pendekatan ibn khaldun - E

advertisement
PENDEKATAN IBN KHALDUN
KE ARAH MEMAHAMI REALITAS SOSIAL BAGI SEORANG PEMIMPIN *
Badri Yatim**
A. Pendahuluan
Sejarah Islam telah melahirkan seorang ilmuwan besar, yang temuantemuan ilmiah dan pemikirannya mendahului para ilmuwan Barat beberapa abad
dan sampai sekarang masih banyak dibahas serta mendatangkan kekaguman
banyak kalangan. Keaslian pemikirannya mendapat penghargaan tinggi dari
kalangan pemikir Barat dan Timur.1
Pemikiran
dan
temuan-temuan
ilmiahnya
tertuang dalam
karyanya
Muqaddimah, yang sebenarnya merupakan pendahuluan dari karya besarnya
yang berjudul Kitab al-'Ibar wa Diwan al-Mubtada' wa al-Khabar fi Ayyam al-'Arab
wa al-'Ajam wa al-Barbar wa man Siwahum min Dzaw al-Sulthan al-Akbar
(disingkat al-'Ibar).
Melihat judulnya, jelas karyanya itu merupakan sebuah karya sejarah. Akan
tetapi, setelah tersebarluasnya terjemahan Muqaddimah tersebut ke berbagai
bahasa dunia, bukan hanya para ahli sejarah Barat yang menaruh perhatian besar,
tetapi juga para ahli ekonomi dan ahli ilmu-ilmu sosial lainnya. Mereka
mendapatkan dengan penuh kekaguman, di antaranya, pandangan orisinal yang
bermutu, yang memaksa mereka harus merevisi pendapat-pendapat mereka
sebelumnya. Kalau sebelumnya mereka mengira, bahwa Vico-lah orang pertama
yang mengembangkan filsafat sejarah, setelah membaca Muqaddimah mereka
tahu, bahwa Ibn Khaldun telah melakukan hal itu tiga setengah abad sebelumnya.
Kalau sebelumnya mereka mengira Auguste Comte sebagai pengasas ilmu
sosiologi, setelah itu mereka tahu, bahwa Ibn Khaldun lebih dahulu melakukannya,
empat setengah abad sebelumnya. Di dalam karya Ibn Khaldun itu, mereka
*Makalah disampaikan pada Seminar Pemikiran Ibn Khaldun III yang diselenggarakan oleh Jabatan
Agama islam Sarawak di Kuching, Sarawak, Malaysia pada tanggal 17 September 2004.
**Dekan Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
Indonesia.
1
Charles Issawi, Filsafat Islam tentang Sejarah, terjemahan dari An Arab Philosophy of History oleh
Mukti Ali, (Jakarta: Tintamas, 1976), h. 34
1
dapatkan, banyak pendapat dan prinsip yang dikemukakan para ahli ekonomi dan
pemikir sosial Barat, telah ditulis pemikir besar Islam ini. Ada yang masih berupa
gagasan awal, tetapi ada juga yang telah dikembangkan secara luas dan lengkap.
Karena itulah pengkajian terhadap al-Muqaddimah, karya Ibn Khaldun, menjadi
menarik bagi para ilmuwan yang teliti. Dan ini mendorong mereka untuk
menyatakan kekaguman mereka, dalam berbagai karya, baik dalam makalah dan
artikel, maupun dalam buku yang mereka tulis.2
Namun, harus diakui secara jujur, para ilmuwan Barat itu jauh lebih dahulu
daripada para ilmuwan Muslim sendiri dalam melakukan studi tentang Ibn Khaldun,
karya dan pemikiran-pemikirannya. Pada zamannya, pemikiran sosial Ibn Khaldun
memang tidak banyak berpengaruh di kalangan ilmuwan Muslim sendiri, dan dapat
dikatakan tidak dibaca, apalagi dirujuk, kecuali setelah namanya dipopulerkan oleh
para ilmuwan Eropa.3 Meski terlambat, kini para sarjana Muslim banyak
memperlihatkan antusiasme tinggi dalam melakukan studi tentang pemikiran Ibn
Khaldun.
Sebagaimana para ilmuwan “sekuler” dewasa ini, Ibn Khaldun berpendapat
bahwa ikatan-ikatan bermasyarakat dan bernegara, serta peradaban pada
umumnya, sebagai sesuatu yang tumbuh dan tenggelam, lepas dari persoalan
agama dalam pengertian nubuwwah (kenabian) datang atau tidak. Baginya,
adanya masyarakat, negara dan peradaban tidak tergantung pada adanya agama.
Walaupun cara pandangnya demikian rupa terhadap realitas sosial, Ibn Khaldun
mengemukakan preferensi, dan preferensi itu dipungutnya dari nilai-nilai Islam.4
Misalnya, dia berpendapat bahwa ‘ashabiyyah yang disertai penghayatan dan
pengamalan agama akan bertambah kuat, sehingga golongan akan bertambah
bersatu. Penghayatan, pengamalan dan kesadaran agama yang melemah akan
melemahkan ‘ashabiyyah. Di sinilah letak daya tarik utama pemikiran Ibn Khaldun
bagi para sarjana Muslim, di samping keunggulan-keunggulan akademiknya yang
lain.
2
Effat al-Sharqawi, Filsafat Kebudayaan Islam, Terjemahan dari Falsafah al-Hadharah alIslamiyyah,(Bandung: Penerbit Pustaka, 1986), h. 339-340.
3
Bruce Lawrence (ed.), Ibn Khaldun and Islamic Ideology, (Leiden: E.J. Brill, 1984), h. 5
4
Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat, (Bandung: Mizan, 1999), h. 70 dan 75
2
Makalah ini akan mengkaji “Pendekatan Ibn Khaldun Ke Arab Memahami
Realitas Sosial Bagi Seorang Pemimpin”. Dalam pembahasan ini, tentu saja kita
pun akan berusaha membandingkannya dengan teori, metodologi dan pendekatan
sejarah dan ilmu sosial sebagaimana yang berkembang dewasa ini. Tanpa itu,
menjelaskan pemikiran sosial Ibn Khaldun yang hidup enam abad yang silam
menjadi sangat sulit. Setelah sedikit membahas tentang riwayat hidupnya,
makalah ini akan membahas tentang pendekatan Ibn Khaldun dalam memahami
realitas sosial, dan kemudian makalah akan mencoba merumuskan bagaimana
seharusnya seorang pemimpin memandang metode Ibn Khaldun itu, mengambil
pelajaran daripadanya dan agar kepemimpinannya menjadi efektif dan bernilai
guna.
B. Riwayat Hidup Ibn Khaldun
Selain kitab al-'Ibar yang Muqaddimah sebagai pendahuluannya, Ibn
Khaldun juga menulis beberapa kitab lain, di antaranya al-Ta`rif bi ibn Khaldun,
autobiografi yang dijadikannya sebagai dzail, lampiran, dari kitab sejarahnya itu. Ia
juga menulis kitab teologi berjudul Lubab al-Muhashshal fi Ushul al-Din yang
merupakan ringkasan dari kitab Muhashshal Afkar al-Mutaqaddimin wa alMuta'akhkhirin karya Imam Fakhr al-Din al-Razi, ditambah dengan pendapatpendapatnya dalam masalah teologi. Bagi yang ingin mengetahui secara lebih rinci
tentang kehidupan Ibn Khaldun, tentu saja dia dapat membacanya pada
autobiografinya, al-Ta`rif bi ibn Khaldun, itu.5
Nama lengkapnya adalah Waliyuddin 'Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn
Muhammad ibn Abi Bakr Muhammad ibn al-Hassan ibn Khaldun. Dia lahir di
Tunisia di awal bulan Ramadhan 732 H (27 Mei 1333 M) dan wafat di Kairo pada
tanggal 25 Ramadhan 808 H (19 Maret 1406 M).
Keluarganya berasal dari Hadhramaut dan silsilahnya sampaikan kepada
sahabat Nabi, Wail ibn Hujr dari kabilah Kindah. Keturunannya, Khalid ibn 'Utsman,
memasuki Andalusia di awal abad ke-3 H (9 M) dan dialah yang kemudian menjadi
pangkal dari Bani Khaldun. Di Andalusia bani ini pada mulanya menetap di
Franz Rosenthal, “Ibn Khaldun in His Time (May 27, 1323 -- March 17, 1466)” dalam Bruce
Lawrence (ed.), Ibn Khaldun and Islamic Ideology, h. 20
5
3
Qarmunah, kemudian pindah ke Isybilia (Seville), tempat Bani Khaldun mulai
menduduki beberapa jabatan penting. Ketika dinasti al-Muwahhidun (1146-1235
M) mengalami kemunduran, Bani Hafsh, penguasa Isybilia, hijrah ke Tunisia,
karena kekuasaannya jatuh ke tangan penguasa Kristen. Bani Khaldun ikut hijrah
dan tetap menduduki jabatan-jabatan politik. Akan tetapi, ayah Ibn Khaldun tidak
terjun ke dunia politik dan cenderung memasuki dunia ilmu dan pendidikan.
Sejarah kehidupan Ibn Khaldun dapat dibagi menjadi empat fase 6, yaitu:
Pertama, fase kelahiran, perkembangan, dan studi. Fase ini berlangsung sejak
kelahiran sampai usia dua puluh tahun, yaitu dari tahun 732 H/1332 M hingga
tahun 751 H/1350 M. Fase ini dilaluinya di Tunisia. Kedua, fase bertugas di
pemerintahan dan terjun ke dunia politik di Maghrib dan Andalusia, yaitu dari tahun
751 H/1350 M sampai tahun 776 H/1374 M. Ketiga, fase kepengarangan, ketika
dia berpikir dan berkontemplasi di Benteng Ibn Salamah milik Banu `Arif, yaitu
sejak tahun 776 H/1374 M sampai 784 H/1382 M. Dan, keempat, fase mengajar
dan bertugas sebagai hakim kerajaan di Mesir, yaitu dari tahun 784 H/1382 M
sampai wafatnya tahun 808 H/1406 M.
Seperti biasa berlaku, sewaktu kecil Ibn Khaldun menghafal al-Qur'an dan
belajar tajwid dari ayahnya. Waktu itu Tunisia menjadi pusat “hijrah” ulama
Andalusia yang mengalami kekacauan akibat perebutan kekuasaan di sana.
Dengan demikian, Ibn Khaldun mendapat kesempatan belajar dari ulama itu. Dia
mempelajari ilmi-ilmu syari'at: tafsir, hadits, ushul fiqih, tauhid, dan fiqh mazhab
Maliki dan ilmu-ilmu bahasa: nahwu, sharaf, balaghah, serta ilmu-ilmu fisika dan
matematika.
Terjangkitnya penyakit pes pada tahun 749 H (1348-1349 M) menyebabkan
penguasa bersama ulama hijrah ke Maghrib Aqsha pada tahu 750H (13491350M), sehingga pendidikannya harus terhenti. Ia pun berusaha bekerja
mengikuti jejak kakek-kakeknya di dunia politik.
6
Baca Ali Abdulwahid Wafi, ibn Khaldun Riwayat dan Karyanya, Terjemahan Ahmadie Thoha,
(Jakarta: Grafitipers, 1985), h. 1-78
4
Peta politik di Afrika Utara dan Andalusia pada masa itu dengan cepat
berubah karena digoncang oleh peperangan. Tiga dinasti yang terkenal di
antaranya adalah (1) dinasti Bani Hafsh di Maghrib al-Adna, Tunisia, (2) dinasti
Bani Abd al-Wad di Maghrib al-Ausath dengan ibukotanya Tilimsan, dan (3) dinasti
Bani Marin di Maghrib al-Aqsha dengan ibukota Fez. Pada 750 H (1350 M), ia
diangkat sebagai sekretaris Sultan Daulah Bani Hafsh, al-Fadhl, di Tunisia. Akan
tetapi, ia kemudian berhenti karena penguasa yang didukungnya kalah dalam
pertempuran pada 753 H (1352 M), dan dia pun terdampar di Baskarah, kota di
Aljazair. Pada 755 H (1355 M) dia diangkat menjadi anggota Majelis Ilmu
Pengetahuan dan setahun kemudian menjadi sekretaris Sulthan Bani Marin.
Jabatan itu didudukinya sampai 763 H (1361-2 M), ketika Wazir 'Umar ibn 'Abdillah
murka dan mengusirnya. Pada 764 H (1362-1363 M), ia berangkat ke Granada
dan diangkat oleh penguasa Bani Ahmar sebagai duta negara di Castillah. Akan
tetapi tidak lama setelah itu, hubungannya dengan Sulthan retak. Pada 766 H
(1364 M) dia pergi di Bijayah dan diangkat penguasa Bani Hafsh, menjadi perdana
menteri. Namun, setahun kemudian Bijayah jatuh. Setelah itu banyak jabatan telah
didudukinya di berbagai kerajaan, seperti dinasti Bani Abd al-Wad, Bani Hafsh,
Bani Marin dan Bani Ahmar di Granada.
Bosan dengan kehidupan politik, dia akhirnya mengasingkan diri di Qal'at
ibn Salamah dan menetap di sana sampai 780 H (1378 M). Di sinilah dia
mengarang kitab monumentalnya tersebut, yang terdiri dari tujuh jilid besar.
Kitab ini berisi kajian sejarah, dan didahului oleh sebuah pembahasan
tentang masalah-masalah sosial manusia yang dikenal dengan nama Muqaddimah
yang merupakan jilid pertama dari kitab al-'ibar.7 Kitab Muqaddimah membuka
lebar-lebar jalan menuju bahasan ilmu-ilmu sosial. Oleh karena itu, dalam sejarah
Islam, dia dipandang sebagai peletak dasar ilmu-ilmu sosial dalam Islam.
Pada 780 H (1378 M), Ibn Khaldun kembali ke tumpah darahnya, Tunisia.
Di sini dia berusaha merevisi atas kitabnya itu. Pada tahun 784 H (1382 M), ia
berangkat ke Iskandaria dengan maksud menghindari kegalauan dunia politik di
7
Yves Lacoste,Ibn Khaldun: The Birth and The Past of the Third World, (London: Verso, 1984), h.
59; Lihat juga Effat al-Sharqawi,Filsafat Kebudayaan Islam, h. 323-324.
5
Maghrib. Dari sana dia pergi ke Kairo. Di al-Azhar ia membentuk halaqah,
memberi kuliah. Pada 786 H (1384 M), raja menunjuknya menjadi dosen fiqh
mazhab Maliki di madrasah al-Qamhiyah, dan setelah itu diangkat menjadi ketua
pengadilan kerajaan. Kemudian, raja mengangkatnya menjadi dosen di berapa
madrasah, termasuk di Khanqah Baibars. Pada 789 H (1387 M), ia menunaikan
ibadah haji dan kembali ke Kairo tahun berikutnya. Pada tahun 801 H (1399 M) ia
kembali diangkat sebagai ketua pengadilan, tetapi tiga bulan setelah itu, ia
mengundurkan diri. Pada tahun 803 (1401 M), ia ikut menemani Sultan ke
Damaskus dalam satu pasukan untuk bertahan terhadap serangan Timur Lenk.
Selama di Mesir dia kembali merevisi dan menambah pasal-pasal kitab
Muqaddimah dan al-'Ibar. Peristiwa-peristiwa terbaru dimasukkannya, demikian
juga temuan-temuan ilmiahnya, seperti konsep-konsep sosiologis.8
C. Pendekatan Ibn Khaldun dalam Memahami Realitas Sosial
Di dalam mengantar kitab Muqaddimah-nya Ibn Khaldun membagi sejarah
ke dalam dua aspek: aspek lahir dan aspek batin.9 Secara lahir, sejarah tidak lebih
daripada berita-berita tentang peristiwa-peristiwa. Sedangkan secara batin
(hakikat)-nya, dalam sejarah terkandung pengertian observasi mengenai penyebab
(ta’lil) dan usaha mencari kebenaran asal-usul (mabadi’) suatu peristiwa, serta
pengetahuan yang dalam tentang “bagaimana” (‘ilmun bi kayfiyyat al-haqa’iq) dan
“mengapa” (asbab) peristiwa itu terjadi.10
Berbeda dengan para sejarawan yang sezaman dengannya dan bahkan
juga dengan sebagian sejarawan masa kini, Ibn Khaldun memperkenalkan
interpretasi sosial yang integral dalam melihat peristiwa sejarah. Ibn Khaldun
berupaya mengkaji hubungan antara lingkungan dengan kehidupan sosial, gejalagejala
ekonomis,
dan
berupaya
menginterpretasikan
hukum-hukum
yang
’Asimi membagi masa penulisan karya ibn Khaldun, al-’Ibar ini, menjadi tiga periode, yaitu (1)
masa-masa perenungan dengan mengamati perilaku suku Barber sekitar 776 H/1375, (2) periode di Tunis,
ketika ia melakukan penambahan-penambahan seperlunya, kira-kira tahun 780 H, dan (3) masa
penyempurnaan di Mesir hinga berakhirnya penulisan di akhir tahun 807 H. Husain ‘Asimi, Ibn Khaldun
Muarrikhan, (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, 1991), h. 122-127.
9
Zainab al-Khudhairi, Filsafat sejarah Ibn Khaldun, h. 3-4; Abd al-Rahman ibn Khaldun,
Muqaddimah ibn Khaldun, (Beirut: Dar al-Fikr, tanpa tahun), h. 3-4 dan 9.
10
Husain ‘Asimi, Ibn Khaldun Muarrikhan ..., h. 112-113; 7Yves Lacoste, Ibn Khaldun: The Birth
and ..., h. 148-149.
8
6
mengendalikannya. Menurutnya, masyarakat manusia merupakan kelompok
politik, di mana sistem politik di dalamnya berkaitan erat dengan corak-corak
geografis dan ekonomis.11
Ibn Khaldun yang memiliki pengetahuan luas tentang khazanah filosofis
kaum Muslimin itu mampu mengasaskan suatu aliran rasional yang realistis dalam
menganalisa hukum-hukum masyarakat manusia, pada masa itu. Berkenaan
dengan hukum-hukum umum yang mengendalikan sejarah itu, Ibn Khaldun sendiri
berkata: "Dalam karya ini aku uraikan hal ihwal kebudayaan dan peradaban, serta
hal-hal yang berkenaan dengan masyarakat manusia. Ini semua akan membuat
anda memahami segala penyakit makhluk dan penyebabnya, dan mengetahui
bagaimana para ahli tentang negara-negara memasuki pintu-pintu gerbangnya".
Dalam karyanya itu, Ibn Khaldun berupaya menekankan interpretasi kultural
terhadap sejarah. Mungkin karakteristik terpenting dari metode Ibn Khaldun adalah
perhatiannya yang besar terhadap hukum-hukum sosial, dalam mana fenomenafenomena historis tunduk padanya. Fenomena sejarah, menurut Ibn Khaldun,
dikendalikan oleh hukum-hukum tetap yang konstan, seperti halnya fenomenafenomena alam. Ini berarti bahwa setiap peristiwa pasti memiliki karakter dan
kondisi-kondisi spesifik.
Dalam menyingkapkan hukum-hukum yang bernaung di bawah fenomena
historis itu, Ibn Khaldun selalu mendasarkan kajiannya pada prinsip-prinsip
kebudayaan atau sosiologi. Perhatiannya ditunjukkan terhadap interpretasi sosial
terhadap sejarah, dengan berdasarkan prinsip-prinsip kebudayaan dan hukumhukum perkembangan. Teori ini secara ringkasnya, seperti dikemukakan Ibn
Khaldun, lebih cenderung pada interpretasi sosial terhadap sejarah. Lebih jauh lagi
teori ini, mengukuhkan kausalitas sosial dan kultural.
Dalam menyusun
informasi sejarah
itu semua, dia menggunakan
sistematika yang tidak biasa pada masa itu. Dia sadar betul bahwa apa yang
dilakukannya itu merupakan hal yang baru, dan dia yakin bahwa dengan cara baru
11
Berkenaan dengan tabiat perkembangan ide sejarah di tangan Ibn Khaldun, lihat Effat alSharqawi,Filsafat Kebudayaan Islam, h. 323-341
7
ini akan tercapai makna dan tujuan pengkajian sejarah. Oleh karena itu,
menurutnya, apa yang ditulisnya itu bukanlah ilmu retorika yang hanya berusaha
memuaskan massa dan bukan pula ilmu politik perkotaan, yang biasanya
berhubungan dengan administrasi suatu daerah atau kota dalam kaitannya dengan
syarat-syarat etis dan filosofis. Berkenaan dengan itu dia berkata: "Rupanya ilmu
pengetahuan ini adalah cabang baru yang timbul dengan serta-merta.12
Ilmu Baru yang dimaksud Ibn Khaldun itu, oleh sebagian ilmuwan, disebut
filsafat sejarah yang di Eropa baru dikenal beberapa abad kemudian.13 Dalam
pengertian yang paling sederhana, filsafat sejarah adalah tinjauan terhadap
peristiwa-peristiwa historis secara filosofis untuk mengetahui faktor-faktor esensial
yang
mengendalikan
mengikhtisarkan
peristiwa-peristiwa
hukum-hukum
umum
historis
yang
itu,
tetap,
untuk
yang
kemudian
mengarahkan
perkembangan berbagai bangsa dan negara dalam berbagai masa dan generasi.
Ibn Khaldun sendiri tidak menggunakan ungkapan "filsafat sejarah" sebagai
sebutan kajiannya, tetapi menyebutnya dengan nama "al-`umrân al-basyarî", yang
secara harfiah berarti peradaban masyarakat manusia. Meskipun dia pun
menyatakan bahwa itu menjadi bejana bagi filsafat dan wadah bagi sejarah". 14
Menurut Zainab al-Khudhairi, banyak para peneliti yang berpendapat bahwa
yang dimaksud Ibn Khaldun dengan al-`umrân adalah peradaban/kebudayaan,
sehingga ilmu “baru” itu, oleh sebagian ilmuwan disebut juga, ilmu kebudayaan.
Kebudayaan adalah seperangkat karakteristik yang berkenaan dengan kehidupan,
pikiran, artistik, moral, material, dan politik suatu negeri atau masyarakat tertentu.
Kebudayaan adalah pula salah satu obyek bahasan filsafat sejarah. Akan tetapi,
sebagaimana telah disebutkan di atas, banyak pula para ilmuwan yang
Abd al-Rahman Ibn Khaldun, Muqaddimah ibn Khaldun, 36-37; Husain ‘Asimi, Ibn Khaldun
Muarrikhan ..., h. 144
13
Banyak tokoh pemikir dunia yang memang memandang Ibn Khaldun sebagai pengasas filsafat
sejarah. Di antara mereka adalah Arnold Toynbee (sejarawan Inggris terkenal), Robert Flint (guru besar
sejarah pada Universitas Edinburgh), Gaston Bouthoul (orientalis Prancis), Carra de Vaux (orientalis Prancis),
Yves Lacoste, Sathi` al-Hushri, Muhammad Abdullah Enan, dan `Abd al-Raziq al-Makki, semuanya
sejarawan terkenal di negeri masing-masing. Zainab al-Khudhairi, Filsafat Sejarah ibn Khaldun, h 43.
14
Abd al-Rahman Ibn Khaldun, Muqaddimah ibn Khaldun, h. 7-8.
12
8
menyatakan bahwa “ilmu baru”-nya Ibn Khaldun itu analog dengan sosiologi
dewasa ini.15
Apapun istilah yang akan kita lekatkan kepada ilmu ‘umran al-basyari itu,
yang jelas, menurut Ibn Khaldun sendiri, ilmu itu dimaksudkan untuk memahami
realitas sosial, realitas sejarah.
Dengan menggunakan kerangka berpikir dan pendekatan sejarah, ada dua
tahap yang harus dilalui seseorang ilmuwan untuk memahami realitas sosial
menurut Ibn Khaldun --sesuai dengan pembagiannya terhadap ilmu sejarah
menjadi aspek lahir dan aspek batin. Kedua tahap itu adalah sebagai berikut:
1. Rekonstruksi Peristiwa dan Realitas Sosial yang Benar
Kalau dewasa ini ilmu sejarah itu secara garis besar dapat dibedakan
menjadi sejarah naratif dan sejarah analisis,16 sejarah “lahiriyah” yang dimaksud
oleh Ibn Khaldun dapat dianalogkan dengan sejarah naratif, yang biasanya disebut
juga dengan sejarah sebagai cerita dan sejarah prosesual. Adapun sejarah
“batiniyah” dapat dianalogkan dengan sejarah analisis, yang secara bergantian
dapat digunakan istilah-istilah sejarah non-naratif, sejarah saintifik, sejarah
struktural, sejarah multi-dimensional approach, sejarah yang problem oriented, dan
sejarah akademik.
Sejarah naratif yaitu ilmu sejarah yang menghasilkan narasi tentang
peristiwa masa lampau, yang kecuali mengungkapkan secara menonjol dan detail
fakta mengenai apa, siapa, kapan, dan di mana, juga menerangkan bagaimana
sesuatu telah terjadi.17 Sejarah naratif hanya memberikan uraian logis mengenai
suatu proses perkembangan terjadinya suatu peristiwa atau situasi berdasarkan
15
Zainab al-Khudhayri, Filsafat sejarah Ibn Khaldun, h. 62-63; Muhammad Abdullah Enan, Ibn
Khaldun: His Life and Works, (New Delhi: Kitab Bhavan, 1979), h. 110; Majid Fakhry, Sejarah Filsafat
Islam, Terjemahan dari A History of Islamic Philosophy oleh R. Mulyadhi Kartanegara, (Jakarta: Pustaka
Jaya, 1986), h. 442
16
Untuk kajian lebih lanjut tentang hal ini, lihat di antaranya Sartono KartodirdjoPendekatan Ilmu
Sosial dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta: PT Gramedia, 1993).; Taufik Abdullah dan Abdurrachman
Surjomihardjo (ed.), Ilmu Sejarah dan Historiografi: Arah dan Perspektif, (Jakarta: Gramedia, 1985)
17
Dalam hal ini, ibn Khaldun sama dengan Leopold van Ronke (w. 1886 M) yang berpendapat
bahwa tujuan utama mengkaji sejarah ialah untuk mewujudkan (atau menggambarkan) suatu peristiwa
sebagaimana ia sebenarnya berlaku, dan untuk itu langkah penting yang harus ditempuh adalah analisis
terhadap sumber-sumber infromasi yang dikaji.
9
"common sense" (akal sehat), "imajinasi", ketrampilan mengekspresikan diri dalam
bahasa yang teratur, serta pengetahuan fakta yang berkaitan dengan proses, yaitu
bagaimana proses terjadinya dari awal sampai akhir (genesis-nya).
Berbeda dengan para sejarawan Arab Muslim sebelumnya, bagi Ibn
Khaldun, sejarah bukan hanya membahas ekspansi, peperangan, dan suksesi;
tetapi juga mencakup perubahan sosial di dalam suatu masyarakat dengan
berbagai macam ragamnya. Seluruh aspek yang mencakup informasi tentang
aspek-aspek ekonomi dan sejarah ilmu pengetahuan adalah juga obyek kajian
sejarah. Oleh karena itu, menurut Sathi’ al-Husri, obyek sejarah yang dibahas oleh
Ibn Khaldun mendekati “history of civilization”.18
Bagi Ibn Khaldun, sejarah “lahiriyah” ini, meskipun belum sepenuhnya
mampu menghantarkan orang untuk memahami realitas sosial secara sempurna,
tetapi merupakan suatu hal yang penting, dan merupakan langkah awal yang
sangat menentukan dalam memahami realitas sosial. Oleh karena itulah, Ibn
Khaldun, menghimbau agar orang untuk berhati-hati dalam menerima suatu
informasi tentang realitas sosial dan berharap agar bersifat kristis terhadapnya.
Karena itulah, di dalam karyanya, Muqaddimah, dia dengan panjang lebar
membahas persoalan al-ta’dil dan al-tajrih, metode kritik yang sejak lama sudah
digunakan oleh ahli hadits; serta membahas tentang sebab-sebab terjadinya
kesalahan yang dilakukan oleh sejarawan.
Di dalam pendahuluan kitab Muqaddimah-nya, Ibn Khaldun menyebutkan
beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang pengamat sosial bila ingin
tulisannya tidak ditolak oleh pembaca karena dianggap tidak benar. Di antaranya,
dia harus mengecek berita tentang suatu peristiwa dengan prinsip-prinsip dasar
yang telah dia ketahui.19 Ini dalam konteks ilmu sejarah disebut kritik sumber.
Pertama-tama langkah seorang pengamat sosial, dalam hal menerima informasi,
menurut Ibn Khaldun, adalah menilai apakah peristiwa yang diungkapkan dalam
informasi itu sendiri merupakan hal yang mungkin atau mustahil, memilah menurut
18
Husain ‘Asimi, Ibn Khaldun Muarrikhan, h. 144; Sathi’ al-Husri, Dirasat ‘an Muqaddimah ibn
Khaldun, (Beirut: Dar al-Kitab al-’Arabi, 1986), h. 264
19
Abd al-Rahman Ibn Khaldun, Muqaddimah ibn Khaldun,h. 28.
10
rasio konsep posibilitas dan imposibilitas informasi sejarah. Langkah kedua,
menurutnya, adalah melakukan apa yang disebut dengan ilmu al-Ta’dil dan alTajrih.20 Ilmu ini dalam keilmuan Islam sangat dikenal dalam musthalah hadits,
yaitu ilmu untuk mengetahui apakah “berita” yang ditransmisikan oleh seorang
perawi dapat dipercaya atau tidak, melalui kajian terhadap perawi itu sendiri,
apakah orang yang dapat dipercaya, baik karena kejujurannya maupun karena
kekuatan ingatannya, atau tidak dapat dipercaya, baik kerana sifatnya yang
pembohong maupun daya ingatnya yang minim. Kepercayaan yang berlebihan
kepada pembawa berita sosial merupakan salah faktor yang menyebabkan
terjadinya kesalahan. Oleh karena itulah, menurut Ibn Khaldun, seorang ilmuwan
dalam membaca realitas sosial harus mengetahui keadaan dan latar belakang
sosial dan sejarah pelaku-pelaku dan orang-orang yang terlibat dalam peristiwa.
Sasarannya tidak lain adalah untuk melengkapi tentang sebab terjadinya setiap
peristiwa dan untuk mengenal asal muasal masing-masing.
Sejalan dengan itu, Ibn Khaldun mengingatkan, dalam membaca karyakarya ilmiah yang berhubungan dengan persoalan sosial, kita perlu berhati-hati,
apakah pengarangnya cukup neutral dalam menyikapi peristiwa yang sedang
dibahas. Ketika berbicara tentang sebab-sebab terjadinya kesalahan dalam
penulisan sejarah, Ibn Khaldun menyatakan, salah satu faktor itu adalah sikap
memihak (keberpihakan) kepada suatu kepercayaan atau pendapat”. Dia berkata:
Apabila pikiran dalam keadaan neutral, setiap orang biasanya ketika menerima
suatu keterangan akan menyelidiki dan menimbang-nimbangnya terlebih dahulu
sampai ia dapat menyapih kebenaran dan ketidakbenaran. Tetapi bilamana pikiran
seseorang itu berat sebelah kepada salah satu pendapat atau kepercayaan, maka
ia akan berpihak pada keterangan-keterangan yang menguntungkan pendapatnya.
Oleh karena itu sikap memihak akan menutup kejernihan pikiran, mencegah
penyelidikan dan pertimbangan yang benar, dan membuat orang cenderung
melakukan kesalahan".21
20
Abd al-Rahman Ibn Khaldun, Muqaddimah ibn Khaldun, h. 35
Abd al-Rahman Ibn Khaldun, Muqaddimah ibn Khaldun, h. 35; Zainab al-Khudhairi, Filsafat
Sejarah Ibn Khaldun, h 43.
21
11
Jadi, kesalahan itu bersumber dari kecenderungan orang untuk menerima
begitu saja berita yang sesuai dengan pendapat atau kepercayaannya, tanpa
penyelidikan terlebih dahulu. Atau, dengan terminologi ilmu jiwa, dikatakan bahwa
sebab kesalahan dalam hal ini merupakan faktor psikologis murni. Karena
penilaian-penilaian orang tersebut telah terpengaruh oleh pendapat-pendapat yang
telah
masuk
ke
pikirannya
sebelumnya,
yakni
pendapat-pendapat
yang
berkembang dalam masyarakat, yang berupa paham-paham yang mengarahkan
pemikiran orang perorang sehingga mempengaruhi penilaian mereka.
Dari sini dapat diketahui, bahwa karya-karya yang disajikan kepada kita
banyak yang mengandung kesalahan, sehingga bila pembacanya menerima
informasi yang terkandung di dalamnya dengan tidak kritis, dia pun akan menganut
pendapat yang salah. Secara lebih rinci, faktor-faktor yang yang dapat
menimbulkan kesalahan itu, menurut Ibn Khaldun, di antaranya adalah:
1. Keberpihakan kepada golongan atau ideologi tertentu.
2. Terlalu percaya kepada pembawa berita.
3. Ketidaksanggupan memahami apa yang dilihat dan didengar, sehingga
menghubungkannya dengan sesuatu yang tidak semestinya
4. Keterperosokan kepada perkiraan yang menyesatkan tanpa mempertimbangkan
“the law of nature” (tathbiqat al-ahwal ‘ala al-waqa’i’), yang biasanya disebabkan
terlalu memutlakkan "kebenaran" yang disodorkan penutur berita.
5. Ketidaksanggupan
menempatkan
dengan
tepat
suatu
kejadian
dalam
hubungannya dengan peristiwa-peristiwa lain yang sebenarnya, karena kabur
dan rumitnya keadaan.
6. Ambisi atau keinginan untuk menarik perhatian dan pujian massa.
7. Ketidak tahuan terhadap ‘ilm al-umran.
Bila seorang ilmuwan tidak mampu melepaskan diri dari faktor-faktor ini,
sangat mungkin apa yang dihasilkannya adalah gambaran yang keliru tentang
peristiwa-peristiwa sejarah dan realitas sosial. Sebaliknya, bila langkah-langkah
yang disarankan ini terpenuhi, maka rekonstruksi peristiwa sejarah dan realitas
sosial yang dilakukan oleh seorang penulis akan berhasil, namun itu pun baru
12
menunjukkan apa yang dinamakannya sebagai sejarah “lahiriyah”, penggambaran
secara naratif, dan itu saja dirasakan tidak memadai serta tidak memuaskan untuk
memahami realitas sosial, apalagi untuk megetahui persambungannya dengan
masa kini.
2. Ilmu ‘Umran al-Basyari: Menyelami Makna Batin Peristiwa
Seorang pengamat sosial, untuk sampai kepada pemahaman yang benar,
sebagaimana telah disebutkan, harus menyelamin batin (hakikat)-nya, dengan
melakukan observasi mengenai penyebab (ta’lil) dan usaha mencari kebenaran
asal-usul (mabadi’) suatu peristiwa, serta pengetahuan yang dalam tentang
“bagaimana” (‘ilmun bi kayfiyyat al-haqa’iq) dan “mengapa” (asbab) peristiwa itu
terjadi.
Dalam hal ini, Ibn Khaldun jauh mendahului zamannya. Sejalan dengan
gagasan Ibn Khaldun tentang sejarah ini, pengkajian sejarah dewasa ini tidak
semata-mata bertujuan menceritakan kejadian, tetapi juga menerangkan kejadian
itu dengan mengkaji sebab-sebabnya, kondisi lingkungannya, konteks sosiokulturalnya, singkatnya secara mendalam hendak diadakan analisis tentang faktorfaktor kausal, kondisional, kontekstual, serta unsur-unsur yang merupakan
komponen dan eksponen dari proses sejarah yang dikaji, serta faktor penyebab
yang melatar-belakangi gejala sejarah. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan sosial
dewasa ini, beserta berbagai perspektifnya yang inheren dalam pelbagai
bidangnya, setiap gejala sosial tampak sebagai kompleksitas yang mencakup
pelbagai aspek atau memiliki pelbagai dimensi. Agar pengamat sosial mampu
menganalisis atau mengekstrapolasikan (mengeluarkan) pelbagai fakta, unsur,
dan dimensi, sangat diperlukan alat-alat analisis. Namun, teori dan kerangka
konseptual yang dapat membantu para sejarawan itu dipinjam dari pelbagai ilmu.
Karena itulah sejarawan sekarang belajar dan memanfaatkan ilmu-ilmu sosial,
sebagai ilmu bantu dalam kajian sejarah.22
22
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), h. 4; bandingkan dengan
Taufik Abdullah, "Pengalaman yang berlalu, Tantangan yang Mendatang: Ilmu Sejarah di Tahun 1970-an dan
1980-an", dalam Harsja W. Bachtiar, dkk, Masyarakat dan Kebudayaan (Kumpulan Karangan untuk Prof. Dr.
13
Demikianlah, menurut Ibn Khaldun, untuk kepentingan analisis terhadap
gambaran sejarah itu diperlukan ilmu-ilmu lain (auxilaries sciences) yang
mendukung.23 Tanpa penguasaan terhadap ilmu-ilmu bantu itu, seseorang akan
gagal memahami realitas sosial. Berkenaan dengan sebab kesalahan dalam
membaca realitas sosial , dalam hal ini Ibn Khaldun menyatakan bahwa di antara
faktor penyebab kesalahan itu adalah: "Tidak mengetahui hukum-hukum watak
dan perubahan masyarakat. Padahal segala sesuatu, baik benda maupun
perbuatan, tunduk kepada hukum watak dan hukum perubahan. Seandainya si
pendengar memahami watak peristiwa dan perubahan yang terjadi, serta
kondisinya, maka pengetahuan seperti ini akan membantunya melebihi apa pun,
dalam menguraikan setiap peristiwa yang dicatatnya dan untuk memilih kebenaran
dari kebohongan yang terkandung dalam catatan itu".24 Menurut Ibn Khaldun,
setiap fenomena dalam wujudnya, baik fenomena alam maupun fenomena sosial,
mempunyai hukum-hukum pengendaliannya, terlepas dalam keadaan mapan
maupun berubah. Hukum-hukum ini hendaknya diketahui para pengamat sosial
agar mereka mampu membedakan antara berita yang benar dan berita yang
palsu. Bahkan Ibn Khaldun menyatakan bahwa faktor ini merupakan faktor yang
paling penting.
Sejalan dengan itu, di dalam pendahuluan kitab Muqaddimah-nya, Ibn
Khaldun menyebutkan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang
sejarawan bila ingin tulisannya tidak ditolak oleh pembaca karena dianggap tidak
benar. Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut.25
1) Sarjana yang terjun ke lapangan sejarah membutuhkan pengetahuan tentang
prinsip-prinsip politik, watak segala yang ada, perbedaan bangsa-bangsa,
tempat-tempat dan periode-periode dalam hubungannya dengan sistem
Selo Sumardjan, (Jakarta: Penerbit Djambatan, tt.); Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu So-sial dalam
Metodologi Sejarah, h. 118.
23
Hal ini dapat dipahami dari ungkapannya bahwa ilmu sejarah membutuhkan Ma’akhidz
muta’addidah wa ma’arif mutanawwi’ah, Abd al-Rahman Ibn Khaldun, Muqaddimah ibn Khaldun, h. 9; lihat
juga komentar Husain ‘Asimi, Ibn Khaldun Muarrikhan, h. 102-103; dan Franz Rosenthal, Muqaddima ibn
Khaldun” An Introduction to History, (Oxford: Oxford University Press, 1967), h. 37.
24
Abd al-Rahman Ibn Khaldun, Muqaddimah ibn Khaldun, h. 36. Zainab al-Khudhairi, Filsafat
Sejarah Ibn Khaldun, h 49-50.
25
Abd al-Rahman Ibn Khaldun, Muqaddimah ibn Khaldun,h. 28
14
kehidupan, nilai-nilai akhlak, kebiasaan, sekte-sekte mazhab-mazhab, dan
segala ihwal lainnya, Selanjutnya, dia perlu memiliki pengetahuan bandingan
tentang situasi-situasi dan kondisi-kondisi masa silam dalam semua aspek ini.
2) Dia harus membandingkan kesamaan-kesamaan, atau membedakan keadaankeadaan, kini dan masa lalu. Dia harus mengetahui sebab timbulnya kesamaan
dalam beberapa situasi, dan sebab timbulnya perbedaan dalam situasi lainnya.
Dia harus mengetahui perbedaan sumber dan awal timbulnya negara-negara,
millah-millah (kelompok-kelompok agama), sebagaimana dia harus mengetahui
perbedaan sumber dan permulaan timbulnya alasan dan dorongan yang
membuat semua itu terbentuk.
Nampak jelas, melalui tulisan Ibn Khaldun, bahwa untuk kepentingan
memahami realitas sosial dan menganalisisnya, seseorang membutuhkan banyak
sumber, ilmu dan pengetahuan yang beragam. Dalam menyingkapkan hukumhukum yang bernaung di bawah fenomena historis itu, Ibn Khaldun selalu
mendasarkan kajiannya pada prinsip-prinsip ilmu, yang disebutnya dengan
al.umran al-basyari, yang secara bergantian “diterjemahkan” oleh para ilmuwan
sosial belakangan dengan ilmu peradaban, ilmu kebudayaan atau sosiologi atau
filsafat sejarah. Karakteristik terpenting dari metoda Ibn Khaldun ini adalah
perhatiannya yang besar terhadap hukum-hukum sosial, dalam mana fenomenafenomena sosial tunduk padanya,26dan hukum-hukum itu dapat diturunkan kepada
hukum-hukum geografis, ekonomis, dan kebudayaan, atau kepada suatu
“dialektika” tertentu dari perkembangan historis.27
Dengan demikian, dia menetapkan studi teoritis tentang kajian sosial di atas
suatu fondasi yang kokoh, yaitu pengetahuan geografis, politis, dan kultural.
Norma-norma pengetahuan seperti itu, begitu juga hukum yang mengendalikan
peristiwa atau proses tempat beranjak, pada dasarnya bersifat rasional atau
alamiah.28
’Effat al-Sharqawi, Filsafat Kebudayaan Islam, h. 333
Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, h. 449
28
Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, h. 449
26
27
15
D. Bagaimana Pemimpin Harus Memandang dan Bersikap
Berbeda dengan St. Augustine dan pelanjutnya Giovanni Batista Vico
(1668-1749) yang berpendapat bahwa perubahan-perubahan sosial, terutama
yang berkenaan dengan kejayaan dan keruntuhan suatu negara, lebih disebabkan
oleh kehendak Tuhan atau karya Ilahi; Ibn Khaldun tidak lagi mengembalikan
jatuh-bangunnya sebuah kerajaan kepada faktor-faktor tangan Tuhan, tetapi
kepada faktor ‘ashabiyyah (solidaritas sosial)29. Fakta sejarah memperlihatkan
kepada kita bahwa wewenang kerajaan seringkali dipertahankan melalui kekuatan
atau bersandar pada dasar primitif solidaritas kesukuan (‘ashabiyyah). Hukumhukum yang menentukan “monarki alamiah” adalah murni rasional, bukan takdir
Ilahi30
Ibn Khaldun juga mengingatkan, agar para pemimpin, sebagaimana juga
halnya dengan para ilmuwan, harus bersikap kritis terhadap berita yang
diterimanya, baik dari ilmuwan, karena mereka sering juga melebih-lebihkan berita,
apalagi dari “kaki tangannya” karena mereka sering “mengatakan apa yang tidak
sebenarnya terjadi” karena di dalam dirinya terdapat kecenderungan untuk
mendekatkan diri kepada pemegang kekuasaan dan jabatan.31
Konsepsi ilmiah tentang fenomena historis, yang dikembangkan ibn
Khaldun, tidak banyak memberi ruang lingkup bagi peran pahlawan atau juga
pemimpin, dalam persoalan interpretasi historis, tetapi lebih cenderung pada
interpretasi sosial . Dia meletakkan individu dalam sejarah dalam kedudukannya
sebagai jawaban riil terhadap kondisi masyarakatnya. Teori ini, secara gamblang,
mengukuhkan kausalitas sosial dan kultural.
Sehubungan dengan hal ini, tentu saja kita dapat berkesimpulan bahwa
dalam pandangan Ibn Khaldun, pemimpin yang kuat adalah pemimpin yang
menjalankan kebijakan-kebijakan yang sejalan dengan situasi dan kondisi
Muhammad Abdullah Enan, Ibn Khaldun: His Life and Works, h. 110; Sathi’ al-Husri, Dirasat ‘an
Muqaddimah ibn Khaldun, h. 191
30
Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, h. 450; Abd al-Rahman ibn Khaldun, Muqaddimah ..., h.
190-191
31
Zainab al-Khudhairi, Filsafat sejarah Ibn Khaldun, h. 48-50
29
16
masyarakat; dalam pengertian kebijakan-kebijakan yang dijalankan merupakan
jawaban riil dari problema masyarakatnya, dan untuk itu dia harus mendengar
aspirasi mereka.
Pemikiran filsafat sejarah Ibn Khaldun terlihat dalam pendapatnya yang
menyatakan bahwa, masyarakat adalah makhluk historis yang hidup dan
berkembang sesuai dengan hukum-hukum yang khusus berkenaan dengannya.
Hukum-hukum tersebut dapat diamati dan dibatasi lewat pengkajian terhadap
sejumlah fenomena sosial. Hukum-hukum itu mengarahkan perkembangan
berbagai bangsa dan negara dalam berbagai masa dan generasi. Di antara faktorfaktor yang mengendalikan sejarah itu, menurut Ibn Khaldun, adalah ‘ashabiyah
(fanatisme kesukuan, nasionalisme). ‘Ashabiyah merupakan asas berdirinya
negara. Dia juga berpendapat bahwa faktor ekonomi adalah faktor terpenting yang
menyebabkan terjadinya perkembangan masyarakat. Apabila dilihat dari aspek ini,
maka menurut Zainab al-Khudhairi, Ibn Khaldun dapat dipandang sebagai salah
seorang penyeru materialisme sejarah. Namun, berbeda dengan Karl Marx, Ibn
Khaldun tidak memandang fenomena-fenomena sosial dan perubahan-perubahan
historis hanya dari aspek ekonomi belaka. Ia juga meninjaunya dari sudut dan
faktor-faktor lainnya.
Teori ‘ashabiyah ini merupakan poros sebagian besar penelitian-penelitian
sosial dan historis yang dilakukannya. Ia menjadikan ikatan itu sebagai obyek
pengkajiannya. Hilangnya ‘ashabiyyah (in group feeling) dapat dikatakan
merupakan akibat dari kebijakan yang salah sasaran dari penguasa kerajaan
sendiri. Pemimpin kerajaan yang tidak melakukan sharing of power kepada
pengikut shabi‫ل‬yyahnya, akan dicemburui oleh rakyatnya. Hal ini akan
menimbulkan adanya gap antara penguasa kerajaan dan pengikut ‘ashabiyyah,
atau bahkan rakyat secara keseluruhan.
Di antara bentuk kebijakan yang
merugikan penguasa, sebagaimana yang sering dilakukan penguasa Islam di
Timur Tengah, ketika ‘ashabiyyah sudah mulai memudar, adalah “mengimpor”
tentara luar untuk menahan akibat gap yang terjadi antara penguasa dan
bawahan. Dengan demikian dibutuhkan anggaran tambahan untuk membayar
resimen bayaran ini, sehingga kekuatan “luar dan asing” itulah pada akhirnya yang
17
memegang kekuasaan riil. Akibat lebih lanjut, akan terjadi revolusi yang dapat saja
menggulingkan kerajaan dan digantikan dengan kerajaan yang lain, yang bertoang
pada ‘ashabiyyah yang baru.
Ibn Khaldun berupaya memaknai gejala-gejala dengan interpretasi sosial
yang integral, dengan mengacu kepada hukum-hukum (kekuatan sejarah) yang
mengendalikannya, dan memandang pahlawan hanya sebagai jawaban sosial
yang riil terhadap tantangan masanya. Bukan pemimpin yang menjadi aktor
perubahan, tetapi sebaliknya justru kehadiran pemimpin merupakan produk dari
perubahan sosial. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pemimpin adalah
produk dari kekuatan asali solidaritas kesukuan (‘ashabiyyah) yang memberi
kelompok itu kesatuan primordialnya. Sang raja akan tergantung pada solidaritas
ini, dan juga pada prinsip-prinsip keadilan rasional dan keagamaan dalam
menghimpun kekuatannya. Ibn Khaldun kemudian mengingatkan, bila solidaritas,
keadilan rasional, dan nilai-nilai keagamaan itu ditinggalkan, maka negara akan
dilanda oleh korupsi, pemborosan kekayaan rakyat untuk melampiaskan
kesenangan oleh penguasa bersama para pendukungnya dan lebih lanjut oleh
perselisihan internal dan keengganan hidup bersama, dan akhirnya negara segera
memasuki kemunduran.32
Walaupun cara pandangnya demikian rupa terhadap realitas sosial,
sebagaimana telah disebutkan, Ibn Khaldun mengemukakan preferensi, dan
preferensi itu dipungutnya dari nilai-nilai Islam. Misalnya, dia berpendapat bahwa
‘ashabiyyah yang disertai agama akan bertambah kuat, sehingga golongan akan
bertambah bersatu. Rasa agama yang melemah akan melemahkan ‘ashabiyyah.
Ibn Khaldun juga mengingatkan, “monarki alamiah” hanya mengurus
kebutuhan-kebutuhan alamiah dan jasmaniah manusia saja, padahal manusia
mempunyai kecenderungan ganda, terhadap dunia ini dan dunia yang lain yang
lebih tinggi. Kecenderungan yang terakhir ini hanya bisa dicapai dengan
pemerintahan Nabi atau para penerusnya (khilafah).
32
Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, h. 450; Abd al-Rahman ibn Khaldun, Muqaddimah ibn
Khakldun, h. 452
18
Di sini terlihat, bahwa Ibn Khaldun tidak bisa melalaikan realitas agama
dalam masyarakat. Karena itu ia pun menaruh perhatian yang besar terhadap
agama, dan dampak-dampak pribadi yang aktif dan memiliki pengalaman
keagamaan yang luas. Dia berpendapat, perhimpunan politik mensyaratkan
adanya seorang penguasa yang mencegah (wazi’) kecenderungan individu untuk
mengadakan agresi agar tidak melanggar hak-hak atau keamanan orang lain.
Dalam hal ini, keabsahannya harus dicari dalam otoritas hukum agama (al-syar’).33
Oleh karena itulah, meskipun menurutnya negara tidak bergantung pada
agama, Ibn Khaldun syarat kepala negara, adalah sebagai berikut:
1. Berpengetahuan disertai kesanggupan untuk mengambil keputusan sesuai
syari’at.
2. Seorang yang adil (memiliki sifat ‘adalah); bersikap jujur, berpegang kepada
keadilan, dan mempunyai sifat-sifat moral yang baik, sehingga perkataannya
dapat dipegang dan ucapannya dapat dipercaya.
3. Berkesanggupan dalam menjalankan tugas-tugas yang dituntut oleh jabatan
kepala negara, termasuk melaksanakan hukuman yang diputuskan secara
konsekuen. Dia harus menegakkan hukum, dan harus sanggup untuk, kalau
perlu, pergi dan memimpin peperangan.
4. Secara
fisik
dan
mental,
harus
bebas
dari
cacat-cacat
yang
tidak
memungkinkan ia menjalankan tugas sebagai kepala negara dengan baik.34
E. Kesimpulan/Penutup
Dalam memahami berita dan informasi tentang peristiwa sosial, seseorang
berhadapan dengan dua aspek, Yang pertama, aspek lahiriyah, yaitu kemampuan
merekonstruksi realitas sosial sendiri sebagaimana yang sebenarnya terjadi.
Aspek kedua, aspek bathiniyyah, yaitu analisis terhadap realitas sosial yang telah
direkonstruksi berdasarkan berita tentang peristiwa sosial tersebut, terutama
menyangkut kausalitas, asal mula, sumber, dan proses perubahan-perubahan
sosialnya. Untuk melakukan analisis yang benar diperlu ilmu al-’umran al-basyari.
33
34
Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, h. 450
Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negara Barat, h. 73.
19
Untuk menjalankan ilmu al-’umran al-basyari itu, dibutuhkan ilmu-ilmu bantu, di
antaranya geografi, sosiologi, peradaban, karakter kebudayaan, ekonomi, dan
prinsip-peinsip dan hukum-hukum kebiasaan dan politik, tabiat-tabiat makhluk
pada umumnya dan manusia pada khususnya.
Pendekatan dan teori Ibn Khaldun ini, diakui oleh para ilmuwan mutakhir
sebagai sangat rasional dan ilmiah. Dia tidak berpendapat bahwa perubahanperubahan sosial, termasuk jatuh-bangunnya sebuah kerajaan, adalah akibat
takdir Ilahi. Konsepsi ilmiah tentang fenomena historis yang dikembangkannya
tidak banyak memberi ruang lingkup bagi peran pemimpin, dalam persoalan
interpretasi historis, tetapi lebih cenderung pada interpretasi sosial. Dia meletakkan
individu dalam sejarah dalam kedudukannya sebagai jawaban riil terhadap kondisi
masyarakatnya.
Manusia adalah makhluk sosial yang hidup dan berkembang sesuai dengan
hukum-hukum yang berkenaan dengannya. Hukum-hukum itu mengarahkan
perkembangan berbagai bangsa dan negara dalam berbagai masa dan generasi.
Di antara hukum yang mengendalikan sejarah itu adalah ‘ashabiyah. Hilangnya
‘ashabiyyah adalah akibat dari kebijakan yang salah sasaran dari penguasa
kerajaan sendiri. Dan itu dapat mengakibatkan runtuhnya kerajaan.
Karena perubahan sosial itu bukan taqdir dan jatuh bangunnya kerajaan
disebabkan oleh faktor ‘ashabiyyah yang sangat rasional, serta hilangnya
‘ashabiyyah merupakan akibat kebijakan yang salah, maka seorang pemimpin,
sebagaimana halnya para ilmuwan, harus bersikap kritis terhadap berita yang
diterimanya, dan dapat memahami realitas sosial, terutama politik. Sehingga
dengan demikian, sang pemimpin dapat melahirkan dan menjalankan kebijakan
yang sejalan dengan siatuasi dan kondisi masyarakat; dalam pengertian kebijakan
yang merupakan jawaban riil dari problema dan sesuai pula denga aspirasi
masyarakat.
Kebijakan yang diambil itu harus disesuaikan dengan ajaran agama, karena
‘ashabiyyah yang disertai agama akan bertambah kuat, sehingga golongan akan
bertambah bersatu, dan rasa agama yang melemah akan melemahkan
20
‘ashabiyyah. Sejalan dengan itu, seorang pemimpin dituntut, (1) berpengetahuan
dan sanggup berijtihad, (2) bersikap jujur, berpegang kepada keadilan, mempunyai
sifat-sifat moral yang baik, (3) sanggup menjalankan tugas secara konsekuen,
menegakkan hukum, dan (4) sehat fisik, mental dan spiritual. Wa Allah a’lam bi alshawab.
21
DAFTAR BACAAN
Abdullah, Taufik dan Abdurrachman Surjomihardjo (ed.), Ilmu Sejarah dan
Historiografi: Arah dan Perspektif, (Jakarta: Gramedia, 1985)
‘Asimi, Husain, Ibn Khaldun Muarrikhan, (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, 1991)
Enan, Muhammad Abdullah, Ibn Khaldun: His Life and Works, (New Delhi: Kitab
Bhavan, 1979)
Fakhri, Majid, Sejarah Filsafat Islam, Terjemahan dari A History of Islamic
Philosophy oleh R. Mulyadhi Kartanegara, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986)
al-Husri, Sathi’, Dirasat ‘an Muqaddimah ibn Khaldun, (Beirut: Dar al-Kitab al’Arabi, 1986)
ibn Khaldun, ‘Abd al-Rahman, Muqaddimah ibn Khaldun, (Bairut: Dar al-Fikr, tanpa
tahun)
Issawi, Charles, Filsafat Islam tentang Sejarah, terjemahan dari An Arab
Philosophy of History oleh Mukti Ali, (Jakarta: Tintamas, 1976)
Lacoste, Yves, Ibn Khaldun: The Birth and The Past of the Third World, (London:
Verso, 1984)
Lawrence. Bruce (ed.), Ibn Khaldun and Islamic Ideology, (Leiden: E.J. Brill, 1984)
22
Kartodirdjo, Sartono, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta:
PT Gramedia, 1993)
Noer, Deliar, Pemikiran Politik di Negeri Barat, (Bandung: Mizan, 1999),
Rosenthal, Franz, “Ibn Khaldun in His Time (May 27, 1323-March 17, 1466)” dalam
Bruce Lawrence, Ibn Khaldun and Islamic Ideology, (Leiden: E.J. Brill, 1984)
Rosenthal, Franz, Muqaddima ibn Khaldun” An Introduction to History, (Oxford:
Oxford University Press, 1967)
al-Sâ’âtî, Hasan, ‘Ilm al-Ijtimâ’ al-Khaldûnî: Qawâ’id al-Manhaj, (Beirut: Dâr alNahdhah al-’Arabiyyah, 1981)
al-Sharqawi, Effat, Filsafat Kebudayaan Islam, Terjemahan dari Falsafah alHadharah al-Islamiyyah,(Bandung: Penerbit Pustaka, 1986)
Toynbee, Arnold J., A Study of History, (Oxford: Oxford University Press, 1955)
Wafi, Ali Abdul Wahid, Ibn Khaldun: Riwayat dan Karyanya, terjemahan dari Abd
al-Rahman ibn Khaldun oleh Ahmadi Toha, (Jkarta: PT Grafiti Press, 1985)
23
Download