bab i pendahuluan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pemerintah di seluruh dunia pada dasarnya dihadapkan dengan kerentanan fiskal. Hemming (2000)
mendefinisikan kerentanan fiskal adalah ketika pemerintah gagal dalam melakukan koordinasi antar
kebijakan fiskal secara keseluruhan. Indikator kerentanan fiskal yang dihadapi adalah meningkatnya
risiko fiskal dan ketidakpastian dalam pelaksanaan kebijakan fiskal. Ketidakpastian ini biasanya terjadi
dalam pelaksanaan anggaran yang mengarah pada terjadinya risiko fiskal dan akan menyebabkan
kerentanan fiskal. Risiko fiskal didefinisikan sebagai potensi tambahan defisit APBN yang disebabkan
oleh sesuatu kondisi di luar kendali pemerintah. Brixi dan Shick (2002) mendefinisikan risiko fiskal
sebagai suatu sumber tekanan atau beban keuangan yang akan dihadapi pemerintah pada masa
mendatang, yang kemudian risiko fiskal ini di hubungkan dengan salah satu kewajiban kontingensi
pemerintah.
Palackova (1998) menjelaskan beberapa alasan utama yang menyebabkan risiko fiskal adalah:
Pertama, meningkatnya integrasi pasar uang dunia yang dilihat dari volume dan volatilitas arus modal
swasta internasional. Kedua, pergeseran peran negara dari pembiayaan langsung dan memberikan
layanan untuk menjamin sektor swasta agar mencapai tingkat hasil tertentu. Ketiga, bias dalam
pengambilan keputusan pada pembuat kebijakan dalam mencapai keseimbangan anggaran atau target
defisit tertentu. penyesuaian fiskal yang berkonsentrasi pada pengurangan defisit mungkin mengabaikan
risiko fiskal yang ada dengan memprioritaskan kebijakan struktural. Keempat, adanya moral hazard di
pasar karena persepsi bahwa pemerintah memiliki beberapa tanggung jawab, seperti dukungan
pemerintah menawarkan bank-bank besar yang lemah, perusahaan, dan pemerintah daerah. Sebagian
besar risiko fiskal yang muncul di luar rencana anggaran (off-budget) berasal dari janji eksplisit dan
1
ekspektasi implisit atau yang biasa disebut dengan kewajiban kontingensi dari pemerintah ketika sesuatu
yang salah terjadi.
Brixi dan Shick (2002) menjelaskan bahwa risiko fiskal yang dihadapi oleh beberapa negara
dikarenakan perhatian pemerintah terhadap kondisi fiskalnya hanya berfokus kepada isu-isu seputar
penerimaan dan pengeluaran yang secara eksplisit tercantum pada pos-pos anggaran pemerintah.
Padahal justru kegiatan dan hal-hal yang kemungkinan bisa menimbulkan kewajiban kontingensi lebih
penting untuk diperhatikan dan dipertimbangkan. Kewajiban kontingensi ini dapat menghambat kinerja
fiskal yang artinya akan menghambat pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Brixi dan Gooptu (2002) telah mengidentifikasi terdapat sepuluh jenis kewajiban kontingensi fiskal
di Indonesia. Dari sepuluh jenis tersebut, terdapat empat kewajiban kontigensi eksplisit dan sisanya
merupakan kewajiban kontingensi implisit. Kewajiban kontingensi eksplisit adalah kewajiban
pemerintah yang tercantum dalam undang-undang atau kontrak. Sedangkan kewajiban kontingensi
implisit merupakan kewajiban moral pemerintah akibat tekanan publik.
Adapun kewajiban kontingensi eksplisit yang dihadapi Indonesia adalah blanket guarantee atas
simpanan pihak ketiga di bank yang besar bebannya mencapai Rp 600 triliun dalam kurun waktu 19971999, jaminan terhadap interbank claim, jaminan atas pinjaman non-utang negara oleh UKM, petani,
Bulog, dan lembaga lainnya, dan jaminan perdagangan dan selisih melalui bank eskpor, BPPN, dan
lembaga lainnya. Sedangkan kewajiban kontingensi implist yang dihadapi adalah kerugian yang terkait
dengan take-or-pay kontrak dari perusahaan penyedia layanan publik, dukungan kepada perusahaanperusahaan dimana pemerintah mungkin menutup kerugian dan menanggung kewajiban non-jaminan
dari badan usaha milik negara dan swasta, subsidi terkait dengan harga beras melalui Bulog dan harga
BBM melalui Pertamina, adanya kemungkinan untuk rekapitulasi lanjutan pada Bank Indonesia, adanya
kemungkinan untuk rekapitulasi lanjutan pada perbankan untuk bank yang gagal mencapai rasio modal-
2
aset (capital-asset ratio), dan yang terakhir adalah adanya kemungkinan pengalihan kewajiban daerah
ke pusat.
Pengungkapan risiko fiskal di Indonesia secara eksplisit baru dilakukan dalam Rencana Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2008. Pengungkapan risiko fiskal diperlukan untuk
menciptakan keterbukaan tentang posisi fiskal pemerintah dan untuk lebih menjamin terjaganya
kesinambungan pendapatan negara, belanja negara, dan pembiayaan anggaran. Dalam RAPBN disusun
berdasarkan berbagai asumsi dan estimasi yang ada pada saat penyusunan yang mungkin akan berbeda
dengan realisasinya. Perbedaan antara asumsi serta estimasi dengan realisasinya inilah yang perlu
dicermati karena dapat berdampak pada risiko fiskal. Risiko fiskal yang tercantum dalam RAPBN 2008
adalah sensifitas asumsi ekonomi makro, pelaksanaan program penjaminan infrastruktur, program
Public Service Obligation (PSO), kondisi kesehatan BUMN, bencana alam, rencana kebijakan pensiun
dan jaminan sosial, posisi utang pemerintah, dan risiko pelaksanaan desentralisasi fiskal.
Di sisi lain, salah satu yang menjadi perhatian dunia saat ini adalah tingginya harga pasaran minyak
mentah dunia. Minyak mentah merupakan salah satu faktor penentu dalam perekonomian global. Secara
umum, harga minyak meningkatkan transfer pendapatan dari negara importir ke eksportir melalui
perdagangan. Perbedaan dampak kenaikan harga minyak tergantung pada beban minyak terhadap
pendapatan nasional, tingkat ketergantungan impor minyak dan kemampuan menekan konsumsi dan
menggantinya dengan sumber energi lainnya.
Sadorsky (1990) dan Hamilton (1983) mengindikasikan harga-harga komoditas, khususnya harga
energi berdampak signifikan menekan perekonomian suatu negara. Secara ekonomi makro, naiknya
harga minyak berdampak pada perekonomian secara keseluruhan sehingga pembuat kebijakan publik
dan swasta di semua negara mempertimbangkan harga minyak sebagai faktor input ekonomi yang
sangat krusial. Kenyataannya, kenaikan harga pada minyak secara proporsional akan menaikan harga
yang harus dibayar oleh konsumen untuk barang dan jasa dan mampu mempengaruhi inflasi, biaya
3
produksi, menekan permintaan bukan minyak, dan menurunkan investasi pada negara net-importer
minyak. Selain itu, penerimaan negara dari sisi pajak akan menurun dan defisit anggaran akan
meningkat akibat dari naiknya pengeluaran pemerintah. Kenaikan harga minyak juga dapat
meningkatkan pengangguran karena tertekannya tingkat upah nominal dan menurunnya permintaan
barang.
Berdasarkan data harga minyak versi Brent dated, gambar 1.1 menunjukan selama kurun waktu
1977 hingga 2012 harga minyak dunia berfluktuasi. Pada tahun 1977 hingga awal 1980an terdapat
kenaikan harga minyak dunia yang disebabkan adanya perang Iraq. Pada tahun 1991 kenaikan harga
minyak dunia juga terjadi karena perang Teluk Persia. Namun, kenaikan harga minyak dunia secara
drastis terjadi pada tahun 1999 dan tahun 2003 dimana berada pada tingkat di atas US$ 25/barel dan
terus sampai diatas US$ 72,52/barel pada tahun 2007.
Adapun beberapa alasan yang menyebabkan berfluktuasinya harga minyak dunia, yaitu perubahanperubahan harga minyak mentah dipengaruhi oleh negara penghasil minyak mentah yang tergabung
dalam Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC). Pertama, adalah aspek fundamental
ekonomi yang disebabkan oleh sisi penawaran dan permintaan minyak. Dilihat dari sisi penawaran,
kenaikan ini disebabkan oleh ketatnya cadangan prasarana pengadaan minyak, yang meliputi kapasitas
produksi, pengangkutan, dan terutama kapasitas kilang. Terlebih apabila pada negara-negara anggota
OPEC terjadi praktek kartel, dimana negara-negara ini melakukan kesepakatan dalam jumlah produksi
dan harga minyak. Sedangkan dilihat dari sisi permintaan, kita ketahui bahwa semakin banyak
permintaan negara-negara akan minyak mentah juga akan mempengaruhi harga minyak mentah. Seperti
berkembangnya perekonomian negara China dan India ditambah dengan tingginya pertumbuhan
penduduk. Kedua, aspek sejarah dan politik dimana meningkatnya harga minyak dunia karena
digunakan sebagai alasan untuk memperebutkan kekuasaan atau yang biasa disebut faktor geopolitik.
4
Ketiga, aspek spekulasi. Sektor finansial pada aspek ini sangat berpengaruh, dimana manajer keuangan
masuk dalam bidang minyak untuk melakukan spekulasi.
Gambar 1.1 Harga Nominal Minyak Dunia (US$/Barel) Tahun 1977-2012
120,00
Harga Minyak Dunia
100,00
80,00
60,00
40,00
20,00
0,00
Tahun
Sumber: www.bp.com
Gambar 1.1 menunjukan bahwa harga minyak dunia terus berfluktuasi, Indonesia selaku negara
net-importer minyak pun merasakan dampak dari berfluktuasinya harga minyak dunia. Hal ini
menyebabkan ketidakseimbangan fiskal yang dikarenakan menurunnya pendapatan nasional karena
harus memberikan subsidi langsung pada komoditas BBM. Melihat dari sejarahnya, kebijakan subsidi
BBM ini telah dilakukan pemerintah selama lebih dari tiga puluh tahun. Kebijakan tersebut diterapkan
sejak Tahun Anggaran (TA) 1977/1978 dengan tujuan untuk melindungi keluarga miskin dan memacu
gairah pertumbuhan ekonomi. Hal ini dilakukan karena BBM merupakan sumber energi yang krusial
bagi penggerak perekonomian nasional karena peningkatan harga BBM memiliki dampak signifikan
terhadap stabilitas perekonomian nasional. Untuk menjaga kestabilan tersebut maka pemerintah
memberikan subsidi BBM kepada masyarakat. Namun seiring dengan harga minyak dunia yang
cenderung terus meningkat, beban subsidi BBM pun semakin meningkat. Artinya, akan semakin
5
menekan anggaran pemerintah dan meningkatkan tekanan politik dan sosial (International Energy
Agency, 2004).
Pada gambar 1.2 dapat dilihat bahwa subsidi BBM juga telah memicu terjadinya intensitas
permintaan dan pemakaian BBM dalam negeri. Padahal kapasitas produksi minyak mentah belum
mampu mengimbangi kenaikan permintaan tersebut. Terbukti pada tahun 2003 tingkat konsumsi minyak
Indonesia telah melebihi tingkat produksinya. Maka dari itu rasanya diperlukan kebijakan yang mampu
mengimbangi kenaikan permintaan BBM dan anggaran subsidi BBM tanpa mengabaikan pertumbuhan
ekonomi.
Gambar 1.2 Grafik Produksi dan Konsumsi Minyak mentah Indonesia Tahun 1980-2011
1800
Barel per hari (Ribuan)
1600
1400
1200
1000
800
Produksi
600
Konsumsi
400
200
0
1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010
Tahun
Sumber: U.S Energy Information administration (EIA)
Senada dengan dua hal di atas, Ong (2007) menyampaikan bahwa ada dua risiko fiskal yang
dihadapi oleh pemerintah Indonesia dalam menghadapi kenaikan harga minyak dunia. Pertama, risiko
fiskal yang muncul dari pemberian subsidi BBM. Tingginya harga minyak dunia yang diikuti dengan
tingginya permintaan BBM dalam negeri akan mengakibatkan meningkatnya risiko pemerintah dalam
pemberian subsidi BBM. Kedua, risiko fiskal yang muncul dari produksi minyak. Tingginya harga
6
minyak dunia yang tidak diikuti dengan peningkatan penawaran minyak olahan dalam negeri akan
mengakibatkan defisit anggaran.
Dilihat dari struktur risiko pada Palackova (1998), Brixi (2005), Brixi dan Mody (2002), dan Ulfa
dan Zulfadin (2004), isu BBM di Indonesia dapat dimasukan dalam risiko fiskal melalui transmisi
subsidi BBM. Kebijakan subsidi BBM ini bersifat eksplisit dan implisit. Dikatakan eksplisit saat dana
untuk kegiatan subsidi BBM tersebut sudah dialokasikan dalam APBN dan realisasinya cenderung rutin.
Namun, dikatakan implisit saat pengeluaran ini merupakan cadangan untuk melakukan kegiatan subsidi
BBM atau kebutuhan dana melebihi daripada yang telah dianggarkan di APBN, artinya pemerintah
terpaksa mengalokasikan dana karena kewajiban moral atau karena adanya tekanan politis dan
kepentingan kelompok tertentu.
Subsidi BBM merupakan selisih harga antara hasil penjualan BBM dalam negeri dengan seluruh
biaya pengadaan BBM yang harus dikeluarkan. Oleh karena itu, besar kecilnya subsidi BBM sangat
ditentukan oleh hasil penjualan BBM di dalam negeri, yang besarnya tergantung kepada harga penjualan
dan jumlah konsumsi di dalam negeri. Selain itu, subsidi BBM juga ditentukan oleh biaya pengadaan
BBM yang dipengaruhi oleh biaya pembelian minyak mentah, biaya pengolahan, dan biaya distribusi
BBM. Harus diingat bahwa biaya pembelian minyak mentah merupakan komponen terbesar dalam
pengadaan BBM, maka subsidi BBM yang diberikan seringkali berbeda dengan perhitungan semula
karena pengaruh gejolak harga minyak di pasar internasional seperti yang ditunjukan gambar 1.3.
7
Gambar 1.3 Perkembangan Realisasi Subsidi BBM Tahun 1977-2012
250000
Miliar Rupiah
200000
150000
100000
RAPBN
APBN
50000
0
Tahun
Sumber: Nota Keuangan dan APBN dan SEKI, (diolah)
Apabila melihat dari sejarahnya, realisasi pemberian subsidi pada tahun 1977/1978 masih dalam
jumlah yang kecil, yaitu hanya sebesar Rp 62,2 Miliar. Namun, sampai pada tahun 2007 realisasi subsidi
yang diberikan terus meningkat hingga mencapai Rp 68,57 Triliun bahkan menurut Kemenkeu (2013)
pada tahun 2012 telah mencapai angka Rp 211,9 Triliun.
Semakin besarnya pemberian subsidi BBM membuat pemerintah sulit untuk mewujudkan targettarget pembangunan ekonomi karena tidak sedikit porsi dari anggaran pemerintah dialokasikan kepada
subsidi BBM. Akibatnya karena lambatnya pembangunan membuat infrastruktur Indonesia lemah,
sehingga Foreign Direct Investment (FDI) kurang tertarik untuk masuk. Selain itu lapangan pekerjaan
tidak bertambah sehingga pengangguran akan meningkat dan daya beli masyarakat melemah. Di sisi
lain, kebijakan ini menciptakan diinsentif bagi perkembangan produksi energi alternatif karena
permintaan yang terus meningkat pada BBM bersubsidi yang membuat rapuhnya ketahanan energi
Indonesia. Kondisi ini meningkatkan defisit neraca perdagangan Indonesia akibat impor migas lebih
besar dari ekspor migas sehingga berdampak pada depresiasi nilai tukar rupiah.
8
Rumitnya berbagai permasalahan BBM di Indonesia yang mengganggu pembiayaan negara
melalui subsidi BBM harus menjadi perhatian yang sangat serius bila tidak terpecahkan akan terus
mengganggu keseimbangan dan kesinambungan fiskal Indonesia terlebih dengan kondisi harga minyak
dunia yang cenderung terus meningkat dan sulit untuk diprediksi. Oleh karena itu peneliti merasa sangat
penting untuk dilakukannya analisis terhadap seberapa besarnya risiko fiskal yang dihadapi anggaran
negara melalui subsidi BBM akibat dari kenaikan harga minyak dunia.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, kewajiban kontingensi fiskal dan risiko fiskal di
dalamnya menjadi perhatian yang sangat penting guna menganalisis kebijakan fiskal Indonesia. Risiko
dapat didefinisikan sebagai kejadian yang merugikan atau definisi lain yang sering dipakai dalam
analisis investasi, adalah kemungkinan hasil yang diperoleh menyimpang dari yang diharapkan. Hanafi
(2006) menyatakan bahwa risiko muncul karena ketidakpastian yang dapat dilihat dari fluktuasi yang
tinggi. Artinya, semakin tinggi fluktuasi maka semakin besar ketidakpastian.
Besar-kecilnya kewajiban kontingensi subsidi BBM yang diberikan memiliki kriteria risiko yang
disebut underrisk, dimana dalam kondisi ini pembuat keputusan memiliki pengetahuan dan pengalaman
dalam rangka proses pengambilan keputusan yang berhubungan dengan alteratif-alternatif yang tersedia.
Brixi dan Gooptu (2002) menyatakan bahwa salah satu yang menjadi risiko fiskal di Indonesia adalah
pemberian subsidi BBM yang dapat membebani negara. Kondisi ini ibarat sebuah bom waktu yang siap
meledak kapan saja. Mengingat konsumsi BBM selaku kebutuhan pokok sangatlah tinggi, terlebih
sebagian produk BBM masih disubsidi oleh pemerintah. Kebijakan pemberian subsidi BBM ini
menghadapi tingginya konsumsi BBM dalam negeri dan kondisi Indonesia selaku net-importer. Selain
itu, risiko fiskal juga muncul dari tingkat produksi minyak. Tingginya harga minyak dunia yang tidak
diikuti dengan peningkatan penawaran minyak olahan dalam negeri akan mengakibatkan defisit
anggaran sehingga dengan melihat harga minyak yang terus meningkat dan tidak ada tanda-tanda
9
mengalami penurunan yang signifikan maka sektor fiskal Indonesia menjadi sangat rentan. Apabila
pemerintah melakukan kesalahan estimasi pengeluaran dalam anggarannya maka akan mengakibatkan
terjadinya kekacauan pada sektor fiskal.
Ada empat pertimbangan mengapa subsidi BBM harus diukur. Pertama, subsidi BBM dapat
menjadi kewajiban-kewajiban yang mungkin terus timbul di masa depan baik secara ekonomi maupun
finansial kepada lembaga terkait. Kedua, analisis atau bahaya ekonomi makro terhadap guncangan
eksternal, membutuhkan informasi yang baik dengan pihak luar negeri. Ketiga, ketika aktifitas ini terkait
dengan aktifitas lintas negara dan informasinya tidak tersedia maka akan sulit mengakses posisi
keuangan suatu perekonomian dengan luar negeri. Keempat, kewajiban subsidi BBM pemerintah dan
bank sentral dapat menjadi sangat signifikan pengaruhnya terhadap defisit anggaran dan kebutuhan
pembiayaan.
1.3 Pernyataan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas, pernyataan masalah penelitian ini adalah: Kenaikan harga
minyak dunia berpotensi memberikan tekanan keuangan atau risiko fiskal pada sektor fiskal Indonesia
melalui transmisi kewajiban kontingensi subsidi BBM dan perubahan tingkat produksi minyak (Lifting)
Indonesia.
1.4 Pertanyaan Masalah
Pertanyaan penelitian yang akan dijawab dalam penelitian skripsi ini antara lain:
1. Berapa besarkah risiko fiskal dari pemberian subsidi BBM membebani fiskal Indonesia?
2. Bagaimana respon risiko fiskal karena guncangan harga minyak dunia, guncangan kurs riil
Rp/US$, tingkat produksi minyak (lifting), dan tingkat konsumsi BBM dalam negeri?
10
1.5 Tujuan Penelitian
Penelitian dalam skripsi ini memiliki tujuan, yaitu:
1. Menganalisis risiko fiskal yang dihadapi pemerintah Indonesia karena pemberian subsidi BBM.
2. Menganalisis respon risiko fiskal karena fluktuasi harga minyak dunia, guncangan kurs riil
Rp/US$, tingkat produksi minyak (lifting), dan tingkat konsumsi BBM dalam negeri.
11
Download