II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Jeruk Jeruk merupakan komoditas buah-buahan terpenting di Indonesia setelah pisang dan mangga. Tanaman jeruk yang banyak dibudidayakan tergolong salah satu anggota famili Rutaceae. Kedudukan tanaman tersebut dalam sistem klasifikasi tumbuhan menurut Tjitrosoepomo (2002) adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae Divisio : Spermatophyta Sub divisio : Angiospermae Klas : Dicotyledoneae Ordo : Rutales Famili : Rutaceae Genus : Citrus Spesies : Citrus spp. Pada umumnya bentuk tanaman anggota famili Rutaceae berupa pohon/perdu dan jarang sekali berbentuk semak. Posisi daun berhadap-hadapan atau berseling, merupakan daun majemuk menyirip beranak daun satu (unifoliolatus), permukaan daun berkelenjar minyak yang transparan (Sarwono,1982; Van Steenis, 1987). Bunga beraturan berbentuk anak payung, tandan atau malai, umumnya berkelamin 2. Kelopak bunga berjumlah 4-5 ada yang berlekatan atau tidak, berwarna hijau, mahkota bunga kebanyakan berjumlah 4-5 dan berdaun lepas berwarna putih. Benang sari berjumlah 4-5 atau 8-10 jarang 6 dan jarang lebih dari 10. Kepala sari berjumlah 2. Tonjolan dasar bunga beringgit/berlekuk di dalam benang sari. Bakal buah menumpang tergolong dalam 4 5 kelompok buah sejati tunggal berdaging. Dinding buah mempunyai lapisan kulit luar yang tipis, kaku agak menjangat dan mengandung banyak kelenjar minyak atsiri, mula-mula berwarna hijau setelah masak warnanya berubah menjadi kuning/jingga, lapisan ni disebut flavedo. Lapisan tengah bersifat seperti spons terdiri dari jaringan bunga karang yang berwarna putih, lapisan ini disebut albedo. Lapisan dalam bersekat sekat sehingga terbentuk beberapa ruangan. Dalam ruangan terdapat gelembung-gelembung yang berair yang disebut juice sac. Bijibiji terdapat bebas diantara gelembung-gelembung tersebut, placenta axillaris. Bentuk buah bervariasi antara bulat, oval dan memanjang (Sarwono,1986). 2.2 Penyakit CVPD Penyakit CVPD (Citrus Vein Phloem Degeneration) tergolong salah satu penyakit penting pada tanaman jeruk. Penyebab penyakit CVPD adalah bakteri Liberobacter yang hidup dalam floem tanaman jeruk dan menimbulkan gejala yang khas (Wirawan, 2001). Penyakit CVPD disebarkan oleh D. citri. Penyakit CVPD menyebabkan daun tanaman jeruk menjadi klorosis dan kaku. Daun tersebut memperlihatkan gejala vein banding yaitu tulang daun berwarna hijau tua dan lamina daun menguning. Di Indonesia, penyebaran penyakit ini dibantu oleh serangga vektor dan terbawa oleh bibit sakit (Semangun, 1996). Deteksi penyakit CVPD dapat dilakukan melalui beberapa cara diantaranya : deteksi secara visual, deteksi berdasarkan gejala dalam yaitu dengan uji kimiawi, deteksi melalui penyambungan dan penempelan, serta deteksi secara molekuler. 6 2.3 Gejala Penyakit CVPD Gejala khas penyakit CVPD adalah bercak-bercak kekuningan tidak teratur atau klorosis pada daun (Gambar 2.1). Tidak ada gejala yang jelas pada batang, cabang dan ranting (Bove, 1995). Pada tanaman muda, infeksi mengakibatkan kuncup berkembang lambat, pertumbuhan daun mencuat ke atas. Pada tanaman dewasa, gejalanya sering bervariasi. Pada gejala sektoral, diawali dengan blotching pada cabang-cabang tertentu, diiringi pertumbuhan tunas air lebih banyak dari tanaman normal di luar musim pertunasan (Dwiastuti, 2001). Pada gejala berat, daun menjadi lebih kaku, kecil, menebal, tulang daun mengeras dan dapat menguning pada keseluruhan kanopi, letaknya pada keseluruhan kanopi, letaknya tersebar dan mengalami dieback yang parah seperti pada Gambar 2.3 buah menjadi lebih kecil, tidak simetris seperti pada Gambar 2.2 (Planck, 1999). . Gambar 2.1 Daun jeruk yang menunjukkan gejala CVPD Sumber: dokumentasi pribadi. Gambar 2.2 Buah jeruk yang terserang CVPD Sumber: dokumentasi pribadi. 7 Gambar 2.3 Pohon jeruk terserang penyakit CVPD Sumber: dokumentasi pribadi. Pada pohon yang sudah berproduksi, buah menjadi lebih kecil, tidak simetris, banyak yang jatuh secara prematur. Penyebab terjadinya gejala belum diketahui secara pasti. Menurut Sritamin (2007), tanaman jeruk yang terinfeksi penyakit CVPD ditemukan protein spesifik dengan berat molekul berkisar 16 kDa dan pada 66 kDa, sedangkan jeruk sehat, tidak membentuk protein tersebut. Telah dibuktikan bahwa protein khas bergejala CVPD tersebut berasal dari patogen CVPD L. asiaticum. Di lain pihak Callahan et al (1997) mengatakan protein spesifik dapat dihasilkan tanaman sebagai reaksi resistensi terhadap patogen yang mengakibatkan kerusakan jaringan sebagai reaksi hipersensitif (HR). HR adalah mekanisme ketahanan tanaman terhadap patogen dan sebagai tahap awal dari reaksi antara tanaman oleh patogen tanaman biasanya melibatkan beberapa protein. 8 Ditemukan beberapa tipe gejala atau perbedaan serangan penyakit CVPD. Penyebab terjadinya perbedaan tipe gejala pada daun tanaman jeruk belum diketahui secara pasti. Diduga perbedaan ini dapat disebabkan oleh umur tanaman atau daun, intensitas serangan, kondisi iklim dan perbedaan hambatan translokasi unsur hara tertentu seperti Ca, Mn, Zn. 2.4 Penyebab Penyakit CVPD Pada tahun 1993 Villechanoux et al., berhasil mengklon dan menskuen 2,6 kb fragmen DNA dari genom Bactery Like Organism (BLO) diisolasi dari tanaman jeruk yang terserang penyakit CVPD. Ditemukan bahwa fragmen ini mengandung conserved sequence dari rplKAJL-rpoBC operon yang menyandi pembentukan empat ribosomal protein. Dengan penemuan ini Sandrine et al., pada tahun 1994, dengan teknik PCR mencoba mengamplifikasi fragmen 16 S rDNA dari BLO yang diisolasi dari tanaman jeruk yang terserang penyakit CVPD bahwa mereka telah berhasil mengembangkan satu primer yang spesifik dari 16S rDNA tersebut untuk mendeteksi patogen penyebab penyakit CVPD dan sejak itu disimpulkan bahwa penyebab penyakit CVPD adalah bakteri yang diberi nama Liberobacter (Sandrine et al., 1996). Ditemukan dua spesies yaitu L. asiaticum yang tersebar di kawasan Asia termasuk Indonesia dan L. africanum yang tersebar di kawasan Afrika. Informasi mengenai morfologi, fisiologi, biokimia dan genetik bakteri CVPD sangat terbatas, karena belum bisa dikultur secara invitro (Nakashima et al., 1996). Pengamatan dengan mikroskop elektron menunjukkan bahwa bakteri penyebab penyakit CVPD bersifat pleomorfik, pada saat tumbuh berbentuk memanjang yang fleksibel berukuran 100-250 x 500-2500 nm, pada saat dewasa berbentuk 9 batang yang kaku berukuran 350-550 x 600-1500 nm. Adapula yang berbentuk badan-badan seperti bola dengan sitoplasma tipis, berdiameter 700-800 nm (Su dan Huang, 1990) dan ada yang 300-1000 nm (Garnier dan Bove, 1978). Utamanya bakteri berbiak melalui budding (pertunasan) dan kadang dengan pembelahan binner atau beading. Gambar 2.4 Penyebab penyakit CVPD L. asiaticum pada floem. Sumber : Garnier, 2010 Selubung Liberobacter terdiri atas tiga lapisan, yaitu lapisan dalam yang gelap mengabsorbsi elektron, dan lapisan luar yang gelap. Kedua lapisan tersebut terdiri atas twitriple layerd menyerupai dinding bakteri gram negatif. Diantara kedua lapisan terdapat daerah yang tampak terang, menyerupai lapisan peptidoglikan bakteri Gram negatif tertentu. Ketebalan ketiga lapisan 25 nm (Garnier dan Bove, 1983). 2.5 Diaphorina citri sebagai Vektor CVPD Penularan penyakit CVPD dilakukan oleh serangga sejenis kutu loncat D. citri Kuw. termasuk dalam fillum Arthropoda, klas Insekta, ordo Homoptera, famili Psyllidae, genus Diaphorina dan spesies Diaphorina citri Kuw. (Kalshoven, 1981). Penularan penyakit CVPD dialam bergantung pada kepadatan populasi D. citri sebagai serangga vektor dan keberadaan sumber inokulum 10 (Chen, 1998). Patogen dapat ditularkan oleh serangga vektor dari satu tanaman ke tanaman lain setelah melalui : 1) periode makan akuisisi yaitu waktu yang diperlukan vektor untuk makan pada tanaman sakit sampai mendapatkan patogen, 2) periode makan inokulasi yaitu waktu yang diperlukan vektor untuk makan pada tanaman sehat sampai dapat menularkan patogen dan 3) periode retensi yaitu selang waktu vektor masih dapat menularkan patogen. Selanjutnya ditambahkan ketepatan vektor menusukkan stiletnya pada bagian tanaman sakit dan proporsi vektor yang infektif mempengaruhi laju penularan penyakit CVPD. Pada patogen yang bersifat persisten terdapat periode laten yaitu waktu yang diperlukan patogen berada dalam tubuh vektor sampai dapat ditularkan (Carter, 1973). Patogen persisten yang bersifat sirkulatif dalam tubuh vektor yaitu patogen yang masuk melalui stilet menuju saluran pencernaan, kemudian bersama protein lemak dan unsur lainnya masuk ke dalam darah menuju kelenjar ludah dan dikeluarkan kembali melalui stilet (Carter, 1973). Kerusakan lain yang diakibatkan oleh D. citri, nimfa dan serangga dewasa D. citri menghisap cairan daun yang menyebabkan daun jeruk menjadi layu kemudian mengering. Di samping menghisap cairan daun, nimfa mengeluarkan sekresi berwarna putih. Sekresi tersebut jatuh pada permukaan daun dan merupakan media timbulnya cendawan jelaga yang menyebabkan proses fotosintesis terganggu. Serangga D. citri mengalami metamorfosis paurometabola yaitu perkembangan dimulai dari telur, nimfa dan imago, tanpa adanya pupa (Gambar 2.5). Imago betina dapat bertelur 650 sampai 800 butir selama hidupnya menurut Kalshoven (1981). Telur diletakkan pada tunas daun yang masih melipat pada 11 ketiak daun dan waktu yang diperlukan untuk menetas yaitu 3-5 hari (Chen, 1998). Nimfa yang baru menetas tetap tinggal di tempat telur diletakkan. Stadium nimfa terdiri atas 5 instar, masing-masing instar berturut-turut selama 3; 2 ;3 ; 3 dan 3 hari. C A B Gambar 2.5 Metamorfosis D. citri. Keterangan : a)Telur D. citri b) Nimfa dari instar 1 sampai 5 c) Imago D. citri Sumber : Hall, 2007. 2.6 Teknik PCR Teknik replikasi reaksi berantai atau Polymerase Chain Reaction (PCR) ditemukan oleh Kary Mullis pada pertengahan tahun 1980. Penemuan ini telah mengakibatkan perubahan sangat cepat dibidang genetika molekuler dan kemungkinan beberapa pendekatan baru mempelajari analisis gen (Watson et al., 1992). PCR dapat menunjukkan secara pasti tentang replikasi DNA. PCR merupakan teknik laboratorium yang relatif maju, karena teknik tersebut beranekaragam dan aplikasinya sangat luas. Materi awal PCR adalah DNA yang mengandung rangkaian yang telah diamplifikasi. Jumlah DNA yang diperlukan untuk PCR sangat sedikit. DNA untuk PCR sudah merupakan total DNA dari sel. Untuk menghasilkan produk PCR yang spesifik maka primer yang digunakan 12 harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu : bersifat komplementer pada satu spesifik site pada DNA template, mempunyai kandungan G/C -70%, mengandung 14-40 nukleotida, tidak ada urutan yang komplementer antara ujung 3’ masingmasing primer, sehingga tidak terbentuk primer dimer secara signifikan mengurangi sensifitas produk PCR (Boehringer, 1995). Teknik PCR ini menggunakan sepasang primer spesifik dari sekuens DNA bakteri CVPD yang telah dikloning (Hung et al., 1999). Fragmen 16S rDNA merupakan sekuen yang selalu ada pada sel prokaryota (bakteri). Fragmen yang sama (16S rDNA) juga terdapat pada mitokondria dan kloroplas tanaman, tetapi dengan enzim restriksi DNA BclI dapat dibedakan mana fragmen 16S rDNA bakteri penyebab penyakit CVPD, dan mana yang berasal dari mitokondria dan yang berasal dari kloroplas tanaman. Berdasarkan sekuens spesifik pada fragmen 16S rDNA hail PCR dari sampel tanaman sakit kemudian dikontruksi primer spesifik untuk bakteri CVPD, yaitu forward primer O11 dan reverse primer O12b untuk strain Asia yang mengamplifikasi DNA sekitar 1160 bp (Jagoueix et al., 1994). Primer ini sangat baik digunakan untuk mendeteksi serangan penyakit CVPD pada tanaman jeruk, karena menggunakan primer ini hanya sekuens 16S rDNA dari bakteri CVPD, L. asiaticum yang teramplifikasi, sedangkan sekuens 16S rDNA dari bakteri lain atau dari mitokondria dan kloroplas tanaman jeruk tidak teramplifikasi, sehingga yang terdeteksi hanya bakteri CVPD, L. asiaticum. Teknologi PCR terdiri dari 3 tahapan reaksi yang berbeda dalam satu siklus. Ketiga tahap tersebut adalah de-naturasi kurang lebih 950C, annealing 450C dan polimerisasi 720C. Tahap denaturasi bertujuan untuk memutuskan ikatan H 13 asam deoksiribonukleat double stranded yang akan diamplifikasi. Hasil yang diperoleh merupakan DNA cetakan dengan oglinukleotida primer. Tahap polimerisasi merupakan tahap pemanjangan rantai tunggal oligonukleotida primer dari ujung 3’ ke ujung 5’ dengan katalisis enzim DNA polymerase. Dalam amplifikasi dengan PCR diperlukan kualitas DNA template yang baik dan program yang sesuai. Oleh karena bakteri CVPD belum bisa diukur, sehingga tidak memungkinkan mengisolasi DNA nya saja, maka dilakukan pendekatan dengan isolasi DNA total tanaman yang diinginkan untuk dideteksi. Deteksi molekuler dengan PCR melalui beberapa tahapan yaitu isolasi DNA, amplifikasi DNA dan visualisasi hasil PCR.