebut selesai. Ini
berguna untuk menghindari penyimpangan yang sering terjadi
pada saat akad tersebut dibuat, baik dari para pihak maupun
dari pelaksanaan isi akad.
Struktur Dewan Pengawas Syariah adalah:
(1) Dewan Pengawas Syariah dalam struktur perusahaan
setingkat dengan fungsi komisaris sebagai pengawas
direksi;
(2) Dewan Pengawas Syariah melakukan pengawasan kepada
manajemen dalam kaitannya dengan implimentasi sistem
dan produk-produk agar tetap sesuai dengan syariah Islam;
(3) Dewan
Pengawas
Syariah
bertanggung
jawab
atas
pembinaan akhlak seluruh karyawan berdasarkan sistem
pembinaan keIslaman yang telah diprogramkan setiap
tahun;
(4) Dewan Pengawas Syariah ikut mengawasi pelanggaran
nilai-nilai di lingkungan perusahaan tersebut;
(5) Dewan Pengawas Syariah bertanggung jawab atas seleksi
karyawan baru yang dilaksanakan biro syariah.
b) Dewan Syariah Nasional (DSN)
Dewan Syariah Nasional adalah badan yang dibentuk
oleh Majelis Ulama Indonesia untuk menangani berbagai
masalah yang berhubungan dengan aktifitas perusahaan syariah
seluruh Indonesia. Kedudukan, status, dan anggota Dewan
Syariah Nasional diatur sebagai berikut :
(1) Dewan Syariah Nasional merupakan bagian dari Majelis
Ulama Indonesia;
64
(2) Dewan Syariah Nasional membantu pihak terkait, seperti
Departemen Keuangan, Bank Indonesia, dan lembaga lain
dalam menyusun peraturan untuk lembaga keuangan
syariah;
(3) Anggota Dewan Syariah Nasional terdiri dari ulama,
praktisi, dan pakar-pakar dalam bidang terkait dengan
muamalah syariah;
(4) Anggota Dewan Syariah ditunjuk dan diangkat oleh Majelis
Ulama Indonesia dengan masa bakti sama dengan periode
masa bakti pengurus Majelis Ulama Indonesia pusat selama
5 tahun.
Tugas Dewan Syariah Nasional adalah:
(1) Menumbuhkembangkan penerapan prinsip-prinsip syariah
dalam
kegiatan
perekonomian
pada
umumnya
dan
keuangan khususnya;
(2) Mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan dan
produk atau jasa keuangan syariah.
Wewenang Dewan Syariah Nasional adalah:
(1) Mengeluarkan fatwa yang terkait Dewan Pengawas Syariah
di masing-masing perusahaan syariah dan menjadi dasar
hukum pihak terkait;
(2) Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi peraturan
yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, seperti
Departemen Keuangan dan Bank Indonesia, dan lain-lain.;
(3) Mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah
yang diperlukan dalam pembahasan ekonomi syariah,
termasuk otoritas moneter dalam dan luar negeri;
65
(4) Memberikan peringatan kepada perusahaan syariah untuk
menghentikan penyimpangan dari fatwa yang telah
dikeluarkan Dewan Syariah Nasional;
(5) Mengusulkan kepada instansi yang berwenang untuk
mengambil tindakan apabila peringatan tidak diindahkan.
c) Badan Arbitrase Syariah Nasional ( BASYARNAS )
Lembaga yang melakukan penyelesaian sengketa
keperdataan secara syariah berdasarkan Al-Quran dan Al-Hadis
terhadap sengketa lembaga keuangan syariah (termasuk
Perusahaan Asuransi Syariah) dengan pemerintah, lembaga
keuangan lainnya, ataupun masyarakat. Badan ini merupakan
penyelesaian sengketa yang dipilih secara sukarela oleh para
pihak yang bersengketa.
2. Kerangka Pemikiran
Dalam melakukan penelitian ini maka perlu adanya sebuah kerangka
berpikir yang sistematik agar penelitian yang didapat sesuai dengan tujuan.
Maka kerangka pemikiran yang dikembangkan oleh peneliti digambarkan
sebagai berikut:
Asuransi
UU No. 2 Tahun 1992 tentang
Usaha Perasuransian
Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama
Indonesia No.21/DSN-MUI/X/2001 Tentang
Pedoman Umum Asuransi Syariah
Asuransi Syariah
66
Peserta Asuransi
Perusahaan Asuransi
Perjanjian Asuransi
Perlindungan Hukum Peserta Asuransi
Permasalahan yang timbul
Solusi
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Dalam Asuransi
Syariah
Salah satu bentuk hubungan hukum antara perusahaan asuransi
syariah dengan nasabahnya adalah diadakannya suatu perjanjian asuransi
yang disepakati kedua belah pihak. Agar perjanjian asuransi berjalan
sebagaimana yang diharapkan, diperlukan adanya peraturan yang memadai
sehingga masing-masing pihak memahami hak dan kewajibannya untuk
dilaksanakan. Pengaturan mengenai perlindungan nasabah dimuat dalam
67
landasan asuransi syariah itu sendiri, karena landasan asuransi syariah
adalah sumber dari pengambilan hukum praktik asuransi syariah.
a. Landasan dasar syariah yaitu berupa :
1) Al-Qur’an;
2) Sunnah Nabi;
3) Piagam Madinah;
4) Praktik Sahabat;
5) Ijma;
6) Syar’u Man Qablana;
7) Istihsan.
b. Landasan hukum asuransi syariah yaitu berupa :
1) Undang-Undang, antara lain :
a) Undang-Undang
No.
2
Tahun
1992
tentang
Usaha
Perasuransian;
b) Undang-Undang terkait lainnya, seperti Undang-Undang No. 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
2) Peraturan Pemerintah, antara lain :
a) Peraturan
Pemerintah
No.
73
Tahun
1992
tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian;
b) Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 1999 tentang Perubahan
Atas PP No. 73 Tahun 1992;
c) Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua Atas PP No. 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan
Usaha Perasuransian.
3) Keputusan Menteri Keuangan atau pejabat terkait lainnya, antara
lain :
a) Keputusan Menteri Keuangan No. 223/KMK.017/1993 tentang
Perizinan
Reasuransi;
Usaha
Perusahaan
Asuransi
dan
Perusahaan
68
b) Keputusan Menteri Keuangan No. 225/KMK.017/1993 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi;
c) Keputusan Menteri Keuangan No. 226/KMK.017/1993 tentang
Perizinan dan Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Penunjang
Usaha Asuransi;
d) Keputusan Menteri Keuangan No. 481/KMK.017/1993 tentang
Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi;
e) Keputusan Menteri Keuangan No. 424/KMK.06/2003 Tentang
Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi;
f) Keputusan Menteri Keuangan No. 426/KMK.06/2003 tentang
Perijinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan asuransi dan
Perusahaan Reasuransi;
g) Keputusan Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan Nomor
4499/LK/2000 Tentang Jenis, Penilaian, dan Pembatasan
Investasi Perusahaan Reasuransi dengan Sistem Syariah
4) Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSNMUI), antara lain :
a) Fatwa No.21/DSN-MUI/X/2001 Tentang Pedoman Umum
Asuransi Syariah;
b) Keputusan DSN-MUI tentang Pedoman Rumah Tangga, yang
secara umum memberikan penjelasan mengenai fungsi dan
tugas Dewan Syariah Nasional (DSN);
c) Fatwa No.43/DSN-MUI/VIII/2004 Tentang Ganti Rugi;
d) Fatwa
No.51/DSN-MUI/III/2006
Tentang
Mudharabah
Tentang
Mudharabah
Musytarakah Asuransi;
e) Fatwa
No.52/DSN-MUI/III/2006
Musytarakah Asuransi Wakalah bil Ujrah;
69
f) Fatwa No.53/DSN-MUI/III/2006 Tentang Tabarru’ pada
Asuransi Syariah;
g) Fatwa
No.53/DSN-MUI/III/2006 Tentang Tabarru’ pada
Asuransi Syariah Akad Tabarru’ pada Asuransi dan Reasuransi
Syariah.
Asuransi
takaful
pada
prinsipnya
bertumpu
pada
konsep
“wata’awanu ala biri wa taqwa” (tolong menolonglah dalam kebaikan dan
taqwa) dan al ta’min (rasa aman) menjadikan semua peserta asuransi
sebagai keluarga besar yang saling menjamin dan menanggung risiko satu
sama lainnya. Maka asuransi takaful keluarga meniadakan unsur gharar,
maisir dan riba.
2. Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Dalam Asuransi Syariah Di PT
Asuransi Takaful Kantor Cabang Perwakilan Surakarta
Melihat kian luas
dan beragamnya pola bisnis berbasis
perekonomian syariah maka aspek perlindungan hukum dan penerapan
asas perjanjian dalam akad atau kontrak di Lembaga Keuangan Syari’ah
menjadi penting diupayakan implementasinya. Dalam hal implementasi,
para pelaku dan pengguna ekonomi syariah harus menjalankan
kegiatannya berdasarkan prinsip syariah. Pola hubungan yang didasarkan
pada keinginan untuk menegakkan sistem syariah diyakini sebagai pola
hubungan yang kokoh antara perusahaan asuransi dan nasabah. Pola
hubungan antara pihak yang terlibat dalam Lembaga Keuangan syariah
tersebut ditentukan dengan hubungan akad. Hubungan akad yang
melandasi segenap transaksi inilah yang membedakannya dengan
perusahaan asuransi konvensional, karena
akad yang diterapkan
perusahaan asuransi syariah, memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi
karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam.
Dalam penerapan pola hubungan akad inilah sudah seharusnya
tidak terdapat penyimpangan-penyimpangan dari kesepakatan yang telah
70
dibuat oleh kedua belah pihak karena masing-masing menyadari akan
pertanggungjawaban dari akad tersebut. Tetapi dalam koridor masyarakat
yang sadar hukum, tidak dapat dihindari munculnya perilaku saling tuntut
menuntut satu sama lain. Sehingga kuantitas dan kompleksitas perkara
terutama perkara-perkara bisnis akan sangat tinggi dan beragam.
Dalam hal ini kontrak disebut juga akad atau perjanjian yaitu
bertemunya ijab yang diberikan oleh salah satu pihak dengan kabul yang
diberikan oleh pihak lainnya secara sah menurut hukum syar’i dan
menimbulkan akibat pada subyek dan obyeknya. Akad yang dituangkan
dalam perjanjian asuransi secara tertulis dalam bahasa arab disebut alwa'du al-maktub. Secara umum dinamakan polis. Polis asuransi
merupakan bukti tertulis atau surat perjanjian antara pihak-pihak yang
mengadakan perjanjian asuransi.
Beberapa akad yang terdapat dalam asuransi syariah, yaitu akad
tabarru (tolong-menolong), akad mudharabah (bagi hasil), dan jenis akad
tijarah (akad yang menuju tujuan komersial) yaitu akad al-musyarakah
(partnership), alwakala (pengangkatan wakil/agen), al-waidah (akad
penitipan), asy-syirkah (berserikat), al-musahamah (kontribusi) yang
dibenarkan secara syar'i dalam asuransi syariah.
Adapun ketentuan mengenai akad dalam asuransi adalah sebagai
berikut :
a. Jenis-jenis akad yang akan digunakan di takaful dalam rangka
mengeliminir adanya gharar dan maisir adalah :
1) Akad yang dilakukan antara peserta dengan perusahaan terdiri atas
akad tijarah dan/atau akad tabarru’;
2) Akad tijarah yang dimaksud adalah mudharabah, sedangkan akad
tabarru’ adalah hibah.
b. Dalam akad, sekurang-kurangnya harus disebutkan :
71
1) Hak dan kewajiban peserta dan perusahaan;
2) Cara dan waktu pembayaran premi;
3) Jenis akad tijarah dan/atau akad tabarru’ serta syarat-syarat yang
disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan.
c. Kedudukan para pihak dalam akad tijarah & tabarru’, adalah sebagai
berikut:
1) Dalam akad tijarah (mudharabah) perusahaan bertindak sebagai
mudharib (pengelola) dan peserta bertindak sebagai shahibul maal
(pemegang polis);
2) Dalam akad tabarrru’ (hibah), peserta memberikan hibah yang
akan digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena
musibah, sedangkan perusahaan bertindak sebagai pemegang
amanah atas pengelola dana tersebut.
Masalah seperti kekhawatiran adanya unsur gharar, maisir, dan
riba dapat selesai dengan benarnya akad. Takaful telah merubah akadnya
dan membagi dana peserta ke dalam dua rekening. Karena rekening
khusus yang menampung tabarru’ yang ada tidak bercampur dengan
rekening peserta, maka reversing period terjadi sejak awal. Kapan saja
peserta dapat mengambil uangnya (karena pada hakekatnya itu adalah
uang mereka sendiri), nilai tunai sudah ada (terbentuk) sejak awal tahun
pertama ia masuk. Dan karenanya tidak ada maisir, karena tidak ada pihak
yang dirugikan.
PT Asuransi Takaful Kantor Cabang Perwakilan Surakarta dalam
menjalankan kegiatan usahanya memiliki berbagai produk dan layanan.
Prinsip perjanjian Islam dalam asuransi syariah sebagai suatu perjanjian
yang bebas dari unsur gharar, maisir, dan riba mempunyai tujuan untuk
melindungi kepentingan kedua belah pihak, khususnya nasabah sebagai
pemegang polis. Perlindungan hukum terhadap nasabah di PT Asuransi
Takaful Kantor Cabang Perwakilan Surakarta berupa :
72
a. Berbagai produk dan layanan yang bebas dari unsur gharar, maisir,
dan riba. Jenis produk dan layanan pokok PT Asuransi Takaful Kantor
Cabang Perwakilan Surakarta meliputi asuransi Takaful Keluarga dan
asuransi Takaful Umum.
Produk dan layanan asuransi syariah yang telah dipilih
sebenarnya telah mengandung aspek perlindungan. Namun dalam
kenyataannya, masih banyak nasabah yang belum paham mengenai di
mana dapat ditemukan sisi perlindungan hukum nasabah asuransi
syariah yang dapat dijadikan jaminan atas perjanjian asuransinya.
Tentunya nasabah menginginkan suatu jaminan atas keikutsertaannya
dalam asuransi. Unsur perlindungan hukum lainnya dapat ditemukan
dalam berbagai prosedur di PT Asuransi Takaful Kantor Cabang
Perwakilan Surakarta.
b. Syarat Pengajuan Asuransi, yang memuat aplikasi identitas calon
nasabah (calon pemegang polis). Tujuan dari pengisian formulir
aplikasi ini adalah untuk memberikan data sebenar-benarnya mengenai
identitas nasabah sehingga apabila suatu saat mengajukan klaim, maka
nasabah dapat membuktikan bahwa dirinya berhak atas klaim yang
diajukan;
c. Bentuk pelaksanaan akad (perjanjian) yang dibuat secara tertulis dalam
bentuk Polis Asuransi Syariah. Di dalam polis ini mengandung unsur
hak dan kewajiban antara perusahaan asuransi dengan pemegang polis.
Dengan adanya polis, maka perjanjian antara kedua belah pihak
mendapatkan kekuatan secara hukum. Jenis polis yang terdapat di PT
Asuransi Takaful Cabang Surakarta meliputi :
1) Syarat Umum Polis Individu dalam asuransi Takaful Keluarga;
2) Syarat Umum yang terdapat pada masing-masing polis dalam
asuransi Takaful Umum.
73
d. Syarat-syarat Pengajuan Klaim, yaitu ketentuan yang harus dipenuhi
agar klaim yang diajukan nasabah mendapat persetujuan oleh
perusahaan asuransi. Tujuan dari diadakannya syarat pengajuan klaim
adalah agar para nasabah mendapat perlindungan atas hak-haknya,
yaitu dengan dikabulkannya permohonan pembayaran klaim asuransi
sesuai perjanjian yang telah disepakati.
e. Penyelesaian sengketa dalam asuransi syariah yang dilakukan menurut
Hukum Islam. Nasabah tentunya merasa lebih terlindungi secara
hukum apabila terdapat lembaga yang berwenang menyelesaikan
sengketa apabila terjadi perselisihan.
B. Pembahasan
1. Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Dalam Asuransi
Syariah
Asuransi Takaful merupakan asuransi yang memiliki landasan
syariah dan konsep tolong-menolong dalam kebaikan. Pengaturan
mengenai perlindungan nasabah dimuat dalam landasan asuransi syariah
itu sendiri, karena landasan asuransi syariah adalah sumber dari
pengambilan hukum praktik asuransi syariah. Terdapat dua macam
landasan dalam asuransi syariah, yaitu landasan dasar syariah dan landasan
hukum asuransi syariah. Landasan dasar syariah yaitu berupa Al-Qur’an,
sunnah Nabi, Piagam Madinah, praktik sahabat, ijma, syar’u man qablana,
dan istihsan. Sedangkan landasan hukum asuransi syariah yaitu berupa
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan
atau pejabat terkait lainnya, dan Fatwa MUI. Uraian landasan asuransi
syariah yaitu sebagai berikut:
a. Landasan Dasar
Sejak awal asuransi syariah dimaknai sebagai wujud dari bisnis
pertanggungan yang didasarkan pada nilai-nilai yang ada dalam ajaran
Islam, maka landasan yang dipakai dalam hal ini tidak jauh berbeda
74
dengan metodologi yang dipakai oleh sebagian ahli hukum Islam,
antara lain:
1) Al-Qur’an
Di antara ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai muatan nilainilai yang ada dalam praktik asuransi adalah:
a) QS al-Maidah (5): 2
Artinya: “…Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong
dalam
berbuat
dosa
dan
pelanggaran.
Dan,
bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah
amat
berat
siksa-Nya”
(Terjemahan
Yayasan
Penyelenggara Penterjemah / Pentafsir Al-Qur’an
Departemen Agama RI, 1971: 157).
Ayat ini memuat perintah untuk saling tolong-menolong
dan bekerja sama. Dalam asuransi syariah, nilai ini terlihat
dalam praktik kerelaan nasabah perusahaan asuransi untuk
menyisihkan dananya untuk digunakan sebagai dana sosial
yang digunakan untuk menolong salah satu nasabah yang
sedang terkena musibah.
b) QS al-Baqarah (2): 185
Artinya: “…Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki
kesukaran
bagimu…”
(Terjemahan
Yayasan Penyelenggara Penterjemah / Pentafsir AlQur’an Departemen Agama RI, 1971: 45).
Ayat di atas memuat pengertian bahwa manusia
dituntun oleh Allah SWT agar dalam setiap langkah
kehidupannya selalu dalam kemudahan dan tidak mempersulit
diri sendiri. Dalam konteks asuransi dapat dikatakan bahwa
dengan adanya lembaga asuransi syariah, seseorang dapat
memudahkan untuk menyiapkan dan merencanakan kehidupan
75
dan dapat melindungi kepentingan ekonominya dari kerugian
yang tidak disengaja.
c) QS al-Baqarah (2): 261
Artinya: “…Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa
yang
Dia
kehendaki.
Dan
Allah
Maha
Luas
(karuniaNya) lagi Maha Mengetahui” (Terjemahan
Yayasan Penyelenggara Penterjemah / Pentafsir AlQur’an Departemen Agama RI, 1971: 65).
Ayat
ini
menegaskan
bahwa
orang
yang
rela
menafkahkan hartanya akan dibalas dengan melipatgandakan
pahalanya. Praktik asuransi penuh dengan muatan-muatan nilai
sosial, seperti dengan pembayaran premi ke rekening tabarru’
adalah salah satu wujud penafkahan harta di jalan Allah SWT.
d) QS Yusuf (12): 47-49
Artinya: “Yusuf berkata, supaya kamu bertanam tujuh tahun
(lamanya) sebagaimana biasa. Maka, apa yang kamu
tuai, hendaklah kamu biarkan di bulirnya kecuali
sedikit untuk kamu makan. Kemudian sesudah itu akan
datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan
apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun
sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum)yang kamu
simpan. Kemudian, akan datang tahun yang padanya
manusia diberi hujan (dengan cukup) dan di masa itu
mereka
memeras
anggur”
(Terjemahan
Yayasan
Penyelenggara Penterjemah / Pentafsir Al-Qur’an
Departemen Agama RI, 1971: 356).
Ayat ini mengandung semangat untuk melakukan
proteksi terhadap segala sesuatu peristiwa yang akan menimpa
di masa datang. Penerapannya pada praktik asuransi adalah
dengan melakukan pembayaran premi asuransi, berarti kita
76
secara tidak langsung telah ikut serta mengamalkan perilaku
proteksi (perlindungan) tersebut.
e) QS al-Taghaabun (64): 11
Artinya: “Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa
seseorang kecuali dengan izin Allah…” (Terjemahan
Yayasan Penyelenggara Penterjemah / Pentafsir AlQur’an Departemen Agama RI, 1971: 941).
Ayat ini menegaskan bahwa segala musibah atau
peristiwa kerugian yang akan terjadi di masa mendatang
tidaklah dapat diketahui kepastiannya oleh manusia. Dalam
bisnis asuransi, hal semacam ini dipelajari dalam bentuk
manajemen risiko, yaitu bagaimana cara mengelola risiko
tersebut agar dapat terhindar dari kerugian atau paling tidak
risiko kerugian tersebut dapat diminimalisir.
f) QS Luqman (31): 34
Artinya: “…Dan tidak seorangpun yang dapat mengetahui
(dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok;
dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi
mana ia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui
lagi
Maha
Mengenal”
(Terjemahan
Yayasan Penyelenggara Penterjemah / Pentafsir AlQur’an Departemen Agama RI, 1971: 658).
Allah SWT telah mengatur kehidupan dan kematian
serta masalah rezeki bagi manusia. Manusia diperintahkan
supaya bertawakal dan tetap optimis berusaha. Praktik asuransi
merupakan salah satu usaha untuk menyiapkan hari depan atau
dengan menekan risiko sekecil mungkin terhadap kemungkinan
kerugian yang terjadi di masa mendatang, karena kita tidak
tahu apa yang akan terjadi di masa depan.
g) QS Ali Imran (3): 145 dan 185
Artinya: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati…”
77
(QS Ali Imran (3): 185, Terjemahan Yayasan
Penyelenggara Penterjemah / Pentafsir Al-Qur’an
Departemen Agama RI, 1971: 109);
Artinya: “Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan
dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang tertentu
waktunya.” (QS Ali Imran (3): 145, Terjemahan
Yayasan Penyelenggara Penterjemah / Pentafsir AlQur’an Departemen Agama RI, 1971: 100).
Kematian adalah sesuatu yang bersifat pasti adanya dan
akan menimpa semua manusia. Dalam hal ini kewajiban yang
seharusnya dijalankan oleh manusia adalah meminimalisasi
atau mengurangi kerugian yang diakibatkan oleh kematian
dengan
cara
melakukan
perlindungan
jiwanya
untuk
kepentingan ahli warisnya, karena akan meringankan beban
ekonomi ahli waris yang ditinggalkannya.
h) QS an-Nisa’ (4): 7
Artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dan harta
peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi orang
wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan
ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bagian yang telah ditetapkan.” (Terjemahan
Yayasan Penyelenggara Penterjemah / Pentafsir AlQur’an Departemen Agama RI, 1971: 116).
Ayat ini menjelaskan tentang waris mewarisi dalam
ajaran Islam. Seorang anak mempunyai hak untuk mewarisi
harta orangtuanya. Nilai yang terkandung dalam ayat di atas
diterapkan pada bisnis asuransi berbentuk pembayaran klaim
bagi nasabah perusahaan asuransi kepada keluarga atau ahli
waris
yang
ditinggalkan.
Sebagai
contoh,
jika
A
mengasuransikan dirinya, maka konsekuensi hukum yang
berlaku jika A meninggal adalah keluarga atau ahli warisnya
78
mendapatkan uang proteksi dari perusahaan asuransi yang
diikutinya.
i) QS Ali Imran (3): 37
Artinya: “Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar)
dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya
dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan
Zakaria
pemeliharanya…”
(Terjemahan
Yayasan
Penyelenggara Penterjemah / Pentafsir Al-Qur’an
Departemen Agama RI, 1971: 81).
Ayat ini memberikan gambaran tentang kafalah
(pertanggungan atau penjaminan) yang dilakukan Nabi Zakaria
dalam bentuk pemeliharaan dan pemenuhan kebutuhan
hidupnya. Kafalah terbagi menjadi dua, yaitu kafalah an-nafs
(penjaminan untuk orang) dan kafalah al-mal (penjaminan
untuk harta).
2) Sunnah nabi
Pengertian Sunnah secara bahasa adalah jalan yang ditempuh,
tradisi, dan terpuji. Ulama hadits memberikan pengertian sunnah
sebagai berikut:
Artinya : “Segala yang dinukilkan dari Nabi SAW”. Baik berupa
perkataan, perbuatan, taqrirnya atau selain itu.”
Jadi menurut pengertian ini, sunnah meliputi biografi Nabi,
sifat-sifat Nabi baik yang berupa fisik, umpamanya; mengenai
tubuhnya, rambutnya dan sebagainya, maupun yang mengenai
psikis dan akhlak Nabi dalam keadaan sehari-hari, baik sebelum
atau sesudah bi’tsah (diangkat) menjadi Rasul.
a) Hadits tentang aqilah
Artinya : “Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, dia berkata:
berselisih dua orang wanita dari suku Huzail,
kemudian salah satu wanita tersebut melempar batu
ke wanita
yang lain sehingga
mengakibatkan
79
kematian
wanita
tersebut
beserta
janin
yang
dikandungnya. Maka ahli waris dari wanita yang
meninggal tersebut mengadukan peristiwa tersebut
kepada Rasulullah SAW., maka Rasulullah .SAW.
memutuskan ganti rugi dari pembunuhan terhadap
janin tersebut dengan pembebasan seorang budak
laki-laki atau perempuan, dan memutuskan ganti rugi
kematian wanita dengan uang darah (diyat) yang
dibayarkan oleh aqilahnya (kerabat dari orang tua
laki-laki)” (HR. Bukhari).
Hadits di atas menjelaskan tentang praktik aqilah yang
telah menjadi tradisi di masyarakat Arab. Penanggungan
bersama
oleh
aqilah
merupakan
suatu
kegiatan
yang
mempunyai unsur seperti yang berlaku pada bisnis asuransi.
Kemiripan
ini
didasarkan
atas
adanya
prinsip
saling
menanggung (takaful) antara anggota suku.
b) Hadits tentang niat
Artinya : “Diriwayatkan oleh Umar bin Khattab ra, dia
berkata:
Telah
bersabda
Rasulullah
SAW.:
“Sesungguhnya semua pekerjaan itu (tergantung)
dengan niatnya, dan setiap orang itu (tergantung)
dari apa yang diniatkannya.” (Muttafaq alaih).
Dijelaskan dalam hadits di atas bahwa segala perbuatan
manusia itu tergantung dengan niatnya. Dalam bisnis asuransi,
yang perlu diperhatikan sejak awal adalah niat seseorang ikut
serta di dalamnya. Seorang yang menjadi anggota perkumpulan
asuransi harus meluruskan niatnya dengan memberikan
motivasi pada dirinya, bahwa dia berasuransi hanya untuk
saling tolong-menolong dan bantu-membantu antara sesama
anggota asuransi dengan didasari untuk mencari keridhaan
Allah SWT.
80
c) Hadits tentang anjuran menghilangkan kesulitan seseorang.
Artinya : “Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, Nabi
Muhammad
bersabda
menghilangkan
:
kesulitan
Barangsiapa
duniawinya
yang
seorang
mukmin, maka Allah SWT akan menghilangkan
kesulitannya pada hari kiamat. Barangsiapa yang
mempermudah kesulitan seseorang, maka Allah SWT
akan mempermudah urusannya di dunia dan di
akhirat” (HR. Muslim).
Dalam perusahaan asuransi, kandungan hadits di atas
terlihat dalam bentuk pembayaran dana sosial (tabarru’) dari
anggota (nasabah) perusahaan asuransi yang sejak awal
mengikhlaskan dananya untuk kepentingan social, yaitu untuk
membantu dan mempermudah urusan saudaranya yang
kebetulan mendapatkan musibah atau bencana.
d) Hadits tentang anjuran meninggalkan ahli waris yang kaya
Artinya : “Diriwayatkan dari Amir bin Sa’ad bin Ali Waqasy,
telah bersabda Rasulullah SAW.: “Lebih baik jika
engkau meninggalkan anak-anak kamu (ahli waris)
dalam keadaan kaya raya, dari pada meninggalkan
mereka dalam keadaan miskin (kelaparan) yang
meminta-minta kepada manusia lainnya” (HR.
Bukhari).
Rasulullah SAW sangat memperhatikan kehidupan
yang akan terjadi di masa datang (future time) dengan cara
mempersiapkan sejak dini bekal yang harus diperlukan untuk
kehidupan dan keturunan (ahli waris)-nya di masa mendatang.
Dalam
pelaksanaan
operasionalnya,
organisasi
asuransi
mempraktikkan nilai yang terkandung dalam hadits di atas
dengan cara mewajibkan anggotanya untuk membayar uang
iuran (premi) yang digunakan sebagai tabungan dan dapat
81
dikembalikan ke ahli warisnya jika pada suatu saat terjadi
peristiwa yang merugikan, baik dalam bentuk kematian
nasabah atau kecelakaan diri.
e) Hadits tentang kifl al-yatim
Artinya : “Diriwayatkan
dari
Sahal
bin
Sa’ad
ra,
mengatakan Rasulullah telah bersabda: “Saya dan
orang yang menanggung anak yatim nantinya akan di
surga seperti ini, Rasulullah bersabda sambil
menunjukkan jari telunjuk dan jari yang tengah”
(HR. Bukhari).
Secara khusus hadits tersebut diarahkan pada diri anak
yatim. Pada kondisi yang lain hadits ini tidak hanya dapat
diterapkan pada anak yatim saja, tetapi dapat diperluas dalam
tataran yang lebih umum yaitu setiap aktivitas pertanggungan
yang didasarkan atas motivasi saling tolong-menolong antara
sesama manusia.
f) Hadits tentang menghindari risiko
Artinya : “Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra, bertanya
seseorang
kepada
Rasulullah
SAW.
Tentang
(untanya): “Apa (unta) ini saya ikat saja atau
langsung saya bertawakal pada (Allah SWT)”
Bersabda Rasulullah SAW.:”pertama ikatlah unta itu
kemudian bertakwalah kepada Allah SWT” (HR. AtTurmudzi).
Rasulullah SAW memberi tuntutan pada manusia agar
selalu bersikap waspada terhadap kerugian atau musibah akan
yang terjadi. Hadits di atas mengandung nilai implisit agar kita
selalu menghindar dari risiko yang membawa kerugian pada
diri kita, baik itu berbentuk kerugian materi ataupun kerugian
yang berkaitan langsung dengan diri manusia (jiwa). Praktik
asuransi adalah bisnis yang bertumpu pada bagaimana cara
82
mengelola risiko itu dapat diminimalisasi pada tingkat yang
sedikit (serendah) mungkin. Risiko kerugian tersebut akan
terasa ringan jika dan hanya jika ditanggung bersama-sama
oleh semua anggota (nasabah) asuransi.
g) Hadits tentang perjanjian
Artinya : “Orang-orang muslim itu terikat dengan syarat
yang
mereka
sepakati,
kecuali
syarat
yang
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang
haram” (HR. at-Turmudzi).
Hadits ini menjelaskan tentang prinsip umum dalam
melakukan aqad. Dalam perusahaan asuransi aqad atau
transaksi yang disepakati antara anggota (nasabah) dengan
pengelola asuransi harus berdasarkan syarat-syarat yang
mereka tetapkan bersama. Jika syarat-syarat tersebut telah
disepakati, maka kedua belah pihak (nasabah dan perusahaan)
terikat dalam suatu ikatan (al-'aqdu) yang harus dipatuhi
bersama.
3) Piagam Madinah
Rasulullah SAW. mengundangkan sebuah peraturan yang
terdapat dalam Piagam Madinah yaitu sebuah konstitusi pertama
yang memperhatikan keselamatan hidup para tawanan yang tinggal
di negara tersebut. Seseorang yang menjadi tawanan perang musuh
maka aqilah dari tawanan tersebut akan menyumbangkan tebusan
dalam bentuk pembayaran (diyat) kepada musuh, sebagai pesanan
yang memungkinkan terbebaskan tawanan tersebut. Sebagaimana
kontribusi tersebut akan dipertimbangkan sebagai bentuk lain dari
pertanggungan sosial (social insurance).
Dalam konstitusi ini dijelaskan tentang peraturan bersama
antara orang Quraisy yang berhijrah (migran) dengan suku-suku
83
yang tinggal di Madinah untuk saling melindungi dan hidup
bersama dalam suasana kerja sama saling tolong-menolong. Pasal
1 Piagam Madinah memuat ketentuan bahwa kaum mukminin
tidak boleh membiarkan sesama mukmin berada dalam kesulitan
memenuhi kewajiban membayar diyat atau tebusan tawanan seperti
disebutkan
menekankan
dalam
Pasal-Pasal
solidaritas
sesama
terdahulu.
mukmin
Ketentuan
dalam
ini
mengatasi
kesulitan.
4) Praktik Sahabat
Sahabat berkenaan dengan pembayaran hukuman (ganti rugi)
pernah dilaksanakan oleh Khalifah kedua, Umar bin Khattab. Pada
suatu ketika Khalifah Umar memerintahkan agar daftar (diwan)
saudara-saudara muslim disusun perdistrik. “Orang-orang yang
namanya tercantum dalam diwan tersebut berhak menerima
bantuan dari satu sama lain dan harus menyumbang untuk
pembayaran hukuman (ganti rugi) atas pembunuhan (tidak
disengaja) yang dilakukan oleh salah seorang anggota masyarakat
mereka. Umarlah orang yang pertama kali mengeluarkan perintah
untuk menyiapkan daftar secara profesional perwilayah, dan orangorang yang terdaftar diwajibkan saling menanggung beban.
5) Ijma
Para sahabat telah melakukan ittifaq (kesepakatan) dalam hal
ini (aqilah). Terbukti dengan tidak adanya penentangan oleh
sahabat lain terhadap apa yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin
Khattab. Sehingga dapat disimpulkan bahwa mereka bersepakat
mengenai persoalan ini.
Adanya aspek kebaikan dan nilai yang positif dalam praktik
aqilah mendorong para ulama untuk bermufakat (ijma’) bahwa
perbuatan semacam aqilah tidak bertentangan dengan nilai-nilai
yang terkandung dalam syariah Islam.
6) Syar’u Man Qablana
84
Syar’u man qablana dalam pandangan Wahhab Khalaf
adnlah salah satu dalil hukum yang dapat dijadikan pedoman
(sumber) dalam melakukan penetapan hukum (istimbath al-hukm)
dengan mengacu pada cerita dalam al-Qur’an atau sunnah Nabi
yang berkaitan dengan hukum syar'i umat terdahulu tanpa adanya
pertentangan dengan ketetapan yang ada dalam al-Qur'an maupun
sunnah Nabi.
Praktik yang mempunyai nilai sama dengan asuransi, yang
pernah dikerjakan oleh suku kuno Arab pra-Islam adalah praktik
aqilah. Aqilah adalah iuran darah yanp dilakukan oleh keluarga
dari pihak laki-laki si pembunuh. Sebenarnya si pembunuhlah yang
harus
membayar
ganti
rugi
tersebut.
Namun,
kelompok
menanggung pembayarannya karena si pembunuh kebetulan adalah
anggotanya : Pada zaman jahiliyah, harga yang dibayar oleh pelaku
pembunuhan konon sebanyak sepuluh ekor unta betina.
7) Istihsan
Istihsan dalam pandangan ahli ushul adalah memandang
Kebaikan dari kebiasaan aqilah di kalangan suku Arab kuno
terletak pada kenyataan bahwa ia dapat menggantikan balas
dendam berdarah.
Manfaat yang signifikansi dari praktik aqilah, diantaranya
adalah:
a) mempertahankan
keseimbangan
kesukuan
dan,
dengan
demikian, kekuatan pembalasan dendam dari setiap suku dapat
menghalangi kekejaman anggota suku lain;
b) menambah sebagian besar jaminan sosial, karena mengingat
tanggung jawab kolektif untuk membayar ganti rugi, suku
harus menjaga seluruh kegiatan anggotanya dengan saksama;
c) mengurangi beban anggota perorangan jika ia diharuskan
membayar ganti rugi;
85
d) menghindarkan dendam darah yang jika tidak dicegah
mengakibatkan kehancuran total suku-suku yang terlibat;
e) mempertahankan sepenuhnya kesatuan dan kerja sama para
anggota dari setiap suku, yang tak lain merupakan mutualitas.
b. Landasan hukum
Keberadaan asuransi syariah di Indonesia secara konstitusi
masih sangatlah lemah dan masih perlu adanya political will
(kebijakan politik) yang mendukung dari pemerintah Indonesia. Ini
terlihat belum adanya peraturan setingkat undang-undang yang secara
khusus mengatur tentang asransi syariah di Indonesia.
Secara struktural, landasan operasional asuransi syariah di
Indonesia masih menginduk pada peraturan yang mengatur usaha
perasuransian secara umum (konvensional). Dan baru ada peraturan
yang secara tegas menjelaskan asuransi syariah pada Surat Keputusan
Direktur Jenderal Lembaga Keuangan No. Kep. 4499/LK/2000 tentang
Jenis, Penilaian dan Pembatasan Investasi Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi dengan Sistem Syariah.
Adapun secara stratifikasi peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang usaha perasuransian dan perusahaan reasuransi, serta
tentang perizinan dan penyelenggaraan perusahaan asuransi syariah
dapat dituliskan sebagai berikut:
1) Undang-undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian;
2) Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan
Usaha Perasuransian;
3) Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas
PP No. 73 Tahun 1992;
4) Keputusan Menteri Keuangan No. 223/KMK.017/1993 tentang
Perizinan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi;
86
5) Keputusan Menteri Keuangan No. 225/KMK.017/1993 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi;
6) Keputusan Menteri Keuangan No. 226/KMK.017/1993 tentang
Perizinan dan Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Penunjang
Usaha Asuransi;
7) Keputusan Menteri Keuangan No. 481/KMK.017/1993 tentang
Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi.
Nasabah (pemegang polis) merupakan konsumen dari produkproduk perusahaan asuransi. Ketentuan
perlindungan terhadap
nasabah sebagai konsumen perusahaan asuransi tersirat dalam Pasal 18
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
yang menyatakan klausula baku yang ada dalam perjanjian tidak
diperkenakan melanggar hak-hak konsumen. Pasal 18 ayat (1) butir (a)
undang-undang ini, harus menjadi perhatian karena klausula baku
kadang digunakan para pelaku bisnis asuransi dalam upaya
mengalihkan tanggung jawabnya kepada tertanggung (konsumen).
Dalam Pasal 18 ayat (2) menyatakan: “Pelaku usaha dilarang
mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat
atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit
dimengerti”.
Contoh
yang
sering
ditemukan
dalam
kegiatan
perasuransian adalah pelaku usaha bisnis asuransi sering meletakkan
item dalam polis yang secara sengaja dilakukan agar tertanggung tidak
melihat dengan jelas, biasanya hal ini dilakukan untuk menghindari
dari tanggung tanggung jawab dari pelaku bisnis asurasi. Dalam polis
asuransi juga sering terdapat kata-kata yang sulit dimengerti oleh
orang awam. Kata-kata ini sering tidak pernah dijelaskan oleh
perusahaan asuransi, mengenai maksud dan tujuan kata tersebut
dicantumkan, sehingga sering tertanggung tidak tahu hak dan
87
kewajibannya. Jika terdapat pelanggaran ketentuan dalam Pasal 18
UUPK ini, akan mengakibatkan kontrak tersebut bertentangan dengan
hukum yang berlaku dan mengakibatkan klausula baku tersebut batal
demi hukum, karena "Hak seorang konsumen adalah hak atas
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa" (Pasal 4 huruf (c) UUPK).
UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian tidak dapat
dijadikan landasan hukum yang kuat bagi asuransi syariah, karena
tidak mengatur keberadaan asuransi berdasarkan prinsip syariah, serta
tidak mengatur tentang teknis pelaksanaan kegiatan asuransi dalam
kaitannya kegiatan administrasinya.
Sebagai antisipasi dari hal tersebut di atas, Majelis Ulama
Indonesia (MUI) dengan Dewan Syariah Nasional (DSN) telah
mengeluarkan fatwanya berkenaan dengan asuransi, fatwa dikeluarkan
karena regulasi yang ada tidak dapat dijadikan pedoman untuk
menjalankan kegiatan asuransi syariah. Fatwa dinyatakan sebagai
jawaban atas suatu pertanyaan mengenai ketetapan hukum berdasarkan
hasil ijtihad tentang suatu persoalan yang belum jelas hukumnya.
Fatwa merupakan satu dari sekian lembaga dalam hukum Islam untuk
memberikan jawaban dan penyelesaian terhadap masalah-masalah
yang dihadapi umat.
Fatwa menempati kedudukan penting dalam hukum Islam,
karena fatwa merupakan pendapat yang dikemukakan oleh ahli hukum
Islam (Fuqaha) tentang kedudukan hukum suatu masalah baru yang
muncul di kalangan masyarakat. Ketika muncul suatu masalah baru
yang belum ada ketentuan hukumnya secara eksplisit (tegas), baik
dalam al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ maupun pendapat-pendapat fuqaha
terdahulu, maka fatwa merupakan satu-satunya institusi normatif yang
berkompeten menjawab atau menetapkan kedudukan hukum masalah
88
tersebut. Karena kedudukannya yang dianggap dapat menetapkan
hukum atas suatu kasus atau masalah tertentu, maka para sarjana Barat
ahli hukum Islam mengkategorikan fatwa sebagai jurisprudensi Islam.
Fatwa yang mengatur tentang asuransi syariah antara lain :
1) Fatwa
No.21/DSN-MUI/X/2001
Tentang
Pedoman
Umum
Asuransi Syariah, yang secara umum memberikan penjelasan
sebagai berikut:
a) Asuransi syariah (ta’amin, takaful, atau tadhamun) adalah
usaha saling melindungi dan tolong menolong di antara
sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk asset dan
atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk
menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang
sesuai dengan syariah;
b) Akad yang sesuai dengan syariah yang dimaksud adalah yang
tidak mengandung gharar (penipuan), maisir (perjudian), riba,
dzulm (penganiayaan), riswah (suap), barang haram, dan
maksiat;
c) Akad tijarah adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk
tujuan komersial;
d) Akad tabarru’adalah semua bentuk akad yang dilakukan
dengan tujuan kebaikan dan tolong-menolong, bukan semata
untuk tujuan komersial;
e) Premi adalah kewajiban peserta asuransi untuk memberikan
sejumlah dana kepada perusahaan asuransi sesuai dengan
kesepakatan dalam akad;
f) Klaim adalah hak peserta asuransi yang wajib diberikan oleh
perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
Ketentuan mengenai klaim adalah sebagai berikut:
(1) Klaim dibayarkan berdasar akad pada awal perjanjian;
(2) Klaim dapat berbeda dalam jumlah, sesuai dengan premi
yang dibayarkan;
89
(3) Klaim atas akad tijarah sepenuhnya merupakan hak peserta
dan merupakan kewajiban perusahaan untuk memenuhinya;
(4) Klaim atas akad tabarru’ merupakan hak peserta dan
merupakan kewajiban perusahaan, sebatas yang disepakati
dalam akad.
2) Keputusan DSN-MUI tentang Pedoman Rumah Tangga, yang
secara umum memberikan penjelasan mengenai fungsi dan tugas
Dewan Syariah Nasional (DSN).
3) Fatwa No.43/DSN-MUI/VIII/2004 Tentang Ganti Rugi yang
secara umum memberikan penjelasan mengenai upaya melindungi
para pihak yang bertransaksi, antara lain :
a) Syariah Islam melindungi kepentingan semua pihak yang
bertransaksi, baik nasabah maupun Lembaga Keuangan
Syariah (LKS), sehingga tidak boleh ada suatu pihak pun yang
dirugikan hak-haknya;
b) Ganti rugi (ta’widh) hanya boleh dikenakan atas pihak yang
dengan sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang
menyimpang dari ketentuan akad dan menimbulkan kerugian
pada pihak lain;
c) Dalam ketentuan khusus disebutkan mengenai pihak yang
cedera janji bertanggung jawab atas biaya perkara dan biaya
yang timbul akibat proses penyelesaian perkara;
d) Mengenai penyelesaian perselisihan, jika salah satu pihak tidak
menunaikan kewajibannya atau terjadi perselisihan di antara
kedua pihak, maka penyelesaian dilakukan melalui Badan
Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui
musyawarah.
4) Fatwa
No.51/DSN-MUI/III/2006
Tentang
Mudharabah
Musytarakah Asuransi, yang secara umum memberikan penjelasan
sebagai berikut :
90
a) Akad yang digunakan adalah akad Mudharabah Musytarakah.
yaitu perpaduan dari akad mudharabah dan akad musyarakah;
b) Dalam akad, harus disebutkan sekurang-kurangnya:
(1) Hak dan kewajiban peserta dan perusahaan asuransi;
(2) Besaran nisbah, cara, dan waktu pembagian hasil investasi;
(3) Syarat-syarat lain yang disepakati, sesuai produk yang
diakadkan.
c) Penjelasan mengenai hasil investasi, apabila terjadi kerugian
maka perusahaan asuransi sebagai musytarik menanggung
kerugian sesuai dengan porsi modal atau dana yang disertakan;
d) Kedudukan para pihak:
(1) Perusahaan
asuransi
bertindak
sebagai
mudharib
(pengelola) dan sebagai musytarik (investor);
(2) Peserta (pemegang polis) dalam produk saving sebagai
shahibul mal (investor) dan bertindak secara kolektif
sebagai shahibul mal dalam produk non saving.
e) Dalam penjelasan mengenai investasi, perusahaan asuransi
selaku pemegang amanah wajib melakukan investasi dari dana
yang terkumpul dan investasi wajib dilakukan sesuai prinsip
syariah.
5) Fatwa
No.52/DSN-MUI/III/2006
Tentang
Mudharabah
Musytarakah Asuransi Wakalah bil Ujrah, yang secara umum
memberikan penjelasan sebagai berikut :
a) Wakalah bil Ujrah adalah pemberian kuasa dari peserta kepada
perusahaan asuransi untuk mengelola dana peserta atau
melakukan kegiatan lain dengan imbalan pemberian ujrah
(fee);
b) Perusahaan
asuransi
selaku
pemegang
amanah
wajib
menginvestasikan dana yang terkumpul dan investasi wajib
dilakukan sesuai dengan syariah.
91
6) Fatwa No.53/DSN-MUI/III/2006 Tentang Tabarru’ pada Asuransi
Syariah, yang secara umum memberikan penjelasan sebagai
berikut :
a) Ketentuan hukum akad tabarru’ adalah semua bentuk akad
yang dilakukan antar peserta pemegang polis dan merupakan
akad yang harus melekat pada semua produk asuransi;
b) Akad tabarru’ pada asuransi adalah akad yang dilakukan dalam
bentuk hibah dengan tujuan kebajikan dan tolong-menolong
antar peserta, bukan untuk tujuan komersial;
c) Peserta secara individu merupakan pihak yang berhak
menerima
dana
tabarru’
dan
secara
kolektif
selaku
penanggung;
d) Jika terdapat surplus underwriting atas dana tabarru’ maka
boleh dilakukan beberapa alternatif, diantaranya diperlakukan
seluruhnya sebagai dana cadangan dalam akun tabarru’,
disimpan sebagian sebagai cadangan dan sebagian dibagikan
kepada peserta, atau disimpan sebagian sebagai cadangan dan
sebagian dibagikan kepada perusahaan asuransi dan peserta
sepanjang disepakati oleh peserta dan dituangkan dalam akad;
e) Jika terjadi defisit underwriting atas dana tabarru’ maka
perusahaan asuransi wajib menanggulangi kekurangan tersebut
dalam bentuk qardh (pinjaman).
7) Fatwa No.53/DSN-MUI/III/2006 Tentang Tabarru’ pada Asuransi
Syariah Akad Tabarru’ pada Asuransi dan Reasuransi Syariah,
yang secara umum memberikan penjelasan yang pada dasarnya
sama seperti ketentuan sebelumnya yaitu pada Fatwa No.53/DSNMUI/III/2006 Tentang Tabarru’ pada Asuransi Syariah. Akan
tetapi asuransi syariah yang dimaksudkan dalam poin 3 (tiga)
bagian pertama Ketentuan Hukum fatwa ini adalah asuransi jiwa,
asuransi kerugian dan reasuransi.
92
Tetapi Fatwa-Fatwa Dewan Asuransi Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia (DSN-MUI) ini tidak mempunyai kekuatan hukum
dalam Hukum Nasional karena tidak termasuk dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia. Agar ketentuan asuransi syariah
memiliki kekuatan hukum, maka perlu dibentuk peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan pedoman asuransi syariah. Adapun
peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan pemerintah
berkaitan dengan asuransi Islam yaitu:
1) Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 426/KMK.06/2003
tentang Perijinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan asuransi dan
Perusahaan Reasuransi
Ketentuan yang menjadi dasar mendirikan asuransi syariah
dalam Pasal 3 Keputusan Menteri ini menyebutkan bahwa:
“…setiap pihak dapat melakukan usaha asuransi atau usaha
reasuransi berdasarkan prinsip syariah…“
Ketentuan yang berkaitan dengan perlindungan nasabah
dalam peraturan ini antara lain :
a) Pasal 12-26 yang mengatur mengenai tenaga ahli asuransi.
Tenaga ahli asuransi erat kaitannya dengan kepentingan
nasabah. Dalam Pasal 22 disebutkan Perusahaan Asuransi atau
Perusahaan Reasuransi wajib memberhentikan tenaga ahli
asuransi atau aktuaris perusahaan yang melanggar peraturan
perundang-undangan di bidang usaha perasuransian selambatlambatnya 7 (tujuh) hari sejak ditemukannya pelanggaran.
Dengan adanya Pasal ini maka tenaga ahli asuransi berusaha
menghindari pelanggaran. Pasal ini melindungi para nasabah
dari tenaga ahli asuransi yang berbuat kecurangan atau telah
melanggar peraturan dalam melaksanakan tugasnya bidang
usaha perasuransian;
93
b) Pasal 27 memuat tentang Sistem Administrasi Pengeloaan Data
Perusahaan, pelaksanaan pengelolaan perusahaan sekurangkurangnya didukung dengan:
(1) pelaksanaan pendidikan dan pelatihan sumber daya
manusia;
(2) sistem administrasi yang memenuhi sistem pengendalian
intern;
(3) sistem pengolahan data yang dapat menghasilkan informasi
yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan dalam
pengambilan putusan.
Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahan dalam
pengelolaan data nasabah dan data yang dihasilkan dapat
dipertanggungjawabkan.
Maka
perusahaan
asuransi
berkewajiban untuk melakukan yang terbaik dalam sistem
administrasi,
juga
sekaligus
termasuk
dalam
sistem
pengendalian keamanan administrasi, sehingga data-data,
dokumen, maupun klausul-klausul yang berkaitan dengan
nasabah terlindungi.
c) Dalam Pasal 32 ayat (1) keputusan ini disebutkan bahwa
perusahaan asuransi syariah harus memiliki tenaga ahli yang
memiliki keahlian di bidang asuransi dan atau ekonomi syariah.
Hal ini dimaksudkan agar nasabah dapat dilayani secara
profesional berdasarkan prinsip syariah, sehingga nasabah
merasa
nyaman
karena
kepentingannya
ditangani
dan
dilindungi oleh tenaga profesional. Selain itu dalam ayat (2),
permohonan pembukaan kantor cabang dengan Prinsip Syariah
harus pula dilengkapi dengan bukti:
(1) pengesahan anggaran dasar dari instansi yang berwenang;
(2) pengesahan Dewan Syariah Nasional tentang penunjukan
anggota
Dewan
Pengawas
Syariah
Perusahaan.
Dengan adanya pengesahan Dewan Pengawas Syariah
94
Perusahaan maka kegiatan perusahaan asuransi syariah
dapat dipantau secara periodik. Hal ini dimaksudkan agar
perusahaan asuransi syariah terhindar dari praktek-praktek
menyimpang yang merugikan nasabah.
2) Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 424/KMK.06/2003
Tentang
Kesehatan
Keuangan
Perusahaan
Asuransi
dan
Perusahaan Reasuransi
Ketentuan yang berkaitan tercantum dalam Pasal 15-18
mengenai kekayaan yang diperkenankan harus dimiliki dan
dikuasai oleh perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi
dengan prinsip syariah. Dalam Pasal 27 disebutkan jenis kewajiban
yang harus diperhitungkan dalam penetapan tingkat solvabilitas,
kewajiban ini meliputi semua jenis kewajiban kepada pemegang
polis atau tertanggung dan kepada pihak lain yang menjadi
kewajiban Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi.
3) Keputusan Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan Nomor
4499/LK/2000 Tentang Jenis, Penilaian, dan Pembatasan Investasi
Perusahaan Reasuransi dengan Sistem Syariah
Keputusan ini memuat tentang jenis, penilaian, dan
pembatasan investasi. Keputusan ini dikeluarkan dengan tujuan
agar pelaku usaha perasuransian memiliki kondisi keuangan yang
kuat
dalam
menjalankan
perusahaannya.
Sehingga
dapat
memberikan jasa perlindungan dan pelayanan terbaik bagi
nasabahnya.
4) Pengaturan mengenai asuransi syariah secara tegas baru dijumpai
dalam Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua Atas PP No. 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan
Usaha Perasuransian
PP No. 39 Tahun 2008 juga memberikan kesempatan bagi
Perusahaan
Asuransi/Reasuransi
Konvensional
untuk
95
menyelenggarakan layanan syariah dengan terlebih dahulu
membentuk unit usaha syariah di kantor pusatnya.
Ketentuan yang berkaitan dengan perlindungan nasabah
(pemegang polis) dalam peraturan ini antara lain :
a) Pasal 3 menyatakan, untuk perusahaan asuransi memiliki
komisaris independen yang tugas pokoknya adalah untuk
menyuarakan kepentingan pemegang polis;
b) Pasal 7 ayat (2) menyatakan dana jaminan merupakan jaminan
terakhir dalam rangka melindungi kepentingan pemegang polis.
Dana jaminan adalah dana dalam bentuk deposito berjangka
yang ditatausahakan atas nama Menteri sebagai jaminan
terakhir dalam rangka melindungi kepentingan pemegang polis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah
Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha
Perasuransian sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999.
Secara umum peraturan ini berisi mengenai penyempurnaan
ketentuan mengenai struktur permodalan yang dilakukan dengan
menetapkan jumlah modal disetor yang cukup besar bagi pendirian
baru Perusahaan Perasuransian dan keharusan menyesuaikan
modal sendiri bagi Perusahaan Perasuransian yang telah mendapat
izin usaha sebelum ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini. Hal ini
dimaksudkan
agar
pelaku
usaha
perasuransian
memiliki
permodalan dan kondisi keuangan yang kuat dalam memberikan
jasa perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat dan mampu
berkompetisi secara sehat baik di tingkat nasional, regional,
maupun global.
Adanya pengaturan perlindungan hukum yang terdapat di dalam
landasan asuransi syariah dan diatur secara Islami tentunya mempunyai
nilai lebih jika dibandingkan dengan asuransi konvensional. Keadaan
96
masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim memperkuat landasan
tersebut, masyarakat lebih percaya dan merasa lebih aman menjadi
nasabah asuransi syariah, karena perusahaan asuransi syariah berpedoman
kepada prinsip-prinsip syariah dan menjunjung tinggi nilai-nilai Islami.
Keabsahan akad yang mendasari kontrak asuransi syariah
didasarkan pada Al- Qur’an, Sunnah, Qiyas dan Ijma yang menjadi
landasan dalam pengaturan perlindungan nasabah asuransi syariah,
sehingga dalam hal ini umat Islam tidak perlu ragu terhadap produk
asuransi syariah, karena akad yang diterapkan dalam asuransi syariah
merupakan akad yang memang bertujuan untuk menghindari hal yang
dilarang oleh agama Islam seperti gharar, maisir, dan riba. Sedangkan
mengenai Fatwa Dewan Syariah Nasional yang telah disebutkan
sebelumnya, sepatutnya mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi
lembaga asuransi syariah di Indonesia dalam bentuk sanksi hukum bagi
pelanggarnya dan implementasi dari fatwa ini harus selalu dikonsultasikan
dan diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS).
2. Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Dalam Asuransi Syariah Di PT
Asuransi Takaful Kantor Cabang Perwakilan Surakarta
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa asuransi Islam berbeda
dengan asuransi umum secara mendasar, baik dari segi sudut pandang,
bentuk dan sifatnya. Namun permasalahannya tidak sesederhana itu,
seringkali tatanan konsep dasar menguntungkan kedua belah pihak, tapi
pada klausul-klausul operasional masih banyak merugikan nasabah
tertanggung, karena sifat berat sebelah yang dimiliki dalam perjanjian
asuransi. Asuransi Takaful menunjukkan bahwa asas-asas perlindungan
terhadap nasabah tertanggung dalam asuransi Takaful adalah asas saling
bertanggung jawab, asas saling membantu dan asas saling melindungi
antar sesama nasabah. Pihak asuransi Takaful menjamin pelaksanaan asasasas perlindungan nasabah tertanggung dijalankan secara baik sesuai
97
dengan konsep syar'iah Islam. Pelaksanaan asas-asas perlindungan
nasabah tertanggung pada asuransi Takaful berjalan dengan baik sesuai
dengan konsep dasar yang saling menguntungkan.
PT Asuransi Takaful Kantor Cabang Perwakilan Surakarta dalam
menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan pada prinsip perjanjian Islam
sebagai suatu perjanjian yang bebas dari unsur gharar, maisir, dan riba..
Hal ini mempunyai tujuan untuk melindungi kepentingan kedua belah
pihak, khususnya nasabah sebagai pemegang polis. Perlindungan hukum
terhadap nasabah di PT Asuransi Takaful Kantor Cabang Perwakilan
Surakarta berupa :
a. Jenis produk dan layanan PT Asuransi Takaful Kantor Cabang
Perwakilan Surakarta
Sebagai upaya memberi perlindungan terhadap nasabah, maka
PT
Asuransi
Takaful
Kantor
Cabang
Perwakilan
Surakarta
mewujudkannya dalam berbagai produk dan layanan yang bebas dari
unsur gharar, maisir, dan riba. Jenis produk dan PT Asuransi Takaful
Kantor Cabang Perwakilan Surakarta meliputi :
1) Asuransi Takaful Keluarga
Fokus utama dalam asuransi takaful keluarga ini adalah
memberikan layanan dan bantuan menyangkut asuransi jiwa dan
keluarga, dengan harapan bisa tercapainya masyarakat Indonesia
yang sejahtera dengan perlindungan asuransi yang sesuai
muamalah syariah Islam.
a) Produk Dengan Unsur Tabungan
Artinya suatu produk yang diperuntukkan untuk
perorangan dan dibuat secara khusus, dimana di dalamnya
selain mengandung tabarru’ juga terdapat unsur tabungan yang
dapat diambil kapan saja oleh pemiliknya.
98
Mekanisme Pengelolaan Dana premi dengan unsur
tabungan meliputi:
(1) Rekening Tabungan, yaitu kumpulan dana yang merupakan
milik
peserta
dan
dibayarkan
apabila
perjanjian
berakhir/jatuh tempo, peserta mengundurkan diri, dan bila
peserta meninggal dunia;
(2) Rekening Khusus, yaitu kumpulan dana yang diniatkan
oleh peserta sebagai derma untuk tujuan saling membantu
dan dibayarkan apabila peserta meninggal dunia dan bila
perjanjian berakhir, jika ada surplus dana;
(3) Kumpulan dana peserta diinvestasikan sesuai dengan
prinsip syariah. Hasil investasi dibagikan menurut sistem
bagi hasil (al- mudharabah) 60% peserta dan 40%
perusahaan.
Beberapa produk Asuransi Takaful Keluarga dengan
Unsur Tabungan adalah sebagai berikut:
(1) Takaful Dana Investasi (Fuldana)
Program Takaful Dana Investasi adalah suatu bentuk
perlindungan untuk perorangan yang menginginkan dan
merencanakan pengumpulan dana dalam mata uang Rupiah
atau US Dollar sebagai dana investasi yang diperuntukkan
bagi ahli warisnya jika ditakdirkan meninggal dunia lebih
awal atau sebagai bekal untuk hari tuanya.
(2) Takaful Dana Haji (Fulhaji)
Program
Takaful
Dana
Haji
adalah
suatu
bentuk
perlindungan untuk perorangan yang menginginkan dan
merencanakan pengumpulan dana dalam mata uang Rupiah
atau US Dollar untuk biaya menjalankan ibadah haji.
99
(3) Takaful Dana Siswa (Fulnadi)
Program Takaful Dana Siswa adalah suatu bentuk
perlindungan untuk perorangan bagi yang bermaksud
menyediakan dana pendidikan dalam mata uang Rupiah
atau US Dollar untuk putra-putrinya sampai sarjana.
(4) Takaful Dana Jabatan
Program Takaful Dana Jabatan adalah suatu bentuk
perlindungan untuk Direksi atau pejabat teras suatu
perusahaan
yang
menginginkan
dan
merencanakan
pengumpulan dana dalam mata uang Rupiah atau US Dollar
sebagai dana santunan yang diperuntukkan bagi ahli
warisnya jika ditakdirkan meninggal lebih awal atau
sebagai santunan investasi pada saat tidak aktif lagi di
tempat kerja.
(5) Takaful Hasanah (Fulsa)
Suatu
bentuk
perlindungan
untuk
perorangan
yang
menginginkan dan merencanakan pengumpulan dana
sebagai modal usaha atau diperuntukkan bagi ahli warisnya
jika ditakdirkan meninggal lebih awal.
b) Produk Tanpa Unsur Tabungan
Produk-produk individu tanpa tabungan (non saving)
adalah produk-produk syariah yang sifatnya individu dan di
dalam struktur produknya tidak terdapat unsur tabungan, atau
semuanya bersifat tabarru’ (dana tolong-menolong).
100
Mekanisme Pengelolaan Dana premi tanpa unsur
tabungan meliputi:
(1) Tiap premi yang dibayar oleh peserta setelah dikurangi
biaya pengelolaan dimasukkan ke dalam Rekening Khusus
(kumpulan dana);
(2) Kumpulan dana peserta diinvestasikan sesuai dengan
prinsip syariah;
(3) Hasil investasi dimasukkan ke dalam dana peserta,
kemudian dikurangi dengan beban asuransi (Klaim dan
Premi Reasuransi);
(4) Surplus Kumpulan dana peserta dibagikan dengan sistem
bagi hasil (al- mudharabah) 40% peserta dan 60%
perusahaan.
Beberapa produk Asuransi Takaful
Keluarga tanpa
Unsur Tabungan adalah sebagai berikut:
(1) Takaful Kesehatan Individu
Program
ini
diperuntukkan
bagi
perorangan
yang
bermaksud menyediakan dana santunan Rawat Inap dan
Operasi bila peserta sakit dalam masa perjanjian.
(2) Takaful Kecelakaan Diri Individu
Program yang diperlukan bagi perorangan yang bermaksud
menyediakan santunan biaya pengobatan apabila terjadi
kecelakaan dan santunan untuk ahli waris bila peserta
mengalami musibah kematian karena kecelakaan dalam
masa perjanjian.
(3) Takaful Al-Khairat Individu
101
Program
ini
diperuntukkan
bagi
perorangan
yang
bermaksud menyediakan santunan untuk ahli waris bila
peserta mengalami musibah dalam masa perjanjian.
c) Produk-produk Kumpulan
Produk kumpulan adalah produk yang didesain untuk
dalam jumlah peserta relatif banyak dan dalam struktur
produknya ada yang mengandung unsur tabungan (saving) dan
ada yang tidak mengandung unsur tabungan, di akhir masa
kontrak tidak ada bagi hasil atau pengambilan nilai tunai,
karena semuanya bersifat tabarru’. Beberapa contoh produkproduk kumpulan adalah sebagai berikut:
(1) Takaful Kecelakaan Diri Kumpulan
Suatu bentuk perkumpulan yang ditujukan untuk
perusahaan, organisasi, atau perkumpulan yang bermaksud
menyediakan santunan kepada karyawan/ anggota apabila
mengalami musibah karena kecelakaan dalam masa
perjanjian.
(2) Takaful Kecelakaan Siswa
Suatu
bentuk
perlindungan
kumpulan
yang
ditujukan untuk sekolah dan perguruan tinggi atau lembaga
pendidikan non formal yang bermaksud menyediakan
santunan biaya pengobatan pada siswa atau mahasiswa
pesertanya apabila mengalami musibah karena kecelakaan
yang mengakibatkan cacat tetap atau total maupun sebagian
atau meninggal.
(3) Takaful Wisata dan Perjalanan
102
Program yang diperuntukkan bagi biro perjalanan
dan wisata yang berkeinginan memberikan perlindungan
kepada pesertanya apabila mengalami musibah karena
kecelakaan yang mengakibatkan cacat tetap total, sebagian
atau meninggal selama wisata maupun perjalanan dalam
dan luar negeri.
(4) Takaful Pembiayaan
Suatu
beberapa
bentuk
jaminan
bersangkutan
perlindungan
kumpulan
yaitu
utang
apabila
yang
meninggal
dalam
masa
pelunasan
ditakdirkan
perjanjian.
(5) Takaful Majelis Taklim
Suatu bentuk perlindungan bagi majelis taklim yang
bermaksud menyediakan santunan untuk ahli waris jamaah
apabila yang bersangkutan ditakdirkan meninggal dalam
masa perjanjian.
(6) Takaful Al Khairat
Suatu
bentuk
perlindungan
kumpulan
yang
diperuntukkan bagi perusahaan pemerintah atau swasta,
organisasi yang berbadan hukum atau usaha yang
bermaksud menyediakan santunan meninggal untuk ahli
waris bila peserta atau karyawan mengalami musibah
meninggal.
(7) Takaful Medicare
Suatu bentuk program asuransi kesehatan yang
memberikan jaminan penggantian biaya pengobatan dan
103
operasi peserta yang disebabkan oleh penyakit maupun
kecelakaan. Dengan mengikuti program Full Medicare,
maka diharapkan rasa aman dan terlindung dari hal-hal
yang tidak terduga.
(8) Takaful Al Khairat + Tabungan Haji (Takaful Iuran Haji)
Suatu
bentuk
program
bagi
karyawan
yang
bermaksud menunaikan ibadah haji dengan pendanaan
melalui iuran bersama dan keberangkatannya secara
bergilir.
(9) Takaful Perjalanan Haji dan Umrah
Program ini diperuntukkan bagi jamaah haji dan
umrah yang bermaksud menyediakan santunan dan ahli
waris jamaah bila peserta meninggal sewaktu menjalankan
haji atau umrah. Untuk perjalanan haji dimulai sejak
pemberangkatan dari bandara sampai dengan kembali ke
tanah air setelah kembali dari Mekkah, sedangkan untuk
perjalanan umrah dimulai dari tempat pemberangkatan
jamaah umrah sampai kembali ke tanah air.
2) Asuransi Takaful Umum
Asuransi Takaful Umum adalah perusahaan asuransi umum
atau kerugian yang fokus utamanya adalah memberikan layanan
dan bantuan menyangkut asuransi di bidang kerugian seperti
perlindungan dari kebakaran, pengangkutan, niaga, dan kendaraan
bermotor.
Mekanisme pengelolaan dana dilakukan dengan cara
menginvestasikan kumpulan dana peserta sesuai dengan prinsip
syariah. Hasil investasi dimasukkan ke dalam total kumpulan dana
peserta, kemudian dikurangi dengan beban asuransi (klaim dan
104
premi asuransi). Surplus kumpulan dana peserta dibagikan sesuai
dengan sistem bagi hasil (al-mudharabah), contoh nisbah 90%
untuk perusahaan dan 10% untuk peserta.
Beberapa produk Asuransi Takaful Umum antara lain:
a) Produk-produk Simple Risk
Produk-produk Simple Risk adalah jenis-jenis produk
asuransi umum atau kerugian yang berdasarkan syariah, yang
tingkat resiko dan perhitungan secara teknis dalam produkproduknya relatif sederhana (simple) dan resiko standar tanpa
perluasan jaminan. Umumnya jumlah penutupan masih dalam
batas Own Retention (OR) perusahaan, sehingga survei resiko
tidak mutlak diperlukan.
(1) Takaful Kebakaran (Fire Insurance)
Memberikan perlindungan terhadap kerugian dan
atau kerusakan sebagai akibat terjadinya kebakaran yang
disebabkan oleh percikan api, sambaran petir, ledakan dan
kejatuhan
pesawat
ditimbulkannya.
Dan,
terbang
juga
beserta
dapat
resiko
diperluas
yang
dengan
tambahan jaminan polis yang lebih luas sesuai dengan
kebutuhan.
Jaminan resiko-resiko tambahan, dengan dikenakan
tambahan premi untuk kerugian atau kerusakan yang
diakibatkan terhadap resiko-resiko, antara lain sebagai
berikut:
(a) Gempa bumi, banjir, letusan gunung berapi, badai, dan
angin topan;
(b) Huru-hara, pemogokan umum, kerusuhan;
105
(c) Tanah longsor;
(d) Gangguan usaha atau kerugian yang diakibatkan
kebakaran;
(e) Banjir dan rusak karena genangan air;
(f) Terbakar sendiri untuk stok barang.
(2) Takaful Kendaraan Bermotor (Motor Vehicle Insurance)
Memberikan perlindungan terhadap hal-hal berikut:
(a) Kerugian dan atau kerusakan atas kendaraan yang
dipertanggungkan akibat terjadinya kecelakaan yang
tidak diinginkan, secara sebagian (partial loss) maupun
secara keseluruhan (total loss);
(b) Tindak pencurian;
(c) Tanggung jawab hukum pada pihak ketiga;
(d) Huru-hara, pemogokan umum, kerusuhan;
(e) Kecelakaan diri pengemudi;
(f) Kecelakaan diri penumpang.
(3) Takaful Kecelakaan Diri (Personal Accident Insurance)
Menjamin resiko-resiko sebagai akibat kecelakaan,
yaitu suatu tindakan fisik maupun kimia yang dating dari
luar secara tiba-tiba dan mengakibatkan luka yang dapat
ditentukan oleh dokter, termasuk dalam kecelakaan
keracunan (kecuali disengaja/ memakai narkotika) dan
tenggelam.
(4) Takaful Kebongkaran
Asuransi ini memberikan kepada tertanggung
jaminan terhadap kerugian yang diakibatkan karena
106
pencurian dengan menggunakan kekerasan dan kerusakan
dari barang-barang akibat pencurian dengan kekerasan.
b) Produk-produk Mega Risk
Produk Mega Risk adalah produk-produk kerugian yang
berdasarkan syariah, dimana tingkat resikonya sangat tinggi,
sehingga umumnya melebihi kapasitas reasuransi perusahaan,
dan dalam struktur perhitungan teknisnya cukup rumit. Produkproduk ini dalam industri asuransi disebut mega risk atau
complicated risk..
Beberapa contoh produk-produk Mega Risk adalah:
(1) Takaful Kebakaran (Industrial Risk)
Sama halnya dengan jaminan Takaful Kebakaran
Non Industrial, namun dibedakan dari segi okupasi objek
yang diasuransikan, maka Takaful Kebakaran Industrial
menjamin objek-objek dengan tingkat resiko tinggi seperti
pabrik, pengilangan, gedung-gedung yang tingginya lebih
dari enam lantai, dan lain-lain.
(2) Takaful Rekayasa (Engineering Insurance)
Memberikan perlindungan terhadap kerugian dan
atau kerusakan sebagai akibat yang berkaitan dengan
pekerjaan pembangunan beserta alat-alat berat, pemasangan
konstruksi baja/ mesin, dan akibat beroperasinya mesin
produksi serta tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga.
Jenis Asuransi Takaful Rekayasa adalah sebagai berikut:
(a) Takaful Resiko Pembangunan (Contractor All Risk
Insurance);
107
(b) Takaful
Resiko
Pemasangan
(Erection
All
Risk
Insurance);
(c) Takaful Mesin-mesin (Machinery Insurance);
(d) Takaful Peralatan Elektronik (Electronic Equipment
Insurance).
(3) Takaful Pengangkutan (Cargo Insurance)
Memberikan perlindungan terhadap kerugian dan
atau kerusakan pada barang-barang atau pengiriman uang
sebagai akibat alat pengangkutnya mengalami musibah atau
kecelakaan selama dalam perjalanan melalui laut, udara,
atau darat. Jenis Asuransi Takaful Pengangkutan adalah
sebagai berikut:
(a) Takaful Pengangkutan Laut (Marine Cargo Insurance);
(b) Takaful Pengangkutan Udara (Air Cargo Insurance);
(c) Takaful Pengangkutan Darat (Land Cargo Insurance);
(d) Takaful
Pengangkutan
Uang
(Cash
in
Transit
Insurance).
(4) Takaful Surety Bond (Construction Contract Bond)
Memberikan perlindungan terhadap kerugian yang
terjadi pada pemilik proyek atau pemberian fasilitas
terhadap pelaksanaan kontrak atau penerima fasilitas dalam
menjalankan kontrak. Dengan kata lain, Surety Bond
menjamin kontraktor terhadap pemilik proyek sesuai
dengan persyaratan dalam undangan lelang dan atau
kontrak bahwa kontraktor sanggup melaksanakan dan
menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan kontrak yang
disepakati.
108
(5) Takaful Rangka Kapal (Marine Hull Insurance)
Memberikan perlindungan terhadap kerugian dan
atau kerusakan pada rangka kapal dan mesin kapal akibat
kecelakaan dan berbagai bahaya lain yang dialami.
(6) Takaful Energi (Oil and Gas Insurance)
Memberikan perlindungan terhadap kerugian akibat
kecelakaan dan berbagai bahaya lainnya yang dialami
dalam pekerjaan pengeboran minyak dan gas di darat
maupun lepas pantai.
(7) Takaful Tanggung Gugat (Liability Insurance)
Memberikan jaminan atas kerugian peserta dari
kemungkinan
tuntutan
ganti
rugi
pihak
lain
yang
disebabkan oleh keberadaan harta peserta atau aktivitas
bisnis peserta atau profesi peserta.
Produk unggulan Asuransi Takaful Cabang Perwakilan
Surakarta yang terdapat dalam jenis asuransi umum:
a) Takaful Abror
Salah satu produk Asuransi Kendaraan Bermotor dari PT
Asuransi Takaful Umum yang memberikan jaminan dan fasilitas
layanan tambahan terhadap kendaraan yang mengalami kerugian
atau kerusakan dikarenakan suatu sebab yang dijamin oleh polis.
Berupa paket jaminan yang diberikan kepada adalah mobil yang
dijamin dalam polis tersebut dan peserta Takaful Abror, atau
pengemudi mobil yang didalamnya apabila mobil tersebut
mengalami musibah selama masa perjanjian.
109
b) Surgaina
Produk Takaful yang memberikan perlindungan terhadap
kerugian finansial dan santunan akibat kecelakaan yang diderita
oleh peserta, yang mengakibatkan meninggal dunia, menderita
cacat badan dan atau biaya pemakaman peserta.
Setelah calon nasabah memutuskan akan memilih produk atau
mengikuti program asuransi yang sesuai dengan keinginannya, calon
nasabah dan perusahaan asuransi membuat suatu perjanjian tertulis.
Perjanjian merupakan bentuk dan kesepakatan yang merupakan
pernyataan kesesuaian kehendak dari masing-masing pihak untuk
saling mengikatkan diri. Jadi terdapat suatu persetujuan dari para pihak
untuk saling mengikatkan diri guna melaksanakan isi perjanjian untuk
mencapai tujuan. Dengan adanya perjanjian itu para pihak menjadi
terikat untuk melaksanakan isi perjanjian yang sudah disepakati
bersama. Hal ini terlihat dalam ketentuan tentang pertanggungjawaban
kedua pihak.
Pelaksanaan perlindungan hukum terhadap nasabah asuransi
syariah dapat dikatakan telah terpenuhi apabila antara perusahaan
asuransi
dengan
nasabah
saling
mematuhi
ketentuan
pertanggungjawaban kedua pihak. Produk dan layanan asuransi syariah
yang telah dipilih sebenarnya telah mengandung aspek perlindungan.
Aspek
perlindungan
tersebut
terdapat
dalam
ketentuan
pertanggungjawaban para pihak. Namun dalam kenyataannya, masih
banyak nasabah yang belum paham mengenai di mana dapat
ditemukan sisi perlindungan hukum nasabah asuransi syariah yang
dapat dijadikan jaminan atas perjanjian asuransinya.
b. Syarat Pengajuan Asuransi, meliputi :
110
1) Mengisi surat pengajuan asuransi atau aplikasi, yang diisi sendiri
oleh peserta.
Untuk menghindari dari adanya unsur gharar, maisir dan
riba maka dalam berasuransi takaful terlebih dahulu harus mengisi
aplikasi, yaitu surat pengajuan asuransi berikut cara pengisiannya.
Aplikasi tersebut berisi mengenai :
a) DATA PRIBADI
(1) Nama Lengkap, diisi berikut gelar, diusahakan agar tidak
melebihi 30 karakter;
(2) Tanggal Lahir, cara pengisiannya 2 kotak pertama untuk
tanggal, 2 kotak ditengah untuk bulan, dan 2 kotak terakhir
untuk tahun;
(3) Identitas Diri, dapat berupa KTP, SIM, atau PASPORT
(tercantum tanggal berlaku, ada tanda tangan calon peserta,
dan potonya). Identitas diri tersebut harus masih berlaku
pada saat penyerahan aplikasi, tanda tangannya harus sama
dengan yang ada diaplikasi;
(4) Kewarganegaraan, Kotak disilang pada angka 1 bila Warga
Negara Indonesia, angka 2 bila Warga Negara Asing;
(5) Agama, Kotak disilang pada angka 1 bila beragama Islam
dan angka 2 bila non Islam;
(6) Jenis Kelamin, kotak disilang pada angka 1 bila pria dan
angka 2 bila wanita;
(7) Status Perkawinan, kotak disilang pada angka 1 bila
statusnya kawin, angka 2 bila belum kawin, pada angka 3
bila cerai dan angka 4 bila Janda/Duda.
b) PEKERJAAN
(1) Pekerjaan Pokok, Pengisian pekerjaan lebih difokuskan
pada kegiatan yang dilakukan pada saat melakukan tugas,
apakah bekerja pada kegiatan yang bersifat administratif,
111
pekerjaan dilapangan, atau di lokasi yang mempunyai
resiko lebih;
(2) Pekerjaan
sambilan,
merupakan
pekerjaan
tambahan
(pengisiannya sama dengan pekerjaan pokok);
(3) Jumlah
Tanggungan
Keluarga,
jumlah
orang
yang
ditanggung oleh calon peserta;
(4) Pendapatan tiap bulan, merupakan jumlah yang didapat dari
pekerjaan pokok ditambah pekerjaan sambilan untuk tiap
bulannya.
c) ALAMAT
Terdiri dari alamat surat menyurat, alamat rumah, dan alamat
pekerjaan/kantor.
d) DATA KEPESERTAAN
(1) Program, diisi sesuai dengan produk yang dikehendaki oleh
peserta. Masa perjanjiannya yang diinginkan oleh peserta.
Khusus untuk dana siswa masa perjanjiannya adalah 18
tahun dikurangi usia anak;
(2) Mata Uang, diisi pada angka 1 bila mata uang yang dipilih
rupiah dan angka 2 bila mata uang yang dipilih adalah
dolar;
(3) Cara Bayar, pada angka 1 cara bayar bulan, angka 2
triwulanan, angka 3 semesteran angka 4 tahunan dan angka
5 sekaligus;
(4) Pilihan Pembayaran, pada angka 1 bila pembayaran
dilakukan oleh diri sendiri, angka 2 bila pembayaran
dilakukan melalui transfer, angka 3 bila pembayaran
lanjutan ditagih oleh petugas Takaful.
e) PERNYATAAN
Merupakan uraian yang mempunyai aspek hukum dan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian polis.
112
f) PERJANJIAN
Diisi besarnya tabarru yang akan dikreditkan ke dalam
rekening khusus. Besarnya tabarru sesuai dengan produk yang
diambil, usia masuk dan lamanya masa perjanjian.
2) Setiap perubahan harus ditandatangani oleh peserta.
Tujuan dari pengisian formulir aplikasi ini adalah untuk
memberikan data sebenar-benarnya mengenai identitas nasabah
sehingga apabila suatu saat mengajukan klaim, maka nasabah dapat
membuktikan bahwa dirinya berhak atas klaim yang diajukan.
c. Polis Asuransi Syariah
Bentuk pelaksanaan akad (perjanjian) yang dibuat secara
tertulis berbentuk polis asuransi syariah. Polis memegang peranan
penting dalam menjaga konsistensi pertanggungjawaban baik pihak
penanggung maupun tertanggung. Dengan adanya polis asuransi
perjanjian antara kedua belah pihak mendapatkan kekuatan secara
hukum. Dengan memiliki polis asuransi tesebut maka pihak
tertanggung memiliki jaminan bahwa pihak penanggung akan
mengganti kerugian yang mungkin dialami oleh tertanggung akibat
peristiwa tidak terduga. Polis tersebut merupakan bukti otentik yang
dapat digunakan oleh tertanggung untuk mengajukan klaim apabila
pihak penanggung mengabaikan tanggung jawabnya. Penggantian
finansial
dari
penanggung
akan
sangat
bermanfaat
untuk
mengembalikan tertanggung kepada kedudukannya semula sebelum
mengalami
kerugian
dan
menghindarkan
tertanggung
dari
kebangkrutan. Polis asuransi juga berfungsi sebagai bukti pembayaran
premi kepada penanggung.
Perlindungan asuransi kepada pemegang polis dimulai ketika
polis sudah dikeluarkan dan semua hal yang dikirimkan ke pemegang
polis sudah dilengkapi dan dikembalikan ke perusahaan asuransi jiwa.
113
Syarat-syarat yang dikirimkan biasanya terdiri dari pembayaran premi,
pernyataan kesehatan, surat tanda terima. Memastikan kepada
masyarakat akan begitu detailnya polis asuransi memberikan jaminan
kepastian dalam bahasa hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
Ditambah lagi dengan peraturan perundang-undangan oleh pemerintah
yang juga memberikan jaminan hukum terhadap pelaksanaan dan
pengawasan program asuransi dan investasi yang ada di Indonesia.
Hal yang terpenting yaitu perlindungan nasabah yang langsung
dapat dijadikan jaminan oleh semua asuransi yang ada di Indonesia,
yakni berupa polis. Adapun syarat-syarat umum polis harus
memperhatikan tiga kepentingan, yakni :
1) Kepentingan nasabah:
Kepentingan nasabah bisa memberikan sesuatu hal yang jelas
untuk kepentingan nasabah atau tertanggung. Nasabah bisa
dilindungi dan mendapatkan syarat-syarat yang sama di perusahaan
asuransi.
2) Kepentingan instansi pembina atau pengawas:
Yang dimaksud kepentingan instansi pembina, atau pengawas
yakni kepentingan pemerintah melalui direktorat asuransi, apa
yang
tercantum
dalam
undang-undang,
peraturan-peraturan
pemerintah harus menjadi referensi dan syarat-syarat umum polis
tersebut.
3) Kepentingan industri asuransi:
Yang dimaksud dengan kepentingan industri asuransi adalah
industri asuransi harus terlindungi dari usaha atau itikad buruk
pihak-pihak yang ingin mendapatkan keuntungan diri dari asuransi.
114
Seperti yang tersebut dalam Pasal 25 KUHD, bahwa suatu
pertanggungan harus dibuat secara tertulis di dalam suatu akta yang
dinamakan polis. Di dalam polis itu sendiri tidak boleh merugikan
kepentingan pemegang polis (nasabah). Pasal 5 dan Pasal 6 Keputusan
Menteri Keuangan No. 225/KMK.017/1993 menyatakan bahwa dalam
polis dilarang mencantumkan pembatasan upaya hukum, disamping itu
tindakan yang dapat dianggap memperlambat penyelesaian atau
pembayaran klaim secara wajar antara lain :
1) Memperpanjang masa penyelesaian klaim, dengan memilih
dokumen lain yang pada dasarnya isi tersebut sama dengan
dokumen yang telah ada;
2) Menunda pembayaran klaim, dengan mengkaitkan pembayaran
klaim reasuransi;
3) Menerapkan prosedur yang tidak lagi dalam lingkup kegiatan
asuransi;
4) Tidak
menyelesaikan
klaim
dengan
mengkaitkan
pada
penyelesaian klaim yang lain pada polis yang sama.
Setiap hubungan hukum yang diciptakan selalu mempunyai
dua segi yang saling tarik menarik, yaitu hak dan kewajiban. Untuk
menjamin kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi para pihak,
perjanjian itu harus tertulis meskipun tidak menutup kemungkinan
dibuat perjanjian secara lisan terhadap hal-hal tertentu. Pada perjanjian
umumnya selalu dicantumkan secara jelas hak dan kewajiban dari
masing-masing pihak, sehingga para pihak mengetahui apa yang
menjadi hak dan kewajibannya dalam perjanjian tersebut serta
menjamin adanya perlindungan hukum bagi para pihak.
Ketentuan mengenai polis di PT Asuransi Takaful Cabang
Surakarta terdapat pada Syarat Umum Polis Individu (dalam asuransi
Takaful Keluarga) dan Syarat Umum yang terdapat pada masing-
115
masing polis (dalam asuransi Takaful Umum). Perlindungan hukum
terhadap nasabah asuransi syariah yang tercantum di dalam hak dan
kewajiban pada polis asuransi di PT Asuransi Takaful Cabang
Surakarta meliputi :
1) Syarat Umum Polis Individu
a) Perlindungan nasabah (peserta) yang tercantum pada hak dan
kewajiban peserta asuransi:
(1) Atas pembayaran premi lanjutan diberikan kelonggaran 1
(satu) bulan sejak tanggal jatuh tempo pembayaran. Bila
dalam masa kelonggaran tersebut peserta meninggal dunia
atau musibah terjadi maka peserta akan mendapat Manfaat
Takaful (Pasal 4 ayat 5);
(2) Peserta dapat melakukan perubahan polis dengan membuat
pernyataan tertulis dari peserta sendiri dengan ketentuan
polis masih dalam keadaan aktif (Pasal 6 ayat 1);
(3) Peserta dapat melakukan perubahan polis yang telah batal
karena peserta belum membayar premi lanjutan lebih dari 1
bulan (masa kelonggaran) dengan cara polis harus
dipulihkan terlebih dahulu (Pasal 6 ayat 6);
(4) Peserta dapat melakukan pengambilan Nilai Tunai dengan
membuat permintaan tertulis dari peserta (Pasal 7 ayat 1);
(5) Peserta berhak mendapatkan Dana Tahapan untuk polis
yang dalam keadaan aktif (masih berlaku) sesuai dengan
Tahapan yang tercantum dalam polis (Pasal 7a ayat 1 dan
2);
(6) Peserta dapat mengambil kapan saja untuk Tahapan yang
telah jatuh tempo dan belum diambil dengan terlebih
dahulu mengajukan Klaim Tahapan. Kecuali dalam produk
Takaful Dana Siswa atau Takaful Dana Pendidikan,
Tahapan yang tidak diambil akan terakumulasi pada Nilai
116
Tunai, sehingga akan memperbesar jumlah Tahapan ketika
di Perguruan Tinggi (Pasal 7a ayat 5);
(7) Klaim akan dibayarkan setelah berkas-berkas
yang
dipersyaratkan telah lengkap diterima dan disetujui oleh
perusahaan (Pasal 9 ayat 1);
(8) Menyelesaikan perselisihan di antara perusahaan dengan
pihak yang berkepentingan di dalam Perjanjian Takaful ini
dengan melalui Badan Arbitrase Muamalat Indonesia
(BAMUl) seperti yang tercantum pada Pasal 12.
b) Perlindungan nasabah (peserta) yang tercantum pada hak dan
kewajiban perusahaan asuransi:
(1) Atas pembayaran premi lanjutan diberikan kelonggaran 1
bulan sejak tanggal jatuh tempo pembayaran, bila peserta
dalam
masa
kelonggaran
meninggal
dunia,
maka
perusahaan akan membayar Manfaat Takaful kepada
peserta asuransi (Pasal 4 ayat 5);
(2) Apabila premi lanjutan belum dibayar lebih dari 1 bulan
(masa kelonggaran), khusus untuk polis dengan unsur
tabungan, bila peserta meninggal atau mengundurkan diri,
perusahaan akan membayarkan Nilai Tunainya (Pasal 4
ayat 6);
(3) Melakukan proses pemulihan polis peserta asuransi yang
batal karena premi lanjutan belum dibayar selama lebih dari
1 bulan (masa kelonggaran) sesuai dengan ketentuanketentuan Underwriting dan Aktuaria (Pasal 5 ayat 5);
(4) Melakukan proses perubahan polis atas permintaan peserta
sesuai dengan
ketentuan-ketentuan Underwriting dan
Aktuaria (Pasal 6 ayat 4);
(5) Membayarkan
klaim
setelah
berkas-berkas
yang
dipersyaratkan sesuai dengan ketentuan yang ada telah
lengkap dan disetujui oleh Perusahaan (Pasal 9 ayat 1);
117
(6) Perusahaan wajib untuk membayar seluruh Manfaat
Takaful kepada peserta sepanjang resiko tersebut secara
khusus sudah diperhitungkan, kecuali peserta mengalami
musibah karena :
(a) Bunuh diri atau dihukum mati oleh Pengadilan yang
berwenang;
(b) Terlibat perkelahian, kecuali jika terbukti sebagai pihak
yang mempertahankan diri;
(c) Akibat pekerjaan yang disengaja, direncanakan dengan
persetujuan Peserta atau pihak lain yang berhak
menerima santunan;
(d) Akibat
kecelakaan
pesawat
terbang
yang
tidak
diselenggarakan oleh perusahaan penerbangan yang
tergabung
dalam
International
Air
Transport
Association (IATA);
(e) Pekerjaan/jabatan peserta yang mengandung resiko
sebagai militer, polisi, pilot, buruh tambang, dan
pekerjaan/jabatan lain yang resikonya tinggi;
(f) Olahraga atau hobi peserta yang mengandung bahaya
dan resiko tinggi;
(g) Perbuatan kekerasan dalam pemberontakan, huru-hara,
perang, pengacauan dan kekacauan, perbuatan teror,
kegaduhan sipil, atau keadaan yang dapat disamakan
dengan itu (baik langsung maupun tidak dan tidak
memandang apakah tindakan itu ditujukan terhadap
peserta atau orang lain).
(7) Dalam hal sebagian atau seluruh wilayah Indonesia terlibat
dalam peperangan baik dinyatakan atau tidak, atau Negara
Republik Indonesia untuk seluruhnya atau sebagian
dinyatakan dalam keadaan bahaya sipil atau darurat perang,
118
Perusahaan menentukan besamya potongan sementara atas
pembayaran Manfaat Takaful atas klaim.
2) Syarat umum yang terdapat pada masing-masing polis)
a) Asuransi Takaful Kendaraan Bermotor
(1) Perlindungan nasabah (peserta) yang tercantum pada hak
dan kewajiban peserta asuransi :
(a) Penanggung akan memberikan ganti rugi terhadap
tertanggung atas kerusakan atau kehilangan kendaraan
bermotor, maka dengan ketentuan tertanggung berhak
mengajukan ketidakpuasannya dengan secara tertulis
atas hasil perbaikan kendaraan yang dimaksud oleh
bengkel dalam waktu 14 (empat belas) hari kalender
sejak selesai diperbaiki dan diserahterimakan pada
tertanggung apabila bengkel tersebut ditunjuk oleh
penanggung (Pasal 9);
(b) Berhak
untuk
setiap
pertanggungan ini tanpa
waktu
menghentikan
diwajibkan memberitahukan
alasannya yang dilakukan secara tertulis dikirim melalui
pos tercatat oleh pihak yang menghendaki penggantian
pertanggungan kepada pihak lainnya di alamat terakhir
yang diketahui (Pasal 19ayat 1);
(c) Pada akhir masa perjanjian (polis sudah jatuh tempo),
maka peserta akan memperoleh sebagian kontribusi
Takaful (prerni) dengan ketentuan peserta tidak pernah
menerima pembayaran atau sedang mengajukan klaim
atas polis dan peserta tidak membatalkan perjanjian
polis.
(2) Perlindungan nasabah (peserta) yang terdapat pada hak dan
kewajiban perusahaan asuransi :
(a) Penanggung
memberikan
penggantian
kepada
tertanggung terhadap tanggung gugat tertanggung
119
terhadap suatu kerugian yang diderita oleh pihak
ketiga
yang
secara langsung disebabkan oleh
kendaraan bermotor yang dipertanggungkan, dan biaya
perkara atau biaya bantuan para yang berkaitan dengan
tanggung gugat tertanggung telah disetujui oleh
penangung secara tertulis (Pasal 2);
(b) Penanggung
memberikan
ganti
rugi
terhadap
tertanggung atas kerusakan atau kehilangan kendaraan
bermotor yang dipertanggungkan berdasarkan harga
sebenarnya sesaat sebelum terjadinya kerusakan atau
kehilangan tersebut atau atas tuntutan pihak ketiga,
setinggi-tingginya sebesar jumlah, setelah dikurangi
dengan resiko sendiri (retensi sendiri) yang tercantum
dalam ikhtisar pertanggungan dan setelah dikenakan
perhitungan di bawah harga (Pasal 9);
(c) Jika kendaraan bermotor yang dipertanggungkan pada
saat kerugian atau kerusakan oleh suatu bahaya yang
dijamin dalam pertanggungan kendaraan bermotor ini,
harga sebenarnya kendaraan bermotor tersebut lebih
besar daripada pertanggungan, maka penanggung akan
menggantinya menuntut hitungan dari bagian yang
dipertanggungkan
terhadap
bagian
yang
tidak
dipertanggungkan (Pasal 12);
(d) Dalam hal penanggung yang membatalkan polis,
penanggung wajib mengembalikan premi secara prorata
untuk waktu pertanggungan yang belum berjalan (Pasal
19 ayat 1);
(e) Apabila
tidak
tertanggung
atau
tercapai
musyawarah
penanggung
wajib
mufakat,
mengajukan
permohonan usaha penyelesaian melalui arbitrase
apabila yang dipilih adalah dengan jalan arbitrase;
120
(f) Apabila
tidak
tertanggung
tercapai
atau
musyawarah
penanggung
wajib
mufakat,
mengajukan
permohonan usaha penyelesaian melalui pengadilan
yang daerah hukumnya tempat termohon bertempat
tinggal apabila yang dipilih adalah dengan jalan
peradilan;
(g) Karena pembatalan endorsemen, penanggung wajib,
mengembalikan premi untuk jangka waktu yang belum
habis secara prorata;
(h) Menginvestasikan kontribusi Takaful (premi) yang
diterima dengan kompensasi perlindungan (Manfaat
Takaful) bagi peserta Takaful.
b) Asuransi Kebakaran
(1) Perlindungan nasabah (peserta) yang tercantum pada hak
dan kewajiban peserta asuransi :
(a) Berhak
untuk
setiap
waktu
menghentikan
pertanggungan ini tanpa diwajibkan memberitahukan
alasannya secara tertulis yang dikirim melalui pos
tercatat oleh pihak yang menghendaki penghentian
pertanggungan (Pasal 19 ayat 1);
(b) Dalam hal penyelesaian sengketa melalui arbitrase,
maka tertanggung
berhak untuk menunjuk seorang
arbiter dalam jangka waktu 30 hari setelah diterimanya
pemberitahuan (Pasal 21 ayat 5);
(2) Perlindungan nasabah (peserta) yang tercantum pada hak
dan kewajiban perusahaan asuransi :
(a) Penanggung menjamin kerugian dan kerusakan pada
harta
benda
dan
dipertanggungjawabkan
atau
yang
kepentingan
secara
yang
langsung
121
disebabkan
karena
kebakaran,
petir,
peledakan,
kejatuhan pesawat terbang, dan asap (bab 1);
(b) Dalam hal terjadi kerugian atau kerusakan atas harta
benda dan atau kepentingan yang dipertanggungkan,
ganti rugi yang menjadi tanggung jawab penanggung
setinggi-tingginya sebesar jumlah pertanggungan (Pasal
7 ayat 1);
(c) Mengganti biaya yang wajar yang dikeluarkan oleh
tertanggung guna mencegah atau mengurangi kerugian
atau kerusakan sekalipun usaha yang dilakukan tidak
berhasil (Pasal 13 ayat 2);
(d) Penanggung harus menyelesaikan pembayaran klaim 30
hari kalender sejak adanya kesepakatan atau kepastian
mengenai jumlah klaim yang dibayar (Pasal 15);
(e) Apabila
penanggung
yang
membatalkan,
maka
penanggung wajib mengembalikan premi untuk jangka
waktu belum habis secara prorata (Pasal 19 ayat 2);
(f) Tertanggung atau penanggung wajib mengajukan usaha
penyelesaian sengketa melalui Arbitrase Ad Hoc,
apabila penyelesaian dengan cara perdamaian atau
musyawarah tidak dapat dicapai (Pasal 21 ayat 1);
(g) Dalam hal penanggung dan tertanggung memilih
penyelesaian sengketa melalui pengadilan, penanggung
atau tertanggung wajib mengajukan permohonan usaha
penyelesaian
melalui
Pengadilan
yang
daerah
hukumnnya termohon bertempat tinggal (Pasal 21);
(h) Penanggung
menginvestasikan
kontribusi
Takaful
(premi) yang diterima dengan kompensasi perlindungan
(Manfaat Takaful) bagi peserta Takaful.
c) Asuransi Kecelakaan Diri
122
(1) Perlindungan nasabah (peserta) yang tercantum pada hak
dan kewajiban peserta asuransi :
(a) Mendapatkan jaminan apabila terjadi kecelakaan sesuai
dengan kesepakatan yang ada;
(b) Tertanggung akan memperoleh premi yang sudah
dibayar untuk jangka waktu yang belum dijalankan
apabila
penanggung
tidak
menyetujui
menerima
pertanggungan yang bersangkutan (Pasal 6 ayat 1 sub
b);
(c) Peserta dapat mengakhiri pertanggungan dengan cara
memberitahukan kepada penanggung secara tertulis
selambatnya 7 hari sebelumnya (Pasal 7 ayat 1 sub b);
(d) Apabila terjadi perselisihan dapat mengajukan suatu
perkara pada arbitrase dengan memberitahukan secara
tertulis kepada pihak yang lain (Pasal 9);
(e) Mendapatkan
pengelolaan
keuntungan
seluruh
yang
premi
diperoleh
takaful
pada
dari
akhir
pertanggungan yang akan dibagikan secara proporsional
kepada seluruh tertanggung berdasarkan prinsip bagi
hasil
(mudharabah),
dengan
nisbah
70%
untuk
penanggung dan 30% untuk seluruh tertanggung dengan
ketentuan :
(i) Tertanggung tidak pernah menerima pembayaran
atau sedang mengajukan klaim atau polis yang
bersangkutan;
(ii) Tertanggung tidak membatalkan pertanggungan
polis yang bersangkutan.
(2) Perlindungan nasabah (peserta) yang tercantum pada hak
dan kewajiban perusahaan asuransi :
123
(a) Penanggung akan membayar santunan apabila terjadi
klaim sesuai dengan kesepakatan dalam polis (Pasal 4);
(b) Penanggung
akan
mengganti
biaya-biaya
untuk
pengobatan oleh dokter/ lembaga kesehatan yang resmi
setinggi-tingginya sebesar jumlah uang pertanggungan
sebagaimana yang telah ditetapkan (Pasal 4 sub a);
(c) Apabila terjadi penghentian pertanggungan (karena atas
kehendak penanggung dengan memberitahukan melalui
surat tercatat ke alamat terakhir dari tertanggung, jika
dalam masa penanggungan tertanggung mencapai umur
60 tahun, jika tertanggung tidak lagi bertempat tinggal
di Indonesia, dan jika tertanggung dikenakan hukuman
penjara) penanggung wajib mengembalikan premi
untuk jangka waktu yang belum habis secara pro rata
(Pasal 7 ayat 3 sub a);
(d) Apabila terjadi penghentian pertanggungan (karena atas
kehendak tertanggung dengan cara memberitahukan
kepada penanggung secara tertulis selambat-lambatnya
7 hari sebelumnya, dan karena jika tertanggung tidak
memenuhi kewajiban sebagaimana yang disebutkan
pada Pasal 6) maka penanggung wajib mengembalikan
premi setelah lebih dahulu dikurangi dengan jumlah
premi yang diperhitungkan menurut skala suku premi
jangka pendek untuk waktu yang sudah dijalani (Pasal 7
ayat 3 sub b);
d. Syarat-syarat Pengajuan Klaim
1) Dokumen yang diperlukan sebagai syarat untuk pengajuan klaim
adalah sebagai berikut:
a) Syarat secara umum
(1) polis asli;
124
(2) Mengisi formulir pengajuan klaim yang disediakan oleh
perusahaan;
(3) Fotokopi identitas diri yang masih berlaku;
(4) Melampirkan surat pemberitahuan jatuh tempo tahapan
(khusus dana siswa, jika ada);
(5) Surat keterangan medis dari dokter atau rumah sakit yang
merawat (untuk klaim rawat inap atau cacat tetap karena
kecelakaan).
b) Khusus untuk klaim meninggal dunia, dilengkapi dengan :
(1) Mengisi formulir daftar pertanyaan untuk klaim yang
disediakan oleh perusahaan;
(2) Surat kematian dari instansi pemerintah yang berwenang;
(3) Surat dari dokter yang berisikan keterangan sebab-sebab
meninggal;
(4) Melampirkan surat keterangan dari polis (bila meninggal
karena kecelakaan).
2) Perusahaan berhak untuk meminta diberikan dokumen-dokumen
lain yang dianggap perlu dalam pengajuan klaim;
3) Dalam hal peserta meninggal dunia, jangka waktu pengajuan
berikut bukti-bukti yang diperlakukan selambat-lambatnya 6
(enam) bulan sejak awal tanggal meninggal.
e. Penyelesaian Sengketa pada Asuransi Syariah
Dalam pelaksanaan akad, sering terjadi perselisihan atau
persengketaan yang dipicu oleh kondisi salah satu pihak merasa
dirugikan. Hal ini dapat terjadi kemungkinan disebabkan oleh tidak
diterapkannya asas-asas perjanjian dalam kontrak tersebut. Fatwa No.
43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Ganti Rugi dan Ketentuan Penutup
Fatwa-Fatwa DSN MUI yang mengatur tentang Asuransi Syariah
125
menyatakan apabila salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya
atau
jika
terjadi
perselisihan
diantara
para
pihak,
maka
penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah
tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. Ketentuan tersebut
dapat digunakan oleh peserta asuransi dalam mencari perlindungan
hukum apabila peserta merasa dirugikan.
Penyelesaian sengketa di bidang asuransi, tidak diatur secara
jelas dalam peraturan perundang-undangan. Padahal dalam melakukan
hubungan keperdataan tidak terlepas dari kemungkinan timbulnya
konflik. Oleh karena itu perlu diatur mengenai hal penyelesaian
sengketa dalam Lembaga Ekonomi Syariah (LES) yang di dalamya
termasuk bank dan asuransi Islam.
Seorang mediator, arbiter, atau hakim pada LES harus
memahami mengenai sistem ekonomi syariah dan juga konvensional.
Prinsip syariah membolehkan adanya sanksi perdata atau pembayaran
ganti rugi kepada pihak-pihak yang dirugikan sebanding dengan
tingkat kerugian yang dialaminya secara adil dan berdasarkan
kesepakatan yang ada. Berdasarkan ketentuan Buku III KUH Perdata,
ganti kerugian dapat berupa ganti rugi, biaya, dan bunga. Pada konsep
syariah, bunga jelas diharamkan. Agar tidak terjadi kerancuan dalam
menerapkan Hukum Perdata, yang berbeda prinsip antara KUH
Perdata dengan hukum Islam maka alangkah baiknya bila hakim,
arbiter, atau mediator mempunyai bahan acuan yang sama sebagai
pegangan dalam menyelesaikan permasalahan. Diperlukan aturanaturan khusus yang menjadi lex spesialis sebagai pengganti dari
hukum perjanjian perdata dengan aturan perjanjian berdasarkan prinsip
syariah.
Dalam hal perjanjian kontrak (akad) sebaiknya mencantumkan
klausula penyelesaian sengketa melalui musyawarah, mediasi, dan
126
arbitrase, atau ke lembaga peradilan sebagai pilihan terakhir. Jika para
pihak sepakat untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase maka
sebaiknya
menggunakan
(BASYARNAS)
sebagai
Badan
Arbitrase
lembaga
arbiter
Syariah
Indonesia
yang
menangani
penyelesaian perselisihan sengketa di bidang ekonomi syariah.
Penyelesaian Sengketa menurut Hukum Islam:
1) Perdamaian (Sulh/Ishlah)
Secara
harfiah
mengandung
pengertian
“memutus
pertengkaran atau perselisihan”. Dalam pengertian syariah
dirumuskan: “Suatu jenis akad (perjanjian) untuk mengakhiri
perlawanan (perselisihan) antara dua orang yang berlawanan”.
LES yang dalam operasinya menggunakan prinsip-prinsip
syariah tentunya mengusahakan agar pelaksanaannya dilakukan
secara menyeluruh, sehingga penyelesaian sengketa pada LES
tentunya
juga
harus
menggunakan
prinsip-prinsip
syariah.
Penyelesaian sengketa yang paling sesuai adalah melalui ishlah,
karena ajaran Islam menghendaki penyelesaian sengketa dengan
jalan damai agar kedua pihak terhindar dari permusuhan.
Jika para pihak memilih cara ishlah, maka mereka mencoba
terlebih dahulu untuk menyelesaikan masalah di antara mereka
dengan mengadakan pertemuan antara kedua belah pihak. Hasil
pertemuan tersebut dituangkan dalam bentuk tertulis. Jika
pertemuan tersebut gagal untuk mencapai kesepakatan, maka
penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan bantuan dari
mediator.
2) Arbitrase
127
Arbitrase yang dalam Islam dikenal dengan istilah altahkim merupakan bagian dari al-qadla (peradilan). Landasan
hukum untuk memperbolehkan arbitrase, baik yang bersumber dari
Al-Qur’an, Sunnah maupun ijma’, bila ditelaah dengan seksama,
pada prinsipnya berisi anjuran untuk menyelesaikan perselisihan
dengan jalan damai. Namun bila jalan damai telah ditempuh dan
tidak berhasil untuk menemukan jalan keluarnya atau masingmasing pihak tetap pada pendiriannya, maka mereka bisa meminta
kepada pihak ketiga yang untuk menyelesaikan sengketa di antara
mereka (Hakam). Dalam mediasi, tidak ada pihak yang kalah
ataupun menang, semua sengketa diselesaikan dengan cara
kekeluargaan, sehingga hasil dari keputusan mediasi tentunya
merupakan konsesus kedua belah pihak.
BASYARNAS sebagai lembaga permanen yang didirikan
oleh
Majelis
Ulama
Indonesia
berfungsi
menyelesaikan
kemungkinan terjadinya sengketa muamalat yang timbul dalam
hubungan perdagangan, industri, keuangan, dan jasa. Pendirian
lembaga ini awalnya dikaitkan dengan berdirinya Bank Muamalat
Indonesia dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah. Kedudukan,
tugas, dan wewenang antara DPS dan BASYARNAS adalah
berbeda, namun kedua lembaga ini saling mengisi. DPS merupakan
bagian integral dalam struktur Lembaga Ekonomi Syariah
sementara BASYARNAS berdiri di luar struktur tersebut dan
berfungsi sebagai instrumen hukum yang menangani perselisihan
para pihak di lembaga keuangan syariah seperti bank, asuransi, dan
sebagainya.
3) Pengadilan Biasa (Al-Qadla)
Al-qadla secara harfiah berarti antara lain memutuskan atau
menetapkan. Menurut istilah fikih kata ini berarti menetapkan
128
hukum syara’ pada suatu peristiwa atau sengketa untuk
menyelesaikannya secara adil dan mengikat. Orang yang
berwenang
untuk
menyelesaikan
perkara
pada
pengadilan
semacam ini dikenal dengan qadli (hakim) dan keputusan dari
qadli ini mengikat kedua belah pihak.
Bila jalur arbitrase juga tidak dapat menyelesaikan
perselisihan, maka lembaga peradilan adalah jalan terakhir sebagai
pemutus perkara tersebut. Hakim harus memperhatikan rujukan
yang berasal dari arbiter yang sebelumnya telah menangani kasus
tersebut sebagai bahan pertimbangan dan untuk menghindari
lamanya proses penyelesaian. Permasalahannya adalah badan
peradilan mana yang sesuai dalam menyelesaikan persengketaan
tersebut, peradilan umum atau peradilan agama.
Mengingat sejarah Peradilan Agama bahwa wewenangnya
sangat luas, meletakkan bisnis syariah dalam kewenangan
Peradilan Agama merupakan momentum yang baik. Kewenangan
ini tercantum dalam UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas
UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Ditambah lagi
dengan adanya sumber daya manusia yang sudah memahami
permasalahan syariah, maka Peradilan Agama dipandang sebagai
pilihan terbaik untuk menyelesaikan perselisihan melalui jalur
pengadilan.
129
BAB IV
PENUTUP
Setelah penulis menguraikan mengenai pembahasan masalah yang
merupakan inti dari penulisan hukum yang disusun ini dengan judul Perlindungan
Hukum Terhadap Nasabah Dalam Asuransi Syariah (Studi Di PT Asuransi
Takaful Kantor Cabang Perwakilan Surakarta), maka dapat ditarik kesimpulan dan
saran-saran sebagai berikut:
A. Kesimpulan
1. Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Dalam Asuransi
Syariah
Asuransi takaful adalah asuransi yang bertumpu pada konsep
tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa. Konsep tersebut terdapat
dalam Al-Qur’an dan Hadits yang kemudian dilakukan ijtihad oleh para
ulama sebagai landasan syariah dalam berasuransi. Terdapat dua landasan
dalam asuransi syariah, yaitu landasan hukum sebagai landasan
operasional usaha asuransi syariah yang memuat peraturan-peraturan
hukum berupa undang-undang (UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian), Keputusan Menteri Keuangan, Keputusan Direktorat
Jendral Lembaga Keuangan serta Fatwa-fatwa Dewan Syariah NasionalMajelis Ulama Indonesia yang mengatur mengenai asuransi syariah dan
landasan syariah yang berpedoman pada Al-Qur’an, Sunnah Nabi, Piagam
Madinah, praktik sahabat, ijma, syar’u man qablana serta istihsan.
Landasan asuransi syariah adalah sumber dari pengambilan hukum
praktik
asuransi
syariah.
Landasan-landasan
tersebut
mendasari
terbentuknya akad dalam membuat suatu kesepakatan untuk melakukan
130
suatu perjanjian asuransi yang didalamnya memuat hak, kewajiban
sekaligus perlindungan bagi kedua belah pihak.
2. Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Dalam Asuransi Syariah Di PT.
Asuransi Takaful Kantor Cabang Perwakilan Surakarta
Akad yang digunakan dalam asuransi syariah adalah akad tijarah dan
akad tabarru’. Akad tijarah yang dimaksud adalah semua bentuk akad
yang dilakukan untuk tujuan komersial sedangkan akad tabarru’ adalah
semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebaikan dan tolongmenolong. Dari akad ini, sekurang-kurangnya harus disebutkan hak dan
kewajiban peserta dan perusahaan, cara dan waktu pembayaran premi, dan
jenis akad serta syarat-syarat yang disepakati sesuai dengan jenis asuransi.
Hubungan hukum melahirkan akibat hukum bagi kedua belah
pihak, yaitu timbulnya hak dan kewajiban antara pihak-pihak yang sepakat
mengadakan perjanjian (akad). Pada akad umumnya selalu dicantumkan
secara jelas hak dan kewajiban dari masing-masing pihak, sehingga para
pihak mengetahui apa yang menjadi hak dan kewajibannya dalam akad
tersebut serta menjamin adanya perlindungan hukum bagi para pihak.
Perlindungan yang diberikan di PT. Asuransi Takaful Kantor
Cabang Perwakilan Surakarta terhadap nasabahnya berupa :
a. Produk dan layanan yang bebas dari unsur gharar, maisir, dan riba
Jenis produk dan layanan pokok PT. Asuransi Takaful Kantor Cabang
Perwakilan Surakarta meliputi asuransi Takaful Keluarga untuk jenis
asuransi jiwa dan asuransi Takaful Umum untuk jenis asuransi
kerugian;
b. Syarat Pengajuan Asuransi, yang memuat aplikasi identitas calon
nasabah (calon pemegang polis);
131
c. Bentuk pelaksanaan akad (perjanjian) yang dibuat secara tertulis dalam
bentuk. Untuk menjamin kepastian hukum dan perlindungan hukum
bagi para pihak, perjanjian itu harus tertulis meskipun tidak menutup
kemungkinan dibuat perjanjian secara lisan terhadap hal-hal tertentu.
Polis Asuransi Syariah. Jenis polis yang terdapat di PT. Asuransi
Takaful Cabang Surakarta meliputi :
1) Syarat Umum Polis Individu dalam asuransi Takaful Keluarga;
2) Syarat Umum yang terdapat pada masing-masing polis dalam
asuransi Takaful Umum.
d. Syarat-syarat Pengajuan Klaim, yaitu ketentuan yang harus dipenuhi
agar klaim yang diajukan nasabah mendapat persetujuan oleh
perusahaan asuransi.
e. Apabila dalam pelaksanaannya peserta dirugikan dan timbul sengketa,
maka penyelesaian sengketa dapat dilakukan menurut hukum Islam
yaitu melalui perdamaian (suhl/ishlah), arbitrase (tahkim), dan melalui
pengadilan kekuasaan kehakiman (wilayat al Qadla).
B. Saran
Dalam penelitian yang penulis lakukan mengenai perlindungan
hukum terhadap nasabah dalam asuransi syariah di PT. Asuransi Takaful
Kantor Cabang Perwakilan Surakarta, maka penulis memberikan saran-saran
antara lain sebagai berikut :
1. Guna memberikan perlindungan hukum terhadap pemegang polis atas isi
perjanjian asuransi, sebaiknya sewaktu melakukan perjanjian asuransi
tersebut para pihak harus sepakat atas isi perjanjian yang diperjanjikan,
dan isi perjanjian tersebut semestinya dibacakan dihadapan nasabah
pemegang polis. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi kesalahpahaman
diantara
para
pihak,
dan
disarankan
kepada
penanggung
agar
132
memperhatikan segala kepentingan para nasabah termasuk dana nasabah
yang tersimpan dalam perusahaan asuransi tersebut, supaya dana nasabah
dapat terlindungi dan aman dalam perusahaan asuransi tersebut.
2. Peserta asuransi harus benar-benar cermat dalam mengetahui apa hak dan
kewajiban ketika akan, saat, dan setelah mengadakan suatu perjanjian
dengan pihak perusahaan asuransi agar tidak terjadi kerugian dan
penyesalan di kemudian hari.
3. Perusahaan asuransi syariah sebaiknya dapat membuktikan kepada
masyarakat akan keuntungan, kemudahan, manfaat dan perlindungan
asuransi syariah bagi masyarakat. Tentunya hal ini harus didukung dengan
adanya tenaga profesional yang memahami bisnis syariah.
4. Pemerintah sebaiknya harus segera membentuk suatu undang-undang yang
khusus mengatur mengenai asuransi syariah, agar payung hukum asuransi
syariah jelas dan terarah.
5. Perlu ditingkatkan adanya seminar, workshop, maupun acara sejenis yang
diadakan
dengan
tujuan
untuk
memperkenalkan,
mengkaji
serta
mempromosikan asuransi syariah kepada masyarakat umum.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Abdulkadir Muhammad. 2002. Hukum Asuransi Indonesia. Bandung: PT Citra
Aditya Bakti.
AM. Hasan Ali , MA. 2004. Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam. Jakarta:
Prenada Media.
Kasmir. 2002. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Lexy J. Moleong. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
133
Man Suparman S. 2003. Hukum Asuransi: Perlindungan Tertamggung Asuransi
Deposito Usaha Perasuransian. Bandung: PT Alumni.
Muhaimin Iqbal. 2006. Asuransi Umum Syariah Dalam Praktik. Jakarta: Gema
Insani.
Muhammad Syakir Sula. 2004. Asuransi Syariah (Life and General) Konsep dan
Sistem Operasional. Jakarta: Gema Insani Press.
Syamsul Anwar. 2007. Hukum Perjanjian Syariah: Studi Tentang Teori Akad
Dalam Fikih Muamalat. Jakarta: PT Raja Grafindo Perkasa.
Soerjono Soekanto. 1984. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.
______
_. 2005. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia.
Sri Rejeki Hartanto. 1997. Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi. Jakarta:
PT Sinar Grafika.
Suhrawardi K. Lubis. 2000. Hukum Ekonomi Islam. Jakarta: PT Sinar Grafika.
Totok Budi Santoso & Sigit Triandaru. 2006. Bank dan Lembaga Keuangan
Lainnya. Jakarta: Salemba Empat.
Tri Widiono. 2006. Aspek Hukum Operasional Transaksi Produk Perbankan di
Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia.
Wirdyaningsih. 2005. Bank dan Asuransi Islam Di Indonesia. Jakarta: Prenada
Media.
Zainuddin Ali. 2008. Hukum Asuransi Syariah. Jakarta: Sinar Grafika.
Kamus dan Terjemahan :
J.C.T Simorangkir dkk.2000. Kamus Hukum. Jakarta : Sinar Grafika.
Yayasan Penyelenggara Penterjemah / Pentafsir Al-Qur’an.1971. Al-Qur’an dan
Terjemahannya. Jakarta: Departemen Agama RI.
Undang-undang dan Peraturan lainnya :
Fatwa
Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia No.21/DSNMUI/X/2001 Tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah
Fatwa No.21/DSN-MUI/X/2001 Tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah
134
Fatwa No.43/DSN-MUI/VIII/2004 Tentang Ganti Rugi
Fatwa No.51/DSN-MUI/III/2006 Tentang Mudharabah Musytarakah Asuransi
Fatwa No.52/DSN-MUI/III/2006 Tentang Mudharabah Musytarakah Asuransi
Wakalah bil Ujrah
Fatwa No.53/DSN-MUI/III/2006 Tentang Tabarru’ pada Asuransi Syariah
Fatwa No.53/DSN-MUI/III/2006 Tentang Tabarru’ pada Asuransi Syariah Akad
Tabarru’ pada Asuransi dan Reasuransi Syariah
Keputusan Menteri Keuangan No. 424/KMK.06/2003 Tentang Kesehatan
Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi
Keputusan Menteri Keuangan No. 426/KMK.06/2003 tentang Perijinan Usaha
dan Kelembagaan Perusahaan asuransi dan Perusahaan Reasuransi
Keputusan Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan Nomor 4499/LK/2000
Tentang Jenis, Penilaian, dan Pembatasan Investasi Perusahaan
Reasuransi dengan Sistem Syariah
Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Kitab Undang-undang Hukum Dagang
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
Perasuransian
2 tahun 1992 tentang Usaha
Jurnal :
Tamyiz Mukharrom. 2003. ”Kontrak Kerja Antara Kesepakatan dan Tuntutan
Pengembangan SDM”. Jurnal Hukum Islam Al Mawarid. Edisi X
Tahun 2003. Yogyakarta: Program Studi Syari’ah FIAI UII.
Yusdani. 2002. ”Transaksi (akad) dalam Perspektif Hukum Islam”. Jurnal Studi
Agama MILLAH. Volume.II Nomor 2 Januari 2002. Yogyakarta:
Magister Studi Islam Universitas Islam Indonesia.
Surat Kabar:
135
Lamgiat Siringoringo. “Kinerja Asuransi: Hanya 3 bulan, Prudential Raup Premi
Asuransi Syariah Rp 410,3 M” dalam Harian Kontan. 15 April 2008
Halaman 10.
NN. “Memo Bisnis: Peningkatan Bisnis Asuransi Syariah” dalam Koran Tempo.
21 April 2008 Halaman 9 Kolom a.
Internet:
http://hukumonline.com/detail.asp?id=13000&cl=Berita ( diakses tanggal 3 April
2009 pukul 20.00 wib)
http://takaful.com/takafulindonesia»profilperusahaan.htm (diakses tanggal 3 April
2009 pukul 20.00 wib)
http://eramuslim.com/bedaasuransi/newbhn/fatwa.htm. ( diakses tanggal 29 April
2009 pukul 20.00 wib)
http://tazkia.com/konsepdasar?id=syari’ah. ( diakses tanggal 29 April 2009 pukul
20.05 wib)
Download