BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Salah satu masalah penting dalam bidang pendidikan adalah mutu pendidikan. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional telah bertekad untuk melakukan peningkatan mutu pada semua jenis dan jenjang pendidikan. Adanya peningkatan mutu pendidikan salah satunya dapat dillihat dari hasil prestasi belajar siswa-siswanya. Pendidikan di Indonesia dapat dikatakan masih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Salah satu indikator keberhasilan pendidikan dapat terlihat dari prestasi belajar anak didik. Prestasi belajar siswa di Indonesia khususnya Matematika dapat dikatakan masih rendah. Hal ini dapat terlihat dari data PISA (Programme for International Student Assessment) (OECD, 2012), yang menunjukkan bahwa prestasi belajar Matematika siswa Indonesia berada di peringkat dua terbawah untuk skor Matematika pada survei tahun 2012. Dari total 65 negara dan wilayah yang masuk pada survei PISA, Indonesia menduduki peringkat ke-64 atau hanya lebih tinggi satu peringkat dari Peru. Data lain menyebutkan bahwa Indonesia menempati peringkat 38 dari 42 negara pada skor rata-rata prestasi belajar Matematika kelas delapan. Survei ini berdasar data pada TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study) tahun 2011 yang menyatakan bahwa negara Indonesia jauh tertinggal dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya seperti Singapura, Thailand, dan Malaysia (Keswara, 2013). 1 2 Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang diujikan di Ujian Nasional (UN) pada semua jenjang pendidikan termasuk Sekolah Menengah Atas (SMA). Capaian yang diperoleh siswa pada mata pelajaran Matematika, menjadi salah satu bobot penilaian yang penting dalam penentuan kelulusan di UN. Meskipun demikian, bukan berarti prestasi Matematika senantiasa menggembirakan. Hal ini tampak dari pernyataan Menteri Pendidikan Nasional, Muhammad Nuh, yang menyatakan bahwa berdasarkan data yang ada, mata pelajaran yang banyak diulang oleh siswa adalah mata pelajaran Matematika, bahasa Indonesia, dan Biologi (Kemdiknas, 2011). Berdasarkan data Analisis dan Pemanfaatan Hasil Ujian Nasional SMA Sederajat Tahun 2013-2014 (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan & Tempo, 2014) menyebutkan data bahwa daya serap nasional mata pelajaran jurusan IPA adalah sebagai berikut: 1) Bahasa Indonesia (71,20%); 2) Fisika (64,51%); 3) Bahasa Inggris (64,33%); 4) Biologi (61,02%); 5) Matematika (60,12%); dan 6) Kimia (59,82%). Mata pelajaran Matematika pada siswa SMA jurusan IPA dapat dikategorikan rendah dibandingkan dengan mata pelajaran lainnya, meskipun bukan yang terendah. Peneliti telah melakukan studi awal siswa SMA “X” jurusan IPA di Yogyakarta. Data menunjukkan bahwa nilai raport semester ganjil T.A. 2013/2014 yang berada di bawah KKM (Kriteria Kelulusan Minimal) pada pelajaran Matematika sebanyak 87 dari 309 siswa atau sebesar 28,16%. Nilai KKM pelajaran Matematika di sekolah ini ialah 76. National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) menjelaskan bahwa di masa sekarang ini, siapa saja yang memahami dan mampu menguasai 3 Matematika akan mempunyai peluang secara signifikan lebih besar untuk membangun masa depannya (dalam Varol & Farran, 2006). Menurut Sembiring (dalam Sembiring, Hadi, & Dolk, 2008), salah satu tujuan pengajaran dan pembelajaran Matematika di Indonesia adalah untuk mengembangkan kemampuan penalaran dan kemampuan logika siswa, serta menjadi salah satu metode untuk mengembangkan pola penalaran siswa secara lebih sistematis. Matematika menjadi ilmu yang penting, hal ini juga diungkap oleh Woolfolk (2007) bahwa Matematika merupakan salah satu kemampuan dasar yang harus dikuasai siswa, di samping kemampuan membaca dan menulis, karena ketiga kemampuan tersebut menjadi dasar untuk mempelajari ilmu yang lain. Senada dengan pendapat di atas, ulasan dari Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP, 2006), mengemukakan bahwa Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan mengembangkan daya pikir manusia. Dengan demikian, siswa dapat menggunakan kemampuan penalaran dan logika berpikirnya untuk dapat memecahkan permasalahan yang dihadapinya seharihari. Mata pelajaran Matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari Sekolah Dasar (SD) hingga SMA. Hal ini penting untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, kreatif, dan kemampuan bekerjasama. Kompetensi tesebut diperlukan agar peserta didik dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif (BSNP, 2006). 4 Berbagai fakta di atas pada akhirnya menunjukkan masih ada yang perlu dibenahi dalam proses penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, khususnya pada jenjang SMA terkait prestasi belajar Matematika. Prestasi belajar siswa dapat dipengaruhi oleh banyak faktor. Secara umum, faktor yang dapat mempengaruhi prestasi belajar siswa dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu faktor internal dan eksternal siswa/lingkungan sekitar siswa (Suryabrata, 2011). Peran lingkungan dapat dilihat dari sudut pandang ekologi seperti yang dijelaskan oleh Brofenbrenner (Santrock, 2010), bahwa faktor lingkungan dapat mempengaruhi performa belajar siswa. Hal ini dapat dipahami dengan melihat tingkatan yang dapat mempengaruhi individu. Interaksi yang terjadi pada mikrosistem meliputi individu dengan keluarga, sekolah, teman sebaya, dan tetangga mampu saling memberikan pengaruh pada performa individu. Keterkaitan antara lingkungan sekolah dengan rumah dapat menjadi indikator capaian prestasi siswa di sekolah. Prestasi siswa di sekolah memerlukan hubungan yang positif antara lingkungan sekolah dan rumah (Santrock, 2011). Studi oleh Gregory dan Weinstein (2004) menunjukkan bahwa prestasi belajar Matematika pada siswa SMA mampu diprediksi dari persepsi siswa yang positif atas hubungan antara kondisi lingkungan di rumah (orangtua) dan di sekolah (guru). Interaksi individu dengan orang lain di lingkungan sekitarnya secara positif merupakan konsep umum dari istilah dukungan sosial. Dukungan sosial ialah adanya suatu rasa nyaman, adanya bantuan, dan adanya suatu informasi yang didapat melalui adanya interaksi individu atau kelompok (Prokop, Bradley, Burish, Anderson, & Fox, 1991). Dukungan sosial dapat meningkatkan fungsi 5 individu dan atau mampu menjadi penyokong dari akibat yang kurang baik (Malecki & Demaray, 2002). Siswa usia remaja identik dengan teman sebaya sebagai faktor lingkungan yang banyak memberikan pengaruh, namun pada konteks pendidikan khususnya terkait dengan keberhasilan siswa di sekolah, dukungan orangtua dan guru merupakan sumber dukungan yang paling berkontribusi daripada dukungan teman (Demaray & Malecki, 2002; Malecki & Demaray, 2003; Fezer, 2008). Okun, Sandler, dan Baumann (dalam Goldsmith, 2004) mengungkapkan bahwa dukungan guru dan keluarga (tetapi bukan dukungan dari teman) merupakan penyangga siswa dari dampak negatif pada kejadian negatif di sekolah dan mendorong dampak positif pada kejadian positif di sekolah. Hasil studi oleh French, Rianasari, Pidada, Nelwan, dan Buhrmester (2001) yang membandingkan antara remaja Amerika dengan Indonesia menyebutkan bahwa remaja di Indonesia memeringkat lebih tinggi pada anggota keluarga daripada teman dalam hal dukungan sosial yang diterimanya. Hal ini senada dengan Mufarrikhatul (2011), bahwa faktor dukungan orangtua memberikan kontribusi secara langsung pada prestasi akademik siswa (termasuk Matematika) sebesar 81,6 % pada siswa SMA kemudian oleh dukungan sosial yang diterima dari teman sebesar 11,6 % pada siswa SMA. Dukungan orangtua dan guru berdampak positif pada siswa usia remaja terkait prestasi belajar. Pada kenyataannya, masih terdapat siswa yang merasa kurang mendapatkan dukungan, baik dari orangtua maupun dari guru. Hal ini terlihat dari pemaparan guru Bimbingan dan Konseling (Ibu Etna) yang disampaikan pada situs “Guraru” (Guru Era Baru) mengenai dukungan orangtua 6 dan guru. Beliau menyatakan bahwa dukungan orangtua dan guru mampu memberikan keyakinan pada siswa untuk berperilaku rajin di sekolah sehingga siswa mampu meraih prestasi belajar dengan lebih baik. Ibu Etna telah menangani kasus seorang siswa yang bernama Gundi. Gundi mendapatkan label “anak super malas” di sekolahnya. Gundi ingin merubah perilakunya yang buruk namun terlihat hampir putus asa karena kurangnya dukungan sosial yang diberikan kepadanya. Ibu Etna menuturkan bahwa lingkungan di sekolah (guru dan temantemannya) kurang memberikan lingkungan yang kondusif pada masa perubahan perilaku Gundi tersebut. Ibu Etna kembali menuturkan bahwa Gundi sebenarnya anak yang baik. Gundi hanya membutuhkan dukungan dari lingkungannya (orangtua, guru, dan teman-temannya). Selama proses konseling, Ibu Etna memberikan dukungan sosial yang maksimal kepada Gundi selama di sekolah. Tidak hanya itu, Ibu Etna juga melakukan mediasi dengan orangtua Gundi agar mereka juga memberikan dukungannya atas usaha Gundi selama di rumah. Ibu Etna menyatakan bahwa orangtua Gundi telah berupaya memberi dukungan yang baik selama di rumah agar tetap bersemangat di sekolah. Selama proses konseling berlangsung, Gundi mulai memperlihatkan perubahan perilakunya yang mulai rajin dalam bidang akademik, baik di sekolah maupun di rumah sehingga prestasi belajar di sekolah mulai meningkat (Etna, 2013). Berdasarkan pendekatan humanistik, siswa yang mendapatkan dukungan secara sosial (socially supportive) akan mampu mengurangi tekanan dan kecemasan yang dirasakan siswa ketika siswa merasa kesulitan secara kognitif untuk mempelajari sesuatu atau menghindar dari tugas akademiknya. Peran lingkungan dengan adanya dukungan tersebut merupakan sumber pemenuhan 7 kebutuhan siswa terhadap rasa cemas dan takut yang melibatkan emosi siswa. Hal ini dikarenakan adanya persepsi dan emosi yang negatif pada siswa akan banyak memerlukan usaha dalam memenuhi kebutuan individu tersebut. Dukungan dari orangtua dan guru merupakan sumber pemenuhan kebutuhan siswa agar siswa memiliki perasaan positif mengenai diri mereka dan mempersepsi sekolah sebagai tempat yang akan mendukung atas usaha siswa untuk memperoleh pengetahuan dan ketrampilan yang baru (Snowman & McCown, 2012). Penulis telah melakukan wawancara kepada guru BK (Bimbingan dan Konseling) di tiga SMA di Yogyakarta. Penulis merangkum hasil pemaparan guru-guru BK tersebut. Guru-guru BK tersebut menuturkan bahwa perilaku yang secara umum dapat mengakibatkan prestasi siswa rendah ialah pertengkaran antarsiswa/geng, perilaku membolos, bullying, dan ramai di kelas. Perilaku negatif siswa di sekolah tersebut dapat diakibatkan karena siswa kurang mendapatkan dukungan sosial, baik dari orangtuanya maupun dari gurunya. Orangtua yang terlalu sibuk atau kondisi keluarga yang bermasalah juga dapat menjadi penyebab siswa berprestasi rendah. Penyebab dari perilaku siswa ramai di kelas dapat dikarenakan dukungan guru yang kurang (mengajar secara monoton, pengajaran kurang menarik minat siswa, sikap guru yang tidak adil, dsb.). Berdasar pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa rendahnya dukungan dari orangtua dan guru dapat menyebabkan rendahnya prestasi belajar siswa. Berdasarkan pemaparan kasus di atas, dapat ditinjau dari pendekatan humanistik. Menurut Schunk (2012), pada sejumlah SMA yang mempunyai 8 banyak kasus dengan kekerasan dan tekanan yang berkaitan dengan perilaku gerombolan siswa (gang behaviors) dapat menyebabkan prestasi siswa yang rendah. Peran orangtua dan guru menjadi penting dalam memberikan dukungan kepada siswa. Jika siswa merasa takut atau terancam berada di sekolah dikarenakan maraknya perilaku bullying/gang di sekolah, kebutuhan siswa akan rasa aman tidak terpenuhi. Hal ini akan menyebabkan siswa menjadi terganggu konsentrasi belajarnya di dalam kelas. Pada kasus seperti ini diperlukan adanya komunikasi antara pihak guru, orangtua, serta siswa-siswa di sekolah. Pada konteks keluarga, jika siswa berada pada lingkungan keluarga yang destruktif, peran guru ialah mengkomunikasikan bahwa orangtua perlu untuk menyediakan lingkungan rumah yang kondusif bagi anak. Proses pembelajaran dengan pendekatan humanistik ini ialah mampu menunjukkan pandangan positif (positive regard) kepada siswa, mendorong siswa pada pertumbuhan personalnya dengan menyediakan kesempatan dan pilihan kepada siswa, serta memfasilitasi pembelajaran dengan menyediakan sumber-sumber dan dukungan-dukungan yang mewadai (Schunk, 2012). Uraian di atas ditegaskan oleh pemaparan lebih lanjut dari hasil wawacara dengan guru-guru BK. Guru-guru BK tersebut menegaskan akan pentingnya perhatian, dukungan, dan pendekatan secara emosional yang dilakukan oleh orangtua dan guru kepada siswa agar siswa lebih berperilaku baik di sekolah. Jika anak merasa nyaman, dihargai, dan senang di rumah, anak akan melakukan tindakan yang positif di sekolah karena kebutuhan emosinya terpenuhi. Siswa akan lebih mudah dalam memahami materi yang dipersepsinya sulit ketika guru mampu memberikan bentuk-bentuk dukungannya kepada siswa. Siswa tidak takut untuk bertanya jika guru selalu menghargai siswa. Hal tersebut 9 akan berdampak positif pada nilai pelajarannya. Penulis menyimpulkan bahwa dukungan dari orangtua dan guru diperlukan bagi siswa untuk memberikan pengaruh positif pada prestasi belajar siswa. Pada pendekatan humanistik, peran dukungan sosial menjadi hal yang penting terkait prestasi belajar siswa. Hal ini dikarenakan pada pendekatan ini tidak hanya melibatkan faktor kognitif saja, tetapi juga faktor afeksi (Lefrancois, 2000; Woolfolk, 2007; Sternberg & Williams, 2009; Schunk, 2012), melibatkan proses interaksi sosial yang positif (Parsons, Hinson, & Brown, 2001; Sternberg & Williams, 2009; Santrock, 2011), serta dukungan sosial merupakan sumber pemenuhan kebutuhan siswa untuk berprestasi (Lefrancois, 2000; Sternberg & Williams, 2009; Schunk, 2012; Snowman & McCown, 2012). Ulasan di atas dapat dijelaskan bahwa siswa yang mendapat dukungan dari sosialnya untuk dapat memenuhi deficiency needs (kebutuhan fisiologis, rasa aman, cinta dan kepemilikan, dan harga diri) akan mendorong siswa untuk memenuhi kebutuhan selanjutnya, yaitu growth needs (kebutuhan kognitif, estetik, dan aktulisasi diri). Prestasi siswa dalam hal ini adalah kebutuhan aktualisasi diri (Lefrancois, 2000). Kebutuhan-kebutuhan defisiasi (deficiency needs) ini dapat terpenuhi dengan adanya dukungan sosial, dengan melihat aspek-aspek pada dukungan sosial yaitu: 1) Emotional support; 2) Appraisal support; 3) Instrumental support; dan 4). Informational. Aspek-aspek dukugan sosial tersebut mengacu pada House (dalam House & Kahn, 1985). Prestasi belajar pada siswa SMA dapat dilihat dari tingkat penerimaan dukungan sosial yang diberikan oleh orangtua. Pendapat ini dijelaskan oleh Suhaili (2007) yang meneliti 130 siswa SMKN I Godean Sleman. Hasil studinya 10 menyatakan bahwa dukungan orangtua dan motivasi belajar siswa memberi pengaruh pada prestasi belajar siswa (termasuk Matematika). Studi oleh Mufarrikhatul (2011) pada 131 siswa SMA di Gresik menyatakan bahwa adanya hubungan positif antara dukungan orangtua terhadap prestasi akademik siswa (termasuk Matematika). Pendapat di atas ditegaskan oleh Iksan (2012) yang menunjukkan hasil bahwa faktor dukungan orangtua memberikan kontribusi secara langsung pada prestasi akademik (termasuk Matematika) siswa sebesar 81,6 % pada siswa SMA. Prestasi belajar pada siswa SMA dapat dilihat dari tingkat penerimaan dukungan sosial yang diberikan oleh guru. Studi oleh Widyaningsih (2006) menyatakan bahwa persepsi anak terhadap dukungan guru, keterlibatan orangtua, dan inteligensi berpengaruh positif terhadap prestasi belajar siswa. Dukungan orangtua dapat memberikan kontribusi positif pada prestasi belajar Matematika siswa (Tocci & Engelhard, 1991; Lee, Smith, Perry & Smylie, 1999; Downs, 2006; Chiu, 2010; Harrison, 2011; dan Syafaruddin, 2012). Prestasi belajar Matematika juga tidak lepas dari adanya dukungan dari guru. Studi oleh Lee, et al. (1999); Lopez, Ehly, dan Garcia-Vazquez (2002); serta Chen (2005) mengungkap adanya dukungan guru yang berkorelasi positif terhadap prestasi belajar Matematika. Berdasarkan uraian di atas, dukungan sosial dari orangtua dan guru merupakan faktor eksternal yang dapat mempengaruhi prestasi belajar Matematika pada siswa. Inteligensi mempunyai kontribusi terkait prestasi Matematika. Hal ini dikarenakan Matematika merupakan pelajaran yang menuntut kemampuan abstraksi. Siswa dikenalkan dengan operasi yang menggunakan angka dan 11 simbol untuk memecahkan suatu masalah Matematika, misalnya penjumlahan dan pengurangan. Oleh karena itu, faktor inteligensi merupakan faktor untuk mendukung kesuksesan belajar Matematika karena Matematika meliputi proses berpikir yang cukup kompleks (Woolfolk, 2007). Inteligensi sebagai salah satu faktor internal yang dapat mempengaruhi prestasi belajar Matematika dapat terlihat dari hasil studi Siegler, Duncan, DavisKean, Duckworth, Claessens, Engel, Susperreguy, dan Chen (2012); Rosal, Jorge, dan Sierra (2012); Murayama, Pekrun, Lichtenfeld, dan Hofe (2012); dan Rustika (2014). Berdasarkan pemaparan di atas, terlihat bahwa dukungan orangtua, dukungan guru, dan inteligensi berkorelasi positif terhadap prestasi belajar, khususnya prestasi belajar Matematika. B. Rumusan Permasalahan Permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah apakah dukungan orangtua, dukungan guru, dan inteligensi dapat memprediksi prestasi belajar Matematika siswa SMA. C. Tujuan dan Manfaat Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji secara empiris dukungan orangtua, dukungan guru, dan inteligensi sebagai prediktor prestasi belajar Matematika siswa SMA. Manfaat Penelitian Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan menambah informasi data empirik dan pengetahuan di bidang psikologi, khususnya psikologi pendidikan 12 mengenai dukungan orangtua, dukungan guru, dan inteligensi sebagai prediktor prestasi belajar Matematika siswa SMA. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan informasi bagi pihak sekolah tentang peranan dukungan orangtua, dukungan guru, dan inteligensi siswa terhadap prestasi belajar Matematika siswa SMA. Manfaat praktis bagi orangtua yaitu tentang peranan dukungan orangtua dan inteligensi siswa terhadap prestasi belajar Matematika siswa SMA. D. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya Penelitian dengan judul Social Support from Parents, Friends, Classmates, and Teachers in Children and Adolescents Aged 9 to 18 Years: Who Is Perceived as Most Suportive? oleh Bokhorst, Sumter, dan Westenberg (2009), bertujuan untuk melihat perbedaan di antara usia dan jenis kelamin terhadap bentuk dukungan sosial yang dirasakannya dari orangtua, teman, teman kelas, dan guru. Penelitian ini dilakukan kepada 304 siswa laki-laki dan 351 siswa perempuan dengan rentang usia 9-18 tahun. Alat ukur yang digunakan adalah Social Support Scale for Children and Adolescents terdiri dari 24 butir dengan analisis statistik anava tiga jalur mix model. Hasilnya menunjukkan bahwa tingkat persepsi siswa atas dukungan orangtua dan teman dirasakan sama, hanya pada rentang usia 16-18 tahun. Dukungan guru lebih rendah pada kelompok usia yang lebih tua. Penelitian dengan judul Relation of Academic Support From Parents, Teacher, and Peers to Hong Kong Adolescents’ Academic Achievement: The Mediating Role of Academic Role of Academic Engagement oleh Chen (2005) dengan subjek siswa usia remaja (14-20 tahun) di Hong Kong, menguji 13 hubungan dukungan akademik dari orangtua, guru, dan teman sebaya dengan prestasi akademik (Matematika, Bahasa Inggris, dan Bahasa Cina) dengan mediator keterlibatan akademik. Alat ukur yang digunakan yaitu Perceived Parental Academic Support Scale, Perceived Teacher Academic Support Scale, Perceived Friend/Peer Academic Support Scale, dan Perceived Academic Engagement Scale. Hasilnya berupa dukungan guru paling besar memprediksi prestasi akademik, diikuti oleh dukungan orangtua, lalu kemudian dukungan teman sebaya. Dukungan orangtua dan guru secara langsung berhubungan dengan prestasi akademik. Penelitian dengan judul Assessing Teacher and Parent Support as Moderators in The Relationship Between Black High School Student’s Academic Achievement and Sosioeconomic Status oleh Harrison (2011), menguji hubungan di antara prestasi akademik siswa SMA, dukungan orangtua, dukungan guru, status sosial ekonomi dengan menggunakan analisis sekunder dari Educational Longitudinal Study 2002. Subjeknya ialah 15.362 siswa dari 752 sekolah di Kolombia. Alat ukur yang digunakan berupa survei kepada siswa menggunakan ELS:2002 serta kuisioner yang diberikan kepada siswa dan orangtua. Analisis yang digunakan adalah analisis regresi. Hasilnya menunjukkan adanya korelasi positif pada persepsi dukungan orangtua dengan prestasi akademik (Membaca dan Matematika), namun pada dukungan guru hasil korelasi tidak signifikan dengan prestasi akademik. Penelitian oleh Fezer (2008) dengan judul Adolescent Social Network: Student Academic Success It Relates To Source And Type Of Support Received, menguji dampak dukungan sosial pada siswa SMA dengan keberhasilan di 14 sekolah (rata-rata hasil akademik, kehadiran di sekolah, kepuasan pada sekolah, dan perilaku di sekolah). Penelitian ini fokus pada sumber dukungan (orangtua, guru, dan teman) dan bentuk dukungan sosial yang diberikan (emosi, informasi, instrumental, dan penghargaan). Subjeknya meliputi 471 sekolah dari tingkat 912 dari wilayah perkotaan dengan skala menggunakan laporan diri menggunakan Child and Adolescents Social Support Scale (CASSS). Hasilnya menunjukkan tingkat dukungan sosial dari guru dengan bentuk dukungan informasi dan emosi berkontribusi pada keberhasilan siswa di sekolah. Dukungan orangtua dan dukungan guru berdampak pada kehadiran di sekolah, nilai hasil belajar, kepuasan di sekolah, dan perilaku siswa di sekolah. Dukungan dari teman sangat berpengaruh kepada perkembangan sosial remaja. Pada konteks pendidikan, khususnya terkait dengan keberhasilan siswa di sekolah, dukungan orangtua menjadi hal yang paling berkontribusi, diikuti oleh dukungan dari guru, kemudian dari teman sekelas. Dari uraian di atas, penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya. Perbedaannya terletak pada lokasi penelitian, karakteristik subjek penelitian, tinjauan yang digunakan, dan skala yang digunakan.