analisis efektivitas kebijakan fiskal dan moneter terhadap produk

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan merupakan salah satu
kondisi utama bagi kelangsungan ekonomi di Indonesia atau suatu negara, sehingga
pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu tujuan pembangunan Indonesia.
Diharapkan dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi nantinya dapat
mengatasi ketimpangan sosial dan meningkatkan kesejahteraan rakyat atau
masyarakat. Saat ini di hampir setiap negara, pemerintah ikut campur tangan dalam
kegiatan ekonomi. Campur tangan pemerintah dalam kegiatan ekonomi tersebut
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam upaya menciptakan
kesehatan fiskal dimaksud, terhadap dua langkah strategis yang harus dipenuhi.
Pertama, menurunkan secara bertahap defisit APBN menuju seimbang atau surplus.
Kedua, mengusahakan penurunan jumlah (stock) utang publik dan rasionya terhadap
PDB.
Strategi penurunan defisit anggaran pada dasarnya harus ditempuh melalui
dua langkah pokok, yaitu (a) peningkatan penerimaan negara, terutama yang berasal
dari sektor perpajakan, dan (b) pengendalian dan penajaman prioritas alokasi belanja
negara. Sementara itu, penurunan rasio utang publik terhadap PDB dapat dilakukan
antara lain melalui strategi pengelolaan utang dan pemilihan alternatif kebijakan
Universitas Sumatera Utara
pembiayaan yang tepat, dalam rangka penurunan rasio utang, dan meningkatkan
pendapatan nasional.
Berikut data perkembangan APBN serta defisit APBN terhadap PDB
Indonesia periode 2002 – 2008.
Tabel. 1.1. Rasio APBN terhadap PDB Th. 2002 - 2008 (dalam persen)
2002
(PAN)
2003
(PAN)
2004
(APBN-P)
2005
(APBN-P 2)
2006
(APBN-P)
2007
(APBN)
2008
(APBN)
1. Pendapatan Negara
dan Hibah
18,5
16,4
20,3
19,6
21,1
20,5
20
-Penerimaan Perpajakan
13,0
11,6
14,0
13,2
13,6
14.4
13,6
- Penerimaan Bukan Pajak
5,5
4,7
6,2
6,1
7,4
6.0
6,3
- Hibah
0,0
0,0
0,0
0,3
0,1
0.1
0,1
2. Belanja Negara
20,0
18,0
21,6
20,6
22,4
21.6
22,1
-Belanja Pemerintah Pusat
13,9
12,3
15,1
14,9
15,3
41.3
15,5
*Pembayaran
Utang
* Subsidi
5,4
3,1
3,2
2,2
2,6
2.4
2,6
2,5
2,1
3,5
4,6
3,5
1.8
5,2
6,1
5,8
6,5
5,7
7,1
7.3
6,5
3. Keseimbangan Umum
(1,5)
(1,7)
(1,3)
(1,0)
(1,4)
(1.3)
(0,0)
4. Utang Pemerintah
65,1
58,3
53,9
48.7
n.a
n.a
n.a
- Utang Luar Negeri
31,5
28,3
25,3
24,5
n.a
n.a
n.a
- Utang Dalam Negeri
33,6
30,0
28,6
24,2
n.a
n.a
n.a
1.897,8
2.086,8
2.303,5
2.636,5
3040,8
3.957,4
4484,4
(1,4)
(1,7)
(1,1)
(1,0)
(1.3)
(1,1)
(0,7)
Uraian
Bunga
- Belanja Daerah
5. PDB Nominal (Rp T)
6. Surplus(Defisit)
APBN/PDB
Sumber: APBN & NK 2005-2005
Terlepas dari ideologi politiknya, setiap pemerintahan terlibat di dalam
mobilisasi dan alokasi sumber daya-sumber daya, stabilitas perekonomian nasional,
dan promosi inovasi teknologi. Lebih jauh, suatu pemerintah memainkan peranan
Universitas Sumatera Utara
yang sangat bervariasi di dalam pembangunan, sebagai penjaga stabilitas ekonomi,
yang merupakan prasyarat pertumbuhan ekonomi. Dalam literatur makro, peran
pemerintah dalam perekonomian umumnya dijalankan lewat dua kebijakan, yaitu
kebijakan fiskal dan kebijakan moneter.
Strategi peningkatan pendapatan negara yang dilakukan dari peningkatan
penerimaan atas pajak tentu saja merupakan pilihan yang bukan tanpa resiko.
Peningkatan penerimaan melalui peningkatan pajak dapat menimbulkan kontraksi
(penciutan) dalam perekonomian. Karena diketahui bahwa pajak dapat berimplikasi
terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara, karena pajak akan membebani
pendapatan masyarakat. Peningkatan pajak juga dapat menyebabkan kelesuan dalam
iklim investasi dan iklim berusaha, karena tingkat keuntungan yang diperoleh akan
terbebani pajak yang lebih besar.
Pada jangka pendek ada konflik potensial antara kebijakan moneter dan fiskal.
Jika bank sentral hendak mencapai stabilitas harga kebijakan fiskal pemerintah harus
berjuang untuk menekan permintaan agregat dan permintaan output sehingga
berbiaya tinggi dan inflasi sulit ditekan sehingga perlunya ada keseimbangan.
Bagaimanapun, jika kebijakan fiskal adalah pasif, maka bank sentral akan leluasa
meningkatkan tingkat suku bunga sebanyak yang diinginkan.
Berikut disajikan grafik Produk Domestik Bruto, Penerimaan Pajak,
Pengeluaran Pemerintah dalam kurun waktu 1980 – 2008.
Universitas Sumatera Utara
Sumber : APBN beberapa tahun
Gambar 1.1. Grafik GDP, Pajak, Pengeluaran Pemerintah
Di era tahun 1970 perekonomian Indonesia mengalami peningkatan
cukup pesat. Peningkatan hasil minyak atau sering disebut dengan Oil Boom
memberikan dampak positif dan negatif
bagi perekonomian. Pada satu sisi,
peningkatan hasil minyak sangat membantu peningkatan anggaran di sisi fiskal.
Pemerintah memiliki peran dominan dalam mendorong
laju pertumbuhan rill.
Kebijakan fiskal yang ekspansif yang didukung oleh hasil penerimaan minyak
menyebabkan perekonomian tumbuh dengan cepat. Namum pada sisi yang lain,
Universitas Sumatera Utara
peningkatan penerimaan devisa hasil minyak dan pengeluaran pemerintah telah
menyebabkan jumlah uang beredar meningkat pada sisi fiskal.
Kebijakan Bank Indonesia dalam upaya mengendalikan peredaran uang dan
stabilitas harga dilaksanakan dengan kebijakan kredit selektif yang dimulai pada
tahun 1974. Bank Indonesia juga menerapkan kebijakan uang ketat (Tight money
policy) dengan menetapkan besarnya reserve requirement sebesar 3 %. Kebijakan
fiskal yang ekspansif dan kebijakan moneter yang kontraktif menyebabkan kehidupan
sektor perbankan kurang bergairah yang disebabkan kelangkaan sumber dana karena
menurunnya penghimpunan dana masyarakat dan adanya pembatasan dalam kredit.
Investasi masih didominasi oleh sektor pemerintah, sedang ruang gerak sektor swasta
relatif terbatas. Menyadari akan hal ini, Bank Indonesia kemudian menurunkan
kewajiban reserve requirement dari 30 % turun menjadi 15 %. Kebijakan ini seiring
dengan mulai menurunnya kemampuan pemerintah dalam ekspansi fiskal yang
disebabkan mulai menurunnya pendapatan dari penjualan minyak.
Pada tahun 1980-an terjadi kemerosotan harga minyak dipasar sebagai akibat
adanya kecenderungan terjadinya resesi dunia. Menurunnya pendapatan minyak
menyebabkan pemerintah harus menurunkan ekspansi fiskalnya terutama untuk
pembiayaan APBN. Pemerintah mau tidak mau harus secara bertahap menurunkan
domisasinya dalam menggerakkan perekonomian. Serangkaian kebijakan dalam
berbagai sektor ekonomi kemudian dibuat oleh pemerintah guna menghindari krisis
yang jauh lebih akibat krisis harga minyak. Kebijakan yang paling membawa dampak
bagi perekonomian Indonesia saat itu adalah kebijakan liberalis di sektor keuangan.
Universitas Sumatera Utara
Pasca bom minyak tahun 1979, Indonesia meliberalisasikan sektor perbankan
untuk meningkatnya kinerja perekonomian yang mengalami kelesuan akibat
menurunnya pendapatan minyak. Liberalis ini dikenal dengan Paket 27 Oktober 1988
(Pakto 27 – 88). Selain memperlonggar reserve requirement dari 15 % menjadi 2 %
pemerintah juga mempermudah pendirian bank – bank umum swasta dan lembaga
keuangan non bank. Jumlah bank yang tadinya berjumlah 111 dengan 1.728 kantor di
tahun 1988, melonjak menjadi 239 bank dengan 6.022 kantor hingga tahun 1994
(Dumairy,1997). Dominasi bank pemerintah berkurang seiring dengan meningkatnya
jumlah bank swasta. Hal yang sama terjadi pada lembaga keuangan non bank, seperti
asuransi dan pembiayaan lainnya.
Liberalisasi sektor keuangan memberikan dampak positif dan negatif bagi
perekonomian. Pada satu sisi tumbuhnya bank – bank umum menyebabkan sektor riil
(dunia usaha) lebih bergairah karena mudahnya akses peminjaman kredit perbankan.
Pada sisi lain, kemudahan yang diberikan pemerintah nyaris tidak diikuti oleh
pengawasan dan standar kesehatan perbankan. Hal ini terlihat dengan rendahnya
kinerja kesehatan perbankan, misalnya dilanggarnya batas maksimum pemberian
kredit (BMPK) karena ekspansi kredit melebihi batas LDR yang ada, rasio kecukupan
modal (CAR) yang minim, dan lain-lain.
Pada saat yang sama pemerintah sedang mengarahkan transformasi ekonomi
kearah industrialisasi dan peningkatan peran sektor swasta dalam perekonomian.
Sektor swasta diberikan kemudahan dalam peminjaman dana kesektor perbankan.
Kemudahan utang juga diberikan dalam bentuk valas untuk menunjang kegiatan
Universitas Sumatera Utara
ekspor impor sektor swasta. Hal ini terbukti dengan banyaknya utang luar negeri yang
jatuh tempo milik swasta pada tahun 1998 utang luar negeri milik swasta
diperkirakan sebesar $ 9,6 milyar. Diawal tahun 1998 utang luar negeri milik swasta
diperkirakan sebesar US$ 65 milyar (55% dari total utang luar negeri Indonesia).
Besarnya aliran dana luar negeri yang masuk pasca liberalis sektor keuangan mampu
menutup kesenjangan tabungan – investasi (saving – investment gap).
Ketergantungan pada utang luar negeri juga dialami pemerintah. Semenjak
berakhirnya bom minyak anggaran pemerintah dalam APBN terus mengalami defisit
akibat berkurangnya sumber – sumber pendapatan. Defisit ini terus ditutupi dengan
melakukan utang luar negeri. Diawal tahun 1998, total utang luar negeri Indonesia
tercatat sebesar US$117 milyar dan 45% dari total utang tersebut adalah utang
pemerintah.
Krisis moneter di beberapa negara Asia termasuk Indonesia dimulai dari
devaluasi mata uang bath oleh pemerintah Thailand. Devaluasi yang berujung pada
jatuhnya nilai bath ini seiring dengan ulah para spekulan yang terus berburu dolar US
untuk mencari untung dengan berspekulasi. Krisis keuangan di Thailand kemudian
menjadi pola krisis yang sama dibeberapa negara Asia seperti di Filippina, Malaysia,
Singapura, Jepang, dan Korea Selatan.
Di Indonesia jatuhnya nilai tukar bath berpengaruh besar terhadap ekspetasi
masyarakat. Spekulasi besar – besaran terhadap nilai tukar rupiah terjadi sekitar Juli
Agustus 1997. Sebagian besar masyarakat golongan menengah berlomba – lomba
mengkonversi kekayaannya dalam bentuk dollar untuk mengurangi resiko
Universitas Sumatera Utara
menurunnya nilai kekayaan akibat tekanan inflasi (dimana jika kurs melemah maka
kekayaan dalam rupiah akan menurun karena daya beli rupiah menurun akibat
naiknya harga). Selain itu para spekulen yang hendak memperoleh keuntungan dari
fluktuasi nilai tukar juga turut berperan menyebabkan makin terdepresiasinya nilai
tukar rupiah. Rupiah terus merosot bahkan sempat mencapai angka Rp.15000,- per 1
US$ pada tahun 1998.
Seiring gentingnya kondisi ekonomi dan politik menyusul maraknya aksi
demo
mahasiswa
menginginkan
kemunduran
presiden
Suharto,
dikalangan
masyarakat muncul isu – isu negatif (ekspektasi) diantaranya yaitu ancaman rush
(pengambilan deposit secara besar – besaran) di beberapa bank swasta, habisnya stok
bahan – bahan kebutuhan pokok akibat penjarahan, dan isu lainnya. Ekspektasi
negatif ditengah ketidakpastian ini menyebabkan masyarakat diliputi ketakutan.
Akibatnya isu rush menyebabkan masyarakat mengantri untuk menarik tabungannya
di bank-bank sehingga isu tentang kebangkrutan bank benar – benar menjadi nyata.
Selain itu tingkat inflasi yang sangat tinggi tidak serta merta menyebabkan
masyarakat mengurangi konsumsinya sehingga tingkat inflasi semakin tinggi yaitu
sempat mencapai 78% pada tahun 1998 (Arifin,2000).
Depresiasi nilai rupiah terhadap dolar berakibat fatal terhadap utang luar
negeri milik swasta yang akan jatuh tempo pada tahun 1998. Para Pengusaha yang
akan membayar utang luar negerinya berusaha mendapatkan dolar AS dalam jumlah
yang diperkirakan cukup besar. Menurut Bank Indonesia, dari sekitar US$ 62 Milyar
utang swasta Indonesia, sehingga Maret 1998 utang yang jatuh tempo adalah sebesar
Universitas Sumatera Utara
US$ 9.6 milyar. Utang luar negeri swasta tersebut menyebabkan kredit macet disektor
real estate dan properti. Kondisi diperburuk karena utang dalam dollar AS tersebut
tidak di-hedging (dilindungi dari perubahan kurs) sehingga mereka berusaha
memperkecil resiko dengan membeli dolar sebelum utangnya jatuh tempo. (Ritonga,
2004).
Kebijakan uang ketat yang diterapkan Bank Indonesia dengan menaikkan
suku bunga pada saat perekonomian sedang maju pesat sebelum masa krisis malah
menyebabkan masuknya aliran dana luar negeri dalam berbagai jangka waktu dan
berbagai bentuk semakin membesar dan menjadi penyebab utama krisis moneter
tahun 1997.
Krisis yang melanda perekonomian Indonesia pada tahun 1997 menyebabkan
pemerintah meningkatkan pengeluarannya. Biaya restrukturisasi perbankan dan
pemulihan sektor riil menyebabkan pemerintah harus meningkatkan defisit
anggarannya mengingat terbatasnya sumber – sumber dana yang dimiliki. Defisit
anggaran meningkat cukup besar pasca krisis tahun 1997, terutama pada periode
APBN tahun 1999 yang mencapai Rp 114585 milyar. Disisi lain Bank Indonesia
menerapkan kebijakan moneter kontraksif guna menekan inflasi dan mengendalikan
jumlah uang beredar. Tingkat bunga tercatat meningkat cukup tinggi yaitu rata-rata
sekitar 25 % pada tahun 1998 dan rata-rata 22% pada tahun 1999.
Disisi lain kebijakan fiskal yang tepat belum tentu mendatangkan hasil yang
sesuai dengan yang diinginkan, karena selain kebijakan fiskal yang mempengaruhi
perekonomian indonesia, perekonomian juga dipengaruhi oleh kebijakan moneter
Universitas Sumatera Utara
yang dikendalikan oleh otoritas moneter. Kebijakan fiskal dan moneter dalam banyak
kasus sering menimbulkan efek berkebalikan (crowding out). Sehingga diperlukam
mekanisme koordinasi yang baik dan tepat agar tujuan – tujuan pembangunan
perekonomian yang telah ditetapkan dapat tercapai.
Secara rata-rata pertumbuhan Produk Domestik Bruto per kapita mulai
menurun, walau masih positif, peningkatan prosentase penduduk miskin justru
meningkat lebih cepat. Artinya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi memang sedikit
banyak mengurangi kemiskinan. Tetapi pertumbuhan ekonomi yang lambat atau
bahkan negatif akan meningkatkan prosentase penduduk miskin jauh lebih cepat. Itu
sebabnya pertumbuhan ekonomi memang merupakan syarat perlu (necessary
condition) namun bukan syarat cukup (not sufficient condition).
Berdasarkan uraian diatas, Penulis mencoba menganalisis sampai sejauh mana
pengaruh kebijakan fiskal dan moneter yang diterapkan pemerintah pusat terhadap
Produk Domestik Bruto di Indonesia. Untuk itu Penulis mengambil judul “Analisis
Kebijakan Fiskal dan Moneter Terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia”
1.2
Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka ada rumusan masalah yang dapat diambil
sebagai kajian dalam penelitian yang dilakukan. Hal ini dilakukan untuk
mempermudah dan mensistemasikan penulisan tesis ini. Selain itu, rumusan masalah
ini diperlakukan sebagai suatu cara untuk mengambil keputusan dari akhir penulisan
tesis.
Universitas Sumatera Utara
Penulis mencoba memuat perumusan masalah apakah kebijakan fiskal dan
moneter yang selama ini diterapkan pemerintah pusat yang tujuannya untuk
stabilisasi ekonomi juga berpengaruh terhadap peningkatan PDB Indonesia.
Yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan tesis ini adalah:
1. Berapa besar pengaruh pajak (sebagai instrumen kebijakan fiskal) terhadap
Produk Domestik Bruto di Indonesia ?
2. Berapa besar pengaruh pengeluaran pemerintah (sebagai instrumen kebijakan
fiskal) terhadap Produk Domestik Bruto di Indonesia?
3. Berapa besar pengaruh jumlah uang beredar (sebagai instrumen kebijakan
moneter) terhadap Produk Domestik Bruto di Indonesia?
1.3
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari Penulisan tesis ini adalah :
1. Untuk menganalisis pengaruh pajak (sebagai instrumen kebijakan fiskal)
terhadap PDB Indonesia.
2. Untuk menganalisis pengaruh pengeluaran pemerintah (sebagai instrumen
kebijakan fiskal) terhadap PDB di Indonesia.
3. Untuk menganalisis pengaruh jumlah uang beredar (sebagai instrumen kebijakan
moneter) terhadap PDB di Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
12
1.4
Manfaat Penelitian
Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak yang ingin mengetahui pengaruh
kebijakan fiskal dan moneter terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia.
2. Untuk memperkaya wawasan ilmiah dan non-ilmiah penulis dalam disiplin ilmu
Penulis terkini serta mengaplikasikannya secara kontekstual dan tekstual.
3. Sebagai masukan bagi kalangan akademisi dan Peneliti yang tertarik membahas
Produk Domestik Bruto Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
Download