BAB V KESIMPULAN Peribahasa dapat disebut dengan cermin suatu budaya atau masyarakat tertentu. Pola pikir, nilai-nilai, dan perspektif sebuah bangsa tercantum dalam peribahasa. Apa alasan perempuan Jepang dan Korea sering muncul sebagai tokoh utama dalam peribahasa secara negatif? Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat diketahui setidaknya enam hal. Pertama, fenomena alasan perempuan Jepang dan Korea muncul secara negatif dalam peribahasa disebabkan oleh sistem keluarga patriarki dan chauvinisme laki-laki (male chauvinism) yang berasal dari Konfusianisme. Kedua, ajaran Konfusianisme berjalan dengan cara menentukan peran dan posisi antara perempuan dan laki-laki dalam keluarga maupun masyarakat. Peran perempuan yang terbatas dan posisi perempuan yang rendah oleh ajaran Konfusiaisme, meminimalkan hak dan kekuasaan perempuan, sehingga kaum perempuan menjadi minoritas dalam kedua masyarakat. Pembedaan peran seksual antara laki-laki dan perempuan tersebar ke seluruh bidang dalam masyarakat. Perempuan sebagai minoritas dianggap kehidupannya harus ditentukan oleh laki-laki dan harus mengikuti suami dan keluarga suami. Etika diskriminatif terhadap perempuan seperti ini terbentuk oleh paham Konfusianisme. Ketiga, dalam Bab III dan IV penulis mengamati wujud peribahasa Jepang dan Korea yang mengandung unsur diskriminasi terhadap perempuan untuk mengenal posisi dan peran perempuan, dan hubungan dengan Konfusianisme. Penulis membagi peribahasa yang dikumpulkan menjadi empat bagian, yaitu sisi intelektual, sisi penampilan, sisi daya tarik seksual, dan sisi setia, berdasarkan sifat peribahasa-peribahasa. Dengan hasil survei, dapat diketahui bahwa perempuan dalam kedua negara pada masa lalu, dianggap sebagai makhluk yang tidak bijaksana, dan tidak dianggap sebagai subjek yang harus diperlakukan secara manusiawi. Perempuan lebih dianggap seperti nilai barang dan objek seksual. Keempat, berdasarkan analisis dapat disimpulkan bahwa peribahasa yang mengandung unsur diskriminasi terhadap perempuan di kedua negara berkaitan erat dengan nilai-nilai tradisional Konfusianisme, yaitu falsafah Pria Tinggi, Perempuan Rendah (男尊女卑). Nilai-nilai yang tercantum dalam peribahasa bertepatan dengan sosok ideal perempuan yang diutamakan dalam masyarakat Konfusianisme Jepang dan Korea pada zaman dahulu. Kelima, dengan demikian dapat diketahui bahwa Konfusianisme telah mempengaruhi terbentuknya budaya diskriminasi terhadap perempuan di kedua negara. Sosok ideal perempuan yang sesuai dengan nilai-nilai Konfusianisme yang dianggap sebagai norma sosial di masyarakat Jepang dan Korea pada zaman dahulu, sebagai berikut: harus berbakti kepada orang tua suami, mempunyai anak laki-laki, tidak cemburu, tidak selingkuh, tidak cerewet, tidak mencuri. Keenam, nilai-nilai Konfusianisme pada awalnya muncul dengan tujuan untuk membentuk keharmonisan sosial. Namun, pada akhirnya, nilai-nilai tersebut justru menimbulkan ketidakharmonisan sosial di kedua negara pada zaman kontemporer karena nilai-nilai yang dapat dianggap sebagai diskriminasi terhadap perempuan dari sudut pandang masyarakat modern masih ada di dalam kedua masyarakat. Harus diakui bahwa membasmi diskriminasi jender dalam jangka waktu pendek adalah tugas yang amat sulit, tetapi penulis berpendapat bahwa jika setiap anggota masyarakat saling menghormati satu sama lain sebagai sesama makhluk dengan tidak