vi Uji ektifias infusa daun katuk (sauropus androgynus)

advertisement
Uji ektifias infusa daun katuk (sauropus androgynus) sebagai anthelmintik
Terhadap Waktu Paralisis atau Kematian Cacing Gelang Babi (Ascaris
suum, Goeze)
Secara In vitro1
Muara hayos2 siti Rahmah KR., S.Farm,Apt3
Susan Sintia Ramdhani., S.Farm.,Apt4
INTISARI
Penyakit infeksi masih merupakan masalah utama dalam suatu negara
berkembang. Salah satu penyakit infeksi yaitu yang disebabkan oleh cacing
terutama yang ditularkan melalui tanah atau soil-transmitted helminths,
prevalensinya masih tinggi.
Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh ektifias infusa daun katuk
(sauropus androgynus) sebagai anthelmintik terhadap waktu paralisis atau
kematian cacing gelang babi (ascaris suum, Goeze) secara in vitro
Metode penelitian yaitu Eksperimental dengan menggunakan 45 ekor
cacing Ascaris suum, Goeze, dibagi dalam 5 kelompok yaitu: kelompok kontrol
negatif menggunakan larutan akuadest infusa daun katuk (konsentrasi 50%,
70%, 90% ) serta pirantel pamoat dengan merek dagang Combantrin sebagai
kontrol positif. Pengamatan waktu paralisis atau kematian dilakukan tepat
setelah perlakuan diberikan, diamati kematian cacing hingga cacing berefek.
Data dianalisis dengan uji one way ANOVA nilai probabilitas (p<0,05).
Didapatkan perbedaan waktu paralisis atau kematian cacing yang
menunjukkan efek antelmintik pada masing-masing perlakuan. Pada kelompok
infusa daun katuk (konsentrasi 50%, 70%, 90% ) terlihat bahwa efek antelmintik
terhadap Ascaris suum, Goeze In vitro meningkat seiring meningkatnya
konsentrasi terlihat dari semakin cepatnya waktu paralisis atau kematian cacing.
Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa infusa daun katuk (sauropus
androgynus) memiliki efek antelmintik walaupun efektivitas antelmintik infusa
daun katuk masih lebih rendah dibandingkan efektivitas antelmintik pirantel
pamoat.
Kata kunci : Antelmintik, infusa daun katuk (sauropus andronus), Pirantel
Pamoat, Ascaris suum Goeze
vi
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman
hayati terbesar ke dua setelah Brazil termasuk keanekaragaman
tanaman obat nya, namun jika diperhitungkan dengan kekayaan
alam
lautnya,
Indonesia
merupakan
negara
dengankeane
ragaman hayati yang terbesar didunia sehingga mendapat
sebutan live laboratory. Sekitar 30.000 jenis tanaman obat dimiliki
Indonesia. Dengan kekayaan flora tersebut, tentu Indonesia
memiliki potensi untuk mengembangkan produk herbal yang
kualitasnya setara dengan obat modern. Sejak zaman kerajaan
bangsa Indonesia telah mengenal dan memanfaatkan tumbuhan
berkhasiat obat sebagai salah satu upaya untuk menanggulangi
masalah kesehatan, jauh sebelum pelayanan kesehatan formal
dengan obat - obatan modernnya dikenal masyarakat. Penge
tahuan tentang pemanfaatan tanaman obat tersebut merupakan
warisan
budaya
bangsa
berdasarkan
pengetahuan
dan
pengalaman yang diwariskan secara turun-temurun hingga ke
generasi sekarang, sehingga tercipta berbagai ramuan tumbuhan
obat yang merupakan ciri khas pengobatan tradisional Indonesia.
Seperti tersirat pada hadist dan ayat dalam surat yunnus:57
dan hadist HR.Abu Dawud dari Darda’radhhialli’anhu bahwa
setiap penyakit ada obatnya.
َ ‫اس َقدْ َجا َء ْت ُك ْم َم ْوع‬
َ‫ُور َو ُهدًى َو َر ْح َم ٌة لِ ْل ُم ْؤ ِمنِين‬
ُّ ‫ِظ ٌة مِنْ َر ِّب ُك ْم َوشِ َفا ٌء لِ َما فِي ال‬
ُ ‫َيا أَ ُّي َها ال َّن‬
ِ ‫صد‬
Artinya : Sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari
tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada)
dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orag yang
beriman. (QS.Yunnus57)
1
‫ وال‬، ‫ فتداووا‬، ‫ وجعل لكل داء دواء‬، ‫إن هللا أنزل الداء والدواء‬
‫تتداووا بالحرام‬
“Sesungguhnya allah telah menurunkan penyakit dan obatnya,
demikian pula allah menjadikan bagi setiap penyakit ada obatnya.
Maka berobatlah kalian dan janganlah berobat dengan yang
haram “(HR. Abu Dawud dari Darda’ radhiallahu ‘anhu).
Salah
satu
tumbuhan
atau
tanaman
yang
digunakn
masyarakat sebagi obat adalah katuk (Sauropus androgynus)
digunakan sebagai pelancar ASI, antipiretik, dan ada juga yang
menggunakan sebagai antelmintik. Bagian yang sering digunakan
untuk obat adalah daun, batang, dan akar. Biasanya masyarakat
menggunakannya dengan cara mengambil beberapa pucuk daun
yang masih muda dan segar, kemudian dicuci bersih setelah itu
direbus mnenggunakan air, kemudian didinginkan dan diminum.
Menurut Tariga Zuhra, 2008 (osfar sjufyan ,2012) Daun
katuk diketahui memiliki kandungan kimia antara lain tannin,
catechin, flavonoid, alkaloida, triterpen, asam-asam organik,
minyak
atsiri, saponin, sterol, asam-asam amino, protein,
karbohidrat, vitamin dan mineral. Kandungan kimia pada daun
katuk (Sauropus androgynus)
saponin dan tanin yang berefek
sebagi antelmintik
Infeksi cacing usus masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat dinegara berkembang termasuk Indonesia. Dikatakan
pula bahwa masyarakat pedesaan atau daerah perkotaan yang
sangat padat dan kumuh merupakan sasaran yang mudah terkena
infeksi cacing (Moersintowarti, 1992). Salah satu penyebab infeksi
cacing usus adalah Ascaris lumbricoides atau lebih dikenal
dengan cacing gelang yang penularannya dengan perantaraan
tanah (“Soil Transmited Helminths”). Infeksi yang disebabkan oleh
cacing ini disebut Ascariasis. Askariasis merupakan infeksi cacing
yang paling sering terjadi, dengan perkiraan prevalensi di dunia
2
berkisar 25% atau 0,8 - 1,22 milyar orang (David, 2008).
DiIndonesia, prevalensi askariasis tinggi antara 60 - 90%,
tergantung pada lokasi dan sanitasi lingkungan (Pohan, 2007).
Menurut mahmudah T.R, (2010), menyebutkan morfologi ascarus
suum,goeze hampir sama dengan ascaris lumbricoides, ascaris
suum, goeze juga dapat menginfeksi dan bisa berkembang dalam
usus manusia. ( miyazaki ,1991).
Dalam penelitian ini akan dilakukan uiji aktifitas infusa daun
katuk (Sauropus androgynus) sebagai antelmintik terhadap cacing
babi (ascarissuum, goeze) secara in vitro. Dibuat dengan berbagai
konsentrasi 20% (b/v), 40% (b/v), 60% (b/v), 80% (b/v), 100%
(b/v).
B.
Batasan Masalah
1. Uji efektifitas infusa daun katuk (Sauropus androgynus) seba
gai antelmintik terhadap kematian cacing babi (ascaris suum,
goeze) secara in vitro.
2. Dengan menggunakan sampel uji dalam konsentrasi 20% b/v,
40% b/v, 60% b/v, 80% b/v, dan 100% b/v.
3. Dengan menggunakan kontol positif yaitu piyrantel pamoat
sebagai pembanding terhadap waktu kematian cacing gelang
babi (ascarissuum, goeze) secara in vitro
4. Dengan menggunakan kontrol negativ yaitu NaCl 0,9 %.
C.
Rumusan masalah
1. apakah infusa daun Katuk (Sauropus androgynus) memiliki
aktivitas antelmintik terhadap cacing gelang babi (Ascaris
suum Goeze) secara in vitro.
2. Berapakah konsentrasi infusa daun katuk (Sauropus androg
ynus) yang dibutuhkan untuk dapat menyebabkan kematian
terhadap cacing gelang babi (Ascarissuum goeze ).
3
D.
Tujuan penelitian
Penelitian yang akan dilakukan bertujuan untuk mengetahui
seberapa besar efektifitas yang dihasilkan daun Katuk(Sauropus
androgynus) sebagai antelmintik.
E.
Manfaat penelitian
1. Manfaat teoritis
Untuk memberikan informasi pada penelitian selanjutnya
tentang pengaruh infusa daun katuk (Sauropus androgynus).
terhadap waktu kematian cacing gelang babi (ascarissuum,
goeze). Dan untuk menambah pengetahuan tentang tanaman
atau tumbuhan obat yang berefek antelmintik.
2.
Manfaat aplikatif
Memberikan informasi kepada masyarakat, tentang manfaat
daun katuk untuk mengobati penyakit cacing.
F.
Keaslian penelitian
Terdapat beberapa penelitian yang memiliki persamaan dengan
penelitian yang akan dilakukan, namun terdapat juga perbedaan.
Adapun penelitiannya yaitu sebagai berikut
4
:
Tabel 1.1 penelitian yang sama dengan yang akan dilakukan :
Judul
Nama
Tempat
Tahun
Persamaan
Perbedaan
Potensi suspensi
dan ekstrak daun
katuk(Sauropus
androgynus)
sebagai antelmintik
terhadap nematoda
gastrointestinal
pada ternak
kambing
razali
Universitas
banda aceh
2014
Menggunaka
n daun katuk
sebagai
antelmintik
Hewan uji
kambing
,mengguna
kan
sediaan
suspensi
dan ekstrak
Uji efektifitas infusa
daun katuk
(Sauropus
androgynus)
sebagai antelmintik
terhadap cacing
babi(Ascaris suum)
secara in vitro
Muara
hayos
Universitas
muhamadiya
h ciamis
2016
Menggunaka
n daun katuk
sebagai
antelmintik
Pengaruh ekstrak
putri malu
(Mimosa pudica,L
inn) terhadap
mortalitas
Ascaris suum,
Goeze in vitro
Rasmal
iah
Universitas
sebelas
maret
surakarta
2001
Menggunaka
n metode
yang sama in
vitro, dan
menggunaka
n cacing
yang sama
Ascarissuum,
Goeze
Menggunak
an metode
ekstraksi
yang
berbeda
dan
menggunak
an sampel
yang
berbeda.
Pengaruh
Pemberian Air
Rebusan Akar
Delima (Punica
granatum L.)
terhadap Mortalitas
Ascaris suum
Goesze. secara
In Vitro
Bayu
sandika
Universitas
negri
surabaya
2012
Menggunaka
n metode
yang sama in
vitro dan
infusa, dan
menggunaka
n cacing
yang sama
Ascarissuum,
Goeze
Menggunak
an
menggunak
an sampel
yang
berbeda
5
Menggunak
an hewan
uji cacing
babi,mengg
unakan
sediaan
infusa
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
LANDASAN TEORI
Gambar II.1. Daun katuk ( sauropus androgynus)
1.
Klasifikasi Katuk
Klasifikasi tanaman katuk (Razali,2014)
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Malpighiales
Famili
: Phyllanthaceae
Genus
: Sauropus
Spesies
: Sauropus androgynus
6
:
2.
Morfologi tanaman katuk
Tanaman katuk merupakan tanaman sejenis tanaman perdu
yang tumbuh menahun. Sosoknya berkesan ramping sehingga
sering ditanam sebagai tanaman pagar. Tingginya sekitar 3-5 m
dengan batang tumbuh tegak, berkayu, dan bercabang jarang.
Batangnya berwarna hijau saat masih muda dan menjadi kelabu
keputihan saat sudah tua. Daun katuk merupakan daun majemuk
genap, berukuran kecil, berwarna hijau gelap dengan panjang lima
sampai enam cm. Kandungan zat besi pada daun katuk lebih
tinggi daripada daun pepaya dan daun singkong. Daun katuk juga
kaya vitamin (A, B1, dan C), protein, lemak, dan mineral. Selain
itu, menurut Razali (2014) daun dan akar katuk mengandung
saponin, flavonoida, dan tanin. Katuk merupakan tanaman yang
rajin berbunga. Bunganya kecil-kecil berwarna merah gelap
sampai kekuning - kuningan, dengan bintik-bintik merah.
Bunga tersebut akan menghasilkan buah berwarna putih
yang didalamnya terdapat biji berwarna hitam. Cara perbanyakan
nya melalui stek batang yang belum terlalu tua. Penan amannya
dapat dilakukan dipekarangan sebagai pagar hidup. Bila produksi
daunnya tinggal sedikit, tanaman katuk dapat diremajakan dengan
cara batang utamanya dipangkas.
B.
Kandungan kimia daun katk yang memiliki efek antelmintik
1.
Saponin
Tanaman katuk (Sauropus androgynus) mengandung saponin,
flavonoid, dan tanin (Depkes RI, 2001). Berdasarkan skrining fitoki
mia yang telah dilakukan, golongan senyawa yang teridentifikasi
dalam daun katuk antara lain alkaloid, terpenoid, dan glikosida .
Saponin adalah glikosida yang banyak ditemukan dalam
tumbuhan, terdiri dari gugus gula yang berikatan dengan aglikon
atau sapogenin. Saponin mempunyai karakteristik berupa buih
7
karena ketika direaksikan dengan air dan dikocok dapat
membentuk buih. Saponin diklasifikasikan menjadi dua tipe, yaitu
saponin steroid dan saponin triterpenoid. Saponin steroid tersusun
atas inti steroid dengan molekul karbohidrat, sedangkan saponin
triterpenoid tersusun atas inti triterpenoid dengan molekul
karbohidrat.
Saponin memiliki efek antelmintik dengan menghambat kerja
enzim kolinesterase (Kuntari, 2008). Enzim kolinesterase merupa
kan enzim yang berfungsi untuk menghidrolisis asetilkolin, suatu
neurotransmiter di berbagai sinaps serta akhiran saraf simpatis,
parasimpatis, dan saraf motor somatik. Penghambatan kerja
enzim kolinesterase menyebabkan penumpukan asetilkolin pada
reseptor nikotinik neuromuskular. Akibatnya, akan terjadi stimulasi
terus-menerus reseptor nikotinik yang menyebabkan peningkatan
kontraksi otot. Kontraksi ini lama-kelamaan akan menimbulkan
paralisis otot hingga berujung pada kematian cacing .
Gambar II.2. Struktur kimia saponin
8
2.
Tanin
kandungan kimia yang terdapat dalam daun katuk yaitu
saponin, flavonoida, dan tanin (Rasmaliah 2001). Tanin secara
umum didefinisikan sebagai senywa polifenol yang memiliki berat
molekul cukup tinggi (lebih dari 1000) dan dapat membentuk
kompleks
dengan
protein.
Berdasarkan
strukturnya,
tanin
dibedakan menjadi dua kelas yaitu tanin terkondensasi dan tanin
terhidrolisis.
Tanin merupakan salah satu jenis senyawa yang termasuk
ke dalam golongan polifenol. Senyawa tanin ini banyak dijumpai
pada tumbuhan. Tanin dahulu digunakan untuk menyamakkan
kulit hewan karena sifatnya yang dapat mengikat protein. Selain
itu juga tanin dapat mengikat alkaloid dan gelatin. Tanin memiliki
peranan biologis yang kompleks. Hal ini dikarenakan sifat tanin
yang sangat kompleks mulai dari pengendap protein hingga
pengkhelat logam. Tanin juga dapat berfungsi sebagai antioksidan
biologis (Rasmaliah 2001).
Selain itu menurut Rasmaliah (2001), tanin juga berfungsi
sebagai antelmintik. Mekanisme kerja senyawa tanin sebagai
anthelmintik dengan menghambat enzim, dan merusak membran
(Shahidi & Naczk, 1995). Terhambatnya kerja enzim dapat
menyebabkan
proses
metabolisme
pencernaan
terganggu
sehingga cacing akan kekurangan nutrisi pada akhirnya cacing
akan mati karena kekurangan tenaga. Membran cacing yang
rusak karena tanin menyebabkan cacing paralisis yang akhirnya
mati. Tanin umumnya berasal dari senyawa polifenol yang
memiliki kemampuan untuk mengendapkan protein dengan
membentuk koopolimer yang tidak larut dalam air (Harborne,
1987). Tanin juga memiliki aktivitas ovisidal, yang dapat mengikat
telur cacing yang lapisan luarnya terdiri
9
atas protein sehingga
pembelahan sel di dalam telur tidak akan berlangsung pada
akhirnya larva tidak terbentuk.
Tanin memiliki beberapa sifat yaitu
a.
:
mengendapkan protein dengan bersenyawa dengan protein
tersebut,
b.
sukar mengkeristal karena merupakan senyawa kompleks
dalam bentuk campuran polifenol
Gambar II.3. Struktur kimia senyawa tanin.
C.
Infusa
Infusa adalah sediaan cair yang dibuat dengan mengektraksi
simplisia nabati dengan air pada suhu 90 derajat selama 15 menit
(FI IV). Hal – hal yang harus diperhatikan dalam membuat sediaan
infus :
1. Jumlah simplisia
Kecuali dinyatakan lain, infus yang mengandung bahan
tidak berkhasiat keras dibuat dengan 10 % simplisia.
2. Banyaknya air ekstra
Umumnya untuk membuat sediaan infus diperlukan
penambahan air sebanyak 2 kali bobot simplisia. Air ekstra ini
perlu karena simplisia yang digunakan pada umumnya dalam
keadaan kering.
10
3. Car menyerkai
Pada umumnya infusa diserkai selagi panas, kecuali
infus simplisia yang mengandung minyak atsiri diserkai
setelah dingin. Infus daun sena, asam jawa dibuang bijinya
dan diremas dengan air hingga diperoleh massa seperti
bubur.
4. Penambahan bahan – bahan lain
Penambahan bahan – bahan lain dimaksud untuk
menmbh kelaruan, untuk menambah kestabilan, dan untuk
menghilangkan zat – zat yang menyebabkan efek lain.
D.
Simplisia
1.
Definisi
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai
obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali
dinyatakan lain, berupa bahan yang telah dikeringkan. Simplisia
dapat berupa simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia
pelikan (mineral).
Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tanaman
utuh, bagian tanaman atau eksudat tanaman. Yang dimaksud
eksudat tanaman ialah isi sel yang secara spontan keluar dari
tanaman atau yang dengan cara tertentu dikeluarkan dari selnya,
atau zat – zat nabati lain yang dengan cara tertentu dipisahkan
dari tanamannya.
Simplisia hewani ialah simplisia yang berupa hewan utuh,
bagian dari hewan atau zat – zat berguna yang dihasilkan oleh
hewan dan belum berupa zat kimia murni. Simplisia pelikan atau
mineral ialah simplisia yang berupa bahan pelikan atau mineral
ialah simplisia yang berupa bahan pelikan atau mineral yang
belum diolah atau telah diolah dengan cara sederhana dan belum
berupa zat kimia murni (Gunawan dan Mulyani, 2004).
11
2.
Proses Pembuatan Simplisia.
a.
Pengumpulan bahan baku
Tahapan pengumpulan bahan baku sangat menentukan
kualitas bahan baku. Factor yang paling berperan dalam
tahap ini adalah masa panen. Berdasarkan garis besar
pedoman panen, pengambilan bahan baku khususnya pada
pengambilan biji adalah pada saat mulai mengeringnya buah
atau sebelum semuanya pecah (Gunawan dan Mulyatni,
2004).
b.
Sortasi basah
Sortasi basah adalah pemilihan hasil panen ketika
tanaman masih segar. Sortasi dilakukan terhadap tanah,
kerikil, rumput – rumputan, bahan tanaman lain atau bagian
lain dari tanaman yang tidak digunakan dan bagian tanaman
yang rusak (Gunawan dan Mulyani, 2004).
c.
Pencucian
Pencucian simplisa dilakukan untuk membersihkan
kotoran yang melekat terutama bahan – bahan yang berasal
dari dalam tanah dan juga bahan – bahan yang tercemar
pestisida. Pencucian bisa dilakukan dengan menggunakan
air yang berasal dari beberapa dari beberapa sumber, diant
aranya dari mata air,sumur dan PAM (Gunawan dan Mulyani
,2004).
d.
Pengubahan bentuk
Tujuan pengubahan bentuk simplisia adalah untuk
memperluas
permukaan
bahan
baku.
Semakin
luas
permukaan maka bahan baku akan semakin cepat kering
(Gunawan dan Mulyani, 2004).
e.
Pengeringan
Proses pengeringan simplisia, terutama bertujuan
untuk menurunkan kadar air sehingga bahan tersebut tidak
12
mudah ditumbuhi kapang dab bakteri, kemudian untuk
meghilangkan aktivitas enzim yang bisa menguraikan lebih
lanjut kandungan zat aktif serta untuk memudahkan dalam
hal pengelolaan proses selanjutnya. Pengeringan
dapat
dilakukan dengan oven pada suhu 600 C dan dapat
dilakukan juga dengan sinar matahari langsung ataupun
tidak langsung (Gunawan dan Mulyani, 2004).
f.
Sortasi kering
Sortasi kering adalah pemilihan
mengalami
proses
pengeringan.
bahan setelah
Pemilihan
dilakukan
terhadap bahan – bahan yang terlalu gosong, bahan yang
rusak akibat terlindas roda kendaraan (misalnya dikeringkan
di tepi jalan raya), atau dibersihkan dari kotoran hewan
(Gunawan dan Mulyani, 2004).
E.
Askariasis
1.
Definisi
Askariasis adalah penyakit yang diakibatkan oleh infestasi
cacing Ascaris Lumbricoides, Linn atau cacing gelang. Ascaris
Lumbricoides, Linn adalah cacing bulat yang besar dan hidup
dalam usus halus manusia. Cacing ini terutama tumbuh dan
berkembang pada penduduk di daerah yang beriklim panas dan
lembab serta sanitasi buruk (Sudoyo, dkk., 2007).
2.
Epidemiologi
Penyakit askariasis ini sifatnya kosmopolit yakni terdapat
hampir di seluruh dunia (Rasmaliah, 2001). Akan tetapi, infeksi ini
lebih banyak dan lebih sering mengenai daerah-daerah tropis dan
negara berkembang di mana masih sering terjadi kontaminasi
tanah oleh tinja yang mengandung telur cacing (Suriptiastuti,
2006) Menurut A.D Rahmala (2010), Sumber penularan askariasis
salah
satunya
adalah
ternak
13
babi.Telur
cacing
penyebab
askariasis dikeluarakan oleh babi kemudian mencemari tanah, air,
atau makanan.
3.
Etiologi
Askariasis
disebabkan
oleh
infeksi
cacing
Ascaris
lumbricoides, yaitu cacing gelang yang berukuran besar yang
hidup pada usus halus manusia. Sementara itu, Ascaris suum,
parasit yang serupa yang terdapat pada babi, jarang menginfeksi
pada manusia, namun bisa berkembang menjadi dewasa pada
usus manusia, hal ini dapat menyebabkan ‘larva migrans’
(Depkes, 2005 )
4.
Terapi
Obat
pilihan
utama
untuk
askariasis
adalah
pirantel
pamoatatau mebendazole, sedangkan untuk pilihan keduanya
adalahlevamizole, piperazine ataupun albendazole (Katzung,
2004). Menurut Pohan (2007), obat-obat yang digunakan untuk
membasmi cacing ini antara lain :
a.
Pirantel pamoat
Mekanisme kerja pirantel pamoat yaitu dengan menghambat
depolorisasi
aktivitasi
neuromuskular
persistein
respector
sehingga
nicitonik
menyebabkan
asetilkolin
dan
menghasilkan paralisis spastik. Pirantel pamoat juga bekerja
dengan menghambat kolinesterase. Efek sampingnya yaitu
gangguan saluran cerna berupa anoreksia, mual – mual,
diare, sakit kepala dan demam.
b.
Piperazin
Mekanisme kerja obat piperazin yaitu menghambat reseptor
gaba agonis yang menimbulkan paralisis flaksid otot cacing
dan dikeluarkan dari tubuh dengan gerakan pristalik. Obat ini
menyebabkan hiperpolarisasi dan menurunkan eksibilitas
otot cacing. Dosis tunggal dewasa sampai dengan anak
anak 75 kg/bb /hari maksimal (3,5 gram) selama 2 hari
14
berturut turut. Efek samping pada obat ini iritasi saluran
cerna, dapat juga gangguan neurologik sementara dan
adanya reaksi urtikaria.
c.
Prazikuantel
Mekanisme kerja obat ini dengan 2 cara yaitu pada
konsentrasi kecil aktivitas muskulus meningkat (dengan cara
meningkatkan premeabilitas membran terhadap Ca) dan
menyebabkan terjadinya kontraksi dan paralisis spastik.
Kensentrasi
besar
mnyebabkan
kerusakan
tegumen.
Tegumen parasit adalah tempat terjadinya kerja obat ini
dengan meningkatkan Ca – influks. Dosis dewasa dan anak
> 4 tahun : dosis tunggal 40 mg/kg berat badan interval 4 – 6
jam. Efek samping nyeri perut dan nausea, demam sakit
kepala dan mengantuk.
d.
Levamizole
Mekanisme kerja obat ini melalui stimulasi autonomik gangila
(nikitonik reseptor) dari cacing. Jika terekspos obat, cacing
menunjukan konsentrasi spastic yang diikuti paralisis tonik.
Mekanisme
kerja
obat
hampir
sama
dengan
obat
anthelmintik yang lain yaitu pirantel pamoat. Dosis obat ini
cukup efektif bila diberikan dengan dosis 150 mg/ kg bb
dalam dosis tunggal. Efek samping obat ini yaitu nausea,
vomting, abdominal pain dan sakit kepala.
15
F.
Ascaris suum, Goeze
Gambar II.4. Ascarissuum, goeze (Introduction to Parasitology Labora
tory)
1.
Taksonomi Ascaris suum,Goeze
:
Kingdom
: Animalia
Subkingdom
: Metazoa
Filum
: Nemathelminthes
Kelas
: Nematoda
Subkelas
: Scernentea
Ordo
: Ascaridia
Superfamilia
: Ascarididea
Famili
: Ascarididae
Genus
: Ascaris
Spesies
: Ascaris suum, Goeze
(Loreille, 2003 ; Wikipedia 2010).
16
2.
Morfologi dan siklus hidup
Menurut Miyazaki 1991(Mahmudah T.R : 2010) cacing
ascaris suum, Goeze atau disebut juga Ascaris suilla, secara
morfologi hampir sama dengan Ascaris lumbricoides, Linn.
Perbedaan morfologi terdapat pada deretan gigi dan bentuk
bibirnya. Ascaris suum memiliki siklus hidup dan cara infeksi yang
sama dengan Ascaris lumbricoides .
Ascaris suum, parasit yang terdapat pada babi, namun bisa
berkembang menjadi dewasa pada usus manusia terutama di
bagian depan usus halus, dan juga menyebabkan ‘larva migrans’.
Seperti halnya pada cacing dewasa Ascaris lumbricoides, cacing
dewasa Ascaris suum terdapat di usus halus dan gampang dilihat
karena panjangnya 12-50 cm. Menurut Williamson, 1993 (Mahmu
dah T.R : 2010). Morfologi tubuh cacing ini memikili tubuh simetris
bilateral, bulat panjang (gilig), mempunyai saluran pencernaan,
memiliki rongga badan palsu atau sering disebut Tripoblastik
pseudoselomata. Cacing betina dewasa tinggal pada saluran
pencernaan, dan mampu bertelur sebanyak 200.000 butir per hari.
Di mana telur-telur yang keluar kemudian berkembang pada
media tanah di dalam feses (Subroto, 2001).
3.
Faktor - faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup
Ascarissuum, Goeze
a.
:
Suhu
Suhu ideal untuk pertumbuhan telur dan larva cacing Ascaris
suum berkisar antara 23ºC sampai 30ºC (Rasmaliah, 2001).
b.
PH
Pertumbuhan cacing dapat optimal dengan pH ideal yaitu 67,2. Apabila terlalu asam, maka dapat mengganggu pertum
buhan dan daya berkembang biak cacing (Rasmaliah, 2001).
17
c.
Lingkungan
Lingkungan sangat berpengaruh terhadap kehidupan dan
perkembangan cacing, di mana lingkungan yang baik bagi
cacing di luar habitat aslinya yaitu keadaan yang lembab dan
basah. Keadaan pada tempat percobaaan, saat sebelum
melakukan percobaan, maupun sesudah percobaan juga
mempengaruhi kondisi cacing (Rasmaliah, 2001).
d.
Kelembaban
Kelembaban sangat mempengaruhi perkembangan cacing,
kelembaban cacing dengan keadaan pada saat cacing
ditempatkan di luar habitat aslinya harus dalam keadaan
basah. Kelembaban juga faktor penting untuk mempertahan
kan hidup cacing, kelembaban tanah pada cacing tergantung
pada curah hujan (winarto, 2005).
G.
Uji Aktivitas Secara in vitro
Uji aktivitas secara in vitro merupakan metode pengujian
terhadap bagian hewan dengan organ atau organ yang terisolasi.
Uji aktivitas antelmintik secara in vitro dilakukan dengan
menyiapkan beberapa cawan petri yang dibagi kedalam kelompok
kontrol positif, kontrol negatif dan kelompok perlakuan. Pada
masing-masing cawan petri tersebut dimasukkan sampel uji
berupa cacing kemudian diinkubasi pada suhu 37ºC. Kemudian
diamati apakah cacing mati, paralisis, atau masih normal setelah
diinkubasi.
Cacing-cacing
tersebut
diusik
dengan
batang
pengaduk. Jika cacing diam, dipindahkan ke dalam air hangat
bersuhu 50ºC, apabila dengan cara ini cacing tetap diam, berarti
cacing tersebut telah mati, tetapi jika cacing bergerak, berarti
cacing hanya mengalami paralisis. Hasil yang diperoleh dicatat
setiap 15 menit. Batasan mati dalam pengujian ini apabila cacing
18
tidak bergerak saat dimasukan kedalam air hangat bersuhu 50’c
(pitaloka, 2007).
H.
Kerangka Berfikir
Daun katuk
(Sauropus
androgynus)
Dibuat infusa
Uji efektifitas infusa daun Katuk terhadap cacing
gelang babi (ascarissuum,goeze) dalam konsentrasi
aquade
50 %
70
90 %
st
b/v
b/v
b/v
Pengamatan terhadap
Waktu paralisis atau
kematian cacing
(Ascarissumm, goeze)
19
pp
I.
Hipotesis
Infusa daun katuk memiliki pengaruh terhadap waktu
kematian cacing Ascarissuum, Goeze secara in vitro. Semakin
tinggi konsentrasi infusa daun katuk, semakin cepat waktu
kematian cacing Ascarissuum, Goeze secara in vitro.
20
Daftar Pustaka
Al Quran Yunus 57
DepKes. 2001. Skirining fitokimia. Tersediadalam://www.wordpress.
com [diakses 13 Januari 2016]
Depkes. 2005 Ekologi dan Penyebaran. Tersedia
http://www.wikipedia.com [diakses 15 Januari 2016]
dalam
Gunawan D, Mulyani S. 2004. “Ilmu Obat Alam (Farmakognosi).
Penebar Swadaya: Jakarta.
Mahmudah T.R : 2010 siklus hidup ascarasissuum goeze”, Jakarta :
Dian Rakyat http://www.wikipedia.com
Osfar sjufyan 2012. ‘ “ekstrak daun katuk (Sauropus androgynus)
sebagai penguat asih pada hewan percobaan tikus betina putih
Pohan, H.T. 2007. “Penyakit Cacing Yang Ditularkan Melalui Tanah In
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam”. Jakarta : Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI : 1786.
Rahmalia.A.D (2010) Efek Antelmintik Infusa Biji Kedelai Putih
(Glycine max (L) Merril) Terhadap[ Waktu Kematian Cacing
Gelang Babi Ascaris suum, Goeze In Vitri, Universitas Sebelas
Maret
Rasmaliah , 2001 Pengaruh ekstrak putri malu (Mimosa pudica,Linn)
terhadap mortalitas Ascaris suum in vitro
Razali 2014 Potensi suspensi dan ekstrak daun katuk(Sauropus
androgynus) sebagai antelmintik terhadap nematoda
gastrointestinal pada ternak kambing
subroto. 2001. Ekologi dan Penyebaran. Tersedia
http://www.wikipedia.org [diakses 11 Januari 2016]
dalam
Winarto. (2005). Ekologi dan Penyebaran. Tersedia
http://www.wikipedia.com [diakses 15 Januari 2016]
dalam
35
Download