BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia, baik di negara maju (industri) maupun di negara berkembang. Insiden maupun prevalensi yang sebenarnya diberbagai negara tidak diketahui dengan pasti. Berdasarkan laporan-laporan yang dikumpulkan oleh WHO (World Health Organization), setiap tahun di seluruh negara terdapat 250 juta penderita baru yang meliputi penyakit gonorhoe, sifilis, herpes genetalis dan jumlah tersebut menurut hasil analisis WHO cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Mata rantai penularan penyakit hubungan seksual adalah pada pekerja seks komersial (PSK) yang dapat menyusup dalam kehidupan rumah tangga. Perubahan perilaku seksual telah menyebabkan timbulnya berbagai masalah yang berkaitan dengan penyakit hubungan seksual. Penyakit hubungan seksual dapat menimbulkan infeksi akut yang memerlukan penanganan yang tepat oleh karena akan menjalar ke alat genetalia bagian dalam dan dapat menimbulkan penyakit radang panggul. Pengobatan yang tidak memuaskan akan dapat menjadikan kronis dengan akibat akhir rusaknya fungsi alat genetalia bagian dalam sehingga menimbulkan kurang subur atau mandul. Dalam pertemuan di Atlanta USA, tentang penyakit hubungan seksual menyatakan bahwa mata rantai yang ditularkan oleh Wanita Tuna Susila (WTS) tidak dapat dihilangkan, akan tetapi hanya mungkin diperkecil peranannya (Manuaba, 2009). Keberadaan PSK memang sudah mencapai pada taraf memprihatinkan, karena keberadaan mereka yang tidak terdata secara langsung dapat memberikan dampak negatif sehingga membuat bertambahnya kasus HIV/AIDS. Penulisan menunjukkan bahwa wanita mempunyai peluang tiga kali lebih terinfeksi HIV lewat hubungan seksual dibandingkan dengan laki-laki (Koentjoro, 2010). Pada wanita lebih mudah terkena infeksi menular seksual (IMS) dibandingkan dengan laki-laki, karena saluran reproduksi wanita lebih dekat ke anus dan saluran kencing. IMS pada wanita juga sering tidak diketahui karena gejalanya kurang jelas sehingga bisa mengakibatkan kehamilan di luar kandungan, kemandulan, kanker leher rahim, kelainan pada janin misalnya berat badan lahir rendah (BBLR) (Widyastuti, 2009). Infeksi menular seksual merupakan salah satu dari sepuluh penyebab pertama diderita dewasa muda laki-laki dan penyebab kedua terbesar pada dewasa muda wanita di negara berkembang. Dewasa dan remaja (15-24 tahun) merupakan 25% dari semua populasi yang aktif secara seksual, tetapi memberikan kontribusi sebesar hampir 50% dari semua kasus IMS baru yang didapat. Kasus-kasus IMS yang terdeteksi hanya menggambarkan 50%-80% dari semua kasus IMS yang ada di Amerika. Ini mencerminkan keterbatasan “screening” dan rendahnya pemberantasan akan IMS, serta menjadikan pemikiran dari seluruh dunia yang merupakan target dari MDGs sendiri yang nomor 4 dalam pemberantasan HIV/AIDS (Argina., 2012). Infeksi Menular Seksual yang paling banyak ditemukan di Indonesia adalah syphilis dan gonorhoe, prevalensi IMS di Indonesia sangat tinggi yakni dengan prevalensi gonorhoe 37,4%, chlamydia 34,5% dan syphilis 25,2%. Kecenderungan meningkatnya penyebaran penyakit ini disebabkan perilaku seksual yang berganti ganti pasangan, dan adanya hubungan seksual pranikah dan diluar nikah yang cukup tinggi. Kebanyakan penderita IMS adalah wanita usia reproduktif (Adhitama, 2008). Penderita IMS di Jawa Timur terdapat 1454 jiwa pada tahun 2003 dan mengalami peningkatan pada tahun 2004 menjadi 2329 jiwa, untuk semua jenis kasus IMS dan semua jenis golongan umur. Meskipun demikian, kemungkinan kasus yang sebenarnya dipopulasi masih banyak yang belum terdeteksi. Program pencegahan dan pemberantasan IMS mempunyai target bahwa seluruh kasus IMS yang ditemukan harus diobati sesuai standar. IMS terjadi pada umur 12-20 tahun (Dirjen PPM & PL DepKes RI, 2008). Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Surabaya tahun 2009, ada beberapa IMS yang mengalami penurunan dibandingkan pada tahun 2008, diantaranya kandidiasis dari 443 menjadi 308, bakteri vagina dari 151 menjadi 144, HIV dari 114 menjadi 9, gonorhoe dari 120 menjadi 71, condiloma acuminate dari 95 menjadi 68, herpes genetalis dari 68 menjadi 59, AIDS dari 23 menjadi 17 dan syphilis dari 6 menjadi 2. Demikian pula beberapa kasus yang meningkat antara lain herpes simpleks dari 140 menjadi 149 dan trichomonas vaginalis dari 6 menjadi 9 (Dinas Kesehatan Kota Surabaya, 2010). Prevalensi PMS kecenderungan meningkat di Banyuwangi seperti syphilis 10% pada kelompok WTS, 35% pada kelompok waria dan 2% pada kelompok ibu hamil. Prevalensi gonorhoe meningkat sampai 30%-40% demikian juga HIV/AIDS meningkat tajam sejak tahun 1993 (Ditjen PP & PL DepKes RI, 2008). Sedangkan dari data NKKBS dan puskesmas di daerah lokalisasi Gempol 20% WTS yang terkena PMS diantaranya gonorhoe, herpes simpleks, syphilis, trichomonas dan HIV/AIDS (Khotimah, 2013). Besarnya proporsi laki-laki sebagai pelanggan penjaja seks digambarkan dalam report yang diterbitkan oleh AusAID (2006) berjudul “Impact of HIV/AIDS 20052025”, bahwa pemerintah Indonesia mengestimasi jumlah laki-laki pelanggan seks di Indonesia mencapai 7 sampai dengan 10 juta orang. Setengah dari laki-laki di Indonesia mengunjungi pekerja seks setiap tahunnya. Hal ini tentu menjadi jalur yang sangat potensial untuk menyebarkan HIV/AIDS melalui pelanggan penjaja seks (AusAID, 2006). Hasil Survei Surveilance Perilaku (SSP) 2004-2005 pada kelompok pria menunjukkan bahwa sopir/kernet truk yang membeli seks dalam setahun terakhir meningkat dari 40% pada tahun 2002/2003 menjadi 59% pada tahun 2004/2005, sedangkan pelaut/ABK yang membeli seks juga meningkat dari 48% menjadi 55%, dan tukang ojek meningkat dari 28% menjadi 31% pada kurun waktu yang sama. Sementara itu perilaku selalu menggunakan kondom hanya berkisar antara 3-11%. Disamping itu, penyakit menular seksual seperti syphilis dan gonorhoe bila dikombinasikan dengan seringnya melakukan seks yang tidak aman dengan laki-laki yang sering mobile akan menambah kerentanan penjaja seks untuk terinfeksi HIV (Puslitkes, 2006). Perilaku seks berisiko juga menjadi penyebab penularan utama HIV/AIDS. Hal ini bisa terlihat dari perkembangan Penyakit Menular Seksual yang sangat tinggi. Beberapa kota berdasarkan data DepKes RI (2011), PSK yang mengidap penyakit gonorhoe dan klamidia mencapai 39% sampai 61%, itu artinya 2 sampai 3 dari 5 PSK mengidap penyakit tersebut. Itu belum termasuk penyakit menular seksual lainnya. Padahal adanya PMS memudahkan penularan HIV. Angka ini merupakan tertinggi di Asia. Pengidap HIV terbanyak ada di kalangan pria. Dari 3 juta pria di Indonesia yang sering jajan PSK diperkirakan setengahnya mengidap HIV. Kebanyakan dari mereka memiliki pasangan tetap atau istri. Dari pria pengidap HIV ini bisa menularkan pada istrinya. Jika wanita yang mengidap HIV mengandung maka berisiko menularkan pada anaknya. Fenomena ini yang membuat jumlah penderita HIV semakin tinggi dan menjadi epidemi. Pada area geografis tertentu, pathogen IMS ditularkan diantara atau dari individu berisiko tinggi dengan angka infeksi yang tinggi dan kekerapan berganti-ganti pasangan seksual (kelompok inti). Dengan perkembangan epidemi, patogen dapat menyebar dari kelompok inti kepada populasi pelanggan (populasi antara) yang menjadi perantara penting lintas seksual antara kelompok inti dan populasi umum (Kemenkes RI, 2011). Menteri Kesehatan mengemukakan untuk melindungi perempuan dan anakanak dari infeksi HIV ada di tangan laki-laki, terutama yang melakukan perilaku berisiko, seperti mengunjungi pelacuran. Penulis ingin tekankan betapa besarnya peran dan tanggung jawab laki-laki dalam menyelamatkan Negara ini. Epidemi penyebaran HIV/AIDS di Indonesia hanya bisa dikendalikan apabila pengguna kondom di atas 80% (Argina, 2012). Perkembangan HIV/AIDS di Indonesia merupakan yang paling pesat di Asia pada dekade terakhir ini. Di Indonesia sejak kasus AIDS pertama dilaporkan pada Tahun 1987 di Bali, jumlah kasus bertambah secara perlahan menjadi 225 kasus di Tahun 2000. Sejak saat itu, kasus AIDS bertambah cepat dipicu oleh pengguna NAPZA suntik. Kementrian Kesehatan (2011), melaporkan hingga Desember 2010 jumlah kumulatif pasien AIDS di Indonesia adalah 24.131 orang dan 55.848 orang dengan HIV. Jumlah itu tentu saja merupakan fenomena gunung es dimana pada kenyataannya ada lebih banyak lagi pasien yang menderita HIV/AIDS. Populasi dewasa terinfeksi HIV di Indonesia mencapai 333.200 orang, dimana diantaranya 25% adalah perempuan. Selain itu, sebagian pasien AIDS merupakan usia produktif 25-49 tahun (88%) sehingga berdampak pada penurunan produktivitas suatu Negara (Kemenkes RI, 2011). Surveilans Terpadu HIV dan Perilaku (STHP) pada tahun 2007 menunjukkan prevalensi HIV di Indonesia adalah Wanita Penjaja Seks (WPS) langsung 10,4% WPS tidak langsung 4,6%, Waria 24,4%, Pelanggan WPS 0,8%, Lelaki Seks dengan Lelaki (LSL) 5,2%. Upaya penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia dinilai telah mencapai beberapa kemajuan. Dengan menambah berbagai upaya strategis ke depan, pemerintah menargetkan pada Tahun 2030 nanti penyakit yang mematikan ini tidak lagi menjadi masalah kesehatan di Tanah Air. Tahun 2013 terdapat 1 juta lebih orang Indonesia yang dilakukan tes, dimana 127.427 diantaranya terdiagnosa positif HIV. Sampai pertengahan Tahun 2014 sebanyak 529.889 orang yang dites dan 15.561 diantaranya positif HIV (Kemenkes RI, 2013). IMS dan HIV/AIDS merupakan salah satu di antara penyebab penyakit utama di dunia dan memberi dampak luas pada masalah kesehatan dan ekonomi di berbagai negara. Sampai saat ini merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia, baik di negara maju maupun berkembang, insiden maupun prevalensi yang sebenarnya di berbagai negara tidak diketahui secara pasti. Oleh karena itu, untuk menekan penyebaran PMS yang menimbulkan masalah adalah dengan menggunakan kondom, serta untuk mencegah dan meminimalisir terjadinya IMS baik dalam tataran yang ringan ataupun sudah berkomplikasi selalu dilakukannya advokasi serta penyuluhan-penyuluhan terhadap pekerja seks komersial untuk selalu melakukan screening test, papsmear serta menghindari hubungan seksual bila ada gejala IMS (Widyastuti, 2009). Berdasarkan data Puskesmas Sei Rampah sampai bulan Mei tahun 2014 jumlah rumah (barak) ± 13 buah dengan rata-rata 4 PSK per rumah dengan jumlah PSK sekitar 40 PSK. Pada umumnya bangunan sudah permanen, walaupun sebagian kecil saja bangunan masih berlantai tanah. Dari survei pendahuluan yang dilakukan penulis jumlah PSK terbanyak di Kabupaten Serdang Bedagai terdapat di Desa Naga Kesiangan sebanyak 40 orang PSK, dari 40 orang PSK tersebut ditemukan sekitar 32 kasus IMS, dua diantaranya dideteksi gonorhoe, enam orang servisitis, satu orang terkena kandidiasis, dan enam orang terkena IMS lainny seperti Bubo Kondilomata. Desa Naga Kesiangan adalah salah satu desa di Kecamatan Tebing Tinggi Kabupaten Serdang Bedagai merupakan desa yang mempunyai resiko tinggi terhadap penularan infeksi menular seksual. Hal ini dikarenakan adanya daerah lokalisasi terselubung. Menurut laporan bulan Mei Puskesmas Sei Rampah terdapat 50 orang pasien pasangan resiko tinggi (Resti) yang ditemukan mengidap penyakit IMS. Salah satu diantaranya mengaku pelanggan PSK di Warung Bubur dan ketika melakukan hubungan seks pria tersebut tidak menggunakan kondom. Menurut Martin Monto, seorang Sosiolog di Universitas Portland mengatakan “salah satu motivasi pria di balik mencari pelacur adalah ada sesuatu yang menarik atau beresiko. Sifat terlarang membuatnya lebih menarik”. Alasan lain yang cukup mengejutkan adalah bahwa satu dari tiga pria yang mengunjungi PSK mengaku ingin belajar soal seks lebih daripada hubungan intim dengan pasangan tetap mereka. Mereka menginginkan lebih banyak seks atau aktivitas intim dengan pasangan tetap mereka. Sebagian pria yang menggunakan jasa PSK adalah mereka yang kesepian, merasa terkucil secara sosial atau mengalami masalah hubungan. Banyak faktor yang menyebabkan perilaku seksual pria dengan wanita pekerja seks komersial dilihat dari berbagai aspek, yaitu dari pria itu faktor personal/individu, pengetahuan mengenai HIV/AIDS. Penyakit Menular Seksual (PMS), aspek-aspek kesehatan reproduksi, sikap terhadap layanan kesehatan seksual dan reproduksi, kerentanan yang dirasakan terhadap risiko kesehatan reproduksi, gaya hidup, pengendalian diri, aktifitas sosial, rasa percaya diri dan variabel-variabel demografi seperti: usia, agama, status perkawinan, faktor lingkungan (akses dan kontak dengan sumber-sumber informasi, sosial-budaya, nilai dan norma sebagai pendukung sosial untuk perilaku tertentu, faktor perilaku yaitu gaya hidup seksual, jumlah pasangan, peristiwa-peristiwa kesehatan (PMS, kehamilan) dan penggunaan kondom serta alat kontrasepsi (Banun, 2012). Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat diperoleh gambaran bahwa pria memiliki risiko penularan penyakit IMS. Maka dirasa perlu dilakukan penulisan mengenai “Perilaku Seksual Pria dengan wanita Pekerja Seks Komersial (PSK) Terhadap Pencegahan Penyakit Menular Seksual (PMS) Di warung Bubur Dusun VI Gaya Baru Kecamatan Tebing Tinggi Tahun 2014”. 1.2. Permasalahan Berdasarkan latar belakang penelitian ini, maka permasalahan yang akan dianalisis adalah Bagaimanakah Perilaku Seksual Pria dengan Wanita Pekerja Seks Komersial (PSK) Terhadap Pencegahan Penyakit Menular Seksual (PMS) Di warung Bubur Dusun VI Gaya Baru Kecamatan Tebing Tinggi Tahun 2014? 1.3. Tujuan Penulisan Untuk menganalisis Perilaku Seksual Pria Dengan Wanita Pekerja Seks Komersial (PSK) Terhadap Pencegahan Penyakit Menular Seksual (PMS) Di Warung Bubur Dusun VI Gaya Baru Kecamatan Tebing Tinggi Tahun 2014. 1.4. Manfaat Penulisan 1. Manfaat Praktis Penulisan ini diharapkan dapat memperoleh informasi mengenai perilaku pendorong yang menyebabkan pria memilih alasan menggunakan jasa wanita PSK di dalam melakukan hubungan seksual. Selain itu juga diharapkan dapat memberi manfaat bagi para pria yang menggunakan jasa wanita PSK agar memakai kondom pada saat melakukan hubungan seksual agar tidak menularkan penyakit IMS. Dan kepada wanita PSK agar tidak menerima pelanggan pria yang tidak menggunakan kondom agar tidak tertular dengan penyakit IMS yang dapat mematikan. 2. Manfaat Teoritis Diharapkan mampu memberi kontribusi/manfaat dalam pengembangan dan pengetahuan teoritik di bidang kesehatan reproduksi terutama tentang penyakit menular seksual yang dapat ditularkan hanya dengan melalui hubungan seksual dengan gonta ganti pasangan tanpa menggunakan kondom sebagai alat pelindungnya dan diluar dari apa yang sudah diketahui orang.