I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pencabutan gigi adalah tindakan pengambilan gigi pada soketnya tanpa atau
dengan pembukaan jaringan lunak dan jaringan keras. Pengurangan tulang
dilakukan jika menutupi gigi yang akan dicabut (Archer, 1975). Pencabutan gigi
merupakan tindakan dalam kedokteran gigi yang paling sering dilakukan. Ratio
angka pencabutan gigi di Indonesia jika dibanding dengan penambalan gigi adalah
6 dibanding 1 (Iis, 2006).
Tindakan pencabutan gigi menyebabkan luka pada jaringan lunak dan
jaringan keras di daerah bekas pencabutan. Menurut Mansjoer et al (2000) luka
adalah hilangnya kontinuitas dari struktur jaringan yang utuh dan kadang disertai
dengan hilangnya sebagian jaringan. Selain meninggalkan suatu kavitas berupa
soket gigi, pencabutan gigi juga menyebabkan terjadinya defek tulang rahang
yang diakibatkan karena tindakan pengurangan tulang.
Luka yang terjadi karena tindakan pencabutan gigi dan atau pembedahan
akan mengalami proses penyembuhan secara alami dengan melewati tahap-tahap
proses penyembuhan luka. Secara
mendasar tahap tersebut dibagi 3 yaitu
inflammatory, fibroplastic atau proliferasi dan remodeling (Hupp, 2003). Ketiga
tahap proses penyembuhan luka tersebut terjadi secara tumpang tindih (Kalfas,
2001).
Proses penyembuhan luka pada
tulang alveolar pasca pencabutan gigi
mengikuti fase penyembuhan luka pada umumnya tetapi yang membedakan
adalah adanya keterlibatan osteoblas dan osteoclas (Hupp, 2003). Secara
histologis pada fase proliferasi proses penyembuhan luka tulang diawali dengan
proses mineralisasi soft callus. Kolagen tipe I yang menyusun matriks akan
disintesa oleh osteoblas menjadi hard callus pada hari ke-7 pasca fraktur
(Janquiera, 1975). Peranan kolagen pada proses penyembuhan tulang yang rusak,
berhubungan dengan pembentukan serabut kolagen tipe I oleh fibroblas yang
memberi kemampuan jaringan untuk membentuk jaringan baru (Linder, 1993;
Kalfas, 2001). Peranan osteoblas yang merupakan sel pembentuk tulang, akan
melakukan sintesis dan sekresi mineral ke seluruh substansi dasar dan substansi
pada daerah yang memiliki kecepatan metabolisme tinggi yang mensintesis dan
menjadi perantara mineralisasi osteoid (Linder,1993).
Terdapat faktor-faktor lokal yang dapat menghambat proses penyembuhan
secara alami. Faktor-faktor tersebut adalah adanya benda asing, jaringan mati,
ischemia,
dan
wound
tension.
Perencanaan
perawatan
luka
sebaiknya
mempertimbangkan 4 hal tersebut agar memperoleh proses penyembuhan yang
baik. Benda asing dan jaringan mati yang terdapat pada luka dapat digunakan
bakteri sebagai perlindungan diri ketika terdapat pertahanan dari host, sehingga
dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya infeksi yang dapat menghambat
proses penyembuhan luka (Hupp, 2003).
Infeksi luka pasca operasi merupakan kejadian yang sering ditemukan pada
kasus tindakan bedah. Sekitar 10-16% dari seluruh kasus infeksi di rumah sakit
adalah infeksi luka (Singhal dan Zammitt, 2002) dan 77% dari kasus infeksi
tersebut menyebabkan kematian (Mangram, 1999). Luka yang terinfeksi akan
menghambat proses penyembuhan bahkan menyebabkan luka semakin memburuk
(Dow et al, 1999). Mikroorganisme patogen dapat menghambat penyembuhan
luka melalui beberapa mekanisme seperti memproduksi zat mediator inflamasi
secara persisten, produk metabolik, racun dan pemeliharaan fase aktivasi netrofil
yang menghasilkan enzim sitolitik dan radikal oksigen bebas (Laato et al, 1988).
Sel bakteri bersaing dengan sel host untuk mendapatkan nutrisi dan oksigen yang
diperlukan untuk proses penyembuhan. Hal tersebut membuat para klinisi
melakukan rencana berupa tindakan
preoperative dan
perawatan luka
postoperative untuk mengendalikan infeksi sehingga menghasilkan proses
penyembuhan yang baik.
Pengendalian infeksi pada luka operasi dilakukan dengan memberikan
perawatan sebelum, selama dan sesudah operasi. Tujuan dari perawatan tersebut
adalah untuk meminimalkan resiko terkena infeksi sehingga menunjang proses
pertumbuhan jaringan sehat. Penggunaan antiseptik selama operasi merupakan
salah satu bentuk perawatan luka. Tindakan tersebut juga secara umum dapat
meningkatkan proses penyembuhan luka. Penggunaan bahan antiseptik pada luka
dapat untuk menghilangkan eksudat, debris, kotoran dan bahan-bahan yang
mengkontaminasi. Pembersihan luka operasi secara teliti menunjukkan penurunan
angka infeksi (Khan, 2005).
Dalam bidang bedah mulut dan maksilofasial penggunaan antiseptik
dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan area operasi yang bersih sebagai
bentuk pencegahan infeksi. Resiko infeksi pada tindakan bedah di dalam mulut
antara lain dapat disebabkan karena kontaminasi dari flora bakteri di dalam mulut
dan penggunaan bahan antiseptik menjadi salah satu bentuk pengendalian
terhadap kontaminasi tersebut (Martin et al, 1996). Banyak penelitian yang
menyebutkan bahwa larutan antiseptik mengurangi jumlah bakteri dalam mulut
dan menurunkan bakterimia selama operasi.
Penggunaan bahan antiseptik
sebelum operasi di bedah mulut dan
maxillofasial masih kontroversial.
Banyak penelitian melaporkan tindakan
tersebut menurunkan infeksi selama tindakan operasi di dalam mulut, tetapi
banyak ahli bedah juga tidak merasa yakin dengan efek antiseptik dalam
menurunkan infeksi setelah operasi (Toljanik, 1992; Veksler, 1991 sit Kosutic,
2009). Sebagian besar ahli bedah mulut dan maxillofasial anggota asosiasi bedah
mulut di Amerika masih ragu dengan efektifitas tindakan tersebut sebagai
tindakan dekontaminasi (Summers, 2000).
Standar Pelayanan Medis Rumah Sakit DR Sardjito dan Rumah Sakit Gigi
dan Mulut Prof Soedomo menetapkan penggunaan antiseptik sebagai tindakan
yang dilakukan sebelum tindakan bedah mulut minor walaupun tidak secara jelas
disebutkan jenis larutan dan konsentrasi serta aturan penggunaannya (Komite
Medis RS DR Sardjito, 2005; Komite Medis RSGM Prof Soedomo, 2008).
Evaluasi tentang penggunaan larutan antiseptik sebagai pengendali infeksi dan
efeknya terhadap proses penyembuhan dalam tindakan bedah mulut dan
maksilofasial sebagai dasar pertimbangan pemilihan larutan antiseptik yang
digunakan di ke-2 rumah sakit tersebut sampai saat ini belum pernah dilakukan.
Pemilihan bahan antiseptik untuk perawatan luka juga didasarkan pada
pertimbangan keamanan penggunaan bahan terhadap sel host dan efektivitasnya.
Keamanan dari bahan untuk perawatan luka dapat ditentukan dari pengaruhnya
terhadap kecepatan proses penyembuhan luka. Efektifitasnya dapat dinilai secara
in vitro dengan melihat kemampuan bahan antiseptik membunuh bakteri dan
secara in vivo dengan melihat kemampuanya menurunkan infeksi pada luka yang
dirawat (Burks, 1998).
Khan (2005) menyebutkan bahwa berbagai bahan antiseptik menunjukkan
efek antibakteri namun bersifat sitotoksik terhadap sel host. Penelitian secara in
vitro menunjukan efek toksik pada sel host tetapi secara klinis tidak menunjukan
hasil yang berbeda secara signifikan jika dibandingkan dengan kontrol. Sifat
sitotoksik dari bahan antiseptik menjadi pertimbangan untuk menggunakannya
dalam merawat luka karena dapat menghambat proses penyembuhan (Drosou et
al, 2003). Kurangnya penelitian secara klinis, menyebabkan belum ada standar
aturan baku yang ditetapkan dalam penggunaan bahan antiseptik (Khan, 2005)
Povidone-iodine (PI) secara rutin telah digunakan dalam tindakan di bidang
bedah mulut (Cabral dan Fernandes, 2007). Penggunaannya untuk obat kumur
preoperative secara signifikan menurunkan jumlah bakteri selama operasi
(Kosutic, 2009). Povidone-iodine adalah sebuah iodofor dengan antibakteri
berspektrum luas dan aktifitas antimikrobia yang tinggi, resistensi bakteri dan
efek samping yang rendah serta harga yang sangat murah (Greenstein, 1999).
Konsentrasi sediaan yang banyak digunakan di klinik adalah 10%. Bahan ini telah
diuji dapat menurunkan postoperative bakterimia setelah operasi di rongga mulut
(Rhan, 1995). Povidone-iodine juga digunakan sebagai bahan irigasi pada soket
setelah pencabutan gigi (Arakeri dan Brennan, 2011)
Pemakaian bahan antiseptik dengan konsentrasi yang tinggi pada rongga
mulut mungkin dapat mempunyai efek samping terhadap sel host. PI seperti
antiseptik yang lain mempunyai mekanisme aksi non selective. Sifat sitotoksisitas
PI dilaporkan pada percobaan secara in vitro mempengaruhi fibroblas kulit, paruparu dan gingiva, keratinosit, osteoblas pada embrio ayam, fibroblas pada embrio
binatang bertaring, dan pada sel tulang tikus (Cabral dan Fernandes, 2007).
Chlorhexidine (CHX) merupakan bahan antiseptik yang secara luas telah
digunakan dan diuji. Bahan ini mempunyai aktivitas antimikrobial berspektrum
luas, berpengaruh terhadap berbagai mikroorganisme oral pathogen, memiliki
toleransi yang baik dan tidak resisten terhadap bakteri (Seymour, 1992). Menurut
Kosutic et al (2009) konsentrasi yang biasa digunakan sebagai bahan irigasi
dalam bedah mulut dan maksilofasial adalah 0,12%, 0,2% dan 0,1%. CHX secara
signifikan menurunkan jumlah populasi mikrobia mulut dan kejadian alveolar
osteitis (Delibasi, 2002). Namun pada penelitian in vitro, bahan ini menunjukkan
bersifat sitotoksik terhadap sel darah, keratinosit, fibroblas, osteoblas, osteoklas
dan makrofag (Cabral dan Fernandes, 2007).
Menurut Thomas et al (2009) dalam penelitiannya secara in vitro
menunjukkan bahwa povidone-iodine berpotensial memperlambat laju proliferasi
fibroblas dalam proses penyembuhan sedangkan CHX terbukti sebaliknya tetapi
pada konsentrasi yang tinggi CHX merusak sel fibroblas.
Penelitian in vivo
dilakukan oleh Sanches et al (1988) untuk melihat efek CHX diacetat dan PI
terhadap penyembuhan luka pada anjing. Luka dibuat pada kulit dengan
melakukan eksisi full thickness. Hasil penelitian menunjukan bahwa sitotoksisitas
dari chlorhexidine diacetat 0,05% terhadap fibroblas secara in vitro ternyata tidak
berhubungan dengan proses penyembuhan secara in vivo.
Berdasarkan latar belakang, penulis ingin meneliti perbedaan efek antara
CHX dengan PI terhadap proses penyembuhan luka pasca pencabutan gigi dengan
menilai peningkatan jumlah osteoblas dan kepadatan kolagen pada hewan
percobaan (cavia cobaya) secara in vivo.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas maka muncul
permasalahan bagaimanakah perbedaan pengaruh PI 10% dan CHX 0,2%
terhadap peningkatan jumlah osteoblas dan kepadatan kolagen pada luka pasca
pencabutan gigi.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan pengaruh PI 10%
dan CHX 0,2% terhadap peningkatan jumlah osteoblas dan kepadatan kolagen
pada luka pasca pencabutan gigi.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah mendapatkan perbedaan pengaruh PI 10% dan
CHX 0,2% terhadap peningkatan jumlah osteoblas dan kepadatan kolagen pada
luka pasca pencabutan gigi.
Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi dan
sumbangan pengetahuan bagi dokter gigi dan ahli bedah mulut dan maksilofasial
mengenai efektifitas dan keamanan CHX 0,2% dan PI 10% sebagai bahan
antiseptik dalam proses penyembuhan luka pasca tindakan bedah minor, dengan
melihat peningkatan jumlah osteoblas dan kepadatan kolagen pada proses
penyembuhan pasca pencabutan gigi
E. Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai pengaruh CHX dan PI terhadap proses penyembuhan
luka secara in vivo dilakukan oleh Shances et al (1988) pada luka di kulit anjing.
Thomas et al (2009) melakukan penelitian secara in vitro terhadap efek CHX dan
PI pada kultur normal human dermal fibroblast dengan melihat proliferasi,
migrasi, serta MMP-2 dan MMP-9 .
Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya karena penelitian ini
untuk melihat perbedaan efek CHX dan PI terhadap proses penyembuhan luka
dalam soket gigi pasca pencabutan secara in vivo dengan pengamatan histologi
untuk menilai jumlah osteoblas dan kepadatan kolagen.
Download