etika al-quran bagi peran publik perempuan

advertisement
ETIKA AL-QURAN BAGI PERAN PUBLIK PEREMPUAN
AL QURANIC ETHIC ON PUBLIC ROLE OF WOMEN
Syarif Hidayatullah dan M. Mukhtasar
Centre of Women Studies, UNIVERSITAS GAJAH MADA, Yogyakarta
KEYWORDS
ethical, theological, sociological, economical, cultural
ABSTRACT
The aim of this study is to find and analyze the Quranic ethic
on the public role of women and to prove that al Quran
could be used as an ethical foundation both theoritical and
practical of the role of women in the public sector. For this
purpose we adopted hermeneutical and philosophical
approaches. The result shows that the Quran as the main
resource of Islam has provided basic principle of gender
equity either in domestic and public role.
Hingga saat ini ada dua masalah mendasar yang dihadapi kaum perempuan di
Indonesia, yakni: problem eksternal berupa reaksi kontra yang berbasis pada
budaya patriarkal dari sebagian unsur masyarakat dan problem internal berupa
munculnya kegalauan dan kegamangan psikologis pada diri kaum perempuan itu
sendiri ketika mereka mengaktualisasikan peran publiknya. Problem psikologis ini
muncul manakala mereka harus mencari pembenaran etis-teologik bagi peran
publiknya. Mereka dihadapkan pada suatu pilihan apakah optimalisasi peran
publik akan diperolehnya dengan cara harus membebas-kan diri dari pandangan
keagamaannya yang dirasakan selama ini sangat memenjarakan, ataukah dengan
tetap membasiskan diri pada landasan etik dari agama yang dianutnya, sebagai
konsekuensi dari keimanannya, dengan resiko menghadapi derasnya arus
penolakan dan pembatasan terhadap ekspresi-ekspresi kebebasan aktualisasi
peran publiknya. Pilihan terakhir ini nampaknya meniscayakan dilakukannya
upaya pem-baharuan dalam pandangan keagamaan dan penafsiran teks-teks
keagamaan, khususnya yang mendiskursuskan persoalan status dan peran publik
kaum perempuan. Jelasnya, dibutuhkan suatu teologi baru untuk menetapkan
landasan etik bagi peran publik mereka. Sebab itu, dalam penelitian ini diajukan
rumusan masalah: Bagaimanakah rumusan etika Al-Quran bagi peran publik
kaum perempuan, dan apakah rumusan etika Al-Quran tersebut bisa dijadikan
landasan bagi peran publik perempuan baik secara teoritis maupun praktis.
Perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat
dibahas di dalam berbagai teori yang secara umum dapat dikategorikan kepada
dua teori besar : pertama, teori nature, yang menyatakan bahwa perbedaan
peran laki-laki dan perempuan ditentukan oleh faktor biologis. Menurut teori ini,
sederet perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan menjadi faktor utama
dalam penentuan peran sosial kedua jenis kelamin. Kedua, teori nurture, yang
mengungkapkan bahwa perbedaan peran sosial lebih ditentukan oleh faktor
budaya. Menurut teori ini pembagian peran laki-laki dan perempuan dalam
masyarakat tidak ditentukan oleh faktor biologis, melainkan dikonstruksikan oleh
budaya masyarakat (Umar, 1999). Dalam hasil penelitian yang dilakukannya guna
memperoleh gelar Doktor di bidang studi Islam, yang kemudian diterbitkan
menjadi buku yang bertajuk Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Quran,
Umar menunjukkan bahwa Al-Quran cenderung mempersilahkan kepada
kecerdasan manusia di dalam menata pembagian peran antara laki-laki dan
perempuan. Dengan kesadaran bahwa persoalan ini cukup penting tetapi tidak
dirinci di dalam Al-Quran maka hal ini menjadi isyarat adanya kewenangan
manusia untuk menggunakan hak-hak kebebasannya dalam memilih pola
pembagian peran laki-laki dan perempuan yang saling menguntungkan, baik
dalam sektor domestik maupun sektor publik. Dalam pandangannya, Al-Quran
tidak memberikan beban gender secara mutlak dan kaku kepada seseorang
namun bagaimana agar adanya kewenangan manusia untuk menggunakan hakhak kebebasannya dalam memilih pola pembagian peran laki-laki dan perempuan
yang saling menguntungkan, baik dalam sektor domestik maupun sektor publik.
Sementara penelitian yang dilakukan oleh Mukhtasar (1999) menunjukkan
bahwa dalam teologi feminisme menolak misalnya penafsiran bahwa Hawa
diciptakan dari tulang rusuk Adam. Penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa
sebagai seorang teolog feminis Islam, Hassan menolak penafsiran beberapa ayat
dalam Al-Quran yang secara eksplisit menyatakan bahwa wanita diciptakan dari
dan untuk laki-laki sebab pernyataan ini berimplikasi pada relasi wanita-laki-laki
secara timpang, bahkan mengukuhkan pandangan bahwa wanita adalah makhluk
nomor dua. Bagaimana konsekuensi pandangan Hassan terhadap masalah
kepemimpinan wanita, penelitian tersebut belum secara tegas dan eksplisit
memberi penjelasan.
Sementara peneliti lain, Syamsuddin (1998) membuktikan bahwa sepanjang
sejarah, perempuan distereotipkan memiliki kedudukan lebih rendah dari pada
laki-laki, bahkan dianggap sebagai subordinat kaum laki-laki. Stereotip ini
senantiasa muncul dan dipertahankan oleh sebagian besar masyarakat, terkecuali
dalam masyarakat matrilinial yang jumlahnya hanya sedikit. Dalam tradisi fiqh,
sebagian ulama juga cenderung menempatkan kedudukan perempuan lebih
rendah dari laki-laki. Namun di kalangan modernis Islam belakangan muncul
suatu kesadaran bahwa Al-Quran memberikan kedudukan yang setara antara
laki-laki dan perempuan.
Pernyataan Al-Quran dalam surah An-Nisa (4): 34 yang seolah-olah
membedakan status laki-laki dan perempuan semestinya tidak dipahami secara
literal-normatif semata namun juga perlu dipahami secara kontekstual-historikal.
Kesadaran akan kese-taraan kedudukan dan peran antara laki-laki dan
perempuan pada gilirannya akan melahirkan kesadaraan akan keseimbangan
tanggung jawab dalam berbagai tugas domestik dan publik keduanya, yang pada
tahap selanjutnya akan menciptakan dan menegakkan prinsip keadilaan, yang
menurut Fakih (1999), merupakan inti dari ajaran setiap agama. Al-Quran,
menurutnya, mencakup pelbagai anjuran untuk menegakkan keadilan ekonomi,
keadilan politik dan kultural termasuk keadilan gender. Karena itu, diperlukan
metode pendekatan penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Quran yang bisa
dipergunakan untuk memahami bagaimana ajaran moral agama yang bersifat
prinsipil yang mesti membutuhkan analisis sosial.
BAHAN DAN CARA KERJA
Bahan yang dipakai untuk dijadikan alat analisis adalah Al-Quran dan Hadis
sedang metoda yang digunakan adalah metoda hermeneutik dan filosofis.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ketika kita berhajat untuk mengetahui bagaimana sesungguhnya pandangan
etis Al-Quran tentang peran publik perempuan yang Islami, maka yang harus
dilakukan adalah dengan membiarkan Al-Quran menafsirkan dan membicarakan
tersebut dengan menggunakan perspektif sendiri. Dengan cara ini, maka kita
akan bisa menarik garis demarkasi yang tegas antara batas perspektif Al-Quran
dengan batas bias budaya melindunginya. Sehingga tidak samar lagi antara
perspektif Al-Quran tentang “Islam” yang sesungguhnya dengan "Islam" yang
ter-Arab-kan; di mana dalam konteks konstruksi gender telah memberikan tafsir
yang patriarkal dan diskriminatif terhadap kaum perempuan.
Tafsir patriarkal dan diskriminatif semacam ini memang telah mengendap
selama berabad-abad di bawah alam sadar umat Islam, sehingga tanpa disadari
mereka justru menjadi pengabsah bagi tradisi Arab pra-lslam yang sama sekali
tidak mensetarakan posisi dan peran perempuan dihadapan laki-laki. Keberadaan
perempuan pra-lslam secara umum, diamati Jawad (1998), sangat
memprihatinkan dan suram. Sejarah peradaban manusia memberikan kesaksian
bahwa perempuan dimasa ini begitu terhina, menjadi korban kekerasan, dan
ditempatkan sebagai komunitas kelas dua, bukannya sebagai individu yang
terhormat. Perempuan seakan menjadi budak sahaya para suaminya, yang bisa
dipertahankan atau diceraikan sekehendak dan sesuka mereka. Perempuan
dipandang sebagai penjelmaan dan dosa, ketidakberuntungan, aib, arang di
muka, dan sama sekali tidak memiliki hak dan posisi di mata masyarakat.
Dalam kaitan ini, Muhsin (2001) melalui bukunya, Qur'an and Woman,
Rereading the Sacred Text From a Woman's Perspective berusaha untuk
menentukan kriteria yang pasti untuk mengevaluasi sejauh mana posisi
perempuan dalam kultur Muslim telah benar-benar menggambarkan maksud
Islam itu sendiri mengenai keberadaan perempuan dalam struktur sosial. la
percaya bahwa Al-Quran sesungguhnya bisa digunakan sebagai kriteria untuk
menguji apakah status perempuan dalam masyarakat Muslim sesungguhnya
dapat dikatakan sudah Islami. Karenanya, dia menggugat penafsiran-penafsiran
Al-Quran yang selama ini sangat terikat oleh nuansa androsentris dan tradisi
Arab-Islam yang telah berlangsung selama berabad-abad sehingga berakibat
mendistorsikan peran dan posisi kaum perempuan. Padahal dari hasil kajiannya
menunjukkan bahwa banyak sekali ayat Al-Quran yang memprotes kesetaraan
derajat perempuan terhadap laki-laki.
Peran kaum perempuan yang dibicarakan dalam Al-Quran masuk ke dalam
salah satu dari 3 kategori yang diklasifikasikan oleh Muchsin yaitu pertama, peran
yang menggambarkan konteks sosial, budaya, dan sejarah di mana si perempuan
tinggal, tanpa pujian atau kritik sekalipun dari Al-Quran. Kedua, peran yang
memainkan fungsi keperempuanan yang secara universal diterima (yaitu
mengasuh atau merawat), dengan beberapa pengecualian atau bahkan telah
diberikan dalam Al-Quran sendiri. Ketiga, peran yang memainkan fungsi spesifik
non-gender, yakni peran yang menggambarkan usaha manusia di muka bumi dan
disebutkan dalam Al-Quran untuk menunjukkan fungsi spesifik ini, bukan untuk
menunjukkan jenis kelamin pelakunya, yang kebetulan seorang perempuan.
Di sini, kita juga perlu memahami bahwa moralitas dan etika bukanlah
konsep-konsep tertitip yang tidak dipengaruhi oleh perkembangan material dalam
masyarakat. Moralitas bersifat normatif sekaligus kontekstual. Yang normatif
mungkin bersifat transendental, tetapi ia hanya dapat dipraktekkan dalam
konteks tertentu. Ketika konteksnya berubah, bisa jadi tidak mungkin untuk
mempraktekkan moralitas dalam bentuknya yang lama, namun kandungan
normatifnya tidak dapat dikorbankan ketika mengembangkan bentuk moralitas
baru. Apabila konsep normatif dalam pembatasan-pembatasan yang diberlakukan
kepada perempuan pada masa lalu adalah untuk melindungi kesucian mereka,
lambat laun kesucian menjadi sinonim dengan purdah (kerudung) itu sendiri.
Para perempuan yang mengenakan purdah secara ketat dianggap sangat suci dan
mereka yang melanggarnya walaupun sedikit dianggap "tak bermoral".
Demikianlah, bentuk moralitas partikular berkembang dalam kondisi-kondisi
tertentu. Kami tidak bermaksud menelusuri bagaimana purdah telah
berkembang, tetapi barangkali dapat dikatakan secara singkat di sini bahwa
purdah merupakan produk dari konsep tentang 'izzat (kehormatan; dalam makna
kesucian perempuan yang tidak dapat diganggu gugat) para penguasa feodal.
Konsep ‘izzat’ ini dan penjagaannya oleh laki-laki mengimplikasikan superioritas
laki-laki. Pesan hakikinya adalah bahwa perempuan perlu dilindungi dan laki-laki
adalah pelindungnya. Konsep ini membawa kepada pemingitan perempuan
dengan menggunakan purdah, dengan alasan untuk melindungi mereka. Purdah
menjadi bagian dari moralitas perempuan.
Demikianlah, pada masa lalu perempuan dianggap lemah dan ini merupakan
hasil langsung dari konsep superioritas laki-laki yang sebenarnya bersifat
sosiologis, bukan teologis. Masalahnya adalah yang bersifat sosiologis itu
seringkali menjelma menjadi teologis dan tetap dipertahankan meskipun kondisikondisi sosiologisnya sudah berubah. Di zaman sekarang perempuan tidak lagi
digambarkan sebagai jenis kelamin yang lebih lemah, dan diperlakukan secara
berbeda dari laki-laki. Mereka tidak hanya bepergian tanpa diganggu tetapi juga
menafkahi diri mereka sendiri dengan bekerja di luar rumah. Mereka tidak lagi
tergantung kepada perlindungan laki-laki. Karena itu purdah dalam pengertian
konvensional tidak diperlukan lagi, dan harus dirubah. Namun, mengatakan
bahwa purdah tidak lagi diperlukan tidaklah berarti bahwa kesucian dapat
diabaikan. Kesucian adalah norma, sementara purdah adalah sarana kontekstual
untuk mencapainya. Seorang perempuan dapat menjaga kesuciannya tanpa
harus mengenakan purdah. Dengan demikian, jika konsep kita tentang moralitas
cukup dinamis dan kreatif, kita tidak akan menentang usaha-usaha untuk
memberi bentuk baru bagi purdah, dengan meninggalkan bentuk lama dan
keadaan-keadaan memungkinkan untuk melakukannya tanpa mengorbankan
norma hakikinya. Dengan kata lain, kenyataan sosiologis dan empiris harus sama
pentingnya bagi kita dengan yang bersifat teologis. Keseimbangan ini tidak boleh
sekali-kali hilang. la merupakan tuntutan dari dinamika moral suatu masyarakat.
Kita harus memahami bahwa ada statemen yang bersifat normatif dan juga
bersifat kontekstual di dalam Al-Quran. Syariah dalam Islam bersumber pada AlQuran dan Sunnah; dan keduanya mengandung dua unsur penting : unsur
normatif dan unsur kontekstual. Al-Quran diwahyukan bagi seluruh umat dan
untuk sepanjang zaman. Namun, untuk dapat diterima orang pada waktu itu AlQuran mengandung hal-hal yang mempunyai makna penting bagi mereka.
Karena itulah, Kitab Suci juga memuat kandungan yang berasal dari sejarah
kebudayan dan tradisi. Inilah yang oleh Engineer (2000) dikatakan dengan sifat
kontekstualnya. Di samping itu, Al-Quran mempunyai kandungan yang bersifat
transendental, yang meletakkan norma bagi perilaku keseharian manusia dan
memberikan arahan untuk kehidupan akhirat.
Sejauh menyangkut masalah perem-puan, pengaruh kebudayaan dan tradisi
cenderung sangat kuat. Al-Quran, tak diragukan lagi, memberikan banyak sekali
hak kepada perempuan dan menguraikannya secara rinci. Al-Quran, bagi
Engineer, adalah kitab suci pertama yang telah menyatakan begitu banyak hak
bagi perempuan, justru pada masa di mana perempuan sangat tertindas di dalam
peradaban-peradaban besar, yaitu Bizantium, Sasanid dan lain-lain. Engineer
menyayangkan, bahwa kita melihat pada masa para fuqaha mengambil banyak
dari adat (tradisi) Arab pra-Islam, sehingga melahirkan rumusan-rumusan yang
membatasi jika tidak dikatakan menginjak-injak hak-hak perempuan. Padahal
menurutnya, Al-Quran tidak pernah bermaksud mengenakan pembatasanpembatasan yang tidak semestinya terhadap gerak-gerik perempuan, juga tidak
menuntut mereka untuk menutup seluruh muka ketika keluar rumah. Namun
para fuqaha terkemuka, meski terdapat perbedaan pendapat di kalangan mereka
tentang ayat dan Sunnah tertentu, menuntut perempuan agar tidak keluar rumah
mereka terkecuali dalam keadaan mendesak, dan itu pun dengan menutup wajah
mereka. Ini jelas menunjukkan bagaimana hak-hak yang telah diberikan Al-Quran
ditiadakan oleh para fuqaha karena mempertimbangkan situasi mereka. Namun,
sayangnya, ketetapan-ketetapan syariah tersebut dipaksakan juga ketika
konteksnya sudah berubah.
Dalam pandangannya, ada beberapa alasan munculnya dorongan Al-Quran
ke arah kesetaraan perempuan dan laki-laki. Pertama, Al-Quran memberikan
tempat yang terhormat kepada seluruh manusia, yang meliputi perempuan dan
laki-laki. Kedua, secara norma-etis Al-Quran membela prinsip-prinsip kesetaraan
perempuan dan laki-laki. Perbedaan struktur biologis, menurut Al-Quran, tidak
berarti ketidaksetaraan dan status yang didasarkan pada jenis kelamin.
Menurutnya, kita harus membedakan antara fungsi-fungsi biologis dengan fungsifungsi sosial.
Meskipun demikian, Al-Quran memang berbicara tentang laki-laki yang
memiliki kelebihan dan keunggulan sosial atas perempuan. Ayat seperti ini,
Enginner menyarankan, harus dilihat dalam konteks sosialnya yang tepat.
Struktur sosial pada zaman Nabi tidaklah benar-benar mengakui kesetaraan lakilaki dan perempuan. Orang tidak dapat mengambil pandangan yang semata-mata
teologis dalam hal semacam ini. Orang harus menggunakan pandangan sosioteologis. Bahkan, Al-Quran pun terdiri dari ajaran yang kontekstual dan juga
normatif. Tidak akan ada kitab Suci yang bisa efektif jika mengabaikan
konteksnya sama sekali.
Al-Quran, untuk tidak meninggalkan keraguan mengenai individualitas
perempuan, menyatakan bahwa perempuan dan laki-laki akan dinilai berdasarkan
amal perbuatannya. Jika perempuan menjalankan amal keagamaan, demikian
pula dalam kiprah sosialnya, mereka akan diberi ganjaran sebagaimana
seharusnya, dan jika laki-laki melakukannya dia pun akan mendapatkan balasan
yang setimpal (QS. Al Ahzab (33): 35). Al-Quran sama sekali tidak melakukan
diskriminasi antara perempuan dan laki-laki dalam hal apapun. Keduanya “akan
mendapat ganjaran” atas amal keagamaan dan keduniaan. Dengan demikian,
dalam pencipta-anpun, perempuan menurut Al-Quran, sama sekali tidak lebih
rendah dari laki-laki. Dengan demikian, adalah benar-benar sah berpendapat
bahwa hak-hak perempuan dalam Islam telah dilindungi dengan baik. Kecuali
dalam beberapa persoalan yang tidak mendasar, Al-Quran mengakui perempuan
tidak berbeda banyak dengan laki-laki. Bagaimanapun juga, pernyataan yang
nampak begitu meremehkan perempuan lebih bersifat kontekstual dan bukan
normatif, dan harus dilihat secara demikian.
Satu contoh kesetaraan peran publik perempuan yang diajukan dalam
bukunya, The Rights of Women in Islam, Engineer memberikan contoh tentang
wacana perempuan menjadi kepala negara. Diakuinya, secara mutlak memang
tidak ada pernyataan langsung Al-Quran tentang kiprah publik semacam ini.
Tetapi, sebaliknya, juga tidak ada ayat Al-Quran yang secara tegas menyatakan
penolakan terhadap kekuasaan Ratu Saba yang memerintah kawasan Yaman
sekarang sebagai wilayah kekuasaannya. Bahkan dalam Al-Quran, Ratu Saba
digambarkan sebagai Ratu yang independen dan terlepas dari pengaruh pejabatpejabat lelaki dalam mengambil kebijakan politiknya. Ratu Saba juga diisyaratkan
Al-Quran sebagai ratu yang sah dan sangat bijaksana. Seandainya Allah tidak
menyetujui seorang perempuan menjadi seorang kepala negara, atau seandainya
kekuasaan perempuan akan mendatangkan malapetaka, Engineer berargumentasi, Al-Quran akan menggambarkan Ratu Saba dengan sikap yang
berlawanan dan akan menunjukkan kelemahannya di hadapan para pejabat lakilakinya. Justru, Al-Quran meng-gambarkan sebaliknya.
Engineer juga menegaskan, bahwa dalam ekonomi industri modern
perempuan harus memainkan peranan yang semakin besar. Tidak ada ajaran
dalam Al-Quran yang menghalangi perempuan bekerja dan memperluas kiprah
publiknya. Pandangan bahwa seorang perempuan yang ideal adalah yang hanya
menjaga rumah dan mengasuh anak-anaknya adalah pandangan yang tidak
Qurani. Yang dituntut Al-Quran bukanlah agar dia tidak dapat bekerja tetapi
bahwa laki-laki harus menafkahi isterinya sebagai balasan kepada isteri yang
telah memelihara anak. Hal ini berarti, tegas Engineer, tidak melepaskan seorang
perempuan dari haknya untuk bekerja; ini hanya membangun kesejajaran antara
isteri dan suami, antara perempuan dan laki-laki. Karena itu, tidak ada halangan
bagi perempuan untuk keluar rumah dan ikut mencari nafkah, asalkan ia tetap
menjaga kesuciannya dan menahan diri dari dorongan seksualnya (wayahfazhna
Furujahunna), hal yang sama juga dituntut dari laki-laki (wayahfazhufurujahum).
Jadi, laki-laki tidak lebih unggul dari perempuan dalam hal apapun.
Tidak diragukan lagi Al-Quran memandang laki-laki dan perempuan dalam
berbagai terminologi kesetaraan sebagai makhluk manusia dalam berbagai hal.
Keseluruhan spirit Islam secara umum sangat menegaskan kesetaraan kedua
jenis seks tersebut baik dalam status, posisi dan nilai. Mereka adalah sama-sama
makhluk Allah, dengan nenek moyang yang sama, Adam dan Hawa, dan,
karenanya, maka tentu saja mereka memiliki status dan nilai yang sama sebagai
manusia dalam masyarakat. Bukanlah suatu alasan yang mendasar untuk
membedakan keduanya hanya karena mereka yang satu adalah perempuan dan
yang satu lagi adalah laki-laki.
Al-Quran, menurut Rahman (1986), secara eksplisit mengokohkan
kesetaraan perempuan dan laki-laki sebagai manusia dalam berbagai konteks,
antara lain :
1. Perbuatan-perbuatan praktis : Al-Quran akan menilai setiap manusia
hanya berdasarkan prestasi ketakwaannya, bukan karena jenis kelamin (QS. Al
Hujuraat (49): 13). Di hadapan Allah, yang akan memperoleh kemuliaan dan
keutamaan adalah mereka yang paling takwa (atqakum) dalam perbuatanperbuatannya, baik ia laki- laki ataupun perempuan, dan baik sudah menikah
ataukah belum menikah. Status masing-masing individu akan ditentukan oleh
perbuatan-perbuatannya masing-masing di dunia ini dan bukan oleh yang
lainnya, bukan karena simbol seksnya, bukan kaya atau miskinnya, bukan
majikan atau buruh, dan bukan pengatur atau yang diatur.
2. Atas dasar saling berpasangan (Zaujain): Al-Quran mendeklarasikan lakilaki dan perempuan merupakan pasangan yang diciptakan antara satu untuk
yang lainnya, dan karena itu, mereka memiliki status yang setara dalam
semua aspek. Keduanya diciptakan setara, sebagai sebuah pasangan, untuk
saling membantu di dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Kenyataan
kehidupan mereka seperti demikian ini disebutkan dalam berbagai ayat AlQuran antara lain: "Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasanganpasangan semuanya baik dan apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan diri
mereka sendiri maupun dan apa yang tidak mereka ketahui (QS. Yaasin (36):
36.
3. Sebagai bagian dari Makhluk: Al-Quran dalam berbagai konteks
menyatakan bahwa semua manusia, termasuk perempuan, diingatkan akan
tugas-tugas mereka terhadap Allah, dan tidak membuat perbedaan antara
laki-laki dan perempuan.
4. Keimanan: Al-Quran menganjurkan kepada seluruh umat manusia, laki-laki
dan perem-puan, untuk mentaati ajaran-ajaran Allah dan untuk beriman
kepadaNya (QS. An-Nisa
(4): 70).
Sementara itu menurut Jawad (1998), Islam telah memberikan suatu jaminan
yang tegas dan pasti kepada kaum perempuan baik dalam peran sosial, hak-hak
politik dan ekonomi, pendidikan dan pelatihan, maupun kesem-patankesempatan kerja. Untuk memproteksi hak-hak mereka tersebut dari
penyalahgunaan oleh kaum laki-laki, Islam telah menyediakan rumusan hukum
yang melindungi. Secara teoritis, perempuan dalam Islam diberikan beberapa
hak, antara lain :
1. Hak independensi kepemilikan : hal ini meliputi hak mengelola keuangan
dan propertinya secara independen. Prinsip Al-Quran juga memberikan
pengetahuan dan sekaligus mengokohkan hak kaum perempuan untuk
berpartisipasi dalam aktivitas-aktivitas ekonomi lainnya.
2. Hak memelihara identitas diri : kaum perempuan dalam Islam selalu
dilindungi secara hukum untuk menggunakan nama keluarganya, dan bukan
nama suaminya. Sebab itu ia selalu dikenal dengan nama keluarga dan hal ini
sebagai indikasi dari persoalan identitas dirinya. Jadi, dalam Islam tidak ada
proses perubahan nama dari kaum perempuan baik sesudah ia menikah, bercerai
ataupun menjanda.
3. Hak pendidikan: Al-Quran dan Sunnah telah mengadvokasikan tentang hakhak perempuan dan laki-laki untuk sama-sama mencari ilmu pengetahuan. AlQuran memerintahkan semua umat Islam untuk berupaya keras dalam mencari
pengetahuan tanpa membedakan jenis kelamin.
4. Hak berpartisipasi dalam politik dan peristiwa-peristiwa publik: Islam
sesungguhnya sangat mendorong kaum perempuan untuk aktif secara politik dan
ikut terlibat dalam pengambilan keputusan. Perempuan diberikan kesempatan
untuk mengekspresikan diri, mengajukan argumentasi, dan menyampaikan
pemikirannya pada publik. Mereka dipercayai menjadi delegasi, mediator, dan
mendapatkan hak perlin-dungan proteksi.
5. Hak mendapatkan respek : Islam memperlakukan perempuan setara
dengan laki-laki sebagai manusia. Sebab itu, Islam sangat menekankan adanya
saling memahami dan respek antara keduanya. Dalam pandangan Islam seorang
perempuan adalah individu yang terhormat dan patut mendapatkan respek,
makhluk yang independen, makhluk sosial, dan makhluk berbakat, sebagaimana
kaum laki-laki, yang memiliki hati, jiwa dan intelektualitas serta memiliki hak-hak
yang secara fundamental untuk mengartiku-lasikan kemampuan dan
ketrampilannya di setiap sektor aktivitas umat manusia.
KESIMPULAN
AI-Quran sebagai sumber dan pandangan umat Islam sesungguhnya telah
memberikan prinsip-prinsip kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, baik
dalam peran domestik maupun peran publiknya. Karenanya, bimbingan Al-Quran
secara logis dan wajar dapat diterapkan dalam kehidupan umat manusia di era
apapun, apabila penafsiran Al-Quran dilakukan terus-menerus oleh setiap
generasi dengan tetap merefleksikan tujuannya secara utuh dan holistik,
terutama dalam etika universal dan kosmo-politannya, seperti tentang spirit
keadilan dan kesetaraan bagi setiap umat manusia, tanpa harus terdemarkasi
oleh atribut seks, laki-laki dan perempuan.
SARAN
Persepsi keliru tentang perempuan selama ini telah mempengaruhi setiap
kehidupan laki-laki maupun perempuan itu sendiri. Sudah saatnya, saya kira,
untuk menghapuskan segala bentuk kekangan dan penindasan terhadap hak-hak
perempuan termasuk dalam hak peran publiknya. Sekaranglah saatnya kita untuk
mendorong dan mendukung cita-cita yang luas dalam partisipasi laki-laki dan
perempuan yang mampu: menyeimbangkan kontribusi maksimal mereka kepada
keluarga maupun masyarakat..
DAFTAR PUSTAKA
Engineer AA, 2000, Hak-hak Perempuan Dalam Islam, Yogyakarta : LSPPA,
Koleksi PSW IAIN Sunan Kalijaga.
Fakih M 1996, Analisis gender dan transformasi sosial, Yogyakarta: Pustaka Fajar
lzutzu T, 1993, Konsep-Konsep Etika Religius dalam Qur'an, Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya. Koleksi: Fakultas Filsafat UGM.
Jawad HA, 1998, The Rights of Women in Islam An Authentic Approach,
Macmillan Press LTD. Koleksi PSW LAIN Sunan Kalijaga.
Muchsin AW, 2001, Qu'ran Menurut Perempuan Meluruskan Bias Gender dalam
tradisi Tafsir, Serambi, Jakarta. Koleksi Pribadi.
Mukhtasar M dan A Kuswanjono, 1999, “Teologi Feminisme Riffat Hassan dan
Rekonstruksi Pemahaman atas Kedudukan dan Peran Wanita”, Jurnal
Filsafat, Yogyakarta. Koleksi pribadi.
Rahman A (ed), 1986, Role of Muslim Woman in Society, London : Seerah
Syamsuddin M, 1998 “Peranan Wanita Muslim Dalam Upaya Peningkatan
Kesejah-teraan Masyarakat”, Jurnal Penelitian Agama, Pusat Penelitian IAIN
Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Koleksi Pribadi.
Umar N, 1999, Argumen Kesetaraan Jender, Perspektif Al-Quran, Paramadina,
Jakarta, Koleksi Pribadi.
Download