1 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NASABAH DALAM ASURANSI SYARIAH (STUDI DI PT ASURANSI TAKAFUL KANTOR CABANG PERWAKILAN SURAKARTA) Penulisan Hukum (Skripsi ) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Syarat-syarat Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh SITI AFFENTI NIM : E. 0005287 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009 2 PERSETUJUAN PEMBIMBING Penulisan Hukum (Skripsi) PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NASABAH DALAM ASURANSI SYARIAH (STUDI DI PT ASURANSI TAKAFUL KANTOR CABANG PERWAKILAN SURAKARTA) Oleh SITI AFFENTI NIM : E. 0005287 Disetujui untuk dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Surakarta, Juni 2009 Dosen Pembimbing MOH. ADNAN, S.H., M.Hum. NIP 131 411 014 3 PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum ( Skripsi ) PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NASABAH DALAM ASURANSI SYARIAH (STUDI DI PT ASURANSI TAKAFUL KANTOR CABANG PERWAKILAN SURAKARTA) Oleh SITI AFFENTI NIM : E. 0005287 Telah diterima dan disahkan oleh Dewan Penguji Penulisan Hukum ( Skripsi ) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada : Hari Tanggal : Rabu : 17 Juni 2009 DEWAN PENGUJI 1. Agus Rianto, S.H., M.Hum Ketua : ...................................................... 2. Bambang Joko S, S.H. Sekretaris : ...................................................... 3. Moh. Adnan, S.H., M.Hum Anggota : ...................................................... MENGETAHUI Dekan, Mohammad Jamin, S.H., M.Hum. NIP. 131 570 154 4 PERNYATAAN NAMA : SITI AFFENTI NIM : E. 0005287 Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul : Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Dalam Asuransi Syariah (Studi Di Pt Asuransi Takaful Kantor Cabang Perwakilan Surakarta) adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini. Surakarta, Juni 2009 Yang Membuat Pernyataan SITI AFFENTI NIM E. 0005287 5 MOTTO Allah selalu berikan yang terbaik untuk setiap hamba-Nya Miracles came through the path of hardwork (Penulis) There is a will, there is a way More can do with walk your talk...No you can do without the ones More walk, less talk, think act art is a part of my life, act with heart before feel the art 6 PERSEMBAHAN Sebuah karya sederhana ini penulis persembahkan kepada: Dzat yang Maha Agung, ﷲSWT, dimana dalam genggaman-Nya menghidup jiwa - jiwa lemahku Junjungan Nabi Besar Muhammad SAW, suri tauladan yang kami sanjungkan Ibu dan Bapak tersayang, yang telah mendukung tiap langkah, memberikan doa-doa, dan kasih sayang yang tulus tanpa pamrih Adik-adikku tercinta, yang telah memberi warna dalam hidup; Keluarga Besar Padmo Pandoyo, yang mungkin tidak bisa kutuliskan satu persatu di sini. Aku bangga menjadi bagian dalam keluarga ini.. Sahabat-sahabatku terhebat, di FH ’05 UNS, UKM BKKT UNS (Mbak Tika, Vina, Mas Hendrik, Mas Fitri, Mas Kamid, All Team & Crew “OSIK” PEKSIMIDA 2008, Anna, Mbak Atta, Mas Anung, dan seluruh Pembina, Pengurus beserta Staf UKM BKKT UNS 2008/2009), Istana Pura Mangkunegaran & Institut Seni Indonesia (ISI) Ska (Eyang Tarwa, Bu Umi, Bu Rati, Mas Mbesur, Mas Pebho, Citra, Idi, Dita, Mbak Iin, Mbak Galuh, Mbak Kadek, Mbak Enno, Mbak Neng, Mbak Pitut, Mbak Rambat, Mas Bobby, Mbak Isme, Erika, Mas Dodit), Panitia Wisuda FH ’04-‘07, Keluarga Graha UKM, Team MCC ’05 dan SMAN 4 Ska, dimana kebersamaan dengan kalian jauh lebih menakjubkan dibanding kesendirian, tempat aku menumpahkan beban pikiranku, dan memberi ruang aku berkarya ... Yang telah menunggu, mendukung, menemani, berbagi, menjaga, dan menerima aku apa adanya....je t’aime Bun... 7 ABSTRAK SITI AFFENTI, E 0005287. 2009. PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NASABAH DALAM ASURANSI SYARIAH (STUDI DI PT ASURANSI TAKAFUL KANTOR CABANG PERWAKILAN SURAKARTA). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulisan Hukum (Skripsi) ini bertujuan untuk mengetahui dan mengkaji peraturan yang memuat mengenai perlindungan hukum nasabah asuransi syariah serta bagaimana perlindungan hukum nasabah asuransi syariah di PT Asuransi Takaful Kantor Cabang Perwakilan Surakarta. Penulisan Hukum (Skripsi) ini termasuk jenis penelitian hukum doktrinal/normatif dengan menggunakan pendekatan undang-undang. Data yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah data sekunder, baik yang berupa bahan hukum primer yang diperoleh dari PT Asuransi Takaful Kantor Cabang Perwakilan Surakarta, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan data dalam penulisan hukum ini adalah studi kepustakaan atau studi dokumen. Teknik analisis data yang digunakan oleh penulis adalah teknik silogisme interpretasi yang dilakukan dengan kualitatif, berupa teknik yang digunakan dengan cara menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi lalu menjabarkannya secara deskriptif. Berdasarkan penulisan hukum ini diperoleh kesimpulan bahwa landasan asuransi syariah yang menjadi sumber dari pengaturan perlindungan hukum terhadap nasabah terdiri dari dua macam, yaitu landasan dasar syariah berupa AlQur’an, Sunnah Nabi, Piagam Madinah, praktik sahabat, ijma, syar’u man qablana serta istihsan, dan landasan hukum berupa Undang-Undang, Keputusan Menteri Keuangan, Keputusan Direktorat Jendral Lembaga Keuangan serta Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia yang mengatur mengenai asuransi syariah. Perlindungan hukum yang diberikan PT Asuransi Takaful Kantor Cabang Perwakilan Surakarta terhadap nasabahnya berupa produk dan layanan yang bebas dari unsur gharar, maisir, dan riba, unsur perlindungan hukum terhadap nasabah dalam asuransi syariah yang terkandung di dalam syarat pengajuan asuransi, polis asuransi syariah, dan syarat-syarat pengajuan klaim asuransi, serta cara-cara penyelesaian sengketa menurut hukum Islam, sehingga nasabah tidak hanya merasa terlindungi secara duniawi, namun juga secara ukhrawi. Kata kunci : Perlindungan Hukum, Nasabah, Asuransi Syariah 8 KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Rabb semesta alam atas segala Penciptaan-Nya, Keagungan dan Kebesaran-Nya. Shalawat serta salam bagi sang teladan Nabi Muhammad SAW. Atas rahmat dan pertolongan-Nya lah penulis dapat menyelesaikan Penulisan Hukum (Skripsi) dengan judul PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NASABAH DALAM ASURANSI SYARIAH (STUDI DI PT ASURANSI TAKAFUL KANTOR CABANG PERWAKILAN SURAKARTA). Seiring dengan telah selesainya penulisan hukum ini, maka dengan segala kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuannya, baik moril maupun materiil, dalam penulisan hukum ini : 1. Bapak Mohammad Jamin, S.H, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Bapak Mohammad Adnan, S.H, M.Hum selaku Ketua bagian Hukum dan Masyarakat serta selaku dosen Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini. 3. Ibu Erna Dyah Kusumawati S.H., M. Hum selaku Pembimbing Akademik. 4. Segenap Dosen dan Karyawan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah banyak menyalurkan ilmu dan pengetahuannya kepada penulis hingga menjadi seorang sarjana hukum. 5. Segenap Karyawan PT Asuransi Takaful Kantor Cabang Perwakilan Surakarta yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan data-data kepada penulis guna menyelesaikan penulisan hukum. 6. Ibu dan ayah tercinta yang telah memberikan segalanya kepada penulis. Terima kasih untuk segala pengorbanan, doa, dukungan, dan semangat yang tak henti-hentinya yang tidak akan mungkin mampu penulis balas. 9 7. Afa, Isa, dan Denny, untuk semua kasih sayang, keceriaan, masukan, kritikan, dan dukungannya dalam menyelesaikan penulisan ini. 8. Keluarga Besar Angkatan 2005 FH UNS: Ermel, Sinta, Elisa, Iwan (Lemot), Roni, Farid, kelompok Panwis ’05 (Bayu, Reza, Fatah, Diah), kelompok Teater Delik (Wahyu (Kucluk), Dhina, Denok, Novis, Irma), kelompok Asistensi (Desita, Desi, Febti), kelompok Magang (Faisal, Intan, Indah, Ratna, Dadi, Hasto) serta teman-teman yang lain yang tidak mungkin dapat disebutkan satu persatu, yang telah banyak memberikan banyak pembelajaran selama penulis melakukan studi di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 9. Keluarga Besar penulis yang telah memberikan perhatian dan dukungan baik moril maupun materiil kepada penulis. 10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuannya bagi penulis, baik selama kuliah maupun dalam penyelesaian penulisan hukum ini. Terimakasih. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan hukum ini masih jauh dari sempurna, baik dari segi materi maupun penulisannya, hal ini karena keterbatasan pengetahuan dan kadar keilmuan penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan masukan dan saran yang menunjang kesempurnaan penulisan hukum ini. Semoga penulisan hukum ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya, sehingga tidak menjadi suatu karya yang sia-sia. Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Surakarta, Juni 2009 Penulis 10 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................. ii HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iii HALAMAN PERNYATAAN ............................................................................. iv HALAMAN MOTTO .......................................................................................... v HALAMAN PERSEMBAHAN .......................................................................... vi ABSTRAK............................................................................................................ vii KATA PENGANTAR.......................................................................................... viii DAFTAR ISI......................................................................................................... x DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xiv BAB I BAB II PENDAHULUAN A. Latar Belakang .......................................................................... 1 B. Perumusan Masalah ................................................................... 8 C. Tujuan Penelitian ....................................................................... 9 D. Manfaat Penelitian .................................................................... 9 E. Metode Penelitian ...................................................................... 10 F. Sistematika Penelitian ................................................................ 14 TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori .......................................................................... 16 1. Tinjauan tentang Asuransi...................................................... 16 a. Pengertian Asuransi......................................................... 16 b. Perkembangan Asurasi Di Indonesia .............................. 17 c. Prinsip Dasar Asuransi..................................................... 18 d. Jenis-jenis Asuransi......................................................... 20 2. Tinjauan tentang Asuransi Syariah...................................... 21 a. Pengertian Asuransi Syariah............................................ 21 b. Perkembangan Asurasi Syariah....................................... 23 11 c. Prinsip Dasar Asuransi Syariah....................................... 26 d. Konsep Dasar Asuransi Syariah dalam Islam.................. 28 e. Jenis-jenis Asuransi Syariah............................................ 31 3. Tinjauan tentang Perlindungan Hukum Peserta Asuransi..... 33 a. Pengertian Perlindungan Hukum Asuransi…………….. 33 1) Pihak-pihak dalam Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah…………………………………… 2) Perlindungan Hukum dalam Asuransi…………… BAB III 33 37 b. Pembinaan dan Pengawasan Usaha Perasuransian.......... 45 B. Kerangka Pemikiran.................................................................. 51 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian…………………...........…………………….. 52 1. Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Dalam Asuransi Syariah.................................................................... 52 2. Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Dalam Asuransi Syariah Di PT Asuransi Takaful Kantor Cabang Perwakilan Surakarta............................................................. 54 B. Pembahasan............................................................................... 58 1. Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Dalam Asuransi Syariah.................................................................... 58 a. Landasan Dasar Syariah................................................... 59 b. Landasan Hukum............................................................. 70 2. Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Dalam Asuransi Syariah Di PT Asuransi Takaful Kantor Cabang Perwakilan Surakarta............................................................. 81 a. Jenis Produk dan Layanan Asuransi Takaful................... 82 b. Syarat Pengajuan Asuransi.............................................. 95 c. Polis Asuransi Syariah..................................................... 97 d. Syarat Pengajuan Klaim................................................... 109 12 e. Penyelesaian Sengketa Pada Asuransi Syariah................ 110 BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................. 113 B. Saran......................................................................................... 115 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN 13 DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Kerangka Pemikiran ........................................................... 51 14 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Fatwa DSN-MUI Berkenaan Asuransi Syariah Lampiran 2. Keputusan Dirjen Lembaga Keuangan No: Kep.4499/LK/2000 Lampiran 3. Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian Lampiran 4. Formulir Aplikasi Asuransi Takaful Lampiran 5. Syarat Umum Polis Asuransi Takaful 15 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada era globalisasi seperti sekarang ini, negara-negara di dunia saling berlomba untuk meningkatkan perekonomiannya. Perdagangan bebas menjadi isu yang dominan dalam persaingan untuk memperebutkan pasar. Hampir semua negara di dunia tidak bisa menghindari upaya liberalisasi di bidang ekonomi. Dampak nyata dari liberalisasi ekonomi adalah imbasnya terhadap masyarakat. Masyarakat ikut memikul segala risiko beserta konsekuensi dari pesatnya arus persaingan ekonomi. Tata pergaulan masyarakat khususnya masyarakat modern seperti sekarang ini, membutuhkan suatu institusi atau lembaga yang bersedia mengambil alih risiko-risiko masyarakat baik risiko individu maupun risiko kelompok. Masyarakat sampai sekarang ini mempunyai kandungan risiko relatif lebih tinggi dibanding dengan waktu lampau karena kemajuan teknologi di segala bidang. Kemajuan teknologi yang sedemikian rupa mempengaruhi kehidupan manusia, dan dapat menimbulkan risiko yang lebih luas. Dengan demikian lembaga yang mempunyai kemampuan untuk mengambil alih risiko pihak lain adalah lembaga asuransi. Perusahaan asuransi mempunyai jangkauan yang sangat luas karena perusahaan asuransi tersebut mempunyai jangkauan yang menyangkut kepentingan-kepentingan ekonomi maupun kepentingan sosial. Di samping itu, perusahaan asuransi juga menjangkau kepentingan-kepentingan individu maupun kepentingan masyarakat luas (Sri Rejeki H., 1997: 18 ). Asal mula kegiatan asuransi yang dijalankan di Indonesia merupakan kelanjutan asuransi yang ditinggalkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Setelah Indonesia merdeka, kegiatan perasuransian baru mulai pada tahun 1976 dengan keluarnya Surat Keputusan Menteri Keuangan pada waktu itu. Dan pada saat ini perkembangan asuransi di Indonesia belum sepesat seperti negara-negara maju bahkan apabila 16 dibandingkan dengan negara-negara berkembang sekalipun (Kasmir, 2002: 277). Perjanjian asuransi sebagai lembaga pengalihan dan pembagian risiko mempunyai kegunaan yang positif baik bagi masyarakat, perusahaan maupun bagi pembangunan negara. Dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Tahun 1979, Emmy Pangaribuan Simanjuntak menyatakan bahwa mereka yang menutup perjanjian asuransi akan merasa tentram sebab mendapat perlindungan dari kemungkinan tertimpa suatu kerugian. Suatu perusahaan yang mengalihkan risikonya melalui perjanjian asuransi akan dapat meningkatkan usahanya dan berani menggalang tujuan yang lebih besar. Demikian pula premi-premi yang terkumpul dalam suatu perusahaan asuransi dapat diusahakan dan digunakan sebagai dana untuk usaha pembangunan. Hasilnya akan dapat dinikmati masyarakat. Usaha pemerintah untuk mengembangkan bidang usaha asuransi ini juga tampak, misalnya dengan mengeluarkan berbagai peraturan tentang perizinan usaha perusahaan asuransi jiwa, tata cara perizinan usaha dan pemenuhan deposito perusahaan-perusahaan asuransi kerugian, pengawasan atas usaha perasuransian dan sebagainya. Berdasarkan keadaan perekonomian Indonesia pada saat ini yaitu dalam bidang asuransi, umat Islam tertarik dengan institusi perekonomian yang membawa mereka maju di dunia modern ini, asalkan selaras dengan semangat agama dan prinsip Hukum Islam. Tetapi persoalan yang hangat dibicarakan di dunia Islam dewasa ini mengenai halal atau haramnya asuransi itu sendiri. Di tengah-tengah perkembangan asuransi di Indonesia, masih tersisa adanya kesan negatif bahwa asuransi konvensional itu hanya mau menerima premi tapi ketika terjadi musibah, perusahaan asuransi tidak mau membayar klaim. Walau memang sebenarnya alasan tersebut masuk akal, tidak mudah untuk membayar klaim, karena asuransi adalah pengelola dana 17 milik bersama dan tidak sembarang memberikan uang kepada seorang nasabah yang mengajukan klaim tanpa terlebih dahulu menyelidikinya. Beberapa alasan yang menjadikan perusahaan asuransi konvensional dinilai memiliki sejumlah kelemahan, diantaranya adalah (http://eramuslim.com/bedaasuransi/newbhn/fatwa.htm) : 1. Seseorang yang ikut asuransi harus mendaftarkan diri menjadi anggota dan diwajibkan untuk membayar premi secara rutin; 2. Asuransi konvensional bersifat tadabuli (jual beli) pada kenyataannya lebih cenderung sebagai usaha bisnis berskala besar sementara sisi bantuan sosial hanya menjadi lips service (penghias) sementara hakikatnya tidak lain merupakan pemerasan dan kerja rentenir; 3. Akad asuransi konvensional adalah akad gharar (ketidakjelasan) karena masing-masing dari kedua belah pihak (penanggung dan tertanggung) pada waktu melangsungkan akad tidak mengetahui jumlah yang ia berikan dan jumlah yang ia ambil. Akad asuransi ini juga disebut akad idz’an (penundukan) pihak yang kuat adalah perusahaan asuransi karena dialah yang menentukan syarat-syarat yang tidak dimiliki oleh tertanggung; 4. Mengandung unsur pemerasan, karena pemegang polis apabila tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, akan hilang premi yang sudah dibayar atau dikurangi. Pada perusahaan asuransi konvensional, uang masuk dari premi para peserta yang sudah dibayar akan diputar dalam usaha dan bisnis dengan praktek riba. Sedangkan sumber lain menyatakan bahwa kelemahan dari asuransi konvensional adalah terjadinya transfer resiko. Nasabah membayar sejumlah premi untuk mengalihkan resiko yang tidak mampu dipikul sendiri kepada perusahaan asuransi. Di sini terjadi ”jual beli”, komoditasnya berupa resiko kerugian yang belum pasti terjadi. Hal ini diperburuk lagi dengan kondisi bahwa uang premi akan hangus apabila kerugian tidak terjadi, sebaliknya akan 18 berjumlah berlipat-lipat manakala dibayarkan sebagai ganti rugi apabila resiko yang dipertanggungkan terjadi (http://tazkia.com/konsepdasar?id=syari’ah). Pada dasarnya, tertanggung tidak akan mendapat keuntungan dari sini karena prinsip ganti rugi tidak akan mungkin akan memberikan lebih dari jumlah kerugian yang diderita. Akan tetapi, mekanisme transfer resiko seperti ini memungkinkan adanya ketidakseimbangan kekuatan dalam menjalankan perjanjian asuransi yang telah disepakati. Pada tataran yang lebih kompleks, bisa saja terjadi kecurangan-kecurangan dalam pengajuan klaim, baik berupa klaim palsu (fraudulent claim) maupun pengajuan nilai klaim yang lebih besar dari yang sebenarnya. Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya adalah umat Islam. Namun demikian, produk-produk dengan prinsip syariah baru berkembang kurang lebih 10 (sepuluh) tahun yang lalu. Asuransi syariah menjadi alternatif bagi masyarakat yang telah mengetahui akan kekurangan asuransi konvensional, sehingga pangsa pasar asuransi syariah mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Asuransi syariah menurut Husain Hamid Hisan adalah sikap ta’awun (saling tolong menolong) yang sangat rapi antara sejumlah besar manusia yang semuanya telah siap mengantisipasi suatu peristiwa. Jika diantara mereka mengalami peristiwa tersebut, maka semuanya saling tolong-menolong dalam menghadapi peristiwa dengan sedikit pemberian yang diberikan oleh masing-masing peserta. Dengan pemberian tersebut, mereka dapat menutupi kerugian-kerugian yang dialami oleh peserta yang tertimpa musibah. Dengan demikian asuransi adalah ta’awun yang terpuji, yaitu saling menolong dalam berbuat kebajikan dan taqwa. Dengan ta’awun mereka saling membantu antara sesama, dan mereka takut dengan bahaya/malapetaka. (Muhammad Syakir Syula, 2004: 29). Asuransi syariah bisa dikatakan sebagai asuransi takaful yaitu pertanggungan yang berbentuk tolong-menolong, atau disebut juga dengan perbuatan kafal, yaitu perbuatan saling menolong dalam menghadapi suatu 19 resiko yang tidak diperkirakan sebelumnya (Suhrawardi K. Lubis, 2000: 82). Sistem bagi hasil yang ada dalam lembaga asuransi syariah dengan meniadakan unsur maisir, gharar, dan riba adalah merupakan dasar adanya konsep tolong-menolong dalam berasuransi. Sistem tersebut dipakai dalam konsep operasional asuransi syariah yaitu bagaimana cara pembagian keuntungannya. Selama ini sistem asuransi yang dijalankan dengan konsep Barat dirasa kurang memberikan kejelasan dalam pembagian keuntungan tersebut. Maka dengan penduduk hampir 90% muslim, diperlukan adanya suatu lembaga perekonomian dengan sistem syariah. Salah satu lembaga ekonomi syariah yang berkembang sekarang adalah hadirnya Syarikat Takaful (Asuransi Syariah) yang disponsori oleh Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) melalui Yayasan Abdi Bangsa bersama Bank Muamalat Indonesia (BMI). Syarikat Takaful tersebut merupakan bentuk dari Asuransi Takaful yang disusun oleh Tim Pembentuk Asuransi Takaful Indonesia (TEPATI). Syarikat Takaful mempunyai prinsip dan filosofis yaitu : ”Segala musibah dan bencana yang menimpa manusia merupakan qadha dan qadar Allah. Namun manusia wajib berikhtiar memperkecil resiko yang seringkali tidak memadai karena yang harus ditanggung lebih besar dari pada yang diperkirakan. Takaful sebagai asuransi yang bertumpu pada konsep tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan (wata’awanu alal biri wataqwa) dan perlindungan (at-ta’min), menyediakan semua peserta sebagai keluarga besar yang saling menanggung satu sama lain. Sistem dalam prinsip dan filosofis ini diatur dengan meniadakan tiga unsur yang masih dipertanyakan, yaitu gharar, maisir, dan riba” (http://takaful.com/takafulindonesia»profilperusahaan.htm). Lembaga asuransi syariah yaitu PT Syarikat Takaful Indonesia mendirikan dua anak perusahaan, antara lain : PT Asuransi Takaful Keluarga yang bergerak dalam bidang asuransi jiwa dan PT Asuransi Takaful Umum yang bergerak dalam bidang asuransi kerugian. Pendirian dua anak perusahaan PT Syarikat Takaful Indonesia adalah dalam rangka penyesuaian dengan 20 ketentuan yang terdapat dalam Bab III Pasal 3 UU Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian pada poin a yang berbunyi : Usaha Asuransi terdiri dari : 1. Usaha asuransi kerugian yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan manfaat, dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti; 2. Usaha asuransi jiwa yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan; 3. Usaha reasuransi yang memberikan jasa dalam pertanggung ulang terhadap risiko yang dihadapi perusahaan asuransi kerugian dan perusahaan asuransi jiwa. Dengan adanya kegunaan positif tersebut maka keberadaan asuransi perlu dipertahankan dan dikembangkan. Namun untuk mengembangkan usaha ini banyak faktor yang perlu diperhatikan antara lain : peraturan perundangundangan yang memadai, kesadaran masyarakat, kejujuran para pihak, pelayanan yang baik, tingkat pendapatan masyarakat, pemahaman akan kegunaan asuransi serta pemahaman yang baik terhadap ketentuan perundangundangan terkait. Oleh karena itu tidak hanya ditingkatkan pemasyarakatan asuransi, tetapi juga perlu diciptakan bisnis asuransi yang sehat, sehingga masyarakat konsumsi asuransi memperoleh perlindungan hukum, demikian juga pemerintah memperoleh manfaat dari usaha perasuransian tersebut. Oleh KUH Perdata sebagai salah satu sumber hukum asuransi, perjanjian asuransi dimasukkan ke dalam perjanjian kemungkinan, yaitu dalam Pasal 1774 ayat (2) KUH Perdata. Pada umumnya para ahli tidak sepakat digolongkannya perjanjian asuransi sebagai perjanjian kemungkinan. Hal itu disebabkan dalam perjanjian kemungkinan (Kansovereenkomst) para pihak secara sengaja dan sadar menjalani suatu kesempatan untung-untungan 21 di mana prestasi secara timbal balik tidak seimbang. Namun demikian, para ahli dapat membenarkan penempatan perjanjian asuransi dalam perjanjian kemungkinan (perjanjian untung-untungan) hanya dalam pengertian bahwa pelaksanaan kewajiban penanggung digantungkan kepada suatu peristiwa yang belum pasti terjadi ( Man Suparman S., 1978: 2 ). Pasal 1774 ayat (2) KUH Perdata menyebutkan bahwa perjanjian untung-untungan terdiri dari perjanjian asuransi, bunga cagak hidup serta perjudian dan pertaruhan. Hal demikian tidak berarti bahwa perjanjian asuransi itu sama dengan perjudian dan pertaruhan. Di antara kedua perjanjian tersebut terdapat perbedaan yang sangat mendasar. Perjanjian asuransi melahirkan suatu akibat hukum sedangkan undang-undang tidak memberikan suatu tuntutan hukum terhadap utang yang terjadi karena perjudian dan pertaruhan (Pasal 1788 KUH Perdata). Perjudian dan pertaruhan hanya melahirkan ikatan perikatan alam. Selain itu dalam perjanjian asuransi kepentingan merupakan syarat esensial harus ada pada waktu ditutupnya perjanjian (Pasal 250 KUHD) sedangkan dalam perjudian dan pertaruhan tidak demikian. Sebagaimana diketahui, kontrak merupakan bagian yang paling penting, yang membedakan asuransi syariah dengan asuransi konvensional. Karena sifat alami risiko memang tidak pasti (gharar) dan sementara Islam mengharamkan jual-beli atau transaksi yang mengandung gharar, maka kontrak asuransi syariah haruslah bukan merupakan kontrak jual-beli. Padahal di dalam KUH Perdata disebutkan mengenai kewajiban para pihak dalam kontrak jual-beli, yang sekaligus memberi perlindungan hukum apabila salah satu pihak tidak menepati kewajibannya seperti tertera pada kontrak tersebut. Perlindungan hukum terhadap nasabah dalam asuransi sudah disebutkan dalam hukum positif Indonesia yang berhubungan dengan asuransi, seperti dalam KUHD, perundang-undangan (UU Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian Lembaran Negara Nomor 13 Tahun 1992 22 tanggal 11 Februari 1992) dan Peraturan Pemerintah tentang perasuransian (Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas PP No. 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian Nomor 73 Tahun 1992 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian) walaupun sebenarnya peraturan-peraturan tersebut lebih mengutamakan pengaturan asuransi dari segi bisnis dan publik administratif. Akan tetapi hal tersebut merupakan perlindungan dalam konteks hukum nasional, yang berlaku pada asuransi konvensional, berbeda halnya dengan asuransi syariah yang belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus dan belum menjadi hukum positif. Mengingat hal tersebut, muncul pertanyaan tentang bagaimana mengantisipasi agar landasan syariah tetap mempunyai kekuatan hukum, sehingga perlindungan terhadap nasabah berdasarkan syariah dapat dilaksanakan. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, penulis mengadakan penelitian di PT Asuransi Takaful Cabang Perwakilan Surakarta. Alasan pemilihan lokasi tersebut karena PT Asuransi Takaful Cabang Perwakilan Surakarta merupakan salah satu perusahaan asuransi di wilayah kota Surakarta yang berhasil menjalankan usaha asuransi dengan berdasar pada prinsip-prinsip syariah. Bertitik tolak dari latar belakang masalah di atas, penulis ingin mengkaji lebih mendalam dengan mengadakan penulisan hukum dengan judul : “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NASABAH DALAM ASURANSI SYARIAH (STUDI PADA PT ASURANSI TAKAFUL KANTOR CABANG PERWAKILAN SURAKARTA )” B. Perumusan Masalah Perumusan masalah merupakan hal yang sangat penting dalam setiap Penulisan Hukum karena dengan adanya perumusan masalah, berarti penulis telah mengidentifikasi persoalan yang hendak ditulis. Selain itu adanya perumusan masalah akan memudahkan penulis dalam mengumpulkan data 23 dan menghindari adanya data yang tidak diperlukan sehingga penulisan akan lebih terarah dan sesuai dengan yang dikehendaki. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan dalam latar belakang masalah tersebut diatas, maka pokok-pokok masalah yang akan dibahas dalam penulisan ini adalah : 1. Bagaimana pengaturan perlindungan hukum terhadap nasabah dalam asuransi syariah? 2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap nasabah dalam asuransi syariah di PT Asuransi Takaful Kantor Cabang Perwakilan Surakarta? C. Tujuan Penelitian Setiap penelitian yang dilakukan mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang hendak dicapai oleh penulis lewat penelitiannya yang tidak lepas dari permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya. Dalam penulisan ini, tujuan yang hendak dicapai oleh penulis adalah : 1. Tujuan Objektif a. Untuk mengetahui pengaturan perlindungan hukum terhadap nasabah dalam asuransi syariah. b. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap nasabah dalam asuransi syariah di PT Asuransi Takaful Cabang Surakarta. 2. Tujuan Subjektif a. Untuk memperoleh pengetahuan dan meningkatkan kemampuan penulis melalui penelitian hukum, khususnya mengenai Hukum dan Masyarakat. b. Untuk memenuhi tugas akhir sebagai syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. D. Manfaat Penelitian Nilai dari suatu penelitian dapat dilihat dari manfaat yang dapat diberikan. Penulis mengharapkan agar dari penelitian ini dapat menghasilkan 24 suatu kejelasan dan keterarahan informasi yang memberikan jawaban atas permasalahan. Adapun manfaat yang akan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis a. Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan sumbangan pemikiran maupun dijadikan referensi di bidang karya ilmiah bagi penelitian sejenis di masa yang akan datang. b. Penelitian ini merupakan sarana pembelajaran bagi penulis dalam menerapkan ilmu dan teori hukum yang telah diperoleh. c. Memberikan jawaban terhadap permasalahan yang sedang diteliti. 2. Manfaat Praktis a. Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir yang dinamis sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dan memberikan masukan pengetahuan pada setiap akademisi di bidang hukum maupun masyarakat umum. E. Metode Penelitian Suatu penelitian merupakan suatu sarana ilmiah bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka metodologi penelitian yang diterapkan harus senantiasa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya, sehingga harus menggunakan suatu metode yang tepat dengan tujuan yang hendak dicapai sebelumnya untuk memperoleh kebenaran yang dapat dipercaya keabsahannya. Sedangkan dalam penentuan metode mana yang akan digunakan, penyusun harus cermat agar metode yang dipilih nantinya tepat dan jelas sehingga untuk mendapatkan hasil dengan kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan dapat tercapai. Metode penelitian merupakan salah satu faktor penting yang menunjang suatu kegiatan dan proses penelitian. Dalam arti kata yang 25 sesungguhnya, maka metode adalah cara atau jalan. Metodologi pada hakekatnya memberikan pedoman, tentang cara-cara seorang ilmuwan mempelajari, menganalisa, dan memahami lingkungan-lingkungan yang dihadapinya (Soerjono Soekanto, 1985: 6), karena itu pemilihan jenis metode tertentu dalam suatu penelitian sangat penting karena akan berpengaruh pada hasil penelitian nantinya. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian Soerjono Soekanto menerangkan bahwa penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka, dapat dinamakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Penelitian hukum normatif yang penulis lakukan dalam penulisan hukum ini adalah dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang membahas tentang asuransi syariah dan perlindungan hukum nasabah asuransi syariah. Bahan-bahan tersebut kemudian disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. 2. Sifat Penelitian Penelitian dilihat dari sudut sifatnya dikenal ada tiga jenis yaitu penelitian eksplanatoris, deskriptif dan eksploratoris. Menurut Soerjono Soekanto, penelitian deskriptif yaitu penelitian yang bermaksud untuk memberi data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau gejaka-gejalanya. Maksudnya adalah mempertegas hipotesa-hipotesa agar dapat membantu di dalam memperkuat teori-teori lama di dalam menyusun teori-teori baru (Soerjono Soekanto, 1984: 10). Adapun sifat penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penulisan hukum ini adalah penelitian deskriptif. Dengan menggunakan sifat deskriptif dimaksudkan untuk menggambarkan serta menguraikan 26 semua data yang diperoleh dari hasil pengumpulan data yang berkaitan dengan judul penulisan hukum secara jelas dan rinci yang kemudian dianalisis guna menjawab permasalahan yang diteliti. 3. Pendekatan Penelitian Penelitian dalam penulisan hukum ini adalah penelitian normatif dengan menggunakan pendekatan undang-undang. Pendekatan perundangundangan dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkutan dengan isu hukum yang sedang diteliti. 4. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan mengambil lokasi penelitian pada Kantor PT Asuransi Takaful Keluarga Cabang Perwakilan Surakarta yang beralamat di Jalan Slamet Riyadi No. 33 Surakarta. 5. Jenis Data Jenis data yang penulis pergunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder, yaitu data atau informasi hasil telaah dokumen penelitian yang telah ada sebelumnya, bahan kepustakaan seperti buku-buku, literatur, koran, majalah, jurnal, maupun arsip-arsip yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Secara umum ciri-ciri dari data sekunder adalah sebagai berikut : a. Pada umumnya data sekunder dalam keadaan siap terbuat dan dapat dipergunakan dengan segera b. Baik bentuk maupun isi data sekunder, telah dibentuk dan diisi oleh peneliti-peneliti terdahulu, sehingga peneliti kemudian, tidak mempunyai pengawasan terhadap pengumpulan, pengolahan, analisa, maupun konstruksi data c. Tidak terbatas oleh waktu dan tempat (Soerjono Soekanto, 2005: 12). 27 6. Sumber Data Data secara umum diartikan sebagai fakta atau keterangan dari suatu objek yang diteliti dari hasil penelitian, sedangkan sumber data merupakan media dimana dan kemana data dari suatu penelitian dapat diperoleh. Sumber data dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder yang terdiri dari : a. Bahan Hukum Primer Sumber data primer berasal dari pihak-pihak yang secara langsung berhubungan dengan masalah yang menjadi objek penelitian. Dalam penelitian ini data langsung diperoleh dari : 1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata); 2) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD); 3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian; 4) Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia; 5) Polis Asuransi Syariah PT Asuransi Takaful Keluarga di Kantor Cabang Perwakilan Surakarta. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang berisi penjelasan mengenai bahan hukum primer atau secara tidak langsung dapat memberikan keterangan yang bersifat mendukung sumber data primer, berupa buku-buku, artikel-artikel, peraturan perundang-undangan, ketentuan-ketentuan lain yang masih berlaku sepanjang mengatur tentang asuransi, makalah dan dokumen kepustakaan lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini. c. Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu kamus, ensiklopedi, internet, dan lain-lain. 28 7. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang diambil oleh penulis adalah dengan memanfaatkan indeks-indeks hukum berupa studi kepustakaan atau studi dokumen. Teknik ini merupakan teknik pengumpulan data dengan mempelajari, membaca, dan mencatat buku-buku, literatur, catatancatatan, peraturan perundang-undangan, serta artikel-artikel penting yang diperoleh dari media internet yang erat kaitannya dengan pokok-pokok masalah yang digunakan untuk menyusun penulisan hukum ini yang kemudian dikategorisasikan menurut pengelompokan yang tepat. 8. Teknik Analisis Data Analisis data merupakan langkah lanjut untuk mengolah hasil penelitian menjadi suatu laporan. Analisis data adalah proses pengorganisasian dan pengurutan data dalam pola, kategori dan uraian dasar, sehingga akan dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data (Lexy J. Moleong, 2002: 103). Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif, maka data dianalisis secara silogisme interpretasi, yaitu berupa teknik yang digunakan dengan menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi. Selanjutnya bahan-bahan yang ada dianalisa, untuk melihat peranan pengaturan dan ketentuan yang berkaitan dengan perlindungan hukum nasabah asuransi syariah di Indonesia. Setelah analisis data selesai, maka hasilnya akan disajikan secara deskriptif yaitu dengan jalan menuturkan dan menggambarkan apa adanya sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti dan data yang diperoleh. F. Sistematika Penulisan Hukum 29 Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh tentang sistematika penulisan hukum yang sesuai dengan aturan penulisan hukum, maka penulis menggunakan sistematika penulisan hukum yang terdiri dari empat bab yang dalam tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan penulisan hukum ini. Sistematika penulisan hukum dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN Dalam bab ini penulis memberikan gambaran penulisan hukum mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian ini dan sistematika penulisan hukum. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini penulis menguraikan tentang tinjauan umum mengenai asuransi meliputi pengertian, perkembangan, prinsip dan jenis-jenis asuransi. Tinjauan umum mengenai asuransi syariah meliputi pengertian, perkembangan, prinsip, konsep dasar, jenis-jenis serta perkembangan asuransi syariah. Dan yang terakhir adalah tinjauan umum tentang perlindungan hukum nasabah asuransi. BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini penulis menjelaskan tentang hasil penelitian mengenai pengaturan perlindungan hukum terhadap nasabah dalam asuransi syariah, dan perlindungan hukum terhadap nasabah dalam asuransi syariah di PT Asuransi Takaful Cabang Surakarta. BAB IV PENUTUP 30 Bab ini berisi kesimpulan dari jawaban permasalahan dan saran berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Kerangka Teori a. Tinjauan Tentang Asuransi a. Pengertian Asuransi Dalam bahasa Belanda kata asuransi disebut Assurantie yang terdiri dari kata “assurandeur” yang berarti penanggung dan “geassureerde” yang berarti tertanggung. Kemudian dalam bahasa Perancis disebut menanggung sesuatu yang pasti terjadi. Sedangkan dalam bahasa Latin “Assecurare” yang berarti meyakinkan orang lain. Selanjutnya bahasa Inggris kata asuransi disebut “Insurance” yang berarti menanggung sesuatu yang mungkin atau tidak mungkin terjadi dan “Assurance” yang berarti menanggung sesuatu yang pasti terjadi ( Kasmir, 2002: 276). Adapun pengertian asuransi secara umum ada beberapa pendapat antara lain adalah: 1. Menurut Prof. Mehr dan Cammack Asuransi adalah alat sosial untuk mengurangi risiko, dengan menggabungkan sejumlah alat yang memadai unit-unit yang terkena risiko. Menurut Prof. Mehr kerugian-kerugian individual mereka secara kolektif dapat diramalkan. Kemudian kerugian yang dapat diramalkan itu dipikul merata oleh mereka yang tergabung. 31 2. Menurut Prof. Willet Prof. Willet menyatakan bahwa asuransi adalah alat sosial untuk mengumpulkan dana guna mengatasi kerugian modal yang tak tentu, yang dilakukan melalui pemindahan risiko dari banyak individu kepada seseorang atau sekelompok orang. 3. Menurut Prof. Mark R. Green Asuransi adalah suatu lembaga ekonomi yang bertujuan mengurangi risiko, dengan jalan mengkombinasikan dalam suatu pengelolaan sejumlah objek yang cukup besar jumlahnya. Prof. Mark R. Green juga berpendapat bahwa kerugian yang muncul secara menyeluruh dapat diramalkan dalam batas-batas tertentu. 4. Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian adalah sebagai berikut: “Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan”. 5. Menurut Pasal 246 KUHD “Asuransi adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri pada tertanggung dengan menerima suatu premi, untuk memberi penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu”. b. Perkembangan Asuransi di Indonesia Asal mula kegiatan asuransi yang dijalankan di Indonesia merupakan kelanjutan asuransi yang ditinggalkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Yang pertama kali berdiri adalah Batavianche Zee & 32 Brand Assurantie Maattschaappij pada tahun 1843. Namun Peraturan Pemerintah Indonesia yang mengatur asuransi baru dikeluarkan pada tahun 1976 dengan keluarnya Surat Keputusan Menteri Keuangan pada waktu itu. Baru kemudian akhirnya beberapa Surat Keputusan Menteri Keuangan diterbitkan, diantaranya : 1) 1136/KMK/IV/1976 tentang Penetapan Besarnya Cadangan Premi dan Biaya oleh Perusahaan Asuransi di Indonesia; 2) 1249/KMK.013/1988 tanggal 20 Desember 1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan di bidang Asuransi Kerugian; 3) 1250/KMK.013/1988 tentang Asuransi Jiwa. Peraturan Menteri Keuangan tersebut untuk selanjutnya tidak berlaku lagi dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian Indonesia dan Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian. Selain kedua perundang-undangan dan peraturan tersebut dasar acuan pembinaan dan pengawasan usaha asuransi di Indonesia juga didasarkan kepada Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 1) 223/KMK.017/1993 tanggal 26 Februari 1993 tentang Izin Perusahaan Asuransi dan Reasuransi; 2) 224/KMK.017/1993 tanggal 26 Februari 1993 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Reasuransi; 3) 225/KMK.017/1993 tanggal 26 Februari 1993 tentang Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan Perusahaan Reasuransi; 4) 226/KMK.017/1993 tanggal 26 Februari 1993 tentang Perizinan dan Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Penunjang Usaha Asuransi. c. Prinsip Dasar Asuransi 33 Dalam industri asuransi, baik asuransi kerugian maupun asuransi jiwa, memiliki prinsip-prinsip yang menjadi pedoman bagi seluruh penyelenggaraan kegiatan perasuransian, antara lain (AM Hasan Ali, 2004: 77) : 1) Insurable Interest (Kepentingan yang Dipertanggungkan) Insurable Interest sebagai hak atau adanya hubungan dengan persoalan pokok dari kontrak, seperti menderita kerugian finansial sebagai akibat dari terjadinya kerusakan, kerugian, atau kehancuran suatu harta. Prinsip ini adalah kepentingan yang menurut peraturan wajib dimiliki seseorang agar dapat mengadakan asuransi secara valid. 2) Utmost Good Faith (Kejujuran Sempurna) Utmost Good Faith adalah bahwa kita berkewajiban memberitahukan sejelas-jelasnya dan teliti mengenai segala faktafakta penting yang berkaitan dengan objek yang diasuransikan. 3) Indemnity (Indemnitas) Kebanyakan kontrak asuransi kerugian dan kontrak asuransi kesehatan merupakan kontrak indemnity atau “kontrak penggantian kerugian”. Maksudnya, berdasarkan prinsip ini batas tertinggi kewajiban penanggung adalah memulihkan tertanggung pada ekonomi yang sama dengan posisinya sebelum terjadi kerugian. Dengan demikian tertanggung tidak berhak memperoleh ganti rugi lebih besar daripada kerugian yang diderita. 4) Subrogation (Subrogasi) Pada umumnya, seseorang yang menyebabkan suatu kerugian bertanggung jawab atas kerugian itu. Dalam hubungannya dengan asuransi, pihak penanggung mengambil alih hak menagih ganti kerugian pada pihak yang menyebabkan kerugian setelah penanggung melunasi kewajibannya pada tertanggung. 5) Contribution (Kontribusi) 34 Prinsip kontribusi berarti bahwa apabila penanggung telah membayar penuh ganti rugi yang menjadi hak tertanggung, maka penanggung berhak menuntut perusahaan-perusahaan lain yang terlibat suatu pertanggungan (secara bersama-sama menutup asuransi harta benda tertanggung). 6) Proximate Cause (Kausa Proksima) Suatu prinsip yang digunakan untuk mencari penyebab kerugian yang aktif dan efisien. Melalui kausa proksimal akan dapat diketahui apakah penyebab terjadinya musibah atau kecelakaan tersebut dijamin dalam kondisi polis asuransi atau tidak. d. Jenis-jenis Asuransi Dalam bab III Pasal 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 dikemukakan tentang jenis bidang usaha perasuransian di Indonesia, diantaranya sebagai berikut : 1) Asuransi Kerugian (non life insurance) Yaitu perusahaan asuransi yang memberikan jasa dalam penanggulangan resiko atas kerugian, kehilangan menfaat dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti. Yang termasuk asuransi kerugian adalah: a) Asuransi kebakaran yang meliputi kebakaran, peledakan, petir, kecelakaan kapal terbang, dan lainnya; b) Asuransi pengangkutan; c) Asuransi aneka, yaitu asuransi yang tidak termasuk dalam asuransi kebakaran dan pengangkutan. 2) Asuransi Jiwa (life insurance) Yaitu perjanjian asuransi yang memberikan jasa dalam penanggulangan resiko yang dikaitkan dengan penanggulangan 35 jiwa atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan. Jenisjenis asuransi jiwa ini adalah: a) Asuransi Berjangka (term insurance); b) Asuransi Tabungan (endowment insurance); c) Asuransi Seumur Hidup (whole life insurance); d) Anuitas (annuity contract insurance). 3) Reasuransi (reinsurance) Merupakan perjanjian asuransi yang memberikan jasa asuransi dalam pertanggungan ulang terhadap resiko yang dihadapi oleh perusahaan asuransi kerugian dan atau perusahaan asuransi jiwa. Asuransi ini digolongkan dalam : a) Bentuk treaty; b) Bentuk facultative; c) Kombinasi dari keduanya. b. Tinjauan Tentang Asuransi Syariah a. Pengertian Asuransi Syariah Asuransi syariah terdiri dari dua kata yaitu asuransi dan syariah. Asuransi mengandung arti pertanggungan. Dalam bahasa Arab, disebut at-ta’min diambil dari kata amana yang memiliki arti memberikan perlindungan, ketenangan, rasa aman, dan bebas dari rasa takut. Sedangkan syariah itu berarti sebuah prinsip atau sistem yang bersifat universal yang didasarkan pada wahyu. Maka asuransi syariah adalah suatu bentuk pertanggungan bersama terhadap kerugian atau musibah yang terjadi yang dilakukan sesuai dengan konsep-konsep hukum Islam yang lebih menitikberatkan pada prinsip kerjasama, keadilan, gotong royong, tolong menolong dan senasib sepenanggungan antar sesama pemegang polis yang didasarkan oleh prinsip-prinsip yang dilaksanakan di dalam Islam. 36 Asuransi syariah menurut Musthofa Ahmad Zarqa mengatakan bahwa sistem asuransi yang dipahami oleh para ulama hukum (syariah) adalah sebuah sistem ta’awun (saling tolong menolong) dan tadhamun (saling menanggung) yang bertujuan untuk menutupi kerugian peristiwa-peristiwa atau musibah-musibah. Tugas ini dibagikan kepada sekelompok tertanggung, dengan cara memberikan pengganti kepada orang yang tertimpa musibah. Pengganti tersebut diambil dari kumpulan premi-premi mereka. Mereka (para ulama ahli syariah) mengatakan bahwa dalam penetapan suatu hukum yang berkaitan dengan kehidupan social dan ekonomi, Islam bertujuan agar suatu masyarakat hidup berdasarkan atas asas saling tolong menolong dan menjamin dalam pelaksanaan hak dan kewajiban (Muhammad Syakir Syula, 2004: 29). Menurut Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 426/KMK.06/2003 Tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi bahwa asuransi atau reasuransi dengan “prinsip syariah” adalah prinsip perjanjian berdasar hukum Islam antara perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi dengan pihak lain, dalam menerima amanah dengan mengelola dana peserta melalui kegiatan investasi atau kegiatan lain yang diselenggarakan sesuai syariah. Fatwa Dewan Syariah NasionalMajelis Ulama Indonesia No.21/DSN-MUI/X/2001 Tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah, berbunyi, “Asuransi syariah (ta’min, takaful, tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong diantara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah. Asuransi syariah ini berbeda dengan asuransi konvensional. Bisa dikatakan asuransi syariah menganut asas tolong-menolong dengan membagi resiko diantara peserta asuransi (risk sharing) bukan 37 transfer resiko dari para peserta kepada perusahaan asuransi (risk transfer) yang ada pada asuransi konvensional. Oleh karena itu, kontraknya disebut bukan jual beli (tadabuli) akan tetapi kontrak tolong-menolong (takafuli), sehingga asuransi ini disebut juga asuransi takaful yaitu pertanggungan yang berbentuk tolong-menolong, atau disebut perbuatan kafal, yaitu perbuatan saling tolong-menolong dalam menghadapi suatu resiko yang tidak diperkirakan sebelumnya. b. Perkembangan Asuransi Syariah Berbeda dengan sejarah asuransi konvensional, praktik asuransi syariah sekarang berasal dari budaya suku arab. Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, dia berkata: Berselisih dua orang wanita dari suku Huzail, kemudian salah satu wanita tersebut melempar batu ke wanita yang lain sehingga mengakibatkan kematian wanita tersebut beserta janin yang dikandungnya, dibayarkan oleh aqilahnya (kerabat dari orang tua laki-laki) (HR. Bukhari). Maka ahli waris dari wanita yang meninggal mengadukan peristiwa tersebut kepada Rasulullah SAW, maka Rasulullah SAW memutuskan ganti rugi dari pembunuhan terhadap janin tersebut dengan pembebasan seorang budak laki-laki atau perempuan, dan memutuskan ganti rugi kematian wanita tersebut dengan uang darah (diyat) yang zaman Rasulullah yang disebut dengan aqilah, menurut Thomas Patrick dalam bukunya Dictionary Of Islam, menerangkan bahwa jika salah satu anggota suku yang terbunuh oleh anggota suku lain, keluarga korban akan dibayar sejumlah uang darah (diyat) sebagai kompensasi oleh saudara terdekat dari pembunuh. Saudara terdekat pembunuh tersebut yang disebut aqilah, harus membayar uang darah atas nama pembunuh. Praktik aqilah pada 38 zaman Rasulullah tetap diterima dan menjadi bagian dari Hukum Islam, hal tersebut dapat dilihat dari hadist Nabi Muhammad SAW. Selain hadist diatas, ada Pasal khusus dalam konstitusi Madinah yang memuat semangat untuk saling menanggung bersama, yaitu Pasal 3 yang isinya sebagai berikut: Orang Quraisy yang melakukan perpindahan (ke Madinah) melakukan pertanggungan bersama dan akan saling bekerja sama membayar uang darah di antara mereka. Aqilah merupakan praktik yang biasa terjadi pada suku Arab kuno. Jika seorang anggota suku melakukan pembunuhan terhadap anggota suku yang lain, maka ahli waris korban akan memperoleh bayaran sejumlah uang darah sebagai kompensasi oleh penutupan keluarga pembunuh. Penutupan yang dilakukan oleh keluarga pembunuh itulah yang disebut sebagai aqilah. Pada tahap selanjutnya, perkembangan asuransi syariah selain mengembangkan praktik tolong menolong melalui dana tabarru’ juga memasukan unsur investasi (khususnya pada asuransi jiwa) baik dengan akad bagi hasil (mudharabah) maupun fee (wakalah). Dalam syari’at Islam ketentuan hukum asuransi pada umumnya dikategorikan ke dalam masalah-masalah ijtihad, kerena tidak ada penjelasan resmi baik dalam Al Qur’an maupun Al Hadits. Di samping itu, para imam mazhab juga tidak memberikan pendapatnya tentang hal tersebut, sebab ketika itu masalah perasuransian belum dikenal (Suhrawardi K. Lubis, 2000: 74). Adapun hasil ijtihad para ahli hukum Islam tentang hukum asuransi dapat diklarifikasikan sebagai berikut (www.eramuslim.com): 1) Pendapat pertama: Asuransi dengan segala bentuk perwujudannya haram menurut ketentuan hukum Islam. 39 Pendapat ini dikemukakan oleh Sayyid Sabiq, Abdullah Al Qalqili, Yusuf Qardhawi dan Muhammad Bakhil al-Muth’i (mufti Mesir). Adapun alasannya adalah sebagai berikut : a) asuransi sama dengan judi; b) asuransi mengandung unsur tidak jelas dan tidak pasti (uncertainly); c) asuransi mengandung unsur riba/rente; d) asuransi mengandung unsur pemerasan; e) premi-premi yang dibayarkan akan diputar dalam praktekpraktek riba (kredit berbunga); f) asuransi termasuk akad sharfi, artinya jual beli atau tukar menukar mata uang tidak dengan tunai (cash and carry); g) hidup dan mati manusia jadi obyek bisnis, berarti sama halnya mendahului takdir Allah. 2) Pendapat kedua: Asuransi dengan segala bentuknya dapat diterima dalam syari’at Islam Pendapat ini dikemukakan oleh Abdul Wahab Khallaf, Mustafa Akhmad Zarqa (Guru Besar Hukum Islam pada Fakultas Syari’ah Universitas Syria), Muhammad Yusuf Musa (Guru Besar Hukum Islam pada Universitas Kairo) dan Abdurrahman Isa (Pengarang Kitab Al Muamalat al-haditsah wa Ahkamuka), dengan alasan: a) tidak ada nash (Al Qur’an dan Al Hadits); b) ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak; c) saling menguntungkan kedua belah pihak; d) mengandung kepentingan umum; e) asuransi termasuk akad mudharabah (bagi hasil); f) asuransi termasuk koperasi (syirkah ta’awuniyah); g) asuransi dianalogikan dengan sistem pensiun seperti taspen 40 3) Pendapat ketiga: Asuransi Sosial diperbolehkan, sedangkan asuransi yang bersifat komersial tidak diperbolehkan atau bertentangan dengan syari’at Islam. Pendapat ini dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah, beliau menyatakan asuransi sosial diperbolehkan dengan alasan sebagaimana pendapat yang kedua dan asuransi komersial tidak diterima dengan alasan sama dengan pendapat pertama. 4) Pendapat keempat: Asuransi dengan segala jenisnya dipandang syubhat (samar) Asuransi dengan segala jenisnya dipandang syubhat (samar/perkara yang tidak diketahui hukumnya oleh orang banyak, yang masih samar kehalalan maupun keharamannya), alasannya karena perjanjian asuransi tidak dinyatakan secara jelas tentang kebolehan dan ketidakbolehannya di dalam Al Qur’an dan Hadits. Menanggapi polemik tersebut, K.H. Ahmad Azhar Basyir, MA, menyatakan bahwa perjanjian asuransi dengan asas gotong royong atau ta’awun menuntut agar mental para tertanggung benarbenar siap. Perjanjian dilakukan benar-benar perjanjian tolongmenolong bukan perjanjian tukar-menukar. Dengan demikian, bukan untung rugi yang dipikirkan, tetapi bagaimana hubungan tolong-menolong dapat ditegakkan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa suatu asuransi diperbolehkan secara syar’i jika tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dan aturan-aturan syari’at Islam. Selanjutnya, perkembangan Asuransi Syariah dalam beberapa tahun terakhir cukup menggembirakan. Setelah Asuransi Takaful dibuka, berbagai perusahaan asuransi pun menyadari cukup besarnya potensi bisnis asuransi syariah di Indonesia. Saat ini, Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan jumlah 41 operator asuransi syariah cukup banyak di dunia. Berdasarkan data Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI), terdapat 51 pemain asuransi syariah di Indonesia yang telah mendapatkan rekomendasi syariah. Mereka terdiri dari 42 operator asuransi syariah, tiga reasuransi syariah, dan enam broker asuransi dan reasiuransi syariah. Industri asuransi Indonesia mencatat kenaikan laba yang cukup signifikan dalam 7 tahun terakhir, dengan pertumbuhan rata-rata 26,5% per tahun. c. Prinsip Dasar Asuransi Syariah Prinsip dasar yang ada dalam asuransi syariah tidaklah jauh berbeda dengan prinsip dasar yang berlaku pada konsep ekonomi Islam. Prinsip tersebut diantaranya (AM. Hasan Ali, 2004: 125) : 1) Tauhid (Unity) Prinsip tauhid adalah dasar utama dari setiap bentuk bangunan yang ada dalam syariah Islam. Dalam berasuransi yang harus diperhatikan adalah bagaimana seharusnya menciptakan suasana dan kondisi bermuamalah yang tertuntun oleh nilai-nilai ketuhanan. 2) Keadilan (justice) Prinsip kedua dalam berasuransi adalah terpenuhinya nilainilai keadilan antara pihak-pihak yang terikat dengan akad asuransi. Keadilan dalam hal ini dipahami sebagai upaya dalam menempatkan hak dan kewajiban antara nasabah dan perusahaan asuransi. 3) Tolong-menolong (ta’awun) Dalam melaksanakan kegiatan berasuransi harus didasari dengan semangat tolong-menolong (ta’awun) antara anggota (nasabah). Seseorang yang masuk asuransi, sejak awal harus memiliki niat dan motivasi untuk membantu dan meringankan beban sesamanya yang mendapatkan musibah atau kerugian. 42 4) Kerja Sama (cooperation) Prinsip kerjasama merupakan prinsip universal yang selalu ada dalam literatur ekonomi islami. Kerjasama dalam bisnis asuransi dapat berwujud dalam bentuk akad yang dijadikan acuan antara kedua belah pihak yang terlibat, yaitu antara nasabah dan perusahaan asuransi. 5) Amanah (trustworthy/ al-amanah) Prinsip amanah dalam organisasi perusahaan dapat terwujud dalam nilai-nilai akuntabilitas (pertanggungjawaban) perusahaan melalui penyajian laporan keuangan tiap periode. Sedangkan prinsip amanah juga harus berlaku pada diri nasabah asuransi. Nasabah asuransi berkewajiban menyampaikan informasi yang benar berkaitan dengan pembayaran dana iuran (premi) dan tidak memanipulasi kerugian yang menimpa. 6) Kerelaan (al-ridha) Dalam bisnis asuransi, kerelaan (al-ridha) dapat diterapkan pada tiap nasabah asuransi agar mempunyai motivasi dari awal untuk merelakan sejumlah dana (premi) yang disetorkan ke perusahaan asuransi, yang difungsikan sebagai dana sosial (tabarru’). 7) Larangan riba Riba adalah mengambil harta orang lain tanpa ada nilai imbangan apa pun. Riba jelas dilarang dalam Islam, karena bertentangan dengan keadilan dan persamaan. 8) Larangan maisir (judi) Unsur maisir (judi) artinya adanya salah satu pihak yang untung namun di lain pihak justru mengalami kerugian. Hal ini tampak jelas dalam asuransi konvensional, bila pemegang polis dengan sebab tertentu membatalkan kontraknya sebelum masa reversing period, biasanya tahun ketiga maka yang bersangkutan 43 tidak akan menerima kembali uang yang telah dibayarkan kecuali sebagian kecil saja. 9) Larangan gharar (ketidakpastian) Gharar dalam pengertian bahasa adalah al-khida’ (penipuan) yaitu suatu tindakan yang di dalamya diperkirakan tidak ada unsur kerelaan. Secara syariah dalam akad pertukaran harus jelas berapa yang harus dibayarkan dan berapa yang harus diterima. d. Konsep Dasar Asuransi Syariah dalam Islam Menurut ahli perundang-undangan Islam, ada beberapa konsep yang mengarah kepada konsep at-ta’min (asuransi) berdasarkan syariah Islam (Muhammad Syakir Sula, 2004:82-84), diantaranya: 1) Al’aqilah Saling memikul atau bertanggung jawab untuk keluarganya. Aqilah merupakan istilah yang mahsyur di kalangan fuqaha, yang dianggap oleh sebagian ulama sebagai cikal bakal konsep asuransi syariah. Jadi Aqilah merupakan tanggung jawab kelompok, sehingga para ahli hukum Islam mengklaim bahwa dasar dari tanggung jawab kelompok itu terdapat pada system aqilah sebagaimana dipraktekkan oleh kaum Muhajirin dan Anshor. 2) Al-Muwalat (perjanjian jaminan) Yaitu perjanjian jaminan. Penjamin menjamin seseorang yang tidak memilliki waris dan tidak diketahui ahli warisnya. Penjamin setuju untuk menanggung bayarannya, jika orang yang dijamin tersebut melakukan jinayah. Apabila orang yang dijamin meninggal, maka penjamin boleh mewarisi hartanya sepanjang tidak ada ahli warisnya. 3) Al-Qasamah 44 Konsep perjanjian ini juga berhubungan dengan jiwa manusia. Sistem ini melibatkan usaha pengumpulan dana dalam sebuah tabungan atau pengumpulan uang iuran dari peserta atau majelis. 4) Al-Tahamud Makanan yang dikumpulkan dari para peserta safar kemudian dicampur menjadi satu. Makanan tersebut dibagikan pada saatnya kepada mereka kendati mereka mendapatkan porsi yang berbeda-beda. Dalam kasus ini, makanan yang diserahkan bisa jadi sama kadarnya atau berbeda-beda. Begitu halnya dengan makanan yang diterima, bisa jadi sama porsinya dan bisa berbedabeda. 5) Al Umra Al Baji (494 H) bemadzhab Maliki ketika mendiskusikan masalah jual beli gharar mengatakan “ jika A menyerahkan rumahnya kepada pihak B dengan kompensasi B memberikan biaya hidup kepada A sampai ia meninggal”. Albaji berkomentar “saya tidak setuju dengan model transaksi seperti itu, tapi jika terjadi, saya tidak membatalkannya. Rumah, dalam kasus diatas, sebagai premi dalam asuransi, sedangkan biaya hidup selama hayat adalah sebagai manfaat asuransi yang akan diperoleh oleh (A)/peserta. Dr. Jafril Khalil, dalam makalahnya menambahkan beberapa bentuk-bentuk akad lainnya, selain yang telah kita jelaskan diatas yang mirip dengan konsep asuransi dan sudah jama’ dan biasa digunakan di dunia Islam, diantaranya: a) Kontak pengawal keselamatan; b) Jaminan keamanan lalu lintas, suatu akad yang diterima oleh ulama’ Madzhab Hanafi; c) Penerimaan pengganti bayaran bila barang amanah rusak; 45 d) Sistem pensiun. 6) Aqd al-hirasah (Kontrak Pengawal Keselamatan) Di dunia Islam terjadi berbagai kontrak antar individu, misalnya ada individu yang ingin selamat lalu ia membuat kontrak dengan seseorang untuk menjaga keselamatannya, dimana ia membayar sejumlah uang kepada pengawal, dengan konpensasi keamanannya akan dijaga oleh pengawal. 7) Dhiman Khatr Tariq Kontrak ini merupakan jaminan keselamatan lalu lintas. Para pedagang muslim pada masa lampau ingin mendapatkan perlindungan keselamatan, lalu ia membuat kontrak dengan orangorang yang kuat dan berani di daerah rawan. Mereka membayar sejumlah uang, dan pihak lain menjaga keselamatan perjalanannya. 8) Al-Wadi’ah biujrin Dalam kontrak wadiah ini jikalau kerusakan pada barang ketika dikembalikan, maka pihak penerima wadiah wajib menggantinya, karena ketika menitipkan pihak penitip telah membayar sejumlah uang kepada tempat penitipan. 9) Nizam al-Taqaud Sistem pensiun yang sudah lama berjalan di dunia Islam. Jadi pegawai suatu instansi berhak mendapat jaminan haritua berupa pensiun. Bentuk-bentuk muamalah diatas, karena memiliki kemiripan dengan prinsip-prinsip asuransi Islam, oleh sebagian ulama dianggap sebagai embrio dan acuan operasional asuransi Islam yang dikelola secara profesional. Bedanya, sistem muamalah tersebut didasari atas amal Tathowwu’ dan tabarru’ terbuka yang tidak berorientasi kepada profit. 46 e. Jenis-jenis Asuransi Syariah Asuransi syariah dibagi menjadi dua jenis, yaitu : 1) Asuransi Jiwa (life insurance) Dalam asuransi jiwa ini fokus utamanya adalah memberikan layanan dan bantuan yang menyangkut jiwa dan keluarga yang mana untuk mempersiapkan diri dalam kehidupan yang akan datang seperti dana siswa untuk masa depan anak, dana haji untuk mempersiapkan bekal haji, dan lain-lain. Dalam Asuransi Takaful, asuransi jiwa dapat diklasifikasikan sebagai berikut : a) Produk yang ada unsur tabungan (Saving) (1) Takaful Dana Investasi (2) Takaful Dana Siswa (3) Takaful Dana Haji (4) Takaful Dana Jabatan (5) Takaful Hasanah b) Produk-produk Individu (Non Saving) (1) Takaful Kesehatan Individu (2) Takaful Kecelakaan Diri Individu (3) Takaful Al-Khairat Individu c) Produk-produk Kumpulan (1) Takaful Kecelakaan Diri Kumpulan (2) Takaful Kecelakaan Siswa (3) Takaful Wisata dan Perjalanan (4) Takaful Pembiayaan (5) Takaful Majelis Taklim (6) Takaful Al Khairat (7) Takaful Medicare (8) Takaful Al-Khairat+ Tabungan Haji (Takaful Iuran Haji) (9) Takaful Perjalanan Haji dan Umrah 2) Asuransi Umum (general insurance) 47 Yaitu asuransi syariah yang fokus utamanya adalah memberikan pelayanan dan bantuan menyangkut asuransi di bidang kerugian seperti perlindungan dari kebakaran, pengangkutan, niaga dan kendaraan bermotor. Dalam Asuransi Takaful terdiri dari : a) Produk-produk Simple Risk (1) Takaful Kebakaran (fire insurance) (2) Takaful Kendaraan Bermotor (motor vehicle insurance) (3) Takaful Kecelakaan Diri (personal accident insurance) b) Produk-produk Mega Risk (1) Takaful Kebakaran (industrial risk) (2) Takaful Rekayasa (engineering insurance) (3) Takaful Pengangkutan (cargo insurance) (4) Takaful Surety Bond (construction contract insurance) (5) Takaful Rangka Kapal (marine hull insurance) (6) Takaful Energi (oil and gas insurance) (7) Takaful Tanggung Gugat (liability insurance) c. Tinjauan Tentang Perlindungan Hukum Peserta Asuransi a. Pengertian Perlindungan Hukum Asuransi 1) Pihak-pihak dalam Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah Hubungan antara nasabah (peserta asuransi) dengan perusahaan asuransi adalah hubungan antar subjek hukum sebagai pembawa hak dan kewajiban. Pengertian subjek hukum adalah orang dan badan, sedangkan pengertian badan adalah badan hukum dan bukan badan hukum. Pembedaan demikian akan menyangkut terhadap identifikasi nasabah. Landasan utama dalam perjanjian tersebut adalah dipenuhinya syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu adanya kecakapan untuk membuat perjanjian, adanya kesepakatan 48 mengenai suatu hal tertentu dan sebab yang halal. Sebagai subjek hukum, kedua belah pihak harus juga memenuhi aspek hukum dari subjek hukum. a) Pihak nasabah (1) Orang Nasabah dapat berupa orang atau badan. Nasabah terbagi menjadi orang yang dewasa dan orang yang belum dewasa. Nasabah orang yang belum dewasa memang dianggap belum cakap untuk membuat suatu perjanjian namun dimungkinkan mengikuti program-program asuransi, asalkan tetap berdasarkan kesepakatan oleh wali atau orang tuanya. Biasanya orang yang belum dewasa menjadi peserta program asuransi pendidikan, dana siswa, beasiswa, dsb. (2) Badan Untuk nasabah berupa badan, perlu diperhatikan aspek legalitas badan tersebut serta kewenangan bertindak dari pihak yang berhubungan dengan perusahaan asuransi. Secara umum, pembagian bentuk usaha dari badan usaha adalah sebagai berikut: (a) Macam-Macam Badan Bukan Badan Hukum (i) Persekutuan Perdata, diatur dalam Pasal 1618 s/d 1652 KUHPerdata; (ii) Firma, diatur dalam Pasal 16 s/d 18 dan 22 s/d 35 KUHDagang; (iii)Persekutuan Komanditer, diatur dalam Pasal 19 s/d 21 KUHDagang. (b) Macam-Macam Badan Hukum (i) Badan Hukum Publik, seperti Negara/Pemda; 49 (ii) Perseroan Terbatas, diatur dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; (iii) Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, yang menyatakan bahwa pemerintah daerah dapat membentuk BUMD; (iv) Badan Usaha Milik Negara (BUMN), diatur dalam UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara; (v) Koperasi, yang diatur dalam UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian; (vi) Yayasan, diatur dalam UU No. 17 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 28 Tahun 2004; (vii) Badan Hukum Milik Negara (BHMN), diatur dalam PP No. 152 tahun 2000 tentang Status Perguruan Tinggi Negeri Menjadi BHMN; (viii) Dana Pensiun, diatur dalam UU No. 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun; (ix) Partai Politik dan Organisasi Kemasyarakatan yang memenuhi syarat sebagai badan hukum (UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik dan UU No. 8 Tahun 1988 tentang Organisasi Kemasyarakatan jo PP No. 18 Tahun 1986); (x) Perkumpulan Umum, diatur dalam Pasal 1653 s/d 1665 KUHPerdata; (xi) Usaha Perorangan; (xii) Badan Usaha yang dalam perkembangannya terdapat bentuk-bentuk usaha lain dengan nama yang berbeda-beda, seperti konsorsium, yang diatur dalam Pasal 1618 s/d 1652 KUHPerdata. 50 b) Pihak Perusahaan Asuransi Pasal 7 ayat (1) UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian menyatakan bahwa usaha perasuransian hanya dapat dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk : (1) Perusahaan Perseroan (PERSERO); (2) Koperasi; (3) Perseroan Terbatas; (4) Usaha Bersama (Mutual). Bagi perusahaan asuransi yang berbentuk perseroan terbatas berlaku juga azas-azas umum dalam perseroan terbatas, diantaranya adanya limitatif tanggung jawab. Azas “terbatas” dalam perseroan terbatas sering dijadikan landasan berlindung dari tuntutan hukum. Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut perseroan adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang serta peraturan pelaksanaannya. Pengertian asuransi dalam Pasal 1 UU No. 2 Tahun 1992 menyebutkan istilah penanggung dan tertanggung. Arti kata penanggung, dalam hal ini adalah perusahaan asuransi, merupakan pihak yang menerima premi asuransi dari tertanggung dan menanggung risiko atas kerugian atau musibah yang menimpa harta benda yang diasuransikan. Sedangkan tertanggung, yang dalam hal ini adalah nasabah atau peserta asuransi, merupakan seseorang atau badan hukum yang memiliki atau berkepentingan atas harta benda yang diasuransikan. 51 Dalam asuransi syariah terdapat dua pihak utama yaitu pihak peserta asuransi dan pihak perusahaan asuransi. Berbeda dengan asuransi konvensional, yang terjadi adalah hubungan antara penanggung (perusahaan asuransi) dan tertanggung (peserta asuransi) yang mana perusahaan asuransi menanggung kerugian, resiko, dan musibah yang terjadi pada peserta asuransi. Yang terjadi dalam asuransi syariah adalah para peserta asuransi yang saling bertanggungjawab terhadap dirinya atau wajib ditanggung bersama (risk sharing), yang mana di dalamnya diterapkan prinsip-prinsip kerjasama, proteksi dan saling bertanggungjawab. Peranan perusahaan asuransi terbatas pada pengelolaan operasi perusahaan asuransi (underwriter, collector, claim payer) dan investasi dana-dana asuransi yang terkumpul (fund manager). Perusahaan asuransi syariah dalam menjalankan bisnisnya mendapatkan fee atas jasa akseptasi, underwriting, collection, claim, dan manajemen. Selain itu perusahaan asuransi syariah akan mendapat bagi hasil atas investasi dana peserta dan dapat pula memperoleh alokasi surplus berdasarkan perjanjian. Premi yang dibayarkan peserta asuransi tidak otomatis menjadi hak milik perusahaan asuransi. Tetapi merupakan kepemilikan kolektif para pemegang polis. Kemudian, kumpulan dana dari pembayaran premi tersebut digunakan untuk menanggung resiko diantara peserta asuransi. 2) Perlindungan Hukum dalam Asuransi Agar perjanjian asuransi berjalan sebagaimana yang diharapkan, diperlukan adanya peraturan yang memadai sehingga masing-masing pihak memahami hak dan kewajibannya untuk dilaksanakan. Sebagai tindak lanjut diperlukan pula pengawasan 52 yang tepat. Diperlukannya hal demikian adalah dengan alasanalasan antara lain seperti berikut ini : a) Dari Pasal 246 KUHD dapat disimpulkan bahwa asuransi merupakan perjanjian timbal balik yang berarti masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban yang saling berhadaphadapan. Oleh sebab itu dalam hubungan dengan pemegang polis, di samping harus melaksanakan kewajiban-kewajibannya juga perlu mendapat perlindungan untuk menuntut hak-haknya. Adanya peraturan yang memadai dan mudah dipahami akan sangat membantu pemegang polis; b) Perkembangan usaha asuransi memerlukan kepercayaan dari masyarakat. Sudah selayaknyalah apabila kepercayaan itu telah diletakkan atasnya, maka perlindungan harus diberikan sepenuhnya terhadap kemungkinan segala tindakan dari perusahaan asuransi yang merugikannya; c) Penutupan perjanjian asuransi berhubungan pula dengan kepercayaan pemegang polis yang meminta perlindungan terhadap risiko yang mungkin menimpanya yang berkaitan pula dengan penyerahan dan (premi) untuk dikelolanya yang secara keseluruhan perlindungan akan besar terhadap jumlahnya. pemegang Dengan polis yang demikian meminta perlindungan tersebut sudah sewajarnya diberikan; d) Sifat perjanjian asuransi sangat teknis perumusannya serta sepihak sifatnya. Pihak pemegang polis tidak berkesempatan untuk mengubah kondisi-kondisi yang tertera pada polis sedang di lain pihak proteksi asuransi dirasakannya perlu. Dengan demikian dapat dikatakan pemegang polis yang pada umumnya awam dalam menelaah perjanjian demikian perlu diberi perlindungan; e) Perjanjian asuransi mempunyai sifat dan ciri yang khusus, antara lain perjanjian asuransi merupakan perjanjian aletoir dan 53 bukan perjanjian komutatif, perjanjian asuransi merupakan perjanjian sepihak, dan perjanjian asuransi adalah perjanjian yang melekat pada syarat penanggung. Dengan adanya sifat yang khusus pada perjanjian asuransi tersebut maka diperlukan adanya peraturan, tata cara serta syarat-syarat yang khusus pula. Ketentuan yang berkaitan dengan perjanjian asuransi terdapat dalam KUH Perdata, KUHD, peraturan perundangundangan lainnya lainnya, dan praktek asuransi seperti yang dapat dipelajari dalam polis dan yurisprudensi. Berikut perlindungan yang dapat diberikan pada pemegang polis berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku: a) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Ketentuan umum perjanjian dalam KUH Perdata dapat berlaku pula bagi perjanjian asuransi dengan kepentingan pemegang polis, terdapat beberapa ketentuan dalam KUH Perdata yang perlu diperhatikan, antara lain: (1) Pasal 1320 KUH Perdata yang mengatur mengenai syarat sahnya perjanjian yaitu: (a) Sepakat mereka yang mengikatkan diri; (b) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; (c) Suatu hal tertentu; (d) Suatu sebab yang halal. Apabila perjanjian asuransi tersebut dinyatakan batal baik untuk seluruhnya maupun untuk sebagian dan tertanggung/ pemegang polis beritikad baik, maka pemegang polis tersebut berhak menuntut pengembalian premi yang sudah dibayarkannya (Pasal 281 KUHD); (2) Pasal 1266 KUH Perdata mengatur bahwa syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam perjanjian timbal balik 54 apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Namun demikian disebutkan pula bahwa perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim; (3) Apabila ternyata penanggung wajib memberikan ganti kerugian atau sejumlah uang dalam perjanjian asuransi dan ternyata melakukan ingkar janji, maka pemegang polis dapat menuntut penggantian biaya, rugi dan bunga dengan memperhatikan Pasal 1267 KUH Perdata yang menyatakan bahwa pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih apakah ia akan memaksa pihak lain untuk memenuhi perjanjian atau apakah ia akan menuntut pembatalan dengan biaya ganti kerugian; (4) Perjanjian asuransi juga termasuk perikatan bersyarat, maka sebaiknya pemegang polis memperhatikan ketentuan Pasal 1253 s/d Pasal 1262 KUH Perdata; (5) Ahli waris pemegang polis juga berhak atas dilaksanakannya prestasi dari perjanjian tersebut. Hal ini dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1318 KUH Perdata; (6) Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata mengatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya. Hal ini melahirkan asas kebebasan berkontrak, asas kekuatan mengikat, dan asas kepercayaan. Bila dihubungkan dengan perjanjian asuransi bahwa pihak penanggung dan tertanggung/ pemegang polis terikat untuk melaksanakan ketentuan perjanjian yang telah disepakati. Sehingga pemegang polis mempunyai landasan hukum untuk menuntut penanggung melaksanakan prestasinya; (7) Pasal 1339 KUH Perdata berbunyi bahwa perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas 55 dinyatakan di dalamnya, tapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang. Sehingga kepentingan pemegang polis perjanjian asuransi asas di atas perlu mendapat perhatian; (8) Pasal 1342 KUH Perdata menafsirkan perjanjian harus diperhatikan pula oleh para pihak yang mengadakan perjanjian asuransi; (9) Pasal 1365 KUH Perdata tentang perbuatan melanggar hukum dapat juga dipergunakan oleh pemegang polis, apabila dapat membuktikan penanggung telah melakukan perbuatan yang merugikannya; Demikianlah antara lain ketentuan-ketentuan dalam KUH Perdata yang dapat dipergunakan oleh pemegang polis dalam mempertahankan hak-haknya pada suatu perjanjian asuransi. b) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) Dalam hubungan dengan perlindungan kepentingan pemegang polis asuransi, di dalam KUHD terdapat pula beberapa peraturan lainnya yang harus diperhatikan, antara lain: (1) Pasal 254 KUHD yang melarang para pihak dalam perjanjian untuk melepaskan hal-hal yang oleh ketentuan undang-undang diharuskan sebagai pokok suatu perjanjian asuransi. Apabila hal demikian dilakukan mengakibatkan perjanjian asuransi itu batal; (2) Pasal 257 dan Pasal 258 KUHD menafsirkan bahwa perjanjian asuransi juga merupakan perjanjian konsensual, sehingga telah terbentuk dengan adanya kata sepakat kedua pihak. Dalam hal ini polis hanya merupakan bukti saja. 56 Apabila kedua pihak menutup perjanjian asuransi tetapi polisnya belum dibuat, maka tertanggung tetap berhak menuntut ganti rugi apabila peristiwa yang diperjanjikan terjadi. Adapun yang harus dilakukan tertanggung adalah membuktikan bahwa perjanjian tersebut telah terbentuk; (3) Pasal 260 dan 261 KUHD yang mengatur tentang asuransi yang ditutup dengan perantaraan makelar. Mengenai perjanjian asuransi yang ditutup melalui perantaraan dikenal tentang petugas Dinas Luar dan broker asuransi. Apabila terdapat kesalahan yang dilakukan broker asuransi dalam melakukan pelayanan terhadap tertanggung, maka broker dapat dituntut secara perdata maupun pidana. Secara moralpun broker asuransi merasa berkewajiban untuk menggantikan kerugian yang diderita nasabah atau pihak lain akibat perbuatan broker asuransi; (4) Pasal 269 KUHD yang mengatur bahwa dalam perjanjian asuransi dianut peristiwa yang belum pasti terjadi secara subyektif. Maksudnya, peristiwa dapat dinyatakan batal jika tertanggung atau yang memberikan kuasa telah mengetahui sebelumnya bahwa kerugian atau peristiwa tersebut telah terjadi. Ketentuan tersebut merupakan peraturan menambah sehingga tertanggung atau pemegang polis yang tetap ingin melangsungkan perjanjian dengan kondisi tertentu dapat memperjanjikan lain secara tegas; (5) Pasal 271 KUHD mengatur mengenai hak penanggung untuk menutup kembali (reasuransi) penanggungannya kepada perusahaan asuransi yang lain. Dengan ditutupnya perjanjian asuransi berakibat bahwa penanggung bersedia memberikan ganti rugi atau sejumlah uang apabila terjadi kerugian yang menimpanya. Sehingga dapat dikatakan bahwa tindakan menutup reasuransi di samping melindungi 57 penanggung pertama juga secara tidak langsung melindungi kepentingan pemegang polis; (6) Pemegang polis yang ragu-ragu terhadap kemampuan penanggungnya dapat menutup lagi asuransi dengan penanggung yang lain dengan memperhatikan Pasal 280 KUHD; (7) Pasal 281 KUHD yang mengatur tentang premi restorno, ditentukan bahwa pemegang polis dapat menuntut kembali premi yang sudah dibayarkan dengan syarat apabila asuransi gugur atau batal, pemegang polis beritikad baik, dan penanggung belum memberikan ganti rugi seluruhnya maupun sebagian; (8) Agar pemegang polis terlindungi dalam menuntut hakhaknya maka harus memperhatikan kewajiban yang ditentukan oleh Pasal 283 KUHD. c) Peraturan Perundang-undangan Selain terdapat pengaturannya dalam KUH Perdata dan KUHD, perasuransian juga terdapat di dalam peraturan perundang-undangan lainnya, diantaranya: (1) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1988 tanggal 26 Oktober 1988 Tentang Usaha di Bidang Asuransi Kerugian; (2) Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 1249/KMK.013/1988 tanggal 20 Desember 1988 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Usaha di Bidang Asuransi Kerugian; (3) Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 1250/KMK.013/1988 tanggal 20 Desember 1988 Tentang Usaha Asuransi Jiwa. 58 Mengenai perlindungan terhadap tertanggung maka undang-undang yang terkait adalah UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Karena tertanggung atau nasabah asuransi merupakan konsumen dari produk yang ditawarkan oleh perusahaan asuransi. Dalam Pasal 18 UUPK ada rambu-rambu yang harus diperhatikan dalam pencantuman klausula baku dalam kontrak, yaitu : (1) Pelaku usaha dalam menawarkan menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen perjanjian apabila : a) Menyatakan pengalihan tanggung tanggung jawab pelaku usaha; b) Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; c) Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa; d) Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. (2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Pencantuman klausula baku dari perusahaan asuransi yang melanggar ketentuan dalam Pasal 18 UUPK, akan mengakibatkan kontrak tersebut bertentangan dengan hukum yang berlaku dan mengakibatkan klausula baku tersebut batal 59 demi hukum. Sehingga, pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan undang-undang ini. d) Polis Asuransi Meskipun polis bukan merupakan syarat mutlak untuk terbentuknya perjanjian asuransi, akan tetapi polis tersebut cukup penting. Hal itu disebabkan dalam polis yang bersangkutan dapat diketahui isi dari perjanjian asuransi yang telah ditutup oleh pemegang polis dan penanggung. Dengan demikian, pemegang polis dapat mengetahui kewajiban dan hak-haknya, sesuai dengan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang mengikat para pihak sebagaimana undang-undang (Man Suparman, 2003: 28). e) Yurisprudensi Tidak diragukan lagi bahwa yurisprudensi sangat membantu dalam praktek perasuransian dan perkembangannya. Oleh sebab itu sebagai bahan perbandingan, yurisprudensi negeri Belanda dapat dijadikan pedoman. Dalam hubungan dengan kepentingan pemegang polis perlu juga mendapat perhatian, misalnya dalam yurisprudensi di Belanda tanggal 19 Mei 1978 mempertimbangkan bahwa jika penanggung sendiri sudah tahu tentang adanya suatu keadaan yang dapat dipakai untuk menolak klaim, namun tidak memberitahukan kepada tertanggung, maka berdasarkan asas itikad baik, klaim yang bersangkutan tidak boleh ditolak. Seperti yang telah dikemukakan di atas, ketentuan hukum mengenai usaha perasuransian telah diatur dalam hukum positif di Indonesia, situasi ini mendorong perkembangan perusahaan asuransi di Indonesia semakin marak. Namun, hal lain yang sering 60 dipermasalahkan atas asuransi konvensional adalah adanya dana hangus. Meskipun telah ada peraturan perundang-undangan yang melindungi kepentingan peserta asuransi, akan tetapi dalam prakteknya bila ada peserta yang tidak dapat melanjutkan pembayaran premi dan ingin mengundurkan diri sebelum reversing period, dana peserta itu hangus dan bila masa kontrak habis dan tidak terjadi klaim, premi yang akan dibayarkan akan hangus, sekaligus menjadi milik asuransi. Hal ini jelas merugikan peserta asuransi. b. Pembinaan dan Pengawasan Usaha Perasuransian Menurut Pasal 8 Keputusan Presiden RI Nomor 40 Tahun 1989 Tentang Usaha di Bidang Asuransi Kerugian, diatur bahwa yang berwenang mengadakan pembinaan dan pengawasan usaha asuransi adalah Menteri Keuangan. Pengawasan dan pembinaan tersebut ditujukan terhadap perusahaan asuransi kerugian, perusahaan reasuransi, perusahaan broker asuransi, dan adjuster asuransi. Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1978 sebelumnya telah menetapkan pula bahwa instansi pengawas usaha perasuransian berada di bawah Departemen Keuangan, yaitu Direktorat Lembaga Keuangan dalam lingkungan Direktorat Jenderal Moneter Dalam Negeri. Pembinaan dan Pengawasan ini meliputi: a) Kesehatan keuangan bagi perusahaan asuransi kerugian bagi perusahaan asuransi jiwa dan perusahaan reasuransi, yang terdiri dari : (1) Batas tingkat solvabilitas; (2) Retensi sendiri; (3) Reasuransi; (4) Investasi; 61 (5) Cadangan Teknis; (6) Ketentuan-ketentuan lain yang berhubungan dengan kesehatan keuangan. b) Penyelenggaraan usaha terdiri dari : (1) Syarat-syarat polis asuransi; (2) Tingkat premi; (3) Penyelesaian klaim; (4) Persyaratan keahlian di bidang perasuransian; (5) Ketentuan-ketentuan lain yang berhubungan dengan penyelenggaraan usaha. Pembinaan dan pengawasan yang tersebut di atas termasuk jenis pengawasan aktif. Sedangkan jenis pengawasan pasif dapat dilakukan melalui kewajiban-kewajiban perusahaan asuransi yang terdiri dari : a) Setiap perusahaan asuransi wajib menyampaikan neraca perhitungan laba rugi perusahaan beserta penjelasannya kepada Menteri; b) Setiap perusahaan asuransi wajib menyampaikan laporan operasional kepada Menteri; c) Setiap perusahaan asuransi wajib mengumumkan neraca dan perhitungan laba rugi perusahaan dalam surat kabar harian di Indonesia yang memiliki peredaran luas; d) Khusus untuk asuransi jiwa, perusahaan asuransi wajib menyampaikan laporan investasi kepada menteri. Pada Asuransi Takaful, seluruh kegiatan diawasi, Dewan Pengawas Syariah (DPS) baik dari segi operasional perusahaan, investasi maupun sumberdaya manusia (SDM), Dewan Syariah Nasional (DSN), dan Badan Arbitrase (BASYARNAS). a) Dewan Pengawas Syariah (DPS) Syariah Nasional 62 Perusahaan yang beroperasi berdasarkan sistem syariah. setiap perusahaan asuransi syariah, harus membentuk Dewan Pengawas Syariah. Pembentukan, pengangkatan, dan pemberhentian pengurus Dewan Pengawas Syariah adalah berdasarkan Rapat Umum Pemegang Saham setelah mendapat rekomendasi dari Dewan Syariah Nasional. Salah satu tugas Dewan Pengawas Syariah adalah mengawasi pelaksanaan keputusan Dewan Syariah Nasional di perusahaan syariah tersebut. Fungsi Dewan Pengawas Syariah adalah: (1) Melakukan pengawasan secara periodik pada perusahaan syariah yang berada di bawah pengawasannya; (2) Berkewajiban mengajukan usul-usul pengembangan perusahaan syariah kepada pimpinan perusahaan dan Dewan Syariah Nasional; (3) Melaporkan perkembangan produk dan operasional perusahaan syariah yang diawasinya kepada Dewan Syariah Nasional sekurang-kurangnya dua kali dalam satu tahun anggaran; (4) Merumuskan masalah-masalah yang memerlukan pembahasan Dewan Syariah Nasional; (5) Berlaku sebagai mediator antara Lembaga Keuangan Syariah dengan Dewan Syariah Nasional (DSN) dalam mengkomunikasikan usul dan saran pengembangan produk dan jasa dari Lembaga Keuangan Syariah yang memerlukan kajian dan fatwa dari DSN. Peran utama para ulama dalam Dewan Pengawas Syariah adalah mengawasi jalannya operasional sehari-hari perusahaan syariah agar selalu sesuai dengan ketentuan syariah. 63 Fungsi pengawasan DPS berlangsung sejak produkproduk syariah akan berjalan hingga akad tersebut selesai. Ini berguna untuk menghindari penyimpangan yang sering terjadi pada saat akad tersebut dibuat, baik dari para pihak maupun dari pelaksanaan isi akad. Struktur Dewan Pengawas Syariah adalah: (1) Dewan Pengawas Syariah dalam struktur perusahaan setingkat dengan fungsi komisaris sebagai pengawas direksi; (2) Dewan Pengawas Syariah melakukan pengawasan kepada manajemen dalam kaitannya dengan implimentasi sistem dan produk-produk agar tetap sesuai dengan syariah Islam; (3) Dewan Pengawas Syariah bertanggung jawab atas pembinaan akhlak seluruh karyawan berdasarkan sistem pembinaan keIslaman yang telah diprogramkan setiap tahun; (4) Dewan Pengawas Syariah ikut mengawasi pelanggaran nilai-nilai di lingkungan perusahaan tersebut; (5) Dewan Pengawas Syariah bertanggung jawab atas seleksi karyawan baru yang dilaksanakan biro syariah. b) Dewan Syariah Nasional (DSN) Dewan Syariah Nasional adalah badan yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia untuk menangani berbagai masalah yang berhubungan dengan aktifitas perusahaan syariah seluruh Indonesia. Kedudukan, status, dan anggota Dewan Syariah Nasional diatur sebagai berikut : (1) Dewan Syariah Nasional merupakan bagian dari Majelis Ulama Indonesia; 64 (2) Dewan Syariah Nasional membantu pihak terkait, seperti Departemen Keuangan, Bank Indonesia, dan lembaga lain dalam menyusun peraturan untuk lembaga keuangan syariah; (3) Anggota Dewan Syariah Nasional terdiri dari ulama, praktisi, dan pakar-pakar dalam bidang terkait dengan muamalah syariah; (4) Anggota Dewan Syariah ditunjuk dan diangkat oleh Majelis Ulama Indonesia dengan masa bakti sama dengan periode masa bakti pengurus Majelis Ulama Indonesia pusat selama 5 tahun. Tugas Dewan Syariah Nasional adalah: (1) Menumbuhkembangkan penerapan prinsip-prinsip syariah dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan keuangan khususnya; (2) Mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan dan produk atau jasa keuangan syariah. Wewenang Dewan Syariah Nasional adalah: (1) Mengeluarkan fatwa yang terkait Dewan Pengawas Syariah di masing-masing perusahaan syariah dan menjadi dasar hukum pihak terkait; (2) Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi peraturan yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, seperti Departemen Keuangan dan Bank Indonesia, dan lain-lain.; (3) Mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang diperlukan dalam pembahasan ekonomi syariah, termasuk otoritas moneter dalam dan luar negeri; 65 (4) Memberikan peringatan kepada perusahaan syariah untuk menghentikan penyimpangan dari fatwa yang telah dikeluarkan Dewan Syariah Nasional; (5) Mengusulkan kepada instansi yang berwenang untuk mengambil tindakan apabila peringatan tidak diindahkan. c) Badan Arbitrase Syariah Nasional ( BASYARNAS ) Lembaga yang melakukan penyelesaian sengketa keperdataan secara syariah berdasarkan Al-Quran dan Al-Hadis terhadap sengketa lembaga keuangan syariah (termasuk Perusahaan Asuransi Syariah) dengan pemerintah, lembaga keuangan lainnya, ataupun masyarakat. Badan ini merupakan penyelesaian sengketa yang dipilih secara sukarela oleh para pihak yang bersengketa. 2. Kerangka Pemikiran Dalam melakukan penelitian ini maka perlu adanya sebuah kerangka berpikir yang sistematik agar penelitian yang didapat sesuai dengan tujuan. Maka kerangka pemikiran yang dikembangkan oleh peneliti digambarkan sebagai berikut: Asuransi UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia No.21/DSN-MUI/X/2001 Tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah Asuransi Syariah 66 Peserta Asuransi Perusahaan Asuransi Perjanjian Asuransi Perlindungan Hukum Peserta Asuransi Permasalahan yang timbul Solusi BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Dalam Asuransi Syariah Salah satu bentuk hubungan hukum antara perusahaan asuransi syariah dengan nasabahnya adalah diadakannya suatu perjanjian asuransi yang disepakati kedua belah pihak. Agar perjanjian asuransi berjalan sebagaimana yang diharapkan, diperlukan adanya peraturan yang memadai sehingga masing-masing pihak memahami hak dan kewajibannya untuk dilaksanakan. Pengaturan mengenai perlindungan nasabah dimuat dalam 67 landasan asuransi syariah itu sendiri, karena landasan asuransi syariah adalah sumber dari pengambilan hukum praktik asuransi syariah. a. Landasan dasar syariah yaitu berupa : 1) Al-Qur’an; 2) Sunnah Nabi; 3) Piagam Madinah; 4) Praktik Sahabat; 5) Ijma; 6) Syar’u Man Qablana; 7) Istihsan. b. Landasan hukum asuransi syariah yaitu berupa : 1) Undang-Undang, antara lain : a) Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian; b) Undang-Undang terkait lainnya, seperti Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. 2) Peraturan Pemerintah, antara lain : a) Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian; b) Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas PP No. 73 Tahun 1992; c) Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas PP No. 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian. 3) Keputusan Menteri Keuangan atau pejabat terkait lainnya, antara lain : a) Keputusan Menteri Keuangan No. 223/KMK.017/1993 tentang Perizinan Reasuransi; Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan 68 b) Keputusan Menteri Keuangan No. 225/KMK.017/1993 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi; c) Keputusan Menteri Keuangan No. 226/KMK.017/1993 tentang Perizinan dan Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi; d) Keputusan Menteri Keuangan No. 481/KMK.017/1993 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi; e) Keputusan Menteri Keuangan No. 424/KMK.06/2003 Tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi; f) Keputusan Menteri Keuangan No. 426/KMK.06/2003 tentang Perijinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan asuransi dan Perusahaan Reasuransi; g) Keputusan Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan Nomor 4499/LK/2000 Tentang Jenis, Penilaian, dan Pembatasan Investasi Perusahaan Reasuransi dengan Sistem Syariah 4) Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSNMUI), antara lain : a) Fatwa No.21/DSN-MUI/X/2001 Tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah; b) Keputusan DSN-MUI tentang Pedoman Rumah Tangga, yang secara umum memberikan penjelasan mengenai fungsi dan tugas Dewan Syariah Nasional (DSN); c) Fatwa No.43/DSN-MUI/VIII/2004 Tentang Ganti Rugi; d) Fatwa No.51/DSN-MUI/III/2006 Tentang Mudharabah Tentang Mudharabah Musytarakah Asuransi; e) Fatwa No.52/DSN-MUI/III/2006 Musytarakah Asuransi Wakalah bil Ujrah; 69 f) Fatwa No.53/DSN-MUI/III/2006 Tentang Tabarru’ pada Asuransi Syariah; g) Fatwa No.53/DSN-MUI/III/2006 Tentang Tabarru’ pada Asuransi Syariah Akad Tabarru’ pada Asuransi dan Reasuransi Syariah. Asuransi takaful pada prinsipnya bertumpu pada konsep “wata’awanu ala biri wa taqwa” (tolong menolonglah dalam kebaikan dan taqwa) dan al ta’min (rasa aman) menjadikan semua peserta asuransi sebagai keluarga besar yang saling menjamin dan menanggung risiko satu sama lainnya. Maka asuransi takaful keluarga meniadakan unsur gharar, maisir dan riba. 2. Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Dalam Asuransi Syariah Di PT Asuransi Takaful Kantor Cabang Perwakilan Surakarta Melihat kian luas dan beragamnya pola bisnis berbasis perekonomian syariah maka aspek perlindungan hukum dan penerapan asas perjanjian dalam akad atau kontrak di Lembaga Keuangan Syari’ah menjadi penting diupayakan implementasinya. Dalam hal implementasi, para pelaku dan pengguna ekonomi syariah harus menjalankan kegiatannya berdasarkan prinsip syariah. Pola hubungan yang didasarkan pada keinginan untuk menegakkan sistem syariah diyakini sebagai pola hubungan yang kokoh antara perusahaan asuransi dan nasabah. Pola hubungan antara pihak yang terlibat dalam Lembaga Keuangan syariah tersebut ditentukan dengan hubungan akad. Hubungan akad yang melandasi segenap transaksi inilah yang membedakannya dengan perusahaan asuransi konvensional, karena akad yang diterapkan perusahaan asuransi syariah, memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Dalam penerapan pola hubungan akad inilah sudah seharusnya tidak terdapat penyimpangan-penyimpangan dari kesepakatan yang telah 70 dibuat oleh kedua belah pihak karena masing-masing menyadari akan pertanggungjawaban dari akad tersebut. Tetapi dalam koridor masyarakat yang sadar hukum, tidak dapat dihindari munculnya perilaku saling tuntut menuntut satu sama lain. Sehingga kuantitas dan kompleksitas perkara terutama perkara-perkara bisnis akan sangat tinggi dan beragam. Dalam hal ini kontrak disebut juga akad atau perjanjian yaitu bertemunya ijab yang diberikan oleh salah satu pihak dengan kabul yang diberikan oleh pihak lainnya secara sah menurut hukum syar’i dan menimbulkan akibat pada subyek dan obyeknya. Akad yang dituangkan dalam perjanjian asuransi secara tertulis dalam bahasa arab disebut alwa'du al-maktub. Secara umum dinamakan polis. Polis asuransi merupakan bukti tertulis atau surat perjanjian antara pihak-pihak yang mengadakan perjanjian asuransi. Beberapa akad yang terdapat dalam asuransi syariah, yaitu akad tabarru (tolong-menolong), akad mudharabah (bagi hasil), dan jenis akad tijarah (akad yang menuju tujuan komersial) yaitu akad al-musyarakah (partnership), alwakala (pengangkatan wakil/agen), al-waidah (akad penitipan), asy-syirkah (berserikat), al-musahamah (kontribusi) yang dibenarkan secara syar'i dalam asuransi syariah. Adapun ketentuan mengenai akad dalam asuransi adalah sebagai berikut : a. Jenis-jenis akad yang akan digunakan di takaful dalam rangka mengeliminir adanya gharar dan maisir adalah : 1) Akad yang dilakukan antara peserta dengan perusahaan terdiri atas akad tijarah dan/atau akad tabarru’; 2) Akad tijarah yang dimaksud adalah mudharabah, sedangkan akad tabarru’ adalah hibah. b. Dalam akad, sekurang-kurangnya harus disebutkan : 71 1) Hak dan kewajiban peserta dan perusahaan; 2) Cara dan waktu pembayaran premi; 3) Jenis akad tijarah dan/atau akad tabarru’ serta syarat-syarat yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan. c. Kedudukan para pihak dalam akad tijarah & tabarru’, adalah sebagai berikut: 1) Dalam akad tijarah (mudharabah) perusahaan bertindak sebagai mudharib (pengelola) dan peserta bertindak sebagai shahibul maal (pemegang polis); 2) Dalam akad tabarrru’ (hibah), peserta memberikan hibah yang akan digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah, sedangkan perusahaan bertindak sebagai pemegang amanah atas pengelola dana tersebut. Masalah seperti kekhawatiran adanya unsur gharar, maisir, dan riba dapat selesai dengan benarnya akad. Takaful telah merubah akadnya dan membagi dana peserta ke dalam dua rekening. Karena rekening khusus yang menampung tabarru’ yang ada tidak bercampur dengan rekening peserta, maka reversing period terjadi sejak awal. Kapan saja peserta dapat mengambil uangnya (karena pada hakekatnya itu adalah uang mereka sendiri), nilai tunai sudah ada (terbentuk) sejak awal tahun pertama ia masuk. Dan karenanya tidak ada maisir, karena tidak ada pihak yang dirugikan. PT Asuransi Takaful Kantor Cabang Perwakilan Surakarta dalam menjalankan kegiatan usahanya memiliki berbagai produk dan layanan. Prinsip perjanjian Islam dalam asuransi syariah sebagai suatu perjanjian yang bebas dari unsur gharar, maisir, dan riba mempunyai tujuan untuk melindungi kepentingan kedua belah pihak, khususnya nasabah sebagai pemegang polis. Perlindungan hukum terhadap nasabah di PT Asuransi Takaful Kantor Cabang Perwakilan Surakarta berupa : 72 a. Berbagai produk dan layanan yang bebas dari unsur gharar, maisir, dan riba. Jenis produk dan layanan pokok PT Asuransi Takaful Kantor Cabang Perwakilan Surakarta meliputi asuransi Takaful Keluarga dan asuransi Takaful Umum. Produk dan layanan asuransi syariah yang telah dipilih sebenarnya telah mengandung aspek perlindungan. Namun dalam kenyataannya, masih banyak nasabah yang belum paham mengenai di mana dapat ditemukan sisi perlindungan hukum nasabah asuransi syariah yang dapat dijadikan jaminan atas perjanjian asuransinya. Tentunya nasabah menginginkan suatu jaminan atas keikutsertaannya dalam asuransi. Unsur perlindungan hukum lainnya dapat ditemukan dalam berbagai prosedur di PT Asuransi Takaful Kantor Cabang Perwakilan Surakarta. b. Syarat Pengajuan Asuransi, yang memuat aplikasi identitas calon nasabah (calon pemegang polis). Tujuan dari pengisian formulir aplikasi ini adalah untuk memberikan data sebenar-benarnya mengenai identitas nasabah sehingga apabila suatu saat mengajukan klaim, maka nasabah dapat membuktikan bahwa dirinya berhak atas klaim yang diajukan; c. Bentuk pelaksanaan akad (perjanjian) yang dibuat secara tertulis dalam bentuk Polis Asuransi Syariah. Di dalam polis ini mengandung unsur hak dan kewajiban antara perusahaan asuransi dengan pemegang polis. Dengan adanya polis, maka perjanjian antara kedua belah pihak mendapatkan kekuatan secara hukum. Jenis polis yang terdapat di PT Asuransi Takaful Cabang Surakarta meliputi : 1) Syarat Umum Polis Individu dalam asuransi Takaful Keluarga; 2) Syarat Umum yang terdapat pada masing-masing polis dalam asuransi Takaful Umum. 73 d. Syarat-syarat Pengajuan Klaim, yaitu ketentuan yang harus dipenuhi agar klaim yang diajukan nasabah mendapat persetujuan oleh perusahaan asuransi. Tujuan dari diadakannya syarat pengajuan klaim adalah agar para nasabah mendapat perlindungan atas hak-haknya, yaitu dengan dikabulkannya permohonan pembayaran klaim asuransi sesuai perjanjian yang telah disepakati. e. Penyelesaian sengketa dalam asuransi syariah yang dilakukan menurut Hukum Islam. Nasabah tentunya merasa lebih terlindungi secara hukum apabila terdapat lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa apabila terjadi perselisihan. B. Pembahasan 1. Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Dalam Asuransi Syariah Asuransi Takaful merupakan asuransi yang memiliki landasan syariah dan konsep tolong-menolong dalam kebaikan. Pengaturan mengenai perlindungan nasabah dimuat dalam landasan asuransi syariah itu sendiri, karena landasan asuransi syariah adalah sumber dari pengambilan hukum praktik asuransi syariah. Terdapat dua macam landasan dalam asuransi syariah, yaitu landasan dasar syariah dan landasan hukum asuransi syariah. Landasan dasar syariah yaitu berupa Al-Qur’an, sunnah Nabi, Piagam Madinah, praktik sahabat, ijma, syar’u man qablana, dan istihsan. Sedangkan landasan hukum asuransi syariah yaitu berupa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan atau pejabat terkait lainnya, dan Fatwa MUI. Uraian landasan asuransi syariah yaitu sebagai berikut: a. Landasan Dasar Sejak awal asuransi syariah dimaknai sebagai wujud dari bisnis pertanggungan yang didasarkan pada nilai-nilai yang ada dalam ajaran Islam, maka landasan yang dipakai dalam hal ini tidak jauh berbeda 74 dengan metodologi yang dipakai oleh sebagian ahli hukum Islam, antara lain: 1) Al-Qur’an Di antara ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai muatan nilainilai yang ada dalam praktik asuransi adalah: a) QS al-Maidah (5): 2 Artinya: “…Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan, bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya” (Terjemahan Yayasan Penyelenggara Penterjemah / Pentafsir Al-Qur’an Departemen Agama RI, 1971: 157). Ayat ini memuat perintah untuk saling tolong-menolong dan bekerja sama. Dalam asuransi syariah, nilai ini terlihat dalam praktik kerelaan nasabah perusahaan asuransi untuk menyisihkan dananya untuk digunakan sebagai dana sosial yang digunakan untuk menolong salah satu nasabah yang sedang terkena musibah. b) QS al-Baqarah (2): 185 Artinya: “…Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…” (Terjemahan Yayasan Penyelenggara Penterjemah / Pentafsir AlQur’an Departemen Agama RI, 1971: 45). Ayat di atas memuat pengertian bahwa manusia dituntun oleh Allah SWT agar dalam setiap langkah kehidupannya selalu dalam kemudahan dan tidak mempersulit diri sendiri. Dalam konteks asuransi dapat dikatakan bahwa dengan adanya lembaga asuransi syariah, seseorang dapat memudahkan untuk menyiapkan dan merencanakan kehidupan 75 dan dapat melindungi kepentingan ekonominya dari kerugian yang tidak disengaja. c) QS al-Baqarah (2): 261 Artinya: “…Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karuniaNya) lagi Maha Mengetahui” (Terjemahan Yayasan Penyelenggara Penterjemah / Pentafsir AlQur’an Departemen Agama RI, 1971: 65). Ayat ini menegaskan bahwa orang yang rela menafkahkan hartanya akan dibalas dengan melipatgandakan pahalanya. Praktik asuransi penuh dengan muatan-muatan nilai sosial, seperti dengan pembayaran premi ke rekening tabarru’ adalah salah satu wujud penafkahan harta di jalan Allah SWT. d) QS Yusuf (12): 47-49 Artinya: “Yusuf berkata, supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa. Maka, apa yang kamu tuai, hendaklah kamu biarkan di bulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan. Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum)yang kamu simpan. Kemudian, akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan (dengan cukup) dan di masa itu mereka memeras anggur” (Terjemahan Yayasan Penyelenggara Penterjemah / Pentafsir Al-Qur’an Departemen Agama RI, 1971: 356). Ayat ini mengandung semangat untuk melakukan proteksi terhadap segala sesuatu peristiwa yang akan menimpa di masa datang. Penerapannya pada praktik asuransi adalah dengan melakukan pembayaran premi asuransi, berarti kita 76 secara tidak langsung telah ikut serta mengamalkan perilaku proteksi (perlindungan) tersebut. e) QS al-Taghaabun (64): 11 Artinya: “Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah…” (Terjemahan Yayasan Penyelenggara Penterjemah / Pentafsir AlQur’an Departemen Agama RI, 1971: 941). Ayat ini menegaskan bahwa segala musibah atau peristiwa kerugian yang akan terjadi di masa mendatang tidaklah dapat diketahui kepastiannya oleh manusia. Dalam bisnis asuransi, hal semacam ini dipelajari dalam bentuk manajemen risiko, yaitu bagaimana cara mengelola risiko tersebut agar dapat terhindar dari kerugian atau paling tidak risiko kerugian tersebut dapat diminimalisir. f) QS Luqman (31): 34 Artinya: “…Dan tidak seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok; dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana ia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (Terjemahan Yayasan Penyelenggara Penterjemah / Pentafsir AlQur’an Departemen Agama RI, 1971: 658). Allah SWT telah mengatur kehidupan dan kematian serta masalah rezeki bagi manusia. Manusia diperintahkan supaya bertawakal dan tetap optimis berusaha. Praktik asuransi merupakan salah satu usaha untuk menyiapkan hari depan atau dengan menekan risiko sekecil mungkin terhadap kemungkinan kerugian yang terjadi di masa mendatang, karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. g) QS Ali Imran (3): 145 dan 185 Artinya: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati…” 77 (QS Ali Imran (3): 185, Terjemahan Yayasan Penyelenggara Penterjemah / Pentafsir Al-Qur’an Departemen Agama RI, 1971: 109); Artinya: “Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang tertentu waktunya.” (QS Ali Imran (3): 145, Terjemahan Yayasan Penyelenggara Penterjemah / Pentafsir AlQur’an Departemen Agama RI, 1971: 100). Kematian adalah sesuatu yang bersifat pasti adanya dan akan menimpa semua manusia. Dalam hal ini kewajiban yang seharusnya dijalankan oleh manusia adalah meminimalisasi atau mengurangi kerugian yang diakibatkan oleh kematian dengan cara melakukan perlindungan jiwanya untuk kepentingan ahli warisnya, karena akan meringankan beban ekonomi ahli waris yang ditinggalkannya. h) QS an-Nisa’ (4): 7 Artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dan harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” (Terjemahan Yayasan Penyelenggara Penterjemah / Pentafsir AlQur’an Departemen Agama RI, 1971: 116). Ayat ini menjelaskan tentang waris mewarisi dalam ajaran Islam. Seorang anak mempunyai hak untuk mewarisi harta orangtuanya. Nilai yang terkandung dalam ayat di atas diterapkan pada bisnis asuransi berbentuk pembayaran klaim bagi nasabah perusahaan asuransi kepada keluarga atau ahli waris yang ditinggalkan. Sebagai contoh, jika A mengasuransikan dirinya, maka konsekuensi hukum yang berlaku jika A meninggal adalah keluarga atau ahli warisnya 78 mendapatkan uang proteksi dari perusahaan asuransi yang diikutinya. i) QS Ali Imran (3): 37 Artinya: “Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakaria pemeliharanya…” (Terjemahan Yayasan Penyelenggara Penterjemah / Pentafsir Al-Qur’an Departemen Agama RI, 1971: 81). Ayat ini memberikan gambaran tentang kafalah (pertanggungan atau penjaminan) yang dilakukan Nabi Zakaria dalam bentuk pemeliharaan dan pemenuhan kebutuhan hidupnya. Kafalah terbagi menjadi dua, yaitu kafalah an-nafs (penjaminan untuk orang) dan kafalah al-mal (penjaminan untuk harta). 2) Sunnah nabi Pengertian Sunnah secara bahasa adalah jalan yang ditempuh, tradisi, dan terpuji. Ulama hadits memberikan pengertian sunnah sebagai berikut: Artinya : “Segala yang dinukilkan dari Nabi SAW”. Baik berupa perkataan, perbuatan, taqrirnya atau selain itu.” Jadi menurut pengertian ini, sunnah meliputi biografi Nabi, sifat-sifat Nabi baik yang berupa fisik, umpamanya; mengenai tubuhnya, rambutnya dan sebagainya, maupun yang mengenai psikis dan akhlak Nabi dalam keadaan sehari-hari, baik sebelum atau sesudah bi’tsah (diangkat) menjadi Rasul. a) Hadits tentang aqilah Artinya : “Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, dia berkata: berselisih dua orang wanita dari suku Huzail, kemudian salah satu wanita tersebut melempar batu ke wanita yang lain sehingga mengakibatkan 79 kematian wanita tersebut beserta janin yang dikandungnya. Maka ahli waris dari wanita yang meninggal tersebut mengadukan peristiwa tersebut kepada Rasulullah SAW., maka Rasulullah .SAW. memutuskan ganti rugi dari pembunuhan terhadap janin tersebut dengan pembebasan seorang budak laki-laki atau perempuan, dan memutuskan ganti rugi kematian wanita dengan uang darah (diyat) yang dibayarkan oleh aqilahnya (kerabat dari orang tua laki-laki)” (HR. Bukhari). Hadits di atas menjelaskan tentang praktik aqilah yang telah menjadi tradisi di masyarakat Arab. Penanggungan bersama oleh aqilah merupakan suatu kegiatan yang mempunyai unsur seperti yang berlaku pada bisnis asuransi. Kemiripan ini didasarkan atas adanya prinsip saling menanggung (takaful) antara anggota suku. b) Hadits tentang niat Artinya : “Diriwayatkan oleh Umar bin Khattab ra, dia berkata: Telah bersabda Rasulullah SAW.: “Sesungguhnya semua pekerjaan itu (tergantung) dengan niatnya, dan setiap orang itu (tergantung) dari apa yang diniatkannya.” (Muttafaq alaih). Dijelaskan dalam hadits di atas bahwa segala perbuatan manusia itu tergantung dengan niatnya. Dalam bisnis asuransi, yang perlu diperhatikan sejak awal adalah niat seseorang ikut serta di dalamnya. Seorang yang menjadi anggota perkumpulan asuransi harus meluruskan niatnya dengan memberikan motivasi pada dirinya, bahwa dia berasuransi hanya untuk saling tolong-menolong dan bantu-membantu antara sesama anggota asuransi dengan didasari untuk mencari keridhaan Allah SWT. 80 c) Hadits tentang anjuran menghilangkan kesulitan seseorang. Artinya : “Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, Nabi Muhammad bersabda menghilangkan : kesulitan Barangsiapa duniawinya yang seorang mukmin, maka Allah SWT akan menghilangkan kesulitannya pada hari kiamat. Barangsiapa yang mempermudah kesulitan seseorang, maka Allah SWT akan mempermudah urusannya di dunia dan di akhirat” (HR. Muslim). Dalam perusahaan asuransi, kandungan hadits di atas terlihat dalam bentuk pembayaran dana sosial (tabarru’) dari anggota (nasabah) perusahaan asuransi yang sejak awal mengikhlaskan dananya untuk kepentingan social, yaitu untuk membantu dan mempermudah urusan saudaranya yang kebetulan mendapatkan musibah atau bencana. d) Hadits tentang anjuran meninggalkan ahli waris yang kaya Artinya : “Diriwayatkan dari Amir bin Sa’ad bin Ali Waqasy, telah bersabda Rasulullah SAW.: “Lebih baik jika engkau meninggalkan anak-anak kamu (ahli waris) dalam keadaan kaya raya, dari pada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin (kelaparan) yang meminta-minta kepada manusia lainnya” (HR. Bukhari). Rasulullah SAW sangat memperhatikan kehidupan yang akan terjadi di masa datang (future time) dengan cara mempersiapkan sejak dini bekal yang harus diperlukan untuk kehidupan dan keturunan (ahli waris)-nya di masa mendatang. Dalam pelaksanaan operasionalnya, organisasi asuransi mempraktikkan nilai yang terkandung dalam hadits di atas dengan cara mewajibkan anggotanya untuk membayar uang iuran (premi) yang digunakan sebagai tabungan dan dapat 81 dikembalikan ke ahli warisnya jika pada suatu saat terjadi peristiwa yang merugikan, baik dalam bentuk kematian nasabah atau kecelakaan diri. e) Hadits tentang kifl al-yatim Artinya : “Diriwayatkan dari Sahal bin Sa’ad ra, mengatakan Rasulullah telah bersabda: “Saya dan orang yang menanggung anak yatim nantinya akan di surga seperti ini, Rasulullah bersabda sambil menunjukkan jari telunjuk dan jari yang tengah” (HR. Bukhari). Secara khusus hadits tersebut diarahkan pada diri anak yatim. Pada kondisi yang lain hadits ini tidak hanya dapat diterapkan pada anak yatim saja, tetapi dapat diperluas dalam tataran yang lebih umum yaitu setiap aktivitas pertanggungan yang didasarkan atas motivasi saling tolong-menolong antara sesama manusia. f) Hadits tentang menghindari risiko Artinya : “Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra, bertanya seseorang kepada Rasulullah SAW. Tentang (untanya): “Apa (unta) ini saya ikat saja atau langsung saya bertawakal pada (Allah SWT)” Bersabda Rasulullah SAW.:”pertama ikatlah unta itu kemudian bertakwalah kepada Allah SWT” (HR. AtTurmudzi). Rasulullah SAW memberi tuntutan pada manusia agar selalu bersikap waspada terhadap kerugian atau musibah akan yang terjadi. Hadits di atas mengandung nilai implisit agar kita selalu menghindar dari risiko yang membawa kerugian pada diri kita, baik itu berbentuk kerugian materi ataupun kerugian yang berkaitan langsung dengan diri manusia (jiwa). Praktik asuransi adalah bisnis yang bertumpu pada bagaimana cara 82 mengelola risiko itu dapat diminimalisasi pada tingkat yang sedikit (serendah) mungkin. Risiko kerugian tersebut akan terasa ringan jika dan hanya jika ditanggung bersama-sama oleh semua anggota (nasabah) asuransi. g) Hadits tentang perjanjian Artinya : “Orang-orang muslim itu terikat dengan syarat yang mereka sepakati, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram” (HR. at-Turmudzi). Hadits ini menjelaskan tentang prinsip umum dalam melakukan aqad. Dalam perusahaan asuransi aqad atau transaksi yang disepakati antara anggota (nasabah) dengan pengelola asuransi harus berdasarkan syarat-syarat yang mereka tetapkan bersama. Jika syarat-syarat tersebut telah disepakati, maka kedua belah pihak (nasabah dan perusahaan) terikat dalam suatu ikatan (al-'aqdu) yang harus dipatuhi bersama. 3) Piagam Madinah Rasulullah SAW. mengundangkan sebuah peraturan yang terdapat dalam Piagam Madinah yaitu sebuah konstitusi pertama yang memperhatikan keselamatan hidup para tawanan yang tinggal di negara tersebut. Seseorang yang menjadi tawanan perang musuh maka aqilah dari tawanan tersebut akan menyumbangkan tebusan dalam bentuk pembayaran (diyat) kepada musuh, sebagai pesanan yang memungkinkan terbebaskan tawanan tersebut. Sebagaimana kontribusi tersebut akan dipertimbangkan sebagai bentuk lain dari pertanggungan sosial (social insurance). Dalam konstitusi ini dijelaskan tentang peraturan bersama antara orang Quraisy yang berhijrah (migran) dengan suku-suku 83 yang tinggal di Madinah untuk saling melindungi dan hidup bersama dalam suasana kerja sama saling tolong-menolong. Pasal 1 Piagam Madinah memuat ketentuan bahwa kaum mukminin tidak boleh membiarkan sesama mukmin berada dalam kesulitan memenuhi kewajiban membayar diyat atau tebusan tawanan seperti disebutkan menekankan dalam Pasal-Pasal solidaritas sesama terdahulu. mukmin Ketentuan dalam ini mengatasi kesulitan. 4) Praktik Sahabat Sahabat berkenaan dengan pembayaran hukuman (ganti rugi) pernah dilaksanakan oleh Khalifah kedua, Umar bin Khattab. Pada suatu ketika Khalifah Umar memerintahkan agar daftar (diwan) saudara-saudara muslim disusun perdistrik. “Orang-orang yang namanya tercantum dalam diwan tersebut berhak menerima bantuan dari satu sama lain dan harus menyumbang untuk pembayaran hukuman (ganti rugi) atas pembunuhan (tidak disengaja) yang dilakukan oleh salah seorang anggota masyarakat mereka. Umarlah orang yang pertama kali mengeluarkan perintah untuk menyiapkan daftar secara profesional perwilayah, dan orangorang yang terdaftar diwajibkan saling menanggung beban. 5) Ijma Para sahabat telah melakukan ittifaq (kesepakatan) dalam hal ini (aqilah). Terbukti dengan tidak adanya penentangan oleh sahabat lain terhadap apa yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab. Sehingga dapat disimpulkan bahwa mereka bersepakat mengenai persoalan ini. Adanya aspek kebaikan dan nilai yang positif dalam praktik aqilah mendorong para ulama untuk bermufakat (ijma’) bahwa perbuatan semacam aqilah tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam syariah Islam. 6) Syar’u Man Qablana 84 Syar’u man qablana dalam pandangan Wahhab Khalaf adnlah salah satu dalil hukum yang dapat dijadikan pedoman (sumber) dalam melakukan penetapan hukum (istimbath al-hukm) dengan mengacu pada cerita dalam al-Qur’an atau sunnah Nabi yang berkaitan dengan hukum syar'i umat terdahulu tanpa adanya pertentangan dengan ketetapan yang ada dalam al-Qur'an maupun sunnah Nabi. Praktik yang mempunyai nilai sama dengan asuransi, yang pernah dikerjakan oleh suku kuno Arab pra-Islam adalah praktik aqilah. Aqilah adalah iuran darah yanp dilakukan oleh keluarga dari pihak laki-laki si pembunuh. Sebenarnya si pembunuhlah yang harus membayar ganti rugi tersebut. Namun, kelompok menanggung pembayarannya karena si pembunuh kebetulan adalah anggotanya : Pada zaman jahiliyah, harga yang dibayar oleh pelaku pembunuhan konon sebanyak sepuluh ekor unta betina. 7) Istihsan Istihsan dalam pandangan ahli ushul adalah memandang Kebaikan dari kebiasaan aqilah di kalangan suku Arab kuno terletak pada kenyataan bahwa ia dapat menggantikan balas dendam berdarah. Manfaat yang signifikansi dari praktik aqilah, diantaranya adalah: a) mempertahankan keseimbangan kesukuan dan, dengan demikian, kekuatan pembalasan dendam dari setiap suku dapat menghalangi kekejaman anggota suku lain; b) menambah sebagian besar jaminan sosial, karena mengingat tanggung jawab kolektif untuk membayar ganti rugi, suku harus menjaga seluruh kegiatan anggotanya dengan saksama; c) mengurangi beban anggota perorangan jika ia diharuskan membayar ganti rugi; 85 d) menghindarkan dendam darah yang jika tidak dicegah mengakibatkan kehancuran total suku-suku yang terlibat; e) mempertahankan sepenuhnya kesatuan dan kerja sama para anggota dari setiap suku, yang tak lain merupakan mutualitas. b. Landasan hukum Keberadaan asuransi syariah di Indonesia secara konstitusi masih sangatlah lemah dan masih perlu adanya political will (kebijakan politik) yang mendukung dari pemerintah Indonesia. Ini terlihat belum adanya peraturan setingkat undang-undang yang secara khusus mengatur tentang asransi syariah di Indonesia. Secara struktural, landasan operasional asuransi syariah di Indonesia masih menginduk pada peraturan yang mengatur usaha perasuransian secara umum (konvensional). Dan baru ada peraturan yang secara tegas menjelaskan asuransi syariah pada Surat Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan No. Kep. 4499/LK/2000 tentang Jenis, Penilaian dan Pembatasan Investasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan Sistem Syariah. Adapun secara stratifikasi peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang usaha perasuransian dan perusahaan reasuransi, serta tentang perizinan dan penyelenggaraan perusahaan asuransi syariah dapat dituliskan sebagai berikut: 1) Undang-undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian; 2) Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian; 3) Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas PP No. 73 Tahun 1992; 4) Keputusan Menteri Keuangan No. 223/KMK.017/1993 tentang Perizinan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi; 86 5) Keputusan Menteri Keuangan No. 225/KMK.017/1993 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi; 6) Keputusan Menteri Keuangan No. 226/KMK.017/1993 tentang Perizinan dan Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi; 7) Keputusan Menteri Keuangan No. 481/KMK.017/1993 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Nasabah (pemegang polis) merupakan konsumen dari produkproduk perusahaan asuransi. Ketentuan perlindungan terhadap nasabah sebagai konsumen perusahaan asuransi tersirat dalam Pasal 18 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan klausula baku yang ada dalam perjanjian tidak diperkenakan melanggar hak-hak konsumen. Pasal 18 ayat (1) butir (a) undang-undang ini, harus menjadi perhatian karena klausula baku kadang digunakan para pelaku bisnis asuransi dalam upaya mengalihkan tanggung jawabnya kepada tertanggung (konsumen). Dalam Pasal 18 ayat (2) menyatakan: “Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti”. Contoh yang sering ditemukan dalam kegiatan perasuransian adalah pelaku usaha bisnis asuransi sering meletakkan item dalam polis yang secara sengaja dilakukan agar tertanggung tidak melihat dengan jelas, biasanya hal ini dilakukan untuk menghindari dari tanggung tanggung jawab dari pelaku bisnis asurasi. Dalam polis asuransi juga sering terdapat kata-kata yang sulit dimengerti oleh orang awam. Kata-kata ini sering tidak pernah dijelaskan oleh perusahaan asuransi, mengenai maksud dan tujuan kata tersebut dicantumkan, sehingga sering tertanggung tidak tahu hak dan 87 kewajibannya. Jika terdapat pelanggaran ketentuan dalam Pasal 18 UUPK ini, akan mengakibatkan kontrak tersebut bertentangan dengan hukum yang berlaku dan mengakibatkan klausula baku tersebut batal demi hukum, karena "Hak seorang konsumen adalah hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa" (Pasal 4 huruf (c) UUPK). UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian tidak dapat dijadikan landasan hukum yang kuat bagi asuransi syariah, karena tidak mengatur keberadaan asuransi berdasarkan prinsip syariah, serta tidak mengatur tentang teknis pelaksanaan kegiatan asuransi dalam kaitannya kegiatan administrasinya. Sebagai antisipasi dari hal tersebut di atas, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan Dewan Syariah Nasional (DSN) telah mengeluarkan fatwanya berkenaan dengan asuransi, fatwa dikeluarkan karena regulasi yang ada tidak dapat dijadikan pedoman untuk menjalankan kegiatan asuransi syariah. Fatwa dinyatakan sebagai jawaban atas suatu pertanyaan mengenai ketetapan hukum berdasarkan hasil ijtihad tentang suatu persoalan yang belum jelas hukumnya. Fatwa merupakan satu dari sekian lembaga dalam hukum Islam untuk memberikan jawaban dan penyelesaian terhadap masalah-masalah yang dihadapi umat. Fatwa menempati kedudukan penting dalam hukum Islam, karena fatwa merupakan pendapat yang dikemukakan oleh ahli hukum Islam (Fuqaha) tentang kedudukan hukum suatu masalah baru yang muncul di kalangan masyarakat. Ketika muncul suatu masalah baru yang belum ada ketentuan hukumnya secara eksplisit (tegas), baik dalam al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ maupun pendapat-pendapat fuqaha terdahulu, maka fatwa merupakan satu-satunya institusi normatif yang berkompeten menjawab atau menetapkan kedudukan hukum masalah 88 tersebut. Karena kedudukannya yang dianggap dapat menetapkan hukum atas suatu kasus atau masalah tertentu, maka para sarjana Barat ahli hukum Islam mengkategorikan fatwa sebagai jurisprudensi Islam. Fatwa yang mengatur tentang asuransi syariah antara lain : 1) Fatwa No.21/DSN-MUI/X/2001 Tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah, yang secara umum memberikan penjelasan sebagai berikut: a) Asuransi syariah (ta’amin, takaful, atau tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk asset dan atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah; b) Akad yang sesuai dengan syariah yang dimaksud adalah yang tidak mengandung gharar (penipuan), maisir (perjudian), riba, dzulm (penganiayaan), riswah (suap), barang haram, dan maksiat; c) Akad tijarah adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan komersial; d) Akad tabarru’adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebaikan dan tolong-menolong, bukan semata untuk tujuan komersial; e) Premi adalah kewajiban peserta asuransi untuk memberikan sejumlah dana kepada perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad; f) Klaim adalah hak peserta asuransi yang wajib diberikan oleh perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad. Ketentuan mengenai klaim adalah sebagai berikut: (1) Klaim dibayarkan berdasar akad pada awal perjanjian; (2) Klaim dapat berbeda dalam jumlah, sesuai dengan premi yang dibayarkan; 89 (3) Klaim atas akad tijarah sepenuhnya merupakan hak peserta dan merupakan kewajiban perusahaan untuk memenuhinya; (4) Klaim atas akad tabarru’ merupakan hak peserta dan merupakan kewajiban perusahaan, sebatas yang disepakati dalam akad. 2) Keputusan DSN-MUI tentang Pedoman Rumah Tangga, yang secara umum memberikan penjelasan mengenai fungsi dan tugas Dewan Syariah Nasional (DSN). 3) Fatwa No.43/DSN-MUI/VIII/2004 Tentang Ganti Rugi yang secara umum memberikan penjelasan mengenai upaya melindungi para pihak yang bertransaksi, antara lain : a) Syariah Islam melindungi kepentingan semua pihak yang bertransaksi, baik nasabah maupun Lembaga Keuangan Syariah (LKS), sehingga tidak boleh ada suatu pihak pun yang dirugikan hak-haknya; b) Ganti rugi (ta’widh) hanya boleh dikenakan atas pihak yang dengan sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari ketentuan akad dan menimbulkan kerugian pada pihak lain; c) Dalam ketentuan khusus disebutkan mengenai pihak yang cedera janji bertanggung jawab atas biaya perkara dan biaya yang timbul akibat proses penyelesaian perkara; d) Mengenai penyelesaian perselisihan, jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau terjadi perselisihan di antara kedua pihak, maka penyelesaian dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. 4) Fatwa No.51/DSN-MUI/III/2006 Tentang Mudharabah Musytarakah Asuransi, yang secara umum memberikan penjelasan sebagai berikut : 90 a) Akad yang digunakan adalah akad Mudharabah Musytarakah. yaitu perpaduan dari akad mudharabah dan akad musyarakah; b) Dalam akad, harus disebutkan sekurang-kurangnya: (1) Hak dan kewajiban peserta dan perusahaan asuransi; (2) Besaran nisbah, cara, dan waktu pembagian hasil investasi; (3) Syarat-syarat lain yang disepakati, sesuai produk yang diakadkan. c) Penjelasan mengenai hasil investasi, apabila terjadi kerugian maka perusahaan asuransi sebagai musytarik menanggung kerugian sesuai dengan porsi modal atau dana yang disertakan; d) Kedudukan para pihak: (1) Perusahaan asuransi bertindak sebagai mudharib (pengelola) dan sebagai musytarik (investor); (2) Peserta (pemegang polis) dalam produk saving sebagai shahibul mal (investor) dan bertindak secara kolektif sebagai shahibul mal dalam produk non saving. e) Dalam penjelasan mengenai investasi, perusahaan asuransi selaku pemegang amanah wajib melakukan investasi dari dana yang terkumpul dan investasi wajib dilakukan sesuai prinsip syariah. 5) Fatwa No.52/DSN-MUI/III/2006 Tentang Mudharabah Musytarakah Asuransi Wakalah bil Ujrah, yang secara umum memberikan penjelasan sebagai berikut : a) Wakalah bil Ujrah adalah pemberian kuasa dari peserta kepada perusahaan asuransi untuk mengelola dana peserta atau melakukan kegiatan lain dengan imbalan pemberian ujrah (fee); b) Perusahaan asuransi selaku pemegang amanah wajib menginvestasikan dana yang terkumpul dan investasi wajib dilakukan sesuai dengan syariah. 91 6) Fatwa No.53/DSN-MUI/III/2006 Tentang Tabarru’ pada Asuransi Syariah, yang secara umum memberikan penjelasan sebagai berikut : a) Ketentuan hukum akad tabarru’ adalah semua bentuk akad yang dilakukan antar peserta pemegang polis dan merupakan akad yang harus melekat pada semua produk asuransi; b) Akad tabarru’ pada asuransi adalah akad yang dilakukan dalam bentuk hibah dengan tujuan kebajikan dan tolong-menolong antar peserta, bukan untuk tujuan komersial; c) Peserta secara individu merupakan pihak yang berhak menerima dana tabarru’ dan secara kolektif selaku penanggung; d) Jika terdapat surplus underwriting atas dana tabarru’ maka boleh dilakukan beberapa alternatif, diantaranya diperlakukan seluruhnya sebagai dana cadangan dalam akun tabarru’, disimpan sebagian sebagai cadangan dan sebagian dibagikan kepada peserta, atau disimpan sebagian sebagai cadangan dan sebagian dibagikan kepada perusahaan asuransi dan peserta sepanjang disepakati oleh peserta dan dituangkan dalam akad; e) Jika terjadi defisit underwriting atas dana tabarru’ maka perusahaan asuransi wajib menanggulangi kekurangan tersebut dalam bentuk qardh (pinjaman). 7) Fatwa No.53/DSN-MUI/III/2006 Tentang Tabarru’ pada Asuransi Syariah Akad Tabarru’ pada Asuransi dan Reasuransi Syariah, yang secara umum memberikan penjelasan yang pada dasarnya sama seperti ketentuan sebelumnya yaitu pada Fatwa No.53/DSNMUI/III/2006 Tentang Tabarru’ pada Asuransi Syariah. Akan tetapi asuransi syariah yang dimaksudkan dalam poin 3 (tiga) bagian pertama Ketentuan Hukum fatwa ini adalah asuransi jiwa, asuransi kerugian dan reasuransi. 92 Tetapi Fatwa-Fatwa Dewan Asuransi Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) ini tidak mempunyai kekuatan hukum dalam Hukum Nasional karena tidak termasuk dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Agar ketentuan asuransi syariah memiliki kekuatan hukum, maka perlu dibentuk peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan pedoman asuransi syariah. Adapun peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan pemerintah berkaitan dengan asuransi Islam yaitu: 1) Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 426/KMK.06/2003 tentang Perijinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan asuransi dan Perusahaan Reasuransi Ketentuan yang menjadi dasar mendirikan asuransi syariah dalam Pasal 3 Keputusan Menteri ini menyebutkan bahwa: “…setiap pihak dapat melakukan usaha asuransi atau usaha reasuransi berdasarkan prinsip syariah…“ Ketentuan yang berkaitan dengan perlindungan nasabah dalam peraturan ini antara lain : a) Pasal 12-26 yang mengatur mengenai tenaga ahli asuransi. Tenaga ahli asuransi erat kaitannya dengan kepentingan nasabah. Dalam Pasal 22 disebutkan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi wajib memberhentikan tenaga ahli asuransi atau aktuaris perusahaan yang melanggar peraturan perundang-undangan di bidang usaha perasuransian selambatlambatnya 7 (tujuh) hari sejak ditemukannya pelanggaran. Dengan adanya Pasal ini maka tenaga ahli asuransi berusaha menghindari pelanggaran. Pasal ini melindungi para nasabah dari tenaga ahli asuransi yang berbuat kecurangan atau telah melanggar peraturan dalam melaksanakan tugasnya bidang usaha perasuransian; 93 b) Pasal 27 memuat tentang Sistem Administrasi Pengeloaan Data Perusahaan, pelaksanaan pengelolaan perusahaan sekurangkurangnya didukung dengan: (1) pelaksanaan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia; (2) sistem administrasi yang memenuhi sistem pengendalian intern; (3) sistem pengolahan data yang dapat menghasilkan informasi yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan dalam pengambilan putusan. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahan dalam pengelolaan data nasabah dan data yang dihasilkan dapat dipertanggungjawabkan. Maka perusahaan asuransi berkewajiban untuk melakukan yang terbaik dalam sistem administrasi, juga sekaligus termasuk dalam sistem pengendalian keamanan administrasi, sehingga data-data, dokumen, maupun klausul-klausul yang berkaitan dengan nasabah terlindungi. c) Dalam Pasal 32 ayat (1) keputusan ini disebutkan bahwa perusahaan asuransi syariah harus memiliki tenaga ahli yang memiliki keahlian di bidang asuransi dan atau ekonomi syariah. Hal ini dimaksudkan agar nasabah dapat dilayani secara profesional berdasarkan prinsip syariah, sehingga nasabah merasa nyaman karena kepentingannya ditangani dan dilindungi oleh tenaga profesional. Selain itu dalam ayat (2), permohonan pembukaan kantor cabang dengan Prinsip Syariah harus pula dilengkapi dengan bukti: (1) pengesahan anggaran dasar dari instansi yang berwenang; (2) pengesahan Dewan Syariah Nasional tentang penunjukan anggota Dewan Pengawas Syariah Perusahaan. Dengan adanya pengesahan Dewan Pengawas Syariah 94 Perusahaan maka kegiatan perusahaan asuransi syariah dapat dipantau secara periodik. Hal ini dimaksudkan agar perusahaan asuransi syariah terhindar dari praktek-praktek menyimpang yang merugikan nasabah. 2) Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 424/KMK.06/2003 Tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi Ketentuan yang berkaitan tercantum dalam Pasal 15-18 mengenai kekayaan yang diperkenankan harus dimiliki dan dikuasai oleh perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah. Dalam Pasal 27 disebutkan jenis kewajiban yang harus diperhitungkan dalam penetapan tingkat solvabilitas, kewajiban ini meliputi semua jenis kewajiban kepada pemegang polis atau tertanggung dan kepada pihak lain yang menjadi kewajiban Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi. 3) Keputusan Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan Nomor 4499/LK/2000 Tentang Jenis, Penilaian, dan Pembatasan Investasi Perusahaan Reasuransi dengan Sistem Syariah Keputusan ini memuat tentang jenis, penilaian, dan pembatasan investasi. Keputusan ini dikeluarkan dengan tujuan agar pelaku usaha perasuransian memiliki kondisi keuangan yang kuat dalam menjalankan perusahaannya. Sehingga dapat memberikan jasa perlindungan dan pelayanan terbaik bagi nasabahnya. 4) Pengaturan mengenai asuransi syariah secara tegas baru dijumpai dalam Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas PP No. 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian PP No. 39 Tahun 2008 juga memberikan kesempatan bagi Perusahaan Asuransi/Reasuransi Konvensional untuk 95 menyelenggarakan layanan syariah dengan terlebih dahulu membentuk unit usaha syariah di kantor pusatnya. Ketentuan yang berkaitan dengan perlindungan nasabah (pemegang polis) dalam peraturan ini antara lain : a) Pasal 3 menyatakan, untuk perusahaan asuransi memiliki komisaris independen yang tugas pokoknya adalah untuk menyuarakan kepentingan pemegang polis; b) Pasal 7 ayat (2) menyatakan dana jaminan merupakan jaminan terakhir dalam rangka melindungi kepentingan pemegang polis. Dana jaminan adalah dana dalam bentuk deposito berjangka yang ditatausahakan atas nama Menteri sebagai jaminan terakhir dalam rangka melindungi kepentingan pemegang polis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999. Secara umum peraturan ini berisi mengenai penyempurnaan ketentuan mengenai struktur permodalan yang dilakukan dengan menetapkan jumlah modal disetor yang cukup besar bagi pendirian baru Perusahaan Perasuransian dan keharusan menyesuaikan modal sendiri bagi Perusahaan Perasuransian yang telah mendapat izin usaha sebelum ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini. Hal ini dimaksudkan agar pelaku usaha perasuransian memiliki permodalan dan kondisi keuangan yang kuat dalam memberikan jasa perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat dan mampu berkompetisi secara sehat baik di tingkat nasional, regional, maupun global. Adanya pengaturan perlindungan hukum yang terdapat di dalam landasan asuransi syariah dan diatur secara Islami tentunya mempunyai nilai lebih jika dibandingkan dengan asuransi konvensional. Keadaan 96 masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim memperkuat landasan tersebut, masyarakat lebih percaya dan merasa lebih aman menjadi nasabah asuransi syariah, karena perusahaan asuransi syariah berpedoman kepada prinsip-prinsip syariah dan menjunjung tinggi nilai-nilai Islami. Keabsahan akad yang mendasari kontrak asuransi syariah didasarkan pada Al- Qur’an, Sunnah, Qiyas dan Ijma yang menjadi landasan dalam pengaturan perlindungan nasabah asuransi syariah, sehingga dalam hal ini umat Islam tidak perlu ragu terhadap produk asuransi syariah, karena akad yang diterapkan dalam asuransi syariah merupakan akad yang memang bertujuan untuk menghindari hal yang dilarang oleh agama Islam seperti gharar, maisir, dan riba. Sedangkan mengenai Fatwa Dewan Syariah Nasional yang telah disebutkan sebelumnya, sepatutnya mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi lembaga asuransi syariah di Indonesia dalam bentuk sanksi hukum bagi pelanggarnya dan implementasi dari fatwa ini harus selalu dikonsultasikan dan diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS). 2. Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Dalam Asuransi Syariah Di PT Asuransi Takaful Kantor Cabang Perwakilan Surakarta Secara sederhana dapat dikatakan bahwa asuransi Islam berbeda dengan asuransi umum secara mendasar, baik dari segi sudut pandang, bentuk dan sifatnya. Namun permasalahannya tidak sesederhana itu, seringkali tatanan konsep dasar menguntungkan kedua belah pihak, tapi pada klausul-klausul operasional masih banyak merugikan nasabah tertanggung, karena sifat berat sebelah yang dimiliki dalam perjanjian asuransi. Asuransi Takaful menunjukkan bahwa asas-asas perlindungan terhadap nasabah tertanggung dalam asuransi Takaful adalah asas saling bertanggung jawab, asas saling membantu dan asas saling melindungi antar sesama nasabah. Pihak asuransi Takaful menjamin pelaksanaan asasasas perlindungan nasabah tertanggung dijalankan secara baik sesuai 97 dengan konsep syar'iah Islam. Pelaksanaan asas-asas perlindungan nasabah tertanggung pada asuransi Takaful berjalan dengan baik sesuai dengan konsep dasar yang saling menguntungkan. PT Asuransi Takaful Kantor Cabang Perwakilan Surakarta dalam menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan pada prinsip perjanjian Islam sebagai suatu perjanjian yang bebas dari unsur gharar, maisir, dan riba.. Hal ini mempunyai tujuan untuk melindungi kepentingan kedua belah pihak, khususnya nasabah sebagai pemegang polis. Perlindungan hukum terhadap nasabah di PT Asuransi Takaful Kantor Cabang Perwakilan Surakarta berupa : a. Jenis produk dan layanan PT Asuransi Takaful Kantor Cabang Perwakilan Surakarta Sebagai upaya memberi perlindungan terhadap nasabah, maka PT Asuransi Takaful Kantor Cabang Perwakilan Surakarta mewujudkannya dalam berbagai produk dan layanan yang bebas dari unsur gharar, maisir, dan riba. Jenis produk dan PT Asuransi Takaful Kantor Cabang Perwakilan Surakarta meliputi : 1) Asuransi Takaful Keluarga Fokus utama dalam asuransi takaful keluarga ini adalah memberikan layanan dan bantuan menyangkut asuransi jiwa dan keluarga, dengan harapan bisa tercapainya masyarakat Indonesia yang sejahtera dengan perlindungan asuransi yang sesuai muamalah syariah Islam. a) Produk Dengan Unsur Tabungan Artinya suatu produk yang diperuntukkan untuk perorangan dan dibuat secara khusus, dimana di dalamnya selain mengandung tabarru’ juga terdapat unsur tabungan yang dapat diambil kapan saja oleh pemiliknya. 98 Mekanisme Pengelolaan Dana premi dengan unsur tabungan meliputi: (1) Rekening Tabungan, yaitu kumpulan dana yang merupakan milik peserta dan dibayarkan apabila perjanjian berakhir/jatuh tempo, peserta mengundurkan diri, dan bila peserta meninggal dunia; (2) Rekening Khusus, yaitu kumpulan dana yang diniatkan oleh peserta sebagai derma untuk tujuan saling membantu dan dibayarkan apabila peserta meninggal dunia dan bila perjanjian berakhir, jika ada surplus dana; (3) Kumpulan dana peserta diinvestasikan sesuai dengan prinsip syariah. Hasil investasi dibagikan menurut sistem bagi hasil (al- mudharabah) 60% peserta dan 40% perusahaan. Beberapa produk Asuransi Takaful Keluarga dengan Unsur Tabungan adalah sebagai berikut: (1) Takaful Dana Investasi (Fuldana) Program Takaful Dana Investasi adalah suatu bentuk perlindungan untuk perorangan yang menginginkan dan merencanakan pengumpulan dana dalam mata uang Rupiah atau US Dollar sebagai dana investasi yang diperuntukkan bagi ahli warisnya jika ditakdirkan meninggal dunia lebih awal atau sebagai bekal untuk hari tuanya. (2) Takaful Dana Haji (Fulhaji) Program Takaful Dana Haji adalah suatu bentuk perlindungan untuk perorangan yang menginginkan dan merencanakan pengumpulan dana dalam mata uang Rupiah atau US Dollar untuk biaya menjalankan ibadah haji. 99 (3) Takaful Dana Siswa (Fulnadi) Program Takaful Dana Siswa adalah suatu bentuk perlindungan untuk perorangan bagi yang bermaksud menyediakan dana pendidikan dalam mata uang Rupiah atau US Dollar untuk putra-putrinya sampai sarjana. (4) Takaful Dana Jabatan Program Takaful Dana Jabatan adalah suatu bentuk perlindungan untuk Direksi atau pejabat teras suatu perusahaan yang menginginkan dan merencanakan pengumpulan dana dalam mata uang Rupiah atau US Dollar sebagai dana santunan yang diperuntukkan bagi ahli warisnya jika ditakdirkan meninggal lebih awal atau sebagai santunan investasi pada saat tidak aktif lagi di tempat kerja. (5) Takaful Hasanah (Fulsa) Suatu bentuk perlindungan untuk perorangan yang menginginkan dan merencanakan pengumpulan dana sebagai modal usaha atau diperuntukkan bagi ahli warisnya jika ditakdirkan meninggal lebih awal. b) Produk Tanpa Unsur Tabungan Produk-produk individu tanpa tabungan (non saving) adalah produk-produk syariah yang sifatnya individu dan di dalam struktur produknya tidak terdapat unsur tabungan, atau semuanya bersifat tabarru’ (dana tolong-menolong). 100 Mekanisme Pengelolaan Dana premi tanpa unsur tabungan meliputi: (1) Tiap premi yang dibayar oleh peserta setelah dikurangi biaya pengelolaan dimasukkan ke dalam Rekening Khusus (kumpulan dana); (2) Kumpulan dana peserta diinvestasikan sesuai dengan prinsip syariah; (3) Hasil investasi dimasukkan ke dalam dana peserta, kemudian dikurangi dengan beban asuransi (Klaim dan Premi Reasuransi); (4) Surplus Kumpulan dana peserta dibagikan dengan sistem bagi hasil (al- mudharabah) 40% peserta dan 60% perusahaan. Beberapa produk Asuransi Takaful Keluarga tanpa Unsur Tabungan adalah sebagai berikut: (1) Takaful Kesehatan Individu Program ini diperuntukkan bagi perorangan yang bermaksud menyediakan dana santunan Rawat Inap dan Operasi bila peserta sakit dalam masa perjanjian. (2) Takaful Kecelakaan Diri Individu Program yang diperlukan bagi perorangan yang bermaksud menyediakan santunan biaya pengobatan apabila terjadi kecelakaan dan santunan untuk ahli waris bila peserta mengalami musibah kematian karena kecelakaan dalam masa perjanjian. (3) Takaful Al-Khairat Individu 101 Program ini diperuntukkan bagi perorangan yang bermaksud menyediakan santunan untuk ahli waris bila peserta mengalami musibah dalam masa perjanjian. c) Produk-produk Kumpulan Produk kumpulan adalah produk yang didesain untuk dalam jumlah peserta relatif banyak dan dalam struktur produknya ada yang mengandung unsur tabungan (saving) dan ada yang tidak mengandung unsur tabungan, di akhir masa kontrak tidak ada bagi hasil atau pengambilan nilai tunai, karena semuanya bersifat tabarru’. Beberapa contoh produkproduk kumpulan adalah sebagai berikut: (1) Takaful Kecelakaan Diri Kumpulan Suatu bentuk perkumpulan yang ditujukan untuk perusahaan, organisasi, atau perkumpulan yang bermaksud menyediakan santunan kepada karyawan/ anggota apabila mengalami musibah karena kecelakaan dalam masa perjanjian. (2) Takaful Kecelakaan Siswa Suatu bentuk perlindungan kumpulan yang ditujukan untuk sekolah dan perguruan tinggi atau lembaga pendidikan non formal yang bermaksud menyediakan santunan biaya pengobatan pada siswa atau mahasiswa pesertanya apabila mengalami musibah karena kecelakaan yang mengakibatkan cacat tetap atau total maupun sebagian atau meninggal. (3) Takaful Wisata dan Perjalanan 102 Program yang diperuntukkan bagi biro perjalanan dan wisata yang berkeinginan memberikan perlindungan kepada pesertanya apabila mengalami musibah karena kecelakaan yang mengakibatkan cacat tetap total, sebagian atau meninggal selama wisata maupun perjalanan dalam dan luar negeri. (4) Takaful Pembiayaan Suatu beberapa bentuk jaminan bersangkutan perlindungan kumpulan yaitu utang apabila yang meninggal dalam masa pelunasan ditakdirkan perjanjian. (5) Takaful Majelis Taklim Suatu bentuk perlindungan bagi majelis taklim yang bermaksud menyediakan santunan untuk ahli waris jamaah apabila yang bersangkutan ditakdirkan meninggal dalam masa perjanjian. (6) Takaful Al Khairat Suatu bentuk perlindungan kumpulan yang diperuntukkan bagi perusahaan pemerintah atau swasta, organisasi yang berbadan hukum atau usaha yang bermaksud menyediakan santunan meninggal untuk ahli waris bila peserta atau karyawan mengalami musibah meninggal. (7) Takaful Medicare Suatu bentuk program asuransi kesehatan yang memberikan jaminan penggantian biaya pengobatan dan 103 operasi peserta yang disebabkan oleh penyakit maupun kecelakaan. Dengan mengikuti program Full Medicare, maka diharapkan rasa aman dan terlindung dari hal-hal yang tidak terduga. (8) Takaful Al Khairat + Tabungan Haji (Takaful Iuran Haji) Suatu bentuk program bagi karyawan yang bermaksud menunaikan ibadah haji dengan pendanaan melalui iuran bersama dan keberangkatannya secara bergilir. (9) Takaful Perjalanan Haji dan Umrah Program ini diperuntukkan bagi jamaah haji dan umrah yang bermaksud menyediakan santunan dan ahli waris jamaah bila peserta meninggal sewaktu menjalankan haji atau umrah. Untuk perjalanan haji dimulai sejak pemberangkatan dari bandara sampai dengan kembali ke tanah air setelah kembali dari Mekkah, sedangkan untuk perjalanan umrah dimulai dari tempat pemberangkatan jamaah umrah sampai kembali ke tanah air. 2) Asuransi Takaful Umum Asuransi Takaful Umum adalah perusahaan asuransi umum atau kerugian yang fokus utamanya adalah memberikan layanan dan bantuan menyangkut asuransi di bidang kerugian seperti perlindungan dari kebakaran, pengangkutan, niaga, dan kendaraan bermotor. Mekanisme pengelolaan dana dilakukan dengan cara menginvestasikan kumpulan dana peserta sesuai dengan prinsip syariah. Hasil investasi dimasukkan ke dalam total kumpulan dana peserta, kemudian dikurangi dengan beban asuransi (klaim dan 104 premi asuransi). Surplus kumpulan dana peserta dibagikan sesuai dengan sistem bagi hasil (al-mudharabah), contoh nisbah 90% untuk perusahaan dan 10% untuk peserta. Beberapa produk Asuransi Takaful Umum antara lain: a) Produk-produk Simple Risk Produk-produk Simple Risk adalah jenis-jenis produk asuransi umum atau kerugian yang berdasarkan syariah, yang tingkat resiko dan perhitungan secara teknis dalam produkproduknya relatif sederhana (simple) dan resiko standar tanpa perluasan jaminan. Umumnya jumlah penutupan masih dalam batas Own Retention (OR) perusahaan, sehingga survei resiko tidak mutlak diperlukan. (1) Takaful Kebakaran (Fire Insurance) Memberikan perlindungan terhadap kerugian dan atau kerusakan sebagai akibat terjadinya kebakaran yang disebabkan oleh percikan api, sambaran petir, ledakan dan kejatuhan pesawat ditimbulkannya. Dan, terbang juga beserta dapat resiko diperluas yang dengan tambahan jaminan polis yang lebih luas sesuai dengan kebutuhan. Jaminan resiko-resiko tambahan, dengan dikenakan tambahan premi untuk kerugian atau kerusakan yang diakibatkan terhadap resiko-resiko, antara lain sebagai berikut: (a) Gempa bumi, banjir, letusan gunung berapi, badai, dan angin topan; (b) Huru-hara, pemogokan umum, kerusuhan; 105 (c) Tanah longsor; (d) Gangguan usaha atau kerugian yang diakibatkan kebakaran; (e) Banjir dan rusak karena genangan air; (f) Terbakar sendiri untuk stok barang. (2) Takaful Kendaraan Bermotor (Motor Vehicle Insurance) Memberikan perlindungan terhadap hal-hal berikut: (a) Kerugian dan atau kerusakan atas kendaraan yang dipertanggungkan akibat terjadinya kecelakaan yang tidak diinginkan, secara sebagian (partial loss) maupun secara keseluruhan (total loss); (b) Tindak pencurian; (c) Tanggung jawab hukum pada pihak ketiga; (d) Huru-hara, pemogokan umum, kerusuhan; (e) Kecelakaan diri pengemudi; (f) Kecelakaan diri penumpang. (3) Takaful Kecelakaan Diri (Personal Accident Insurance) Menjamin resiko-resiko sebagai akibat kecelakaan, yaitu suatu tindakan fisik maupun kimia yang dating dari luar secara tiba-tiba dan mengakibatkan luka yang dapat ditentukan oleh dokter, termasuk dalam kecelakaan keracunan (kecuali disengaja/ memakai narkotika) dan tenggelam. (4) Takaful Kebongkaran Asuransi ini memberikan kepada tertanggung jaminan terhadap kerugian yang diakibatkan karena 106 pencurian dengan menggunakan kekerasan dan kerusakan dari barang-barang akibat pencurian dengan kekerasan. b) Produk-produk Mega Risk Produk Mega Risk adalah produk-produk kerugian yang berdasarkan syariah, dimana tingkat resikonya sangat tinggi, sehingga umumnya melebihi kapasitas reasuransi perusahaan, dan dalam struktur perhitungan teknisnya cukup rumit. Produkproduk ini dalam industri asuransi disebut mega risk atau complicated risk.. Beberapa contoh produk-produk Mega Risk adalah: (1) Takaful Kebakaran (Industrial Risk) Sama halnya dengan jaminan Takaful Kebakaran Non Industrial, namun dibedakan dari segi okupasi objek yang diasuransikan, maka Takaful Kebakaran Industrial menjamin objek-objek dengan tingkat resiko tinggi seperti pabrik, pengilangan, gedung-gedung yang tingginya lebih dari enam lantai, dan lain-lain. (2) Takaful Rekayasa (Engineering Insurance) Memberikan perlindungan terhadap kerugian dan atau kerusakan sebagai akibat yang berkaitan dengan pekerjaan pembangunan beserta alat-alat berat, pemasangan konstruksi baja/ mesin, dan akibat beroperasinya mesin produksi serta tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga. Jenis Asuransi Takaful Rekayasa adalah sebagai berikut: (a) Takaful Resiko Pembangunan (Contractor All Risk Insurance); 107 (b) Takaful Resiko Pemasangan (Erection All Risk Insurance); (c) Takaful Mesin-mesin (Machinery Insurance); (d) Takaful Peralatan Elektronik (Electronic Equipment Insurance). (3) Takaful Pengangkutan (Cargo Insurance) Memberikan perlindungan terhadap kerugian dan atau kerusakan pada barang-barang atau pengiriman uang sebagai akibat alat pengangkutnya mengalami musibah atau kecelakaan selama dalam perjalanan melalui laut, udara, atau darat. Jenis Asuransi Takaful Pengangkutan adalah sebagai berikut: (a) Takaful Pengangkutan Laut (Marine Cargo Insurance); (b) Takaful Pengangkutan Udara (Air Cargo Insurance); (c) Takaful Pengangkutan Darat (Land Cargo Insurance); (d) Takaful Pengangkutan Uang (Cash in Transit Insurance). (4) Takaful Surety Bond (Construction Contract Bond) Memberikan perlindungan terhadap kerugian yang terjadi pada pemilik proyek atau pemberian fasilitas terhadap pelaksanaan kontrak atau penerima fasilitas dalam menjalankan kontrak. Dengan kata lain, Surety Bond menjamin kontraktor terhadap pemilik proyek sesuai dengan persyaratan dalam undangan lelang dan atau kontrak bahwa kontraktor sanggup melaksanakan dan menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan kontrak yang disepakati. 108 (5) Takaful Rangka Kapal (Marine Hull Insurance) Memberikan perlindungan terhadap kerugian dan atau kerusakan pada rangka kapal dan mesin kapal akibat kecelakaan dan berbagai bahaya lain yang dialami. (6) Takaful Energi (Oil and Gas Insurance) Memberikan perlindungan terhadap kerugian akibat kecelakaan dan berbagai bahaya lainnya yang dialami dalam pekerjaan pengeboran minyak dan gas di darat maupun lepas pantai. (7) Takaful Tanggung Gugat (Liability Insurance) Memberikan jaminan atas kerugian peserta dari kemungkinan tuntutan ganti rugi pihak lain yang disebabkan oleh keberadaan harta peserta atau aktivitas bisnis peserta atau profesi peserta. Produk unggulan Asuransi Takaful Cabang Perwakilan Surakarta yang terdapat dalam jenis asuransi umum: a) Takaful Abror Salah satu produk Asuransi Kendaraan Bermotor dari PT Asuransi Takaful Umum yang memberikan jaminan dan fasilitas layanan tambahan terhadap kendaraan yang mengalami kerugian atau kerusakan dikarenakan suatu sebab yang dijamin oleh polis. Berupa paket jaminan yang diberikan kepada adalah mobil yang dijamin dalam polis tersebut dan peserta Takaful Abror, atau pengemudi mobil yang didalamnya apabila mobil tersebut mengalami musibah selama masa perjanjian. 109 b) Surgaina Produk Takaful yang memberikan perlindungan terhadap kerugian finansial dan santunan akibat kecelakaan yang diderita oleh peserta, yang mengakibatkan meninggal dunia, menderita cacat badan dan atau biaya pemakaman peserta. Setelah calon nasabah memutuskan akan memilih produk atau mengikuti program asuransi yang sesuai dengan keinginannya, calon nasabah dan perusahaan asuransi membuat suatu perjanjian tertulis. Perjanjian merupakan bentuk dan kesepakatan yang merupakan pernyataan kesesuaian kehendak dari masing-masing pihak untuk saling mengikatkan diri. Jadi terdapat suatu persetujuan dari para pihak untuk saling mengikatkan diri guna melaksanakan isi perjanjian untuk mencapai tujuan. Dengan adanya perjanjian itu para pihak menjadi terikat untuk melaksanakan isi perjanjian yang sudah disepakati bersama. Hal ini terlihat dalam ketentuan tentang pertanggungjawaban kedua pihak. Pelaksanaan perlindungan hukum terhadap nasabah asuransi syariah dapat dikatakan telah terpenuhi apabila antara perusahaan asuransi dengan nasabah saling mematuhi ketentuan pertanggungjawaban kedua pihak. Produk dan layanan asuransi syariah yang telah dipilih sebenarnya telah mengandung aspek perlindungan. Aspek perlindungan tersebut terdapat dalam ketentuan pertanggungjawaban para pihak. Namun dalam kenyataannya, masih banyak nasabah yang belum paham mengenai di mana dapat ditemukan sisi perlindungan hukum nasabah asuransi syariah yang dapat dijadikan jaminan atas perjanjian asuransinya. b. Syarat Pengajuan Asuransi, meliputi : 110 1) Mengisi surat pengajuan asuransi atau aplikasi, yang diisi sendiri oleh peserta. Untuk menghindari dari adanya unsur gharar, maisir dan riba maka dalam berasuransi takaful terlebih dahulu harus mengisi aplikasi, yaitu surat pengajuan asuransi berikut cara pengisiannya. Aplikasi tersebut berisi mengenai : a) DATA PRIBADI (1) Nama Lengkap, diisi berikut gelar, diusahakan agar tidak melebihi 30 karakter; (2) Tanggal Lahir, cara pengisiannya 2 kotak pertama untuk tanggal, 2 kotak ditengah untuk bulan, dan 2 kotak terakhir untuk tahun; (3) Identitas Diri, dapat berupa KTP, SIM, atau PASPORT (tercantum tanggal berlaku, ada tanda tangan calon peserta, dan potonya). Identitas diri tersebut harus masih berlaku pada saat penyerahan aplikasi, tanda tangannya harus sama dengan yang ada diaplikasi; (4) Kewarganegaraan, Kotak disilang pada angka 1 bila Warga Negara Indonesia, angka 2 bila Warga Negara Asing; (5) Agama, Kotak disilang pada angka 1 bila beragama Islam dan angka 2 bila non Islam; (6) Jenis Kelamin, kotak disilang pada angka 1 bila pria dan angka 2 bila wanita; (7) Status Perkawinan, kotak disilang pada angka 1 bila statusnya kawin, angka 2 bila belum kawin, pada angka 3 bila cerai dan angka 4 bila Janda/Duda. b) PEKERJAAN (1) Pekerjaan Pokok, Pengisian pekerjaan lebih difokuskan pada kegiatan yang dilakukan pada saat melakukan tugas, apakah bekerja pada kegiatan yang bersifat administratif, 111 pekerjaan dilapangan, atau di lokasi yang mempunyai resiko lebih; (2) Pekerjaan sambilan, merupakan pekerjaan tambahan (pengisiannya sama dengan pekerjaan pokok); (3) Jumlah Tanggungan Keluarga, jumlah orang yang ditanggung oleh calon peserta; (4) Pendapatan tiap bulan, merupakan jumlah yang didapat dari pekerjaan pokok ditambah pekerjaan sambilan untuk tiap bulannya. c) ALAMAT Terdiri dari alamat surat menyurat, alamat rumah, dan alamat pekerjaan/kantor. d) DATA KEPESERTAAN (1) Program, diisi sesuai dengan produk yang dikehendaki oleh peserta. Masa perjanjiannya yang diinginkan oleh peserta. Khusus untuk dana siswa masa perjanjiannya adalah 18 tahun dikurangi usia anak; (2) Mata Uang, diisi pada angka 1 bila mata uang yang dipilih rupiah dan angka 2 bila mata uang yang dipilih adalah dolar; (3) Cara Bayar, pada angka 1 cara bayar bulan, angka 2 triwulanan, angka 3 semesteran angka 4 tahunan dan angka 5 sekaligus; (4) Pilihan Pembayaran, pada angka 1 bila pembayaran dilakukan oleh diri sendiri, angka 2 bila pembayaran dilakukan melalui transfer, angka 3 bila pembayaran lanjutan ditagih oleh petugas Takaful. e) PERNYATAAN Merupakan uraian yang mempunyai aspek hukum dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian polis. 112 f) PERJANJIAN Diisi besarnya tabarru yang akan dikreditkan ke dalam rekening khusus. Besarnya tabarru sesuai dengan produk yang diambil, usia masuk dan lamanya masa perjanjian. 2) Setiap perubahan harus ditandatangani oleh peserta. Tujuan dari pengisian formulir aplikasi ini adalah untuk memberikan data sebenar-benarnya mengenai identitas nasabah sehingga apabila suatu saat mengajukan klaim, maka nasabah dapat membuktikan bahwa dirinya berhak atas klaim yang diajukan. c. Polis Asuransi Syariah Bentuk pelaksanaan akad (perjanjian) yang dibuat secara tertulis berbentuk polis asuransi syariah. Polis memegang peranan penting dalam menjaga konsistensi pertanggungjawaban baik pihak penanggung maupun tertanggung. Dengan adanya polis asuransi perjanjian antara kedua belah pihak mendapatkan kekuatan secara hukum. Dengan memiliki polis asuransi tesebut maka pihak tertanggung memiliki jaminan bahwa pihak penanggung akan mengganti kerugian yang mungkin dialami oleh tertanggung akibat peristiwa tidak terduga. Polis tersebut merupakan bukti otentik yang dapat digunakan oleh tertanggung untuk mengajukan klaim apabila pihak penanggung mengabaikan tanggung jawabnya. Penggantian finansial dari penanggung akan sangat bermanfaat untuk mengembalikan tertanggung kepada kedudukannya semula sebelum mengalami kerugian dan menghindarkan tertanggung dari kebangkrutan. Polis asuransi juga berfungsi sebagai bukti pembayaran premi kepada penanggung. Perlindungan asuransi kepada pemegang polis dimulai ketika polis sudah dikeluarkan dan semua hal yang dikirimkan ke pemegang polis sudah dilengkapi dan dikembalikan ke perusahaan asuransi jiwa. 113 Syarat-syarat yang dikirimkan biasanya terdiri dari pembayaran premi, pernyataan kesehatan, surat tanda terima. Memastikan kepada masyarakat akan begitu detailnya polis asuransi memberikan jaminan kepastian dalam bahasa hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. Ditambah lagi dengan peraturan perundang-undangan oleh pemerintah yang juga memberikan jaminan hukum terhadap pelaksanaan dan pengawasan program asuransi dan investasi yang ada di Indonesia. Hal yang terpenting yaitu perlindungan nasabah yang langsung dapat dijadikan jaminan oleh semua asuransi yang ada di Indonesia, yakni berupa polis. Adapun syarat-syarat umum polis harus memperhatikan tiga kepentingan, yakni : 1) Kepentingan nasabah: Kepentingan nasabah bisa memberikan sesuatu hal yang jelas untuk kepentingan nasabah atau tertanggung. Nasabah bisa dilindungi dan mendapatkan syarat-syarat yang sama di perusahaan asuransi. 2) Kepentingan instansi pembina atau pengawas: Yang dimaksud kepentingan instansi pembina, atau pengawas yakni kepentingan pemerintah melalui direktorat asuransi, apa yang tercantum dalam undang-undang, peraturan-peraturan pemerintah harus menjadi referensi dan syarat-syarat umum polis tersebut. 3) Kepentingan industri asuransi: Yang dimaksud dengan kepentingan industri asuransi adalah industri asuransi harus terlindungi dari usaha atau itikad buruk pihak-pihak yang ingin mendapatkan keuntungan diri dari asuransi. 114 Seperti yang tersebut dalam Pasal 25 KUHD, bahwa suatu pertanggungan harus dibuat secara tertulis di dalam suatu akta yang dinamakan polis. Di dalam polis itu sendiri tidak boleh merugikan kepentingan pemegang polis (nasabah). Pasal 5 dan Pasal 6 Keputusan Menteri Keuangan No. 225/KMK.017/1993 menyatakan bahwa dalam polis dilarang mencantumkan pembatasan upaya hukum, disamping itu tindakan yang dapat dianggap memperlambat penyelesaian atau pembayaran klaim secara wajar antara lain : 1) Memperpanjang masa penyelesaian klaim, dengan memilih dokumen lain yang pada dasarnya isi tersebut sama dengan dokumen yang telah ada; 2) Menunda pembayaran klaim, dengan mengkaitkan pembayaran klaim reasuransi; 3) Menerapkan prosedur yang tidak lagi dalam lingkup kegiatan asuransi; 4) Tidak menyelesaikan klaim dengan mengkaitkan pada penyelesaian klaim yang lain pada polis yang sama. Setiap hubungan hukum yang diciptakan selalu mempunyai dua segi yang saling tarik menarik, yaitu hak dan kewajiban. Untuk menjamin kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi para pihak, perjanjian itu harus tertulis meskipun tidak menutup kemungkinan dibuat perjanjian secara lisan terhadap hal-hal tertentu. Pada perjanjian umumnya selalu dicantumkan secara jelas hak dan kewajiban dari masing-masing pihak, sehingga para pihak mengetahui apa yang menjadi hak dan kewajibannya dalam perjanjian tersebut serta menjamin adanya perlindungan hukum bagi para pihak. Ketentuan mengenai polis di PT Asuransi Takaful Cabang Surakarta terdapat pada Syarat Umum Polis Individu (dalam asuransi Takaful Keluarga) dan Syarat Umum yang terdapat pada masing- 115 masing polis (dalam asuransi Takaful Umum). Perlindungan hukum terhadap nasabah asuransi syariah yang tercantum di dalam hak dan kewajiban pada polis asuransi di PT Asuransi Takaful Cabang Surakarta meliputi : 1) Syarat Umum Polis Individu a) Perlindungan nasabah (peserta) yang tercantum pada hak dan kewajiban peserta asuransi: (1) Atas pembayaran premi lanjutan diberikan kelonggaran 1 (satu) bulan sejak tanggal jatuh tempo pembayaran. Bila dalam masa kelonggaran tersebut peserta meninggal dunia atau musibah terjadi maka peserta akan mendapat Manfaat Takaful (Pasal 4 ayat 5); (2) Peserta dapat melakukan perubahan polis dengan membuat pernyataan tertulis dari peserta sendiri dengan ketentuan polis masih dalam keadaan aktif (Pasal 6 ayat 1); (3) Peserta dapat melakukan perubahan polis yang telah batal karena peserta belum membayar premi lanjutan lebih dari 1 bulan (masa kelonggaran) dengan cara polis harus dipulihkan terlebih dahulu (Pasal 6 ayat 6); (4) Peserta dapat melakukan pengambilan Nilai Tunai dengan membuat permintaan tertulis dari peserta (Pasal 7 ayat 1); (5) Peserta berhak mendapatkan Dana Tahapan untuk polis yang dalam keadaan aktif (masih berlaku) sesuai dengan Tahapan yang tercantum dalam polis (Pasal 7a ayat 1 dan 2); (6) Peserta dapat mengambil kapan saja untuk Tahapan yang telah jatuh tempo dan belum diambil dengan terlebih dahulu mengajukan Klaim Tahapan. Kecuali dalam produk Takaful Dana Siswa atau Takaful Dana Pendidikan, Tahapan yang tidak diambil akan terakumulasi pada Nilai 116 Tunai, sehingga akan memperbesar jumlah Tahapan ketika di Perguruan Tinggi (Pasal 7a ayat 5); (7) Klaim akan dibayarkan setelah berkas-berkas yang dipersyaratkan telah lengkap diterima dan disetujui oleh perusahaan (Pasal 9 ayat 1); (8) Menyelesaikan perselisihan di antara perusahaan dengan pihak yang berkepentingan di dalam Perjanjian Takaful ini dengan melalui Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUl) seperti yang tercantum pada Pasal 12. b) Perlindungan nasabah (peserta) yang tercantum pada hak dan kewajiban perusahaan asuransi: (1) Atas pembayaran premi lanjutan diberikan kelonggaran 1 bulan sejak tanggal jatuh tempo pembayaran, bila peserta dalam masa kelonggaran meninggal dunia, maka perusahaan akan membayar Manfaat Takaful kepada peserta asuransi (Pasal 4 ayat 5); (2) Apabila premi lanjutan belum dibayar lebih dari 1 bulan (masa kelonggaran), khusus untuk polis dengan unsur tabungan, bila peserta meninggal atau mengundurkan diri, perusahaan akan membayarkan Nilai Tunainya (Pasal 4 ayat 6); (3) Melakukan proses pemulihan polis peserta asuransi yang batal karena premi lanjutan belum dibayar selama lebih dari 1 bulan (masa kelonggaran) sesuai dengan ketentuanketentuan Underwriting dan Aktuaria (Pasal 5 ayat 5); (4) Melakukan proses perubahan polis atas permintaan peserta sesuai dengan ketentuan-ketentuan Underwriting dan Aktuaria (Pasal 6 ayat 4); (5) Membayarkan klaim setelah berkas-berkas yang dipersyaratkan sesuai dengan ketentuan yang ada telah lengkap dan disetujui oleh Perusahaan (Pasal 9 ayat 1); 117 (6) Perusahaan wajib untuk membayar seluruh Manfaat Takaful kepada peserta sepanjang resiko tersebut secara khusus sudah diperhitungkan, kecuali peserta mengalami musibah karena : (a) Bunuh diri atau dihukum mati oleh Pengadilan yang berwenang; (b) Terlibat perkelahian, kecuali jika terbukti sebagai pihak yang mempertahankan diri; (c) Akibat pekerjaan yang disengaja, direncanakan dengan persetujuan Peserta atau pihak lain yang berhak menerima santunan; (d) Akibat kecelakaan pesawat terbang yang tidak diselenggarakan oleh perusahaan penerbangan yang tergabung dalam International Air Transport Association (IATA); (e) Pekerjaan/jabatan peserta yang mengandung resiko sebagai militer, polisi, pilot, buruh tambang, dan pekerjaan/jabatan lain yang resikonya tinggi; (f) Olahraga atau hobi peserta yang mengandung bahaya dan resiko tinggi; (g) Perbuatan kekerasan dalam pemberontakan, huru-hara, perang, pengacauan dan kekacauan, perbuatan teror, kegaduhan sipil, atau keadaan yang dapat disamakan dengan itu (baik langsung maupun tidak dan tidak memandang apakah tindakan itu ditujukan terhadap peserta atau orang lain). (7) Dalam hal sebagian atau seluruh wilayah Indonesia terlibat dalam peperangan baik dinyatakan atau tidak, atau Negara Republik Indonesia untuk seluruhnya atau sebagian dinyatakan dalam keadaan bahaya sipil atau darurat perang, 118 Perusahaan menentukan besamya potongan sementara atas pembayaran Manfaat Takaful atas klaim. 2) Syarat umum yang terdapat pada masing-masing polis) a) Asuransi Takaful Kendaraan Bermotor (1) Perlindungan nasabah (peserta) yang tercantum pada hak dan kewajiban peserta asuransi : (a) Penanggung akan memberikan ganti rugi terhadap tertanggung atas kerusakan atau kehilangan kendaraan bermotor, maka dengan ketentuan tertanggung berhak mengajukan ketidakpuasannya dengan secara tertulis atas hasil perbaikan kendaraan yang dimaksud oleh bengkel dalam waktu 14 (empat belas) hari kalender sejak selesai diperbaiki dan diserahterimakan pada tertanggung apabila bengkel tersebut ditunjuk oleh penanggung (Pasal 9); (b) Berhak untuk setiap pertanggungan ini tanpa waktu menghentikan diwajibkan memberitahukan alasannya yang dilakukan secara tertulis dikirim melalui pos tercatat oleh pihak yang menghendaki penggantian pertanggungan kepada pihak lainnya di alamat terakhir yang diketahui (Pasal 19ayat 1); (c) Pada akhir masa perjanjian (polis sudah jatuh tempo), maka peserta akan memperoleh sebagian kontribusi Takaful (prerni) dengan ketentuan peserta tidak pernah menerima pembayaran atau sedang mengajukan klaim atas polis dan peserta tidak membatalkan perjanjian polis. (2) Perlindungan nasabah (peserta) yang terdapat pada hak dan kewajiban perusahaan asuransi : (a) Penanggung memberikan penggantian kepada tertanggung terhadap tanggung gugat tertanggung 119 terhadap suatu kerugian yang diderita oleh pihak ketiga yang secara langsung disebabkan oleh kendaraan bermotor yang dipertanggungkan, dan biaya perkara atau biaya bantuan para yang berkaitan dengan tanggung gugat tertanggung telah disetujui oleh penangung secara tertulis (Pasal 2); (b) Penanggung memberikan ganti rugi terhadap tertanggung atas kerusakan atau kehilangan kendaraan bermotor yang dipertanggungkan berdasarkan harga sebenarnya sesaat sebelum terjadinya kerusakan atau kehilangan tersebut atau atas tuntutan pihak ketiga, setinggi-tingginya sebesar jumlah, setelah dikurangi dengan resiko sendiri (retensi sendiri) yang tercantum dalam ikhtisar pertanggungan dan setelah dikenakan perhitungan di bawah harga (Pasal 9); (c) Jika kendaraan bermotor yang dipertanggungkan pada saat kerugian atau kerusakan oleh suatu bahaya yang dijamin dalam pertanggungan kendaraan bermotor ini, harga sebenarnya kendaraan bermotor tersebut lebih besar daripada pertanggungan, maka penanggung akan menggantinya menuntut hitungan dari bagian yang dipertanggungkan terhadap bagian yang tidak dipertanggungkan (Pasal 12); (d) Dalam hal penanggung yang membatalkan polis, penanggung wajib mengembalikan premi secara prorata untuk waktu pertanggungan yang belum berjalan (Pasal 19 ayat 1); (e) Apabila tidak tertanggung atau tercapai musyawarah penanggung wajib mufakat, mengajukan permohonan usaha penyelesaian melalui arbitrase apabila yang dipilih adalah dengan jalan arbitrase; 120 (f) Apabila tidak tertanggung tercapai atau musyawarah penanggung wajib mufakat, mengajukan permohonan usaha penyelesaian melalui pengadilan yang daerah hukumnya tempat termohon bertempat tinggal apabila yang dipilih adalah dengan jalan peradilan; (g) Karena pembatalan endorsemen, penanggung wajib, mengembalikan premi untuk jangka waktu yang belum habis secara prorata; (h) Menginvestasikan kontribusi Takaful (premi) yang diterima dengan kompensasi perlindungan (Manfaat Takaful) bagi peserta Takaful. b) Asuransi Kebakaran (1) Perlindungan nasabah (peserta) yang tercantum pada hak dan kewajiban peserta asuransi : (a) Berhak untuk setiap waktu menghentikan pertanggungan ini tanpa diwajibkan memberitahukan alasannya secara tertulis yang dikirim melalui pos tercatat oleh pihak yang menghendaki penghentian pertanggungan (Pasal 19 ayat 1); (b) Dalam hal penyelesaian sengketa melalui arbitrase, maka tertanggung berhak untuk menunjuk seorang arbiter dalam jangka waktu 30 hari setelah diterimanya pemberitahuan (Pasal 21 ayat 5); (2) Perlindungan nasabah (peserta) yang tercantum pada hak dan kewajiban perusahaan asuransi : (a) Penanggung menjamin kerugian dan kerusakan pada harta benda dan dipertanggungjawabkan atau yang kepentingan secara yang langsung 121 disebabkan karena kebakaran, petir, peledakan, kejatuhan pesawat terbang, dan asap (bab 1); (b) Dalam hal terjadi kerugian atau kerusakan atas harta benda dan atau kepentingan yang dipertanggungkan, ganti rugi yang menjadi tanggung jawab penanggung setinggi-tingginya sebesar jumlah pertanggungan (Pasal 7 ayat 1); (c) Mengganti biaya yang wajar yang dikeluarkan oleh tertanggung guna mencegah atau mengurangi kerugian atau kerusakan sekalipun usaha yang dilakukan tidak berhasil (Pasal 13 ayat 2); (d) Penanggung harus menyelesaikan pembayaran klaim 30 hari kalender sejak adanya kesepakatan atau kepastian mengenai jumlah klaim yang dibayar (Pasal 15); (e) Apabila penanggung yang membatalkan, maka penanggung wajib mengembalikan premi untuk jangka waktu belum habis secara prorata (Pasal 19 ayat 2); (f) Tertanggung atau penanggung wajib mengajukan usaha penyelesaian sengketa melalui Arbitrase Ad Hoc, apabila penyelesaian dengan cara perdamaian atau musyawarah tidak dapat dicapai (Pasal 21 ayat 1); (g) Dalam hal penanggung dan tertanggung memilih penyelesaian sengketa melalui pengadilan, penanggung atau tertanggung wajib mengajukan permohonan usaha penyelesaian melalui Pengadilan yang daerah hukumnnya termohon bertempat tinggal (Pasal 21); (h) Penanggung menginvestasikan kontribusi Takaful (premi) yang diterima dengan kompensasi perlindungan (Manfaat Takaful) bagi peserta Takaful. c) Asuransi Kecelakaan Diri 122 (1) Perlindungan nasabah (peserta) yang tercantum pada hak dan kewajiban peserta asuransi : (a) Mendapatkan jaminan apabila terjadi kecelakaan sesuai dengan kesepakatan yang ada; (b) Tertanggung akan memperoleh premi yang sudah dibayar untuk jangka waktu yang belum dijalankan apabila penanggung tidak menyetujui menerima pertanggungan yang bersangkutan (Pasal 6 ayat 1 sub b); (c) Peserta dapat mengakhiri pertanggungan dengan cara memberitahukan kepada penanggung secara tertulis selambatnya 7 hari sebelumnya (Pasal 7 ayat 1 sub b); (d) Apabila terjadi perselisihan dapat mengajukan suatu perkara pada arbitrase dengan memberitahukan secara tertulis kepada pihak yang lain (Pasal 9); (e) Mendapatkan pengelolaan keuntungan seluruh yang premi diperoleh takaful pada dari akhir pertanggungan yang akan dibagikan secara proporsional kepada seluruh tertanggung berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), dengan nisbah 70% untuk penanggung dan 30% untuk seluruh tertanggung dengan ketentuan : (i) Tertanggung tidak pernah menerima pembayaran atau sedang mengajukan klaim atau polis yang bersangkutan; (ii) Tertanggung tidak membatalkan pertanggungan polis yang bersangkutan. (2) Perlindungan nasabah (peserta) yang tercantum pada hak dan kewajiban perusahaan asuransi : 123 (a) Penanggung akan membayar santunan apabila terjadi klaim sesuai dengan kesepakatan dalam polis (Pasal 4); (b) Penanggung akan mengganti biaya-biaya untuk pengobatan oleh dokter/ lembaga kesehatan yang resmi setinggi-tingginya sebesar jumlah uang pertanggungan sebagaimana yang telah ditetapkan (Pasal 4 sub a); (c) Apabila terjadi penghentian pertanggungan (karena atas kehendak penanggung dengan memberitahukan melalui surat tercatat ke alamat terakhir dari tertanggung, jika dalam masa penanggungan tertanggung mencapai umur 60 tahun, jika tertanggung tidak lagi bertempat tinggal di Indonesia, dan jika tertanggung dikenakan hukuman penjara) penanggung wajib mengembalikan premi untuk jangka waktu yang belum habis secara pro rata (Pasal 7 ayat 3 sub a); (d) Apabila terjadi penghentian pertanggungan (karena atas kehendak tertanggung dengan cara memberitahukan kepada penanggung secara tertulis selambat-lambatnya 7 hari sebelumnya, dan karena jika tertanggung tidak memenuhi kewajiban sebagaimana yang disebutkan pada Pasal 6) maka penanggung wajib mengembalikan premi setelah lebih dahulu dikurangi dengan jumlah premi yang diperhitungkan menurut skala suku premi jangka pendek untuk waktu yang sudah dijalani (Pasal 7 ayat 3 sub b); d. Syarat-syarat Pengajuan Klaim 1) Dokumen yang diperlukan sebagai syarat untuk pengajuan klaim adalah sebagai berikut: a) Syarat secara umum (1) polis asli; 124 (2) Mengisi formulir pengajuan klaim yang disediakan oleh perusahaan; (3) Fotokopi identitas diri yang masih berlaku; (4) Melampirkan surat pemberitahuan jatuh tempo tahapan (khusus dana siswa, jika ada); (5) Surat keterangan medis dari dokter atau rumah sakit yang merawat (untuk klaim rawat inap atau cacat tetap karena kecelakaan). b) Khusus untuk klaim meninggal dunia, dilengkapi dengan : (1) Mengisi formulir daftar pertanyaan untuk klaim yang disediakan oleh perusahaan; (2) Surat kematian dari instansi pemerintah yang berwenang; (3) Surat dari dokter yang berisikan keterangan sebab-sebab meninggal; (4) Melampirkan surat keterangan dari polis (bila meninggal karena kecelakaan). 2) Perusahaan berhak untuk meminta diberikan dokumen-dokumen lain yang dianggap perlu dalam pengajuan klaim; 3) Dalam hal peserta meninggal dunia, jangka waktu pengajuan berikut bukti-bukti yang diperlakukan selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak awal tanggal meninggal. e. Penyelesaian Sengketa pada Asuransi Syariah Dalam pelaksanaan akad, sering terjadi perselisihan atau persengketaan yang dipicu oleh kondisi salah satu pihak merasa dirugikan. Hal ini dapat terjadi kemungkinan disebabkan oleh tidak diterapkannya asas-asas perjanjian dalam kontrak tersebut. Fatwa No. 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Ganti Rugi dan Ketentuan Penutup Fatwa-Fatwa DSN MUI yang mengatur tentang Asuransi Syariah 125 menyatakan apabila salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. Ketentuan tersebut dapat digunakan oleh peserta asuransi dalam mencari perlindungan hukum apabila peserta merasa dirugikan. Penyelesaian sengketa di bidang asuransi, tidak diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan. Padahal dalam melakukan hubungan keperdataan tidak terlepas dari kemungkinan timbulnya konflik. Oleh karena itu perlu diatur mengenai hal penyelesaian sengketa dalam Lembaga Ekonomi Syariah (LES) yang di dalamya termasuk bank dan asuransi Islam. Seorang mediator, arbiter, atau hakim pada LES harus memahami mengenai sistem ekonomi syariah dan juga konvensional. Prinsip syariah membolehkan adanya sanksi perdata atau pembayaran ganti rugi kepada pihak-pihak yang dirugikan sebanding dengan tingkat kerugian yang dialaminya secara adil dan berdasarkan kesepakatan yang ada. Berdasarkan ketentuan Buku III KUH Perdata, ganti kerugian dapat berupa ganti rugi, biaya, dan bunga. Pada konsep syariah, bunga jelas diharamkan. Agar tidak terjadi kerancuan dalam menerapkan Hukum Perdata, yang berbeda prinsip antara KUH Perdata dengan hukum Islam maka alangkah baiknya bila hakim, arbiter, atau mediator mempunyai bahan acuan yang sama sebagai pegangan dalam menyelesaikan permasalahan. Diperlukan aturanaturan khusus yang menjadi lex spesialis sebagai pengganti dari hukum perjanjian perdata dengan aturan perjanjian berdasarkan prinsip syariah. Dalam hal perjanjian kontrak (akad) sebaiknya mencantumkan klausula penyelesaian sengketa melalui musyawarah, mediasi, dan 126 arbitrase, atau ke lembaga peradilan sebagai pilihan terakhir. Jika para pihak sepakat untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase maka sebaiknya menggunakan (BASYARNAS) sebagai Badan Arbitrase lembaga arbiter Syariah Indonesia yang menangani penyelesaian perselisihan sengketa di bidang ekonomi syariah. Penyelesaian Sengketa menurut Hukum Islam: 1) Perdamaian (Sulh/Ishlah) Secara harfiah mengandung pengertian “memutus pertengkaran atau perselisihan”. Dalam pengertian syariah dirumuskan: “Suatu jenis akad (perjanjian) untuk mengakhiri perlawanan (perselisihan) antara dua orang yang berlawanan”. LES yang dalam operasinya menggunakan prinsip-prinsip syariah tentunya mengusahakan agar pelaksanaannya dilakukan secara menyeluruh, sehingga penyelesaian sengketa pada LES tentunya juga harus menggunakan prinsip-prinsip syariah. Penyelesaian sengketa yang paling sesuai adalah melalui ishlah, karena ajaran Islam menghendaki penyelesaian sengketa dengan jalan damai agar kedua pihak terhindar dari permusuhan. Jika para pihak memilih cara ishlah, maka mereka mencoba terlebih dahulu untuk menyelesaikan masalah di antara mereka dengan mengadakan pertemuan antara kedua belah pihak. Hasil pertemuan tersebut dituangkan dalam bentuk tertulis. Jika pertemuan tersebut gagal untuk mencapai kesepakatan, maka penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan bantuan dari mediator. 2) Arbitrase 127 Arbitrase yang dalam Islam dikenal dengan istilah altahkim merupakan bagian dari al-qadla (peradilan). Landasan hukum untuk memperbolehkan arbitrase, baik yang bersumber dari Al-Qur’an, Sunnah maupun ijma’, bila ditelaah dengan seksama, pada prinsipnya berisi anjuran untuk menyelesaikan perselisihan dengan jalan damai. Namun bila jalan damai telah ditempuh dan tidak berhasil untuk menemukan jalan keluarnya atau masingmasing pihak tetap pada pendiriannya, maka mereka bisa meminta kepada pihak ketiga yang untuk menyelesaikan sengketa di antara mereka (Hakam). Dalam mediasi, tidak ada pihak yang kalah ataupun menang, semua sengketa diselesaikan dengan cara kekeluargaan, sehingga hasil dari keputusan mediasi tentunya merupakan konsesus kedua belah pihak. BASYARNAS sebagai lembaga permanen yang didirikan oleh Majelis Ulama Indonesia berfungsi menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa muamalat yang timbul dalam hubungan perdagangan, industri, keuangan, dan jasa. Pendirian lembaga ini awalnya dikaitkan dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah. Kedudukan, tugas, dan wewenang antara DPS dan BASYARNAS adalah berbeda, namun kedua lembaga ini saling mengisi. DPS merupakan bagian integral dalam struktur Lembaga Ekonomi Syariah sementara BASYARNAS berdiri di luar struktur tersebut dan berfungsi sebagai instrumen hukum yang menangani perselisihan para pihak di lembaga keuangan syariah seperti bank, asuransi, dan sebagainya. 3) Pengadilan Biasa (Al-Qadla) Al-qadla secara harfiah berarti antara lain memutuskan atau menetapkan. Menurut istilah fikih kata ini berarti menetapkan 128 hukum syara’ pada suatu peristiwa atau sengketa untuk menyelesaikannya secara adil dan mengikat. Orang yang berwenang untuk menyelesaikan perkara pada pengadilan semacam ini dikenal dengan qadli (hakim) dan keputusan dari qadli ini mengikat kedua belah pihak. Bila jalur arbitrase juga tidak dapat menyelesaikan perselisihan, maka lembaga peradilan adalah jalan terakhir sebagai pemutus perkara tersebut. Hakim harus memperhatikan rujukan yang berasal dari arbiter yang sebelumnya telah menangani kasus tersebut sebagai bahan pertimbangan dan untuk menghindari lamanya proses penyelesaian. Permasalahannya adalah badan peradilan mana yang sesuai dalam menyelesaikan persengketaan tersebut, peradilan umum atau peradilan agama. Mengingat sejarah Peradilan Agama bahwa wewenangnya sangat luas, meletakkan bisnis syariah dalam kewenangan Peradilan Agama merupakan momentum yang baik. Kewenangan ini tercantum dalam UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Ditambah lagi dengan adanya sumber daya manusia yang sudah memahami permasalahan syariah, maka Peradilan Agama dipandang sebagai pilihan terbaik untuk menyelesaikan perselisihan melalui jalur pengadilan. 129 BAB IV PENUTUP Setelah penulis menguraikan mengenai pembahasan masalah yang merupakan inti dari penulisan hukum yang disusun ini dengan judul Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Dalam Asuransi Syariah (Studi Di PT Asuransi Takaful Kantor Cabang Perwakilan Surakarta), maka dapat ditarik kesimpulan dan saran-saran sebagai berikut: A. Kesimpulan 1. Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Dalam Asuransi Syariah Asuransi takaful adalah asuransi yang bertumpu pada konsep tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa. Konsep tersebut terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits yang kemudian dilakukan ijtihad oleh para ulama sebagai landasan syariah dalam berasuransi. Terdapat dua landasan dalam asuransi syariah, yaitu landasan hukum sebagai landasan operasional usaha asuransi syariah yang memuat peraturan-peraturan hukum berupa undang-undang (UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian), Keputusan Menteri Keuangan, Keputusan Direktorat Jendral Lembaga Keuangan serta Fatwa-fatwa Dewan Syariah NasionalMajelis Ulama Indonesia yang mengatur mengenai asuransi syariah dan landasan syariah yang berpedoman pada Al-Qur’an, Sunnah Nabi, Piagam Madinah, praktik sahabat, ijma, syar’u man qablana serta istihsan. Landasan asuransi syariah adalah sumber dari pengambilan hukum praktik asuransi syariah. Landasan-landasan tersebut mendasari terbentuknya akad dalam membuat suatu kesepakatan untuk melakukan 130 suatu perjanjian asuransi yang didalamnya memuat hak, kewajiban sekaligus perlindungan bagi kedua belah pihak. 2. Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Dalam Asuransi Syariah Di PT. Asuransi Takaful Kantor Cabang Perwakilan Surakarta Akad yang digunakan dalam asuransi syariah adalah akad tijarah dan akad tabarru’. Akad tijarah yang dimaksud adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan komersial sedangkan akad tabarru’ adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebaikan dan tolongmenolong. Dari akad ini, sekurang-kurangnya harus disebutkan hak dan kewajiban peserta dan perusahaan, cara dan waktu pembayaran premi, dan jenis akad serta syarat-syarat yang disepakati sesuai dengan jenis asuransi. Hubungan hukum melahirkan akibat hukum bagi kedua belah pihak, yaitu timbulnya hak dan kewajiban antara pihak-pihak yang sepakat mengadakan perjanjian (akad). Pada akad umumnya selalu dicantumkan secara jelas hak dan kewajiban dari masing-masing pihak, sehingga para pihak mengetahui apa yang menjadi hak dan kewajibannya dalam akad tersebut serta menjamin adanya perlindungan hukum bagi para pihak. Perlindungan yang diberikan di PT. Asuransi Takaful Kantor Cabang Perwakilan Surakarta terhadap nasabahnya berupa : a. Produk dan layanan yang bebas dari unsur gharar, maisir, dan riba Jenis produk dan layanan pokok PT. Asuransi Takaful Kantor Cabang Perwakilan Surakarta meliputi asuransi Takaful Keluarga untuk jenis asuransi jiwa dan asuransi Takaful Umum untuk jenis asuransi kerugian; b. Syarat Pengajuan Asuransi, yang memuat aplikasi identitas calon nasabah (calon pemegang polis); 131 c. Bentuk pelaksanaan akad (perjanjian) yang dibuat secara tertulis dalam bentuk. Untuk menjamin kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi para pihak, perjanjian itu harus tertulis meskipun tidak menutup kemungkinan dibuat perjanjian secara lisan terhadap hal-hal tertentu. Polis Asuransi Syariah. Jenis polis yang terdapat di PT. Asuransi Takaful Cabang Surakarta meliputi : 1) Syarat Umum Polis Individu dalam asuransi Takaful Keluarga; 2) Syarat Umum yang terdapat pada masing-masing polis dalam asuransi Takaful Umum. d. Syarat-syarat Pengajuan Klaim, yaitu ketentuan yang harus dipenuhi agar klaim yang diajukan nasabah mendapat persetujuan oleh perusahaan asuransi. e. Apabila dalam pelaksanaannya peserta dirugikan dan timbul sengketa, maka penyelesaian sengketa dapat dilakukan menurut hukum Islam yaitu melalui perdamaian (suhl/ishlah), arbitrase (tahkim), dan melalui pengadilan kekuasaan kehakiman (wilayat al Qadla). B. Saran Dalam penelitian yang penulis lakukan mengenai perlindungan hukum terhadap nasabah dalam asuransi syariah di PT. Asuransi Takaful Kantor Cabang Perwakilan Surakarta, maka penulis memberikan saran-saran antara lain sebagai berikut : 1. Guna memberikan perlindungan hukum terhadap pemegang polis atas isi perjanjian asuransi, sebaiknya sewaktu melakukan perjanjian asuransi tersebut para pihak harus sepakat atas isi perjanjian yang diperjanjikan, dan isi perjanjian tersebut semestinya dibacakan dihadapan nasabah pemegang polis. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi kesalahpahaman diantara para pihak, dan disarankan kepada penanggung agar 132 memperhatikan segala kepentingan para nasabah termasuk dana nasabah yang tersimpan dalam perusahaan asuransi tersebut, supaya dana nasabah dapat terlindungi dan aman dalam perusahaan asuransi tersebut. 2. Peserta asuransi harus benar-benar cermat dalam mengetahui apa hak dan kewajiban ketika akan, saat, dan setelah mengadakan suatu perjanjian dengan pihak perusahaan asuransi agar tidak terjadi kerugian dan penyesalan di kemudian hari. 3. Perusahaan asuransi syariah sebaiknya dapat membuktikan kepada masyarakat akan keuntungan, kemudahan, manfaat dan perlindungan asuransi syariah bagi masyarakat. Tentunya hal ini harus didukung dengan adanya tenaga profesional yang memahami bisnis syariah. 4. Pemerintah sebaiknya harus segera membentuk suatu undang-undang yang khusus mengatur mengenai asuransi syariah, agar payung hukum asuransi syariah jelas dan terarah. 5. Perlu ditingkatkan adanya seminar, workshop, maupun acara sejenis yang diadakan dengan tujuan untuk memperkenalkan, mengkaji serta mempromosikan asuransi syariah kepada masyarakat umum. DAFTAR PUSTAKA Buku : Abdulkadir Muhammad. 2002. Hukum Asuransi Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. AM. Hasan Ali , MA. 2004. Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam. Jakarta: Prenada Media. Kasmir. 2002. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Lexy J. Moleong. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 133 Man Suparman S. 2003. Hukum Asuransi: Perlindungan Tertamggung Asuransi Deposito Usaha Perasuransian. Bandung: PT Alumni. Muhaimin Iqbal. 2006. Asuransi Umum Syariah Dalam Praktik. Jakarta: Gema Insani. Muhammad Syakir Sula. 2004. Asuransi Syariah (Life and General) Konsep dan Sistem Operasional. Jakarta: Gema Insani Press. Syamsul Anwar. 2007. Hukum Perjanjian Syariah: Studi Tentang Teori Akad Dalam Fikih Muamalat. Jakarta: PT Raja Grafindo Perkasa. Soerjono Soekanto. 1984. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. ______ _. 2005. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia. Sri Rejeki Hartanto. 1997. Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi. Jakarta: PT Sinar Grafika. Suhrawardi K. Lubis. 2000. Hukum Ekonomi Islam. Jakarta: PT Sinar Grafika. Totok Budi Santoso & Sigit Triandaru. 2006. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta: Salemba Empat. Tri Widiono. 2006. Aspek Hukum Operasional Transaksi Produk Perbankan di Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia. Wirdyaningsih. 2005. Bank dan Asuransi Islam Di Indonesia. Jakarta: Prenada Media. Zainuddin Ali. 2008. Hukum Asuransi Syariah. Jakarta: Sinar Grafika. Kamus dan Terjemahan : J.C.T Simorangkir dkk.2000. Kamus Hukum. Jakarta : Sinar Grafika. Yayasan Penyelenggara Penterjemah / Pentafsir Al-Qur’an.1971. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Departemen Agama RI. Undang-undang dan Peraturan lainnya : Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia No.21/DSNMUI/X/2001 Tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah Fatwa No.21/DSN-MUI/X/2001 Tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah 134 Fatwa No.43/DSN-MUI/VIII/2004 Tentang Ganti Rugi Fatwa No.51/DSN-MUI/III/2006 Tentang Mudharabah Musytarakah Asuransi Fatwa No.52/DSN-MUI/III/2006 Tentang Mudharabah Musytarakah Asuransi Wakalah bil Ujrah Fatwa No.53/DSN-MUI/III/2006 Tentang Tabarru’ pada Asuransi Syariah Fatwa No.53/DSN-MUI/III/2006 Tentang Tabarru’ pada Asuransi Syariah Akad Tabarru’ pada Asuransi dan Reasuransi Syariah Keputusan Menteri Keuangan No. 424/KMK.06/2003 Tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi Keputusan Menteri Keuangan No. 426/KMK.06/2003 tentang Perijinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan asuransi dan Perusahaan Reasuransi Keputusan Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan Nomor 4499/LK/2000 Tentang Jenis, Penilaian, dan Pembatasan Investasi Perusahaan Reasuransi dengan Sistem Syariah Kitab Undang-undang Hukum Perdata Kitab Undang-undang Hukum Dagang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor Perasuransian 2 tahun 1992 tentang Usaha Jurnal : Tamyiz Mukharrom. 2003. ”Kontrak Kerja Antara Kesepakatan dan Tuntutan Pengembangan SDM”. Jurnal Hukum Islam Al Mawarid. Edisi X Tahun 2003. Yogyakarta: Program Studi Syari’ah FIAI UII. Yusdani. 2002. ”Transaksi (akad) dalam Perspektif Hukum Islam”. Jurnal Studi Agama MILLAH. Volume.II Nomor 2 Januari 2002. Yogyakarta: Magister Studi Islam Universitas Islam Indonesia. Surat Kabar: 135 Lamgiat Siringoringo. “Kinerja Asuransi: Hanya 3 bulan, Prudential Raup Premi Asuransi Syariah Rp 410,3 M” dalam Harian Kontan. 15 April 2008 Halaman 10. NN. “Memo Bisnis: Peningkatan Bisnis Asuransi Syariah” dalam Koran Tempo. 21 April 2008 Halaman 9 Kolom a. Internet: http://hukumonline.com/detail.asp?id=13000&cl=Berita ( diakses tanggal 3 April 2009 pukul 20.00 wib) http://takaful.com/takafulindonesia»profilperusahaan.htm (diakses tanggal 3 April 2009 pukul 20.00 wib) http://eramuslim.com/bedaasuransi/newbhn/fatwa.htm. ( diakses tanggal 29 April 2009 pukul 20.00 wib) http://tazkia.com/konsepdasar?id=syari’ah. ( diakses tanggal 29 April 2009 pukul 20.05 wib)