1 pendahuluan tinjauan pustaka

advertisement
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara
megabiodiversitas terbesar di dunia dan juga
dikenal sebagai gudangnya tumbuhan obat
(herbal). Salah satu tanaman herbal yang
dapat dimanfaatkan dalam teknologi
nanobiomedis adalah temulawak.
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza
Roxb.) merupakan tanaman obat berupa
tumbuhan rumpun berbatang semu yang
paling banyak digunakan sebagai bahan
baku pembuatan obat dan jamu. Bagian
temulawak yang biasa dimanfaatkan adalah
rimpangnya. Hasil penelitian di bidang
kedokteran, diketahui bahwa khasiat
temulawak terutama disebabkan oleh
kurkuminoid dan minyak atsiri.
Kurkuminoid
memberikan
warna
kuning pada rimpang temulawak dan
mempunyai khasiat medis (Suwiah 1991).
Zat ini berkhasiat menetralkan racun,
sebagai anti bakteri dan antioksidan,
menghilangkan rasa nyeri pada sendi,
menurunkan kadar kolesterol dan trigliserida
darah. Sedangkan minyak atsiri pada
temulawak berkhasiat sebagai colagoga,
yaitu bahan yang dapat merangsang
pengeluaran cairan empedu yang berfungsi
sebagai penambah nafsu makan dan anti
spasmodicum, yaitu menenangkan dan
mengembalikan kekejangan otot (Liang et
al. 1985).
Konsumsi ekstrak temulawak secara
oral dapat mengurangi efisiensi penyerapan
oleh tubuh. Salah satu upaya yang telah
dikembangkan
untuk
mengatasi
permasalahan tersebut adalah penyalutan
dengan metode enkapsulasi. Salah satu
penyalut yang aman digunakan adalah
kitosan yang merupakan hasil ekstraksi
limbah kulit hewan golongan Crustacea (Hu
et al. 2007).
Kitosan merupakan produk deasetilisasi
kitin yang bersifat tidak beracun,
biokompatibel, dan biodegradabel. Selain
itu, kitosan bersifat polikatonik dalam
suasana asam (Sutriyo et al. 2005) dan dapat
membentuk gel karena adanya ikatan silang
ionik kitosan-kitosan (Berger et al. 2005).
Dengan struktur yang mirip dengan selulosa
dan kemampuannya membentuk gel dalam
suasana asam, kitosan juga memiliki sifat
sebagai matriks dalam sistem penghantaran
obat ke dalam tubuh (Sutriyo et al. 2005).
Kitosan telah banyak digunakan
sebagai penyalut obat dengan tujuan
mengoptimalisasi penyerapan obat pada sel
target. Kitosan juga dapat digunakan sebagai
penyalut ekstrak temulawak. Sifat mekanik
kitosan yaitu mudah rapuh. Untuk
menstabilkan sifat mekanik tersebut,
digunakan TPP (tripolyphosphate) sebagai
ikatan silangnya. Desai & Park (2005)
membuktikan bahwa mikrosfer kitosan yang
berikatan silang dengan tripolifosfat dapat
digunakan sebagai penyalut obat dengan
metode pengeringan semprot (spray drying).
Enkapsulasi dengan menggunakan
partikel nano menyebabkan ekstrak mudah
menyebar dalam darah dan lebih akurat
dalam mencapai target (Poulain & Nakache
1998). Teknologi nanokapsul berkembang
dalam dunia medis karena manfaatnya
dalam sistem penghantaran obat dimana
dengan ukuran nano obat dapat dihantarkan
tepat mencapai bagian yang sakit di dalam
tubuh. Metode yang umum digunakan dalam
pembuatan nanopartikel adalah atrisi dan
pirolisis. Metode lain yang sedang
berkembang saat ini adalah metode
sonokimia
dengan
memanfaatkan
gelombang
ultrasonik.
Penggunaan
gelombang ultrasonik dalam pembentukan
materi berukuran nano merupakan metode
yang sangat efektif.
Tujuan Penelitian
Membuat nanopartikel ekstrak temulawak
tersalut kitosan dengan variasi konsentrasi
TPP dan waktu sonikasi, serta penggunaan
wadah yang berbeda dalam proses
pembuatannya.
Hipotesis
1. Semakin
banyak konsentrasi
TPP
diharapkan dapat meningkatkan kekuatan
mekanik kitosan.
2. Semakin bertambahnya waktu sonikasi,
diharapkan
akan
menghasilkan
nanopartikel ekstrak temulawak dan
kehomogenan larutan.
3. Kehomogenan ukuran partikel jika
ditinjau dari bentuk wadah yang
digunakan untuk suatu sampel.
TINJAUAN PUSTAKA
Kitosan
Kitin adalah polisakarida terbanyak
kedua setelah selulosa dan berasal dari
kerangka luar hewan kelas Crustaceae. Kitin
bersifat sangat hidrofobik dan tidak larut
dalam air, basa, atau pelarut organik umum
(Thatte 2004). Kitosan tersusun atas
2
senyawa polisakarida
(1-4)-2-amino-2deoksi-D-glukosa yang saling berikatan beta
(Sutriyo et al. 2005). Struktur kitosan
disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1 Struktur kimia kitosan
Kitosan
merupakan
kitin
yang
terdeasetilasi dengan rumus molekul
(C6H11NO4)n berupa padatan amorf dan
merupakan salah satu dari sedikit polimer
alami yang berbentuk polielektrolit kationik
dalam larutan asam organik. Kitosan tidak
larut dalam air, alkohol, dan aseton. Dalam
asam anorganik, seperti HCl dan HNO3,
kitosan larut pada konsentrasi 1,1%, tetapi
tidak larut pada konsentrasi 10%. Sifat
kelarutan ini dipengaruhi oleh bobot
molekul dan derajat deasetilasi (Muzi dalam
Jamaludin 1994).
Kitosan tidak beracun dan mudah
terbiodegradasi. Struktur yang mirip dengan
selulosa dan dengan kemampuannya
membentuk gel dalam suasana asam, kitosan
mempunyai sifat sebagai matriks dalam
sistem pengantaran obat (Sutriyo et al.
2005).
Sejauh ini kitosan telah digunakan
dalam bidang pertanian, pengolahan air,
industri pangan, industri kosmetika, farmasi,
kedokteran, industri aneka (seperti industri
cat dan tekstil), bioteknologi, dan sektor
industri lainnya (Hirano 1996). Dalam
bidang makanan, kitosan dapat berfungsi
sebagai bahan pembentuk gel, pembentuk
tekstur, dan pelembut (Sanford 1989).
Dalam bidang kesehatan dan farmasi,
kitosan dapat digunakan sebagai diet serat
dan obat penurun kandungan kolesterol di
dalam darah (Kato et al. 1994).
Karakteristik fisiokimia kitosan seperti
fleksibilitas rantai dalam larutan, sifat
reologi, ukuran kristal dan kristalinitas
kitosan bergantung pada faktor intrinsik
seperti derajat deastilasi, distribusi grup
asetil, bobot molekular, dan distribusinya
(Jin Li et al. 2008). Karakteristik fisiokimia
kitosan dapat dilihat pada Tabel 1.
Sifat mekanik kitosan yaitu mudah
rapuh. Untuk menstabilkan sifat mekanik
tersebut, digunakan TPP (tripolyphosphate)
sebagai cross-linknya. TPP merupakan
polianion yang tidak beracun jika
dinteraksikan dengan kitosan dalam media
asam melalui kekuatan elektrostatik ion
untuk membentuk jaringan cross-link.
Tabel 1 Spesifikasi kitosan niaga
No
Parameter
Ciri
Serbuk sampai
1
Ukuran Partikel
bubuk
Warna
Putih kelabu
2
3
Kelarutan
97% dalam 1%
asam asetat
4
Kadar abu (%)
≤ 2.0
5
Kadar air (%)
≤ 10.0
6
Warna larutan
Tak berwarna
7
N-deasetilasi (%) ≥ 70.0
8
Ph
6.5-8.0
9
Viskositas (cPs)
rendah
< 200
medium
200 – 799
tinggi
800 – 2000
sangat tinggi
> 2000
10 Titik leleh
Tak ada data
Gel Kitosan
Gelasi
atau
pembentukan
gel
merupakan gejala penggabungan atau
pengikatan silang rantai-rantai polimer
membentuk jaringan tiga-dimensi yang
sinambung dan dapat memerangkap air di
dalamnya menjadi suatu struktur yang
kompak dan kaku yang tahan terhadap aliran
bertekanan (Fardiaz 1989). Gel yang dapat
menahan air dalam strukturnya disebut
hidrogel (Wang et al. 2004). Hidrogel dapat
diklasifikasikan menjadi hidrogel kimia dan
fisika. Hidrogel kimia dibentuk dari reaksi
yang tidak dapat balik, sedangkan fisika
dibentuk oleh reaksi yang dapat balik.
Contoh hidrogel kimia adalah hidrogel
kitosan yang berikatan silang secara kovalen
(Stevens 2001; Berger et al. 2004).
Larutan kitosan pada batas konsentrasi
tertentu dalam asam asetat 1% dapat
membentuk gel. Gel kitosan yang terbentuk
dapat diperbaiki sifatnya (menurunnya
waktu gelasi dan meningkatnya kekuatan
mekanik gel) dengan penambahan PVA
(Wang et al. 2004).
Ikatan silang kovalen dalam hidrogel
kitosan dapat dibedakan menjadi 4 bagian,
yaitu ikatan silang kitosan-kitosan, jaringan
polimer hibrida atau HPN (hybrid polymer
network), jaringan polimer saling-tembus
tanggung atau utuh (semi-IPN atau full-IPN,
interpenetrating polymer network), dan
3
kitosan berikatan silang ionik yang
ditunjukkan pada Gambar 2. Ikatan silang
kitosan-kitosan terjadi diantara dua unit
struktur pada rantai polimer kitosan yang
sama. Pada HPN, ikatan silang terjadi antara
satu unit dari struktur rantai kitosan dan unit
lain dari struktur polimer tambahan. Semiatau full-IPN terjadi jika ada penambahan
polimer lain yang tidak bereaksi dengan
larutan kitosan sebelum terjadi taut silang.
Pada semi-IPN, polimer yang ditambahkan
hanya melilit. Pada
full-IPN ada
penambahan dua senyawa penaut silang
yang terlibat pada jaringan (Berger at al.
2004).
Gambar 2 Struktur hidrogel kitosan: (a)
ikatan
silang
kitosankitosan,
(b)
jaringan
polimer hibrida, (c) jaringan
semi-IPN, dan (d) kitosan
berikatan silang (Berger et
al. 2004)
Temulawak
(Curcuma
xanthorrhiza
Roxb.)
Temulawak merupakan tanaman obat
berupa tumbuhan rumpun berbatang semu.
Di daerah Jawa Barat temulawak disebut
sebagai koneng gede sedangkan di Madura
disebut sebagai temu lobak. Berdasarkan
klasifikasi botani, temulawak termasuk
dalam dunia Plantae, divisi Spermatophyta,
sub
divisi
Angiospermae,
kelas
Monocotyledoneae, keluarga Zingiberaceae,
genus Curcuma, dan spesies Curcuma
xanthorrhiza Roxb.
Bagian
temulawak
yang
biasa
dimanfaatkan adalah rimpangnya (Gambar
3). Kandungan kimia rimpang temulawak
sebagai sumber bahan pangan, bahan baku
industri atau bahan baku obat dapat
dibedakan atas beberapa fraksi yaitu fraksi
pati, kurkuminoid, dan fraksi minyak atsiri
(Sidik et al. 1995 dalam Irawati 2008).
Selain ketiga fraksi tersebut, masih terdapat
kandungan lain dalam rimpang temulawak
yaitu lemak, serat kasar, dan protein (Suwiah
1991 dalam Aan 2003). Senyawa aktif yang
banyak dimanfaatkan dari ekstrak tanaman
temulawak adalah
kurkuminoid dan
xanthorrhizol. Presentase komposisi ekstrak
temulawak dapat dilihat pada Tabel 2.
Fraksi
kurkuminoid
merupakan
komponen yang memberi warna kuning
berbentuk serbuk dengan rasa pahit, larut
dalam aseton, alkohol, asam glasial, alkohol
hidroksida, memiliki aroma yang khas, dan
tidak bersifat toksik. Kurkuminoid rimpang
temulawak terdiri atas desmetoksikurkumin
dan kurkumin yang memiliki rumus struktur
(Gambar 4) dan bobot molekul
368 g/mol (Sidik et al. 1995 dalam Irawati
2008).
Gambar 3 Rimpang temulawak
Tabel 2 Kandungan kimia ekstrak
temulawak hasil ekstraksi alkohol 70%
Kandungan ekstrak temulawak
Kadar
Minyak atsiri
6.48
Kurkumin
1.36
Xanthorrhizol
1.86
Sumber: Materia Medika Indonesia (1979)
dalam Sembiring et al. (2006).
Gambar 4 Struktur kimia kurkumin
Di Indonesia, rimpang temulawak
biasanya digunakan untuk jamu godog.
Manfaat lain dari rimpang temulawak adalah
sebagai obat jerawat, meningkatkan nafsu
4
makan, anti kolesterol, anti inflamasi,
anemia, antioksidan, pencegah kanker, dan
anti mikroba. Khasiat temulawak yang
menyehatkan dan menyembuhkan berbagai
penyakit disebabkan oleh adanya senyawa
kurkuminoid. Kekurangan temulawak adalah
rasanya yang pahit dengan bau aromatik
yang tajam dan lama penyimpanan akan
mengurangi kadar minyak atsiri dan
kurkuminoidnya. Salah satu cara untuk
menutupinya adalah dengan menyalut obat
dalam nanokapsul gel.
Sonikasi
Gelombang
ultrasonik
merupakan
gelombang mekanik longitudinal yang
memiliki frekuensi 20 KHz ke atas. Pada
alat Ultrasonics Processor Cole-Parmer
(Gambar 5), spesifikasi yang dapat diperoleh
yaitu frekuensi yang tidak bisa dirubahrubah sebesar 20 kHz dan daya sebesar 130
watt. Pada alat tersebut juga terdapat waktu
sonikasi, amplitudo, dan pulsa gelombang
yang dapat diatur sesuai kebutuhan.
Gelombang suara ultrasonik dapat
didengar dan digunakan sebagai alat
komunikasi oleh pendengaran beberapa jenis
binatang, seperti anjing, kelelawar, dan
lumba-lumba. Gelombang ultrasonik juga
merupakan rambatan energi dan momentum
mekanik, sehingga membutuhkan medium
untuk merambat sebagai interaksi dengan
molekul. Medium yang digunakan antara
lain padat, cair, dan gas (Tipler 1998).
Gambar 5 Alat Ultrasonics Processor
Batas atas rentang ultrasonik mencapai
5 MHz untuk gas dan mencapai 500 MHz
untuk cairan dan padatan. Penggunaan
ultasonik berdasarkan rentangnya yang luas
ini dibagi menjadi dua bagian. Bagian
pertama adalah suara beramplitudo rendah
(frekuensi lebih tinggi). Gelombang
beramplitudo rendah ini secara umum
digunakan untuk analisis pengukuran
kecepatan dan koefisien penyerapan
gelombang pada rentang 2 hingga 10 MHz.
Bagian kedua adalah gelombang berenergi
tinggi dan terletak pada frekuensi 20 hingga
100 KHZ. Gelombang ini dapat digunakan
untuk pembersihan, pembentukan plastik,
dan modifikasi bahan-bahan organik
maupun anorganik (Mason et al. 2002).
Ultrasonik intensitas tinggi dapat
menginduksi konsekuensi fisika dan kimia
yang cukup luas. Efek fisika dari ultrasonik
intensitas tinggi adalah emulsifikasi. Pada
sistem polimer termasuk dispersi bahan
pengisi dan bahan lainnya kedalaman
polimer dasar (contohnya pada formulasi
cat), enkapsulasi partikel inorganik dengan
polimer, modifikasi ukuran partikel pada
serbuk polimer, hingga pembentukan dan
pemotongan termoplastik (Suslick et al.
1999). Efek kimianya, gelombang ultrasonik
tidak secara langsung berinteraksi dengan
molekul-molekul untuk menginduksi suatu
perubahan kimiawi. Hal ini dikarenakan
panjang gelombang ultrasonik yang terlalu
panjang jika dibandingkan dengan panjang
gelombang molekul-molekul.
Penggunaan gelombang ultrasonik
(sonikasi) sangat efektif dalam pembentukan
materi
berukuran
nano.
Gelombang
ultrasonik banyak diterapkan pada berbagai
bidang seperti dalam bidang instrumentasi,
kesehatan, dan sebagainya. Salah satu yang
terpenting
dari
aplikasi
gelombang
ultrasonik adalah pemanfaatannya dalam
menimbulkan efek kavitasi akustik. Efek ini
akan digunakan dalam pembuatan bahan
berukuran nano dengan metode emulsifikasi
(Nakahira 2007 dalam Hapsari 2009).
Ketika gelombang ultrasonik menjalar
pada fluida, terjadi siklus rapatan dan
regangan. Tekanan negatif yang terjadi
ketika regangan menyebabkan molekul
dalam fluida tertarik dan terbentuk
kehampaan,
kemudian
membentuk
gelembung yang akan menyerap energi dari
gelombang suara sehingga dapat memuai.
Gelembung akan berosilasi dalam siklus
rapatan dan regangan.
Selama osilasi, sejumlah energi
berdifusi masuk atau keluar gelembung.
Energi masuk terjadi ketika regangan dan
energi keluar ketika rapatan, dalam hal ini
energi yang keluar lebih kecil daripada
energi yang masuk sehingga gelembung
memuai sedikit demi sedikit selama
regangan kemudian menyusut selama
rapatan. Ukuran kritis gelembung ini disebut
ukuran resonan yang tergantung pada fluida
5
dan frekuensi suara. Dalam kondisi ini,
gelembung tidak dapat lagi menyerap energi
secara efisien. Tanpa energi input,
gelembung tidak dapat mempertahankan
dirinya, fluida di sekitarnya akan
menekannya
dan
gelembung
akan
mengalami
ledakan
hebat
yang
menghasilkan tekanan sangat besar.
Gelembung inilah yang disebut sebagai
gelembung kavitasi.
Selama perambatan gelombang suara
dalam medium intensitas gelombang
semakin menurun seiring makin besarnya
jarak dari sumber radiasi dengan persamaan
I = I0 exp (-2αd)
(1)
α merupakan koefisien atenuasi. Lamanya
waktu sonikasi juga mempengaruhi energi
yang diberikan pada molekul. Semakin lama
waktu sonikasi, maka akan semakin besar
enegi yang diberikan. Hal ini terkait dengan
persamaan
E=Pt
(2)
dengan P sebagai daya.
Dalam penelitian ini, efek kavitasi
digunakan dalam proses emulsifikasi yang
melibatkan polimer di dalamnya. Efek
ultrasonik pada polimer adalah pemutusan
dan
pembentukan
ikatan,
sehingga
memungkinkan terjadi perubahan struktur.
Dalam proses kavitasi terbentuk gelembung
yang berasal dari salah satu fasa yang
didispersikan dalam fasa yang lain, di mana
gelembung kavitasi merupakan fasa minyak
yang didispersikan dalam fasa air karena
memiliki volume yang lebih rendah. Dengan
efek pecahnya kavitasi, maka emulsifikasi
yang disebabkan oleh penjalaran ultrasonik
akan efektif dengan terdispersinya fasa
minyak yang mengandung agregat nanosfer
dalam fasa air, sehingga nanosfer yang telah
terbentuk dapat dapat terdispersi stabil.
Bentuk dan ukuran gelembung akan
mempengaruhi
bentuk
dan
ukuran
nanopartikel yang terbentuk (Hielscher
2005).
Pada proses sonikasi terjadi siklus
peredaman gelombang dimana terjadi
penurunan energi mekanik terhadap waktu
dan resonansi, ketika frekuensi gelombang
mendekati frekuensi gelembung kavitasi (f0
 f), gelembung akan pecah (Tipler 1998).
Hal inilah yang menyebabkan nanopartikel
yang terkungkung di dalamnya juga dapat
terpisah satu sama lain sehingga didapatkan
nanosfer dengan ukuran kecil (Hapsari
2009).
Suspensi dalam larutan menghasilkan
kecepatan tumbuk antar partikel yang dapat
merubah morfologi permukaan, komposisi,
dan reaktivitas (Suslick et al. 1999).
Semakin lama proses sonikasi ini akan
menyamaratakan energi yang diterima
partikel diseluruh
bagian sisi larutan,
sehingga ukuran partikel semakin homogen.
Pengeringan Semprot (spray drying)
Metode pengeringan semprot (spray
drying) merupakan metode yang paling
mudah dan sederhana untuk mengkapsulasi
suatu bahan karena larutan suspensi yang
akan dinanoenkapsulasi cukup dimasukkan
ke dalam alat pengering semprot dengan
serbuk nanokapsul sebagai produk. Metode
ini dapat dilakukan melalui beberapa
tahapan, yaitu (1) produk yang berupa cairan
didispersikan dalam penyemprot (sprayer),
(2) kontak antara semprotan dengan udara
panas, (3) pengeringan semprotan, dan (4)
pemisahan antara produk kering (aliran
serbuk bebas) dan udara.
Keuntungan nanoenkapsulasi dengan
metode pengeringan semprot ini diantaranya
ialah (1) meningkatnya stabilitas serbuk, (2)
teknik yang dapat dipercaya, (3) biaya yang
murah, (4) menghasilkan serbuk berupa
partikel mikrokapsul yang kecil, (5) teknik
yang ramah, terhindar dari penggunaan
pelarut organik, (6) dilakukan satu tahap,
atau dengan kata lain prosesnya sinambung
(continuous), dan (7) merupakan metode
yang fleksibel, dapat digunakan untuk
enkapsulasi polimer-polimer yang berbeda
dan suhu berbeda (Yundhana 2008).
XRD (X-Ray Diffraction)
Analisis XRD dapat memberikan
informasi mengenai struktur sampel, seperti
sistem kristal, parameter kisi, dan
orientasinya. Selain itu juga berguna untuk
mengidentifikasi suatu campuran yang
merupakan identifikasi fase sampel semi
kuantitatif dengan menghitung fraksi
volume suatu sampel, rasio fraksi area
kristalin terhadap fraksi total area.
Analisis XRD menggunakan emisi
sinar-X dihasilkan dari tumbukan antara
elektron dan target berupa Cr, Fe, Co, Cu,
Mo, atau W (Cullity 1956). Emisi sinar-X
didistribusikan secara kontinyu dan spesifik
untuk setiap panjang gelombang target.
Sinar-X ditransmisikan melewati sampel
yang akan dikarakterisasi, sehingga sinar-X
6
akan ditransform menjadi beragam jenis
energi dan diserap sebagian.
Interaksi sinar-X dengan sampel
menimbulkan difraksi sekunder yang
dihubungkan dengan jarak interplanar dalam
serbuk kristal sesuai dengan Hukum Bragg
di bawah ini:
n λ = 2 d sin θ
(3)
n merupakan bilangan bulat, λ merupakan
panjang gelombang sinar-X, d merupakan
jarak interplanar penyebab difraksi, dan θ
merupakan sudut difraksi. Besaran λ dan d
dihitung dalam satuan yang sama, biasanya
dalam angstroms (Cullity 1956).
Gambar 6 Hukum Bragg
Berdasarkan Hukum Bragg (Gambar 6),
jika seberkas sinar-X di jatuhkan pada
sampel kristal,maka bidang kristal itu akan
membiaskan sinar-X yang memiliki panjang
gelombang sama dengan jarak antar kisi
dalam kristal tersebut. Sinar yang dibiaskan
akan ditangkap oleh detektor kemudian
diterjemahkan sebagai sebuah puncak
difraksi. Makin banyak bidang kristal yang
terdapat dalam sampel, makin kuat intensitas
pembiasan yang dihasilkannya. Tiap puncak
yang muncul pada pola XRD mewakili satu
bidang kristal yang memiliki orientasi
tertentu dalam sumbu tiga dimensi. Puncakpuncak yang didapatkan dari data
pengukuran ini kemudian dicocokkan
dengan standar difraksi sinar-X untuk
hampir semua jenis material. Standar ini
disebut JCPDS.
SEM (Scanning Electron Microscope)
Metode yang cukup terkenal dalam
mengkarakterisasi
nanopartikel
adalah
dengan menggunakan SEM. Analisis SEM
digunakan untuk mengidentifikasi morfologi
permukaan nanopartikel kitosan yang
terlihat melalui suatu gambar.
Scanning Electron Microscope (SEM)
memberikan penjelasan yang detail dari
permukaan,
memberikan
informasi
mengenai ukuran dan bentuk yang homogen
atau tidak dari bahan nanopartikel. Terdapat
percepatan elektron (electron gun) dalam
SEM untuk memproduksi elektron dengan
menghasilkan pancaran elektron, serta lensalensa elektromagnetik yang dihubungkan
dengan sistem kondensor. Lensa-lensa
tersebut dioperasikan pada permukaan
sampel.
Lensa pemfokus pertama menghasilkan
pancaran dan batas arus, pada celah lensa
berfungsi untuk mengurangi pembelokan
sudut. Lensa pemfokus kedua membentuk
pelemahan (pancaran sinar koheren), celah
lensa dikendalikan untuk mengurangi
pembelokan sudut dari pancaran lensa
pertama (Gabriel 1985).
Tembakan elektron hanya mengenai
sampel pada daerah yang sangat kecil.
Elektron direfleksikan dari sampel atau
diserap oleh sampel secara elastis dan
memberinya elektron sekunder dengan
energi sangat rendah bersamaan dengan
sinar-X. Elektron-elektron tersebut terserap
dan meningkatkan emisi cahaya tampak,
kemudian meningkatkan arus listrik pada
sampel. Hal ini dapat menghasilkan gambar
yang terbentuk dari elektron sekunder yang
berenergi rendah (Gabriel 1985).
Prinsip kerja dari SEM yaitu sebuah
percepatan
elektron
(electron
gun)
memproduksi sinar elektron dan dipercepat
dengan
anoda.
Lensa
magnetik
memfokuskan elektron menuju ke sampel.
Sinar elektron yang terfokus mendeteksi
keseluruhan sampel dengan diarahkan oleh
koil pendeteksi. Ketika elektron mengenai
sampel maka sampel akan mengeluarkan
elektron baru yang akan diterima oleh
detektor dan dikirim ke monitor (CRT).
Secara lengkap skema SEM dijelaskan oleh
gambar dibawah ini:
Gambar 7 Skema SEM
7
FTIR (Fourier Transform Infrared)
FTIR (Fourier Transform Infrared)
merupakan suatu metode spektroskopi IR.
Spektrometer
Infrared
(IR)
dapat
mengidentifikasi
kandungan
gugus
kompleks dalam senyawa tetapi tidak dapat
menentukan molekular-unsur penyusunnya.
Pada spektroskopi IR, radiasi IR
dilewatkan pada sempel. Sebagian dari
radiasi IR diserap oleh sampel dan sebagian
lainnya diteruskan. Jika frekuensi dari suatu
vibrasi spesifik sama dengan frekuensi
radiasi IR yang langsung menuju molekul,
molekul akan menyerap radiasi tersebut.
Spektrum yang dihasilkan menggambarkan
absorpsi
dan
transmisi
molekular,
membentuk sidik jari molekular suatu
sampel (Anonim 2001).
Sistem optik Spektrofotometer FTIR
seperti pada gambar dibawah ini (Gambar 8)
dilengkapi dengan cermin yang bergerak
tegak lurus dan cermin yang diam. Dengan
demikian radiasi infra merah akan
menimbulkan
perbedaan jarak
yang
ditempuh menuju cermin yang bergerak (M)
dan jarak cermin yang diam (F). Perbedaan
jarak tempuh radiasi tersebut adalah 2 yang
selanjutnya disebut sebagai retardasi (δ).
Hubungan antara intensitas radiasi IR yang
diterima detektor terhadap retardasi disebut
sebagai interferogram. Sedangkan sistim
optik dari Spektrofotometer IR yang
didasarkan atas bekerjanya interferometer
disebut sebagai sistim optik Fourier
Transform Infra Red.
Pada sistim optik FTIR digunakan
radiasi LASER (Light Amplification by
Stimulated Emmission of Radiation) yang
berfungsi
sebagai
radiasi
yang
diinterferensikan dengan radiasi infra merah
agar sinyal radiasi infra merah yang diterima
oleh detektor secara utuh dan lebih baik.
Detektor yang digunakan dalam
Spektrofotometer FTIR adalah TGS (Tetra
Glycerine Sulphate) atau MCT (Mercury
Cadmium Telluride). Detektor MCT lebih
banyak digunakan karena memiliki beberapa
kelebihan dibandingkan detektor TGS, yaitu
memberikan respon yang lebih baik pada
frekwensi modulasi tinggi, lebih sensitif,
lebih cepat, tidak dipengaruhi oleh
temperatur, sangat selektif terhadap energi
vibrasi yang diterima dari radiasi infra
merah.
Gambar 8 Sistem optik Spektrofotometer
FTIR
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan
September 2009 sampai dengan bulan
Januari 2010 di Laboratorium Biofisika
Departemen Fisika, Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut
Pertanian Bogor.
Alat dan Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah serbuk kitosan, asam asetat 2%,
tripolifosfat (TPP) dengan konsentrasi 0,5%
dan 1%, ekstrak temulawak dalam etanol
teknis 70%, dan aquades. Peralatan yang
digunakan adalah neraca analitik, magnetic
stirrer, Ultrasonics Processor (Cole-Parmer
20 kHz 130 watt), beaker glass 500 mL,
beaker glass 1000 mL, gelas ukur, sudip,
pipa voltmetrik, dan balmer.
Metode Penelitian
Pembuatan
Nanopartikel
Ekstrak
Temulawak Tersalut Kitosan
Kitosan sebanyak 4 gram dilarutkan
dalam 200 ml asam asetat 2% menggunakan
magnetic stirrer sehingga diperoleh
konsentrasi kitosan 2% (b/v). 200 ml larutan
kitosan ditambahkan ke dalam 100 mL TPP
0,5% yang larut dalam aquades, kemudian
larutan tersebut disonikasi menggunakan
prosesor ultrasonik dengan daya 130 watt
dan frekuensi 20 kHz selama 30 menit.
Setelah
disonikasi,
larutan
tersebut
dikeringkan dengan menggunakan spray
dryer sehingga diperoleh sampel dalam
bentuk serbuk. Serbuk larutan kitosan dan
TPP 0,5% dari sampel tersebut, dilarutkan
kembali dalam 200 mL asam asetat 2% dan
100 mL aquades menggunakan magnetic
stirrer dengan pemanasan sedang (30°C)
agar serbuk larut sempurna. Sebanyak 2 mL
ekstrak temulawak 5% ditambahkan pada
Download