1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara megabiodiversitas terbesar di dunia dan juga dikenal sebagai gudangnya tumbuhan obat (herbal). Salah satu tanaman herbal yang dapat dimanfaatkan dalam teknologi nanobiomedis adalah temulawak. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan tanaman obat berupa tumbuhan rumpun berbatang semu yang paling banyak digunakan sebagai bahan baku pembuatan obat dan jamu. Bagian temulawak yang biasa dimanfaatkan adalah rimpangnya. Hasil penelitian di bidang kedokteran, diketahui bahwa khasiat temulawak terutama disebabkan oleh kurkuminoid dan minyak atsiri. Kurkuminoid memberikan warna kuning pada rimpang temulawak dan mempunyai khasiat medis (Suwiah 1991). Zat ini berkhasiat menetralkan racun, sebagai anti bakteri dan antioksidan, menghilangkan rasa nyeri pada sendi, menurunkan kadar kolesterol dan trigliserida darah. Sedangkan minyak atsiri pada temulawak berkhasiat sebagai colagoga, yaitu bahan yang dapat merangsang pengeluaran cairan empedu yang berfungsi sebagai penambah nafsu makan dan anti spasmodicum, yaitu menenangkan dan mengembalikan kekejangan otot (Liang et al. 1985). Konsumsi ekstrak temulawak secara oral dapat mengurangi efisiensi penyerapan oleh tubuh. Salah satu upaya yang telah dikembangkan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah penyalutan dengan metode enkapsulasi. Salah satu penyalut yang aman digunakan adalah kitosan yang merupakan hasil ekstraksi limbah kulit hewan golongan Crustacea (Hu et al. 2007). Kitosan merupakan produk deasetilisasi kitin yang bersifat tidak beracun, biokompatibel, dan biodegradabel. Selain itu, kitosan bersifat polikatonik dalam suasana asam (Sutriyo et al. 2005) dan dapat membentuk gel karena adanya ikatan silang ionik kitosan-kitosan (Berger et al. 2005). Dengan struktur yang mirip dengan selulosa dan kemampuannya membentuk gel dalam suasana asam, kitosan juga memiliki sifat sebagai matriks dalam sistem penghantaran obat ke dalam tubuh (Sutriyo et al. 2005). Kitosan telah banyak digunakan sebagai penyalut obat dengan tujuan mengoptimalisasi penyerapan obat pada sel target. Kitosan juga dapat digunakan sebagai penyalut ekstrak temulawak. Sifat mekanik kitosan yaitu mudah rapuh. Untuk menstabilkan sifat mekanik tersebut, digunakan TPP (tripolyphosphate) sebagai ikatan silangnya. Desai & Park (2005) membuktikan bahwa mikrosfer kitosan yang berikatan silang dengan tripolifosfat dapat digunakan sebagai penyalut obat dengan metode pengeringan semprot (spray drying). Enkapsulasi dengan menggunakan partikel nano menyebabkan ekstrak mudah menyebar dalam darah dan lebih akurat dalam mencapai target (Poulain & Nakache 1998). Teknologi nanokapsul berkembang dalam dunia medis karena manfaatnya dalam sistem penghantaran obat dimana dengan ukuran nano obat dapat dihantarkan tepat mencapai bagian yang sakit di dalam tubuh. Metode yang umum digunakan dalam pembuatan nanopartikel adalah atrisi dan pirolisis. Metode lain yang sedang berkembang saat ini adalah metode sonokimia dengan memanfaatkan gelombang ultrasonik. Penggunaan gelombang ultrasonik dalam pembentukan materi berukuran nano merupakan metode yang sangat efektif. Tujuan Penelitian Membuat nanopartikel ekstrak temulawak tersalut kitosan dengan variasi konsentrasi TPP dan waktu sonikasi, serta penggunaan wadah yang berbeda dalam proses pembuatannya. Hipotesis 1. Semakin banyak konsentrasi TPP diharapkan dapat meningkatkan kekuatan mekanik kitosan. 2. Semakin bertambahnya waktu sonikasi, diharapkan akan menghasilkan nanopartikel ekstrak temulawak dan kehomogenan larutan. 3. Kehomogenan ukuran partikel jika ditinjau dari bentuk wadah yang digunakan untuk suatu sampel. TINJAUAN PUSTAKA Kitosan Kitin adalah polisakarida terbanyak kedua setelah selulosa dan berasal dari kerangka luar hewan kelas Crustaceae. Kitin bersifat sangat hidrofobik dan tidak larut dalam air, basa, atau pelarut organik umum (Thatte 2004). Kitosan tersusun atas 2 senyawa polisakarida (1-4)-2-amino-2deoksi-D-glukosa yang saling berikatan beta (Sutriyo et al. 2005). Struktur kitosan disajikan pada Gambar 1. Gambar 1 Struktur kimia kitosan Kitosan merupakan kitin yang terdeasetilasi dengan rumus molekul (C6H11NO4)n berupa padatan amorf dan merupakan salah satu dari sedikit polimer alami yang berbentuk polielektrolit kationik dalam larutan asam organik. Kitosan tidak larut dalam air, alkohol, dan aseton. Dalam asam anorganik, seperti HCl dan HNO3, kitosan larut pada konsentrasi 1,1%, tetapi tidak larut pada konsentrasi 10%. Sifat kelarutan ini dipengaruhi oleh bobot molekul dan derajat deasetilasi (Muzi dalam Jamaludin 1994). Kitosan tidak beracun dan mudah terbiodegradasi. Struktur yang mirip dengan selulosa dan dengan kemampuannya membentuk gel dalam suasana asam, kitosan mempunyai sifat sebagai matriks dalam sistem pengantaran obat (Sutriyo et al. 2005). Sejauh ini kitosan telah digunakan dalam bidang pertanian, pengolahan air, industri pangan, industri kosmetika, farmasi, kedokteran, industri aneka (seperti industri cat dan tekstil), bioteknologi, dan sektor industri lainnya (Hirano 1996). Dalam bidang makanan, kitosan dapat berfungsi sebagai bahan pembentuk gel, pembentuk tekstur, dan pelembut (Sanford 1989). Dalam bidang kesehatan dan farmasi, kitosan dapat digunakan sebagai diet serat dan obat penurun kandungan kolesterol di dalam darah (Kato et al. 1994). Karakteristik fisiokimia kitosan seperti fleksibilitas rantai dalam larutan, sifat reologi, ukuran kristal dan kristalinitas kitosan bergantung pada faktor intrinsik seperti derajat deastilasi, distribusi grup asetil, bobot molekular, dan distribusinya (Jin Li et al. 2008). Karakteristik fisiokimia kitosan dapat dilihat pada Tabel 1. Sifat mekanik kitosan yaitu mudah rapuh. Untuk menstabilkan sifat mekanik tersebut, digunakan TPP (tripolyphosphate) sebagai cross-linknya. TPP merupakan polianion yang tidak beracun jika dinteraksikan dengan kitosan dalam media asam melalui kekuatan elektrostatik ion untuk membentuk jaringan cross-link. Tabel 1 Spesifikasi kitosan niaga No Parameter Ciri Serbuk sampai 1 Ukuran Partikel bubuk Warna Putih kelabu 2 3 Kelarutan 97% dalam 1% asam asetat 4 Kadar abu (%) ≤ 2.0 5 Kadar air (%) ≤ 10.0 6 Warna larutan Tak berwarna 7 N-deasetilasi (%) ≥ 70.0 8 Ph 6.5-8.0 9 Viskositas (cPs) rendah < 200 medium 200 – 799 tinggi 800 – 2000 sangat tinggi > 2000 10 Titik leleh Tak ada data Gel Kitosan Gelasi atau pembentukan gel merupakan gejala penggabungan atau pengikatan silang rantai-rantai polimer membentuk jaringan tiga-dimensi yang sinambung dan dapat memerangkap air di dalamnya menjadi suatu struktur yang kompak dan kaku yang tahan terhadap aliran bertekanan (Fardiaz 1989). Gel yang dapat menahan air dalam strukturnya disebut hidrogel (Wang et al. 2004). Hidrogel dapat diklasifikasikan menjadi hidrogel kimia dan fisika. Hidrogel kimia dibentuk dari reaksi yang tidak dapat balik, sedangkan fisika dibentuk oleh reaksi yang dapat balik. Contoh hidrogel kimia adalah hidrogel kitosan yang berikatan silang secara kovalen (Stevens 2001; Berger et al. 2004). Larutan kitosan pada batas konsentrasi tertentu dalam asam asetat 1% dapat membentuk gel. Gel kitosan yang terbentuk dapat diperbaiki sifatnya (menurunnya waktu gelasi dan meningkatnya kekuatan mekanik gel) dengan penambahan PVA (Wang et al. 2004). Ikatan silang kovalen dalam hidrogel kitosan dapat dibedakan menjadi 4 bagian, yaitu ikatan silang kitosan-kitosan, jaringan polimer hibrida atau HPN (hybrid polymer network), jaringan polimer saling-tembus tanggung atau utuh (semi-IPN atau full-IPN, interpenetrating polymer network), dan 3 kitosan berikatan silang ionik yang ditunjukkan pada Gambar 2. Ikatan silang kitosan-kitosan terjadi diantara dua unit struktur pada rantai polimer kitosan yang sama. Pada HPN, ikatan silang terjadi antara satu unit dari struktur rantai kitosan dan unit lain dari struktur polimer tambahan. Semiatau full-IPN terjadi jika ada penambahan polimer lain yang tidak bereaksi dengan larutan kitosan sebelum terjadi taut silang. Pada semi-IPN, polimer yang ditambahkan hanya melilit. Pada full-IPN ada penambahan dua senyawa penaut silang yang terlibat pada jaringan (Berger at al. 2004). Gambar 2 Struktur hidrogel kitosan: (a) ikatan silang kitosankitosan, (b) jaringan polimer hibrida, (c) jaringan semi-IPN, dan (d) kitosan berikatan silang (Berger et al. 2004) Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Temulawak merupakan tanaman obat berupa tumbuhan rumpun berbatang semu. Di daerah Jawa Barat temulawak disebut sebagai koneng gede sedangkan di Madura disebut sebagai temu lobak. Berdasarkan klasifikasi botani, temulawak termasuk dalam dunia Plantae, divisi Spermatophyta, sub divisi Angiospermae, kelas Monocotyledoneae, keluarga Zingiberaceae, genus Curcuma, dan spesies Curcuma xanthorrhiza Roxb. Bagian temulawak yang biasa dimanfaatkan adalah rimpangnya (Gambar 3). Kandungan kimia rimpang temulawak sebagai sumber bahan pangan, bahan baku industri atau bahan baku obat dapat dibedakan atas beberapa fraksi yaitu fraksi pati, kurkuminoid, dan fraksi minyak atsiri (Sidik et al. 1995 dalam Irawati 2008). Selain ketiga fraksi tersebut, masih terdapat kandungan lain dalam rimpang temulawak yaitu lemak, serat kasar, dan protein (Suwiah 1991 dalam Aan 2003). Senyawa aktif yang banyak dimanfaatkan dari ekstrak tanaman temulawak adalah kurkuminoid dan xanthorrhizol. Presentase komposisi ekstrak temulawak dapat dilihat pada Tabel 2. Fraksi kurkuminoid merupakan komponen yang memberi warna kuning berbentuk serbuk dengan rasa pahit, larut dalam aseton, alkohol, asam glasial, alkohol hidroksida, memiliki aroma yang khas, dan tidak bersifat toksik. Kurkuminoid rimpang temulawak terdiri atas desmetoksikurkumin dan kurkumin yang memiliki rumus struktur (Gambar 4) dan bobot molekul 368 g/mol (Sidik et al. 1995 dalam Irawati 2008). Gambar 3 Rimpang temulawak Tabel 2 Kandungan kimia ekstrak temulawak hasil ekstraksi alkohol 70% Kandungan ekstrak temulawak Kadar Minyak atsiri 6.48 Kurkumin 1.36 Xanthorrhizol 1.86 Sumber: Materia Medika Indonesia (1979) dalam Sembiring et al. (2006). Gambar 4 Struktur kimia kurkumin Di Indonesia, rimpang temulawak biasanya digunakan untuk jamu godog. Manfaat lain dari rimpang temulawak adalah sebagai obat jerawat, meningkatkan nafsu 4 makan, anti kolesterol, anti inflamasi, anemia, antioksidan, pencegah kanker, dan anti mikroba. Khasiat temulawak yang menyehatkan dan menyembuhkan berbagai penyakit disebabkan oleh adanya senyawa kurkuminoid. Kekurangan temulawak adalah rasanya yang pahit dengan bau aromatik yang tajam dan lama penyimpanan akan mengurangi kadar minyak atsiri dan kurkuminoidnya. Salah satu cara untuk menutupinya adalah dengan menyalut obat dalam nanokapsul gel. Sonikasi Gelombang ultrasonik merupakan gelombang mekanik longitudinal yang memiliki frekuensi 20 KHz ke atas. Pada alat Ultrasonics Processor Cole-Parmer (Gambar 5), spesifikasi yang dapat diperoleh yaitu frekuensi yang tidak bisa dirubahrubah sebesar 20 kHz dan daya sebesar 130 watt. Pada alat tersebut juga terdapat waktu sonikasi, amplitudo, dan pulsa gelombang yang dapat diatur sesuai kebutuhan. Gelombang suara ultrasonik dapat didengar dan digunakan sebagai alat komunikasi oleh pendengaran beberapa jenis binatang, seperti anjing, kelelawar, dan lumba-lumba. Gelombang ultrasonik juga merupakan rambatan energi dan momentum mekanik, sehingga membutuhkan medium untuk merambat sebagai interaksi dengan molekul. Medium yang digunakan antara lain padat, cair, dan gas (Tipler 1998). Gambar 5 Alat Ultrasonics Processor Batas atas rentang ultrasonik mencapai 5 MHz untuk gas dan mencapai 500 MHz untuk cairan dan padatan. Penggunaan ultasonik berdasarkan rentangnya yang luas ini dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah suara beramplitudo rendah (frekuensi lebih tinggi). Gelombang beramplitudo rendah ini secara umum digunakan untuk analisis pengukuran kecepatan dan koefisien penyerapan gelombang pada rentang 2 hingga 10 MHz. Bagian kedua adalah gelombang berenergi tinggi dan terletak pada frekuensi 20 hingga 100 KHZ. Gelombang ini dapat digunakan untuk pembersihan, pembentukan plastik, dan modifikasi bahan-bahan organik maupun anorganik (Mason et al. 2002). Ultrasonik intensitas tinggi dapat menginduksi konsekuensi fisika dan kimia yang cukup luas. Efek fisika dari ultrasonik intensitas tinggi adalah emulsifikasi. Pada sistem polimer termasuk dispersi bahan pengisi dan bahan lainnya kedalaman polimer dasar (contohnya pada formulasi cat), enkapsulasi partikel inorganik dengan polimer, modifikasi ukuran partikel pada serbuk polimer, hingga pembentukan dan pemotongan termoplastik (Suslick et al. 1999). Efek kimianya, gelombang ultrasonik tidak secara langsung berinteraksi dengan molekul-molekul untuk menginduksi suatu perubahan kimiawi. Hal ini dikarenakan panjang gelombang ultrasonik yang terlalu panjang jika dibandingkan dengan panjang gelombang molekul-molekul. Penggunaan gelombang ultrasonik (sonikasi) sangat efektif dalam pembentukan materi berukuran nano. Gelombang ultrasonik banyak diterapkan pada berbagai bidang seperti dalam bidang instrumentasi, kesehatan, dan sebagainya. Salah satu yang terpenting dari aplikasi gelombang ultrasonik adalah pemanfaatannya dalam menimbulkan efek kavitasi akustik. Efek ini akan digunakan dalam pembuatan bahan berukuran nano dengan metode emulsifikasi (Nakahira 2007 dalam Hapsari 2009). Ketika gelombang ultrasonik menjalar pada fluida, terjadi siklus rapatan dan regangan. Tekanan negatif yang terjadi ketika regangan menyebabkan molekul dalam fluida tertarik dan terbentuk kehampaan, kemudian membentuk gelembung yang akan menyerap energi dari gelombang suara sehingga dapat memuai. Gelembung akan berosilasi dalam siklus rapatan dan regangan. Selama osilasi, sejumlah energi berdifusi masuk atau keluar gelembung. Energi masuk terjadi ketika regangan dan energi keluar ketika rapatan, dalam hal ini energi yang keluar lebih kecil daripada energi yang masuk sehingga gelembung memuai sedikit demi sedikit selama regangan kemudian menyusut selama rapatan. Ukuran kritis gelembung ini disebut ukuran resonan yang tergantung pada fluida 5 dan frekuensi suara. Dalam kondisi ini, gelembung tidak dapat lagi menyerap energi secara efisien. Tanpa energi input, gelembung tidak dapat mempertahankan dirinya, fluida di sekitarnya akan menekannya dan gelembung akan mengalami ledakan hebat yang menghasilkan tekanan sangat besar. Gelembung inilah yang disebut sebagai gelembung kavitasi. Selama perambatan gelombang suara dalam medium intensitas gelombang semakin menurun seiring makin besarnya jarak dari sumber radiasi dengan persamaan I = I0 exp (-2αd) (1) α merupakan koefisien atenuasi. Lamanya waktu sonikasi juga mempengaruhi energi yang diberikan pada molekul. Semakin lama waktu sonikasi, maka akan semakin besar enegi yang diberikan. Hal ini terkait dengan persamaan E=Pt (2) dengan P sebagai daya. Dalam penelitian ini, efek kavitasi digunakan dalam proses emulsifikasi yang melibatkan polimer di dalamnya. Efek ultrasonik pada polimer adalah pemutusan dan pembentukan ikatan, sehingga memungkinkan terjadi perubahan struktur. Dalam proses kavitasi terbentuk gelembung yang berasal dari salah satu fasa yang didispersikan dalam fasa yang lain, di mana gelembung kavitasi merupakan fasa minyak yang didispersikan dalam fasa air karena memiliki volume yang lebih rendah. Dengan efek pecahnya kavitasi, maka emulsifikasi yang disebabkan oleh penjalaran ultrasonik akan efektif dengan terdispersinya fasa minyak yang mengandung agregat nanosfer dalam fasa air, sehingga nanosfer yang telah terbentuk dapat dapat terdispersi stabil. Bentuk dan ukuran gelembung akan mempengaruhi bentuk dan ukuran nanopartikel yang terbentuk (Hielscher 2005). Pada proses sonikasi terjadi siklus peredaman gelombang dimana terjadi penurunan energi mekanik terhadap waktu dan resonansi, ketika frekuensi gelombang mendekati frekuensi gelembung kavitasi (f0 f), gelembung akan pecah (Tipler 1998). Hal inilah yang menyebabkan nanopartikel yang terkungkung di dalamnya juga dapat terpisah satu sama lain sehingga didapatkan nanosfer dengan ukuran kecil (Hapsari 2009). Suspensi dalam larutan menghasilkan kecepatan tumbuk antar partikel yang dapat merubah morfologi permukaan, komposisi, dan reaktivitas (Suslick et al. 1999). Semakin lama proses sonikasi ini akan menyamaratakan energi yang diterima partikel diseluruh bagian sisi larutan, sehingga ukuran partikel semakin homogen. Pengeringan Semprot (spray drying) Metode pengeringan semprot (spray drying) merupakan metode yang paling mudah dan sederhana untuk mengkapsulasi suatu bahan karena larutan suspensi yang akan dinanoenkapsulasi cukup dimasukkan ke dalam alat pengering semprot dengan serbuk nanokapsul sebagai produk. Metode ini dapat dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu (1) produk yang berupa cairan didispersikan dalam penyemprot (sprayer), (2) kontak antara semprotan dengan udara panas, (3) pengeringan semprotan, dan (4) pemisahan antara produk kering (aliran serbuk bebas) dan udara. Keuntungan nanoenkapsulasi dengan metode pengeringan semprot ini diantaranya ialah (1) meningkatnya stabilitas serbuk, (2) teknik yang dapat dipercaya, (3) biaya yang murah, (4) menghasilkan serbuk berupa partikel mikrokapsul yang kecil, (5) teknik yang ramah, terhindar dari penggunaan pelarut organik, (6) dilakukan satu tahap, atau dengan kata lain prosesnya sinambung (continuous), dan (7) merupakan metode yang fleksibel, dapat digunakan untuk enkapsulasi polimer-polimer yang berbeda dan suhu berbeda (Yundhana 2008). XRD (X-Ray Diffraction) Analisis XRD dapat memberikan informasi mengenai struktur sampel, seperti sistem kristal, parameter kisi, dan orientasinya. Selain itu juga berguna untuk mengidentifikasi suatu campuran yang merupakan identifikasi fase sampel semi kuantitatif dengan menghitung fraksi volume suatu sampel, rasio fraksi area kristalin terhadap fraksi total area. Analisis XRD menggunakan emisi sinar-X dihasilkan dari tumbukan antara elektron dan target berupa Cr, Fe, Co, Cu, Mo, atau W (Cullity 1956). Emisi sinar-X didistribusikan secara kontinyu dan spesifik untuk setiap panjang gelombang target. Sinar-X ditransmisikan melewati sampel yang akan dikarakterisasi, sehingga sinar-X 6 akan ditransform menjadi beragam jenis energi dan diserap sebagian. Interaksi sinar-X dengan sampel menimbulkan difraksi sekunder yang dihubungkan dengan jarak interplanar dalam serbuk kristal sesuai dengan Hukum Bragg di bawah ini: n λ = 2 d sin θ (3) n merupakan bilangan bulat, λ merupakan panjang gelombang sinar-X, d merupakan jarak interplanar penyebab difraksi, dan θ merupakan sudut difraksi. Besaran λ dan d dihitung dalam satuan yang sama, biasanya dalam angstroms (Cullity 1956). Gambar 6 Hukum Bragg Berdasarkan Hukum Bragg (Gambar 6), jika seberkas sinar-X di jatuhkan pada sampel kristal,maka bidang kristal itu akan membiaskan sinar-X yang memiliki panjang gelombang sama dengan jarak antar kisi dalam kristal tersebut. Sinar yang dibiaskan akan ditangkap oleh detektor kemudian diterjemahkan sebagai sebuah puncak difraksi. Makin banyak bidang kristal yang terdapat dalam sampel, makin kuat intensitas pembiasan yang dihasilkannya. Tiap puncak yang muncul pada pola XRD mewakili satu bidang kristal yang memiliki orientasi tertentu dalam sumbu tiga dimensi. Puncakpuncak yang didapatkan dari data pengukuran ini kemudian dicocokkan dengan standar difraksi sinar-X untuk hampir semua jenis material. Standar ini disebut JCPDS. SEM (Scanning Electron Microscope) Metode yang cukup terkenal dalam mengkarakterisasi nanopartikel adalah dengan menggunakan SEM. Analisis SEM digunakan untuk mengidentifikasi morfologi permukaan nanopartikel kitosan yang terlihat melalui suatu gambar. Scanning Electron Microscope (SEM) memberikan penjelasan yang detail dari permukaan, memberikan informasi mengenai ukuran dan bentuk yang homogen atau tidak dari bahan nanopartikel. Terdapat percepatan elektron (electron gun) dalam SEM untuk memproduksi elektron dengan menghasilkan pancaran elektron, serta lensalensa elektromagnetik yang dihubungkan dengan sistem kondensor. Lensa-lensa tersebut dioperasikan pada permukaan sampel. Lensa pemfokus pertama menghasilkan pancaran dan batas arus, pada celah lensa berfungsi untuk mengurangi pembelokan sudut. Lensa pemfokus kedua membentuk pelemahan (pancaran sinar koheren), celah lensa dikendalikan untuk mengurangi pembelokan sudut dari pancaran lensa pertama (Gabriel 1985). Tembakan elektron hanya mengenai sampel pada daerah yang sangat kecil. Elektron direfleksikan dari sampel atau diserap oleh sampel secara elastis dan memberinya elektron sekunder dengan energi sangat rendah bersamaan dengan sinar-X. Elektron-elektron tersebut terserap dan meningkatkan emisi cahaya tampak, kemudian meningkatkan arus listrik pada sampel. Hal ini dapat menghasilkan gambar yang terbentuk dari elektron sekunder yang berenergi rendah (Gabriel 1985). Prinsip kerja dari SEM yaitu sebuah percepatan elektron (electron gun) memproduksi sinar elektron dan dipercepat dengan anoda. Lensa magnetik memfokuskan elektron menuju ke sampel. Sinar elektron yang terfokus mendeteksi keseluruhan sampel dengan diarahkan oleh koil pendeteksi. Ketika elektron mengenai sampel maka sampel akan mengeluarkan elektron baru yang akan diterima oleh detektor dan dikirim ke monitor (CRT). Secara lengkap skema SEM dijelaskan oleh gambar dibawah ini: Gambar 7 Skema SEM 7 FTIR (Fourier Transform Infrared) FTIR (Fourier Transform Infrared) merupakan suatu metode spektroskopi IR. Spektrometer Infrared (IR) dapat mengidentifikasi kandungan gugus kompleks dalam senyawa tetapi tidak dapat menentukan molekular-unsur penyusunnya. Pada spektroskopi IR, radiasi IR dilewatkan pada sempel. Sebagian dari radiasi IR diserap oleh sampel dan sebagian lainnya diteruskan. Jika frekuensi dari suatu vibrasi spesifik sama dengan frekuensi radiasi IR yang langsung menuju molekul, molekul akan menyerap radiasi tersebut. Spektrum yang dihasilkan menggambarkan absorpsi dan transmisi molekular, membentuk sidik jari molekular suatu sampel (Anonim 2001). Sistem optik Spektrofotometer FTIR seperti pada gambar dibawah ini (Gambar 8) dilengkapi dengan cermin yang bergerak tegak lurus dan cermin yang diam. Dengan demikian radiasi infra merah akan menimbulkan perbedaan jarak yang ditempuh menuju cermin yang bergerak (M) dan jarak cermin yang diam (F). Perbedaan jarak tempuh radiasi tersebut adalah 2 yang selanjutnya disebut sebagai retardasi (δ). Hubungan antara intensitas radiasi IR yang diterima detektor terhadap retardasi disebut sebagai interferogram. Sedangkan sistim optik dari Spektrofotometer IR yang didasarkan atas bekerjanya interferometer disebut sebagai sistim optik Fourier Transform Infra Red. Pada sistim optik FTIR digunakan radiasi LASER (Light Amplification by Stimulated Emmission of Radiation) yang berfungsi sebagai radiasi yang diinterferensikan dengan radiasi infra merah agar sinyal radiasi infra merah yang diterima oleh detektor secara utuh dan lebih baik. Detektor yang digunakan dalam Spektrofotometer FTIR adalah TGS (Tetra Glycerine Sulphate) atau MCT (Mercury Cadmium Telluride). Detektor MCT lebih banyak digunakan karena memiliki beberapa kelebihan dibandingkan detektor TGS, yaitu memberikan respon yang lebih baik pada frekwensi modulasi tinggi, lebih sensitif, lebih cepat, tidak dipengaruhi oleh temperatur, sangat selektif terhadap energi vibrasi yang diterima dari radiasi infra merah. Gambar 8 Sistem optik Spektrofotometer FTIR BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2009 sampai dengan bulan Januari 2010 di Laboratorium Biofisika Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Alat dan Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah serbuk kitosan, asam asetat 2%, tripolifosfat (TPP) dengan konsentrasi 0,5% dan 1%, ekstrak temulawak dalam etanol teknis 70%, dan aquades. Peralatan yang digunakan adalah neraca analitik, magnetic stirrer, Ultrasonics Processor (Cole-Parmer 20 kHz 130 watt), beaker glass 500 mL, beaker glass 1000 mL, gelas ukur, sudip, pipa voltmetrik, dan balmer. Metode Penelitian Pembuatan Nanopartikel Ekstrak Temulawak Tersalut Kitosan Kitosan sebanyak 4 gram dilarutkan dalam 200 ml asam asetat 2% menggunakan magnetic stirrer sehingga diperoleh konsentrasi kitosan 2% (b/v). 200 ml larutan kitosan ditambahkan ke dalam 100 mL TPP 0,5% yang larut dalam aquades, kemudian larutan tersebut disonikasi menggunakan prosesor ultrasonik dengan daya 130 watt dan frekuensi 20 kHz selama 30 menit. Setelah disonikasi, larutan tersebut dikeringkan dengan menggunakan spray dryer sehingga diperoleh sampel dalam bentuk serbuk. Serbuk larutan kitosan dan TPP 0,5% dari sampel tersebut, dilarutkan kembali dalam 200 mL asam asetat 2% dan 100 mL aquades menggunakan magnetic stirrer dengan pemanasan sedang (30°C) agar serbuk larut sempurna. Sebanyak 2 mL ekstrak temulawak 5% ditambahkan pada