1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Berbagai macam kebutuhan dasar manusia seperti makanan, air, rasa aman,
dan cinta sangat penting untuk keberlangsungan hidup dan terwujudnya kesehatan
optimal bagi manusia. Maslow dalam teori kebutuhan dasar manusia, membagi
kebutuhan tersebut menjadi lima tingkatan piramida berdasarkan prioritas yang
disebut dengan hirarki Maslow. Tingkat pertama merupakan tingkat paling dasar
dari hirarki Maslow ini adalah kebutuhan fisiologis. Kebutuhan fisiologis
menempati prioritas paling utama yang antara lain terdiri dari kebutuhan oksigen,
cairan, nutrisi, seks, serta istirahat dan tidur (Potter & Perry, 2005).
Tidur merupakan salah satu bagian dari kebutuhan dasar manusia yang
berperan sebagai fungsi restorasi tubuh atau pemulihan tenaga dan stamina. Selain
itu, saat seseorang tidur hormon pertumbuhan dan serotonin akan diproduksi serta
pada saat seseorang tidur akan terjadi peningkatan aliran nutrisi ke dalam sel
sehingga tubuh akan siap kembali untuk beraktivitas pada saat seseorang itu
terbangun dari tidurnya (Daneshmandi et al., 2012).
Ketidakteraturan pola tidur berkaitan erat dengan kesehatan, kesejahteraan,
dan mortalitas seseorang (Daneshmandi et al., 2012). Ketika seseorang kekurangan
tidur, tubuh akan terasa lemas, mudah lelah, sulit berkonsentrasi, dan terjadi
penurunan sistem imun (Kurniawati, Ibrahim, Nursiswati, 2012). Oleh karena itu,
seseorang yang sedang terkena penyakit akan membutuhkan istirahat
1
2
dan tidur yang lebih banyak dibandingkan orang yang dalam keadaan sehat, karena
salah satu hal yang mempengaruhi jumlah kebutuhan tidur seseorang ialah status
kesehatan (Potter & Perry, 2005).
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Lei (2009) di China menunjukkan
bahwa dari 397 pasien yang menjalani rawat inap di rumah sakit umum China,
sebanyak 45,6% pasien melaporkan buruknya kualitas tidur mereka selama dirawat
di rumah sakit/hospitalisasi dan sebanyak 57,4% pasien mengalami penurunan
kualitas tidur setelah hospitalisasi. Hal tersebut membuktikan bahwa hospitalisasi
membawa dampak yang cukup lama terhadap kondisi tidur seseorang, bahkan
setelah seseorang tersebut melewati masa hospitalisasi. Ismaiwetri (2010) di
Padang membuktikan bahwa sebanyak 55,6% (20 pasien) dari 36 pasien yang
menjalani rawat inap di RSUP Dr. M. Djamil mengalami gangguan tidur.
Hasil studi pendahulan yang dilakukan di bangsal dewasa IRNA 1 RSUP
Dr. Sardjito Yogyakarta pada bulan Januari 2014 menunjukkan bahwa pasien yang
mengalami gangguan tidur adalah sebanyak 50% di Dahlia 4, 50% di Dahlia 2,
33,3% di Cendana 5, 30% di Cendana 3, dan 35% di Cendana 2. Mayoritas pasien
mengeluhkan sering terbangun, tidur terganggu karena nyeri, penyakit yang diderita
seperti sesak napas, tidak bisa tidur, kebisingan, dan sulit memulai tidur.
Berdasarkan hasil wawancara dengan perawat di bangsal tersebut menunjukkan
bahwa tidak semua perawat mengkaji kebutuhan tidur pasien dan ditemukan adanya
indikasi masih minimnya tindakan keperawatan yang dapat dilakukan untuk
mengatasi gangguan tidur. Usaha yang biasa dilakukan oleh perawat di ruangan ini
untuk mengatasi masalah gangguan tidur yaitu dengan mempertahankan
3
lingkungan rumah sakit yang tenang dan pemberian obat antinyeri. Selain itu, di
rumah sakit tersebut belum tersedia panduan khusus mengenai penanganan
gangguan tidur dimana panduan ini merupakan salah satu standar perawatan di
rumah sakit pendidikan dan rumah sakit rujukan tipe A seperti RSUP Dr. Sardjito.
Menurunnya jumlah waktu tidur adalah merupakan masalah yang biasa
terjadi pada pasien hospitalisasi. Hospitalisasi secara signifikan dapat mengganggu
pola tidur pasien. Akibat dari hal tersebut pasien akan mengalami gangguan tidur
yang akan berdampak tidak hanya pada dirinya namun juga pada keluarga dan
masyarakat (Daneshmandi et al., 2012). Sayangnya di dalam penelitiannya
Daneshmandi tidak menyebutkan bentuk dampak tersebut. Gellerstedt et al. (2014)
juga menuliskan bahwa mayoritas pasien rawat inap terganggu tidurnya dan
mengalami penurunan kualitas tidur. Dampak lain dari gangguan tidur yang dialami
oleh pasien adalah, pasien juga dapat mengalami penurunan kualitas hidup akibat
gejala-gejala yang timbul dari penyakitnya, sehingga hal itu berdampak serupa
terhadap kualitas tidur. Jika kualitas tidur dapat ditingkatkan maka gejala penyakit
pasien juga akan membaik yang disertai dengan perbaikan kualitas hidupnya
(Parish, 2009).
Adanya tekanan pekerjaan, tuntutan keluarga, dan tekanan lainnya akan
menjadi stresor tersendiri bagi pasien yang berdampak pada sulitnya individu untuk
memulai tidur atau mempertahankan kondisi tidurnya (De Laune & Ladner, 2011).
Selain itu, selain faktor fisiologis, psikologis, dan gaya hidup, lingkungan rumah
sakit khususnya di ruang rawat inap yang sangat berbeda dengan lingkungan di
rumah menjadi salah satu faktor yang dapat mengganggu tidur pasien (Potter et al.,
4
2011). Faktor lingkungan seperti suhu udara, bau, ventilasi, pencahayaan, dan
kebisingan dapat dikurangi dengan tindakan memodifikasi lingkungan. Hal ini
merupakan tindakan yang sangat tepat, namun hal ini tidak mudah dilakukan oleh
perawat karena adanya kesulitan untuk mengontrol lingkungan misalnya
memodifikasi sumber suara yang tidak diinginkan.
Suasana ruangan yang gelap, sunyi, dan tenang merupakan tempat yang
paling nyaman untuk tidur bagi siapapun. Situasi tersebut perlu diciptakan oleh
perawat agar pasien dapat tidur dengan nyaman (Daneshmandi et al., 2012).
Intervensi yang lebih memungkinkan untuk menciptakan situasi tersebut dapat
dilakukan dengan penggunaan alat pasif yaitu eye mask (penutup mata) dan
earplugs (penutup telinga).
Sebelumnya kedua alat ini sudah dikenal dan biasa disediakan oleh
maskapai penerbangan yang memiliki rute jarak jauh, dengan tujuan agar
penumpang merasa lebih nyaman untuk beristirahat saat penerbangan. Eye mask
merupakan suatu benda yang mampu melindungi mata dari pencahayaan yang
terang dan earplugs adalah benda yang dapat melindungi telinga dari kebisingan
lingkungan. Penelitian yang dilakukan Le Guen et al. (2013), menunjukkan bahwa
kedua alat ini secara efektif membantu meningkatkan kualitas tidur pasien post
operasi. Selain itu kelebihan alat ini antara lain adalah murah, sederhana, aman, dan
dapat diterima dengan baik karena pasienlah yang memiliki kontrol terhadap alat
ini sehingga akan meningkatkan perasaan self-control mereka.
Berdasarkan uraian diatas serta masih kurangnya penelitian terkait yang
dilakukan di Indonesia, peneliti tertarik untuk meneliti penggunaan eye mask dan
5
earplugs sebagai salah satu tindakan keperawatan yang berguna untuk
meningkatkan kualitas tidur pasien dengan gangguan tidur yang menjalani rawat
inap.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana pengaruh penggunaan eye mask dan earplugs terhadap kualitas
tidur pada pasien yang mengalami gangguan tidur di RSUP Dr. Sardjito?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pada penggunaan eye
mask dan earplugs terhadap kualitas tidur pasien yang mengalami gangguan
tidur di RSUP Dr. Sardjito
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui jenis gangguan tidur pada pasien di RSUP Dr. Sardjito
b. Mengetahui pengaruh intervensi eye mask dan earplugs pada komponen
kualitas tidur: kualitas tidur subjektif, latensi tidur, durasi tidur, efisiensi
kebiasaan tidur, gangguan tidur, penggunaan obat, dan disfungsi di
siang hari
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam lingkup pelayanan
kesehatan di rumah sakit yang lebih baik
6
2. Manfaat praktis
a. Bagi perawat: Menjadi bukti ilmiah sebagai bahan pertimbangan dalam
tindakan nonfarmakologi untuk mengatasi pasien yang mengalami
gangguan tidur.
b. Bagi instansi/rumah sakit: Menjadi bukti ilmiah sebagai bahan masukan
untuk meningkatkan kualitas pelayanan rumah sakit dalam menangani
pasien yang menjalani rawat inap.
c. Bagi peneliti: Menjadi bukti ilmiah sebagai tambahan wawasan
mengenai efektivitas penggunaan eye mask dan earplugs dalam
meningkatkan kualitas tidur pasien rawat inap serta sebagai masukan
bagi
peneliti
yang
ingin
melakukan
penelitian
serupa
dan
pengembangan lebih lanjut.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian yang sejenis pernah dilakukan oleh:
1. Hu et al., (2010) berjudul “Effects of earplugs and eye masks on nocturnal sleep,
melatonin and cortisol in a stimulated intensive care unit environment”.
Metode penelitian yang digunakan adalah repeated measures design. Penelitian
ini dilakukan pada 14 responden di ruangan yang distimulasi seperti ICU
kemudian diukur polysomnography dan sekresi hormon melatonin serta kortisol
pada subjek. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa penggunaan eye mask dan
earplugs mampu memperbaiki tidur serta keseimbangan hormon pada
responden pasien ICU yang terpapar suasana lingkungan yang bising dan
pencahayaan yang buruk. Persamaan dari penelitian ini dengan yang akan
7
dilakukan oleh penulis yaitu pada variabel bebasnya yaitu penggunaan eye mask
dan earplugs. Letak perbedaannya yaitu pada tempat, populasi dan sampel,
metode penelitian, serta variabel terikatnya.
2. Le Guen et al., (2013) berjudul “Earplugs and eye masks vs routine care prevent
sleep impairment in post-anaesthesia care unit: a randomized study”. Metode
penelitian melibatkan 46 responden pasien PACU lalu secara acak pasien
dipilih untuk tidur menggunakan atau tidak menggunakan eye mask dan
earplugs saat malam pertama postoperasi. Kepada responden tersebut
kemudian dilakukan pengukuran kualitas tidur dengan menggunakan Spiegel
score and Medical Outcomes Study Sleep, pengkajian keperawatan, dan
Actiwatch. Hasil penelitian menunjukkan kedua alat tersebut mampu
memelihara kualitas tidur pasien secara signifikan. Persamaan penelitian Le
Guen dengan milik peneliti yaitu pada variabel terikat dan variabel bebasnya.
Perbedaan penelitian ini dengan yang akan dilakukan oleh peneliti yaitu pada
tempat, populasi dan sampel, serta metode yang digunakan.
Download