Maaf Penjajah dan Mengisi Kemerdekaan Berita Jepang meminta maaf kepada negeri jajahannya terdahulu atas perbuatan yang menyengsarakan rakyat negeri jajahannya cukup sering terdengar. Terakhir di awal penghujung bulan Agustus 2010, melalui Perdana Menterinya, Jepang menyatakan permohonan maaf atas kesengsaraan, penderitaan, dan kesusahan yang diterima Korea atas penjajahan yang pernah dilakukannya. Jepang menjajah Korea selama 35 tahun (1910-1945) ternyata memiliki kemauan dan keberanian untuk meminta maaf atas kelakuannya menyengsarakan rakyat Korea. Bagaimana dengan Belanda ? Belanda tidak pernah mau meminta maaf atas penjajahannya atas Indonesia. Pengakuan Belanda atas 17 Agutus 1945 sebagai hari kemerdekaan Indonesia baru tejadi pada tahun 2005, saat peringatan 60 tahun proklamasi. Pada saat itu, Menlu Belanda Bernard Rudolf Bot menghadiri Upacara Kenegaraan Peringatan Hari Ulang Tahun ke-60 Kemerdekaan RI di Istana Negara, Jakarta serta menyampaikan pidato resminya di Gedung Deplu. Langkah Menlu Bot tercatat sebagai sejarah baru, mendobrak tabu sejarah bahwa selama ini mereka menganggap kemerdekaan Indonesia terjadi pada 27 Desember 1949, yaitu saat soevereiniteitsoverdracht (penyerahan kedaulatan) ditandatangani di Istana Dam, Amsterdam. Pada momentum tahun 2005, Bot tidak menyampaikan permintaan maaf secara langsung, hanya berupa bentuk penyesalan. Bot mengungkapkan rasa penyesalan sedalam-dalamnya mengenai perpisahan Indonesia-Belanda yang menyakitkan dan penuh kekerasan. Selanjutnya pada tahun 2008, Perdana Menteri Belanda, Jan Peter Balkenende, menghadiri Peringatan HUT Kemerdekaan RI ke-63 di Wisma Duta, Den Haag. Apakah pada HUT RI ke-65, Belanda berani meminta maaf sebagaimana Jepang terhadap negeri Korea ? Semoga. Jepang yang hanya menjajah 35 tahun saja berani menyatakan permohonan maafnya atas perlakuannya terhadap bangsa Korea pada masa penjajahan dulu. Sejarah pejajahan Jepang tidak pernah dapat terhapus, sejarah mencatat dan menyaksikan penjajahan yang telah dilakukan Jepang terhadap Korea, termasuk terhadap Cina dan Indonesia. Jepang merupakan negeri yang hancur lebur pada tahun 1945, namun sejak 1968 mereka telah mampu bangkit menjadi negeri yang makmur dengan proses pembangunan dan industrialisasinya. 1 Betapa besar hati bangsa Jepang, walaupun permintaan maaf yang dilakukan Jepang ini tidaklah cukup atau serta merta menghapus kesalahan dan kebiadaban yang telah dilakukannya. Korea dan Cina juga saat ini telah menjadi negara yang semakin maju dan berkiprah pada perekonomian dunia. Kini saatnya Indonesia. Maaf dan Keberanian Menyibak tindakan Jepang meminta maaf, muncul pertanyaan, bagaimana Belanda ? Adakah keinginan Belanda/Netherland/Holland untuk meminta maaf terhadap bangsa Indonesia (Hindia Belanda), cukupkah hanya meminta maaf ? Bagaimana kalau mereka merasa tidak perlu meminta maaf kepada negeri ini ? Indonesia sebagai bangsa yang dijajah, besar hatikah kita memberi maaf kepada bangsa penjajah itu ? Kalau kita beri maaf kepada negeri penjajah, apakah berarti dapat menghapus sejarah penjajahan mereka terhadap Indonesia ? Apakah kalau kita beri maaf, mereka merasa terima kasih atas maaf yang kita berikan ? Jangan-jangan mereka tidak merasa bersalah atas penjajahan yang dilakukannya. Kalau benar Belanda sebagai penjajah tidak mau minta maaf, apakah ini berarti mereka memiliki perilaku paranoid atau pengecut ? Padahal kata maaf adalah mudah, dan silaturahmi akan semakin mempercepat rekonsiliasi dan semakin mempererat hubungan antar kedua negara yang tercoreng 61 tahun lalu. Apa artinya, jika di alam global masih ada bangsa yang telah menjajah 350 tahun, tetapi tidak mengakui kelakukannya. Meskipun hal ini masalah kritis, pertanyaan ini sangat mendasar bagi Indonesia, dan jika benar bahwa mereka tidak mau meminta maaf kepada Indonesia, maka ini menggambarkan karakter dan kualitas manusia penjajah yang sebenarnya. Sebagai penjajah yang telah meraup gelimang kenikmatan hasil jajahannya, nampaknya besar kepala masih menggelayuti sikap dan tindakannya sebagai negeri yang berhasil menjajah. Masih relevankah kita masih memakai aturan dari produk penjajah Belanda, sementara sang penjajah yang kita acu aturannya ternyata tidak berani meminta maaf atas perilaku bangsanya terdahulu yang nyatanyata menjajah 350 tahun. Dampak Penjajahan 2 Jika diingat-ingat kembali sejarah, muncul pertanyaan bisa-bisanya Belanda menjajah 350 tahun terhadap negeri Indonesia, bahkan setelah kita menyatakan proklamasi juga, Belanda tidak rela atas kemerdekaan negeri kita, bahkan mereka melakukan agresi, politik adu domba, dan divide et impera untuk menjajah negeri Indonesia. Selama ratusan tahun, ketika ada perlawanan anak bangsa kaum Bumiputra, ternyata sang penjajah Belanda berhasil mengelabui segenap bangsa Indonesia melalui politik pengkhianatan, cultuurestelsel dan adu dombanya. Skema ini telah berkontribusi terhadap meredupnya kekuasaan kerajaan-kerajaan di bumi Nusantara, dan memporakporandakan keutuhan wilayah Nusantara, serta semakin mengukuhkan kekuasaan Belanda sebagai penjajah. Skema ini mampu memperpanjang penjajahan yang dilakukan Belanda dari satu periode ke periode penjajahan terhadap bangsa Indonesia, Sustainable Imperialism. Pendekatan sosio-politik Belanda ini mampu mempertahankan penjajahannya dalam tiga puluh lima dekade, sejak mereka menginjakkan kakinya di Nusantara tahun 1596 sampai 1695, tahun 1695-1795, dilanjutkan 1795-1895, periode 1895-1945, dan periode tahun 1945-1949. Beberapa pola penjajahan yang dilakukan Belanda adalah perbudakan atau kerja rodi, merampas negeri, praktik aturan tanam, pemerasan atau penarikan pajak, serta mabuk dan gaya hidup mewah di atas penderitaan orang lain. Sejarah juga mencatat bahwa ekonomi dualisme merupakan warisan yang ditinggalkan Belanda yang senantiasa membawa dikotomi sosial ekonomi dan budaya, disparitas sosial ekonomi antar suku, antar wilayah, dan antar kelompok masyarakat, sehingga kesengsaraan dan penderitaan menyertai bangsa Indonesia sebelum, saat, bahkan pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia, dan hal ini masih tersisa sampai hari ini. Pembelajaran Sungguh sejarah dunia telah menunjukkan betapa berkuasanya Belanda menjajah, betapa terencananya mereka menjajah, betapa sistematiknya rencana dengan berbagai komponen dan proses penjajahannya. Beberapa tokoh penjajah yang tercatat dalam sejarah, di antaranya , Cornelisde Houtman, Jacob Van Neck, Jenderal Jan Pieter Zoon Coen, Mayor De Clerx, Spleeman, Herman Willem Daendels, Janssens, Van der Cappelen, Johannes Van Den Bosch, 3 Jenderal De Kock, Jenderal Van Daalen, Jenderal Van Swiesten, Jenderal Van Heutz, Snock Hurgronje. Nama-nama tersebut mewarnai sejarah panjang penjajahan Belanda di Indonesia. Mereka menerapkan strategi jitu dan terorganisasikan dengan baik (everything is well organized) dalam sektor pertanian-perkebunan, infrastuktur, transportasi, dan perdagangan, sehingga penjajahannya berhasil mengisi pundi-pundi keuangan negaranya. Dari segi manajemen strategik, penjajahan Belanda sangat sistematis, terstruktur, terencana, terprogram, dan terkendali secara efektif dan efisien. Negeri Belanda telah sukses mengeruk sumberdaya dari negeri jajahan dan membawa hasil jarahan dari negeri jajahan ke negaranya. Sekarang mereka telah memiliki simpanan hasil menjajah 350 tahun. Mungkin kita dapat menarik pelajaran bagaimana manajemen dari Belanda sebagai negeri imperialis yang sukses menjajah, dengan sedikit biaya dan banyak manfaat. Belanda telah berhasil memperoleh pendapatan yang tinggi dari hasil jajahannya, di antaranya Return on Investment dan Benefit Cost Ratio yang tinggi. Secara ekonomi, Belanda telah sukses membawa negerinya maju, simpanan investasi yang banyak, modal yang cukup tersedia dan memadai untuk membiayai pembangunan negaranya, sehingga pembangunan mereka tetap berlanjut. Sebaliknya, negara yang dijajahnya sangat lamban berkembang, masih terjadi disparietas, masih terseok-seok dalam pembangunan, terjadi kerentanan sosial ekonomi, maupun kerawanan pangan. Fenomena di atas memunculkan pertanyaan, apakah ini berarti kita akan dijajah kembali, atau sebenarnya kita merdeka tapi semu, merdeka tapi masih dalam kungkungan penjajahan atau memang kita masuk dalam periode seratus tahun intermezo untuk masuk ke masa penjajahan mereka kembali. Tentu jawaban kita , tidak ada tempat lagi untuk penjajahan. Kita merindukan Return on Investment, dan Benefit Cost Ratio yang tinggi dapat diperoleh dari proses pembangunan negeri sendiri. Masih banyak potensi alam, sumberdaya manusia, yang tersisa untuk dimanfaatkan bagi kemashlahatan segenap rakyat dan wilayah Indonesia, tentunya bukan untuk segelintir kelompok, elitis, atau wilayah tertentu saja. Tentunya memperhatikan sektor kunci pertanian-perkebunan, infrastruktur-konstruksi, industri, dan perdagangan mengkombinasi pendekatan pasar dan intervensi pemerintah secara seimbang. 4 yang Ulasan di atas merupakan indikasi bahwa Indonesia belum mampu merencanakan upaya mengisi kemerdekaannya, sehingga belum memperoleh hasil pembangunan bagi seluruh rakyat dan tanah airnya. Mari kita berintrospeksi atas apa yang telah dilakukan selama 65 tahun kemerdekaan ini. Gegegetan jadinya. Jika menarik pengalaman dari penjajah Belanda, maka kita perlu merencanakan pemanfaatan berbagai sumberdaya ke depan, melakukan segala sesuatunya secara terorganisasikan dengan baik, dan menetapkan langkah sistematis tentang apa yang akan dilakukan pada masa kemerdekaan 100 tahun pertama, 100 tahun kedua, 100 tahun ketiga, dan periode selanjutnya. Jika optimis keberadaan negeri ini dan kerangka pikir ini dipakai, maka sejak tahun 2010 masih tersisa 35 tahun untuk bangkit menyelesaikan periode 100 tahun pertama kemerdekaan Indonesia. Kita perlu bekal motivasi diri dan kesadaran yang kuat tanpa mengenal lelah demi mengisi kemerdekaan, agar setiap rakyat merasakan nikmatnya hasil kemerdekaan, dan bangsa Indonesia maju bersama sejajar dengan bangsa-bangsa lainnya. Kita tidak peduli bangsa penjajah itu akan meminta maaf atau tidak, sejatinyalah tetap negeri Indonesia bangkit meraih kejayaan. Sudah terlalu lama kita terus terombang-ambing dan diadu domba terus. Tentunya kita harus terus waspada atas politik adu domba, pecah belah, dan politik belah bambu yang nyata-nyata menteror pembangunan Indonesia, mereka tidak rela atas kemerdekaan Indonesia. Selama 65 tahun sudah kemerdekaan kita proklamasikan, upaya mengisi kemerdekaan harus nyata bagi seluruh rakyat, tanah air tumpah darah Indonesia. Kita perlu memperbaharui pengetahuan, keterampilan dan cara berpikir (mind set) agar mampu mengelola dan memperbaiki negeri di masa depan. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN 2010-2015) maupun RPJPN 2025 semoga dapat terealisasikan, bukan hanya sekedar menjadi dokumen perencanaan pembangunan semata, namun terimplementasikan secara nyata bagi seluruh lapisan masyarakat. Pembangunan dapat dirasakan menyeluruh bagi masyarakat, tidak hanya dinikmati segelintir kelompok, tidak elitis, tidak terkonsentrasi pada wilayah-wilayah tertentu saja, tetapi menyebar ke seluruh pelosok tanah air, tidak hanya di perkotaan, tetapi juga di perdesaan. Hal ini dapat tercapai dengan mengoptimalkan berbagai sumberdaya yang dimiliki, termasuk modal keuangan, modal 5 fisik, modal manusia, modal teknologi, maupun modal sosial. Semoga merdeka terus negeriku, sejahtera rakyatnya, jayalah negeriku, Indonesia. Amin. 6