ETIKA AL-QURAN BAGI PERAN PUBLIK PEREMPUAN AL QURANIC ETHIC ON PUBLIC ROLE OF WOMEN Syarif Hidayatullah dan M. Mukhtasar Centre of Women Studies, UNIVERSITAS GAJAH MADA, Yogyakarta KEYWORDS ethical, theological, sociological, economical, cultural ABSTRACT The aim of this study is to find and analyze the Quranic ethic on the public role of women and to prove that al Quran could be used as an ethical foundation both theoritical and practical of the role of women in the public sector. For this purpose we adopted hermeneutical and philosophical approaches. The result shows that the Quran as the main resource of Islam has provided basic principle of gender equity either in domestic and public role. Hingga saat ini ada dua masalah mendasar yang dihadapi kaum perempuan di Indonesia, yakni: problem eksternal berupa reaksi kontra yang berbasis pada budaya patriarkal dari sebagian unsur masyarakat dan problem internal berupa munculnya kegalauan dan kegamangan psikologis pada diri kaum perempuan itu sendiri ketika mereka mengaktualisasikan peran publiknya. Problem psikologis ini muncul manakala mereka harus mencari pembenaran etis-teologik bagi peran publiknya. Mereka dihadapkan pada suatu pilihan apakah optimalisasi peran publik akan diperolehnya dengan cara harus membebas-kan diri dari pandangan keagamaannya yang dirasakan selama ini sangat memenjarakan, ataukah dengan tetap membasiskan diri pada landasan etik dari agama yang dianutnya, sebagai konsekuensi dari keimanannya, dengan resiko menghadapi derasnya arus penolakan dan pembatasan terhadap ekspresi-ekspresi kebebasan aktualisasi peran publiknya. Pilihan terakhir ini nampaknya meniscayakan dilakukannya upaya pem-baharuan dalam pandangan keagamaan dan penafsiran teks-teks keagamaan, khususnya yang mendiskursuskan persoalan status dan peran publik kaum perempuan. Jelasnya, dibutuhkan suatu teologi baru untuk menetapkan landasan etik bagi peran publik mereka. Sebab itu, dalam penelitian ini diajukan rumusan masalah: Bagaimanakah rumusan etika Al-Quran bagi peran publik kaum perempuan, dan apakah rumusan etika Al-Quran tersebut bisa dijadikan landasan bagi peran publik perempuan baik secara teoritis maupun praktis. Perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat dibahas di dalam berbagai teori yang secara umum dapat dikategorikan kepada dua teori besar : pertama, teori nature, yang menyatakan bahwa perbedaan peran laki-laki dan perempuan ditentukan oleh faktor biologis. Menurut teori ini, sederet perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan menjadi faktor utama dalam penentuan peran sosial kedua jenis kelamin. Kedua, teori nurture, yang mengungkapkan bahwa perbedaan peran sosial lebih ditentukan oleh faktor budaya. Menurut teori ini pembagian peran laki-laki dan perempuan dalam masyarakat tidak ditentukan oleh faktor biologis, melainkan dikonstruksikan oleh budaya masyarakat (Umar, 1999). Dalam hasil penelitian yang dilakukannya guna memperoleh gelar Doktor di bidang studi Islam, yang kemudian diterbitkan menjadi buku yang bertajuk Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Quran, Umar menunjukkan bahwa Al-Quran cenderung mempersilahkan kepada kecerdasan manusia di dalam menata pembagian peran antara laki-laki dan perempuan. Dengan kesadaran bahwa persoalan ini cukup penting tetapi tidak dirinci di dalam Al-Quran maka hal ini menjadi isyarat adanya kewenangan manusia untuk menggunakan hak-hak kebebasannya dalam memilih pola pembagian peran laki-laki dan perempuan yang saling menguntungkan, baik dalam sektor domestik maupun sektor publik. Dalam pandangannya, Al-Quran tidak memberikan beban gender secara mutlak dan kaku kepada seseorang namun bagaimana agar adanya kewenangan manusia untuk menggunakan hakhak kebebasannya dalam memilih pola pembagian peran laki-laki dan perempuan yang saling menguntungkan, baik dalam sektor domestik maupun sektor publik. Sementara penelitian yang dilakukan oleh Mukhtasar (1999) menunjukkan bahwa dalam teologi feminisme menolak misalnya penafsiran bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa sebagai seorang teolog feminis Islam, Hassan menolak penafsiran beberapa ayat dalam Al-Quran yang secara eksplisit menyatakan bahwa wanita diciptakan dari dan untuk laki-laki sebab pernyataan ini berimplikasi pada relasi wanita-laki-laki secara timpang, bahkan mengukuhkan pandangan bahwa wanita adalah makhluk nomor dua. Bagaimana konsekuensi pandangan Hassan terhadap masalah kepemimpinan wanita, penelitian tersebut belum secara tegas dan eksplisit memberi penjelasan. Sementara peneliti lain, Syamsuddin (1998) membuktikan bahwa sepanjang sejarah, perempuan distereotipkan memiliki kedudukan lebih rendah dari pada laki-laki, bahkan dianggap sebagai subordinat kaum laki-laki. Stereotip ini senantiasa muncul dan dipertahankan oleh sebagian besar masyarakat, terkecuali dalam masyarakat matrilinial yang jumlahnya hanya sedikit. Dalam tradisi fiqh, sebagian ulama juga cenderung menempatkan kedudukan perempuan lebih rendah dari laki-laki. Namun di kalangan modernis Islam belakangan muncul suatu kesadaran bahwa Al-Quran memberikan kedudukan yang setara antara laki-laki dan perempuan. Pernyataan Al-Quran dalam surah An-Nisa (4): 34 yang seolah-olah membedakan status laki-laki dan perempuan semestinya tidak dipahami secara literal-normatif semata namun juga perlu dipahami secara kontekstual-historikal. Kesadaran akan kese-taraan kedudukan dan peran antara laki-laki dan perempuan pada gilirannya akan melahirkan kesadaraan akan keseimbangan tanggung jawab dalam berbagai tugas domestik dan publik keduanya, yang pada tahap selanjutnya akan menciptakan dan menegakkan prinsip keadilaan, yang menurut Fakih (1999), merupakan inti dari ajaran setiap agama. Al-Quran, menurutnya, mencakup pelbagai anjuran untuk menegakkan keadilan ekonomi, keadilan politik dan kultural termasuk keadilan gender. Karena itu, diperlukan metode pendekatan penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Quran yang bisa dipergunakan untuk memahami bagaimana ajaran moral agama yang bersifat prinsipil yang mesti membutuhkan analisis sosial. BAHAN DAN CARA KERJA Bahan yang dipakai untuk dijadikan alat analisis adalah Al-Quran dan Hadis sedang metoda yang digunakan adalah metoda hermeneutik dan filosofis. HASIL DAN PEMBAHASAN Ketika kita berhajat untuk mengetahui bagaimana sesungguhnya pandangan etis Al-Quran tentang peran publik perempuan yang Islami, maka yang harus dilakukan adalah dengan membiarkan Al-Quran menafsirkan dan membicarakan tersebut dengan menggunakan perspektif sendiri. Dengan cara ini, maka kita akan bisa menarik garis demarkasi yang tegas antara batas perspektif Al-Quran dengan batas bias budaya melindunginya. Sehingga tidak samar lagi antara perspektif Al-Quran tentang “Islam” yang sesungguhnya dengan "Islam" yang ter-Arab-kan; di mana dalam konteks konstruksi gender telah memberikan tafsir yang patriarkal dan diskriminatif terhadap kaum perempuan. Tafsir patriarkal dan diskriminatif semacam ini memang telah mengendap selama berabad-abad di bawah alam sadar umat Islam, sehingga tanpa disadari mereka justru menjadi pengabsah bagi tradisi Arab pra-lslam yang sama sekali tidak mensetarakan posisi dan peran perempuan dihadapan laki-laki. Keberadaan perempuan pra-lslam secara umum, diamati Jawad (1998), sangat memprihatinkan dan suram. Sejarah peradaban manusia memberikan kesaksian bahwa perempuan dimasa ini begitu terhina, menjadi korban kekerasan, dan ditempatkan sebagai komunitas kelas dua, bukannya sebagai individu yang terhormat. Perempuan seakan menjadi budak sahaya para suaminya, yang bisa dipertahankan atau diceraikan sekehendak dan sesuka mereka. Perempuan dipandang sebagai penjelmaan dan dosa, ketidakberuntungan, aib, arang di muka, dan sama sekali tidak memiliki hak dan posisi di mata masyarakat. Dalam kaitan ini, Muhsin (2001) melalui bukunya, Qur'an and Woman, Rereading the Sacred Text From a Woman's Perspective berusaha untuk menentukan kriteria yang pasti untuk mengevaluasi sejauh mana posisi perempuan dalam kultur Muslim telah benar-benar menggambarkan maksud Islam itu sendiri mengenai keberadaan perempuan dalam struktur sosial. la percaya bahwa Al-Quran sesungguhnya bisa digunakan sebagai kriteria untuk menguji apakah status perempuan dalam masyarakat Muslim sesungguhnya dapat dikatakan sudah Islami. Karenanya, dia menggugat penafsiran-penafsiran Al-Quran yang selama ini sangat terikat oleh nuansa androsentris dan tradisi Arab-Islam yang telah berlangsung selama berabad-abad sehingga berakibat mendistorsikan peran dan posisi kaum perempuan. Padahal dari hasil kajiannya menunjukkan bahwa banyak sekali ayat Al-Quran yang memprotes kesetaraan derajat perempuan terhadap laki-laki. Peran kaum perempuan yang dibicarakan dalam Al-Quran masuk ke dalam salah satu dari 3 kategori yang diklasifikasikan oleh Muchsin yaitu pertama, peran yang menggambarkan konteks sosial, budaya, dan sejarah di mana si perempuan tinggal, tanpa pujian atau kritik sekalipun dari Al-Quran. Kedua, peran yang memainkan fungsi keperempuanan yang secara universal diterima (yaitu mengasuh atau merawat), dengan beberapa pengecualian atau bahkan telah diberikan dalam Al-Quran sendiri. Ketiga, peran yang memainkan fungsi spesifik non-gender, yakni peran yang menggambarkan usaha manusia di muka bumi dan disebutkan dalam Al-Quran untuk menunjukkan fungsi spesifik ini, bukan untuk menunjukkan jenis kelamin pelakunya, yang kebetulan seorang perempuan. Di sini, kita juga perlu memahami bahwa moralitas dan etika bukanlah konsep-konsep tertitip yang tidak dipengaruhi oleh perkembangan material dalam masyarakat. Moralitas bersifat normatif sekaligus kontekstual. Yang normatif mungkin bersifat transendental, tetapi ia hanya dapat dipraktekkan dalam konteks tertentu. Ketika konteksnya berubah, bisa jadi tidak mungkin untuk mempraktekkan moralitas dalam bentuknya yang lama, namun kandungan normatifnya tidak dapat dikorbankan ketika mengembangkan bentuk moralitas baru. Apabila konsep normatif dalam pembatasan-pembatasan yang diberlakukan kepada perempuan pada masa lalu adalah untuk melindungi kesucian mereka, lambat laun kesucian menjadi sinonim dengan purdah (kerudung) itu sendiri. Para perempuan yang mengenakan purdah secara ketat dianggap sangat suci dan mereka yang melanggarnya walaupun sedikit dianggap "tak bermoral". Demikianlah, bentuk moralitas partikular berkembang dalam kondisi-kondisi tertentu. Kami tidak bermaksud menelusuri bagaimana purdah telah berkembang, tetapi barangkali dapat dikatakan secara singkat di sini bahwa purdah merupakan produk dari konsep tentang 'izzat (kehormatan; dalam makna kesucian perempuan yang tidak dapat diganggu gugat) para penguasa feodal. Konsep ‘izzat’ ini dan penjagaannya oleh laki-laki mengimplikasikan superioritas laki-laki. Pesan hakikinya adalah bahwa perempuan perlu dilindungi dan laki-laki adalah pelindungnya. Konsep ini membawa kepada pemingitan perempuan dengan menggunakan purdah, dengan alasan untuk melindungi mereka. Purdah menjadi bagian dari moralitas perempuan. Demikianlah, pada masa lalu perempuan dianggap lemah dan ini merupakan hasil langsung dari konsep superioritas laki-laki yang sebenarnya bersifat sosiologis, bukan teologis. Masalahnya adalah yang bersifat sosiologis itu seringkali menjelma menjadi teologis dan tetap dipertahankan meskipun kondisikondisi sosiologisnya sudah berubah. Di zaman sekarang perempuan tidak lagi digambarkan sebagai jenis kelamin yang lebih lemah, dan diperlakukan secara berbeda dari laki-laki. Mereka tidak hanya bepergian tanpa diganggu tetapi juga menafkahi diri mereka sendiri dengan bekerja di luar rumah. Mereka tidak lagi tergantung kepada perlindungan laki-laki. Karena itu purdah dalam pengertian konvensional tidak diperlukan lagi, dan harus dirubah. Namun, mengatakan bahwa purdah tidak lagi diperlukan tidaklah berarti bahwa kesucian dapat diabaikan. Kesucian adalah norma, sementara purdah adalah sarana kontekstual untuk mencapainya. Seorang perempuan dapat menjaga kesuciannya tanpa harus mengenakan purdah. Dengan demikian, jika konsep kita tentang moralitas cukup dinamis dan kreatif, kita tidak akan menentang usaha-usaha untuk memberi bentuk baru bagi purdah, dengan meninggalkan bentuk lama dan keadaan-keadaan memungkinkan untuk melakukannya tanpa mengorbankan norma hakikinya. Dengan kata lain, kenyataan sosiologis dan empiris harus sama pentingnya bagi kita dengan yang bersifat teologis. Keseimbangan ini tidak boleh sekali-kali hilang. la merupakan tuntutan dari dinamika moral suatu masyarakat. Kita harus memahami bahwa ada statemen yang bersifat normatif dan juga bersifat kontekstual di dalam Al-Quran. Syariah dalam Islam bersumber pada AlQuran dan Sunnah; dan keduanya mengandung dua unsur penting : unsur normatif dan unsur kontekstual. Al-Quran diwahyukan bagi seluruh umat dan untuk sepanjang zaman. Namun, untuk dapat diterima orang pada waktu itu AlQuran mengandung hal-hal yang mempunyai makna penting bagi mereka. Karena itulah, Kitab Suci juga memuat kandungan yang berasal dari sejarah kebudayan dan tradisi. Inilah yang oleh Engineer (2000) dikatakan dengan sifat kontekstualnya. Di samping itu, Al-Quran mempunyai kandungan yang bersifat transendental, yang meletakkan norma bagi perilaku keseharian manusia dan memberikan arahan untuk kehidupan akhirat. Sejauh menyangkut masalah perem-puan, pengaruh kebudayaan dan tradisi cenderung sangat kuat. Al-Quran, tak diragukan lagi, memberikan banyak sekali hak kepada perempuan dan menguraikannya secara rinci. Al-Quran, bagi Engineer, adalah kitab suci pertama yang telah menyatakan begitu banyak hak bagi perempuan, justru pada masa di mana perempuan sangat tertindas di dalam peradaban-peradaban besar, yaitu Bizantium, Sasanid dan lain-lain. Engineer menyayangkan, bahwa kita melihat pada masa para fuqaha mengambil banyak dari adat (tradisi) Arab pra-Islam, sehingga melahirkan rumusan-rumusan yang membatasi jika tidak dikatakan menginjak-injak hak-hak perempuan. Padahal menurutnya, Al-Quran tidak pernah bermaksud mengenakan pembatasanpembatasan yang tidak semestinya terhadap gerak-gerik perempuan, juga tidak menuntut mereka untuk menutup seluruh muka ketika keluar rumah. Namun para fuqaha terkemuka, meski terdapat perbedaan pendapat di kalangan mereka tentang ayat dan Sunnah tertentu, menuntut perempuan agar tidak keluar rumah mereka terkecuali dalam keadaan mendesak, dan itu pun dengan menutup wajah mereka. Ini jelas menunjukkan bagaimana hak-hak yang telah diberikan Al-Quran ditiadakan oleh para fuqaha karena mempertimbangkan situasi mereka. Namun, sayangnya, ketetapan-ketetapan syariah tersebut dipaksakan juga ketika konteksnya sudah berubah. Dalam pandangannya, ada beberapa alasan munculnya dorongan Al-Quran ke arah kesetaraan perempuan dan laki-laki. Pertama, Al-Quran memberikan tempat yang terhormat kepada seluruh manusia, yang meliputi perempuan dan laki-laki. Kedua, secara norma-etis Al-Quran membela prinsip-prinsip kesetaraan perempuan dan laki-laki. Perbedaan struktur biologis, menurut Al-Quran, tidak berarti ketidaksetaraan dan status yang didasarkan pada jenis kelamin. Menurutnya, kita harus membedakan antara fungsi-fungsi biologis dengan fungsifungsi sosial. Meskipun demikian, Al-Quran memang berbicara tentang laki-laki yang memiliki kelebihan dan keunggulan sosial atas perempuan. Ayat seperti ini, Enginner menyarankan, harus dilihat dalam konteks sosialnya yang tepat. Struktur sosial pada zaman Nabi tidaklah benar-benar mengakui kesetaraan lakilaki dan perempuan. Orang tidak dapat mengambil pandangan yang semata-mata teologis dalam hal semacam ini. Orang harus menggunakan pandangan sosioteologis. Bahkan, Al-Quran pun terdiri dari ajaran yang kontekstual dan juga normatif. Tidak akan ada kitab Suci yang bisa efektif jika mengabaikan konteksnya sama sekali. Al-Quran, untuk tidak meninggalkan keraguan mengenai individualitas perempuan, menyatakan bahwa perempuan dan laki-laki akan dinilai berdasarkan amal perbuatannya. Jika perempuan menjalankan amal keagamaan, demikian pula dalam kiprah sosialnya, mereka akan diberi ganjaran sebagaimana seharusnya, dan jika laki-laki melakukannya dia pun akan mendapatkan balasan yang setimpal (QS. Al Ahzab (33): 35). Al-Quran sama sekali tidak melakukan diskriminasi antara perempuan dan laki-laki dalam hal apapun. Keduanya “akan mendapat ganjaran” atas amal keagamaan dan keduniaan. Dengan demikian, dalam pencipta-anpun, perempuan menurut Al-Quran, sama sekali tidak lebih rendah dari laki-laki. Dengan demikian, adalah benar-benar sah berpendapat bahwa hak-hak perempuan dalam Islam telah dilindungi dengan baik. Kecuali dalam beberapa persoalan yang tidak mendasar, Al-Quran mengakui perempuan tidak berbeda banyak dengan laki-laki. Bagaimanapun juga, pernyataan yang nampak begitu meremehkan perempuan lebih bersifat kontekstual dan bukan normatif, dan harus dilihat secara demikian. Satu contoh kesetaraan peran publik perempuan yang diajukan dalam bukunya, The Rights of Women in Islam, Engineer memberikan contoh tentang wacana perempuan menjadi kepala negara. Diakuinya, secara mutlak memang tidak ada pernyataan langsung Al-Quran tentang kiprah publik semacam ini. Tetapi, sebaliknya, juga tidak ada ayat Al-Quran yang secara tegas menyatakan penolakan terhadap kekuasaan Ratu Saba yang memerintah kawasan Yaman sekarang sebagai wilayah kekuasaannya. Bahkan dalam Al-Quran, Ratu Saba digambarkan sebagai Ratu yang independen dan terlepas dari pengaruh pejabatpejabat lelaki dalam mengambil kebijakan politiknya. Ratu Saba juga diisyaratkan Al-Quran sebagai ratu yang sah dan sangat bijaksana. Seandainya Allah tidak menyetujui seorang perempuan menjadi seorang kepala negara, atau seandainya kekuasaan perempuan akan mendatangkan malapetaka, Engineer berargumentasi, Al-Quran akan menggambarkan Ratu Saba dengan sikap yang berlawanan dan akan menunjukkan kelemahannya di hadapan para pejabat lakilakinya. Justru, Al-Quran meng-gambarkan sebaliknya. Engineer juga menegaskan, bahwa dalam ekonomi industri modern perempuan harus memainkan peranan yang semakin besar. Tidak ada ajaran dalam Al-Quran yang menghalangi perempuan bekerja dan memperluas kiprah publiknya. Pandangan bahwa seorang perempuan yang ideal adalah yang hanya menjaga rumah dan mengasuh anak-anaknya adalah pandangan yang tidak Qurani. Yang dituntut Al-Quran bukanlah agar dia tidak dapat bekerja tetapi bahwa laki-laki harus menafkahi isterinya sebagai balasan kepada isteri yang telah memelihara anak. Hal ini berarti, tegas Engineer, tidak melepaskan seorang perempuan dari haknya untuk bekerja; ini hanya membangun kesejajaran antara isteri dan suami, antara perempuan dan laki-laki. Karena itu, tidak ada halangan bagi perempuan untuk keluar rumah dan ikut mencari nafkah, asalkan ia tetap menjaga kesuciannya dan menahan diri dari dorongan seksualnya (wayahfazhna Furujahunna), hal yang sama juga dituntut dari laki-laki (wayahfazhufurujahum). Jadi, laki-laki tidak lebih unggul dari perempuan dalam hal apapun. Tidak diragukan lagi Al-Quran memandang laki-laki dan perempuan dalam berbagai terminologi kesetaraan sebagai makhluk manusia dalam berbagai hal. Keseluruhan spirit Islam secara umum sangat menegaskan kesetaraan kedua jenis seks tersebut baik dalam status, posisi dan nilai. Mereka adalah sama-sama makhluk Allah, dengan nenek moyang yang sama, Adam dan Hawa, dan, karenanya, maka tentu saja mereka memiliki status dan nilai yang sama sebagai manusia dalam masyarakat. Bukanlah suatu alasan yang mendasar untuk membedakan keduanya hanya karena mereka yang satu adalah perempuan dan yang satu lagi adalah laki-laki. Al-Quran, menurut Rahman (1986), secara eksplisit mengokohkan kesetaraan perempuan dan laki-laki sebagai manusia dalam berbagai konteks, antara lain : 1. Perbuatan-perbuatan praktis : Al-Quran akan menilai setiap manusia hanya berdasarkan prestasi ketakwaannya, bukan karena jenis kelamin (QS. Al Hujuraat (49): 13). Di hadapan Allah, yang akan memperoleh kemuliaan dan keutamaan adalah mereka yang paling takwa (atqakum) dalam perbuatanperbuatannya, baik ia laki- laki ataupun perempuan, dan baik sudah menikah ataukah belum menikah. Status masing-masing individu akan ditentukan oleh perbuatan-perbuatannya masing-masing di dunia ini dan bukan oleh yang lainnya, bukan karena simbol seksnya, bukan kaya atau miskinnya, bukan majikan atau buruh, dan bukan pengatur atau yang diatur. 2. Atas dasar saling berpasangan (Zaujain): Al-Quran mendeklarasikan lakilaki dan perempuan merupakan pasangan yang diciptakan antara satu untuk yang lainnya, dan karena itu, mereka memiliki status yang setara dalam semua aspek. Keduanya diciptakan setara, sebagai sebuah pasangan, untuk saling membantu di dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Kenyataan kehidupan mereka seperti demikian ini disebutkan dalam berbagai ayat AlQuran antara lain: "Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasanganpasangan semuanya baik dan apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan diri mereka sendiri maupun dan apa yang tidak mereka ketahui (QS. Yaasin (36): 36. 3. Sebagai bagian dari Makhluk: Al-Quran dalam berbagai konteks menyatakan bahwa semua manusia, termasuk perempuan, diingatkan akan tugas-tugas mereka terhadap Allah, dan tidak membuat perbedaan antara laki-laki dan perempuan. 4. Keimanan: Al-Quran menganjurkan kepada seluruh umat manusia, laki-laki dan perem-puan, untuk mentaati ajaran-ajaran Allah dan untuk beriman kepadaNya (QS. An-Nisa (4): 70). Sementara itu menurut Jawad (1998), Islam telah memberikan suatu jaminan yang tegas dan pasti kepada kaum perempuan baik dalam peran sosial, hak-hak politik dan ekonomi, pendidikan dan pelatihan, maupun kesem-patankesempatan kerja. Untuk memproteksi hak-hak mereka tersebut dari penyalahgunaan oleh kaum laki-laki, Islam telah menyediakan rumusan hukum yang melindungi. Secara teoritis, perempuan dalam Islam diberikan beberapa hak, antara lain : 1. Hak independensi kepemilikan : hal ini meliputi hak mengelola keuangan dan propertinya secara independen. Prinsip Al-Quran juga memberikan pengetahuan dan sekaligus mengokohkan hak kaum perempuan untuk berpartisipasi dalam aktivitas-aktivitas ekonomi lainnya. 2. Hak memelihara identitas diri : kaum perempuan dalam Islam selalu dilindungi secara hukum untuk menggunakan nama keluarganya, dan bukan nama suaminya. Sebab itu ia selalu dikenal dengan nama keluarga dan hal ini sebagai indikasi dari persoalan identitas dirinya. Jadi, dalam Islam tidak ada proses perubahan nama dari kaum perempuan baik sesudah ia menikah, bercerai ataupun menjanda. 3. Hak pendidikan: Al-Quran dan Sunnah telah mengadvokasikan tentang hakhak perempuan dan laki-laki untuk sama-sama mencari ilmu pengetahuan. AlQuran memerintahkan semua umat Islam untuk berupaya keras dalam mencari pengetahuan tanpa membedakan jenis kelamin. 4. Hak berpartisipasi dalam politik dan peristiwa-peristiwa publik: Islam sesungguhnya sangat mendorong kaum perempuan untuk aktif secara politik dan ikut terlibat dalam pengambilan keputusan. Perempuan diberikan kesempatan untuk mengekspresikan diri, mengajukan argumentasi, dan menyampaikan pemikirannya pada publik. Mereka dipercayai menjadi delegasi, mediator, dan mendapatkan hak perlin-dungan proteksi. 5. Hak mendapatkan respek : Islam memperlakukan perempuan setara dengan laki-laki sebagai manusia. Sebab itu, Islam sangat menekankan adanya saling memahami dan respek antara keduanya. Dalam pandangan Islam seorang perempuan adalah individu yang terhormat dan patut mendapatkan respek, makhluk yang independen, makhluk sosial, dan makhluk berbakat, sebagaimana kaum laki-laki, yang memiliki hati, jiwa dan intelektualitas serta memiliki hak-hak yang secara fundamental untuk mengartiku-lasikan kemampuan dan ketrampilannya di setiap sektor aktivitas umat manusia. KESIMPULAN AI-Quran sebagai sumber dan pandangan umat Islam sesungguhnya telah memberikan prinsip-prinsip kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, baik dalam peran domestik maupun peran publiknya. Karenanya, bimbingan Al-Quran secara logis dan wajar dapat diterapkan dalam kehidupan umat manusia di era apapun, apabila penafsiran Al-Quran dilakukan terus-menerus oleh setiap generasi dengan tetap merefleksikan tujuannya secara utuh dan holistik, terutama dalam etika universal dan kosmo-politannya, seperti tentang spirit keadilan dan kesetaraan bagi setiap umat manusia, tanpa harus terdemarkasi oleh atribut seks, laki-laki dan perempuan. SARAN Persepsi keliru tentang perempuan selama ini telah mempengaruhi setiap kehidupan laki-laki maupun perempuan itu sendiri. Sudah saatnya, saya kira, untuk menghapuskan segala bentuk kekangan dan penindasan terhadap hak-hak perempuan termasuk dalam hak peran publiknya. Sekaranglah saatnya kita untuk mendorong dan mendukung cita-cita yang luas dalam partisipasi laki-laki dan perempuan yang mampu: menyeimbangkan kontribusi maksimal mereka kepada keluarga maupun masyarakat.. DAFTAR PUSTAKA Engineer AA, 2000, Hak-hak Perempuan Dalam Islam, Yogyakarta : LSPPA, Koleksi PSW IAIN Sunan Kalijaga. Fakih M 1996, Analisis gender dan transformasi sosial, Yogyakarta: Pustaka Fajar lzutzu T, 1993, Konsep-Konsep Etika Religius dalam Qur'an, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. Koleksi: Fakultas Filsafat UGM. Jawad HA, 1998, The Rights of Women in Islam An Authentic Approach, Macmillan Press LTD. Koleksi PSW LAIN Sunan Kalijaga. Muchsin AW, 2001, Qu'ran Menurut Perempuan Meluruskan Bias Gender dalam tradisi Tafsir, Serambi, Jakarta. Koleksi Pribadi. Mukhtasar M dan A Kuswanjono, 1999, “Teologi Feminisme Riffat Hassan dan Rekonstruksi Pemahaman atas Kedudukan dan Peran Wanita”, Jurnal Filsafat, Yogyakarta. Koleksi pribadi. Rahman A (ed), 1986, Role of Muslim Woman in Society, London : Seerah Syamsuddin M, 1998 “Peranan Wanita Muslim Dalam Upaya Peningkatan Kesejah-teraan Masyarakat”, Jurnal Penelitian Agama, Pusat Penelitian IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Koleksi Pribadi. Umar N, 1999, Argumen Kesetaraan Jender, Perspektif Al-Quran, Paramadina, Jakarta, Koleksi Pribadi.