Daya Saing Perusahaan Lokal Periklanan Dwi

advertisement
19
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Objek Penelitian
1. Sejarah Singkat Dwi Sapta Advertising
Sejarah keberadaan Dwi Sapta Advertising dapat dinyatakan
berdiri sejak 27 Mei 1981 di Jakarta, tepatnya sejak dimulainya usaha
’Studio 27’ yang merupakan studio fotografi profesional. Momentum
bersentuhan secara lebih jauh dengan bidang advertising dimulai ketika
pada tahun 1982 Dwi Sapta memperoleh klien pertamanya, PT. Djarum.
Saat itu, PT. Djarum memberikan order pemotretan foto produk-produk
untuk iklan, brosur dan company profile. Dalam perkembangan
selanjutnya, PT. Djarum tidak lagi hanya sekedar memberikan order jasa
foto, tapi juga memberikan order untuk membuat stiker, poster, umbulumbul, poster, spanduk, bilboard, hingga iklan media cetak.
Pada tahun 1989, saat dunia pertelevisian nasional melahirkan
RCTI sebagai stasiun televisi swasta pertama, Dwi Sapta Advertising
memperoleh peluang yang lebih besar untuk menjadi Full Service
Advertising Agency, yaitu kesempatan untuk merambah juga ke bidang
pembuatan iklan televisi. Klien pertama untuk pembuatan iklan televisi ini
adalah PT. Djarum. Selanjutnya sepanjang tahun 1991-1992, Dwi Sapta
memperoleh
kepercayaan
dari
PT.
Dankos
Laboratories
untuk
membuatkan iklan produk Minigrip dan Mixadin. Sementara PT. Ceres,
produsen produk meises Ceres dan biskuit Selamat mulai mempercayakan
kampanye melalui iklan televisi pada tahun 1993. Demikian pula dengan
PT. Sido Muncul yang juga mempercayakan pembuatan iklan televisi
produk Tolak Angin di tahun 1993. Kelompok usaha Herlina Indah juga
tertarik mempercayakan pembuatan iklan televisi beberapa produknya,
seperti Adem Sari pada tahun 1994 dan Vegeta pada tahun 1995.
Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa banyaknya stasiun
televisi swasta yang lahir pada periode waktu tersebut secara tidak
langsung ikut memberikan pengaruh pada peningkatan produksi iklan
televisi yang dikerjakan oleh Dwi Sapta Advertising.
20
2. Visi dan Misi Dwi Sapta Advertising
Perjalanan keberadaan Dwi Sapta Advertising sebagai sebuah
perusahaan periklanan yang mampu bertahan selama 27 tahun tidak
terlepas dari pengaruh dukungan kekuatan visi dan misi yang dimilikinya.
Tentu saja bentuk visi dan misi ini akan senantiasa berkembang seiring
dengan bentuk tantangan persaingan bisnis yang harus dihadapi oleh Dwi
Sapta Advertising dari waktu ke waktu.
Visi Dwi Sapta Advertising yang berlaku pada periode waktu tahun
2007-2010 adalah : ”Menyukseskan klien dengan memberikan layanan
Integrated Marketing Communication” (IMC) secara personal dan
menciptakan Advertising That Sells”. Pilihan untuk masuk ke bidang
jasa layanan Integrated Marketing
Communication (IMC) yang lebih
dilatarbelakangi oleh pengalaman selama 25 tahun (1981-2006) adalah
sebuah visi perusahaan yang sudah dipertimbangkan secara mendalam
oleh pihak manajemen Dwi Sapta Advertising. Hal ini didasarkan pada
pertimbangan melihat perkembangan bentuk persaingan yang makin keras
di industri periklanan itu sendiri serta adanya perkembangan kebutuhan
yang berasal dari klien dalam kegiatan promosi yang tidak lagi cukup
hanya mengandalkan program periklanan.
Pengembangan ruang lingkup bisnis Dwi Sapta Advertising perlu
ditindaklanjuti dengan perubahan misi perusahaan, termasuk dengan
kebijakan-kebijakan dan strategi bisnisnya. Misi perusahaan yang
dicanangkan sebagai penjabaran lebih lanjut dari visi perusahaan Dwi
Sapta Advertising adalah :
a.
Memberikan solusi komunikasi pemasaran secara terpadu dan terarah.
b.
Menjadikan produk klien sukses di market, bahkan menjadi market
leader.
c.
Membantu meningkatkan sales dan mengembangkan bisnis klien.
d.
Memberikan layanan terbaik kepada klien dengan prinsip QCDS
(best Quality, reasonable Cost, fast Delivery dan excellent Service).
e. Memperkuat posisi sebagai TOP 10 Advertising Agency.
21
3. Struktur Organisasi Dwi Sapta Advertising
Secara garis besar, dalam sebuah perusahaan jasa periklanan
biasanya terdiri atas 4 (empat) bagian bidang pekerjaan, yaitu (1) Bagian
Kreatif, (2) bagian Media, (3) Bagian Client Service, dan (4) Bagian
Supporting, yang terdiri atas Human Recources Development (HRD),
General Affair, Finance, Accounting, Administrasi dan Information
Technology (TI). Keempat bagian bidang pekerjaan ini merupakan unsur
standar yang biasa terdapat dalam struktur organisasi perusahaan jasa
periklanan.
Sejak awal tahun 2006, struktur organisasi Dwi Sapta Advertising,
mengalami penambahan satu bagian bidang pekerjaan, yaitu Bagian
Business Development. Fungsi bagian ini lebih diarahkan sebagai Tim
Pemikir Strategis (Think Tank Team), baik untuk kepentingan
pengembangan bisnis perusahaan sendiri maupun untuk kepentingan
pengembangan bisnis klien-klien yang dimiliki perusahaan.
Dengan adanya Bagian Business Development tersebut, maka
bentuk struktur organisasi Dwi Sapta Advertising secara keseluruhan
disajikan pada Gambar 6.
PRESIDENT
DIRECTOR
GENERAL
MANAGER
BUSINESS
DEVELOPMENTT
SUPPORTING
(HRD+GA+FACIT)
CREATIVE
TEAM
MEDIA
TEAM
ACCOUNT
TEAM
Gambar 6. Struktur Organisasi PT. Dwi Sapta Advertising
22
Jumlah karyawan Dwi Sapta Advertising sebanyak 150 orang yang
sebagian besar (50%) adalah karyawan dasar dan operasional yang
berasal dari daerah pemilik perusahaan, sedangkan sisanya terdiri dari
staff, manager dan direksi yang diantaranya masih memiliki hubungan
keluarga dengan pemilik.
4. Jumlah Klien dan Prestasi Dwi Sapta Advertising
Sejak didirikan pada tahun 1981, Dwi Sapta Advertising mampu
tumbuh dan berkembang seiring dengan pasang surut perkembangan
industri periklanan di Indonesia. Berawal dari hanya sebuah perusahaan
jasa fotografi profesional, kini Dwi Sapta Advertising memiliki beragam
jasa layanan bidang periklanan, mulai dari pembuatan konsep iklan,
penyusunan strategi penempatan media, produksi berbagai materi iklan;
baik cetak, radio, maupun televisi, hingga pengelolaan berbagai program
event.
Saat ini, Dwi Sapta Advertising memiliki lebih dari 40 klien yang
berasal dari berbagai jenis produk dan merek (Tabel 2).
Tabel 2. Daftar klien (merek dan perusahaan) Dwi Sapta Advertising
periode tahun 1981 - 2007
1.
Nama
Perusahaan
PT. Kalbe Farma
2.
PT. Kalbe Farma
3.
PT. Kalbe Farma
4.
PT. Kalbe Farma
5.
PT. Kalbe Farma
6.
PT. Kalbe Farma
7.
PT. Sari Enesis
dan Herlina Indah
PT. Sari Enesis
dan Herlina Indah
PT. Sari Enesis
dan Herlina Indah
No.
8.
9.
Merek
Kategori
Keterangan
Fatigon, Fatigon
Spirit, Fatigon Viro
Fatigon Hydro
multivitamin
stamina
minuman
isotonik
obat Flu &
batuk
multivitamin
anak
multivitamin
otak
Full Service
Mixagrip, Mixagrip
Flu & Batuk
Cerebrofort,
Cerebrofort Gold
Cerebrovit Excel,
Cerebrovit Active,
Cerebrovit Senior,
Cerebrovit Ginko
Neuralgin
Vegeta
Adem Sari, Esquis
Kisspray
obat sakit
kepala
minuman
berserat
minuman
panas dalam
cairan pelicin
dan pelembut
Media
Placement
Full Service
Full Service
Full Service
Full Service
Full Service
Full Service
Full Service
23
Lanjutan Tabel 2.
13.
14.
15.
Nama
Perusahaan
PT. Sari Enesis
dan Herlina Indah
PT. Sari Enesis
dan Herlina Indah
PT. Sari Enesis
dan Herlina Indah
PT. Saka Farma
PT. Saka Farma
PT. Saka Farma
16.
17.
PT. Eglin
PT. Eglin
18.
PT. Eglin
19.
20.
21.
24.
PT. Soho
PT. Soho
PT. Astra
Daihatsu Motor
PT. Astra
Daihatsu Motor
PT. Astra Honda
Motor
PT. Astra Oto Part
25.
PT. Astra Oto Part
26.
PT. Kinocare
27.
PT. Kinocare
28.
PT. Kinocare
29.
PT. Kinocare
30.
31.
32.
34.
PT. Kinocare
PT. Kinocare
PT. Mahaka
Betafarma
PT. Mahaka
Betafarma
PT. Djarum
35.
PT. Djarum
36.
PT. Ceres
No.
10.
11.
12.
22.
23.
33.
Merek
Kategori
Keterangan
Soffel & Force
Magic
Naturade &
Naturade Gold
Antis
obat anti
nyamuk
minuman
energi
handwash
sanitizer
obat batuk
bedak anjing
minuman
trombosit
minyak telon
balsem
Full Service
minyak
encok
obat diare
obat tidur
mobil
Full Service
mobil
Tactical
Promo
Corporate
Ad
Full Service
Mextril
Bedak Doris
Remufit
Telon Lang
Balsem Gosok
Hijau Lang
Minyak G’Pura
Diapet, Diapet NR
Lelap
Espass, Zebra,
Sirion
Gran Max, Xenia,
Terios, Luxio
Korporat
Accu GS Astra, GS
Hybrid
Kayaba
motor
accu mobil
per
mobil
Ovale, Eskulin
pembersih
Wajah
Absolut, Resik V,
feminime
Resik V Manjakani
hygiene
Sleek
cairan
pencuci botol
susu
Sleek
Cairan pencuci
baju bayi
Master
cologne pria
Sasha
hair color
Betadine Plester,
obat luka
Betadine Stik
Betadine Obat
obat kumur
Kumur
Djarum Coklat,
rokok kretek
Djarum 76
Korporat
rokok kretek
Meises Ceres
meises
Full Service
Full Service
Full Service
Full Service
Full Service
Full Service
Full Service
Full Service
Full Service
Full Service
Full Service
Full Service
Full Service
Full Service
Full Service
Full Service
Full Service
Full Service
Full Service
Full Service
Corporate
Ad
Full Service
24
Lanjutan Tabel 2.
37.
Nama
Perusahaan
PT. Ceres
38.
39.
40.
PT. Sari Roti
PT. Indomilk
PT. Indofood
41.
Mayora
No.
Merek
Kategori
Keterangan
Biskuit & Wafer
Selamat, Twister,
Funtime, Briko
Sari Roti
UHT, SCI
Bumbu Kaldu
Indofood
Super Bubur
biskuit &
wafer
Full Service
roti
susu cair
bumbu
Full Service
Full Service
Full Service
bubur instan
Full Service
Prestasi Dwi Sapta Advertising dari sudut pandang penghargaan
kreatif iklan dan penayangan media iklan cukup banyak, antara lain
seperti dimuat pada Tabel 3.
Tabel 3. Penghargaan iklan yang diperoleh Dwi Sapta Advertising periode
tahun 1995 - 2007
No.
Nama Penghargaan
Bidang
Tahun
Keterangan
1.
”The Best Print Ad” pilihan
pembaca Majalah Cakram
“The Most Favourite
Advertisement” pilihan pembaca
Tabloid Bintang Indonesia
Top 18th Advertising Agency
(Ranking PPPI)
“The Most Favourite
Advertisement” versi Majalah
Cakram
Top 16th Advertising Agency
(Ranking PPPI)
Top 4th Billing Performance
Reward (SCTV)
Top 13th Advertising Agency
(Ranking PPPI)
Top 5th Billing Performance
Reward (SCTV)
“The Best Advertiser” versi
Harian Umum Pikiran Rakyat
“Penghargaan 12 tahun
Excellent Service” (SCTV)
“The Best TV Program”
penghargaan dari Menteri
Kebudayaan dan Pariwisata RI
“Agency with Best
Achievement” (TPI)
Kreatif
1995
Kreatif
1997
Iklan Cetak
Djarum Classic
Iklan TV
Djarum Super
Korporat
1999
Kreatif
1999
Korporat
2000
Media
2000
Korporat
2001
Media
2001
Media
2002
Client
Service
Program
TV
2002
Media
2004
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
2004
Berdasarkan
billing
Iklan TV
Permen Kino
Berdasarkan
billing
Ad Media
Spending
Berdasarkan
billing
Ad Media
Spending
Ad Media
Spending
Customer
Loyalty
Program TV
Pasar Rakyat 76
Ad Media
Spending
25
Lanjutan Tabel 3.
No.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
Nama Penghargaan
“The Giant Agency” versi
Radio Elshinta
Penghargaan Khusus dari
ANTV
Penghargaan Khusus dari
Trans TV
“Best Music – Silver Citra
Pariwara
Bidang
Media
Tahun
2005
Media
2005
Media
2005
Kreatif
2005
“Top 5th Billing Performance”
(SCTV)
“Top 6th Billing Performance”
(Indosiar)
“Top 7th Billing Performance”
(RCTI)
“Top 3th Billing Performance”
(TPI)
“Penghargaan Khusus”
(Harian Analisa)
“Bronze ADOI Award”
Media
2005
Media
2005
Media
2005
Media
2005
Media
2005
Kreatif
2006
Media
2007
Media
2007
Media
2007
Media
2007
Media
2007
Media
2007
Media
2007
Kreatif
2007
Kreatif
2007
Korporat
2007
“Top 5th Billing Performance”
(TPI)
“Top 7th Billing Performance”
(Trans 7)
“Top 10th Billing
Performance” (Trans TV)
“Top 8th Billing Performance”
(Global TV)
“Top 6th Billing Performance”
(Indosiar)
“Top 10th Billing
Performance” (RCTI)
“Top 10th Billing
Performance” (SCTV)
“ADOI Award 2007” (Finalis)
“CAKRAM Award 2007”
(Finalis)
“Agency of The Year”
CAKRAM Award 2007”
(Finalis)
Keterangan
Ad Media
Spending
Ad Media
Spending
Ad Media
Spending
Iklan TV
Djarum
Korporat versi
Kudus Kota
Kretek
Ad Media
Spending
Ad Media
Spending
Ad Media
Spending
Ad Media
Spending
Ad Media
Spending
Iklan TV
Djarum 76 versi
Combi Bali,
Jatim, dan
Jateng
Ad Media
Spending
Ad Media
Spending
Ad Media
Spending
Ad Media
Spending
Ad Media
Spending
Ad Media
Spending
Ad Media
Spending
Iklan Fatigon
versi Sepotong
Roti
Iklan TV
Djarum Coklat
Survivel Ad
Company
26
Lanjutan Tabel 3.
No.
33.
Nama Penghargaan
“Superbrand 2005-2006”
34.
“TOP BRAND”
35.
36.
37.
Bidang
Client
Service
Client
Service
Tahun
2007
“Indonesia Best Brand AwardIBBA 2007”
Client
Service
2007
“Indonesia Customer
satisfaction Award-ICSA
2007”
“GFK Award 2005-2007 for
Best Seller DVD”
Client
Service
2007
Korporat
2007
2007
Keterangan
Daihatsu,
Fatigon, Diapet
Fatigon, Diapet,
Djarum Coklat,
TOP1,
Indomilk,
Mixagrip,
Balsem Lang,
dan Tolak
Angin
Fatigon, Diapet,
Cerebrovit XCel
Mixagrip,
Diapet, Tolak
Angin, TOP1
Vitron
Omzet penjualan setiap tahun mengalami peningkatan Rp. 17
milyar pada tahun 2006, Rp. 21 milyar tahun 2007 dan Rp. 27 milyar
tahun 2008.
Sedangkan posisi perusahaan dalam industri periklanan
ditentukan berdasarkan billing (belanja iklan melalui perusahaan yang
diperoleh selama setahun) termasuk posisi ke 8 atau ke 9 (10 besar)
dalam 3 (tiga) tahun terakhir ini.
5. Ruang Lingkup Layanan Jasa Dwi Sapta Advertising
Seiring dengan perkembangan perusahaan dan dinamika yang
terjadi di industri periklanan, saat ini Dwi Sapta Advertising memiliki
beberapa bentuk layanan jasa periklanan berikut :
a. Pembuatan Materi Kreatif Iklan, mulai dari penyusunan konsep story
line dan story board iklan TV, layout iklan cetak, iklan animasi, iklan
radio, hingga materi iklan luar ruang (poster, billboard, spanduk,
banner, dan lain-lain).
b. Pembuatan Program Brand Activation, mulai dari sampling produk,
event-event kegiatan sponsorship, hingga kegiatan brand activation.
c. Pembuatan Company Profile dan Video Presentation
d. Produksi Program TV dan Built In Program TV
27
e. Produksi Iklan TV, iklan radio, iklan media cetak dan materi
pendukung (POS Material) seperti brosur, leaflet, pamphlet, spanduk,
dan lain-lain.
f. Editing pasca produksi iklan TV dan radio.
g. Penyusunan Perencanaan dan Belanja Media Iklan di berbagai media
cetak maupun elektronik.
h. Jasa Monitoring Tayangan Media dan Evaluasi Belanja Media (Post
Buy Analysis).
i. Jasa Penelitian Pemasaran,Media dan Periklanan, mulai dari
penelitian pengembangan konsep produk baru, uji nama merek, tes
kemasan produk, penelitian perilaku konsumen, penelitian potensi
pasar, penelitian konsep iklan, evaluasi program media iklan, hingga
evaluasi dampak iklan secara keseluruhan,
j. Jasa Pengembangan Strategi Komunikasi Pemasaran Terpadu, mulai
dari branding & packaging development, brand audit, product
architecture, strategi pengembangan merek, dan lain-lain.
B. Analisis Lingkungan Eksternal Perusahaan
1. Dinamika Industri Periklanan Indonesia 2008
Dinamika industri periklanan di Indonesia sepanjang tahun 2008
tidak bisa dilepaskan dari pengaruh kondisi ekonomi makro Indonesia.
Kondisi ekonomi Indonesia 2008 mengalami pertumbuhan 6,1%
dibandingkan tahun 2007, walaupun sempat mengalami perlambatan
pertumbuhan pada triwulan keempat tahun 2008 (BPS, 2009). Terlepas
dari adanya perbedaan prediksi di awal, pada kenyataannya selama kuartal
pertama 2008, hasil pemantauan terhadap indikator-indikator ekonomi
makro Indonesia menunjukkan bahwa perkembangan perekonomian
Indonesia relatif masih cukup kuat walaupun dibayang-bayangi tekanan
inflasi domestik dan pola pelemahan laju pertumbuhan ekonomi global.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan, Anggito
Abimanyu mengatakan bahwa laju pertumbuhan komsumsi masyarakat
masih tumbuh cukup tinggi (5,1%). Angka tersebut masih lebih tinggi
28
dibandingkan dengan laju pertumbuhannya di kuartal yang sama tahun
2007 sebesar 4,7% (Amrin, 2008).
Lebih
lanjut
Anggito
menjelaskan
bahwa
peningkatan
pertumbuhan tersebut diindikasikan oleh pertumbuhan indikator-indikator
seperti penerimaan Pajak Penerimaan Netto (PPN), Penerimaan Cukai,
masih tingginya laju kredit konsumsi, angka penjualan mobil dan motor,
dan pertumbuhan konsumsi listrik domestik. Menurutnya, terdapat
beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam pola konsumsi
masyarakat antara lain meningkatnya pola konsumsi impor dibandingkan
konsumsi domestik, serta masih tingginya laju inflasi yang dapat
menghambat konsumsi masyarakat ke depan.
Laju pertumbuhan investasi (PMTB) tahun 2008 tumbuh cukup
baik dan mencapai 11,75%, dibandingkan tahun 2007 (BPS, 2009).
Namun pelemahan ekonomi global tampaknya mulai memberikan
pengaruhnya pada pergerakan investasi dalam negeri. Menurut Sadewa
(2009), perekonomian Indonesia memasuki semester II-2008 juga terus
memburuk. Kenaikan harga BBM, krisis ekonomi global, keterlambatan
belanja APBN, dan kenaikan suku bunga memberikan tekanan yang cukup
berat pada perekonomian kita. Hal ini terlihat dari Coincident Economic
Index (CEI) yang terus menurun sejak bulan Juli tahun 2008. CEI adalah
indeks yang menunjukkan keadaan ekonomi pada setiap saat. Indeks ini
disusun dengan menggunakan informasi penjualan mobil, konsumsi
semen, impor, suplai uang, dan penjualan ritel. CEI yang naik
menunjukkan ekonomi sedang berekspansi, sedangkan CEI yang turun
menunjukkan aktivitas perekonomian sedang menurun. Namun kinerja
APBN selama tahun 2008 dinilai cukup baik. Penerimaan perpajakan dan
PNBP, baik migas maupun non migas, mencapai Rp. 984 triliun, atau
tumbuh 36,3% dibandingkan dengan penerimaan yang sama di tahun 2007
(BPS, 2009).
Berbagai kondisi ekonomi makro tersebut yang terjadi selama
tahun 2008 secara langsung maupun tidak langsung ikut mempengaruhi
29
dinamika industri periklanan di Indonesia. Menurut A. Adji Watono1
President Director Dwi Sapta Advertising menyatakan bahwa situasi
ekonomi nasional Indonesia berpengaruh terhadap 3 (tiga) hal, yaitu (1)
tingkat kemampuan dan daya beli konsumen, (2) besaran anggaran belanja
iklan klien dan (3) potensi perolehan billing (pendapatan) iklan Dwi Sapta
Advertising.
Gambaran situasi ekonomi Indonesia 2008 secara khusus ditandai
dengan kebijakan pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak
(BBM) pada bulan Mei 2008 pada kelanjutannya membawa banyak efek
beruntun; termasuk salah satunya pada aspek kemampuan dan daya beli
konsumen. Lebih lanjut A. Adji Watono1 menjelaskan bahwa kenaikan
harga BBM pada bulan Mei 2008 tersebut dinilainya telah semakin
menambah beban hidup masyarakat menjadi semakin berat. Harga BBM
naik, biasanya selalu diikuti oleh kenaikan harga barang-barang yang
menjadi kebutuhan hidup masyarakat. Di sisi lain, pendapatan masyarakat
belum tentu ikut bertambah. Akibatnya, kemampuan dan daya beli
konsumen menjadi lebih rendah. Bila kondisi ini terjadi, Dwi Sapta
Advertising memiliki beban pekerjaan yang semakin berat. Dwi Sapta
Advertising dituntut untuk mampu membuat iklan berbagai produk klien
secara lebih efektif dari sisi komunikasi, sekaligus mampu mendorong
konsumen untuk tetap membeli produknya sekalipun kemampuan dan
daya belinya sedang menurun.
Pandangan A. Adji Watono1 ini ternyata sejalan dengan temuan
hasil riset konsumen di tahun 2008 yang dilakukan oleh AC Nielsen,
sebuah perusahaan konsultan riset pemasaran profesional yang memiliki
juga jaringan operasional di Indonesia. Berikut ini adalah sebagian temuan
data lapangan yang berkaitan dengan sikap dan tindakan konsumen pada
saat menghadapi situasi ekonomi nasional di tahun 2008.
Berdasarkan data Survey AC Nielsen tersebut (Gambar 7), dapat
dilihat bahwa kenaikan harga BBM yang terjadi pada Mei 2008 telah
memberi pengaruh terhadap kemampuan daya beli dan pola konsumsi
1
Hasil wawancara tanggal 15 Oktober 2008
30
produk konsumen di Indonesia. Lebih lanjut, data kedua menunjukkan
jenis kategori produk konsumsi yang terkena dampak pengurangan
intensitas konsumsinya, dimana pada kategori-kategori seperti itulah yang
menjadi klien-klien Dwi Sapta Advertising.
Penurunan Pengeluaran
Expenditure
Reduction
Proporsi pengeluaran
rumah tangga Anda
berkurang sejak
kenaikan bahan bakar ?
25%
75%
Ya
Tidak
Pengeluaran rumah tangga
Obat-obatan
Perlindungan wanita
Pembersih ruangan
Minuman
Perawatan tubuh
Sayuran dan buah-buahan
Susu/Sereal
Perlengkapan kamar mandi
Penganan
Rokok
Makanan kemasan
Ayam/Daging/Ikan
3
4
11
13
14
18
25
27
31
31
40
64
Catatan : Semua yang mengurangi pengeluaran rumah tangga akibat kenaikan harga
BBM (%)
Sumber : Nielsen Omnibus di 6 kota (Nielsen Media Research, 2008)
Gambar 7. Sikap dan tindakan konsumen pada saat krisis tahun 2008
31
Sementara dari sisi klien, gambaran situasi ekonomi yang terjadi di
sepanjang tahun 2008 membawa konsekuensi pada kenaikan biaya
operasional, termasuk biaya produksi. Kondisi inilah yang disebut oleh A.
Adji Watono1 sebagai kondisi dilematis yang harus dihadapi oleh klien. Di
satu sisi biaya operasional, termasuk juga biaya produksi yang meningkat,
namun klien tidak dapat langsung menaikkan harga jual produknya, karena
di sisi lain kemampuan dan daya beli konsumen sedang mengalami
kecenderungan penurunan. Konsekuensi lanjutan yang sering harus
dihadapi oleh Dwi Sapta Advertising adalah kenyataan bahwa klien lebih
cenderung mengambil keputusan untuk mengurangi biaya promosi dalam
menyikapi kondisi ekonomi seperti ini.
Lebih lanjut A. Adji Watono1 menegaskan bahwa ujung-ujungnya
dari dampak kondisi dan situasi ekonomi Indonesia 2008 yang harus
dihadapi oleh Dwi Sapta Advertising adalah menyangkut potensi
perolehan billing (pendapatan) iklan. Di atas kertas, Dwi Sapta Advertising
dituntut harus bekerja lebih keras dan lebih sulit untuk dapat memperoleh
target billing (pendapatan) iklan di sepanjang tahun 2008.
2. Trend Pertumbuhan Industri Periklanan Indonesia
Kondisi ekonomi Indonesia memang tidak pernah lepas dari
gejolak yang mengiringi perkembangan dan dinamika pertumbuhannya.
Titik perhatian kondisi ekonomi di tahun 2008 terletak pada saat
pemerintah mengambil kebijakan untuk menaikkan harga BBM di bulan
Mei 2008. Hampir semua industri merasakan dampak dari kebijakan ini.
Meski dalam keadaan yang serba sulit, ternyata industri periklanan
Indonesia di tahun 2008 masih tetap mengalami pertumbuhan cukup nyata.
Pada Gambar 8 disajikan data perkembangan pertumbuhan belanja iklan
nasional selama kurun waktu 10 tahun terakhir menurut pemantauan
Nielsen Media Research.
Berdasarkan data Nielsen Media Research tersebut dapat diketahui
bahwa pertumbuhan belanja iklan nasional di tahun 2008 sekitar 19%.
1
Hasil wawancara tanggal 15 Oktober 2008
32
Kenaikan belanja iklan pada yahun 2008 tersebut menurut Jimmy Siregar2,
Media Manager Dwi Sapta Advertising, diperkirakan berasal dari
munculnya berbagai produk baru atau varian produk baru yang launching
di sepanjang tahun 2008 dan iklan partai politik maupun pengurus partai
politik yang memanfaatkan momen-momen khusus nasional (kebangkitan
nasional, ulang tahun kemerdekaan, hari Sumpah Pemuda, hari Pahlawan
dan hari Ibu). Kedua sumber baru inilah yang diperkirakan menjadi
kontributor utama kenaikan belanja iklan nasional di tahun 2008,
sekalipun situasi bisnisnya itu sendiri sedang mengalami krisis sebagai
akibat dampak kenaikan harga BBM.
41,821
YEARLY MEDIA EXPENDITURE
19
%
17
%
MAGAZINE Rp. triliun
PRESS
jummi(‘bio)
TV
17
%
15
%
22,279
35,114
30,057
25,62
9
32
%
36
%
4,97
5
Y1999
44
%
7,17
2
Y2000
27
%
9,10
5
Y2001
37
%
16,86
4
12,442
Y2002
Y2003
Y2004
Y2005
Y2006
Y2007
Y2008
Gambar 8. Perkembangan pertumbuhan belanja iklan (Batam Pos, 2009)
3. Trend Perkembangan Teknologi Komunikasi & Industri Media
Perkembangan teknologi komunikasi, terutama yang berbasis
internet di sepanjang tahun 2008 telah mengarah kepada bentuk yang
dikenal dengan istilah mobile technology. Kecenderungan bentuk
perkembangan seperti ini pada akhirnya lebih memudahkan orang untuk
2
Hasil wawancara tanggal 4 September 2008
33
terus melakukan up dating informasi secara cepat; kapan dan di manapun.
Di Indonesia sendiri per tanggal 31 Desember 2007, pengguna internet
berjumlah 20 juta, dengan pertumbuhan pengguna dari tahun 2000 hingga
2007 telah mencapai sekitar 900% dan penetrasinya baru 8.5% dari total
jumlah penduduk (Internet World Sats, 2009).
Di sisi lain, pertumbuhan bidang teknologi informasi dan
komunikasi di Indonesia juga bisa dilihat dari data Indikator Makro ICT
Nasional oleh Departemen Komunikasi dan Informasi pada awal tahun
2008, yang salah satunya menyebutkan pertumbuhan 51% pelanggan
seluler. Angka pertumbuhan pelanggan seluler ini cukup penting karena
dengan adanya teknologi perangkat internet bergerak pada telepon seluler,
para penggunanya mampu mengakses informasi melalui internet di
manapun dan kapanpun, sehingga mempercepat penetrasi internet.
Penetrasi perangkat bergerak (telepon seluler, personal digital assistant,
komputer jinjing dan semacamnya) di Indonesia cukup tinggi, yaitu sekitar
39%, sedangkan pengguna internet kecepatan tinggi melalui perangkat
bergerak (mobile broadband internet) per akhir 2007 adalah 315.000
orang, yang merupakan angka yang tertinggi di ASEAN (Newmedia,
2008).
Implikasi dari adanya trend perkembangan teknologi komunikasi
seperti ini telah membawa dampak tersendiri bagi industri media. Media
komunikasi yang banyak digunakan oleh kalangan praktisi periklanan
tidak lagi hanya terbatas kepada bentuk-bentuk media konvensional,
seperti
televisi, radio, koran, makalah, tabloid, film, dan lain-lain.
Menurut Jimmy Siregar2, Media Manager Dwi Sapta Advertising, internet
dan handphone telah membawa pengaruh cukup nyata terhadap
perkembangan industri media di Indonesia sepanjang tahun 2008. Salah
satu bentuk contoh kasus perkembangan internet yang dinilai telah
mempengaruhi
perkembangan
industri
media
adalah
munculnya
fenomena beberapa koran nasional yang merilis format digital berupa
koran internet atau yang lebih dikenal dengan sebutan e-paper.
2
Hasil wawancara tanggal 4 September 2008
34
Jimmy Siregar2 menjelaskan bahwa sejak tanggal 1 Juli 2008, epaper Tabloid Kontan terbit di internet dan menjadi e-paper pertama di
Indonesia. Dua hari kemudian, harian nasional Kompas yang berada dalam
satu grup dengan Tabloid Kontan dalam payung Kompas-Gramedia juga
secara resmi merilis e-paper diikuti Koran Tempo dan Republika.
Fenomena ini pada akhirnya juga berdampak pada perubahan pola baca
koran sekelompok masyarakat tertentu yang dapat memuaskan berbagai
kebutuhan informasinya melalui berbagai portal berita di internet. Ujungujungnya, bila kelompok pembaca e-paper ini semakin bertambah besar,
produk media baru ini bisa berpotensi menjadi alternatif media beriklan
yang tidak saja efektif, namun sekaligus berbiaya lebih murah di banding
media-media konvensional yang biasa digunakan selama ini.
4. Perkembangan Pola Belanja Konsumen Indonesia
Sepanjang tahun 2008, pola belanja konsumen di Indonesia sangat
dipengaruhi oleh perkembangan pasar ritel barang konsumsi. Berdasarkan
data AC Nielsen, hingga September 2008 saja, industri ritel Indonesia
tumbuh hingga 22,2%. Hal ini ditandai dengan makin menjamurnya pasar
modern seperti hypermarket, supermarket, maupun minimarket di berbagai
pelosok wilayah Indonesia. Pesatnya pertumbuhan gerai hypermarket
diperkirakan karena konsepnya yang menawarkan besaran ketersediaan
produk hingga lebih dari 40.000 item tersebut relatif cukup bisa diterima
oleh konsumen, khususnya masyarakat perkotaan. Dengan berbelanja di
hypermarket, konsumen memperoleh berbagai kebutuhannya dengan
nyaman, serta dengan harga yang relatif lebih murah dan pasti dibanding
pasar tradisional maupun pasar modern lainnya seperti supermarket
maupun minimarket.
Menurut Director Retailer Service PT. AC Nielsen Indonesia
(Susilo, 2008), pertumbuhan pasar ritel di Indonesia sepanjang tahun 2008
bukan cuma terjadi di kategori pasar modern. Pasar tradisional juga
mengalami peningkatan penjualan 21% secara nilai pendapatan. Namun,
hal ini lebih disebabkan oleh adanya kenaikan harga barang dan didorong
2
Hasil wawancara tanggal 4 September 2008
35
oleh persepsi beberapa produk konsumsi sehari-hari tetap yang dianggap
lebih murah di pasar tradisional. Selama ini pasar tradisional memiliki
keleluasaan dalam memberikan kesempatan kepada konsumen untuk
berbelanja sesuai dengan kemampuan keuangan konsumen, termasuk
sistem pembelian kredit.
Bila dipikirkan lebih mendalam, sebenarnya pasar tradisional
masih sangat terbuka untuk lebih maksimal berkembang, karena memiliki
lokasi sangat strategis dan dekat dengan pemukiman tempat tinggal, lebih
fun, personal, murah, harga produk dan tingkat kebutuhan belanja dapat
dinegosiasikan.
Implikasi dari adanya perkembangan pasar ritel modern dan
tradisional tersebut bagi Dwi Sapta Advertising lebih ke arah kebutuhan
untuk membuat alternatif pilihan pengembangan program ’touch-point’ ke
konsumen produk-produk klien, terutama yang berkaitan dengan
pemilihan ’venue’ (tempat kegiatan) program-program brand activation.
Menurut Tanti Dewi Permassanty3, Account Director Dwi Sapta
Advertising, saat ini kebutuhan pengembangan program-program brand
activation menjadi sangat relevan manakala kekuatan brand awareness
dan brand image sebuah produk tidak lagi dianggap cukup mampu untuk
mendorong
terjadinya
penjualan
secara
cepat.
Konsumen
masih
membutuhkan pengalaman berinteraksi secara langsung dengan produkproduk yang akan dibelinya. Pada bagian inilah sebenarnya nilai lebih
sebuah program brand activation yang memiliki kekuatan sebagai medium
yang bersifat tiga dimensi (audio, visual, dan eksperimental). Pada pilihan
’venue’ pasar modern dan tradisional yang terbaiklah yang memiliki
potensi ’touch point’ tertinggi terhadap konsumen yang akan dijadikan
tempat acara brand activation produk-produk klien.
5. Perkembangan Kebijakan Pemerintah Terhadap Bidang Periklanan
Pasang surut industri periklanan di Indonesia juga tidak bisa
dilepaskan dari pengaruh kebijakan pemerintah, terutama bentuk kebijakan
yang secara langsung berkaitan erat dengan proses kerja periklanan,
3
Hasil wawancara tanggal 23 Oktober 2008
36
misalnya kebijakan pemerintah yang dilaksanakan oleh Badan Pengawas
Obat dan Makanan (Badan POM). Implikasi dari kebijakan pemerintah
yang dijalankan oleh Badan POM ini mengharuskan semua materi iklan
produk makanan dan obat-obatan harus melalui persetujuan lembaga ini.
Padahal, kategori kedua produk tersebut sangat banyak jumlahnya,
sehingga proses perijinannya relatif cukup memakan waktu (antara dua
minggu hingga satu bulan). Contoh lainnya adalah kebijakan pemerintah
yang berkaitan dengan iklan produk rokok. Dalam hal ini, pemerintah
melarang penayangan iklan rokok di televisi pada jam tayang di bawah
pukul 21.00.
Menurut M.Kh.Rachman4, Senior Business Development Manager
Dwi Sapta Advertising, khusus di tahun 2008, ada satu bentuk kebijakan
pemerintah yang cukup kontroversial yang berkaitan dengan proses kerja
periklanan. Kebijakan ini sebenarnya telah dikeluarkan pada pertengahan
tahun 2007, yaitu Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi (Kominfo)
Nomor 25 Tahun 2007. Dengan mekanisme Peraturan Menteri (Permen)
tersebut, Pemerintah sejak 1 Mei 2007 secara resmi melarang pemasangan
iklan yang berasal dari pengusaha asing, memakai bintang iklan asing dan
bermuatan asing. Pemerintah kemudian memberikan jangka waktu masa
peralihan selama enam bulan hingga satu tahun untuk memberikan
kesempatan melakukan transisi adaptasi film iklan asing dengan materi
lokal.
M.Kh.Rachman R.4 menjelaskan bahwa peraturan ini sebenarnya
khusus diberlakukan untuk iklan televisi, sementara untuk iklan cetak
masih diberikan ijin menggunakan materi dan muatan asing. Implikasi dari
kebijakan pemerintah ini menekankan bahwa materi iklan yang
ditayangkan di televisi siaran Indonesia harus dikerjakan oleh orang
Indonesia, berlokasi di Indonesia, menggunakan bintang iklan orang
Indonesia, serta dikerjakan oleh sutradara orang Indonesia. Inilah yang
menjadi pilihan dilematis yang harus dihadapi oleh kalangan praktisi
periklanan Indonesia di tahun 2008. Di satu sisi, memang ada keinginan
4
Hasil wawancara tanggal 4 September 2008
37
untuk memberikan kesempatan yang lebih luas kepada sumber daya
manusia (SDM) orang Indonesia, namun di sisi lain hal tersebut harus
dibayar dengan kondisi yang masih ’jomplang’ dari sisi kompetensi dan
profesionalitas cara kerjanya di banding SDM kalangan ekspatriat (tenaga
asing). Beberapa pihak ada yang menyatakan keraguan terhadap
efektivitas masa transisi yang diberikan oleh Pemerintah, terutama pada
kemampuan untuk membangun kembali kapasitas nasional di bidang
produksi film iklan. Hal ini, lebih didasarkan pada kenyataan bahwa dalam
kurun waktu beberapa tahun belakangan ini, banyak rumah produksi yang
sudah terlanjur ’tertidur’ karena tidak ada order pembuatan iklan.
Dengan adanya peraturan seperti ini, bagi Dwi Sapta Advertising
sendiri masih bisa beradaptasi secara bisnis, karena secara kebetulan tidak
banyak klien yang biasa menggunakan para ekspatriat di dalam proses
produksi iklan untuk produknya. Namun, tetap saja peraturan ini cukup
merepotkan di lapangan, terutama ketika menghadapi klien-klien yang
sudah terbiasa memiliki proses kerja yang biasa ditangani oleh beberapa
ekspatriat (tenaga asing). Bentuk kesulitan yang paling konkret dihadapi
adalah kesulitan mencari sumber daya manusia orang iklan yang memiliki
tingkat kompetensi yang memadai dan sejajar dengan yang dimiliki oleh
ekspatriat.
6. Perkembangan Gaya Hidup dan Kondisi Sosial Budaya
Menurut M.Kh.Rachman R.4, Senior Business Development
Manager Dwi Sapta Advertising, industri periklanan di Indonesia memiliki
keterkaitan yang cukup kuat dengan perkembangan gaya hidup dan kondisi
sosial budaya. Di satu sisi, dinamika yang terjadi di industri periklanan
mempengaruhi arah dan bentuk gaya hidup yang berkembang di
masyarakat. Namun, di sisi lainnya gaya hidup yang berkembang
mempengaruhi dinamika yang terjadi pada industri periklanan di Indonesia.
M.Kh.Rachman R4, menjelaskan sebuah contoh adanya perubahan
gaya hidup dalam hal pembayaran transaksi bisnis yang lahir karena
dukungan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang makin
canggih telah mendorong munculnya konsep produk kartu bayar isi ulang
4
Hasil wawancara tanggal 4 September 2008
38
(Kartu Flazz). Secara produk, jenis kartu bayar ini dinilai memiliki manfaat
yang lebih praktis (terutama kecepatan bertransaksi) dibandingkan dengan
kartu kredit ataupun kartu debit. Manfaat inilah yang pada dasarnya ’dijual’
oleh kartu bayar ini sebagai jawaban terhadap perkembangan gaya hidup
masyarakat yang semakin menuntut kepraktisan dan kecepatan melakukan
transaksi bisnis, misalnya di food court, Pom bensin, ataupun tempat parkir.
Selain itu, jenis kartu bayar seperti ini sebenarnya juga bisa dianggap
sebagai jawaban terhadap kebiasaan yang kurang baik di masyarakat dari
sudut pandang ukuran nilai-nilai sosial budaya, seperti kebiasaan meminta
blanko bon kosong di pom bensin atau kebiasaan tidak memberikan uang
kembalian yang menjadi hak konsumen pembeli bensin karena alasan tidak
ada uang ’recehan’.
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa kemunculan berbagai
produk baru tersebut merupakan respon terhadap adanya kebutuhan di
masyarakat; baik yang berasal dari tuntutan gaya hidup maupun yang
disebabkan oleh faktor-faktor adanya masalah-masalah menurut ukuran
nilai-nilai sosial budaya masyarakat itu sendiri. Pada akhirnya, kemunculan
berbagai produk baru tersebut akan membutuhkan kegiatan sosialisasi dan
promosi yang akan mendorong dinamika yang terjadi di industri periklanan
Indonesia.
Bila dikaitkan dengan data Nielsen Media Research Indonesia, pada
semester I 2008 (Tabel 4), belanja iklan produk-produk seperti hotline
service, party line, dan ramalan bintang pertumbuhannya sangat nyata
(81%) di bandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2007. Bila
dinilai secara nominal, belanja iklan produk Short Message Service (SMS)
ini mencapai Rp. 556 miliar dibanding tahun sebelumnya yang hanya
mencapai Rp. 307 miliar. Pertumbuhan belanja iklan kategori produk ini
mampu mendongkrak total belanja iklan secara keseluruhan pada semester
I 2008 sebesar Rp. 19,56 triliun (meningkat 24% dibanding periode yang
sama tahun 2007). Iklan-iklan produk seperti itu bisa mengalami
peningkatan yang relatif tinggi, tidak bisa dilepaskan dari konteks kondisi
39
sosial budaya masyarakat Indonesia yang senang dengan bentuk hiburanhiburan seperti yang ditawarkan oleh produk-produk SMS tersebut.
Tabel 4. Besar belanja iklan semester I tahun 2007-2008
KATEGORI PRODUK
Peralatan dan Jasa Telekomunikasi
Jumlah (Rp. Miliar)
2007
2008
1,243
1,957
Persentase
(%)
57
Sepeda motor
709
848
20
Pemerintah dan Organisasi Politik
429
769
79
Iklan Layanan Perusahaan dan Sosial
524
752
44
Rokok
748
699
(-7)
Produk Perawatan Rambut
676
635
(-6)
Layanan Hotline, Party line, Horoscope
307
556
81
Media, Agency, Rumah Produksi, dll
467
544
16
Perbankan dan Lembaga Keuangan
457
532
16
Produk Pembersih Muka
499
528
6
Produk Pembersih dan Deterjen
403
481
19
Properti, Apartemen, Flat, dll
267
454
70
Sumber : Nielsen Media Research, 2008.
Berkaitan dengan kondisi tersebut, maka Dwi Sapta Advertising
dituntut untuk selalu melakukan updating terhadap perkembangan gaya
hidup konsumen maupun nilai-nilai sosial budaya yang dimiliki
masyarakat seiring dengan perkembangan jaman. Pemahaman tentang
kedua hal tersebut tidak saja dibutuhkan untuk kepentingan Dwi Sapta
Advertising sendiri dalam hal penyusunan rancangan strategi komunikasi
pemasaran berbagai produk baru klien, namun bisa juga digunakan sebagai
sumber informasi pasar yang berguna untuk mendampingi klien-klien
dalam hal pengembangan produk barunya. Terlebih, secara kebijakan dan
strategi bisnisnya, Dwi Sapta Advertising lebih memilih fokus pada
pengembangan bisnis klien-klien yang sudah dimilikinya dibanding
mencari klien-klien baru.
40
7.
Perkembangan Arah dan Kebutuhan Promosi Klien
Dampak kenaikan harga BBM dan krisis keuangan global yang
telah mempengaruhi situasi bisnis di tahun 2008 mendorong para
pengelola merek produk klien harus bersikap bijak dan hati-hati dalam
mengelola anggaran belanja promosi dan iklannya. Menurut Jimmy
Siregar2, Media Manager Dwi Sapta Advertising, kondisi sulit yang
terjadi di tahun 2008 telah mendorong klien untuk lebih selektif
membelanjakan budget iklan produknya. Dalam hal pemanfaatan media,
misalnya klien cenderung lebih memilih menggunakan strategi built in
atau on-air sponsorships (bentuk promosi yang dilakukan dengan
memasukkan materi produk ke dalam isi program acara TV) dari pada
lose spot (iklan lepas produk) seperti biasanya. Artinya, pemilihan media
akan ekstra fokus pada program-program acara TV yang diperkirakan
akan banyak ditonton masyarakat. Sementara di sisi lain, porsi bentuk
promosi out door media (out of home) akan ditingkatkan juga, terutama
pada jenis media interaktif seperti internet dan media mobile. Anggaran
belanja media cetak klien relatif banyak berkurang. Meski demikian,
beberapa klien masih ada juga yang menggunakan media cetak secara
lebih selektif. Intinya, arah kebijakan promosi klien di tahun 2008 lebih
selektif dalam memilih media promosi maupun pemilihan waktunya agar
dapat mengejar target efisiensi promosi.
Jimmy Siregar2 menjelaskan bahwa arah kebijakan promosi klien
seperti ini ditengarai karena adanya beberapa kondisi seperti TV rating
makin scattered, kualitas program TV makin menurun, media cetak juga
sedang mengalami penurunan sirkulasi namun tarif iklannya justru malah
naik, out of home tarifnya tidak ada standar, dan radio juga masih sangat
jarang dan tidak ada data besaran khalayaknya. Dalam kondisi seperti ini,
klien lebih cenderung banyak bersikap ’wait and see’ terhadap
perkembangan lanjutan yang ada. Meski demikian, tetap saja masih ada
beberapa klien yang justru mengambil kebijakan untuk memanfaatkan
momentum krisis untuk merebut pasar. Klien-klien seperti ini tetap saja
beriklan secara konsisten untuk tetap eksis di pasar meski situasi dan
2
Hasil wawancara tanggal 4 September 2008
41
kondisi bisnis sedang krisis, terutama untuk kepentingan promosi
berbagai produk baru yang diluncurkan sebagai respon pasar yang lebih
sesuai dalam situasi krisis.
Implikasi kondisi seperti ini bagi Dwi Sapta Advertising adalah
semakin dituntut untuk lebih kreatif dalam menganalisis dan merancang
berbagai kebutuhan program promosi sesuai dengan kondisi yang
dihadapi oleh klien. Kreatifitas yang dimaksud tidak hanya terbatas pada
bentuk
materi
kreatif
iklannya
saja,
namun
juga
dalam
hal
penayangannya di media massa, termasuk mengembangkan kombinasi
antara bentuk kampanye melalui Above The Line maupun Bellow The
Line.
8. Tingkat Persaingan dan Kompetisi Bisnis Periklanan 2008.
Sekalipun krisis finansial yang terjadi di tahun 2008 dinilai agak
berbeda dengan yang terjadi pada tahun 1997 jika dilihat dari pusat
sumber krisisnya, namun dampaknya tetap saja sama, yaitu menyebabkan
merosotnya daya beli masyarakat dan makin meningkatnya kuantitas
maupun kualitas kemiskinan yang terjadi di Indonesia. Kondisi seperti ini
bagi kalangan dunia periklanan semakin menambah beban berat dari sisi
persuasi komunikasi iklan. Artinya, perusahaan periklanan dituntut untuk
semakin kreatif di dalam merancang dan mengembangkan berbagai
program promosi produk-produk kliennya di saat konsumennya sendiri
sedang mengalami penurunan kemampuan daya beli.
Menurut A. Adji Watono5, President Director Dwi Sapta
Advertising, klien yang sudah merasakan gejala kurang puas terhadap
agency akan dengan mudah mengambil keputusan untuk mengadakan
’pitching’ (tender) ulang berbagai proyek promosi produknya. Ancaman
kondisi seperti ini hampir dirasakan oleh semua kalangan agency, mulai
dari yang ada di level perusahaan periklanan ’papan atas’ hingga ’papan
bawah’. Akibatnya, persaingan antar perusahaan periklanan menjadi
semakin bertambah ketat. Sebab, dalam kondisi seperti itu, klien tidak lagi
5
Hasil wawancara tanggal 24 November 2008
42
mau ambil peduli pada kategorisasi level perusahaan periklanan. Pitching
ulang tersebut pada akhirnya diikuti oleh berbagai perusahaan periklanan
yang memiliki level yang beragam. Dwi Sapta Advertising tidak lagi
hanya berhadapan dengan kompetitor selevel, tetapi harus berhadapan
dengan berbagai perusahaan tidak selevel, baik yang levelnya lebih di atas
maupun di bawah yang memiliki tingkat dan bentuk persaingan tersendiri.
A. Adji Watono5 menjelaskan, bila berhadapan dengan perusahaan
yang levelnya di atas Dwi Sapta Advertising, maka persaingannya menjadi
tidak berimbang, karena perusahaan-perusahaan pesaing tersebut memiliki
kemampuan dan bargaining position yang relatif lebih kuat di mata klien,
baik dari sisi reputasi, nama besar, kompetensi SDM, jaringan kerjasama,
hingga kemampuan finansial dalam belanja media yang sangat besar.
Sementara bila berhadapan dengan perusahaan yang levelnya di bawah
Dwi Sapta Advertising, maka persaingan tetap menjadi tidak berimbang,
manakala perusahaan-perusahaan tersebut lebih mampu menawarkan
tingkat harga relatif jauh lebih murah, baik dari aspek agency fee, creative
fee, media fee, supervision fee, maupun cost of production.
Saat ini, dengan persaingan antar perusahaan periklanan yang
makin ketat di tahun 2008, besaran agency fee sudah hampir tidak ada lagi
yang bernilai ’double digit’ (di atas 10%). Hal ini terjadi akibat banyaknya
perusahaan periklanan yang berasal dari papan tengah (apalagi papan
bawah) yang bersedia menurunkan agency fee pada saat melakukan
negosiasi untuk memenangkan pitching produk baru. Sementara besaran
media fee juga tidak kalah tragis penurunannya. Saat ini, para perusahaan
periklanan nasional banyak yang hanya berani mematok di kisaran 1-3%,
mengingat adanya kebijakan bisnis media fee 0% alias free yang sanggup
diberikan oleh para media specialist asing, misalnya Mindshare. Padahal,
dari
sumber
inilah
biasanya
perusahaan
periklanan
memperoleh
pendapatan perusahaan yang paling bisa diandalkan dibanding sumbersumber lainnya.
Bentuk persaingan lainnya yang juga banyak dihadapi oleh
perusahaan periklanan di tahun 2008 adalah dalam hal ’pembajakan’ SDM
5
Hasil wawancara tanggal 24 November 2008
43
periklanan. Selain untuk kepentingan memperkuat mutu tim perusahaan,
pembajakan sumber daya manusia periklanan antar perusahaan juga
dilakukan dengan target untuk memperoleh klien-klien yang dikelola oleh
orang yang bersangkutan di tempat kerja sebelumnya.
C. Analisis Lingkungan Internal Perusahaan
1. Positioning Dwi Sapta Advertising
Setiap perusahaan pasti memiliki ciri dan keunikan tersendiri yang
membedakannya dengan perusahaan lain. Bahkan, dengan ciri dan
keunikannya itu bisa digunakan sebagai sumber kekuatan dan strategi
bersaing melawan pesaing-pesaing. Demikian pula yang dialami oleh Dwi
Sapta Advertising. Menurut A. Adji Watono5, President Director Dwi Sapta
Advertising, selama kurun waktu 25 tahun (1981-2006) dikenal sebagai
perusahaan periklanan yang memiliki ciri ‘hard sell’ pada setiap iklan yang
diproduksinya. Ciri pendekatan komunikasi ini lebih dilandasi oleh latar
belakang historis para kliennya yang banyak memiliki produk Fast Moving
Consumer Goods (FMCG). Dengan budget iklan yang pada masa-masa
awal relatif terbatas, para klien lebih banyak menuntut untuk lebih
mementingkan aspek penjualan pada setiap iklan produknya yang
dipercayakan kepada Dwi Sapta Advertising. Dengan positioning sebagai
perusahaan periklanan yang berbasis ”Advertising That Sells”, Dwi Sapta
Advertising mampu membedakan diri dengan berbagai perusahaan
periklanan lain yang dominan menganut paradigma bisnis sebagai
perusahaan kreatif iklan (lebih berorientasi pada ’award’ atau penghargaan
di bidang kreatif).
A. Adji Watono5 menjelaskan bahwa pilihan untuk mengambil
positioning seperti ini cukup banyak mengandung risiko; baik yang
bersifat
bisnis
maupun
politis-psikologis.
Secara
bisnis,
dengan
positioning yang lebih kental dengan bentuk iklan yang bersifat ’hard sell’
tersebut, Dwi Sapta Advertising seringkali diragukan oleh beberapa
perusahaan yang bermaksud membuat iklan berorientasi citra. Bahkan,
hingga saat ini beberapa perusahaan dengan kategori iklan produknya
5
Hasil wawancara tanggal 24 November 2008
44
yang lebih menonjolkan sisi citra masih belum berani mempercayakan
penggarapan iklannya kepada Dwi Sapta Advertising yang memang sudah
dikenal sebagai agency berorientasi kepada penjualan (sales). Sementara
dari sisi politis-psikologis, pilihan sebagai agency dengan positioning
seperti ini mengandung risiko jadi bahan ’ejekan’ dari sesama pemilik
perusahaan periklanan ketika ada kesempatan pertemuan di forum-forum
tertentu, misalnya seminar, lokakarya periklanan, kongres perusahaan
periklanan, dan lain-lain.
Seiring dengan perkembangan dan dinamika yang terjadi dalam
dunia periklanan Indonesia, positioning Dwi Sapta Advertising sebagai
perusahaan periklanan mengalami penyesuaian. Pertimbangan utama dari
kebijakan perusahaan untuk menyesuaikan positioning perusahaan ini
lebih di dasarkan pada perkembangan kebutuhan dan permintaan klien
dalam mengelola produk dan merek yang dipercayakan kepada Dwi Sapta
Advertising. Setelah sekian lama menggunakan pendekatan ’Advertising
That Sells’ yang dikembangkan oleh Dwi Sapta Advertising, beberapa
klien pada akhirnya mulai berpikir untuk meningkatkan perhatian yang
lebih besar pada aspek manajemen merek. Sejak dua tahun terakhir ini
(2006-2008) secara resmi Dwi Sapta Advertising mengubah positioning
perusahaannya menjadi ”Advertising That Sells with Style”. Komponen
dasarnya tidak berubah (selling advertising), namun bentuk kemasan
iklannya saja yang lebih disesuaikan dengan tuntutan kebutuhan merek
produk saat ini (dikemas secara lebih ’stylish’).
2.
Budaya Perusahaan Dwi Sapta Advertising
Sebagai konsekuensi dari pilihan positioning yang dimiliki oleh
Dwi Sapta Advertising, maka A. Adji Watono5 sebagai President Director
mengembangkan paradigma bisnis yang dianggap sejalan dengan
positioning perusahaan. A. Adji Watono5
sendiri menyadari bahwa
positioning perusahaan dapat menjadi kekuatan dan strategi bisnis yang
dapat diandalkan, manakala didukung oleh kekuatan budaya perusahaan
yang sejalan. Oleh karena itu, A. Adji Watono5 menetapkan nilai-nilai
5
Hasil wawancara tanggal 24 November 2008
45
dasar yang harus menjadi fondasi budaya perusahaan Dwi Sapta
Advertising. Nilai-nilai dasar itulah yang kemudian dijadikannya sebagai
paradigma bisnis Dwi Sapta Advertising. Adapun paradigma bisnis
tersebut adalah ”Sukses Klien adalah Segalanya”.
Menurut A. Adji Watono5, President Director Dwi Sapta
Advertising, paradigma bisnis ”Sukses Klien adalah Segalanya” secara
tidak langsung telah menempatkan posisi klien sebagai pertimbangan
utama dalam penyusunan berbagai kebijakan, strategi dan keputusan bisnis
yang dimiliki perusahaan. Di sisi lain, hal itu juga akan sangat
mempengaruhi bentuk, proses, dan mekanisme kerja yang dikembangkan
di dalam perusahaan.
Latar belakang dan pertimbangan pilihan paradigma bisnis ini lebih
didasarkan pada pemikiran bahwa orientasi kerja maupun target output
berbagai materi kreatif iklan yang dihasilkan oleh Dwi Sapta Advertising
harus selalu di arahkan untuk kepentingan kesuksesan produk dan merek
klien di pasar. Logika berpikirnya sangat sederhana. Bila produk dan
merek klien sukses di pasar, maka klien akan memiliki cukup dana
kembali dari hasil penjualan produknya tersebut. Ujung-ujungnya, klien
tetap memiliki budget untuk kegiatan promosi selanjutnya dan Dwi Sapta
Advertising pun memiliki peluang besar untuk kembali menangani
berbagai kegiatan promosi produk klien tersebut. Siklus bisnis yang saling
menguntungkan antara klien dan Dwi Sapta Advertising inilah yang
selama ini telah dikembangkan sebagai pondasi ataupun pilar budaya
perusahaan.
Dalam prakteknya secara operasional, budaya perusahaan yang
didasarkan pada paradigma bisnis ”Sukses Klien adalah Segalanya”
tersebut dicerminkan oleh nilai-nilai yang berbasis pelayanan kepada
klien. Salah satu contoh prinsip kerja yang dikembangkan dari nilai-nilai
tersebut adalah prinsip ”Serve with The Heart” (Melayani Dengan Hati).
Prinsip pelayanan seperti ini tidak saja dikembangkan dengan menekankan
kemampuan memberikan pelayanan kepada klien secara profesional
(sesuai dengan standar kerja yang berlaku dalam dunia periklanan), namun
5
Hasil wawancara tanggal 24 November 2008
46
juga dilandasi oleh pertimbangan-pertimbangan yang bersifat personal dari
sisi kemanusiaan (humanis). Kedua bentuk dimensi pelayanan inilah yang
pada akhirnya mampu membangun fleksibilitas terhadap berbagai
persoalan yang muncul dalam kerjasama bisnis antara klien dan Dwi Sapta
Advertising. Kekuatan budaya perusahaan yang berbasis pelayanan
terhadap klien ini secara empiris mampu menjaga loyalitas klien selama
belasan atau bahkan puluhan tahun.
3. Infrastruktur Bisnis Perusahaan Dwi Sapta Advertising
Komitmen perusahaan untuk menyukseskan berbagai produk dan
merek klien yang ditanganinya tidak hanya sebatas ’jargon’ yang tertulis
di atas kertas (pernyataan bentuk positioning maupun budaya perusahaan
yang tertulis dalam company profile Dwi Sapta Advertising). Komitmen
tersebut juga dibuktikan dalam wujud investasi bisnis berupa infrastruktur
peralatan untuk mendukung pelayanan maksimal kepada klien. Secara
bertahap Dwi Sapta Advertising senantiasa berusaha menambah berbagai
infrastruktur bisnis yang dimiliki seiring dengan tuntutan kebutuhan klien.
Menurut Maya C. Watono3, General Manager Dwi Sapta
Advertising yang membawahi bidang operasional dan HRD, sejak berdiri
pada tahun 1981 sebagai cikal bakal perusahaan periklanan, awalnya
infrastruktur yang dimiliki lebih banyak ke arah peralatan kerja pada
bidang jasa fotografi profesional (beragam jenis dan merek kamera,
lampu, roll film, alat cuci cetak, dan lain-lain). Setahun kemudian (1982),
Dwi Sapta Advertising menambah infrastruktur pada bidang sablon dan
percetakan. Kemudian pada tahun 1985 menambah infrastruktur yang
dibutuhkan untuk jasa pelayanan periklanan media cetak terpadu (mulai
dari peralatan produksi sticker, brosur, leaflet, poster, umbul-umbul,
spanduk, billboard, hingga iklan media cetak).
Pada tahun 1989, seiring dengan kemunculan stasiun televisi
swasta pertama (RCTI), Dwi Sapta Advertising menambah kembali
infrastruktur yang mendukung untuk menjadi ”Full Service Advertising
Agency”. Mulai tahun inilah Dwi Sapta Advertising secara resmi
memberikan integrasi pelayanan periklanan Above The Line dan Bellow
3
Hasil wawancara tanggal 23 Oktober 2008
47
The Line. Pada tahun 1995, Dwi Sapta Advertising menambah kembali
infrastruktur pelayanannya kepada klien, terutama yang berkaitan dengan
pelayanan produksi iklan televisi, dengan mendirikan rumah produksi
Netracomm. Kebijakan bisnis ini kemudian dilengkapi dengan pendirian
Neo Post pada tahun 2004 yang berfungsi untuk kepentingan editing film
iklan televisi. Dengan berbagai infrastruktur yang lengkap tersebut, Dwi
Sapta Advertising mampu memberikan pelayanan yang maksimal kepada
klien-kliennya hingga sekarang ini.
4. Proses Kerja Internal Perusahaan Dwi Sapta Advertising
Selama 25 tahun pertama (1981-2006) proses kerja internal Dwi
Sapta Advertising cenderung lebih terfokus pada tujuan bagaimana
menciptakan angka penjualan produk-produk klien dengan setinggitingginya. Target ini tidak bisa dilepaskan dari positioning perusahaan
yang menempatkan diri sebagai agency berbasis ”Advertising That Sells”.
Implikasi dari fokus target seperti ini lebih banyak memberikan perhatian
pada
pendekatan
komunikasi
iklan
yang
bersifat
’hard
sell’.
Konsekuensinya, aspek pengembangan merek relatif kurang mendapat
porsi perhatian yang lebih memadai.
Menurut M.Kh. Rachman R4, Senior Business Development
Manager Dwi Sapta Advertising, sejak kurun waktu dua tahun terakhir
(2006-2008) Dwi Sapta Advertising telah menyesuaikan proses kerja
internal yang telah dijalankan selama ini dengan maksud untuk
memberikan keseimbangan antara pencapaian target penjualan dan
pengembangan merek. Dengan perubahan orientasi kerja seperti ini, maka
proses kerja internal perusahaan pun mengalami penyesuaian. Secara
konkret, Dwi Sapta Advertising mulai mengembangkan sinergi kerja antar
bagian yang terlibat dalam proses pengembangan komunikasi produk.
Fungsi dan peran untuk melakukan sinergi antar bagian itulah yang saat ini
dijalankan oleh Divisi Business Development.
Di satu sisi, bagian ini bertanggungjawab untuk menyusun strategi
bisnis dan komunikasi produk klien agar sukses di pasar, baik dari sisi
4
Hasil wawancara tanggal 4 September 2008
48
penjualan maupun pengembangan merek. Disinilah fungsi dan peran
Divisi Business Development untuk menyinergikan berbagai turunan
bentuk strategi bisnis dan komunikasi produk tersebut menjadi strategi
kreatif, strategi perencanaan media dan pengembangan program-program
komunikasi pemasaran lainnya. Namun, di sisi lainnya, bagian ini juga
bertanggungjawab untuk mengarahkan pengembangan strategi bisnis Dwi
Sapta Advertising secara korporat. Dalam prakteknya, secara operasional,
tugas-tugas tersebut dijalankan dengan menempatkan proses mencari
‘consumer insight’ sebagai langkah awal dan menjadi dasar penyusunan
berbagai strategi, baik bisnis, pemasaran, komunikasi, kreatif, media, dan
lain-lain.
5. Sentralisasi Proses Pengambilan Keputusan Manajemen Perusahaan
Keberadaan Dwi Sapta Advertising tidak dapat dilepaskan dari
sosok dan figur pendiri sekaligus pemiliknya, A. Adji Watono. Sebagai
seorang pengusaha bidang periklanan, pribadi A. Adji Watono adalah
sosok yang penuh kontroversial. Beberapa contoh kasus yang dapat
menggambarkan sosoknya yang penuh kontrversial adalah keberaniannya
memilih positioning sebagai agency yang berbasis ”Advertising That
Sells” di saat hampir semua agency di Indonesia menempatkan
penghargaan kreatif sebagai orientasi utama bisnisnya. Contoh lain adalah
ketika terjadi krisis pada tahun 1997, hampir semua pemilik perusahaan
periklanan menyarankan kliennya untuk berhenti sementara dalam
beraktivitas promosi, justru A. Adji Watono5 menyarankan kebalikannya.
Masih dalam suasana dan situasi krisis tahun 1997, A.Adji Watono berani
melakukan investasi jangka panjang dengan membeli dan membangun
kantor baru bagi Dwi Sapta Advertising di kawasan Komplek Gading
Bukit Indah Kelapa Gading.
Secara singkat, dalam menjalankan perusahaan selama lebih dari
27 tahun, A. Adji Watono tidak hanya mengandalkan perhitungan bisnis
secara kalkulasi matematik, namun juga menggabungkannya dengan
pertimbangan-pertimbangan bersifat intuitif, bahkan cenderung nekad
5
Hasil wawancara tanggal 24 November 2008
49
(gambling). Meski demikian, dengan cara seperti ini justru telah berhasil
(proven) membawa Dwi Sapta Advertising berkembang seperti sekarang
ini. Demikian pula yang telah dialami oleh klien-kliennya yang semula
masih sebagai perusahaan kecil, sekarang sudah menjelma menjadi
perusahaan
besar,
dengan
produk-produk
yang
semula
tidak
diperhitungkan, kini menjadi produk yang sukses di pasar dan menjadi
market leader.
Kekuatan sosok dan figur A.Adji Watono inilah yang sangat
dominan mewarnai setiap proses pengambilan keputusan manajerial di
Dwi Sapta Advertising. Padahal di level manajemen Dwi Sapta
Advertising, Maya C. Watono (anaknya) yang duduk sebagai General
Manager sekaligus Media Director di Dwi Sapta Advertising masih
menunggu ’final decision maker’ dari A. Adji Watono, terlebih bila
keputusan tersebut terkait dengan aspek finansial.
6. Kompetensi SDM Kreatif Periklanan Dwi Sapta Advertising
Pengalaman Dwi Sapta Advertising selama lebih dari 27 tahun,
selain telah membesarkan bisnis perusahaan dan produk-produk klien,
sekaligus membentuk jenis kategori
dan tingkatan kompetensi yang
dimiliki oleh SDM Kreatif Periklanan Dwi Sapta Advertising. Dengan
pengalaman telah mengelola dan menyukseskan berbagai jenis produk dan
merek kliennya, Dwi Sapta Advertising telah dipersepsi sebagai
perusahaan periklanan yang sangat kuat Tim Kreatif bila diminta harus
membuatkan pendekatan komunikasi berorientasi pada penjualan.
Di satu sisi, persepsi tentang kompetensi SDM Kreatif Periklanan
seperti itu sebenarnya sejalan dan memperkuat pilihan positioning
perusahaan, serta membantu membangun corporate image Dwi Sapta
Advertising. Namun, di sisi lainnya menjadi ’barrier’ terhadap peluang
bisnis perusahaan untuk dapat menangani berbagai kampanye produk dan
merek tertentu yang cenderung menggunakan pendekatan komunikasi
yang ’soft sells dan high image’.
Menurut C. Aristantono4, Creative Director Dwi Sapta Advertising,
saat ini sebenarnya Dwi Sapta Advertising telah memiliki tim kreatif yang
4
Hasil wawancara tanggal 4 September 2008
50
cukup lengkap, baik dari sisi jumlah, tingkat kompetensi, latar belakang
pengalaman kerja di bidang periklanan, maupun karakteristik pendekatan
dan gaya kreatif yang dimilikinya. Dengan empat Tim Kreatif yang ada,
Dwi Sapta sebenarnya mampu mengerjakan bentuk iklan dengan
pendekatan kreatif apapun, baik bersifat ’hard sells” maupun ”soft sells
atau high image”. Aristantono sendiri mengakui bahwa dirinya bersedia
bergabung memperkuat Tim Kreatif Dwi Sapta Advertising sejak awal
tahun 2006 atas dasar permintaan A. Adji Watono sebagai pemilik
perusahaan agar dapat memenuhi tuntutan kebutuhan klien yang lebih
memilih pendekatan komunikasi bersifat ”soft sells dan high image”.
Aristantono sendiri sebelumnya adalah praktisi kreatif periklanan yang
lebih banyak menghabiskan pengalaman kerjanya di berbagai perusahaan
periklanan asing, seperti Lowe, JWT, dan lain-lain.
7. Karakteristik Klien-Klien Dwi Sapta Advertising
Hingga saat ini, Dwi Sapta Advertising memiliki dan menangani
lebih dari 50 produk dan merek yang sangat beragam, mulai dari otomotif,
sparepart, perbankan, makanan, minuman, obat, multivitamin, jamu,
produk perawatan tubuh, produk rumah tangga, peralatan elektronik dan
lain-lain. Dengan jumlah klien yang banyak dan beragam tersebut, Dwi
Sapta Advertising tetap memperlakukannya secara ’customized’, sejalan
dengan prinsip pelayanan yang selama ini sudah dikembangkan.
Menurut Tanty Dewi Permassanty3, Account Director Dwi Sapta
Advertising, kemampuan perusahaan dalam memberikan pelayanan
kepada klien-klien secara profesional dan personal tersebut secara empiris
mampu menjaga kelangsungan hubungan kerjasama yang ada selama
belasan atau bahkan puluhan tahun. Dwi Sapta Advertising sangat
menyadari bahwa karakteristik klien-klien yang dimilikinya itu sangat
berbeda satu sama lain, baik dari segi latar belakangan perusahaan,
karakteristik produk yang dimilikinya, bentuk persaingan dan kompetisi
produknya di pasar, gaya manajemen perusahaan, maupun tipologi profil
personal para pemegang produk dan mereknya di lapangan. Oleh karena
3
Hasil wawancara tanggal 23 Oktober 2008
51
itu, perlu ditangani dan dikelola secara berbeda sesuai kondisi dan
karakteristik masing-masing.
Tanty Dewi Permassanty3 menjelaskan bahwa hingga saat ini,
beberapa contoh kerjasama dengan berbagai klien telah berjalan selama
belasan atau bahkan puluhan tahun. Misalnya, dengan Djarum lebih dari
27 tahun, Kino Group lebih dari 15 tahun, Enesis Group lebih dari 14
tahun, Sidomuncul lebih dari 15 tahun, Kable Farma lebih dari 15 tahun,
Daihatsu lebih dari 12 tahun, dan lain-lain.
Hal itu terjadi, karena selama bekerjasama dengan klien-klien
tersebut, Dwi Sapta Advertising selalu memenuhi tuntutan kebutuhan dan
keinginan klien, baik yang didasarkan pencapaian target penjualan
produknya, kemampuan berempati pada kondisi klien, kecepatan dan
fleksibilitas waktu kerja, sistem dan manajemen kerja yang diharapkan
klien, kedekatan secara personal (chemistry), maupun kecocokan pada
tingkat harga yang diberikan oleh Dwi Sapta Advertising.
8. Aktivitas Komunikasi Perusahaan Dwi Sapta Advertising
Mengelola perusahaan periklanan pada dasarnya adalah mengelola
citra perusahaan di mata konsumen, baik yang sudah ataupun belum
menjadi klien. Karena sifatnya yang bergerak di bidang jasa, maka
penilaian terhadap mutu produknya bersifat relatif, bahkan disebut
subyektif. Demikian pula yang dialami oleh Dwi Sapta Advertising selama
ini. Hasil karya-karya periklanan Dwi Sapta Advertising tidak saja dinilai
berdasarkan materi kreatif iklan secara fisik (dapat lihat dan didengar),
namun seringkali juga di pengaruhi oleh penilaian-penilaian lain yang
berada di luar materi kreatif iklan tersebut secara fisik (beyond product),
terutama yang berkaitan dengan citra atau label yang sudah melekat di
Dwi Sapta Advertising secara korporat.
Atas dasar pemikiran dan pertimbangan itulah, Dwi Sapta
Advertising mengambil kebijakan untuk menangani program-program
komunikasi korporatnya secara lebih serius. Menurut Saida Rosadi4), Staff
Bagian Public Relations Dwi Sapta Advertising, selama ini ada beberapa
bentuk program komunikasi korporat yang dilakukan oleh Dwi Sapta
3
Hasil wawancara tanggal 23 Oktober 2008
52
Advertising, antara lain Iklan di media cetak (berbentuk iklan korporat,
lowongan kerja, feature, dan lain-lain), sponsorship kegiatan, charity and
TV program, penerbitan majalah dan buku, program-program yang
berbasis tanggungjawab sosial perusahaan seperti kunjungan mahasiswa,
bedah buku, studium general mahasiswa, praktek kerja dan job training
mahasiswa, program inkubasi profesi bagi dosen, beasiswa berprestasi
bagi anak kurang mampu, donasi panti asuhan dan rumah jompo, dan lainlain).
Saida Rosadi4 menjelaskan bahwa program komunikasi korporat
yang dinilai cukup besar memberikan kontribusi terhadap datangnya
undangan pitching (tender) bagi Dwi Sapta Advertising adalah yang
berasal dari penerbitan buku periklanan. Saat ini, Dwi Sapta Advertising
sudah menerbitkan dua buku periklanan, yaitu ”Advertising That Sells”
(terbit tahun 2006) dan ”Advertising That Makes Money” (terbit tahun
2008).
D. Hasil Analisis SWOT Sebagai Alat Perumusan Strategi Pemasaran
1. Tahapan Penyusunan Perencanaan Strategis Dwi Sapta Advertising
Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa analisis SWOT adalah
sebuah kerangka analisis strategi yang menekankan optimal bentuk
kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities) yang dilakukan seiring
dengan minimalisasi bentuk kelemahan (weaknesses) dan ancaman
(threats). Analisis ini memberikan gambaran secara konkrit bagaimana
kondisi obyektif situasi dan persaingan bisnis yang dihadapi Dwi Sapta
Advertising, melalui deksripsi peluang dan ancaman yang berasal dari
eksternal perusahaan sekaligus membandingkannya dengan kekuatan dan
kelemahan yang ada di internal perusahaan. Profil kekuatan, kelemahan,
peluang, dan ancaman ini dapat ditelusuri dan diidentifikasi melalui
gambaran kondisi dan situasi yang telah dijelaskan pada bagian
sebelumnya (A, B dan C).
4
Hasil wawancara tanggal 4 September 2008
53
Kekuatan merupakan sumber daya, keterampilan, kelebihan dan
keunggulan-keunggulan lainnya secara relatif dibandingkan terhadap
pesaing
maupun terhadap perkembangan kebutuhan pasar yang akan
dimasuki secara bisnis oleh Dwi Sapta Advertising. Faktor kekuatan ini
dapat dianggap sebagai kompetensi khusus (distinctive competence) yang
memberikan keunggulan komparatif bagi Dwi Sapta Advertising dalam
bersaing dengan agency-agency lain di pasar industri periklanan.
Sementara kelemahan
dapat
dianggap
sebagai
keterbatasan
atau
kekurangan perusahaan yang bisa saja meliputi aspek SDM, keterampilan
ataupun kondisi-kondisi lainnya yang dapat menghambat perkembangan
Dwi Sapta Advertising.
Peluang adalah berbagai perkembangan situasi dan kondisi makro
yang kondusif bagi Dwi Sapta Advertising secara korporat, mulai dari
dinamika industri periklanan, trend perkembangan teknologi komunikasi
dan industri media, perkembangan regulasi dan kebijakan pemerintah yang
terkait dengan bisnis periklanan, perkembangan daya beli konsumen,
perkembangan gaya hidup dan nilai-nilai baru yang berkembang di
masyarakat, hingga perkembangan arah kebutuhan promosi klien. Namun,
di sisi lain faktor-faktor tersebut dapat berubah menjadi ancaman bagi Dwi
Sapta Advertising, manakala arah perkembangannya justru lebih menekan
keberadaan perusahaan.
Setelah melakukan identifikasi terhadap faktor-faktor eksternal dan
internal tersebut, selanjutnya diberikan bobot, rating dan skor yang
menggambarkan posisi Dwi Sapta Advertising dalam konteks persaingan
bisnis pada industri periklanan yang akan dapat dilihat dari lima bentuk
matrik hasil analisisnya, yaitu (1) Matriks Profil SWOT Perusahaan, (2)
Matriks Faktor Strategi Eksternal, (3) Matriks Faktor Strategi Internal, (4)
Matriks Posisi Perusahaan, dan (5) Matriks Profil Kompetitif.
Berdasarkan hasil analisis terhadap gambaran situasi dan kondisi
yang terdapat di lingkungan eksternal dan internal Dwi Sapta Advertising,
maka dapat susun Matriks Profil SWOT Perusahaan seperti dimuat pada
Tabel 5.
54
Tabel 5. Matrik Profil SWOT Perusahaan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
KEKUATAN (S)
Nilai jual positioning perusahaan yang
baru (Advertising That Sells with Style)
Citra perusahaan periklanan yang baik
dan terbukti (menghasilkan 9 brand
market leader)
Terkenal dengan kemampuan pelayanan
yang memuaskan (profesional dan
personal)
Infrastruktur bisnis yang lengkap
(creative agency, media specialist, PH,
editing film, brand activation, dll) dengan
harga kompetitif.
Proses kerja yang berbasis ’consumer
insight’ dan fleksibel dari sisi waktu yang
terbatas sekalipun (rush job)
Tim kreatif yang lengkap dan multitalented
Karakter klien yang relatif loyal dan
masih lebih berorientasi pada target
penjualan.
Aktivitas program komunikasi
perusahaan yang sistematis dan
komprehensif (media massa, seminar
bisnis, penerbitan majalah dan buku,
hingga ke forum-forum akademik)
PELUANG (T)
Trend pertumbuhan industri periklanan
yang cukup nyata (‘double digit’), dilihat
dari besaran pengeluaran belanja iklan
nasional
Trend perkembangan industri media
(khususnya program TV) yang membuka
peluang perkembangan built in promo
atau creative media.
Perkembangan teknologi produksi
berbagai produk yang pada akhirnya
banyak melahirkan berbagai produk baru
yang juga membutuhkan promosi
Berkembangnya kesadaran dan kebutuhan
klien membuat program komunikasi
produk dan merek lebih sistematis dan
berbasis ’consumer insight’
Terbukanya kesempatan untuk ikut dalam
proses pitching (tender) social campaign
yang berasal dari instansi pemerintah
maupun BUMN
Adanya testimoni dari beberapa klien
yang merasa puas dengan kinerja
perusahaan maupun yang terekspos dari
salah satu program komunikasi
perusahaan (buku, majalah, seminar, dll)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
KELEMAHAN (W)
Brand Dwi Sapta telah cukup kuat
dipersepsi oleh konsumen (calon klien)
sebagai agency ‘hard sells’
Mutu output kreatif yang dihasilkan
masih dianggap terlalu kuat (kental/
menonjol) sisi teknisnya dibanding
kekuatan konsep idenya
Sentralisasi proses pengambilan
keputusan bisnis masih dominan
bertumpu di tangan Presdir
Orientasi budaya perusahaan yang
menempatkan posisi klien sedemikian
’powerfull’, sehingga menjadi kendala
operasional
Etos dan cara kerja yang sudah 25
tahun terbentuk sebagai profesional
periklanan yang berorientasi pada
penjualan masih cukup kuat, sehingga
menjadi ’barrier’ dalam transisi ke
pendekatan ”Advertising That Sells
with Style”
Belum adanya standarisasi baku dalam
pola pengembangan komunikasi
produk dan merek klien
ANCAMAN (T)
Dampak krisis finansial global dan labilnya kurs rupiah terhadap dollar Amerika
yang berujung pada penurunan daya beli
konsumen dan budget promosi klien
Perkembangan teknologi komunikasi
dan informasi yang bersifat interaktif
(internet based) yang selama ini kurang
mendapat porsi perhatian perusahaan
Sikap klien yang makin cerdas, kritis,
selektif terhadap budget promosi dan
pemilihan media
Perkembangan arah dan kebutuhan
promosi klien yang makin kompleks
Gaya hidup masyarakat yang diikuti
oleh perubahan aspirasi, kebutuhan dan
keinginan konsumen sebagai end user
Dampak fenomena ’cheap revolution’
yang berimbas pada ’jor-joran’ perang
tarif agency fee, media fee, supervision
fee, dan lain-lain
Eksodus SDM periklanan yang
kompeten dan memiliki hubungan
profesional dan personal yang baik
dengan klien ke pihak pesaing
Regulasi pemerintah yang kurang kondusif terhadap proses kerja perusahaan
55
Berdasarkan hasil pengumpulan data responden terhadap gambaran
situasi dan kondisi yang terdapat di lingkungan eksternal dan internal Dwi
Sapta Advertising dari sumber data responden, maka dapat diperoleh Bobot
SWOT Perusahaan (Eksternal dan Internal) seperti dimuat pada Tabel 6 dan
7.
Tabel 6. Bobot SWOT Eksternal
NO
FAKTOR EKSTERNAL
1
2
3
Responden
4
5
6
7
Rataan
12
6
5
5
7
10
5
7,14*
9
10
8
12
15
10
10
10,57
6
5
5
5
5
5
5
5,14
7
9
7
5
6
5
8
6,71
5
8
7
5
8
5
6
6,57
8
5
10
5
5
10
15
8,29
11
15
12
12
12
15
8
12,14
4
6
5
10
7
4
8
6,29
9
9
12
12
7
10
5
9,14
7
8
5
9
7
10
5
7,29
4
6
6
5
6
3
5
5,00
9
6
9
10
8
10
1O
8,86
6
5
5
5
6
3
5
5,00
3
2
4
0
1
0
5
2,14
PELUANG
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Tren pertumbuhan industri periklanan
yang nyata (‘double digit’)
Trend perkembangan industri media
(built in promo dan creative media)
Perkembangan teknologi produksi
(banyak melahirkan produk baru)
Perkembangan kesadaran klien untuk
berpromosi lebih sistematis (insight)
Terbukanya kesempatan untuk ikut
pitching social campaign
Adanya testimony positif (klien yang puas
atau dari buku)
ANCAMAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Dampak krisis finansial global dan
labilnya kurs rupiah terhadap dollar
Perkembangan teknologi komunikasi dan
informasi yang bersifat interaktif
Sikap klien yang makin cerdas, kritis, dan
selektif terhadap budget promosi
Perkembangan arah dan kebutuhan
promosi klien yang makin kompleks
Perubahan gaya hidup masyarakat
sebagai end user.
Dampak fenomena ’cheap revolution’
dalam bentuk perang harga
Eksodus SDM periklanan yang kompeten
ke pihak kompetitor
Regulasi pemerintah yang kurang
kondusif terhadap proses kerja
JUMLAH
100 100 100 100
100
100 100
100
*) 12 + 6 + 5 + 5 + 7 + 10 + 5 = 7,14 dan perhitungan selanjutnya adalah serupa caranya
12
56
Tabel 7. Bobot SWOT Internal
NO
1
2
3
Responden
4
5
6
7
Rataan
7
5
6
3
5
4
6
5,14*
8
5
6
3
5
10
6
6,14
12
10
15
9
15
13
10
12,00
6
8
10
6
10
5
8
7,57
8
8
6
6
5
7
6
6,71
6
5
8
10
5
6
6
6,57
8
5
6
13
8
12
8
8,57
6
5
5
8
5
4
6
5,57
10
13
6
7
9
8
8
8,71
12
10
8
6
8
10
6
8,57
5
5
5
9
7
6
10
6,71
4
6
6
8
8
6
6
6,29
5
8
7
6
5
4
8
6,14
3
7
6
6
5
5
6
5,43
100
100
100
100
100
100
100
100
FAKTOR INTERNAL
KEKUATAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Nilai jual positioning perusahaan yang
baru (Advertising That Sells with Style)
Citra perusahaan periklanan yang baik
dan terbukti (menghasilkan 9 brand
market leader)
Terkenal dengan kemampuan
pelayanan yang memuaskan
(profesional dan personal)
Infrastruktur bisnis yang lengkap
dengan harga kompetitif
Proses kerja berbasis ’consumer
insight’ dan fleksibel dari sisi waktu
yang terbatas sekalipun (rush job)
Tim kreatif yang lengkap dan multitalented
Karakter klien yang relatif loyal dan
masih lebih berorientasi pada target
penjualan
Aktivitas program komunikasi
perusahaan yang sistematis dan
komprehensif
KELEMAHAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Brand Dwi Sapta telah cukup kuat
dipersepsi sebagai agency ‘hard sells’
Mutu output kreatif yang dihasilkan
masih dianggap terlalu kuat sisi
teknisnya
Sentralisasi proses pengambilan
keputusan bisnis masih dominan
bertumpu di tangan Presdir
Orientasi budaya perusahaan yang
menempatkan posisi klien sedemikian
’powerfull’
Etos dan cara kerja yang sudah 25
tahun masih cukup kuat menjadi
’barrier’
Belum adanya standarisasi yang baku
dalam pola pengembangan komunikasi
produk dan merek klien
JUMLAH
*) keterangan serupa dengan yang dimuat pada Tabel 6.
Berdasarkan hasil pembobotan SWOT perusahaan dan rating yang
diperoleh dari responden, maka diperoleh matriks EFE/EFAS (Tabel 8)
dan matriks IFE/IFAS (Tabel 9).
57
Tabel 8. Matriks EFE/EFAS
FAKTOR EKSTERNAL
BOBOT
RATING
(a)
(b)
NILAI SKOR
TERBOBOT
(a x b)
0,07
2,29
0,02
0,11
3,57
0,38
0,05
2,14
0,11
0,07
2,86
0,20
0,07
2,57
0,17
0,08
3,00
0,25
0,12
2,00
0,24
0,06
2,43
0,15
0,09
2,57
0,23
0,07
2,29
0,17
0,05
2,14
0,11
0,09
2,86
0,25
0,05
1,86
0,09
0,02
1,29
0,03
PELUANG
Trend pertumbuhan industri periklanan yang nyata
(‘double digit’)
Trend perkembangan industri media (built in promo
dan creative media)
Perkembangan teknologi produksi (banyak
melahirkan produk baru)
Perkembangan kesadaran klien untuk berpromosi
lebih sistematis (insight)
Terbukanya kesempatan untuk ikut pitching social
campaign
Adanya testimony positif (klien
yang puas atau dari buku)
ANCAMAN
Dampak krisis finansial global dan labilnya kurs
rupiah terhadap dollar
Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi
yang bersifat interaktif
Sikap klien yang makin cerdas, kritis dan selektif
terhadap budget promosi
Perkembangan arah dan kebutuhan promosi klien
yang makin kompleks
Perubahan gaya hidup masyarakat sebagai end
user.
Dampak fenomena ’cheap revolution’ dalam bentuk
perang harga
Eksodus SDM periklanan yang kompeten ke pihak
kompetitor
Regulasi pemerintah yang kurang kondusif terhadap
proses kerja
JUMLAH
1,00
2,39
Tabel 9. Matriks IFE/IFAS
FAKTOR EKSTERNAL
BOBOT
(a)
RATING
(b)
NILAI SKOR
TERBOBOT
(axb)
0,05
2,86
0,15
0,06
3,29
0,20
0,12
3,57
0,43
0,08
3,00
0,23
0,07
3,00
0,20
0,07
2,43
0,16
KEKUATAN
Nilai jual positioning perusahaan yang baru (Advertising
That Sells with Style)
Citra perusahaan periklanan yang baik dan terbukti
(menghasilkan 9 brand market leader)
Terkenal dengan kemampuan pelayanan yang
memuaskan (profesional dan personal)
Infrastruktur bisnis yang lengkap dengan harga
kompetitif.
Proses kerja yang berbasis ’consumer insight’ dan
fleksibel dari sisi waktu yang terbatas sekalipun (rush job)
Tim kreatif yang lengkap dan multi-talented
58
Lanjutan Tabel 9.
FAKTOR EKSTERNAL
BOBOT
RATING
(a)
(b)
NILAI SKOR
TERBOBOT
(axb)
0,09
2,86
0,25
0,06
3,00
0,17
0,09
2,43
0,21
0,09
2,26
0,19
0,07
2,57
0,17
0,06
2,57
0,16
0,06
2,57
0,16
0,05
2,57
0,14
KEKUATAN
Karakter klien yang relatif loyal dan masih lebih
berorientasi pada target penjualan.
Aktivitas program komunikasi perusahaan yang
sistematis dan komprehensif
KELEMAHAN
Brand Dwi Sapta telah cukup kuat dipersepsi sebagai
agency ‘hard sells’
Mutu out put kreatif yang dihasilkan masih dianggap
terlalu kuat sisi teknisnya
Sentralisasi proses pengambilan keputusan bisnis masih
dominan bertumpu di tangan Presdir
Orientasi budaya perusahaan yang menempatkan posisi
klien sedemikian ’powerfull’
Etos dan cara kerja yang sudah 25 tahun masih cukup
kuat menjadi ’barrier’
Belum adanya standarisasi yang baku dalam pola
pengembangan komunikasi produk dan merek klien
JUMLAH
1,00
2,81
Hasil perhitungan nilai kumulatif yang ada pada Matriks Faktor
Strategi Eksternal dan Internal tersebut dapat digunakan sebagai dasar
penentuan posisi perusahaan Dwi Sapta Advertising, yaitu nilai kumulatif
peubah eksternal (2,39) diperlakukan sebagai sumbu X (vertikal) dan
peubah internal (2,81) sebagai sumbu Y (horizontal), seperti dimuat pada
Gambar 9.
Matriks Posisi Perusahaan menawarkan 3 (tiga) bentuk alternatif
strategi, yaitu :
4. Strategi Pertumbuhan (Growth Strategy), dimana kuadran-kuadran ini
merupakan kondisi pertumbuhan perusahaan (kuadran 1, 2, dan 5) atau
upaya untuk melakukan diversifikasi (kuadran 7 dan 8).
5. Strategi Stabilitas (Stability Strategy) adalah suatu bentuk strategi yang
diterapkan tanpa harus mengubah arah strategi yang sedang berjalan
atau sedang diterapkan (kuadran 4 dan 5).
6. Strategi Penciutan (Retrenchment Strategy) adalah usaha memperkecil
atau mengurangi usaha yang dilakukan perusahaan (kuadran 3, 6 dan 9).
59
--- Total Skor Faktor Internal --Kuat
4,0
Tinggi
3,0
Kuadran-1
Pertumbuhan
(Konsentrasi –
Integrasi
Vertikal)
2,81 Rataan
Lemah
2,0
1,0
Kuadran-2
Pertumbuhan
(Konsentrasi –
Integrasi
Horizontal)
Kuadran-3
Penciutan
(Turnaround)
-- Total Skor Faktor Eksternal --
3,0
Rataan
Kuadran-4
Stabilitas
(Hati-Hati)
Kuadran-5
Pertumbuhan
(Konsentrasi –
Integrasi
Horizontal)
Stabilitas
(Tidak ada
perubahan &
Profit Strategi
2,39
Kuadran-6
Penciutan
(Captive
Company atau
Divestasi)
2,0
Rendah
Kuadran-7
Pertumbuhan
(Diversifikasi
Konsentrik)
Kuadran-8
Pertumbuhan
(Diversifikasi
Konglomerat)
Kuadran-9
Penciutan
(Bangkrut atau
Likuidasi)
1,0
Gambar 9. Matriks posisi perusahaan
Dengan melihat kordinat titik temu peubah eksternal dan internal
tersebut dapat dinyatakan bahwa posisi Dwi Sapta Advertising berada
dalam Kuadran-5 yang berisi rekomendasi untuk melakukan strategi
pertumbuhan melalui integrasi horizontal. Bila melihat nilai akhir dari
60
peubah eksternal (2,39), maka dapat dinyatakan bahwa lingkungan
eksternal (peluang dan ancaman) yang dimiliki oleh Dwi Sapta
Advertising
relatif
cukup
memberikan
prospek
yang
baik
bagi
kelangsungan bisnisnya. Bila melihat nilai akhir dari peubah internal
(2,81), sehingga dapat dinyatakan bahwa lingkungan internal (kekuatan
dan kelemahan) yang dimiliki Dwi Sapta Advertising relatif cukup siap
merespon prospek yang terbuka yang ada di lingkungan eksternal
perusahaan.
Konsekuensi
dari
rekomendasi
strategi
berdasarkan
posisi
perusahaan, maka Dwi Sapta Advertising lebih mengarahkan kepada
pencapaian kondisi pertumbuhan pendapatan perusahaan (billing),
pertumbuhan keuntungan perusahaan (profitabilitas) dan pertumbuhan
aset perusahaan. Strategi ini dapat dilakukan dengan cara mengembangkan
berbagai jasa layanan baru di bidang periklanan dan komunikasi
pemasaran, melakukan peningkatan mutu hasil pekerjaan yang sudah ada
(mutu konsep dan rekomendasi strategi komunikasi, kreatif, media,
produksi, evaluasi dan monitoring belanja iklan, dan sebagainya),
melakukan efisiensi biaya operasional dan produksi, serta memperluas
akses pasar baru yang selama ini belum pernah dirambah.
Untuk melengkapi analisis hasil perhitungan profil SWOT dan
posisi perusahaan Dwi Sapta Advertising tersebut, selanjutnya digunakan
analisis perbandingan perusahaan dengan beberapa pesaingnya di pasar.
Dalam hal ini, Dwi Sapta Advertising dibandingkan dengan dua kategori
pesaing sesama perusahaan periklanan (advertising agency), yaitu (1)
pesaing yang berasal dari kategori agency papan atas dan (2) pesaing yang
berasal dari kategori agency papan bawah.
Karakteristik profil perusahaan pesaing yang berasal dari kategori
agency papan atas ini dapat berasal dari sesama agency lokal seperti Dwi
Sapta Advertising, namun kebanyakan berasal dari agency multinasional
(asing) yang biasanya di atas kertas memiliki beberapa keunggulan
komparatif seperti
nama baik dan reputasi perusahaan di dunia
internasional, kekuatan jaringan bisnis di dunia, kekuatan modal secara
61
finansial, kekuatan kompetensi SDM, kekuatan standarisasi sistem bisnis
dan mekanisme kerja, serta kemampuan untuk menyusun strategi secara
keseluruhan.
Sementara karakteristik profil perusahaan pesaing yang berasal
dari kategori agency papan bawah ini seluruhnya berasal dari sesama
agency lokal seperti Dwi Sapta Advertising, berupa perusahaan lokal yang
berasal dari berbagai daerah maupun perusahaan periklanan baru di
Jakarta yang didirikan oleh praktisi periklanan senior yang sudah
berpengalaman bekerja di agency yang sudah mapan.
Analisis perbandingan perusahaan dengan pesaing membantu
memberikan gambaran peta kompetisi yang akan dihadapi oleh perusahaan
Dwi Sapta Advertising (Tabel 10). Dalam prakteknya, Dwi Sapta sering
mengikuti proses pitching (tender) iklan tidak saja hanya berhadapan
dengan kompetitor yang berasal dari kategori agency papan atas. Dalam
waktu dan kesempatan yang sama, Dwi Sapta Advertising juga harus
berhadapan dengan pesaing yang berasal dari agency papan bawah. Kedua
jenis pesaing ini memiliki kekuatan dan keunggulan yang berbeda satu
sama lain, sehingga perlu ’perlakuan’ strategi yang berbeda pula dalam
menghadapinya.
Berdasarkan data hasil analisis Matrik Profil Kompetitif antara
Dwi Sapta Advertising dengan para kompetitornya, maka dapat disebutkan
bahwa secara keseluruhan Dwi Sapta Advertising berada pada posisi
cukup kuat (skor total 2,61 mendekati kriteria di atas rataan perusahaan
periklanan pada umumnya). Posisi seperti ini hanya bisa dikalahkan oleh
perusahaan pesaing yang berasal dari kategori papan atas (perusahaan
periklanan multinasional). Meski demikian, dalam beberapa aspek
kekuatan bargaining power terhadap media house, mutu pelayanan yang
prima, kecepatan dalam merespon kebutuhan klien, fleksibilitas dan
empati kepada klien, serta tingkat harga yang kompetitif, posisi Dwi Sapta
tetap mampu mengungguli perusahaan pesaing tersebut.
62
Tabel 10. Matriks profil kompetitif
FAKTOR
STRATEGIK
BOBOT
(a)
Kemampuan menyusun strategi secara
keseluruhan (marketing, brand,
komunikasi, kreatif dan activation)
Mutu dan daya tarik konsep maupun ide
kreatif yang relevan dengan strategi
yang sudah dibuat
Kemampuan mengukur dan
mengevaluasi efektivitas berbagai
program promosi yang telah dijalankan
Kemampuan menyusun strategi
perencanaan media
Kekuatan bargaining power terhadap
media house (besaran diskon dan
bonus)
Mutu pelayanan yang diberikan secara
profesional dan personal
Kecepatan dalam merespon dan
memenuhi berbagai permintaan dan
kebutuhan yang dimiliki oleh klien
Fleksibilitas dan empati terhadap
kondisi dan situasi sulit yang dihadapi
oleh klien
Tingkat harga yang kompetitif untuk
berbagai jasa perancangan dan
produksi berbagai materi kreatif
Bonafiditas dan reputasi perusahaan
sebagai advertising agency
TOTAL
PERUSAHAAN
(DSA)
Skor
Nilai
(b)
(a x b)
KOMPETITOR KOMPETITOR
PAPAN ATAS PAPAN BAWAH
Skor
Nilai
Skor
Nilai
(b)
(a x b)
(b)
(a x b)
0,15
2
0,30
3
0,45
1
0,15
0,15
2
0,30
4
0,60
2
0,30
0,10
3
0,30
4
0,40
2
0,20
0,10
2
0,20
2
0,20
1
0,10
0,10
3
0,30
2
0,20
2
0,20
0,08
4
0,30
3
0,23
2
0,15
0,05
3
0,15
2
0,10
2
0,10
0,08
3
0,23
2
0,15
2
0,15
0,13
3
0,38
2
0,25
4
0,50
0,08
2
0,15
4
0,30
2
0,15
1,00
2,61
2,88
2,00
2. Rancangan Strategi Pemasaran Dwi Sapta Advertising
Setelah melakukan proses analisis tentang kekuatan dan kelemahan
Dwi Sapta Advertising secara korporat yang dibandingkan dengan kondisi
peluang dan tantangan bisnis yang harus dihadapinya, maka langkah
selanjutnya membuat rancangan strategi pemasaran berdasarkan informasi
yang sudah dimiliki tersebut. Untuk kepentingan penyusunan strategi ini
sebenarnya dapat digunakan beberapa alternatif model pengembangan
strategi, yaitu
Matriks Threats, Opportunities, Weaknesses, Strengths
(TOWS) atau SWOT, Matriks BCG (Boston Consulting Group), Matriks
IE, Matrik Strategic Position and Action Evaluation (SPACE), serta
Matriks Grand Strategy dan QSPM.
63
Kajian ini menggunakan model pengembangan strategi gabungan
antara Matrik TOWS atau SWOT dan Matriks IE, serta QSPM.
Pertimbangan pemilihan ketiga model pengembangan strategi ini lebih
didasarkan pada analisis tingkat kebutuhan dasar informasi yang
diperlukan dalam merancang strategi pemasaran Dwi Sapta Advertising.
Artinya, dengan menggunakan kedua model ini, informasi yang
dibutuhkan untuk kepentingan penyusunan strategi tersebut juga relatif
dapat diperoleh dari lapangan.
Penyusunan rancangan strategi pemasaran yang lebih realistis
menggunakan model Matrik TOWS atau SWOT yang digabung dengan
model Matrik IE dan QSPM. Dalam hal ini hasil analisis faktor-faktor
strategik yang berasal dari lingkungan eksternal dan internal perusahaan
Dwi Sapta Advertising yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya (D.),
maka dapat disusun rancangan alternatif strategi pemasaran sesuai dengan
model Matriks TOWS atau SWOT (Tabel 11).
Tabel 11. Matriks SWOT
FAKTOR
EFE & IFE
KEKUATAN
(S)
KELEMAHAN
(W)
PELUANG
(O)
STRATEGI
S-O
STRATEGI
W-O
ANCAMAN
(T)
STRATEGI
S-T
STRATEGI
W-T
Keterangan :
a. Strategi SO (Strengths-Opportunities)
Strategi memanfaatkan kekuatan internal perusahaan untuk meraih
peluang-peluang yang ada di luar perusahaan.
b. Strategi WO (Weaknesses-Opportunities)
Strategi meminimalisir (memperkecil) berbagai kelemahan internal
perusahaan untuk tetap memanfaatkan peluang-peluang eksternal.
64
c. Strategi ST (Strengths-Threats)
Strategi memanfaatkan kekuatan internal perusahaan untuk mengatasi
berbagai ancaman yang berasal dari luar perusahaan.
d. Strategi WT (Weaknesses-Threats)
Strategi meminimalisir (memperkecil) berbagai kelemahan internal
perusahaan dan menghindari berbagai ancaman yang berasal dari luar
perusahaan.
2.1. Rancangan Strategi Pemasaran Berbasis Kekuatan-Peluang (S-O)
Inti dari strategi S-O adalah strategi yang menggunakan kekuatan
perusahaan untuk memanfaatkan peluang pasar yang ada. Fokus dari
strategi ini adalah bagaimana menciptakan, membangun dan memanfaatkan
peluang pasar dengan mengandalkan kekuatan perusahaan yang secara
relatif tidak atau belum dimiliki oleh para pesaing (Tabel 12).
Tabel 12. Perbandingan kekuatan dan peluang
KEKUATAN (S)
PELUANG (O)
1. Nilai jual positioning perusahaan
yang baru (Advertising That Sells
with Style)
2. Citra perusahaan periklanan yang
baik dan terbukti (menghasilkan 9
brand market leader)
3. Terkenal dengan kemampuan
pelayanan yang memuaskan
(profesional dan personal)
4. Infrastruktur bisnis yang lengkap
(creative agency, media specialist,
PH, editing film, brand activation,
dll) dengan harga kompetitif.
5. Proses kerja berbasis ’consumer
insight’ dan fleksibel dari sisi waktu
yang terbatas sekalipun (rush job)
6. Tim kreatif yang lengkap dan multitalented
7. Karakter klien relatif loyal dan masih
berorientasi pada target penjualan.
8. Aktivitas program komunikasi
perusahaan yang sistematis dan
komprehensif (media massa, seminar
bisnis, penerbitan majalah dan buku,
hingga ke forum-forum akademik)
1. Trend pertumbuhan industri periklanan
cukup nyata (‘double digit’) dilihat dari
besaran pengeluaran belanja iklan
nasional
2. Trend perkembangan industri media
(program TV) yang membuka peluang
perkembangan built in promo (creative
media)
3. Perkembangan teknologi produksi
berbagai produk yang pada akhirnya
banyak melahirkan berbagai produk baru
yang membutuhkan promosi
4. Berkembangnya kesadaran dan
kebutuhan klien untuk membuat program
komunikasi produk dan merek lebih
sistematis, serta berbasis ’consumer
insight’
5. Terbukanya kesempatan untuk ikut dalam
proses pitching (tender) social campaign
dari instansi pemerintah maupun BUMN
6. Adanya testimoni dari beberapa klien
yang merasa puas dengan kinerja
perusahaan maupun yang terekspos dari
salah satu program komunikasi
perusahaan (buku, majalah, seminar, dll)
65
Dari 6 (enam) bentuk peluang pasar di atas, Dwi Sapta
Advertising fokus pada 4 (empat) bentuk peluang, yaitu
(1) Trend
perkembangan industri media (khususnya program TV) yang membuka
peluang
perkembangan
built
in
promo
(creative
media),
(2)
Perkembangan teknologi produksi berbagai produk yang pada akhirnya
banyak melahirkan berbagai produk baru yang membutuhkan promosi,
(3) Berkembangnya kesadaran dan kebutuhan klien untuk membuat
program komunikasi produk dan merek yang lebih sistematis, serta
berbasis ’consumer insight’, (4) Terbukanya kesempatan untuk ikut
dalam proses pitching (tender) social campaign yang berasal dari
instansi pemerintah maupun BUMN. Selanjutnya, Dwi Sapta Advertising
tinggal
menghubungkannya
dengan
berbagai
bentuk
kekuatan
perusahaan yang relevan dan mampu diandalkan untuk merebut peluangpeluang tersebut.
Berdasarkan asumsi tersebut, maka dapat disusun rancangan
strategi pemasaran alternatif berbasis kekuatan-peluang berikut :
a. Memperkuat konsep dan strategi pengembangan creative media
placement dari sisi nilai manfaat dan efektivitasnya sebagai
alternatif bentuk promosi klien (faktor eksternal peluang nomor
2 dan faktor internal kekuatan perusahaan nomor 4 dan 5)
Saat ini, industri media berkembang sedemikian pesatnya.
Dengan makin banyaknya jumlah media (baik itu TV, koran majalah,
tabloid, radio, dan lain-lain), maka masyarakat saat ini dihadapkan
pada pilihan yang begitu beragam. Khusus untuk program acara
televisi, mengingat jumlah iklan yang muncul sudah semakin banyak
ditambah dengan adanya ’remote control’ yang sedemikian
powerfull di tangan penonton, maka sudah waktunya dipikirkan
secara lebih serius alternatif lain pola pemasangan iklan di televisi.
Risiko yang ditimbulkan dari jumlah iklan yang semakin bertambah
tersebut menyebabkan penonton dengan mudah berpindah (zapping)
ke program acara dari stasiun televisi lain. Kondisi ini mendorong
rating program televisi akan menjadi ’anjlog’ (turun drastis) ketika
masuk sesi commercial break (jeda iklan). Menurut data Nielsen
66
Media Research, kecenderungan turunnya rating program televisi
saat tayang dibanding saat jeda iklan sekitar 30-40%.
Dwi Sapta Advertising dalam kurun waktu dua tahun
belakangan ini (2006-2008) sudah mulai mengembangkan konsep
creative media placement sebagai alternatif dari penggunaan pola
tayangan iklan yang bersifat lose spot (iklan produk secara utuh).
Caranya dengan memasukkan unsur materi promosi produk klien
tersebut menjadi bagian dari acara program televisi (built in promo).
Cara seperti ini masih relatif baru, maka belum banyak klien yang
memahaminya sebagai alternatif bentuk penayangan iklan di televisi,
maka pilihan bentuk alternatif strategi pemasaran ini menjadi relevan
ketika dalam perkembangan selanjutnya sedikit demi sedikit mulai
menunjukkan hasil yang cukup baik bagi kepentingan promosi
produk klien.
b. Meningkatkan intensitas dan mutu program komunikasi
perusahaan secara lebih selektif dan fokus terhadap target
prospek klien-klien baru yang potensial (faktor eksternal
peluang nomor 3 dan faktor internal kekuatan perusahaan
nomor 1, 2, 4 dan 8)
Adanya perkembangan teknologi produksi produk telah
membuka peluang yang cukup besar terhadap pengembangan
berbagai produk baru yang lebih sesuai dengan permintaan
konsumen. Munculnya kebutuhan berbagai produk baru tersebut
pada akhirnya dapat memberi kesempatan bagi peningkatan promosi
produk-produk tersebut. Sebagai produk baru yang akan masuk ke
pasar, sudah tentu produsen sangat berkeinginan memperoleh
kesuksesan memasarkan produk tersebut. Oleh karena itu, Dwi Sapta
Advertising harus mampu menangkap peluang pasar tersebut dengan
cara memanfaatkan berbagai kekuatan perusahaan yang relevan
dengan harapan tersebut.
Oleh karena itu, pengelolaan program komunikasi perusahaan
Dwi Sapta Advertising harus diarahkan pada tujuan membuka akses
dan jaringan ke berbagai perusahaan yang akan meluncurkan
67
berbagai produk baru. Dengan lebih fokus pada target sasaran
komunikasi perusahaan seperti ini, diharapkan diperoleh hasil lebih
maksimal, terutama yang berkaitan dengan potensi perolehan klien
baru. Dalam hal ini perlu diperhatikan kejelasan positioning
perusahaan, bukti empiris pengalaman perusahaan dalam menangani
produk, kekuatan infrastruktur pelayanan perusahaan, serta tingkat
harga yang kompetitif (kekuatan internal perusahaan Dwi Sapta
Advertising nomor 1, 2 dan 4).
c. Mengembangkan konsep metodologi penelitian pemasaran dan
periklanan yang lebih sesuai dengan perkembangan pasar dan
tuntutan kebutuhan konsumen (didasarkan pada faktor
eksternal peluang nomor 4 dan faktor internal kekuatan
perusahaan nomor 5 dan 4)
Saat ini, situasi dan dinamika pasar bergerak begitu cepat,
karena
konsumen semakin kritis dan banyak pertimbangan
pembelian produk ikut mengalami perubahan. Perilaku konsumen
tidak dapat diikuti dengan menggunakan asumsi-asumsi berpikir
yang sudah tidak relevan dengan perkembangan jaman dan gaya
hidup yang semakin berkembang. Dalam situasi seperti ini, banyak
produsen yang membutuhkan beragam informasi baru yang selaras
dengan perkembangan dinamika pasar. Hal ini juga berlaku untuk
kepentingan penyusunan berbagai program komunikasi merek dan
produk. Beberapa klien menyadari adanya kecepatan perubahan
tersebut
menginginkan
pengembangan
program
komunikasi
pemasarannya yang harus disesuaikan dengan perkembangan situasi
pasar dan dinamika perilaku konsumen, yang kemudian dikenal
dengan strategi komunikasi pemasaran berbasis consumer insight.
Iklan tidak lagi hanya cukup dikembangkan dari sisi artistika
komunikasi. Untuk itu, diperlukan penyesuaian diri dari sisi
metodologi penelitian pemasaran dan periklanan yang lebih sesuai
dengan perkembangan dinamika pasar dan tuntutan kebutuhan
konsumen.
68
d. Melakukan sinergi kekuatan internal perusahaan dan adaptasi
pola kerja yang dapat diterima oleh kalangan instansi
pemerintahan dan BUMN dalam proyek Social Campaign
(didasarkan pada faktor eksternal peluang nomor 5 dan faktor
internal kekuatan perusahaan nomor 3, 4, 5 dan 6)
Salah satu kontributor yang dapat mendongkrak peningkatan
belanja iklan nasional di tahun 2008 pada saat terjadinya krisis
finansial adalah adanya peningkatan belanja iklan untuk programprogram komunikasi sosial dan politik. Sumber dari programprogram komunikasi sosial tersebut berasal dari berbagai instansi
pemerintah maupun BUMN. Sementara sumber dari programprogram komunikasi politik berasal dari partai politik maupun
pengurus partai politik dan individu perseorangan yang tertarik pada
bidang politik. Nilai belanja iklan dari kedua program tersebut dari
tahun ke tahun mengalami peningkatan cukup besar, sehingga
menjadi sumber baru potensial bagi Dwi Sapta Advertising.
Masalahnya adalah selama ini secara korporat, Dwi Sapta
Advertising jarang atau bahkan tidak pernah bersentuhan dengan
bidang-bidang komunikasi sosial dan politik.
Berdasarkan kekuatan internal yang dimiliki oleh Dwi Sapta
Advertising, maka sangat berpeluang untuk mengambil kesempatan
menangani berbagai proyek komunikasi sosial dan politik tersebut
dengan menyusun adaptasi proses kerja internal yang selaras dengan
mekanisme penanganan program komunikasi sosial dan politik;
mulai dari penyediaan berbagai dokumen persyaratan administratif
pitching (tender), memahami proses dan prosedur pitching (tender)
yang berlaku di instansi pemerintah dan BUMN tersebut, mengikuti
standar dan mekanisme pelaksanaan projek, hingga memahami
bentuk
kewajiban
untuk
menyusun
laporan
perkembangan
penyelesaian pekerjaan. Di atas kertas, hal ini memang tidak mudah
untuk dilakukan secara organisasional ataupun personal, karena
selama ini Dwi Sapta Advertising sudah terbiasa untuk mengikuti
69
proses pitching dan penyelesaian pekerjaan dengan standar dari
perusahaan swasta.
2.2. Rancangan Strategi Pemasaran Berbasis Kekuatan-Ancaman (S-T)
Inti dari strategi S-T adalah strategi yang menggunakan kekuatan
perusahaan untuk mengurangi ancaman yang ada. Fokus dari strategi ini
adalah bagaimana mengidentifikasi, memahami dan mengurangi
berbagai ancaman yang muncul dengan mengandalkan kekuatan
perusahaan yang secara relatif tidak atau belum dimiliki oleh para
pesaing (Tabel 13).
Tabel 13. Perbandingan kekuatan dan ancaman
KEKUATAN (S)
ANCAMAN (T)
1. Nilai jual positioning perusahaan
yang baru (Advertising That Sells
with Style)
2. Citra perusahaan periklanan yang
baik dan terbukti (menghasilkan 9
brand market leader)
3. Terkenal dengan kemampuan
pelayanan yang memuaskan
(profesional dan personal)
4. Infrastruktur bisnis yang lengkap
(creative agency, media specialist,
PH, editing film, brand activation,
dll) dengan harga kompetitif.
5. Proses kerja berbasis ’consumer
insight’ dan fleksibel dari sisi waktu
yang terbatas sekalipun (rush job)
6. Tim kreatif yang lengkap dan multitalented
7. Karakter klien yang relatif loyal dan
masih lebih berorientasi pada target
penjualan.
8. Aktivitas program komunikasi
perusahaan yang sistematis dan
komprehensif (media massa, seminar
bisnis, penerbitan majalah dan buku,
hingga ke forum-forum akademik).
1. Dampak krisis finansial global dan
labilnya kurs rupiah yang berujung pada
penurunan daya beli konsumen dan
budget promosi klien
2. Perkembangan teknologi komunikasi
dan informasi yang bersifat interaktif
(internet based)
3. Sikap klien yang makin cerdas, kritis,
selektif terhadap budget promosi dan
pemilihan media
4. Perkembangan arah dan kebutuhan
promosi klien yang makin kompleks
5. Gaya hidup masyarakat yang diikuti
oleh perubahan aspirasi, kebutuhan, dan
keinginan konsumen sebagai end user.
6. Dampak fenomena ’cheap revolution’
yang berimbas pada ’jor-joran’ perang
tarif agency fee, media fee, supervision
fee, dan lain-lain
7. Eksodus SDM periklanan yang
kompeten dan memiliki hubungan
profesional dan personal yang baik
dengan klien ke pihak pesaing.
8. Regulasi pemerintah yang kurang
kondusif terhadap proses kerja
perusahaan.
Dari berbagai bentuk ancaman pasar di atas, hal tersebut
mengarah kepada 3 (tiga) hal, yaitu
(1) konsumen makin sulit
dipersuasi, karena daya belinya yang makin turun, media habitnya yang
70
berubah, atau gaya hidup dan kebutuhannya yang juga berubah, (2)
mengelola klien semakin berat, baik karena budget promosinya yang
makin turun, keinginan dan kebutuhannya yang makin banyak, atau
sikapnya yang makin selektif dan kritis, serta (3) adanya pengaruh
faktor-faktor eksternal perusahaan yang dapat mempengaruhi proses
kerja internal perusahaan.
Berdasarkan asumsi tersebut, maka dapat disusun rancangan
strategi pemasaran alternatif berbasis kekuatan-ancaman berikut :
a. Mengoptimalkan peran dan fungsi consumer insight sebagai
dasar pengembangan strategi pemasaran, strategi komunikasi,
strategi kreatif, dan strategi pemilihan media yang lebih efektif
dan efisien (didasarkan pada faktor eksternal ancaman nomor 1,
2, 5 dan 6, serta faktor internal kekuatan perusahaan nomor 4, 5
dan 6)
Dampak krisis finansial global yang terjadi pada tahun 2008
diperkirakan akan sangat berpengaruh dan dirasakan oleh konsumen,
terutama dalam hal kemampuan daya belinya. Konsumen akan
menjadi lebih selektif dan memiliki skala prioritas kebutuhan yang
sesuai dengan perubahan tingkat pendapatannya saat ini bila
dibandingkan dengan tingkat kenaikan harga barang. Bahkan,
dimungkinkan akan terjadi pengurangan frekuensi dan intensitas
pembelian produk-produk yang biasa dikonsumsi sebelumnya seperti
diindikasikan oleh hasil survei konsumen AC-Nielsen.
Dalam situasi sulit seperti ini, Dwi Sapta Advertising harus
mampu membaca, memahami, dan memperkirakan arah perubahan
perilaku konsumen tersebut, terutama yang berkaitan dengan bentuk
kebutuhan, tingkat daya beli dan skala prioritasnya. Oleh karena itu,
Dwi Sapta Advertising harus mampu mengoptimalkan peran dan
fungsi departemen risetnya dalam memahami setiap gerak perubahan
perilaku konsumen. Informasi ini tidak hanya terbatas pada
kebiasaan dan pola konsumsi produk, tetapi meliputi perkembangan
kebiasaannya dalam menggunakan media dan trend gaya hidup yang
dimiliki konsumen saat ini. Berdasarkan informasi-informasi
71
tersebut, maka kebutuhan penyusunan strategi bisnis, komunikasi,
kreatif, maupun media diharapkan akan menjadi lebih efektif dan
efisien.
b. Melakukan konsolidasi organisasi untuk dapat menghasilkan
efisiensi biaya operasi, pengembangan konsep materi dan biaya
produksi yang akan dibebankan kepada klien (faktor eksternal
ancaman nomor 1, 3 dan 6, serta faktor internal kekuatan
perusahaan nomor 3 dan 4)
Selain memberi dampak pada konsumen, krisis finansial
global tahun 2008 juga memberi pengaruh kepada klien, terutama
pada bentuk penurunan budget promosi produk. Dengan budget
promosi yang lebih terbatas, klien tetap memberikan standar target
penjualan maupun target pengembangan citra merek tertentu seperti
pada kondisi biasanya. Oleh karena itu, Dwi Sapta Advertising harus
melakukan konsolidasi organisasi untuk menata ulang proses kerja
dan restrukturisasi biaya operasi, pengembangan konsep materi,
hingga biaya produksi yang akan dibebankan kepada klien.
Tujuannya untuk memperoleh biaya dan harga yang lebih efisien dan
kompetitif, terutama dalam situasi dan kondisi keuangan klien yang
makin terbatas di situasi krisis seperti ini dengan tidak mengurangi
aspek mutu pada output pekerjaan yang dilakukan.
c. Mempertegas sistem proteksi klien secara korporat dan
menjadikan Dwi Sapta Advertising sebagai perusahaan adaptif
terhadap perubahan (faktor eksternal ancaman nomor 7 dan 8
serta faktor internal kekuatan perusahaan nomor 1, 2, 3 dan 8)
Seringkali hubungan klien dan agency sangat bertumpu pada
personal individu yang sehari-hari terlibat dalam kerjasama tersebut.
Artinya, hubungan bisnis tersebut akan sangat dipengaruhi oleh
tingkat kedekatan secara personal dari orang-orang yang terlibat,
baik dari perusahaan klien maupun dari perusahaan periklanannya itu
sendiri, sehingga bila salah satu dari orang yang terlibat dalam
kerjasama bisnis tersebut suatu saat tidak lagi bekerja di perusahaan
asalnya, baik dari perusahaan klien maupun agency, sehingga
72
kerjasama bisnis tersebut menjadi bubar. Bila Brand Manager yang
keluar, maka penggantinya akan memiliki peluang untuk mengganti
agency. Demikian pula bila orang agency yang keluar, maka orang
tersebut memiliki peluang untuk membawa klien tersebut ke tempat
agency yang baru. Inilah kondisi kerjasama bisnis antara klienagency yang sangat kuat dipengaruhi oleh kedekatan secara personal
dari masing-masing orang yang terlibat. Oleh karena itu, Dwi Sapta
Advertising perlu merumuskan suatu sistem proteksi klien yang
dapat memperkuat bentuk loyalitas klien secara korporat dan bukan
secara personal.
Di sisi lain, Dwi Sapta Advertising harus menempatkan diri
sebagai perusahaan yang adaptif terhadap perubahan apapun yang
berasal dari lingkungan luar perusahaan, misalnya perubahan
regulasi pemerintah di bidang periklanan. Contoh dari bentuk
regulasi pemerintah yang relevan adalah ketentuan larangan
menggunakan SDM asing dalam proses produksi iklan dan ketentuan
perpajakan yang berkaitan dengan proses produksi iklan.
2.3. Rancangan Strategi Pemasaran Berbasis Kelemahan-Peluang (W-O)
Inti dari strategi W-O adalah strategi yang berupaya mengurangi
berbagai kelemahan perusahaan untuk tetap dapat memperoleh peluang
yang ada. Fokus dari strategi ini adalah bagaimana menjadikan berbagai
kelemahan yang dimiliki Dwi Sapta Advertising dibanding kekuatan
yang dimiliki pesaing untuk tetap dapat memperoleh peluang pasar yang
ada secara maksimal (Tabel 14).
Berbagai bentuk kelemahan Dwi Sapta Advertising di atas,
mengarah kepada 3 (tiga) hal : (1) citra perusahaan yang relatif telah
membatasi ruang gerak bisnis perusahaan (hard sell advertising agency),
(2) proses kerja dan sistem manajemen perusahaan yang kurang kondusif
untuk persaingan bisnis periklanan secara profesional, serta (3) mutu
output strategi bisnis dan kreatif iklan yang belum maksimal.
73
Tabel 14. Perbandingan kelemahan dan peluang
KELEMAHAN (W)
PELUANG (O)
1. Brand Dwi Sapta telah cukup kuat
dipersepsi oleh konsumen (calon
klien) sebagai agency ‘hard sells’
2. Mutu output kreatif yang
dihasilkan masih dianggap terlalu
kuat (kental/menonjol) sisi
teknisnya dibanding kekuatan
konsep idenya
3. Sentralisasi proses pengambilan
keputusan bisnis masih dominan
bertumpu di tangan Presdir
4. Orientasi budaya perusahaan yang
menempatkan posisi klien
’powerfull’, menjadi kendala
operasional
5. Etos dan cara kerja yang sudah 25
tahun terbentuk sebagai
profesional periklanan berorientasi
pada penjualan masih cukup kuat
sebagai ’barrier’ untuk transisi ke
pendekatan ”Advertising That
Sells with Style”
6. Belum adanya standarisasi yang
baku dalam pola pengembangan
komunikasi produk dan merek
klien
1. Trend pertumbuhan industri periklanan
cukup nyata (‘double digit’)
berdasarkan pengeluaran belanja iklan
nasional
2. Trend perkembangan industri media
(program TV) yang membuka peluang
perkembangan built in promo (creative
media)
3. Perkembangan teknologi produksi
berbagai produk yang pada akhirnya
banyak melahirkan berbagai produk
baru yang membutuhkan promosi
4. Berkembangnya kesadaran dan
kebutuhan klien untuk membuat
program komunikasi produk, merek
yang lebih sistematis dan berbasis
’consumer insight’
5. Terbukanya kesempatan untuk ikut
dalam proses pitching (tender) social
campaign yang berasal dari instansi
pemerintah maupun BUMN
6. Adanya testimoni dari beberapa klien
yang merasa puas dengan kinerja
perusahaan maupun yang terekspos
dari salah satu program komunikasi
perusahaan (buku, majalah, seminar,
dll)
Berdasarkan asumsi tersebut, maka dapat disusun rancangan
strategi pemasaran alternatif berbasis kelemahan-peluang berikut :
a. Mengembangkan strategi dan implementasi berbagai program
komunikasi perusahaan Dwi Sapta Advertising sebagai
perusahaan periklanan ’multi-tasking’ yang membuat iklan yang
bersifat hard sell maupun image building (faktor eksternal
peluang nomor 1, 3 dan 5 serta faktor internal kelemahan
perusahaan nomor 1)
Selama ini gaya pendekatan iklan Dwi Sapta Advertising
lebih mengarah kepada bentuk iklan hard sell. Hal ini lebih banyak
dipengaruhi oleh karakteristik klien-klien
yang dipegangnya
merupakan produk baru dan berasal dari kategori produk fast moving
consumer product (FMCG). Di sisi lain, para pemilik produk-produk
tersebut pada mulanya masih belum memiliki budget anggaran iklan
74
yang besar. Kondisi ini yang mendorong Dwi Sapta Advertising
lebih condong memilih untuk menggunakan pendekatan iklan hard
sell tersebut selama lebih dari 25 tahun.
Posisi citra perusahaan seperti ini pada akhirnya bersifat
dilematis. Di satu sisi, semakin memperkuat daya tawar perusahaan
terhadap
berbagai
klien
potensial
yang
memang
memiliki
karakteristik dan kondisi yang sama dengan klien-klien Dwi Sapta
Advertising selama ini. Namun, di sisi lainnya dapat menjadi barrier
(halangan) bagi kepentingan untuk melakukan prospek kepada klienklien potensial lainnya yang memiliki karakteristik, kebutuhan dan
kondisi berbeda (produknya lebih mengarah sebagai produk gaya
hidup atau life style atau klien yang lebih menekankan pendekatan
yang lebih high image, termasuk klien-klien potensial dari kategori
social campaign (instansi pemerintahan dan BUMN). Oleh karena
itu, kebutuhan terhadap pengembangan strategi dan implementasi
berbagai program komunikasi perusahaan menjadi sangat penting
dan relevan untuk dilakukan, terutama pada bentuk edukasi tentang
Dwi Sapta Advertising sebagai perusahaan periklanan ’multi-tasking’
(mengerjakan berbagai iklan untuk memenuhi kebutuhan apapun,
bagi jenis klien manapun, dengan menggunakan pendekatan apapun).
b. Melakukan upgrading kemampuan tim kreatif dari sisi
penyusunan strategi dan pengembangan konseptual komunikasi
pemasaran dan periklanan yang lebih sistematik dalam
mengelola merek produk klien (faktor eksternal peluang nomor
4 dan 5 serta faktor internal kelemahan perusahaan nomor 2, 5
dan 6)
Seiring dengan perjalanan waktu, kerjasama bisnis antara
Dwi Sapta Advertising dan klien-kliennya telah memasuki ke fase
lanjutan dengan generasi kedua dari tim manajemen perusahaan
klien. Kondisi ini memberikan konsekuensi tersendiri bagi Dwi
Sapta Advertising karena manajemen perusahaan klien dari generasi
kedua ini merupakan orang-orang yang memiliki latar belakang
pendidikan tinggi (bahkan sebagian besar ditempuh di luar negeri),
75
bersikap lebih kritis dan rasional, serta memiliki visi dan misi bisnis
yang jauh ke depan. Oleh karena itu, keinginan dan kebutuhan yang
dimilikinya juga berbeda, terutama yang berkaitan dengan kegiatan
promosi produk yang tidak hanya berorientasi jangka pendek
menyangkut
target
penjualan
produk
(hard
sell),
namun
mempertimbangkan aspek kebutuhan jangka panjang (manajemen
merek produk).
Implikasi dari adanya pergeseran bentuk permintaan dan
kebutuhan klien yang seperti ini, pada akhirnya menuntut Dwi Sapta
Advertising untuk mulai berpikir lebih konseptual dan strategik
dalam merancang berbagai iklan dan kebutuhan promosi produk
klien. Untuk memenuhi perkembangan bentuk permintaan dan
kebutuhan promosi produk klien yang seperti itu, Dwi Sapta
Advertising harus melakukan up grading kemampuan tim kreatifnya,
terutama dari sisi penyusunan strategi dan pengembangan konseptual
komunikasi pemasaran dan periklanan yang lebih sistematis dalam
mengelola merek produk klien. Selain itu, target dari program
upgrading kemampuan tim kreatif ini juga diarahkan untuk
memberikan bekal dan wawasan baru untuk lebih memahami
karakteristik bentuk program social campaign yang berasal dari
instansi pemerintahan dan BUMN, terutama yang menyangkut pada
pilihan
pendekatan
komunikasi
sosial
yang digunakan
dan
pemahaman tentang berbagai prosedur tender (pitching) yang
berbeda dengan klien-klien selama ini.
c. Menyusun kebijakan perusahaan yang lebih memberdayakan
dan mengatur porsi tanggungjawab dan kewenangan anggota
Board of Director secara proporsional (didasarkan pada faktor
eksternal peluang nomor 1, 2, 3, 4 dan 5, serta faktor internal
kelemahan perusahaan nomor 3 dan 4)
Secara historis hubungan kerjasama bisnis antara Dwi Sapta
Advertising dan klien-kliennya cenderung lebih banyak berasal dari
hubungan personal antar pemilik perusahaan. Dalam struktur
organisasi Dwi Sapta Advertising, posisi pemilik perusahaan secara
76
operasional
merangkap sekaligus sebagai President Director
(Presdir). Kondisi-kondisi inilah yang menyebabkan posisi Presdir
menjadi ’tokoh sentral’ dari berbagai keputusan strategis bisnis
perusahaan.
Sentralisasi proses pengambilan keputusan yang cenderung
dominan masih berada di tangan Presdir ini pada akhirnya
menyebabkan kurang berfungsinya peran dan tanggungjawab
anggota Board of Director (BOD) lainnya, terutama dalam
menyikapi berbagai perubahan dan perkembangan situasi persaingan
bisnis periklanan yang terjadi. Posisi Presdir yang dominan dalam
berbagai pengambilan keputusan strategik bisnis perusahaan ini
semakin menjadi kendala internal manajemen perusahaan, ketika
mempertimbangkan hubungan kerjasama bisnis dengan klien-klien
yang bersifat personal. Dalam praktek sehari-hari, klien kadang
melakukan ’by pass’ untuk langsung melakukan negosiasi bisnis
dengan Presdir, terutama ketika menyangkut kepentingan yang
dirasakan akan ’mentok’ ketika berhadapan dengan anggota BOD
lainnya, misal menawar harga atau biaya jasa layanan perusahaan
tertentu yang lebih diinginkan oleh klien.
2.4. Rancangan Strategi Pemasaran Berbasis Kelemahan-Ancaman (W-T)
Inti dari strategi W-T adalah strategi yang berupaya mengurangi
berbagai kelemahan perusahaan untuk menghadapi berbagai ancaman
yang ada. Kelemahan-kelemahan perusahaan tersebut dianggap sebagai
tambahan beban bagi perusahaan ketika menghadapi berbagai ancaman
yang muncul dari luar perusahaan (Tabel 15).
Kelemahan-kelemahan
internal
perusahaan
tersebut
bila
dihubungkan dengan berbagai bentuk ancaman yang berasal dari luar
perusahaan, maka secara tidak langsung mengarahkan Dwi Sapta
Advertising mengambil kebijakan bisnis yang melibatkan pihak lain
(mitra bisnis) yang memiliki potensi kekuatan untuk menutupi berbagai
77
kelemahan internal perusahaan dalam menghadapi ancaman-ancaman
yang ada.
Tabel 15. Perbandingan kelemahan dan ancaman
KELEMAHAN (W)
ANCAMAN (T)
1. Brand Dwi Sapta cukup kuat
dipersepsi oleh konsumen (calon
klien) sebagai agency ‘hard sells’
2. Mutu output kreatif yang
dihasilkan terlalu kuat
(kental/menonjol) sisi teknisnya,
dibandingkan kekuatan konsep
idenya
3. Sentralisasi proses pengambilan
keputusan bisnis masih dominan
di tangan Presdir
4. Orientasi budaya perusahaan
yang menempatkan posisi klien
”powerfull’, sering menjadi
kendala operasional
5. Etos dan cara kerja yang sudah 25
tahun terbentuk sebagai
profesional periklanan
berorientasi pada penjualan masih
cukup kuat, sehingga menjadi
’barrier’ untuk transisi ke
pendekatan ”Advertising That
Sells with Style”
6. Belum adanya standarisasi yang
baku dalam pola pengembangan
komunikasi produk dan merek
klien
1. Dampak krisis finansial global dan
labilnya kurs rupiah yang berujung
pada penurunan daya beli
konsumen dan budget promosi
klien
2. Perkembangan teknologi
komunikasi dan informasi yang
bersifat interaktif (internet based)
3. Sikap klien yang makin cerdas,
kritis, selektif terhadap budget
promosi dan pemilihan media
4. Perkembangan arah dan kebutuhan
promosi klien yang makin
kompleks
5. Gaya hidup masyarakat yang
diikuti oleh perubahan aspirasi,
kebutuhan dan keinginan
konsumen sebagai end user.
6. Dampak fenomena ’cheap
revolution’ berimbas pada ’jorjoran’ perang tarif agency fee,
media fee, supervision fee, dan
lain-lain
7. Eksodus SDM periklanan yang
kompeten dan memiliki hubungan
profesional dan personal yang baik
dengan klien ke pihak pesaing.
8. Regulasi pemerintah yang kurang
kondusif terhadap proses kerja
perusahaan
Berdasarkan
asumsi
tersebut,
disusun
rancangan
strategi
pemasaran alternatif berbasis kelemahan-ancaman berikut :
a. Mengembangkan kebijakan sindikasi projek bisnis belanja
media dan pengembangan program komunikasi pemasaran
dengan perusahaan lain yang lebih kuat (faktor eksternal
ancaman nomor 2, 3, 4 dan 5 serta faktor internal kelemahan
perusahaan nomor 1 dan 2)
Dampak krisis finansial global memang masih harus dihadapi
oleh klien dan konsumen. Dari sisi klien, dampaknya terasa bagi Dwi
Sapta Advertising dalam hal penurunan budget anggaran promosi
78
produk yang ujung-ujungnya berpotensi menyebabkan turunnya
pendapatan perusahaan. Sementara dari sisi konsumen, lebih
mengarah kepada penurunan kemampuan daya beli yang membuat
usaha untuk melakukan persuasi konsumen menjadi lebih berat. Oleh
karena itu, Dwi Sapta Advertising harus berani mengambil keputusan
untuk mencari dan menemukan partner bisnis dari perusahaan lain
untuk menghadapi berbagai bentuk ancaman yang berasal dari luar
tersebut. Misalnya, mengembangkan kebijakan sindikasi proyek
bisnis dalam hal belanja media promosi produk klien dengan cara
’menggandeng’ berbagai stasiun televisi, media cetak, ataupun radio
siaran. Bentuk sindikasi bisnis yang bisa ditawarkan oleh Dwi Sapta
Advertising adalah ’bundling campaign’ beberapa produk klien untuk
memperoleh ’paket harga khusus’ yang diberikan oleh berbagai media
tersebut.
Bentuk sindikasi proyek bisnis lainnya adalah mengajak
perusahaan lain yang bergerak di bidang brand activation untuk
secara bersama-sama terlibat menangani berbagai proyek promosi
yang diberikan klien untuk memiliki budget kegiatan terbatas.
Dengan cara seperti ini, klien-klien Dwi Sapta Advertising yang
memiliki keterbatasan budget promosi akan tetap dapat melakukan
aktivitas promosi produknya secara maksimal, baik dari sisi belanja
media maupun dari sisi kebutuhan program komunikasi pemasaran
lainnya, misalnya program brand activation. Sementara manfaat dan
keuntungan bagi Dwi Sapta Advertising sendiri adalah tetap dapat
memberikan pelayanan kepada klien-kliennya dengan baik.
b. Mengembangkan kebijakan proteksi karyawan berbasis
kesejahteraan,
pengembangan
karir
profesional
dan
kenyamanan lingkungan kerja (faktor eksternal ancaman nomor
7, serta faktor internal kelemahan perusahaan nomor 3, 4 dan 5)
Dalam bisnis jasa periklanan, SDM adalah aset perusahaan
yang sangat vital. Terlebih, bila SDM tersebut sudah sangat
memahami kebutuhan, keinginan, harapan dan memiliki ’chemistry’
yang cocok dengan klien. Dalam kondisi hubungan bisnis seperti itu,
79
seringkali kepindahan SDM dari sebuah perusahaan periklanan
diikuti dengan berpindahnya klien-klien yang dikelola SDM
bersangkutan ke tempat perusahaan baru dimana SDM tersebut
bekerja.
Oleh
mengembangkan
karena
itu,
kebijakan
Dwi
Sapta
proteksi
Advertising
karyawan
perlu
berbasis
kesejahteraan, pengembangan karir profesional dan kenyamanan
lingkungan kerja. Dari sisi kesejahteraan, tentu dapat dilihat dari
besaran tingkat gaji dan berbagai fasilitas lainnya sesuai dengan
standar ’harga pasaran’ dari posisi karyawan tersebut. Sementara dari
sisi pengembangan karir profesional dapat dilihat dari kebijakan dan
proses pengembangan kompetensi karyawan yang dikaitkan dengan
kepastian kenaikan jenjang karir profesional karyawan tersebut. Hal
lain yang harus diperhitungkan adalah kenyamanan lingkungan
kerja, mulai dari kejelasan prosedur dan alur pekerjaan, job
description, ruang kerja dan fasilitas kerja yang ada, kecocokan nilainilai dan budaya perusahaan, serta pola kerjasama yang melibatkan
karyawan lainnya dalam satu tim.
E. Implementasi Strategi Pemasaran
Berdasarkan hasil analisis SWOT yang telah dilakukan dan formulasi
berbagai alternatif strategi pemasaran yang digunakan, maka langkah
selanjutnya memilih, menentukan dan mengimplementasikan berbagai strategi
pemasaran tersebut. Sebagai bahan awal pada Tabel 16 dan 17 disajikan hasil
rekapitulasi formulasi alternatif strategi pemasaran.
Tabel 16. Strategi pemasaran berbasis kekuatan perusahaan
STRENGTHS – OPPORTUNITIES
STRENGHTS - THREATS
1. Memperkuat konsep dan strategi 1. Mengoptimalkan peran dan fungsi
pengembangan creative media
consumer insight sebagai dasar
placement dari sisi nilai manfaat
pengembangan strategi pemasaran,
dan
efektivitasnya
sebagai
strategi komunikasi, strategi kreatif,
alternatif bentuk promosi klien
dan strategi pemilihan media yang lebih
(faktor eksternal peluang nomor 2
efektif dan efisien (faktor eksternal
dan faktor internal kekuatan
ancaman nomor 1, 2, 5 dan 6, serta
perusahaan nomor 4 dan 5)
faktor internal kekuatan perusahaan
nomor 4, 5 dan 6)
80
Lanjutan Tabel 16.
STRENGTHS – OPPORTUNITIES
2. Meningkatkan intensitas dan mutu
program
komunikasi
perusahaan
secara lebih selektif dan fokus
terhadap target prospek klien-klien
baru yang potensial (faktor eksternal
peluang nomor 3 dan faktor internal
kekuatan perusahaan nomor 1, 2, 4 dan
8)
3. Mengembangkan konsep penelitian
pemasaran dan periklanan yang lebih
sesuai dengan perkembangan pasar dan
tuntutan kebutuhan konsumen (faktor
eksternal peluang nomor 4 dan faktor
internal kekuatan perusahaan nomor 5
dan 4)
4. Melakukan sinergi kekuatan internal
perusahaan dan adaptasi pola kerja
yang dapat diterima oleh kalangan
instansi pemerintahan dan BUMN
dalam proyek Social Campaign (faktor
eksternal peluang nomor 5 dan faktor
internal kekuatan perusahaan nomor 3
STRENGHTS - THREATS
2. Melakukan konsolidasi organisasi
untuk menghasilkan efisiensi
biaya operasi, pengembangan
konsep materi dan biaya produksi
yang akan dibebankan kepada
klien (faktor eksternal ancaman
nomor 1, 3 dan 6 serta faktor
internal kekuatan perusahaan
nomor 3 dan 4)
3. Mempertegas sistem proteksi
klien secara korporat dan
menjadikan
Dwi
Sapta
Advertising sebagai perusahaan
adaptif
terhadap
perubahan
(faktor eksternal ancaman nomor
7 dan 8, serta faktor internal
kekuatan perusahaan nomor 1, 2,
3 dan 8)
Tabel 17. Strategi pemasaran berbasis kelemahan perusahaan
WEAKNESSES - OPPORTUNITIES
WEAKNESSES – THREATS
1. Mengembangkan strategi dan implementasi 1. Mengembangkan kebijakan
berbagai program komunikasi perusahaan
sindikasi proyek bisnis belanja media dan pengembangan
Dwi Sapta Advertising sebagai perusahaan
periklanan’multi-tasking’ dan ‘hard sell’
program komunikasi pemamaupun image building (faktor eksternal
saran dengan perusahaan lain
yang lebih kuat (faktor
peluang nomor 1, 3 dan 5, serta faktor
internal kelemahan perusahaan nomor 1)
eksternal ancaman nomor 2,
3, 4 dan 5, serta faktor
2. Melakukan upgrading kemampuan tim
internal kelemahan perusahakreatif dari sisi penyusunan strategi dan
an nomor 1 dan 2)
pengembangan
konseptual
komunikasi
pemasaran dan periklanan yang lebih 2. Mengembangkan kebijakan
proteksi karyawan berbasis
sistematis dalam mengelola merek produk
kesejahteraan, pengembangan
klien (faktor eksternal peluang nomor 4 dan
karir profesional, serta ke5, serta faktor internal kelemahan
perusahaan nomor 2, 5 dan 6)
nyamanan lingkungan kerja
(faktor eksternal ancaman
3. Menyusun kebijakan perusahaan yang lebih
nomor 7, serta faktor internal
memberdayakan dan mengatur porsi
kelemahan perusahaan nomor
tanggungjawab dan kewenangan anggota
BOD secara proporsional (faktor eksternal
3, 4 dan 5)
peluang nomor 1, 2, 3, 4 dan 5, serta faktor
internal kelemahan perusahaan nomor 3 dan
4)
81
Berdasarkan hasil rekapitulasi formulasi alternatif strategi pemasaran
tersebut dipilih beberapa strategi yang dapat diterapkan oleh Dwi Sapta
Advertising sesuai dengan matrik posisi perusahaan (EFE/EFAS = 2,39 dan
IFE/IFAS = 2,81) dalam mendukung dan menerapkan strategi pertumbuhan
dan stabilitas (konsentrasi dengan integrasi horizontal). Bentuk strategi
pertumbuhan perusahaan yang dikembangkan oleh Dwi Sapta Advertising
lebih diarahkan dengan cara menjaga stabilitas proses bisnis yang selama ini
dilakukan, terutama mengandalkan pengelolaan klien-klien yang sekarang
ini sudah dimiliki secara maksimal.
Dalam praktek di lapangan, strategi ini dilakukan dengan
menekankan fokus perhatian yang lebih besar kepada pelayanan berbagai
kebutuhan promosi kepada klien-klien yang saat ini dimilikinya. Dengan
demikian, sumber pendapatan perusahaan (billing) sangat bertumpu pada
kemampuan Dwi Sapta Advertising untuk menawarkan berbagai program
promosi yang dapat dimanfaatkan oleh klien-klien tersebut. Kebijakan dan
strategi seperti ini secara internal Dwi Sapta Advertising dikenal “berburu di
kebun binatang sendiri”. Artinya, Dwi Sapta Advertising tidak akan terlalu
agresif untuk mencari dan mendapatkan klien-klien yang baru sebagai
sumber pendapatan perusahaannya (billing). Dengan “berburu di kebun
binatang sendiri”, maka energi dan kemampuan perusahaan untuk
memperoleh sumber pendapatan perusahaan akan lebih fokus digunakan
dalam memberikan pelayanan secara maksimal, agar klien-klien yang
sekarang ini sudah dimiliki tetap atau malah menambah belanja iklannya ke
Dwi Sapta Advertising.
Bentuk operasional dari kebijakan dan strategi ini adalah :
i. Strategi Produk
Produk dari Dwi Sapta Advertising adalah jasa layanan berbagai
kebutuhan promosi produk, mulai dari pengembangan konsep iklan,
produksi materi iklan, hingga penayangan berbagai materi iklan tersebut
melalui media massa. Selama ini, pendekatan komunikasi iklan yang
digunakan oleh Dwi Sapta Advertising lebih bersifat “hard sell”
merupakan sumber kekuatan utama konsep produk Dwi Sapta
82
Advertising dari sisi pengembangan konsep iklan. Selain itu, dalam
proses produksi materi iklan yang dilakukan juga memiliki keunggulan
dari sisi delivery pekerjaan yang sanggup relatif lebih cepat
dibandingkan dengan kompetitor. Sementara dari sisi penayangan
berbagai materi iklan melalui media juga memiliki konsep ‘creative
media placement’ yang sangat dapat diandalkan sebagai solusi dari
makin menurunnya rating penonton televisi pada saat jeda iklan. Ketiga
hal tersebut (advertising that sells, fast delivery dan creative media
placement)
ketika
dilengkapi
dengan
kemampuan
memberikan
pelayanan yang terbaik (excellent service) semakin membentuk USP
(Unique Selling Preposition) konsep produk layanan promosi Dwi Sapta
Advertising.
Saat ini USP konsep produk seperti itu tidak lagi cukup
memadai, terutama ketika berhadapan dengan kondisi situasi ekonomi
yang masih terkena dampak krisis finansial global dan meningkatnya
kompleksitas bentuk promosi produk klien yang tidak lagi hanya sebatas
jasa periklanan, tetapi mulai menuntut layanan pengembangan strategi
bisnis, pemasaran, komunikasi, hingga program brand activation. Oleh
karena itu, Dwi Sapta Advertising harus mampu menyesuaikan konsep
USP produk yang dimilikinya sesuai dengan perkembangan tuntutan dan
kebutuhan pasar (konsumen dan klien) tersebut.
Dari sisi proses pengembangan konsep iklan, pendekatan hard
sell yang selama ini sudah menjadi trade mark Dwi Sapta Advertising
harus dipadukan dengan mempertimbangkan juga bentuk tuntutan
perkembangan dan kompleksitas kebutuhan promosi produk klien.
Konsekuensinya, Dwi Sapta Advertising harus mulai melakukan transisi
untuk menggunakan pengembangan konsep iklan yang baru berorientasi
pada ”advertising that sells with style” (mempertahankan aspek kekuatan
hard sell dan melengkapinya dengan style/gaya baru kemasan beriklan).
Sementara dari sisi proses produksi materi iklan, Dwi Sapta Advertising
harus mampu melakukan penataan ulang sistem kerja dan konsolidasi
antar bagian yang terlibat, sehingga menghasilkan kecepatan yang lebih
83
tinggi lagi dalam proses produksi matriks iklan. Sedangkan dari sisi
proses penayangan berbagai materi iklan melalui media massa akan
lebih diarahkan kepada pengembangan lebih lanjut bentuk strategi
’creative media placement’ yang lebih sesuai dengan kondisi dan situasi
yang sedang dihadapi oleh klien-klien Dwi Sapta Advertising.
ii. Strategi Harga
Permasalahan utama yang banyak dihadapi oleh klien dalam
situasi ekonomi masih sulit seperti ini adalah kebutuhan untuk
melakukan efisiensi budget promosi produk. Kondisi ini memang
menjadi suatu hal yang sangat dilematis. Di satu sisi, klien harus
melakukan efisiensi budget promosi, sementara di sisi konsumen harus
lebih diintensifkan komunikasinya agar tetap dapat membeli produk
meski dalam situasi sulit. Oleh karena itu, Dwi Sapta Advertising harus
mengembangkan strategi harga yang dapat mempertimbangkan kondisikondisi tersebut.
Dalam prakteknya, bentuk strategi harga yang dikembangkan oleh
Dwi Sapta Advertising dalam menghadapi situasi bisnis seperti itu
diarahkan kepada 2 (dua) bentuk, yaitu (1) strategi efisiensi harga dalam
proses pengembangan dan produksi materi iklan dan (2) strategi efisiensi
harga dalam proses penayangan berbagai materi iklan di media massa.
Strategi harga yang pertama lebih diarahkan kepada kebijakan evaluasi
bentuk struktur biaya dalam proses pengembangan dan produksi materi
iklan. Selain itu dilakukan kebijakan efisiensi, dimana Dwi Sapta
Advertising bersedia melakukan negosiasi ulang besaran tingkat creative
agency fee (biaya pengembangan dan produksi materi iklan) yang
dibebankan kepada klien selama ini. Tujuannya adalah agar klien
merasakan manfaat dan dukungan yang lebih nyata untuk tetap
melakukan berbagai aktivitas program promosi produknya. Sementara
bentuk strategi harga yang kedua lebih diarahkan kepada kebijakan
sindikasi bisnis projek penayangan iklan di media. Dalam prakteknya,
Dwi Sapta Advertising akan melakukan pendekatan kepada para media
untuk bersedia mengembangkan paket-paket khusus dalam hal
84
penayangan iklan di media yang lebih memberikan insetif, diskon dan
bonus yang lebih menguntungkan bagi klien.
iii. Strategi Distribusi
Tujuan utama dari strategi distribusi adalah memberikan peluang,
saluran dan kesempatan agar produk layanan jasa yang diberikan Dwi
Sapta Advertising benar-benar sampai ke tangan klien, terutama yang
berkaitan dengan informasi berbagai kebijakan baru tentang produkproduk layanan promosi yang telah dikembangkan. Mengingat lokasi
keberadaan perusahaan klien-klien Dwi Sapta Advertising relatif tidak
begitu jauh (sebagian besar di Jakarta dan sekitarnya), maka strategi
distribusi yang dilakukan tidak banyak mengalami perubahan, yaitu
melalui Tim Client atau Account Service (yang selama ini berhubungan
secara operasional dengan pihak klien).
Dalam strategi distribusi yang dikembangkan kali ini melibatkan
pihak Top Management Dwi Sapta Advertising secara kolektif. Artinya,
pihak Top Management Dwi Sapta Advertising (President Director dan
atau anggota BOD lainnya) secara aktif ikut serta, terjun langsung dan
mendampingi tim Client atau Account Service, ketika menjelaskan
berbagai perubahan kebijakan bisnis yang berkaitan dengan produk
layanan dan fasilitas baru yang akan ditawarkan kepada klien, khususnya
yang dapat digunakan dalam menghadapi situasi bisnis yang sulit
sekarang ini.
Selain dengan strategi distribusi seperti ini, Dwi Sapta
Advertising juga mengembangkan strategi distribusi dalam bentuk
kegiatan “TV Day”, terutama yang berkaitan dengan konsep produk dan
fasilitas baru dalam hal penayangan materi iklan di media. Dalam
kegiatan “TV Day” ini, pihak Dwi Sapta Advertising bekerjasama
dengan para pengelola program dari berbagai stasiun televisi yang
mempresentasikan berbagai alternatif paket program promosi melalui
televisi dengan segala insentif, diskon dan bonus yang dapat dinikmati
oleh klien.
85
iv. Strategi Promosi
Selama ini kegiatan promosi perusahaan Dwi Sapta Advertising
sudah
dilakukan
dalam
berbagai
bentuk
program
komunikasi
perusahaan. Hanya saja, pelaksanaan berbagai program promosi produk
dan layanan tersebut masih belum dilakukan secara sistematis dan
memiliki arah tujuan yang jelas. Oleh karena itu, Dwi Sapta Advertising
perlu memikirkan, merancang dan menyusun kebijakan dan strategi
program promosi perusahaan yang lebih terintegrasi, fokus dan
komprehensif.
Berkaitan dengan kebutuhan terhadap kebijakan dan strategi promosi
perusahaan yang seperti ini, Dwi Sapta Advertising perlu melakukan kajian
lebih mendalam tentang arah kebijakan perusahaan, terutama yang dibentuk
menjadi visi dan misi perusahaan di masa mendatang. Kebijakan inilah yang
akan
menjadi
dasar
pertimbangan
dan
sumber
rujukan
dalam
mengembangkan strategi promosi perusahaan Dwi Sapta Advertising.
Dalam praktek operasionalnya, strategi promosi perusahaan melibatkan
berbagai unsur yang bersifat sinergis (media massa, klien yang sudah ada,
kampus, asosiasi profesi, dan sebagainya) dalam membangun, memperkuat
citra dan reputasi perusahaan Dwi Sapta Advertising. Selain itu, secara
materi dan pendekatan gaya komunikasinya perlu disesuaikan, terutama
dalam membangun citra dan reputasi perusahaan periklanan dengan
pendekatan “advertising that sells with style”.
Hal-hal yang telah diuraikan sebelumnya, ditindaklanjuti dengan
analisis QSPM menurut tingkat kemenarikan masing-masing strategi, maka
diperoleh hasil seperti pada Tabel 18.
86
Tabel 18. QSPM
Critical
Success factors
Bobot
(a)
PELUANG
Tren pertumbuhan industri
periklanan
Trend perkembangan industri
media
Perkembangan teknologi produksi
Perkembangan kesadaran klien
untuk berpromosi
Kesempatan untuk ikut pitching
social campaign
Adanya testimony positif dari
klien yang puas
ANCAMAN
Dampak krisis finansial global dan
labilnya kurs
Perkembangan teknologi
komunikasi-informasi
Sikap klien yang makin cerdas,
kritis dan selektif
Perkembangan arah dan kebutuhan
promosi klien
Perubahan gaya hidup masyarakat
Dampak fenomena ’cheap
revolution’
Eksodus SDM periklanan kompeten
Regulasi pemerintah kurang
kondusif
KEKUATAN
Nilai jual positioning perusahaan
yang baru
Citra perusahaan periklanan yang
baik dan terbukti
Terkenal dengan kemampuan
pelayanan baik
Infrastruktur bisnis yang lengkap
dan harga kompetitif
Proses kerja berbasis ’consumer
insight’
Tim kreatif lengkap dan multitalented
Karakter klien relatif loyal
Aktivitas program komunikasi
perusahaan
KELEMAHAN
Brand Dwi Sapta dipersepsi ‘hard
sells’
Mutu output kreatif dianggap
terlalu teknis
Sentralisasi proses pengambilan
keputusan bisnis
Strategi
Pertumbuhan
Intensif
(b)
(axb)
Strategi
Pertumbuhan
Integratif
(c)
(axc)
Strategi
Pertumbuhan
Diversifikasi
(d)
(axd)
-
-
-
-
-
-
-
0,11
3
0,33
4
0,44
3
0,33
0,05
0,07
3
3
0,15
0,21
2
3
0,10
0,21
3
3
0,15
0,21
0,07
3
0,21
4
0,28
3
0,21
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
0,09
2
0,18
2
0,18
2
0,18
-
-
-
-
-
-
-
0,09
3
0,27
3
0,27
3
0,27
0,02
2
0,04
1
0,02
1
0,02
0,05
2
0,10
2
0,10
2
0,10
0,06
3
0,18
3
0,18
3
0,18
-
-
-
-
-
-
-
0,08
3
0,24
4
0,32
3
0,24
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
0,06
3
0,18
3
0,18
2
0,12
0,09
2
0,18
2
0,18
3
0,27
-
-
-
-
-
-
-
0,07
2
0,14
2
0,14
2
0,14
87
Lanjutan Tabel 18.
Critical
Success factors
Orientasi budaya perusahaan
(Client = ‘powerfull’)
’Barrier’ etos dan cara kerja yang
sudah 25 tahun
Belum adanya standarisasi
pengembangan merek
JUMLAH
Bobot
(a)
-
Strategi
Pertumbuhan
Intensif
(b)
(axb)
-
Strategi
Pertumbuhan
Integratif
(c)
(axc)
-
Strategi
Pertumbuhan
Diversifikasi
(d)
(axd)
-
0,06
1
0,06
2
0,12
2
0,12
0,05
1
0,05
1
0,05
2
0,10
1,00
2,52
2,77
2,64
Dari ketiga alternatif yang diuji untuk dipilih oleh perusahaan, ternyata
Strategi Pertumbuhan Integratif memiliki Total Attractiveness Score (TAS)
tertinggi, artinya perusahaan menerapkan strategi ini sebagai strategi utama pada
saat ini, yaitu sumber pendapatan perusahaan lebih fokus digunakan dalam
memberikan pelayanan secara maksimal kepada klien-klien yang sudah berjalan
saat ini.
Download