19 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Objek Penelitian 1. Sejarah Singkat Dwi Sapta Advertising Sejarah keberadaan Dwi Sapta Advertising dapat dinyatakan berdiri sejak 27 Mei 1981 di Jakarta, tepatnya sejak dimulainya usaha ’Studio 27’ yang merupakan studio fotografi profesional. Momentum bersentuhan secara lebih jauh dengan bidang advertising dimulai ketika pada tahun 1982 Dwi Sapta memperoleh klien pertamanya, PT. Djarum. Saat itu, PT. Djarum memberikan order pemotretan foto produk-produk untuk iklan, brosur dan company profile. Dalam perkembangan selanjutnya, PT. Djarum tidak lagi hanya sekedar memberikan order jasa foto, tapi juga memberikan order untuk membuat stiker, poster, umbulumbul, poster, spanduk, bilboard, hingga iklan media cetak. Pada tahun 1989, saat dunia pertelevisian nasional melahirkan RCTI sebagai stasiun televisi swasta pertama, Dwi Sapta Advertising memperoleh peluang yang lebih besar untuk menjadi Full Service Advertising Agency, yaitu kesempatan untuk merambah juga ke bidang pembuatan iklan televisi. Klien pertama untuk pembuatan iklan televisi ini adalah PT. Djarum. Selanjutnya sepanjang tahun 1991-1992, Dwi Sapta memperoleh kepercayaan dari PT. Dankos Laboratories untuk membuatkan iklan produk Minigrip dan Mixadin. Sementara PT. Ceres, produsen produk meises Ceres dan biskuit Selamat mulai mempercayakan kampanye melalui iklan televisi pada tahun 1993. Demikian pula dengan PT. Sido Muncul yang juga mempercayakan pembuatan iklan televisi produk Tolak Angin di tahun 1993. Kelompok usaha Herlina Indah juga tertarik mempercayakan pembuatan iklan televisi beberapa produknya, seperti Adem Sari pada tahun 1994 dan Vegeta pada tahun 1995. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa banyaknya stasiun televisi swasta yang lahir pada periode waktu tersebut secara tidak langsung ikut memberikan pengaruh pada peningkatan produksi iklan televisi yang dikerjakan oleh Dwi Sapta Advertising. 20 2. Visi dan Misi Dwi Sapta Advertising Perjalanan keberadaan Dwi Sapta Advertising sebagai sebuah perusahaan periklanan yang mampu bertahan selama 27 tahun tidak terlepas dari pengaruh dukungan kekuatan visi dan misi yang dimilikinya. Tentu saja bentuk visi dan misi ini akan senantiasa berkembang seiring dengan bentuk tantangan persaingan bisnis yang harus dihadapi oleh Dwi Sapta Advertising dari waktu ke waktu. Visi Dwi Sapta Advertising yang berlaku pada periode waktu tahun 2007-2010 adalah : ”Menyukseskan klien dengan memberikan layanan Integrated Marketing Communication” (IMC) secara personal dan menciptakan Advertising That Sells”. Pilihan untuk masuk ke bidang jasa layanan Integrated Marketing Communication (IMC) yang lebih dilatarbelakangi oleh pengalaman selama 25 tahun (1981-2006) adalah sebuah visi perusahaan yang sudah dipertimbangkan secara mendalam oleh pihak manajemen Dwi Sapta Advertising. Hal ini didasarkan pada pertimbangan melihat perkembangan bentuk persaingan yang makin keras di industri periklanan itu sendiri serta adanya perkembangan kebutuhan yang berasal dari klien dalam kegiatan promosi yang tidak lagi cukup hanya mengandalkan program periklanan. Pengembangan ruang lingkup bisnis Dwi Sapta Advertising perlu ditindaklanjuti dengan perubahan misi perusahaan, termasuk dengan kebijakan-kebijakan dan strategi bisnisnya. Misi perusahaan yang dicanangkan sebagai penjabaran lebih lanjut dari visi perusahaan Dwi Sapta Advertising adalah : a. Memberikan solusi komunikasi pemasaran secara terpadu dan terarah. b. Menjadikan produk klien sukses di market, bahkan menjadi market leader. c. Membantu meningkatkan sales dan mengembangkan bisnis klien. d. Memberikan layanan terbaik kepada klien dengan prinsip QCDS (best Quality, reasonable Cost, fast Delivery dan excellent Service). e. Memperkuat posisi sebagai TOP 10 Advertising Agency. 21 3. Struktur Organisasi Dwi Sapta Advertising Secara garis besar, dalam sebuah perusahaan jasa periklanan biasanya terdiri atas 4 (empat) bagian bidang pekerjaan, yaitu (1) Bagian Kreatif, (2) bagian Media, (3) Bagian Client Service, dan (4) Bagian Supporting, yang terdiri atas Human Recources Development (HRD), General Affair, Finance, Accounting, Administrasi dan Information Technology (TI). Keempat bagian bidang pekerjaan ini merupakan unsur standar yang biasa terdapat dalam struktur organisasi perusahaan jasa periklanan. Sejak awal tahun 2006, struktur organisasi Dwi Sapta Advertising, mengalami penambahan satu bagian bidang pekerjaan, yaitu Bagian Business Development. Fungsi bagian ini lebih diarahkan sebagai Tim Pemikir Strategis (Think Tank Team), baik untuk kepentingan pengembangan bisnis perusahaan sendiri maupun untuk kepentingan pengembangan bisnis klien-klien yang dimiliki perusahaan. Dengan adanya Bagian Business Development tersebut, maka bentuk struktur organisasi Dwi Sapta Advertising secara keseluruhan disajikan pada Gambar 6. PRESIDENT DIRECTOR GENERAL MANAGER BUSINESS DEVELOPMENTT SUPPORTING (HRD+GA+FACIT) CREATIVE TEAM MEDIA TEAM ACCOUNT TEAM Gambar 6. Struktur Organisasi PT. Dwi Sapta Advertising 22 Jumlah karyawan Dwi Sapta Advertising sebanyak 150 orang yang sebagian besar (50%) adalah karyawan dasar dan operasional yang berasal dari daerah pemilik perusahaan, sedangkan sisanya terdiri dari staff, manager dan direksi yang diantaranya masih memiliki hubungan keluarga dengan pemilik. 4. Jumlah Klien dan Prestasi Dwi Sapta Advertising Sejak didirikan pada tahun 1981, Dwi Sapta Advertising mampu tumbuh dan berkembang seiring dengan pasang surut perkembangan industri periklanan di Indonesia. Berawal dari hanya sebuah perusahaan jasa fotografi profesional, kini Dwi Sapta Advertising memiliki beragam jasa layanan bidang periklanan, mulai dari pembuatan konsep iklan, penyusunan strategi penempatan media, produksi berbagai materi iklan; baik cetak, radio, maupun televisi, hingga pengelolaan berbagai program event. Saat ini, Dwi Sapta Advertising memiliki lebih dari 40 klien yang berasal dari berbagai jenis produk dan merek (Tabel 2). Tabel 2. Daftar klien (merek dan perusahaan) Dwi Sapta Advertising periode tahun 1981 - 2007 1. Nama Perusahaan PT. Kalbe Farma 2. PT. Kalbe Farma 3. PT. Kalbe Farma 4. PT. Kalbe Farma 5. PT. Kalbe Farma 6. PT. Kalbe Farma 7. PT. Sari Enesis dan Herlina Indah PT. Sari Enesis dan Herlina Indah PT. Sari Enesis dan Herlina Indah No. 8. 9. Merek Kategori Keterangan Fatigon, Fatigon Spirit, Fatigon Viro Fatigon Hydro multivitamin stamina minuman isotonik obat Flu & batuk multivitamin anak multivitamin otak Full Service Mixagrip, Mixagrip Flu & Batuk Cerebrofort, Cerebrofort Gold Cerebrovit Excel, Cerebrovit Active, Cerebrovit Senior, Cerebrovit Ginko Neuralgin Vegeta Adem Sari, Esquis Kisspray obat sakit kepala minuman berserat minuman panas dalam cairan pelicin dan pelembut Media Placement Full Service Full Service Full Service Full Service Full Service Full Service Full Service 23 Lanjutan Tabel 2. 13. 14. 15. Nama Perusahaan PT. Sari Enesis dan Herlina Indah PT. Sari Enesis dan Herlina Indah PT. Sari Enesis dan Herlina Indah PT. Saka Farma PT. Saka Farma PT. Saka Farma 16. 17. PT. Eglin PT. Eglin 18. PT. Eglin 19. 20. 21. 24. PT. Soho PT. Soho PT. Astra Daihatsu Motor PT. Astra Daihatsu Motor PT. Astra Honda Motor PT. Astra Oto Part 25. PT. Astra Oto Part 26. PT. Kinocare 27. PT. Kinocare 28. PT. Kinocare 29. PT. Kinocare 30. 31. 32. 34. PT. Kinocare PT. Kinocare PT. Mahaka Betafarma PT. Mahaka Betafarma PT. Djarum 35. PT. Djarum 36. PT. Ceres No. 10. 11. 12. 22. 23. 33. Merek Kategori Keterangan Soffel & Force Magic Naturade & Naturade Gold Antis obat anti nyamuk minuman energi handwash sanitizer obat batuk bedak anjing minuman trombosit minyak telon balsem Full Service minyak encok obat diare obat tidur mobil Full Service mobil Tactical Promo Corporate Ad Full Service Mextril Bedak Doris Remufit Telon Lang Balsem Gosok Hijau Lang Minyak G’Pura Diapet, Diapet NR Lelap Espass, Zebra, Sirion Gran Max, Xenia, Terios, Luxio Korporat Accu GS Astra, GS Hybrid Kayaba motor accu mobil per mobil Ovale, Eskulin pembersih Wajah Absolut, Resik V, feminime Resik V Manjakani hygiene Sleek cairan pencuci botol susu Sleek Cairan pencuci baju bayi Master cologne pria Sasha hair color Betadine Plester, obat luka Betadine Stik Betadine Obat obat kumur Kumur Djarum Coklat, rokok kretek Djarum 76 Korporat rokok kretek Meises Ceres meises Full Service Full Service Full Service Full Service Full Service Full Service Full Service Full Service Full Service Full Service Full Service Full Service Full Service Full Service Full Service Full Service Full Service Full Service Full Service Full Service Corporate Ad Full Service 24 Lanjutan Tabel 2. 37. Nama Perusahaan PT. Ceres 38. 39. 40. PT. Sari Roti PT. Indomilk PT. Indofood 41. Mayora No. Merek Kategori Keterangan Biskuit & Wafer Selamat, Twister, Funtime, Briko Sari Roti UHT, SCI Bumbu Kaldu Indofood Super Bubur biskuit & wafer Full Service roti susu cair bumbu Full Service Full Service Full Service bubur instan Full Service Prestasi Dwi Sapta Advertising dari sudut pandang penghargaan kreatif iklan dan penayangan media iklan cukup banyak, antara lain seperti dimuat pada Tabel 3. Tabel 3. Penghargaan iklan yang diperoleh Dwi Sapta Advertising periode tahun 1995 - 2007 No. Nama Penghargaan Bidang Tahun Keterangan 1. ”The Best Print Ad” pilihan pembaca Majalah Cakram “The Most Favourite Advertisement” pilihan pembaca Tabloid Bintang Indonesia Top 18th Advertising Agency (Ranking PPPI) “The Most Favourite Advertisement” versi Majalah Cakram Top 16th Advertising Agency (Ranking PPPI) Top 4th Billing Performance Reward (SCTV) Top 13th Advertising Agency (Ranking PPPI) Top 5th Billing Performance Reward (SCTV) “The Best Advertiser” versi Harian Umum Pikiran Rakyat “Penghargaan 12 tahun Excellent Service” (SCTV) “The Best TV Program” penghargaan dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI “Agency with Best Achievement” (TPI) Kreatif 1995 Kreatif 1997 Iklan Cetak Djarum Classic Iklan TV Djarum Super Korporat 1999 Kreatif 1999 Korporat 2000 Media 2000 Korporat 2001 Media 2001 Media 2002 Client Service Program TV 2002 Media 2004 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 2004 Berdasarkan billing Iklan TV Permen Kino Berdasarkan billing Ad Media Spending Berdasarkan billing Ad Media Spending Ad Media Spending Customer Loyalty Program TV Pasar Rakyat 76 Ad Media Spending 25 Lanjutan Tabel 3. No. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. Nama Penghargaan “The Giant Agency” versi Radio Elshinta Penghargaan Khusus dari ANTV Penghargaan Khusus dari Trans TV “Best Music – Silver Citra Pariwara Bidang Media Tahun 2005 Media 2005 Media 2005 Kreatif 2005 “Top 5th Billing Performance” (SCTV) “Top 6th Billing Performance” (Indosiar) “Top 7th Billing Performance” (RCTI) “Top 3th Billing Performance” (TPI) “Penghargaan Khusus” (Harian Analisa) “Bronze ADOI Award” Media 2005 Media 2005 Media 2005 Media 2005 Media 2005 Kreatif 2006 Media 2007 Media 2007 Media 2007 Media 2007 Media 2007 Media 2007 Media 2007 Kreatif 2007 Kreatif 2007 Korporat 2007 “Top 5th Billing Performance” (TPI) “Top 7th Billing Performance” (Trans 7) “Top 10th Billing Performance” (Trans TV) “Top 8th Billing Performance” (Global TV) “Top 6th Billing Performance” (Indosiar) “Top 10th Billing Performance” (RCTI) “Top 10th Billing Performance” (SCTV) “ADOI Award 2007” (Finalis) “CAKRAM Award 2007” (Finalis) “Agency of The Year” CAKRAM Award 2007” (Finalis) Keterangan Ad Media Spending Ad Media Spending Ad Media Spending Iklan TV Djarum Korporat versi Kudus Kota Kretek Ad Media Spending Ad Media Spending Ad Media Spending Ad Media Spending Ad Media Spending Iklan TV Djarum 76 versi Combi Bali, Jatim, dan Jateng Ad Media Spending Ad Media Spending Ad Media Spending Ad Media Spending Ad Media Spending Ad Media Spending Ad Media Spending Iklan Fatigon versi Sepotong Roti Iklan TV Djarum Coklat Survivel Ad Company 26 Lanjutan Tabel 3. No. 33. Nama Penghargaan “Superbrand 2005-2006” 34. “TOP BRAND” 35. 36. 37. Bidang Client Service Client Service Tahun 2007 “Indonesia Best Brand AwardIBBA 2007” Client Service 2007 “Indonesia Customer satisfaction Award-ICSA 2007” “GFK Award 2005-2007 for Best Seller DVD” Client Service 2007 Korporat 2007 2007 Keterangan Daihatsu, Fatigon, Diapet Fatigon, Diapet, Djarum Coklat, TOP1, Indomilk, Mixagrip, Balsem Lang, dan Tolak Angin Fatigon, Diapet, Cerebrovit XCel Mixagrip, Diapet, Tolak Angin, TOP1 Vitron Omzet penjualan setiap tahun mengalami peningkatan Rp. 17 milyar pada tahun 2006, Rp. 21 milyar tahun 2007 dan Rp. 27 milyar tahun 2008. Sedangkan posisi perusahaan dalam industri periklanan ditentukan berdasarkan billing (belanja iklan melalui perusahaan yang diperoleh selama setahun) termasuk posisi ke 8 atau ke 9 (10 besar) dalam 3 (tiga) tahun terakhir ini. 5. Ruang Lingkup Layanan Jasa Dwi Sapta Advertising Seiring dengan perkembangan perusahaan dan dinamika yang terjadi di industri periklanan, saat ini Dwi Sapta Advertising memiliki beberapa bentuk layanan jasa periklanan berikut : a. Pembuatan Materi Kreatif Iklan, mulai dari penyusunan konsep story line dan story board iklan TV, layout iklan cetak, iklan animasi, iklan radio, hingga materi iklan luar ruang (poster, billboard, spanduk, banner, dan lain-lain). b. Pembuatan Program Brand Activation, mulai dari sampling produk, event-event kegiatan sponsorship, hingga kegiatan brand activation. c. Pembuatan Company Profile dan Video Presentation d. Produksi Program TV dan Built In Program TV 27 e. Produksi Iklan TV, iklan radio, iklan media cetak dan materi pendukung (POS Material) seperti brosur, leaflet, pamphlet, spanduk, dan lain-lain. f. Editing pasca produksi iklan TV dan radio. g. Penyusunan Perencanaan dan Belanja Media Iklan di berbagai media cetak maupun elektronik. h. Jasa Monitoring Tayangan Media dan Evaluasi Belanja Media (Post Buy Analysis). i. Jasa Penelitian Pemasaran,Media dan Periklanan, mulai dari penelitian pengembangan konsep produk baru, uji nama merek, tes kemasan produk, penelitian perilaku konsumen, penelitian potensi pasar, penelitian konsep iklan, evaluasi program media iklan, hingga evaluasi dampak iklan secara keseluruhan, j. Jasa Pengembangan Strategi Komunikasi Pemasaran Terpadu, mulai dari branding & packaging development, brand audit, product architecture, strategi pengembangan merek, dan lain-lain. B. Analisis Lingkungan Eksternal Perusahaan 1. Dinamika Industri Periklanan Indonesia 2008 Dinamika industri periklanan di Indonesia sepanjang tahun 2008 tidak bisa dilepaskan dari pengaruh kondisi ekonomi makro Indonesia. Kondisi ekonomi Indonesia 2008 mengalami pertumbuhan 6,1% dibandingkan tahun 2007, walaupun sempat mengalami perlambatan pertumbuhan pada triwulan keempat tahun 2008 (BPS, 2009). Terlepas dari adanya perbedaan prediksi di awal, pada kenyataannya selama kuartal pertama 2008, hasil pemantauan terhadap indikator-indikator ekonomi makro Indonesia menunjukkan bahwa perkembangan perekonomian Indonesia relatif masih cukup kuat walaupun dibayang-bayangi tekanan inflasi domestik dan pola pelemahan laju pertumbuhan ekonomi global. Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan, Anggito Abimanyu mengatakan bahwa laju pertumbuhan komsumsi masyarakat masih tumbuh cukup tinggi (5,1%). Angka tersebut masih lebih tinggi 28 dibandingkan dengan laju pertumbuhannya di kuartal yang sama tahun 2007 sebesar 4,7% (Amrin, 2008). Lebih lanjut Anggito menjelaskan bahwa peningkatan pertumbuhan tersebut diindikasikan oleh pertumbuhan indikator-indikator seperti penerimaan Pajak Penerimaan Netto (PPN), Penerimaan Cukai, masih tingginya laju kredit konsumsi, angka penjualan mobil dan motor, dan pertumbuhan konsumsi listrik domestik. Menurutnya, terdapat beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam pola konsumsi masyarakat antara lain meningkatnya pola konsumsi impor dibandingkan konsumsi domestik, serta masih tingginya laju inflasi yang dapat menghambat konsumsi masyarakat ke depan. Laju pertumbuhan investasi (PMTB) tahun 2008 tumbuh cukup baik dan mencapai 11,75%, dibandingkan tahun 2007 (BPS, 2009). Namun pelemahan ekonomi global tampaknya mulai memberikan pengaruhnya pada pergerakan investasi dalam negeri. Menurut Sadewa (2009), perekonomian Indonesia memasuki semester II-2008 juga terus memburuk. Kenaikan harga BBM, krisis ekonomi global, keterlambatan belanja APBN, dan kenaikan suku bunga memberikan tekanan yang cukup berat pada perekonomian kita. Hal ini terlihat dari Coincident Economic Index (CEI) yang terus menurun sejak bulan Juli tahun 2008. CEI adalah indeks yang menunjukkan keadaan ekonomi pada setiap saat. Indeks ini disusun dengan menggunakan informasi penjualan mobil, konsumsi semen, impor, suplai uang, dan penjualan ritel. CEI yang naik menunjukkan ekonomi sedang berekspansi, sedangkan CEI yang turun menunjukkan aktivitas perekonomian sedang menurun. Namun kinerja APBN selama tahun 2008 dinilai cukup baik. Penerimaan perpajakan dan PNBP, baik migas maupun non migas, mencapai Rp. 984 triliun, atau tumbuh 36,3% dibandingkan dengan penerimaan yang sama di tahun 2007 (BPS, 2009). Berbagai kondisi ekonomi makro tersebut yang terjadi selama tahun 2008 secara langsung maupun tidak langsung ikut mempengaruhi 29 dinamika industri periklanan di Indonesia. Menurut A. Adji Watono1 President Director Dwi Sapta Advertising menyatakan bahwa situasi ekonomi nasional Indonesia berpengaruh terhadap 3 (tiga) hal, yaitu (1) tingkat kemampuan dan daya beli konsumen, (2) besaran anggaran belanja iklan klien dan (3) potensi perolehan billing (pendapatan) iklan Dwi Sapta Advertising. Gambaran situasi ekonomi Indonesia 2008 secara khusus ditandai dengan kebijakan pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada bulan Mei 2008 pada kelanjutannya membawa banyak efek beruntun; termasuk salah satunya pada aspek kemampuan dan daya beli konsumen. Lebih lanjut A. Adji Watono1 menjelaskan bahwa kenaikan harga BBM pada bulan Mei 2008 tersebut dinilainya telah semakin menambah beban hidup masyarakat menjadi semakin berat. Harga BBM naik, biasanya selalu diikuti oleh kenaikan harga barang-barang yang menjadi kebutuhan hidup masyarakat. Di sisi lain, pendapatan masyarakat belum tentu ikut bertambah. Akibatnya, kemampuan dan daya beli konsumen menjadi lebih rendah. Bila kondisi ini terjadi, Dwi Sapta Advertising memiliki beban pekerjaan yang semakin berat. Dwi Sapta Advertising dituntut untuk mampu membuat iklan berbagai produk klien secara lebih efektif dari sisi komunikasi, sekaligus mampu mendorong konsumen untuk tetap membeli produknya sekalipun kemampuan dan daya belinya sedang menurun. Pandangan A. Adji Watono1 ini ternyata sejalan dengan temuan hasil riset konsumen di tahun 2008 yang dilakukan oleh AC Nielsen, sebuah perusahaan konsultan riset pemasaran profesional yang memiliki juga jaringan operasional di Indonesia. Berikut ini adalah sebagian temuan data lapangan yang berkaitan dengan sikap dan tindakan konsumen pada saat menghadapi situasi ekonomi nasional di tahun 2008. Berdasarkan data Survey AC Nielsen tersebut (Gambar 7), dapat dilihat bahwa kenaikan harga BBM yang terjadi pada Mei 2008 telah memberi pengaruh terhadap kemampuan daya beli dan pola konsumsi 1 Hasil wawancara tanggal 15 Oktober 2008 30 produk konsumen di Indonesia. Lebih lanjut, data kedua menunjukkan jenis kategori produk konsumsi yang terkena dampak pengurangan intensitas konsumsinya, dimana pada kategori-kategori seperti itulah yang menjadi klien-klien Dwi Sapta Advertising. Penurunan Pengeluaran Expenditure Reduction Proporsi pengeluaran rumah tangga Anda berkurang sejak kenaikan bahan bakar ? 25% 75% Ya Tidak Pengeluaran rumah tangga Obat-obatan Perlindungan wanita Pembersih ruangan Minuman Perawatan tubuh Sayuran dan buah-buahan Susu/Sereal Perlengkapan kamar mandi Penganan Rokok Makanan kemasan Ayam/Daging/Ikan 3 4 11 13 14 18 25 27 31 31 40 64 Catatan : Semua yang mengurangi pengeluaran rumah tangga akibat kenaikan harga BBM (%) Sumber : Nielsen Omnibus di 6 kota (Nielsen Media Research, 2008) Gambar 7. Sikap dan tindakan konsumen pada saat krisis tahun 2008 31 Sementara dari sisi klien, gambaran situasi ekonomi yang terjadi di sepanjang tahun 2008 membawa konsekuensi pada kenaikan biaya operasional, termasuk biaya produksi. Kondisi inilah yang disebut oleh A. Adji Watono1 sebagai kondisi dilematis yang harus dihadapi oleh klien. Di satu sisi biaya operasional, termasuk juga biaya produksi yang meningkat, namun klien tidak dapat langsung menaikkan harga jual produknya, karena di sisi lain kemampuan dan daya beli konsumen sedang mengalami kecenderungan penurunan. Konsekuensi lanjutan yang sering harus dihadapi oleh Dwi Sapta Advertising adalah kenyataan bahwa klien lebih cenderung mengambil keputusan untuk mengurangi biaya promosi dalam menyikapi kondisi ekonomi seperti ini. Lebih lanjut A. Adji Watono1 menegaskan bahwa ujung-ujungnya dari dampak kondisi dan situasi ekonomi Indonesia 2008 yang harus dihadapi oleh Dwi Sapta Advertising adalah menyangkut potensi perolehan billing (pendapatan) iklan. Di atas kertas, Dwi Sapta Advertising dituntut harus bekerja lebih keras dan lebih sulit untuk dapat memperoleh target billing (pendapatan) iklan di sepanjang tahun 2008. 2. Trend Pertumbuhan Industri Periklanan Indonesia Kondisi ekonomi Indonesia memang tidak pernah lepas dari gejolak yang mengiringi perkembangan dan dinamika pertumbuhannya. Titik perhatian kondisi ekonomi di tahun 2008 terletak pada saat pemerintah mengambil kebijakan untuk menaikkan harga BBM di bulan Mei 2008. Hampir semua industri merasakan dampak dari kebijakan ini. Meski dalam keadaan yang serba sulit, ternyata industri periklanan Indonesia di tahun 2008 masih tetap mengalami pertumbuhan cukup nyata. Pada Gambar 8 disajikan data perkembangan pertumbuhan belanja iklan nasional selama kurun waktu 10 tahun terakhir menurut pemantauan Nielsen Media Research. Berdasarkan data Nielsen Media Research tersebut dapat diketahui bahwa pertumbuhan belanja iklan nasional di tahun 2008 sekitar 19%. 1 Hasil wawancara tanggal 15 Oktober 2008 32 Kenaikan belanja iklan pada yahun 2008 tersebut menurut Jimmy Siregar2, Media Manager Dwi Sapta Advertising, diperkirakan berasal dari munculnya berbagai produk baru atau varian produk baru yang launching di sepanjang tahun 2008 dan iklan partai politik maupun pengurus partai politik yang memanfaatkan momen-momen khusus nasional (kebangkitan nasional, ulang tahun kemerdekaan, hari Sumpah Pemuda, hari Pahlawan dan hari Ibu). Kedua sumber baru inilah yang diperkirakan menjadi kontributor utama kenaikan belanja iklan nasional di tahun 2008, sekalipun situasi bisnisnya itu sendiri sedang mengalami krisis sebagai akibat dampak kenaikan harga BBM. 41,821 YEARLY MEDIA EXPENDITURE 19 % 17 % MAGAZINE Rp. triliun PRESS jummi(‘bio) TV 17 % 15 % 22,279 35,114 30,057 25,62 9 32 % 36 % 4,97 5 Y1999 44 % 7,17 2 Y2000 27 % 9,10 5 Y2001 37 % 16,86 4 12,442 Y2002 Y2003 Y2004 Y2005 Y2006 Y2007 Y2008 Gambar 8. Perkembangan pertumbuhan belanja iklan (Batam Pos, 2009) 3. Trend Perkembangan Teknologi Komunikasi & Industri Media Perkembangan teknologi komunikasi, terutama yang berbasis internet di sepanjang tahun 2008 telah mengarah kepada bentuk yang dikenal dengan istilah mobile technology. Kecenderungan bentuk perkembangan seperti ini pada akhirnya lebih memudahkan orang untuk 2 Hasil wawancara tanggal 4 September 2008 33 terus melakukan up dating informasi secara cepat; kapan dan di manapun. Di Indonesia sendiri per tanggal 31 Desember 2007, pengguna internet berjumlah 20 juta, dengan pertumbuhan pengguna dari tahun 2000 hingga 2007 telah mencapai sekitar 900% dan penetrasinya baru 8.5% dari total jumlah penduduk (Internet World Sats, 2009). Di sisi lain, pertumbuhan bidang teknologi informasi dan komunikasi di Indonesia juga bisa dilihat dari data Indikator Makro ICT Nasional oleh Departemen Komunikasi dan Informasi pada awal tahun 2008, yang salah satunya menyebutkan pertumbuhan 51% pelanggan seluler. Angka pertumbuhan pelanggan seluler ini cukup penting karena dengan adanya teknologi perangkat internet bergerak pada telepon seluler, para penggunanya mampu mengakses informasi melalui internet di manapun dan kapanpun, sehingga mempercepat penetrasi internet. Penetrasi perangkat bergerak (telepon seluler, personal digital assistant, komputer jinjing dan semacamnya) di Indonesia cukup tinggi, yaitu sekitar 39%, sedangkan pengguna internet kecepatan tinggi melalui perangkat bergerak (mobile broadband internet) per akhir 2007 adalah 315.000 orang, yang merupakan angka yang tertinggi di ASEAN (Newmedia, 2008). Implikasi dari adanya trend perkembangan teknologi komunikasi seperti ini telah membawa dampak tersendiri bagi industri media. Media komunikasi yang banyak digunakan oleh kalangan praktisi periklanan tidak lagi hanya terbatas kepada bentuk-bentuk media konvensional, seperti televisi, radio, koran, makalah, tabloid, film, dan lain-lain. Menurut Jimmy Siregar2, Media Manager Dwi Sapta Advertising, internet dan handphone telah membawa pengaruh cukup nyata terhadap perkembangan industri media di Indonesia sepanjang tahun 2008. Salah satu bentuk contoh kasus perkembangan internet yang dinilai telah mempengaruhi perkembangan industri media adalah munculnya fenomena beberapa koran nasional yang merilis format digital berupa koran internet atau yang lebih dikenal dengan sebutan e-paper. 2 Hasil wawancara tanggal 4 September 2008 34 Jimmy Siregar2 menjelaskan bahwa sejak tanggal 1 Juli 2008, epaper Tabloid Kontan terbit di internet dan menjadi e-paper pertama di Indonesia. Dua hari kemudian, harian nasional Kompas yang berada dalam satu grup dengan Tabloid Kontan dalam payung Kompas-Gramedia juga secara resmi merilis e-paper diikuti Koran Tempo dan Republika. Fenomena ini pada akhirnya juga berdampak pada perubahan pola baca koran sekelompok masyarakat tertentu yang dapat memuaskan berbagai kebutuhan informasinya melalui berbagai portal berita di internet. Ujungujungnya, bila kelompok pembaca e-paper ini semakin bertambah besar, produk media baru ini bisa berpotensi menjadi alternatif media beriklan yang tidak saja efektif, namun sekaligus berbiaya lebih murah di banding media-media konvensional yang biasa digunakan selama ini. 4. Perkembangan Pola Belanja Konsumen Indonesia Sepanjang tahun 2008, pola belanja konsumen di Indonesia sangat dipengaruhi oleh perkembangan pasar ritel barang konsumsi. Berdasarkan data AC Nielsen, hingga September 2008 saja, industri ritel Indonesia tumbuh hingga 22,2%. Hal ini ditandai dengan makin menjamurnya pasar modern seperti hypermarket, supermarket, maupun minimarket di berbagai pelosok wilayah Indonesia. Pesatnya pertumbuhan gerai hypermarket diperkirakan karena konsepnya yang menawarkan besaran ketersediaan produk hingga lebih dari 40.000 item tersebut relatif cukup bisa diterima oleh konsumen, khususnya masyarakat perkotaan. Dengan berbelanja di hypermarket, konsumen memperoleh berbagai kebutuhannya dengan nyaman, serta dengan harga yang relatif lebih murah dan pasti dibanding pasar tradisional maupun pasar modern lainnya seperti supermarket maupun minimarket. Menurut Director Retailer Service PT. AC Nielsen Indonesia (Susilo, 2008), pertumbuhan pasar ritel di Indonesia sepanjang tahun 2008 bukan cuma terjadi di kategori pasar modern. Pasar tradisional juga mengalami peningkatan penjualan 21% secara nilai pendapatan. Namun, hal ini lebih disebabkan oleh adanya kenaikan harga barang dan didorong 2 Hasil wawancara tanggal 4 September 2008 35 oleh persepsi beberapa produk konsumsi sehari-hari tetap yang dianggap lebih murah di pasar tradisional. Selama ini pasar tradisional memiliki keleluasaan dalam memberikan kesempatan kepada konsumen untuk berbelanja sesuai dengan kemampuan keuangan konsumen, termasuk sistem pembelian kredit. Bila dipikirkan lebih mendalam, sebenarnya pasar tradisional masih sangat terbuka untuk lebih maksimal berkembang, karena memiliki lokasi sangat strategis dan dekat dengan pemukiman tempat tinggal, lebih fun, personal, murah, harga produk dan tingkat kebutuhan belanja dapat dinegosiasikan. Implikasi dari adanya perkembangan pasar ritel modern dan tradisional tersebut bagi Dwi Sapta Advertising lebih ke arah kebutuhan untuk membuat alternatif pilihan pengembangan program ’touch-point’ ke konsumen produk-produk klien, terutama yang berkaitan dengan pemilihan ’venue’ (tempat kegiatan) program-program brand activation. Menurut Tanti Dewi Permassanty3, Account Director Dwi Sapta Advertising, saat ini kebutuhan pengembangan program-program brand activation menjadi sangat relevan manakala kekuatan brand awareness dan brand image sebuah produk tidak lagi dianggap cukup mampu untuk mendorong terjadinya penjualan secara cepat. Konsumen masih membutuhkan pengalaman berinteraksi secara langsung dengan produkproduk yang akan dibelinya. Pada bagian inilah sebenarnya nilai lebih sebuah program brand activation yang memiliki kekuatan sebagai medium yang bersifat tiga dimensi (audio, visual, dan eksperimental). Pada pilihan ’venue’ pasar modern dan tradisional yang terbaiklah yang memiliki potensi ’touch point’ tertinggi terhadap konsumen yang akan dijadikan tempat acara brand activation produk-produk klien. 5. Perkembangan Kebijakan Pemerintah Terhadap Bidang Periklanan Pasang surut industri periklanan di Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dari pengaruh kebijakan pemerintah, terutama bentuk kebijakan yang secara langsung berkaitan erat dengan proses kerja periklanan, 3 Hasil wawancara tanggal 23 Oktober 2008 36 misalnya kebijakan pemerintah yang dilaksanakan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM). Implikasi dari kebijakan pemerintah yang dijalankan oleh Badan POM ini mengharuskan semua materi iklan produk makanan dan obat-obatan harus melalui persetujuan lembaga ini. Padahal, kategori kedua produk tersebut sangat banyak jumlahnya, sehingga proses perijinannya relatif cukup memakan waktu (antara dua minggu hingga satu bulan). Contoh lainnya adalah kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan iklan produk rokok. Dalam hal ini, pemerintah melarang penayangan iklan rokok di televisi pada jam tayang di bawah pukul 21.00. Menurut M.Kh.Rachman4, Senior Business Development Manager Dwi Sapta Advertising, khusus di tahun 2008, ada satu bentuk kebijakan pemerintah yang cukup kontroversial yang berkaitan dengan proses kerja periklanan. Kebijakan ini sebenarnya telah dikeluarkan pada pertengahan tahun 2007, yaitu Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi (Kominfo) Nomor 25 Tahun 2007. Dengan mekanisme Peraturan Menteri (Permen) tersebut, Pemerintah sejak 1 Mei 2007 secara resmi melarang pemasangan iklan yang berasal dari pengusaha asing, memakai bintang iklan asing dan bermuatan asing. Pemerintah kemudian memberikan jangka waktu masa peralihan selama enam bulan hingga satu tahun untuk memberikan kesempatan melakukan transisi adaptasi film iklan asing dengan materi lokal. M.Kh.Rachman R.4 menjelaskan bahwa peraturan ini sebenarnya khusus diberlakukan untuk iklan televisi, sementara untuk iklan cetak masih diberikan ijin menggunakan materi dan muatan asing. Implikasi dari kebijakan pemerintah ini menekankan bahwa materi iklan yang ditayangkan di televisi siaran Indonesia harus dikerjakan oleh orang Indonesia, berlokasi di Indonesia, menggunakan bintang iklan orang Indonesia, serta dikerjakan oleh sutradara orang Indonesia. Inilah yang menjadi pilihan dilematis yang harus dihadapi oleh kalangan praktisi periklanan Indonesia di tahun 2008. Di satu sisi, memang ada keinginan 4 Hasil wawancara tanggal 4 September 2008 37 untuk memberikan kesempatan yang lebih luas kepada sumber daya manusia (SDM) orang Indonesia, namun di sisi lain hal tersebut harus dibayar dengan kondisi yang masih ’jomplang’ dari sisi kompetensi dan profesionalitas cara kerjanya di banding SDM kalangan ekspatriat (tenaga asing). Beberapa pihak ada yang menyatakan keraguan terhadap efektivitas masa transisi yang diberikan oleh Pemerintah, terutama pada kemampuan untuk membangun kembali kapasitas nasional di bidang produksi film iklan. Hal ini, lebih didasarkan pada kenyataan bahwa dalam kurun waktu beberapa tahun belakangan ini, banyak rumah produksi yang sudah terlanjur ’tertidur’ karena tidak ada order pembuatan iklan. Dengan adanya peraturan seperti ini, bagi Dwi Sapta Advertising sendiri masih bisa beradaptasi secara bisnis, karena secara kebetulan tidak banyak klien yang biasa menggunakan para ekspatriat di dalam proses produksi iklan untuk produknya. Namun, tetap saja peraturan ini cukup merepotkan di lapangan, terutama ketika menghadapi klien-klien yang sudah terbiasa memiliki proses kerja yang biasa ditangani oleh beberapa ekspatriat (tenaga asing). Bentuk kesulitan yang paling konkret dihadapi adalah kesulitan mencari sumber daya manusia orang iklan yang memiliki tingkat kompetensi yang memadai dan sejajar dengan yang dimiliki oleh ekspatriat. 6. Perkembangan Gaya Hidup dan Kondisi Sosial Budaya Menurut M.Kh.Rachman R.4, Senior Business Development Manager Dwi Sapta Advertising, industri periklanan di Indonesia memiliki keterkaitan yang cukup kuat dengan perkembangan gaya hidup dan kondisi sosial budaya. Di satu sisi, dinamika yang terjadi di industri periklanan mempengaruhi arah dan bentuk gaya hidup yang berkembang di masyarakat. Namun, di sisi lainnya gaya hidup yang berkembang mempengaruhi dinamika yang terjadi pada industri periklanan di Indonesia. M.Kh.Rachman R4, menjelaskan sebuah contoh adanya perubahan gaya hidup dalam hal pembayaran transaksi bisnis yang lahir karena dukungan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang makin canggih telah mendorong munculnya konsep produk kartu bayar isi ulang 4 Hasil wawancara tanggal 4 September 2008 38 (Kartu Flazz). Secara produk, jenis kartu bayar ini dinilai memiliki manfaat yang lebih praktis (terutama kecepatan bertransaksi) dibandingkan dengan kartu kredit ataupun kartu debit. Manfaat inilah yang pada dasarnya ’dijual’ oleh kartu bayar ini sebagai jawaban terhadap perkembangan gaya hidup masyarakat yang semakin menuntut kepraktisan dan kecepatan melakukan transaksi bisnis, misalnya di food court, Pom bensin, ataupun tempat parkir. Selain itu, jenis kartu bayar seperti ini sebenarnya juga bisa dianggap sebagai jawaban terhadap kebiasaan yang kurang baik di masyarakat dari sudut pandang ukuran nilai-nilai sosial budaya, seperti kebiasaan meminta blanko bon kosong di pom bensin atau kebiasaan tidak memberikan uang kembalian yang menjadi hak konsumen pembeli bensin karena alasan tidak ada uang ’recehan’. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa kemunculan berbagai produk baru tersebut merupakan respon terhadap adanya kebutuhan di masyarakat; baik yang berasal dari tuntutan gaya hidup maupun yang disebabkan oleh faktor-faktor adanya masalah-masalah menurut ukuran nilai-nilai sosial budaya masyarakat itu sendiri. Pada akhirnya, kemunculan berbagai produk baru tersebut akan membutuhkan kegiatan sosialisasi dan promosi yang akan mendorong dinamika yang terjadi di industri periklanan Indonesia. Bila dikaitkan dengan data Nielsen Media Research Indonesia, pada semester I 2008 (Tabel 4), belanja iklan produk-produk seperti hotline service, party line, dan ramalan bintang pertumbuhannya sangat nyata (81%) di bandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2007. Bila dinilai secara nominal, belanja iklan produk Short Message Service (SMS) ini mencapai Rp. 556 miliar dibanding tahun sebelumnya yang hanya mencapai Rp. 307 miliar. Pertumbuhan belanja iklan kategori produk ini mampu mendongkrak total belanja iklan secara keseluruhan pada semester I 2008 sebesar Rp. 19,56 triliun (meningkat 24% dibanding periode yang sama tahun 2007). Iklan-iklan produk seperti itu bisa mengalami peningkatan yang relatif tinggi, tidak bisa dilepaskan dari konteks kondisi 39 sosial budaya masyarakat Indonesia yang senang dengan bentuk hiburanhiburan seperti yang ditawarkan oleh produk-produk SMS tersebut. Tabel 4. Besar belanja iklan semester I tahun 2007-2008 KATEGORI PRODUK Peralatan dan Jasa Telekomunikasi Jumlah (Rp. Miliar) 2007 2008 1,243 1,957 Persentase (%) 57 Sepeda motor 709 848 20 Pemerintah dan Organisasi Politik 429 769 79 Iklan Layanan Perusahaan dan Sosial 524 752 44 Rokok 748 699 (-7) Produk Perawatan Rambut 676 635 (-6) Layanan Hotline, Party line, Horoscope 307 556 81 Media, Agency, Rumah Produksi, dll 467 544 16 Perbankan dan Lembaga Keuangan 457 532 16 Produk Pembersih Muka 499 528 6 Produk Pembersih dan Deterjen 403 481 19 Properti, Apartemen, Flat, dll 267 454 70 Sumber : Nielsen Media Research, 2008. Berkaitan dengan kondisi tersebut, maka Dwi Sapta Advertising dituntut untuk selalu melakukan updating terhadap perkembangan gaya hidup konsumen maupun nilai-nilai sosial budaya yang dimiliki masyarakat seiring dengan perkembangan jaman. Pemahaman tentang kedua hal tersebut tidak saja dibutuhkan untuk kepentingan Dwi Sapta Advertising sendiri dalam hal penyusunan rancangan strategi komunikasi pemasaran berbagai produk baru klien, namun bisa juga digunakan sebagai sumber informasi pasar yang berguna untuk mendampingi klien-klien dalam hal pengembangan produk barunya. Terlebih, secara kebijakan dan strategi bisnisnya, Dwi Sapta Advertising lebih memilih fokus pada pengembangan bisnis klien-klien yang sudah dimilikinya dibanding mencari klien-klien baru. 40 7. Perkembangan Arah dan Kebutuhan Promosi Klien Dampak kenaikan harga BBM dan krisis keuangan global yang telah mempengaruhi situasi bisnis di tahun 2008 mendorong para pengelola merek produk klien harus bersikap bijak dan hati-hati dalam mengelola anggaran belanja promosi dan iklannya. Menurut Jimmy Siregar2, Media Manager Dwi Sapta Advertising, kondisi sulit yang terjadi di tahun 2008 telah mendorong klien untuk lebih selektif membelanjakan budget iklan produknya. Dalam hal pemanfaatan media, misalnya klien cenderung lebih memilih menggunakan strategi built in atau on-air sponsorships (bentuk promosi yang dilakukan dengan memasukkan materi produk ke dalam isi program acara TV) dari pada lose spot (iklan lepas produk) seperti biasanya. Artinya, pemilihan media akan ekstra fokus pada program-program acara TV yang diperkirakan akan banyak ditonton masyarakat. Sementara di sisi lain, porsi bentuk promosi out door media (out of home) akan ditingkatkan juga, terutama pada jenis media interaktif seperti internet dan media mobile. Anggaran belanja media cetak klien relatif banyak berkurang. Meski demikian, beberapa klien masih ada juga yang menggunakan media cetak secara lebih selektif. Intinya, arah kebijakan promosi klien di tahun 2008 lebih selektif dalam memilih media promosi maupun pemilihan waktunya agar dapat mengejar target efisiensi promosi. Jimmy Siregar2 menjelaskan bahwa arah kebijakan promosi klien seperti ini ditengarai karena adanya beberapa kondisi seperti TV rating makin scattered, kualitas program TV makin menurun, media cetak juga sedang mengalami penurunan sirkulasi namun tarif iklannya justru malah naik, out of home tarifnya tidak ada standar, dan radio juga masih sangat jarang dan tidak ada data besaran khalayaknya. Dalam kondisi seperti ini, klien lebih cenderung banyak bersikap ’wait and see’ terhadap perkembangan lanjutan yang ada. Meski demikian, tetap saja masih ada beberapa klien yang justru mengambil kebijakan untuk memanfaatkan momentum krisis untuk merebut pasar. Klien-klien seperti ini tetap saja beriklan secara konsisten untuk tetap eksis di pasar meski situasi dan 2 Hasil wawancara tanggal 4 September 2008 41 kondisi bisnis sedang krisis, terutama untuk kepentingan promosi berbagai produk baru yang diluncurkan sebagai respon pasar yang lebih sesuai dalam situasi krisis. Implikasi kondisi seperti ini bagi Dwi Sapta Advertising adalah semakin dituntut untuk lebih kreatif dalam menganalisis dan merancang berbagai kebutuhan program promosi sesuai dengan kondisi yang dihadapi oleh klien. Kreatifitas yang dimaksud tidak hanya terbatas pada bentuk materi kreatif iklannya saja, namun juga dalam hal penayangannya di media massa, termasuk mengembangkan kombinasi antara bentuk kampanye melalui Above The Line maupun Bellow The Line. 8. Tingkat Persaingan dan Kompetisi Bisnis Periklanan 2008. Sekalipun krisis finansial yang terjadi di tahun 2008 dinilai agak berbeda dengan yang terjadi pada tahun 1997 jika dilihat dari pusat sumber krisisnya, namun dampaknya tetap saja sama, yaitu menyebabkan merosotnya daya beli masyarakat dan makin meningkatnya kuantitas maupun kualitas kemiskinan yang terjadi di Indonesia. Kondisi seperti ini bagi kalangan dunia periklanan semakin menambah beban berat dari sisi persuasi komunikasi iklan. Artinya, perusahaan periklanan dituntut untuk semakin kreatif di dalam merancang dan mengembangkan berbagai program promosi produk-produk kliennya di saat konsumennya sendiri sedang mengalami penurunan kemampuan daya beli. Menurut A. Adji Watono5, President Director Dwi Sapta Advertising, klien yang sudah merasakan gejala kurang puas terhadap agency akan dengan mudah mengambil keputusan untuk mengadakan ’pitching’ (tender) ulang berbagai proyek promosi produknya. Ancaman kondisi seperti ini hampir dirasakan oleh semua kalangan agency, mulai dari yang ada di level perusahaan periklanan ’papan atas’ hingga ’papan bawah’. Akibatnya, persaingan antar perusahaan periklanan menjadi semakin bertambah ketat. Sebab, dalam kondisi seperti itu, klien tidak lagi 5 Hasil wawancara tanggal 24 November 2008 42 mau ambil peduli pada kategorisasi level perusahaan periklanan. Pitching ulang tersebut pada akhirnya diikuti oleh berbagai perusahaan periklanan yang memiliki level yang beragam. Dwi Sapta Advertising tidak lagi hanya berhadapan dengan kompetitor selevel, tetapi harus berhadapan dengan berbagai perusahaan tidak selevel, baik yang levelnya lebih di atas maupun di bawah yang memiliki tingkat dan bentuk persaingan tersendiri. A. Adji Watono5 menjelaskan, bila berhadapan dengan perusahaan yang levelnya di atas Dwi Sapta Advertising, maka persaingannya menjadi tidak berimbang, karena perusahaan-perusahaan pesaing tersebut memiliki kemampuan dan bargaining position yang relatif lebih kuat di mata klien, baik dari sisi reputasi, nama besar, kompetensi SDM, jaringan kerjasama, hingga kemampuan finansial dalam belanja media yang sangat besar. Sementara bila berhadapan dengan perusahaan yang levelnya di bawah Dwi Sapta Advertising, maka persaingan tetap menjadi tidak berimbang, manakala perusahaan-perusahaan tersebut lebih mampu menawarkan tingkat harga relatif jauh lebih murah, baik dari aspek agency fee, creative fee, media fee, supervision fee, maupun cost of production. Saat ini, dengan persaingan antar perusahaan periklanan yang makin ketat di tahun 2008, besaran agency fee sudah hampir tidak ada lagi yang bernilai ’double digit’ (di atas 10%). Hal ini terjadi akibat banyaknya perusahaan periklanan yang berasal dari papan tengah (apalagi papan bawah) yang bersedia menurunkan agency fee pada saat melakukan negosiasi untuk memenangkan pitching produk baru. Sementara besaran media fee juga tidak kalah tragis penurunannya. Saat ini, para perusahaan periklanan nasional banyak yang hanya berani mematok di kisaran 1-3%, mengingat adanya kebijakan bisnis media fee 0% alias free yang sanggup diberikan oleh para media specialist asing, misalnya Mindshare. Padahal, dari sumber inilah biasanya perusahaan periklanan memperoleh pendapatan perusahaan yang paling bisa diandalkan dibanding sumbersumber lainnya. Bentuk persaingan lainnya yang juga banyak dihadapi oleh perusahaan periklanan di tahun 2008 adalah dalam hal ’pembajakan’ SDM 5 Hasil wawancara tanggal 24 November 2008 43 periklanan. Selain untuk kepentingan memperkuat mutu tim perusahaan, pembajakan sumber daya manusia periklanan antar perusahaan juga dilakukan dengan target untuk memperoleh klien-klien yang dikelola oleh orang yang bersangkutan di tempat kerja sebelumnya. C. Analisis Lingkungan Internal Perusahaan 1. Positioning Dwi Sapta Advertising Setiap perusahaan pasti memiliki ciri dan keunikan tersendiri yang membedakannya dengan perusahaan lain. Bahkan, dengan ciri dan keunikannya itu bisa digunakan sebagai sumber kekuatan dan strategi bersaing melawan pesaing-pesaing. Demikian pula yang dialami oleh Dwi Sapta Advertising. Menurut A. Adji Watono5, President Director Dwi Sapta Advertising, selama kurun waktu 25 tahun (1981-2006) dikenal sebagai perusahaan periklanan yang memiliki ciri ‘hard sell’ pada setiap iklan yang diproduksinya. Ciri pendekatan komunikasi ini lebih dilandasi oleh latar belakang historis para kliennya yang banyak memiliki produk Fast Moving Consumer Goods (FMCG). Dengan budget iklan yang pada masa-masa awal relatif terbatas, para klien lebih banyak menuntut untuk lebih mementingkan aspek penjualan pada setiap iklan produknya yang dipercayakan kepada Dwi Sapta Advertising. Dengan positioning sebagai perusahaan periklanan yang berbasis ”Advertising That Sells”, Dwi Sapta Advertising mampu membedakan diri dengan berbagai perusahaan periklanan lain yang dominan menganut paradigma bisnis sebagai perusahaan kreatif iklan (lebih berorientasi pada ’award’ atau penghargaan di bidang kreatif). A. Adji Watono5 menjelaskan bahwa pilihan untuk mengambil positioning seperti ini cukup banyak mengandung risiko; baik yang bersifat bisnis maupun politis-psikologis. Secara bisnis, dengan positioning yang lebih kental dengan bentuk iklan yang bersifat ’hard sell’ tersebut, Dwi Sapta Advertising seringkali diragukan oleh beberapa perusahaan yang bermaksud membuat iklan berorientasi citra. Bahkan, hingga saat ini beberapa perusahaan dengan kategori iklan produknya 5 Hasil wawancara tanggal 24 November 2008 44 yang lebih menonjolkan sisi citra masih belum berani mempercayakan penggarapan iklannya kepada Dwi Sapta Advertising yang memang sudah dikenal sebagai agency berorientasi kepada penjualan (sales). Sementara dari sisi politis-psikologis, pilihan sebagai agency dengan positioning seperti ini mengandung risiko jadi bahan ’ejekan’ dari sesama pemilik perusahaan periklanan ketika ada kesempatan pertemuan di forum-forum tertentu, misalnya seminar, lokakarya periklanan, kongres perusahaan periklanan, dan lain-lain. Seiring dengan perkembangan dan dinamika yang terjadi dalam dunia periklanan Indonesia, positioning Dwi Sapta Advertising sebagai perusahaan periklanan mengalami penyesuaian. Pertimbangan utama dari kebijakan perusahaan untuk menyesuaikan positioning perusahaan ini lebih di dasarkan pada perkembangan kebutuhan dan permintaan klien dalam mengelola produk dan merek yang dipercayakan kepada Dwi Sapta Advertising. Setelah sekian lama menggunakan pendekatan ’Advertising That Sells’ yang dikembangkan oleh Dwi Sapta Advertising, beberapa klien pada akhirnya mulai berpikir untuk meningkatkan perhatian yang lebih besar pada aspek manajemen merek. Sejak dua tahun terakhir ini (2006-2008) secara resmi Dwi Sapta Advertising mengubah positioning perusahaannya menjadi ”Advertising That Sells with Style”. Komponen dasarnya tidak berubah (selling advertising), namun bentuk kemasan iklannya saja yang lebih disesuaikan dengan tuntutan kebutuhan merek produk saat ini (dikemas secara lebih ’stylish’). 2. Budaya Perusahaan Dwi Sapta Advertising Sebagai konsekuensi dari pilihan positioning yang dimiliki oleh Dwi Sapta Advertising, maka A. Adji Watono5 sebagai President Director mengembangkan paradigma bisnis yang dianggap sejalan dengan positioning perusahaan. A. Adji Watono5 sendiri menyadari bahwa positioning perusahaan dapat menjadi kekuatan dan strategi bisnis yang dapat diandalkan, manakala didukung oleh kekuatan budaya perusahaan yang sejalan. Oleh karena itu, A. Adji Watono5 menetapkan nilai-nilai 5 Hasil wawancara tanggal 24 November 2008 45 dasar yang harus menjadi fondasi budaya perusahaan Dwi Sapta Advertising. Nilai-nilai dasar itulah yang kemudian dijadikannya sebagai paradigma bisnis Dwi Sapta Advertising. Adapun paradigma bisnis tersebut adalah ”Sukses Klien adalah Segalanya”. Menurut A. Adji Watono5, President Director Dwi Sapta Advertising, paradigma bisnis ”Sukses Klien adalah Segalanya” secara tidak langsung telah menempatkan posisi klien sebagai pertimbangan utama dalam penyusunan berbagai kebijakan, strategi dan keputusan bisnis yang dimiliki perusahaan. Di sisi lain, hal itu juga akan sangat mempengaruhi bentuk, proses, dan mekanisme kerja yang dikembangkan di dalam perusahaan. Latar belakang dan pertimbangan pilihan paradigma bisnis ini lebih didasarkan pada pemikiran bahwa orientasi kerja maupun target output berbagai materi kreatif iklan yang dihasilkan oleh Dwi Sapta Advertising harus selalu di arahkan untuk kepentingan kesuksesan produk dan merek klien di pasar. Logika berpikirnya sangat sederhana. Bila produk dan merek klien sukses di pasar, maka klien akan memiliki cukup dana kembali dari hasil penjualan produknya tersebut. Ujung-ujungnya, klien tetap memiliki budget untuk kegiatan promosi selanjutnya dan Dwi Sapta Advertising pun memiliki peluang besar untuk kembali menangani berbagai kegiatan promosi produk klien tersebut. Siklus bisnis yang saling menguntungkan antara klien dan Dwi Sapta Advertising inilah yang selama ini telah dikembangkan sebagai pondasi ataupun pilar budaya perusahaan. Dalam prakteknya secara operasional, budaya perusahaan yang didasarkan pada paradigma bisnis ”Sukses Klien adalah Segalanya” tersebut dicerminkan oleh nilai-nilai yang berbasis pelayanan kepada klien. Salah satu contoh prinsip kerja yang dikembangkan dari nilai-nilai tersebut adalah prinsip ”Serve with The Heart” (Melayani Dengan Hati). Prinsip pelayanan seperti ini tidak saja dikembangkan dengan menekankan kemampuan memberikan pelayanan kepada klien secara profesional (sesuai dengan standar kerja yang berlaku dalam dunia periklanan), namun 5 Hasil wawancara tanggal 24 November 2008 46 juga dilandasi oleh pertimbangan-pertimbangan yang bersifat personal dari sisi kemanusiaan (humanis). Kedua bentuk dimensi pelayanan inilah yang pada akhirnya mampu membangun fleksibilitas terhadap berbagai persoalan yang muncul dalam kerjasama bisnis antara klien dan Dwi Sapta Advertising. Kekuatan budaya perusahaan yang berbasis pelayanan terhadap klien ini secara empiris mampu menjaga loyalitas klien selama belasan atau bahkan puluhan tahun. 3. Infrastruktur Bisnis Perusahaan Dwi Sapta Advertising Komitmen perusahaan untuk menyukseskan berbagai produk dan merek klien yang ditanganinya tidak hanya sebatas ’jargon’ yang tertulis di atas kertas (pernyataan bentuk positioning maupun budaya perusahaan yang tertulis dalam company profile Dwi Sapta Advertising). Komitmen tersebut juga dibuktikan dalam wujud investasi bisnis berupa infrastruktur peralatan untuk mendukung pelayanan maksimal kepada klien. Secara bertahap Dwi Sapta Advertising senantiasa berusaha menambah berbagai infrastruktur bisnis yang dimiliki seiring dengan tuntutan kebutuhan klien. Menurut Maya C. Watono3, General Manager Dwi Sapta Advertising yang membawahi bidang operasional dan HRD, sejak berdiri pada tahun 1981 sebagai cikal bakal perusahaan periklanan, awalnya infrastruktur yang dimiliki lebih banyak ke arah peralatan kerja pada bidang jasa fotografi profesional (beragam jenis dan merek kamera, lampu, roll film, alat cuci cetak, dan lain-lain). Setahun kemudian (1982), Dwi Sapta Advertising menambah infrastruktur pada bidang sablon dan percetakan. Kemudian pada tahun 1985 menambah infrastruktur yang dibutuhkan untuk jasa pelayanan periklanan media cetak terpadu (mulai dari peralatan produksi sticker, brosur, leaflet, poster, umbul-umbul, spanduk, billboard, hingga iklan media cetak). Pada tahun 1989, seiring dengan kemunculan stasiun televisi swasta pertama (RCTI), Dwi Sapta Advertising menambah kembali infrastruktur yang mendukung untuk menjadi ”Full Service Advertising Agency”. Mulai tahun inilah Dwi Sapta Advertising secara resmi memberikan integrasi pelayanan periklanan Above The Line dan Bellow 3 Hasil wawancara tanggal 23 Oktober 2008 47 The Line. Pada tahun 1995, Dwi Sapta Advertising menambah kembali infrastruktur pelayanannya kepada klien, terutama yang berkaitan dengan pelayanan produksi iklan televisi, dengan mendirikan rumah produksi Netracomm. Kebijakan bisnis ini kemudian dilengkapi dengan pendirian Neo Post pada tahun 2004 yang berfungsi untuk kepentingan editing film iklan televisi. Dengan berbagai infrastruktur yang lengkap tersebut, Dwi Sapta Advertising mampu memberikan pelayanan yang maksimal kepada klien-kliennya hingga sekarang ini. 4. Proses Kerja Internal Perusahaan Dwi Sapta Advertising Selama 25 tahun pertama (1981-2006) proses kerja internal Dwi Sapta Advertising cenderung lebih terfokus pada tujuan bagaimana menciptakan angka penjualan produk-produk klien dengan setinggitingginya. Target ini tidak bisa dilepaskan dari positioning perusahaan yang menempatkan diri sebagai agency berbasis ”Advertising That Sells”. Implikasi dari fokus target seperti ini lebih banyak memberikan perhatian pada pendekatan komunikasi iklan yang bersifat ’hard sell’. Konsekuensinya, aspek pengembangan merek relatif kurang mendapat porsi perhatian yang lebih memadai. Menurut M.Kh. Rachman R4, Senior Business Development Manager Dwi Sapta Advertising, sejak kurun waktu dua tahun terakhir (2006-2008) Dwi Sapta Advertising telah menyesuaikan proses kerja internal yang telah dijalankan selama ini dengan maksud untuk memberikan keseimbangan antara pencapaian target penjualan dan pengembangan merek. Dengan perubahan orientasi kerja seperti ini, maka proses kerja internal perusahaan pun mengalami penyesuaian. Secara konkret, Dwi Sapta Advertising mulai mengembangkan sinergi kerja antar bagian yang terlibat dalam proses pengembangan komunikasi produk. Fungsi dan peran untuk melakukan sinergi antar bagian itulah yang saat ini dijalankan oleh Divisi Business Development. Di satu sisi, bagian ini bertanggungjawab untuk menyusun strategi bisnis dan komunikasi produk klien agar sukses di pasar, baik dari sisi 4 Hasil wawancara tanggal 4 September 2008 48 penjualan maupun pengembangan merek. Disinilah fungsi dan peran Divisi Business Development untuk menyinergikan berbagai turunan bentuk strategi bisnis dan komunikasi produk tersebut menjadi strategi kreatif, strategi perencanaan media dan pengembangan program-program komunikasi pemasaran lainnya. Namun, di sisi lainnya, bagian ini juga bertanggungjawab untuk mengarahkan pengembangan strategi bisnis Dwi Sapta Advertising secara korporat. Dalam prakteknya, secara operasional, tugas-tugas tersebut dijalankan dengan menempatkan proses mencari ‘consumer insight’ sebagai langkah awal dan menjadi dasar penyusunan berbagai strategi, baik bisnis, pemasaran, komunikasi, kreatif, media, dan lain-lain. 5. Sentralisasi Proses Pengambilan Keputusan Manajemen Perusahaan Keberadaan Dwi Sapta Advertising tidak dapat dilepaskan dari sosok dan figur pendiri sekaligus pemiliknya, A. Adji Watono. Sebagai seorang pengusaha bidang periklanan, pribadi A. Adji Watono adalah sosok yang penuh kontroversial. Beberapa contoh kasus yang dapat menggambarkan sosoknya yang penuh kontrversial adalah keberaniannya memilih positioning sebagai agency yang berbasis ”Advertising That Sells” di saat hampir semua agency di Indonesia menempatkan penghargaan kreatif sebagai orientasi utama bisnisnya. Contoh lain adalah ketika terjadi krisis pada tahun 1997, hampir semua pemilik perusahaan periklanan menyarankan kliennya untuk berhenti sementara dalam beraktivitas promosi, justru A. Adji Watono5 menyarankan kebalikannya. Masih dalam suasana dan situasi krisis tahun 1997, A.Adji Watono berani melakukan investasi jangka panjang dengan membeli dan membangun kantor baru bagi Dwi Sapta Advertising di kawasan Komplek Gading Bukit Indah Kelapa Gading. Secara singkat, dalam menjalankan perusahaan selama lebih dari 27 tahun, A. Adji Watono tidak hanya mengandalkan perhitungan bisnis secara kalkulasi matematik, namun juga menggabungkannya dengan pertimbangan-pertimbangan bersifat intuitif, bahkan cenderung nekad 5 Hasil wawancara tanggal 24 November 2008 49 (gambling). Meski demikian, dengan cara seperti ini justru telah berhasil (proven) membawa Dwi Sapta Advertising berkembang seperti sekarang ini. Demikian pula yang telah dialami oleh klien-kliennya yang semula masih sebagai perusahaan kecil, sekarang sudah menjelma menjadi perusahaan besar, dengan produk-produk yang semula tidak diperhitungkan, kini menjadi produk yang sukses di pasar dan menjadi market leader. Kekuatan sosok dan figur A.Adji Watono inilah yang sangat dominan mewarnai setiap proses pengambilan keputusan manajerial di Dwi Sapta Advertising. Padahal di level manajemen Dwi Sapta Advertising, Maya C. Watono (anaknya) yang duduk sebagai General Manager sekaligus Media Director di Dwi Sapta Advertising masih menunggu ’final decision maker’ dari A. Adji Watono, terlebih bila keputusan tersebut terkait dengan aspek finansial. 6. Kompetensi SDM Kreatif Periklanan Dwi Sapta Advertising Pengalaman Dwi Sapta Advertising selama lebih dari 27 tahun, selain telah membesarkan bisnis perusahaan dan produk-produk klien, sekaligus membentuk jenis kategori dan tingkatan kompetensi yang dimiliki oleh SDM Kreatif Periklanan Dwi Sapta Advertising. Dengan pengalaman telah mengelola dan menyukseskan berbagai jenis produk dan merek kliennya, Dwi Sapta Advertising telah dipersepsi sebagai perusahaan periklanan yang sangat kuat Tim Kreatif bila diminta harus membuatkan pendekatan komunikasi berorientasi pada penjualan. Di satu sisi, persepsi tentang kompetensi SDM Kreatif Periklanan seperti itu sebenarnya sejalan dan memperkuat pilihan positioning perusahaan, serta membantu membangun corporate image Dwi Sapta Advertising. Namun, di sisi lainnya menjadi ’barrier’ terhadap peluang bisnis perusahaan untuk dapat menangani berbagai kampanye produk dan merek tertentu yang cenderung menggunakan pendekatan komunikasi yang ’soft sells dan high image’. Menurut C. Aristantono4, Creative Director Dwi Sapta Advertising, saat ini sebenarnya Dwi Sapta Advertising telah memiliki tim kreatif yang 4 Hasil wawancara tanggal 4 September 2008 50 cukup lengkap, baik dari sisi jumlah, tingkat kompetensi, latar belakang pengalaman kerja di bidang periklanan, maupun karakteristik pendekatan dan gaya kreatif yang dimilikinya. Dengan empat Tim Kreatif yang ada, Dwi Sapta sebenarnya mampu mengerjakan bentuk iklan dengan pendekatan kreatif apapun, baik bersifat ’hard sells” maupun ”soft sells atau high image”. Aristantono sendiri mengakui bahwa dirinya bersedia bergabung memperkuat Tim Kreatif Dwi Sapta Advertising sejak awal tahun 2006 atas dasar permintaan A. Adji Watono sebagai pemilik perusahaan agar dapat memenuhi tuntutan kebutuhan klien yang lebih memilih pendekatan komunikasi bersifat ”soft sells dan high image”. Aristantono sendiri sebelumnya adalah praktisi kreatif periklanan yang lebih banyak menghabiskan pengalaman kerjanya di berbagai perusahaan periklanan asing, seperti Lowe, JWT, dan lain-lain. 7. Karakteristik Klien-Klien Dwi Sapta Advertising Hingga saat ini, Dwi Sapta Advertising memiliki dan menangani lebih dari 50 produk dan merek yang sangat beragam, mulai dari otomotif, sparepart, perbankan, makanan, minuman, obat, multivitamin, jamu, produk perawatan tubuh, produk rumah tangga, peralatan elektronik dan lain-lain. Dengan jumlah klien yang banyak dan beragam tersebut, Dwi Sapta Advertising tetap memperlakukannya secara ’customized’, sejalan dengan prinsip pelayanan yang selama ini sudah dikembangkan. Menurut Tanty Dewi Permassanty3, Account Director Dwi Sapta Advertising, kemampuan perusahaan dalam memberikan pelayanan kepada klien-klien secara profesional dan personal tersebut secara empiris mampu menjaga kelangsungan hubungan kerjasama yang ada selama belasan atau bahkan puluhan tahun. Dwi Sapta Advertising sangat menyadari bahwa karakteristik klien-klien yang dimilikinya itu sangat berbeda satu sama lain, baik dari segi latar belakangan perusahaan, karakteristik produk yang dimilikinya, bentuk persaingan dan kompetisi produknya di pasar, gaya manajemen perusahaan, maupun tipologi profil personal para pemegang produk dan mereknya di lapangan. Oleh karena 3 Hasil wawancara tanggal 23 Oktober 2008 51 itu, perlu ditangani dan dikelola secara berbeda sesuai kondisi dan karakteristik masing-masing. Tanty Dewi Permassanty3 menjelaskan bahwa hingga saat ini, beberapa contoh kerjasama dengan berbagai klien telah berjalan selama belasan atau bahkan puluhan tahun. Misalnya, dengan Djarum lebih dari 27 tahun, Kino Group lebih dari 15 tahun, Enesis Group lebih dari 14 tahun, Sidomuncul lebih dari 15 tahun, Kable Farma lebih dari 15 tahun, Daihatsu lebih dari 12 tahun, dan lain-lain. Hal itu terjadi, karena selama bekerjasama dengan klien-klien tersebut, Dwi Sapta Advertising selalu memenuhi tuntutan kebutuhan dan keinginan klien, baik yang didasarkan pencapaian target penjualan produknya, kemampuan berempati pada kondisi klien, kecepatan dan fleksibilitas waktu kerja, sistem dan manajemen kerja yang diharapkan klien, kedekatan secara personal (chemistry), maupun kecocokan pada tingkat harga yang diberikan oleh Dwi Sapta Advertising. 8. Aktivitas Komunikasi Perusahaan Dwi Sapta Advertising Mengelola perusahaan periklanan pada dasarnya adalah mengelola citra perusahaan di mata konsumen, baik yang sudah ataupun belum menjadi klien. Karena sifatnya yang bergerak di bidang jasa, maka penilaian terhadap mutu produknya bersifat relatif, bahkan disebut subyektif. Demikian pula yang dialami oleh Dwi Sapta Advertising selama ini. Hasil karya-karya periklanan Dwi Sapta Advertising tidak saja dinilai berdasarkan materi kreatif iklan secara fisik (dapat lihat dan didengar), namun seringkali juga di pengaruhi oleh penilaian-penilaian lain yang berada di luar materi kreatif iklan tersebut secara fisik (beyond product), terutama yang berkaitan dengan citra atau label yang sudah melekat di Dwi Sapta Advertising secara korporat. Atas dasar pemikiran dan pertimbangan itulah, Dwi Sapta Advertising mengambil kebijakan untuk menangani program-program komunikasi korporatnya secara lebih serius. Menurut Saida Rosadi4), Staff Bagian Public Relations Dwi Sapta Advertising, selama ini ada beberapa bentuk program komunikasi korporat yang dilakukan oleh Dwi Sapta 3 Hasil wawancara tanggal 23 Oktober 2008 52 Advertising, antara lain Iklan di media cetak (berbentuk iklan korporat, lowongan kerja, feature, dan lain-lain), sponsorship kegiatan, charity and TV program, penerbitan majalah dan buku, program-program yang berbasis tanggungjawab sosial perusahaan seperti kunjungan mahasiswa, bedah buku, studium general mahasiswa, praktek kerja dan job training mahasiswa, program inkubasi profesi bagi dosen, beasiswa berprestasi bagi anak kurang mampu, donasi panti asuhan dan rumah jompo, dan lainlain). Saida Rosadi4 menjelaskan bahwa program komunikasi korporat yang dinilai cukup besar memberikan kontribusi terhadap datangnya undangan pitching (tender) bagi Dwi Sapta Advertising adalah yang berasal dari penerbitan buku periklanan. Saat ini, Dwi Sapta Advertising sudah menerbitkan dua buku periklanan, yaitu ”Advertising That Sells” (terbit tahun 2006) dan ”Advertising That Makes Money” (terbit tahun 2008). D. Hasil Analisis SWOT Sebagai Alat Perumusan Strategi Pemasaran 1. Tahapan Penyusunan Perencanaan Strategis Dwi Sapta Advertising Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa analisis SWOT adalah sebuah kerangka analisis strategi yang menekankan optimal bentuk kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities) yang dilakukan seiring dengan minimalisasi bentuk kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats). Analisis ini memberikan gambaran secara konkrit bagaimana kondisi obyektif situasi dan persaingan bisnis yang dihadapi Dwi Sapta Advertising, melalui deksripsi peluang dan ancaman yang berasal dari eksternal perusahaan sekaligus membandingkannya dengan kekuatan dan kelemahan yang ada di internal perusahaan. Profil kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman ini dapat ditelusuri dan diidentifikasi melalui gambaran kondisi dan situasi yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya (A, B dan C). 4 Hasil wawancara tanggal 4 September 2008 53 Kekuatan merupakan sumber daya, keterampilan, kelebihan dan keunggulan-keunggulan lainnya secara relatif dibandingkan terhadap pesaing maupun terhadap perkembangan kebutuhan pasar yang akan dimasuki secara bisnis oleh Dwi Sapta Advertising. Faktor kekuatan ini dapat dianggap sebagai kompetensi khusus (distinctive competence) yang memberikan keunggulan komparatif bagi Dwi Sapta Advertising dalam bersaing dengan agency-agency lain di pasar industri periklanan. Sementara kelemahan dapat dianggap sebagai keterbatasan atau kekurangan perusahaan yang bisa saja meliputi aspek SDM, keterampilan ataupun kondisi-kondisi lainnya yang dapat menghambat perkembangan Dwi Sapta Advertising. Peluang adalah berbagai perkembangan situasi dan kondisi makro yang kondusif bagi Dwi Sapta Advertising secara korporat, mulai dari dinamika industri periklanan, trend perkembangan teknologi komunikasi dan industri media, perkembangan regulasi dan kebijakan pemerintah yang terkait dengan bisnis periklanan, perkembangan daya beli konsumen, perkembangan gaya hidup dan nilai-nilai baru yang berkembang di masyarakat, hingga perkembangan arah kebutuhan promosi klien. Namun, di sisi lain faktor-faktor tersebut dapat berubah menjadi ancaman bagi Dwi Sapta Advertising, manakala arah perkembangannya justru lebih menekan keberadaan perusahaan. Setelah melakukan identifikasi terhadap faktor-faktor eksternal dan internal tersebut, selanjutnya diberikan bobot, rating dan skor yang menggambarkan posisi Dwi Sapta Advertising dalam konteks persaingan bisnis pada industri periklanan yang akan dapat dilihat dari lima bentuk matrik hasil analisisnya, yaitu (1) Matriks Profil SWOT Perusahaan, (2) Matriks Faktor Strategi Eksternal, (3) Matriks Faktor Strategi Internal, (4) Matriks Posisi Perusahaan, dan (5) Matriks Profil Kompetitif. Berdasarkan hasil analisis terhadap gambaran situasi dan kondisi yang terdapat di lingkungan eksternal dan internal Dwi Sapta Advertising, maka dapat susun Matriks Profil SWOT Perusahaan seperti dimuat pada Tabel 5. 54 Tabel 5. Matrik Profil SWOT Perusahaan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 1. 2. 3. 4. 5. 6. KEKUATAN (S) Nilai jual positioning perusahaan yang baru (Advertising That Sells with Style) Citra perusahaan periklanan yang baik dan terbukti (menghasilkan 9 brand market leader) Terkenal dengan kemampuan pelayanan yang memuaskan (profesional dan personal) Infrastruktur bisnis yang lengkap (creative agency, media specialist, PH, editing film, brand activation, dll) dengan harga kompetitif. Proses kerja yang berbasis ’consumer insight’ dan fleksibel dari sisi waktu yang terbatas sekalipun (rush job) Tim kreatif yang lengkap dan multitalented Karakter klien yang relatif loyal dan masih lebih berorientasi pada target penjualan. Aktivitas program komunikasi perusahaan yang sistematis dan komprehensif (media massa, seminar bisnis, penerbitan majalah dan buku, hingga ke forum-forum akademik) PELUANG (T) Trend pertumbuhan industri periklanan yang cukup nyata (‘double digit’), dilihat dari besaran pengeluaran belanja iklan nasional Trend perkembangan industri media (khususnya program TV) yang membuka peluang perkembangan built in promo atau creative media. Perkembangan teknologi produksi berbagai produk yang pada akhirnya banyak melahirkan berbagai produk baru yang juga membutuhkan promosi Berkembangnya kesadaran dan kebutuhan klien membuat program komunikasi produk dan merek lebih sistematis dan berbasis ’consumer insight’ Terbukanya kesempatan untuk ikut dalam proses pitching (tender) social campaign yang berasal dari instansi pemerintah maupun BUMN Adanya testimoni dari beberapa klien yang merasa puas dengan kinerja perusahaan maupun yang terekspos dari salah satu program komunikasi perusahaan (buku, majalah, seminar, dll) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. KELEMAHAN (W) Brand Dwi Sapta telah cukup kuat dipersepsi oleh konsumen (calon klien) sebagai agency ‘hard sells’ Mutu output kreatif yang dihasilkan masih dianggap terlalu kuat (kental/ menonjol) sisi teknisnya dibanding kekuatan konsep idenya Sentralisasi proses pengambilan keputusan bisnis masih dominan bertumpu di tangan Presdir Orientasi budaya perusahaan yang menempatkan posisi klien sedemikian ’powerfull’, sehingga menjadi kendala operasional Etos dan cara kerja yang sudah 25 tahun terbentuk sebagai profesional periklanan yang berorientasi pada penjualan masih cukup kuat, sehingga menjadi ’barrier’ dalam transisi ke pendekatan ”Advertising That Sells with Style” Belum adanya standarisasi baku dalam pola pengembangan komunikasi produk dan merek klien ANCAMAN (T) Dampak krisis finansial global dan labilnya kurs rupiah terhadap dollar Amerika yang berujung pada penurunan daya beli konsumen dan budget promosi klien Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang bersifat interaktif (internet based) yang selama ini kurang mendapat porsi perhatian perusahaan Sikap klien yang makin cerdas, kritis, selektif terhadap budget promosi dan pemilihan media Perkembangan arah dan kebutuhan promosi klien yang makin kompleks Gaya hidup masyarakat yang diikuti oleh perubahan aspirasi, kebutuhan dan keinginan konsumen sebagai end user Dampak fenomena ’cheap revolution’ yang berimbas pada ’jor-joran’ perang tarif agency fee, media fee, supervision fee, dan lain-lain Eksodus SDM periklanan yang kompeten dan memiliki hubungan profesional dan personal yang baik dengan klien ke pihak pesaing Regulasi pemerintah yang kurang kondusif terhadap proses kerja perusahaan 55 Berdasarkan hasil pengumpulan data responden terhadap gambaran situasi dan kondisi yang terdapat di lingkungan eksternal dan internal Dwi Sapta Advertising dari sumber data responden, maka dapat diperoleh Bobot SWOT Perusahaan (Eksternal dan Internal) seperti dimuat pada Tabel 6 dan 7. Tabel 6. Bobot SWOT Eksternal NO FAKTOR EKSTERNAL 1 2 3 Responden 4 5 6 7 Rataan 12 6 5 5 7 10 5 7,14* 9 10 8 12 15 10 10 10,57 6 5 5 5 5 5 5 5,14 7 9 7 5 6 5 8 6,71 5 8 7 5 8 5 6 6,57 8 5 10 5 5 10 15 8,29 11 15 12 12 12 15 8 12,14 4 6 5 10 7 4 8 6,29 9 9 12 12 7 10 5 9,14 7 8 5 9 7 10 5 7,29 4 6 6 5 6 3 5 5,00 9 6 9 10 8 10 1O 8,86 6 5 5 5 6 3 5 5,00 3 2 4 0 1 0 5 2,14 PELUANG 1. 2. 3. 4. 5. 6. Tren pertumbuhan industri periklanan yang nyata (‘double digit’) Trend perkembangan industri media (built in promo dan creative media) Perkembangan teknologi produksi (banyak melahirkan produk baru) Perkembangan kesadaran klien untuk berpromosi lebih sistematis (insight) Terbukanya kesempatan untuk ikut pitching social campaign Adanya testimony positif (klien yang puas atau dari buku) ANCAMAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Dampak krisis finansial global dan labilnya kurs rupiah terhadap dollar Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang bersifat interaktif Sikap klien yang makin cerdas, kritis, dan selektif terhadap budget promosi Perkembangan arah dan kebutuhan promosi klien yang makin kompleks Perubahan gaya hidup masyarakat sebagai end user. Dampak fenomena ’cheap revolution’ dalam bentuk perang harga Eksodus SDM periklanan yang kompeten ke pihak kompetitor Regulasi pemerintah yang kurang kondusif terhadap proses kerja JUMLAH 100 100 100 100 100 100 100 100 *) 12 + 6 + 5 + 5 + 7 + 10 + 5 = 7,14 dan perhitungan selanjutnya adalah serupa caranya 12 56 Tabel 7. Bobot SWOT Internal NO 1 2 3 Responden 4 5 6 7 Rataan 7 5 6 3 5 4 6 5,14* 8 5 6 3 5 10 6 6,14 12 10 15 9 15 13 10 12,00 6 8 10 6 10 5 8 7,57 8 8 6 6 5 7 6 6,71 6 5 8 10 5 6 6 6,57 8 5 6 13 8 12 8 8,57 6 5 5 8 5 4 6 5,57 10 13 6 7 9 8 8 8,71 12 10 8 6 8 10 6 8,57 5 5 5 9 7 6 10 6,71 4 6 6 8 8 6 6 6,29 5 8 7 6 5 4 8 6,14 3 7 6 6 5 5 6 5,43 100 100 100 100 100 100 100 100 FAKTOR INTERNAL KEKUATAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Nilai jual positioning perusahaan yang baru (Advertising That Sells with Style) Citra perusahaan periklanan yang baik dan terbukti (menghasilkan 9 brand market leader) Terkenal dengan kemampuan pelayanan yang memuaskan (profesional dan personal) Infrastruktur bisnis yang lengkap dengan harga kompetitif Proses kerja berbasis ’consumer insight’ dan fleksibel dari sisi waktu yang terbatas sekalipun (rush job) Tim kreatif yang lengkap dan multitalented Karakter klien yang relatif loyal dan masih lebih berorientasi pada target penjualan Aktivitas program komunikasi perusahaan yang sistematis dan komprehensif KELEMAHAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. Brand Dwi Sapta telah cukup kuat dipersepsi sebagai agency ‘hard sells’ Mutu output kreatif yang dihasilkan masih dianggap terlalu kuat sisi teknisnya Sentralisasi proses pengambilan keputusan bisnis masih dominan bertumpu di tangan Presdir Orientasi budaya perusahaan yang menempatkan posisi klien sedemikian ’powerfull’ Etos dan cara kerja yang sudah 25 tahun masih cukup kuat menjadi ’barrier’ Belum adanya standarisasi yang baku dalam pola pengembangan komunikasi produk dan merek klien JUMLAH *) keterangan serupa dengan yang dimuat pada Tabel 6. Berdasarkan hasil pembobotan SWOT perusahaan dan rating yang diperoleh dari responden, maka diperoleh matriks EFE/EFAS (Tabel 8) dan matriks IFE/IFAS (Tabel 9). 57 Tabel 8. Matriks EFE/EFAS FAKTOR EKSTERNAL BOBOT RATING (a) (b) NILAI SKOR TERBOBOT (a x b) 0,07 2,29 0,02 0,11 3,57 0,38 0,05 2,14 0,11 0,07 2,86 0,20 0,07 2,57 0,17 0,08 3,00 0,25 0,12 2,00 0,24 0,06 2,43 0,15 0,09 2,57 0,23 0,07 2,29 0,17 0,05 2,14 0,11 0,09 2,86 0,25 0,05 1,86 0,09 0,02 1,29 0,03 PELUANG Trend pertumbuhan industri periklanan yang nyata (‘double digit’) Trend perkembangan industri media (built in promo dan creative media) Perkembangan teknologi produksi (banyak melahirkan produk baru) Perkembangan kesadaran klien untuk berpromosi lebih sistematis (insight) Terbukanya kesempatan untuk ikut pitching social campaign Adanya testimony positif (klien yang puas atau dari buku) ANCAMAN Dampak krisis finansial global dan labilnya kurs rupiah terhadap dollar Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang bersifat interaktif Sikap klien yang makin cerdas, kritis dan selektif terhadap budget promosi Perkembangan arah dan kebutuhan promosi klien yang makin kompleks Perubahan gaya hidup masyarakat sebagai end user. Dampak fenomena ’cheap revolution’ dalam bentuk perang harga Eksodus SDM periklanan yang kompeten ke pihak kompetitor Regulasi pemerintah yang kurang kondusif terhadap proses kerja JUMLAH 1,00 2,39 Tabel 9. Matriks IFE/IFAS FAKTOR EKSTERNAL BOBOT (a) RATING (b) NILAI SKOR TERBOBOT (axb) 0,05 2,86 0,15 0,06 3,29 0,20 0,12 3,57 0,43 0,08 3,00 0,23 0,07 3,00 0,20 0,07 2,43 0,16 KEKUATAN Nilai jual positioning perusahaan yang baru (Advertising That Sells with Style) Citra perusahaan periklanan yang baik dan terbukti (menghasilkan 9 brand market leader) Terkenal dengan kemampuan pelayanan yang memuaskan (profesional dan personal) Infrastruktur bisnis yang lengkap dengan harga kompetitif. Proses kerja yang berbasis ’consumer insight’ dan fleksibel dari sisi waktu yang terbatas sekalipun (rush job) Tim kreatif yang lengkap dan multi-talented 58 Lanjutan Tabel 9. FAKTOR EKSTERNAL BOBOT RATING (a) (b) NILAI SKOR TERBOBOT (axb) 0,09 2,86 0,25 0,06 3,00 0,17 0,09 2,43 0,21 0,09 2,26 0,19 0,07 2,57 0,17 0,06 2,57 0,16 0,06 2,57 0,16 0,05 2,57 0,14 KEKUATAN Karakter klien yang relatif loyal dan masih lebih berorientasi pada target penjualan. Aktivitas program komunikasi perusahaan yang sistematis dan komprehensif KELEMAHAN Brand Dwi Sapta telah cukup kuat dipersepsi sebagai agency ‘hard sells’ Mutu out put kreatif yang dihasilkan masih dianggap terlalu kuat sisi teknisnya Sentralisasi proses pengambilan keputusan bisnis masih dominan bertumpu di tangan Presdir Orientasi budaya perusahaan yang menempatkan posisi klien sedemikian ’powerfull’ Etos dan cara kerja yang sudah 25 tahun masih cukup kuat menjadi ’barrier’ Belum adanya standarisasi yang baku dalam pola pengembangan komunikasi produk dan merek klien JUMLAH 1,00 2,81 Hasil perhitungan nilai kumulatif yang ada pada Matriks Faktor Strategi Eksternal dan Internal tersebut dapat digunakan sebagai dasar penentuan posisi perusahaan Dwi Sapta Advertising, yaitu nilai kumulatif peubah eksternal (2,39) diperlakukan sebagai sumbu X (vertikal) dan peubah internal (2,81) sebagai sumbu Y (horizontal), seperti dimuat pada Gambar 9. Matriks Posisi Perusahaan menawarkan 3 (tiga) bentuk alternatif strategi, yaitu : 4. Strategi Pertumbuhan (Growth Strategy), dimana kuadran-kuadran ini merupakan kondisi pertumbuhan perusahaan (kuadran 1, 2, dan 5) atau upaya untuk melakukan diversifikasi (kuadran 7 dan 8). 5. Strategi Stabilitas (Stability Strategy) adalah suatu bentuk strategi yang diterapkan tanpa harus mengubah arah strategi yang sedang berjalan atau sedang diterapkan (kuadran 4 dan 5). 6. Strategi Penciutan (Retrenchment Strategy) adalah usaha memperkecil atau mengurangi usaha yang dilakukan perusahaan (kuadran 3, 6 dan 9). 59 --- Total Skor Faktor Internal --Kuat 4,0 Tinggi 3,0 Kuadran-1 Pertumbuhan (Konsentrasi – Integrasi Vertikal) 2,81 Rataan Lemah 2,0 1,0 Kuadran-2 Pertumbuhan (Konsentrasi – Integrasi Horizontal) Kuadran-3 Penciutan (Turnaround) -- Total Skor Faktor Eksternal -- 3,0 Rataan Kuadran-4 Stabilitas (Hati-Hati) Kuadran-5 Pertumbuhan (Konsentrasi – Integrasi Horizontal) Stabilitas (Tidak ada perubahan & Profit Strategi 2,39 Kuadran-6 Penciutan (Captive Company atau Divestasi) 2,0 Rendah Kuadran-7 Pertumbuhan (Diversifikasi Konsentrik) Kuadran-8 Pertumbuhan (Diversifikasi Konglomerat) Kuadran-9 Penciutan (Bangkrut atau Likuidasi) 1,0 Gambar 9. Matriks posisi perusahaan Dengan melihat kordinat titik temu peubah eksternal dan internal tersebut dapat dinyatakan bahwa posisi Dwi Sapta Advertising berada dalam Kuadran-5 yang berisi rekomendasi untuk melakukan strategi pertumbuhan melalui integrasi horizontal. Bila melihat nilai akhir dari 60 peubah eksternal (2,39), maka dapat dinyatakan bahwa lingkungan eksternal (peluang dan ancaman) yang dimiliki oleh Dwi Sapta Advertising relatif cukup memberikan prospek yang baik bagi kelangsungan bisnisnya. Bila melihat nilai akhir dari peubah internal (2,81), sehingga dapat dinyatakan bahwa lingkungan internal (kekuatan dan kelemahan) yang dimiliki Dwi Sapta Advertising relatif cukup siap merespon prospek yang terbuka yang ada di lingkungan eksternal perusahaan. Konsekuensi dari rekomendasi strategi berdasarkan posisi perusahaan, maka Dwi Sapta Advertising lebih mengarahkan kepada pencapaian kondisi pertumbuhan pendapatan perusahaan (billing), pertumbuhan keuntungan perusahaan (profitabilitas) dan pertumbuhan aset perusahaan. Strategi ini dapat dilakukan dengan cara mengembangkan berbagai jasa layanan baru di bidang periklanan dan komunikasi pemasaran, melakukan peningkatan mutu hasil pekerjaan yang sudah ada (mutu konsep dan rekomendasi strategi komunikasi, kreatif, media, produksi, evaluasi dan monitoring belanja iklan, dan sebagainya), melakukan efisiensi biaya operasional dan produksi, serta memperluas akses pasar baru yang selama ini belum pernah dirambah. Untuk melengkapi analisis hasil perhitungan profil SWOT dan posisi perusahaan Dwi Sapta Advertising tersebut, selanjutnya digunakan analisis perbandingan perusahaan dengan beberapa pesaingnya di pasar. Dalam hal ini, Dwi Sapta Advertising dibandingkan dengan dua kategori pesaing sesama perusahaan periklanan (advertising agency), yaitu (1) pesaing yang berasal dari kategori agency papan atas dan (2) pesaing yang berasal dari kategori agency papan bawah. Karakteristik profil perusahaan pesaing yang berasal dari kategori agency papan atas ini dapat berasal dari sesama agency lokal seperti Dwi Sapta Advertising, namun kebanyakan berasal dari agency multinasional (asing) yang biasanya di atas kertas memiliki beberapa keunggulan komparatif seperti nama baik dan reputasi perusahaan di dunia internasional, kekuatan jaringan bisnis di dunia, kekuatan modal secara 61 finansial, kekuatan kompetensi SDM, kekuatan standarisasi sistem bisnis dan mekanisme kerja, serta kemampuan untuk menyusun strategi secara keseluruhan. Sementara karakteristik profil perusahaan pesaing yang berasal dari kategori agency papan bawah ini seluruhnya berasal dari sesama agency lokal seperti Dwi Sapta Advertising, berupa perusahaan lokal yang berasal dari berbagai daerah maupun perusahaan periklanan baru di Jakarta yang didirikan oleh praktisi periklanan senior yang sudah berpengalaman bekerja di agency yang sudah mapan. Analisis perbandingan perusahaan dengan pesaing membantu memberikan gambaran peta kompetisi yang akan dihadapi oleh perusahaan Dwi Sapta Advertising (Tabel 10). Dalam prakteknya, Dwi Sapta sering mengikuti proses pitching (tender) iklan tidak saja hanya berhadapan dengan kompetitor yang berasal dari kategori agency papan atas. Dalam waktu dan kesempatan yang sama, Dwi Sapta Advertising juga harus berhadapan dengan pesaing yang berasal dari agency papan bawah. Kedua jenis pesaing ini memiliki kekuatan dan keunggulan yang berbeda satu sama lain, sehingga perlu ’perlakuan’ strategi yang berbeda pula dalam menghadapinya. Berdasarkan data hasil analisis Matrik Profil Kompetitif antara Dwi Sapta Advertising dengan para kompetitornya, maka dapat disebutkan bahwa secara keseluruhan Dwi Sapta Advertising berada pada posisi cukup kuat (skor total 2,61 mendekati kriteria di atas rataan perusahaan periklanan pada umumnya). Posisi seperti ini hanya bisa dikalahkan oleh perusahaan pesaing yang berasal dari kategori papan atas (perusahaan periklanan multinasional). Meski demikian, dalam beberapa aspek kekuatan bargaining power terhadap media house, mutu pelayanan yang prima, kecepatan dalam merespon kebutuhan klien, fleksibilitas dan empati kepada klien, serta tingkat harga yang kompetitif, posisi Dwi Sapta tetap mampu mengungguli perusahaan pesaing tersebut. 62 Tabel 10. Matriks profil kompetitif FAKTOR STRATEGIK BOBOT (a) Kemampuan menyusun strategi secara keseluruhan (marketing, brand, komunikasi, kreatif dan activation) Mutu dan daya tarik konsep maupun ide kreatif yang relevan dengan strategi yang sudah dibuat Kemampuan mengukur dan mengevaluasi efektivitas berbagai program promosi yang telah dijalankan Kemampuan menyusun strategi perencanaan media Kekuatan bargaining power terhadap media house (besaran diskon dan bonus) Mutu pelayanan yang diberikan secara profesional dan personal Kecepatan dalam merespon dan memenuhi berbagai permintaan dan kebutuhan yang dimiliki oleh klien Fleksibilitas dan empati terhadap kondisi dan situasi sulit yang dihadapi oleh klien Tingkat harga yang kompetitif untuk berbagai jasa perancangan dan produksi berbagai materi kreatif Bonafiditas dan reputasi perusahaan sebagai advertising agency TOTAL PERUSAHAAN (DSA) Skor Nilai (b) (a x b) KOMPETITOR KOMPETITOR PAPAN ATAS PAPAN BAWAH Skor Nilai Skor Nilai (b) (a x b) (b) (a x b) 0,15 2 0,30 3 0,45 1 0,15 0,15 2 0,30 4 0,60 2 0,30 0,10 3 0,30 4 0,40 2 0,20 0,10 2 0,20 2 0,20 1 0,10 0,10 3 0,30 2 0,20 2 0,20 0,08 4 0,30 3 0,23 2 0,15 0,05 3 0,15 2 0,10 2 0,10 0,08 3 0,23 2 0,15 2 0,15 0,13 3 0,38 2 0,25 4 0,50 0,08 2 0,15 4 0,30 2 0,15 1,00 2,61 2,88 2,00 2. Rancangan Strategi Pemasaran Dwi Sapta Advertising Setelah melakukan proses analisis tentang kekuatan dan kelemahan Dwi Sapta Advertising secara korporat yang dibandingkan dengan kondisi peluang dan tantangan bisnis yang harus dihadapinya, maka langkah selanjutnya membuat rancangan strategi pemasaran berdasarkan informasi yang sudah dimiliki tersebut. Untuk kepentingan penyusunan strategi ini sebenarnya dapat digunakan beberapa alternatif model pengembangan strategi, yaitu Matriks Threats, Opportunities, Weaknesses, Strengths (TOWS) atau SWOT, Matriks BCG (Boston Consulting Group), Matriks IE, Matrik Strategic Position and Action Evaluation (SPACE), serta Matriks Grand Strategy dan QSPM. 63 Kajian ini menggunakan model pengembangan strategi gabungan antara Matrik TOWS atau SWOT dan Matriks IE, serta QSPM. Pertimbangan pemilihan ketiga model pengembangan strategi ini lebih didasarkan pada analisis tingkat kebutuhan dasar informasi yang diperlukan dalam merancang strategi pemasaran Dwi Sapta Advertising. Artinya, dengan menggunakan kedua model ini, informasi yang dibutuhkan untuk kepentingan penyusunan strategi tersebut juga relatif dapat diperoleh dari lapangan. Penyusunan rancangan strategi pemasaran yang lebih realistis menggunakan model Matrik TOWS atau SWOT yang digabung dengan model Matrik IE dan QSPM. Dalam hal ini hasil analisis faktor-faktor strategik yang berasal dari lingkungan eksternal dan internal perusahaan Dwi Sapta Advertising yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya (D.), maka dapat disusun rancangan alternatif strategi pemasaran sesuai dengan model Matriks TOWS atau SWOT (Tabel 11). Tabel 11. Matriks SWOT FAKTOR EFE & IFE KEKUATAN (S) KELEMAHAN (W) PELUANG (O) STRATEGI S-O STRATEGI W-O ANCAMAN (T) STRATEGI S-T STRATEGI W-T Keterangan : a. Strategi SO (Strengths-Opportunities) Strategi memanfaatkan kekuatan internal perusahaan untuk meraih peluang-peluang yang ada di luar perusahaan. b. Strategi WO (Weaknesses-Opportunities) Strategi meminimalisir (memperkecil) berbagai kelemahan internal perusahaan untuk tetap memanfaatkan peluang-peluang eksternal. 64 c. Strategi ST (Strengths-Threats) Strategi memanfaatkan kekuatan internal perusahaan untuk mengatasi berbagai ancaman yang berasal dari luar perusahaan. d. Strategi WT (Weaknesses-Threats) Strategi meminimalisir (memperkecil) berbagai kelemahan internal perusahaan dan menghindari berbagai ancaman yang berasal dari luar perusahaan. 2.1. Rancangan Strategi Pemasaran Berbasis Kekuatan-Peluang (S-O) Inti dari strategi S-O adalah strategi yang menggunakan kekuatan perusahaan untuk memanfaatkan peluang pasar yang ada. Fokus dari strategi ini adalah bagaimana menciptakan, membangun dan memanfaatkan peluang pasar dengan mengandalkan kekuatan perusahaan yang secara relatif tidak atau belum dimiliki oleh para pesaing (Tabel 12). Tabel 12. Perbandingan kekuatan dan peluang KEKUATAN (S) PELUANG (O) 1. Nilai jual positioning perusahaan yang baru (Advertising That Sells with Style) 2. Citra perusahaan periklanan yang baik dan terbukti (menghasilkan 9 brand market leader) 3. Terkenal dengan kemampuan pelayanan yang memuaskan (profesional dan personal) 4. Infrastruktur bisnis yang lengkap (creative agency, media specialist, PH, editing film, brand activation, dll) dengan harga kompetitif. 5. Proses kerja berbasis ’consumer insight’ dan fleksibel dari sisi waktu yang terbatas sekalipun (rush job) 6. Tim kreatif yang lengkap dan multitalented 7. Karakter klien relatif loyal dan masih berorientasi pada target penjualan. 8. Aktivitas program komunikasi perusahaan yang sistematis dan komprehensif (media massa, seminar bisnis, penerbitan majalah dan buku, hingga ke forum-forum akademik) 1. Trend pertumbuhan industri periklanan cukup nyata (‘double digit’) dilihat dari besaran pengeluaran belanja iklan nasional 2. Trend perkembangan industri media (program TV) yang membuka peluang perkembangan built in promo (creative media) 3. Perkembangan teknologi produksi berbagai produk yang pada akhirnya banyak melahirkan berbagai produk baru yang membutuhkan promosi 4. Berkembangnya kesadaran dan kebutuhan klien untuk membuat program komunikasi produk dan merek lebih sistematis, serta berbasis ’consumer insight’ 5. Terbukanya kesempatan untuk ikut dalam proses pitching (tender) social campaign dari instansi pemerintah maupun BUMN 6. Adanya testimoni dari beberapa klien yang merasa puas dengan kinerja perusahaan maupun yang terekspos dari salah satu program komunikasi perusahaan (buku, majalah, seminar, dll) 65 Dari 6 (enam) bentuk peluang pasar di atas, Dwi Sapta Advertising fokus pada 4 (empat) bentuk peluang, yaitu (1) Trend perkembangan industri media (khususnya program TV) yang membuka peluang perkembangan built in promo (creative media), (2) Perkembangan teknologi produksi berbagai produk yang pada akhirnya banyak melahirkan berbagai produk baru yang membutuhkan promosi, (3) Berkembangnya kesadaran dan kebutuhan klien untuk membuat program komunikasi produk dan merek yang lebih sistematis, serta berbasis ’consumer insight’, (4) Terbukanya kesempatan untuk ikut dalam proses pitching (tender) social campaign yang berasal dari instansi pemerintah maupun BUMN. Selanjutnya, Dwi Sapta Advertising tinggal menghubungkannya dengan berbagai bentuk kekuatan perusahaan yang relevan dan mampu diandalkan untuk merebut peluangpeluang tersebut. Berdasarkan asumsi tersebut, maka dapat disusun rancangan strategi pemasaran alternatif berbasis kekuatan-peluang berikut : a. Memperkuat konsep dan strategi pengembangan creative media placement dari sisi nilai manfaat dan efektivitasnya sebagai alternatif bentuk promosi klien (faktor eksternal peluang nomor 2 dan faktor internal kekuatan perusahaan nomor 4 dan 5) Saat ini, industri media berkembang sedemikian pesatnya. Dengan makin banyaknya jumlah media (baik itu TV, koran majalah, tabloid, radio, dan lain-lain), maka masyarakat saat ini dihadapkan pada pilihan yang begitu beragam. Khusus untuk program acara televisi, mengingat jumlah iklan yang muncul sudah semakin banyak ditambah dengan adanya ’remote control’ yang sedemikian powerfull di tangan penonton, maka sudah waktunya dipikirkan secara lebih serius alternatif lain pola pemasangan iklan di televisi. Risiko yang ditimbulkan dari jumlah iklan yang semakin bertambah tersebut menyebabkan penonton dengan mudah berpindah (zapping) ke program acara dari stasiun televisi lain. Kondisi ini mendorong rating program televisi akan menjadi ’anjlog’ (turun drastis) ketika masuk sesi commercial break (jeda iklan). Menurut data Nielsen 66 Media Research, kecenderungan turunnya rating program televisi saat tayang dibanding saat jeda iklan sekitar 30-40%. Dwi Sapta Advertising dalam kurun waktu dua tahun belakangan ini (2006-2008) sudah mulai mengembangkan konsep creative media placement sebagai alternatif dari penggunaan pola tayangan iklan yang bersifat lose spot (iklan produk secara utuh). Caranya dengan memasukkan unsur materi promosi produk klien tersebut menjadi bagian dari acara program televisi (built in promo). Cara seperti ini masih relatif baru, maka belum banyak klien yang memahaminya sebagai alternatif bentuk penayangan iklan di televisi, maka pilihan bentuk alternatif strategi pemasaran ini menjadi relevan ketika dalam perkembangan selanjutnya sedikit demi sedikit mulai menunjukkan hasil yang cukup baik bagi kepentingan promosi produk klien. b. Meningkatkan intensitas dan mutu program komunikasi perusahaan secara lebih selektif dan fokus terhadap target prospek klien-klien baru yang potensial (faktor eksternal peluang nomor 3 dan faktor internal kekuatan perusahaan nomor 1, 2, 4 dan 8) Adanya perkembangan teknologi produksi produk telah membuka peluang yang cukup besar terhadap pengembangan berbagai produk baru yang lebih sesuai dengan permintaan konsumen. Munculnya kebutuhan berbagai produk baru tersebut pada akhirnya dapat memberi kesempatan bagi peningkatan promosi produk-produk tersebut. Sebagai produk baru yang akan masuk ke pasar, sudah tentu produsen sangat berkeinginan memperoleh kesuksesan memasarkan produk tersebut. Oleh karena itu, Dwi Sapta Advertising harus mampu menangkap peluang pasar tersebut dengan cara memanfaatkan berbagai kekuatan perusahaan yang relevan dengan harapan tersebut. Oleh karena itu, pengelolaan program komunikasi perusahaan Dwi Sapta Advertising harus diarahkan pada tujuan membuka akses dan jaringan ke berbagai perusahaan yang akan meluncurkan 67 berbagai produk baru. Dengan lebih fokus pada target sasaran komunikasi perusahaan seperti ini, diharapkan diperoleh hasil lebih maksimal, terutama yang berkaitan dengan potensi perolehan klien baru. Dalam hal ini perlu diperhatikan kejelasan positioning perusahaan, bukti empiris pengalaman perusahaan dalam menangani produk, kekuatan infrastruktur pelayanan perusahaan, serta tingkat harga yang kompetitif (kekuatan internal perusahaan Dwi Sapta Advertising nomor 1, 2 dan 4). c. Mengembangkan konsep metodologi penelitian pemasaran dan periklanan yang lebih sesuai dengan perkembangan pasar dan tuntutan kebutuhan konsumen (didasarkan pada faktor eksternal peluang nomor 4 dan faktor internal kekuatan perusahaan nomor 5 dan 4) Saat ini, situasi dan dinamika pasar bergerak begitu cepat, karena konsumen semakin kritis dan banyak pertimbangan pembelian produk ikut mengalami perubahan. Perilaku konsumen tidak dapat diikuti dengan menggunakan asumsi-asumsi berpikir yang sudah tidak relevan dengan perkembangan jaman dan gaya hidup yang semakin berkembang. Dalam situasi seperti ini, banyak produsen yang membutuhkan beragam informasi baru yang selaras dengan perkembangan dinamika pasar. Hal ini juga berlaku untuk kepentingan penyusunan berbagai program komunikasi merek dan produk. Beberapa klien menyadari adanya kecepatan perubahan tersebut menginginkan pengembangan program komunikasi pemasarannya yang harus disesuaikan dengan perkembangan situasi pasar dan dinamika perilaku konsumen, yang kemudian dikenal dengan strategi komunikasi pemasaran berbasis consumer insight. Iklan tidak lagi hanya cukup dikembangkan dari sisi artistika komunikasi. Untuk itu, diperlukan penyesuaian diri dari sisi metodologi penelitian pemasaran dan periklanan yang lebih sesuai dengan perkembangan dinamika pasar dan tuntutan kebutuhan konsumen. 68 d. Melakukan sinergi kekuatan internal perusahaan dan adaptasi pola kerja yang dapat diterima oleh kalangan instansi pemerintahan dan BUMN dalam proyek Social Campaign (didasarkan pada faktor eksternal peluang nomor 5 dan faktor internal kekuatan perusahaan nomor 3, 4, 5 dan 6) Salah satu kontributor yang dapat mendongkrak peningkatan belanja iklan nasional di tahun 2008 pada saat terjadinya krisis finansial adalah adanya peningkatan belanja iklan untuk programprogram komunikasi sosial dan politik. Sumber dari programprogram komunikasi sosial tersebut berasal dari berbagai instansi pemerintah maupun BUMN. Sementara sumber dari programprogram komunikasi politik berasal dari partai politik maupun pengurus partai politik dan individu perseorangan yang tertarik pada bidang politik. Nilai belanja iklan dari kedua program tersebut dari tahun ke tahun mengalami peningkatan cukup besar, sehingga menjadi sumber baru potensial bagi Dwi Sapta Advertising. Masalahnya adalah selama ini secara korporat, Dwi Sapta Advertising jarang atau bahkan tidak pernah bersentuhan dengan bidang-bidang komunikasi sosial dan politik. Berdasarkan kekuatan internal yang dimiliki oleh Dwi Sapta Advertising, maka sangat berpeluang untuk mengambil kesempatan menangani berbagai proyek komunikasi sosial dan politik tersebut dengan menyusun adaptasi proses kerja internal yang selaras dengan mekanisme penanganan program komunikasi sosial dan politik; mulai dari penyediaan berbagai dokumen persyaratan administratif pitching (tender), memahami proses dan prosedur pitching (tender) yang berlaku di instansi pemerintah dan BUMN tersebut, mengikuti standar dan mekanisme pelaksanaan projek, hingga memahami bentuk kewajiban untuk menyusun laporan perkembangan penyelesaian pekerjaan. Di atas kertas, hal ini memang tidak mudah untuk dilakukan secara organisasional ataupun personal, karena selama ini Dwi Sapta Advertising sudah terbiasa untuk mengikuti 69 proses pitching dan penyelesaian pekerjaan dengan standar dari perusahaan swasta. 2.2. Rancangan Strategi Pemasaran Berbasis Kekuatan-Ancaman (S-T) Inti dari strategi S-T adalah strategi yang menggunakan kekuatan perusahaan untuk mengurangi ancaman yang ada. Fokus dari strategi ini adalah bagaimana mengidentifikasi, memahami dan mengurangi berbagai ancaman yang muncul dengan mengandalkan kekuatan perusahaan yang secara relatif tidak atau belum dimiliki oleh para pesaing (Tabel 13). Tabel 13. Perbandingan kekuatan dan ancaman KEKUATAN (S) ANCAMAN (T) 1. Nilai jual positioning perusahaan yang baru (Advertising That Sells with Style) 2. Citra perusahaan periklanan yang baik dan terbukti (menghasilkan 9 brand market leader) 3. Terkenal dengan kemampuan pelayanan yang memuaskan (profesional dan personal) 4. Infrastruktur bisnis yang lengkap (creative agency, media specialist, PH, editing film, brand activation, dll) dengan harga kompetitif. 5. Proses kerja berbasis ’consumer insight’ dan fleksibel dari sisi waktu yang terbatas sekalipun (rush job) 6. Tim kreatif yang lengkap dan multitalented 7. Karakter klien yang relatif loyal dan masih lebih berorientasi pada target penjualan. 8. Aktivitas program komunikasi perusahaan yang sistematis dan komprehensif (media massa, seminar bisnis, penerbitan majalah dan buku, hingga ke forum-forum akademik). 1. Dampak krisis finansial global dan labilnya kurs rupiah yang berujung pada penurunan daya beli konsumen dan budget promosi klien 2. Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang bersifat interaktif (internet based) 3. Sikap klien yang makin cerdas, kritis, selektif terhadap budget promosi dan pemilihan media 4. Perkembangan arah dan kebutuhan promosi klien yang makin kompleks 5. Gaya hidup masyarakat yang diikuti oleh perubahan aspirasi, kebutuhan, dan keinginan konsumen sebagai end user. 6. Dampak fenomena ’cheap revolution’ yang berimbas pada ’jor-joran’ perang tarif agency fee, media fee, supervision fee, dan lain-lain 7. Eksodus SDM periklanan yang kompeten dan memiliki hubungan profesional dan personal yang baik dengan klien ke pihak pesaing. 8. Regulasi pemerintah yang kurang kondusif terhadap proses kerja perusahaan. Dari berbagai bentuk ancaman pasar di atas, hal tersebut mengarah kepada 3 (tiga) hal, yaitu (1) konsumen makin sulit dipersuasi, karena daya belinya yang makin turun, media habitnya yang 70 berubah, atau gaya hidup dan kebutuhannya yang juga berubah, (2) mengelola klien semakin berat, baik karena budget promosinya yang makin turun, keinginan dan kebutuhannya yang makin banyak, atau sikapnya yang makin selektif dan kritis, serta (3) adanya pengaruh faktor-faktor eksternal perusahaan yang dapat mempengaruhi proses kerja internal perusahaan. Berdasarkan asumsi tersebut, maka dapat disusun rancangan strategi pemasaran alternatif berbasis kekuatan-ancaman berikut : a. Mengoptimalkan peran dan fungsi consumer insight sebagai dasar pengembangan strategi pemasaran, strategi komunikasi, strategi kreatif, dan strategi pemilihan media yang lebih efektif dan efisien (didasarkan pada faktor eksternal ancaman nomor 1, 2, 5 dan 6, serta faktor internal kekuatan perusahaan nomor 4, 5 dan 6) Dampak krisis finansial global yang terjadi pada tahun 2008 diperkirakan akan sangat berpengaruh dan dirasakan oleh konsumen, terutama dalam hal kemampuan daya belinya. Konsumen akan menjadi lebih selektif dan memiliki skala prioritas kebutuhan yang sesuai dengan perubahan tingkat pendapatannya saat ini bila dibandingkan dengan tingkat kenaikan harga barang. Bahkan, dimungkinkan akan terjadi pengurangan frekuensi dan intensitas pembelian produk-produk yang biasa dikonsumsi sebelumnya seperti diindikasikan oleh hasil survei konsumen AC-Nielsen. Dalam situasi sulit seperti ini, Dwi Sapta Advertising harus mampu membaca, memahami, dan memperkirakan arah perubahan perilaku konsumen tersebut, terutama yang berkaitan dengan bentuk kebutuhan, tingkat daya beli dan skala prioritasnya. Oleh karena itu, Dwi Sapta Advertising harus mampu mengoptimalkan peran dan fungsi departemen risetnya dalam memahami setiap gerak perubahan perilaku konsumen. Informasi ini tidak hanya terbatas pada kebiasaan dan pola konsumsi produk, tetapi meliputi perkembangan kebiasaannya dalam menggunakan media dan trend gaya hidup yang dimiliki konsumen saat ini. Berdasarkan informasi-informasi 71 tersebut, maka kebutuhan penyusunan strategi bisnis, komunikasi, kreatif, maupun media diharapkan akan menjadi lebih efektif dan efisien. b. Melakukan konsolidasi organisasi untuk dapat menghasilkan efisiensi biaya operasi, pengembangan konsep materi dan biaya produksi yang akan dibebankan kepada klien (faktor eksternal ancaman nomor 1, 3 dan 6, serta faktor internal kekuatan perusahaan nomor 3 dan 4) Selain memberi dampak pada konsumen, krisis finansial global tahun 2008 juga memberi pengaruh kepada klien, terutama pada bentuk penurunan budget promosi produk. Dengan budget promosi yang lebih terbatas, klien tetap memberikan standar target penjualan maupun target pengembangan citra merek tertentu seperti pada kondisi biasanya. Oleh karena itu, Dwi Sapta Advertising harus melakukan konsolidasi organisasi untuk menata ulang proses kerja dan restrukturisasi biaya operasi, pengembangan konsep materi, hingga biaya produksi yang akan dibebankan kepada klien. Tujuannya untuk memperoleh biaya dan harga yang lebih efisien dan kompetitif, terutama dalam situasi dan kondisi keuangan klien yang makin terbatas di situasi krisis seperti ini dengan tidak mengurangi aspek mutu pada output pekerjaan yang dilakukan. c. Mempertegas sistem proteksi klien secara korporat dan menjadikan Dwi Sapta Advertising sebagai perusahaan adaptif terhadap perubahan (faktor eksternal ancaman nomor 7 dan 8 serta faktor internal kekuatan perusahaan nomor 1, 2, 3 dan 8) Seringkali hubungan klien dan agency sangat bertumpu pada personal individu yang sehari-hari terlibat dalam kerjasama tersebut. Artinya, hubungan bisnis tersebut akan sangat dipengaruhi oleh tingkat kedekatan secara personal dari orang-orang yang terlibat, baik dari perusahaan klien maupun dari perusahaan periklanannya itu sendiri, sehingga bila salah satu dari orang yang terlibat dalam kerjasama bisnis tersebut suatu saat tidak lagi bekerja di perusahaan asalnya, baik dari perusahaan klien maupun agency, sehingga 72 kerjasama bisnis tersebut menjadi bubar. Bila Brand Manager yang keluar, maka penggantinya akan memiliki peluang untuk mengganti agency. Demikian pula bila orang agency yang keluar, maka orang tersebut memiliki peluang untuk membawa klien tersebut ke tempat agency yang baru. Inilah kondisi kerjasama bisnis antara klienagency yang sangat kuat dipengaruhi oleh kedekatan secara personal dari masing-masing orang yang terlibat. Oleh karena itu, Dwi Sapta Advertising perlu merumuskan suatu sistem proteksi klien yang dapat memperkuat bentuk loyalitas klien secara korporat dan bukan secara personal. Di sisi lain, Dwi Sapta Advertising harus menempatkan diri sebagai perusahaan yang adaptif terhadap perubahan apapun yang berasal dari lingkungan luar perusahaan, misalnya perubahan regulasi pemerintah di bidang periklanan. Contoh dari bentuk regulasi pemerintah yang relevan adalah ketentuan larangan menggunakan SDM asing dalam proses produksi iklan dan ketentuan perpajakan yang berkaitan dengan proses produksi iklan. 2.3. Rancangan Strategi Pemasaran Berbasis Kelemahan-Peluang (W-O) Inti dari strategi W-O adalah strategi yang berupaya mengurangi berbagai kelemahan perusahaan untuk tetap dapat memperoleh peluang yang ada. Fokus dari strategi ini adalah bagaimana menjadikan berbagai kelemahan yang dimiliki Dwi Sapta Advertising dibanding kekuatan yang dimiliki pesaing untuk tetap dapat memperoleh peluang pasar yang ada secara maksimal (Tabel 14). Berbagai bentuk kelemahan Dwi Sapta Advertising di atas, mengarah kepada 3 (tiga) hal : (1) citra perusahaan yang relatif telah membatasi ruang gerak bisnis perusahaan (hard sell advertising agency), (2) proses kerja dan sistem manajemen perusahaan yang kurang kondusif untuk persaingan bisnis periklanan secara profesional, serta (3) mutu output strategi bisnis dan kreatif iklan yang belum maksimal. 73 Tabel 14. Perbandingan kelemahan dan peluang KELEMAHAN (W) PELUANG (O) 1. Brand Dwi Sapta telah cukup kuat dipersepsi oleh konsumen (calon klien) sebagai agency ‘hard sells’ 2. Mutu output kreatif yang dihasilkan masih dianggap terlalu kuat (kental/menonjol) sisi teknisnya dibanding kekuatan konsep idenya 3. Sentralisasi proses pengambilan keputusan bisnis masih dominan bertumpu di tangan Presdir 4. Orientasi budaya perusahaan yang menempatkan posisi klien ’powerfull’, menjadi kendala operasional 5. Etos dan cara kerja yang sudah 25 tahun terbentuk sebagai profesional periklanan berorientasi pada penjualan masih cukup kuat sebagai ’barrier’ untuk transisi ke pendekatan ”Advertising That Sells with Style” 6. Belum adanya standarisasi yang baku dalam pola pengembangan komunikasi produk dan merek klien 1. Trend pertumbuhan industri periklanan cukup nyata (‘double digit’) berdasarkan pengeluaran belanja iklan nasional 2. Trend perkembangan industri media (program TV) yang membuka peluang perkembangan built in promo (creative media) 3. Perkembangan teknologi produksi berbagai produk yang pada akhirnya banyak melahirkan berbagai produk baru yang membutuhkan promosi 4. Berkembangnya kesadaran dan kebutuhan klien untuk membuat program komunikasi produk, merek yang lebih sistematis dan berbasis ’consumer insight’ 5. Terbukanya kesempatan untuk ikut dalam proses pitching (tender) social campaign yang berasal dari instansi pemerintah maupun BUMN 6. Adanya testimoni dari beberapa klien yang merasa puas dengan kinerja perusahaan maupun yang terekspos dari salah satu program komunikasi perusahaan (buku, majalah, seminar, dll) Berdasarkan asumsi tersebut, maka dapat disusun rancangan strategi pemasaran alternatif berbasis kelemahan-peluang berikut : a. Mengembangkan strategi dan implementasi berbagai program komunikasi perusahaan Dwi Sapta Advertising sebagai perusahaan periklanan ’multi-tasking’ yang membuat iklan yang bersifat hard sell maupun image building (faktor eksternal peluang nomor 1, 3 dan 5 serta faktor internal kelemahan perusahaan nomor 1) Selama ini gaya pendekatan iklan Dwi Sapta Advertising lebih mengarah kepada bentuk iklan hard sell. Hal ini lebih banyak dipengaruhi oleh karakteristik klien-klien yang dipegangnya merupakan produk baru dan berasal dari kategori produk fast moving consumer product (FMCG). Di sisi lain, para pemilik produk-produk tersebut pada mulanya masih belum memiliki budget anggaran iklan 74 yang besar. Kondisi ini yang mendorong Dwi Sapta Advertising lebih condong memilih untuk menggunakan pendekatan iklan hard sell tersebut selama lebih dari 25 tahun. Posisi citra perusahaan seperti ini pada akhirnya bersifat dilematis. Di satu sisi, semakin memperkuat daya tawar perusahaan terhadap berbagai klien potensial yang memang memiliki karakteristik dan kondisi yang sama dengan klien-klien Dwi Sapta Advertising selama ini. Namun, di sisi lainnya dapat menjadi barrier (halangan) bagi kepentingan untuk melakukan prospek kepada klienklien potensial lainnya yang memiliki karakteristik, kebutuhan dan kondisi berbeda (produknya lebih mengarah sebagai produk gaya hidup atau life style atau klien yang lebih menekankan pendekatan yang lebih high image, termasuk klien-klien potensial dari kategori social campaign (instansi pemerintahan dan BUMN). Oleh karena itu, kebutuhan terhadap pengembangan strategi dan implementasi berbagai program komunikasi perusahaan menjadi sangat penting dan relevan untuk dilakukan, terutama pada bentuk edukasi tentang Dwi Sapta Advertising sebagai perusahaan periklanan ’multi-tasking’ (mengerjakan berbagai iklan untuk memenuhi kebutuhan apapun, bagi jenis klien manapun, dengan menggunakan pendekatan apapun). b. Melakukan upgrading kemampuan tim kreatif dari sisi penyusunan strategi dan pengembangan konseptual komunikasi pemasaran dan periklanan yang lebih sistematik dalam mengelola merek produk klien (faktor eksternal peluang nomor 4 dan 5 serta faktor internal kelemahan perusahaan nomor 2, 5 dan 6) Seiring dengan perjalanan waktu, kerjasama bisnis antara Dwi Sapta Advertising dan klien-kliennya telah memasuki ke fase lanjutan dengan generasi kedua dari tim manajemen perusahaan klien. Kondisi ini memberikan konsekuensi tersendiri bagi Dwi Sapta Advertising karena manajemen perusahaan klien dari generasi kedua ini merupakan orang-orang yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi (bahkan sebagian besar ditempuh di luar negeri), 75 bersikap lebih kritis dan rasional, serta memiliki visi dan misi bisnis yang jauh ke depan. Oleh karena itu, keinginan dan kebutuhan yang dimilikinya juga berbeda, terutama yang berkaitan dengan kegiatan promosi produk yang tidak hanya berorientasi jangka pendek menyangkut target penjualan produk (hard sell), namun mempertimbangkan aspek kebutuhan jangka panjang (manajemen merek produk). Implikasi dari adanya pergeseran bentuk permintaan dan kebutuhan klien yang seperti ini, pada akhirnya menuntut Dwi Sapta Advertising untuk mulai berpikir lebih konseptual dan strategik dalam merancang berbagai iklan dan kebutuhan promosi produk klien. Untuk memenuhi perkembangan bentuk permintaan dan kebutuhan promosi produk klien yang seperti itu, Dwi Sapta Advertising harus melakukan up grading kemampuan tim kreatifnya, terutama dari sisi penyusunan strategi dan pengembangan konseptual komunikasi pemasaran dan periklanan yang lebih sistematis dalam mengelola merek produk klien. Selain itu, target dari program upgrading kemampuan tim kreatif ini juga diarahkan untuk memberikan bekal dan wawasan baru untuk lebih memahami karakteristik bentuk program social campaign yang berasal dari instansi pemerintahan dan BUMN, terutama yang menyangkut pada pilihan pendekatan komunikasi sosial yang digunakan dan pemahaman tentang berbagai prosedur tender (pitching) yang berbeda dengan klien-klien selama ini. c. Menyusun kebijakan perusahaan yang lebih memberdayakan dan mengatur porsi tanggungjawab dan kewenangan anggota Board of Director secara proporsional (didasarkan pada faktor eksternal peluang nomor 1, 2, 3, 4 dan 5, serta faktor internal kelemahan perusahaan nomor 3 dan 4) Secara historis hubungan kerjasama bisnis antara Dwi Sapta Advertising dan klien-kliennya cenderung lebih banyak berasal dari hubungan personal antar pemilik perusahaan. Dalam struktur organisasi Dwi Sapta Advertising, posisi pemilik perusahaan secara 76 operasional merangkap sekaligus sebagai President Director (Presdir). Kondisi-kondisi inilah yang menyebabkan posisi Presdir menjadi ’tokoh sentral’ dari berbagai keputusan strategis bisnis perusahaan. Sentralisasi proses pengambilan keputusan yang cenderung dominan masih berada di tangan Presdir ini pada akhirnya menyebabkan kurang berfungsinya peran dan tanggungjawab anggota Board of Director (BOD) lainnya, terutama dalam menyikapi berbagai perubahan dan perkembangan situasi persaingan bisnis periklanan yang terjadi. Posisi Presdir yang dominan dalam berbagai pengambilan keputusan strategik bisnis perusahaan ini semakin menjadi kendala internal manajemen perusahaan, ketika mempertimbangkan hubungan kerjasama bisnis dengan klien-klien yang bersifat personal. Dalam praktek sehari-hari, klien kadang melakukan ’by pass’ untuk langsung melakukan negosiasi bisnis dengan Presdir, terutama ketika menyangkut kepentingan yang dirasakan akan ’mentok’ ketika berhadapan dengan anggota BOD lainnya, misal menawar harga atau biaya jasa layanan perusahaan tertentu yang lebih diinginkan oleh klien. 2.4. Rancangan Strategi Pemasaran Berbasis Kelemahan-Ancaman (W-T) Inti dari strategi W-T adalah strategi yang berupaya mengurangi berbagai kelemahan perusahaan untuk menghadapi berbagai ancaman yang ada. Kelemahan-kelemahan perusahaan tersebut dianggap sebagai tambahan beban bagi perusahaan ketika menghadapi berbagai ancaman yang muncul dari luar perusahaan (Tabel 15). Kelemahan-kelemahan internal perusahaan tersebut bila dihubungkan dengan berbagai bentuk ancaman yang berasal dari luar perusahaan, maka secara tidak langsung mengarahkan Dwi Sapta Advertising mengambil kebijakan bisnis yang melibatkan pihak lain (mitra bisnis) yang memiliki potensi kekuatan untuk menutupi berbagai 77 kelemahan internal perusahaan dalam menghadapi ancaman-ancaman yang ada. Tabel 15. Perbandingan kelemahan dan ancaman KELEMAHAN (W) ANCAMAN (T) 1. Brand Dwi Sapta cukup kuat dipersepsi oleh konsumen (calon klien) sebagai agency ‘hard sells’ 2. Mutu output kreatif yang dihasilkan terlalu kuat (kental/menonjol) sisi teknisnya, dibandingkan kekuatan konsep idenya 3. Sentralisasi proses pengambilan keputusan bisnis masih dominan di tangan Presdir 4. Orientasi budaya perusahaan yang menempatkan posisi klien ”powerfull’, sering menjadi kendala operasional 5. Etos dan cara kerja yang sudah 25 tahun terbentuk sebagai profesional periklanan berorientasi pada penjualan masih cukup kuat, sehingga menjadi ’barrier’ untuk transisi ke pendekatan ”Advertising That Sells with Style” 6. Belum adanya standarisasi yang baku dalam pola pengembangan komunikasi produk dan merek klien 1. Dampak krisis finansial global dan labilnya kurs rupiah yang berujung pada penurunan daya beli konsumen dan budget promosi klien 2. Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang bersifat interaktif (internet based) 3. Sikap klien yang makin cerdas, kritis, selektif terhadap budget promosi dan pemilihan media 4. Perkembangan arah dan kebutuhan promosi klien yang makin kompleks 5. Gaya hidup masyarakat yang diikuti oleh perubahan aspirasi, kebutuhan dan keinginan konsumen sebagai end user. 6. Dampak fenomena ’cheap revolution’ berimbas pada ’jorjoran’ perang tarif agency fee, media fee, supervision fee, dan lain-lain 7. Eksodus SDM periklanan yang kompeten dan memiliki hubungan profesional dan personal yang baik dengan klien ke pihak pesaing. 8. Regulasi pemerintah yang kurang kondusif terhadap proses kerja perusahaan Berdasarkan asumsi tersebut, disusun rancangan strategi pemasaran alternatif berbasis kelemahan-ancaman berikut : a. Mengembangkan kebijakan sindikasi projek bisnis belanja media dan pengembangan program komunikasi pemasaran dengan perusahaan lain yang lebih kuat (faktor eksternal ancaman nomor 2, 3, 4 dan 5 serta faktor internal kelemahan perusahaan nomor 1 dan 2) Dampak krisis finansial global memang masih harus dihadapi oleh klien dan konsumen. Dari sisi klien, dampaknya terasa bagi Dwi Sapta Advertising dalam hal penurunan budget anggaran promosi 78 produk yang ujung-ujungnya berpotensi menyebabkan turunnya pendapatan perusahaan. Sementara dari sisi konsumen, lebih mengarah kepada penurunan kemampuan daya beli yang membuat usaha untuk melakukan persuasi konsumen menjadi lebih berat. Oleh karena itu, Dwi Sapta Advertising harus berani mengambil keputusan untuk mencari dan menemukan partner bisnis dari perusahaan lain untuk menghadapi berbagai bentuk ancaman yang berasal dari luar tersebut. Misalnya, mengembangkan kebijakan sindikasi proyek bisnis dalam hal belanja media promosi produk klien dengan cara ’menggandeng’ berbagai stasiun televisi, media cetak, ataupun radio siaran. Bentuk sindikasi bisnis yang bisa ditawarkan oleh Dwi Sapta Advertising adalah ’bundling campaign’ beberapa produk klien untuk memperoleh ’paket harga khusus’ yang diberikan oleh berbagai media tersebut. Bentuk sindikasi proyek bisnis lainnya adalah mengajak perusahaan lain yang bergerak di bidang brand activation untuk secara bersama-sama terlibat menangani berbagai proyek promosi yang diberikan klien untuk memiliki budget kegiatan terbatas. Dengan cara seperti ini, klien-klien Dwi Sapta Advertising yang memiliki keterbatasan budget promosi akan tetap dapat melakukan aktivitas promosi produknya secara maksimal, baik dari sisi belanja media maupun dari sisi kebutuhan program komunikasi pemasaran lainnya, misalnya program brand activation. Sementara manfaat dan keuntungan bagi Dwi Sapta Advertising sendiri adalah tetap dapat memberikan pelayanan kepada klien-kliennya dengan baik. b. Mengembangkan kebijakan proteksi karyawan berbasis kesejahteraan, pengembangan karir profesional dan kenyamanan lingkungan kerja (faktor eksternal ancaman nomor 7, serta faktor internal kelemahan perusahaan nomor 3, 4 dan 5) Dalam bisnis jasa periklanan, SDM adalah aset perusahaan yang sangat vital. Terlebih, bila SDM tersebut sudah sangat memahami kebutuhan, keinginan, harapan dan memiliki ’chemistry’ yang cocok dengan klien. Dalam kondisi hubungan bisnis seperti itu, 79 seringkali kepindahan SDM dari sebuah perusahaan periklanan diikuti dengan berpindahnya klien-klien yang dikelola SDM bersangkutan ke tempat perusahaan baru dimana SDM tersebut bekerja. Oleh mengembangkan karena itu, kebijakan Dwi Sapta proteksi Advertising karyawan perlu berbasis kesejahteraan, pengembangan karir profesional dan kenyamanan lingkungan kerja. Dari sisi kesejahteraan, tentu dapat dilihat dari besaran tingkat gaji dan berbagai fasilitas lainnya sesuai dengan standar ’harga pasaran’ dari posisi karyawan tersebut. Sementara dari sisi pengembangan karir profesional dapat dilihat dari kebijakan dan proses pengembangan kompetensi karyawan yang dikaitkan dengan kepastian kenaikan jenjang karir profesional karyawan tersebut. Hal lain yang harus diperhitungkan adalah kenyamanan lingkungan kerja, mulai dari kejelasan prosedur dan alur pekerjaan, job description, ruang kerja dan fasilitas kerja yang ada, kecocokan nilainilai dan budaya perusahaan, serta pola kerjasama yang melibatkan karyawan lainnya dalam satu tim. E. Implementasi Strategi Pemasaran Berdasarkan hasil analisis SWOT yang telah dilakukan dan formulasi berbagai alternatif strategi pemasaran yang digunakan, maka langkah selanjutnya memilih, menentukan dan mengimplementasikan berbagai strategi pemasaran tersebut. Sebagai bahan awal pada Tabel 16 dan 17 disajikan hasil rekapitulasi formulasi alternatif strategi pemasaran. Tabel 16. Strategi pemasaran berbasis kekuatan perusahaan STRENGTHS – OPPORTUNITIES STRENGHTS - THREATS 1. Memperkuat konsep dan strategi 1. Mengoptimalkan peran dan fungsi pengembangan creative media consumer insight sebagai dasar placement dari sisi nilai manfaat pengembangan strategi pemasaran, dan efektivitasnya sebagai strategi komunikasi, strategi kreatif, alternatif bentuk promosi klien dan strategi pemilihan media yang lebih (faktor eksternal peluang nomor 2 efektif dan efisien (faktor eksternal dan faktor internal kekuatan ancaman nomor 1, 2, 5 dan 6, serta perusahaan nomor 4 dan 5) faktor internal kekuatan perusahaan nomor 4, 5 dan 6) 80 Lanjutan Tabel 16. STRENGTHS – OPPORTUNITIES 2. Meningkatkan intensitas dan mutu program komunikasi perusahaan secara lebih selektif dan fokus terhadap target prospek klien-klien baru yang potensial (faktor eksternal peluang nomor 3 dan faktor internal kekuatan perusahaan nomor 1, 2, 4 dan 8) 3. Mengembangkan konsep penelitian pemasaran dan periklanan yang lebih sesuai dengan perkembangan pasar dan tuntutan kebutuhan konsumen (faktor eksternal peluang nomor 4 dan faktor internal kekuatan perusahaan nomor 5 dan 4) 4. Melakukan sinergi kekuatan internal perusahaan dan adaptasi pola kerja yang dapat diterima oleh kalangan instansi pemerintahan dan BUMN dalam proyek Social Campaign (faktor eksternal peluang nomor 5 dan faktor internal kekuatan perusahaan nomor 3 STRENGHTS - THREATS 2. Melakukan konsolidasi organisasi untuk menghasilkan efisiensi biaya operasi, pengembangan konsep materi dan biaya produksi yang akan dibebankan kepada klien (faktor eksternal ancaman nomor 1, 3 dan 6 serta faktor internal kekuatan perusahaan nomor 3 dan 4) 3. Mempertegas sistem proteksi klien secara korporat dan menjadikan Dwi Sapta Advertising sebagai perusahaan adaptif terhadap perubahan (faktor eksternal ancaman nomor 7 dan 8, serta faktor internal kekuatan perusahaan nomor 1, 2, 3 dan 8) Tabel 17. Strategi pemasaran berbasis kelemahan perusahaan WEAKNESSES - OPPORTUNITIES WEAKNESSES – THREATS 1. Mengembangkan strategi dan implementasi 1. Mengembangkan kebijakan berbagai program komunikasi perusahaan sindikasi proyek bisnis belanja media dan pengembangan Dwi Sapta Advertising sebagai perusahaan periklanan’multi-tasking’ dan ‘hard sell’ program komunikasi pemamaupun image building (faktor eksternal saran dengan perusahaan lain yang lebih kuat (faktor peluang nomor 1, 3 dan 5, serta faktor internal kelemahan perusahaan nomor 1) eksternal ancaman nomor 2, 3, 4 dan 5, serta faktor 2. Melakukan upgrading kemampuan tim internal kelemahan perusahakreatif dari sisi penyusunan strategi dan an nomor 1 dan 2) pengembangan konseptual komunikasi pemasaran dan periklanan yang lebih 2. Mengembangkan kebijakan proteksi karyawan berbasis sistematis dalam mengelola merek produk kesejahteraan, pengembangan klien (faktor eksternal peluang nomor 4 dan karir profesional, serta ke5, serta faktor internal kelemahan perusahaan nomor 2, 5 dan 6) nyamanan lingkungan kerja (faktor eksternal ancaman 3. Menyusun kebijakan perusahaan yang lebih nomor 7, serta faktor internal memberdayakan dan mengatur porsi kelemahan perusahaan nomor tanggungjawab dan kewenangan anggota BOD secara proporsional (faktor eksternal 3, 4 dan 5) peluang nomor 1, 2, 3, 4 dan 5, serta faktor internal kelemahan perusahaan nomor 3 dan 4) 81 Berdasarkan hasil rekapitulasi formulasi alternatif strategi pemasaran tersebut dipilih beberapa strategi yang dapat diterapkan oleh Dwi Sapta Advertising sesuai dengan matrik posisi perusahaan (EFE/EFAS = 2,39 dan IFE/IFAS = 2,81) dalam mendukung dan menerapkan strategi pertumbuhan dan stabilitas (konsentrasi dengan integrasi horizontal). Bentuk strategi pertumbuhan perusahaan yang dikembangkan oleh Dwi Sapta Advertising lebih diarahkan dengan cara menjaga stabilitas proses bisnis yang selama ini dilakukan, terutama mengandalkan pengelolaan klien-klien yang sekarang ini sudah dimiliki secara maksimal. Dalam praktek di lapangan, strategi ini dilakukan dengan menekankan fokus perhatian yang lebih besar kepada pelayanan berbagai kebutuhan promosi kepada klien-klien yang saat ini dimilikinya. Dengan demikian, sumber pendapatan perusahaan (billing) sangat bertumpu pada kemampuan Dwi Sapta Advertising untuk menawarkan berbagai program promosi yang dapat dimanfaatkan oleh klien-klien tersebut. Kebijakan dan strategi seperti ini secara internal Dwi Sapta Advertising dikenal “berburu di kebun binatang sendiri”. Artinya, Dwi Sapta Advertising tidak akan terlalu agresif untuk mencari dan mendapatkan klien-klien yang baru sebagai sumber pendapatan perusahaannya (billing). Dengan “berburu di kebun binatang sendiri”, maka energi dan kemampuan perusahaan untuk memperoleh sumber pendapatan perusahaan akan lebih fokus digunakan dalam memberikan pelayanan secara maksimal, agar klien-klien yang sekarang ini sudah dimiliki tetap atau malah menambah belanja iklannya ke Dwi Sapta Advertising. Bentuk operasional dari kebijakan dan strategi ini adalah : i. Strategi Produk Produk dari Dwi Sapta Advertising adalah jasa layanan berbagai kebutuhan promosi produk, mulai dari pengembangan konsep iklan, produksi materi iklan, hingga penayangan berbagai materi iklan tersebut melalui media massa. Selama ini, pendekatan komunikasi iklan yang digunakan oleh Dwi Sapta Advertising lebih bersifat “hard sell” merupakan sumber kekuatan utama konsep produk Dwi Sapta 82 Advertising dari sisi pengembangan konsep iklan. Selain itu, dalam proses produksi materi iklan yang dilakukan juga memiliki keunggulan dari sisi delivery pekerjaan yang sanggup relatif lebih cepat dibandingkan dengan kompetitor. Sementara dari sisi penayangan berbagai materi iklan melalui media juga memiliki konsep ‘creative media placement’ yang sangat dapat diandalkan sebagai solusi dari makin menurunnya rating penonton televisi pada saat jeda iklan. Ketiga hal tersebut (advertising that sells, fast delivery dan creative media placement) ketika dilengkapi dengan kemampuan memberikan pelayanan yang terbaik (excellent service) semakin membentuk USP (Unique Selling Preposition) konsep produk layanan promosi Dwi Sapta Advertising. Saat ini USP konsep produk seperti itu tidak lagi cukup memadai, terutama ketika berhadapan dengan kondisi situasi ekonomi yang masih terkena dampak krisis finansial global dan meningkatnya kompleksitas bentuk promosi produk klien yang tidak lagi hanya sebatas jasa periklanan, tetapi mulai menuntut layanan pengembangan strategi bisnis, pemasaran, komunikasi, hingga program brand activation. Oleh karena itu, Dwi Sapta Advertising harus mampu menyesuaikan konsep USP produk yang dimilikinya sesuai dengan perkembangan tuntutan dan kebutuhan pasar (konsumen dan klien) tersebut. Dari sisi proses pengembangan konsep iklan, pendekatan hard sell yang selama ini sudah menjadi trade mark Dwi Sapta Advertising harus dipadukan dengan mempertimbangkan juga bentuk tuntutan perkembangan dan kompleksitas kebutuhan promosi produk klien. Konsekuensinya, Dwi Sapta Advertising harus mulai melakukan transisi untuk menggunakan pengembangan konsep iklan yang baru berorientasi pada ”advertising that sells with style” (mempertahankan aspek kekuatan hard sell dan melengkapinya dengan style/gaya baru kemasan beriklan). Sementara dari sisi proses produksi materi iklan, Dwi Sapta Advertising harus mampu melakukan penataan ulang sistem kerja dan konsolidasi antar bagian yang terlibat, sehingga menghasilkan kecepatan yang lebih 83 tinggi lagi dalam proses produksi matriks iklan. Sedangkan dari sisi proses penayangan berbagai materi iklan melalui media massa akan lebih diarahkan kepada pengembangan lebih lanjut bentuk strategi ’creative media placement’ yang lebih sesuai dengan kondisi dan situasi yang sedang dihadapi oleh klien-klien Dwi Sapta Advertising. ii. Strategi Harga Permasalahan utama yang banyak dihadapi oleh klien dalam situasi ekonomi masih sulit seperti ini adalah kebutuhan untuk melakukan efisiensi budget promosi produk. Kondisi ini memang menjadi suatu hal yang sangat dilematis. Di satu sisi, klien harus melakukan efisiensi budget promosi, sementara di sisi konsumen harus lebih diintensifkan komunikasinya agar tetap dapat membeli produk meski dalam situasi sulit. Oleh karena itu, Dwi Sapta Advertising harus mengembangkan strategi harga yang dapat mempertimbangkan kondisikondisi tersebut. Dalam prakteknya, bentuk strategi harga yang dikembangkan oleh Dwi Sapta Advertising dalam menghadapi situasi bisnis seperti itu diarahkan kepada 2 (dua) bentuk, yaitu (1) strategi efisiensi harga dalam proses pengembangan dan produksi materi iklan dan (2) strategi efisiensi harga dalam proses penayangan berbagai materi iklan di media massa. Strategi harga yang pertama lebih diarahkan kepada kebijakan evaluasi bentuk struktur biaya dalam proses pengembangan dan produksi materi iklan. Selain itu dilakukan kebijakan efisiensi, dimana Dwi Sapta Advertising bersedia melakukan negosiasi ulang besaran tingkat creative agency fee (biaya pengembangan dan produksi materi iklan) yang dibebankan kepada klien selama ini. Tujuannya adalah agar klien merasakan manfaat dan dukungan yang lebih nyata untuk tetap melakukan berbagai aktivitas program promosi produknya. Sementara bentuk strategi harga yang kedua lebih diarahkan kepada kebijakan sindikasi bisnis projek penayangan iklan di media. Dalam prakteknya, Dwi Sapta Advertising akan melakukan pendekatan kepada para media untuk bersedia mengembangkan paket-paket khusus dalam hal 84 penayangan iklan di media yang lebih memberikan insetif, diskon dan bonus yang lebih menguntungkan bagi klien. iii. Strategi Distribusi Tujuan utama dari strategi distribusi adalah memberikan peluang, saluran dan kesempatan agar produk layanan jasa yang diberikan Dwi Sapta Advertising benar-benar sampai ke tangan klien, terutama yang berkaitan dengan informasi berbagai kebijakan baru tentang produkproduk layanan promosi yang telah dikembangkan. Mengingat lokasi keberadaan perusahaan klien-klien Dwi Sapta Advertising relatif tidak begitu jauh (sebagian besar di Jakarta dan sekitarnya), maka strategi distribusi yang dilakukan tidak banyak mengalami perubahan, yaitu melalui Tim Client atau Account Service (yang selama ini berhubungan secara operasional dengan pihak klien). Dalam strategi distribusi yang dikembangkan kali ini melibatkan pihak Top Management Dwi Sapta Advertising secara kolektif. Artinya, pihak Top Management Dwi Sapta Advertising (President Director dan atau anggota BOD lainnya) secara aktif ikut serta, terjun langsung dan mendampingi tim Client atau Account Service, ketika menjelaskan berbagai perubahan kebijakan bisnis yang berkaitan dengan produk layanan dan fasilitas baru yang akan ditawarkan kepada klien, khususnya yang dapat digunakan dalam menghadapi situasi bisnis yang sulit sekarang ini. Selain dengan strategi distribusi seperti ini, Dwi Sapta Advertising juga mengembangkan strategi distribusi dalam bentuk kegiatan “TV Day”, terutama yang berkaitan dengan konsep produk dan fasilitas baru dalam hal penayangan materi iklan di media. Dalam kegiatan “TV Day” ini, pihak Dwi Sapta Advertising bekerjasama dengan para pengelola program dari berbagai stasiun televisi yang mempresentasikan berbagai alternatif paket program promosi melalui televisi dengan segala insentif, diskon dan bonus yang dapat dinikmati oleh klien. 85 iv. Strategi Promosi Selama ini kegiatan promosi perusahaan Dwi Sapta Advertising sudah dilakukan dalam berbagai bentuk program komunikasi perusahaan. Hanya saja, pelaksanaan berbagai program promosi produk dan layanan tersebut masih belum dilakukan secara sistematis dan memiliki arah tujuan yang jelas. Oleh karena itu, Dwi Sapta Advertising perlu memikirkan, merancang dan menyusun kebijakan dan strategi program promosi perusahaan yang lebih terintegrasi, fokus dan komprehensif. Berkaitan dengan kebutuhan terhadap kebijakan dan strategi promosi perusahaan yang seperti ini, Dwi Sapta Advertising perlu melakukan kajian lebih mendalam tentang arah kebijakan perusahaan, terutama yang dibentuk menjadi visi dan misi perusahaan di masa mendatang. Kebijakan inilah yang akan menjadi dasar pertimbangan dan sumber rujukan dalam mengembangkan strategi promosi perusahaan Dwi Sapta Advertising. Dalam praktek operasionalnya, strategi promosi perusahaan melibatkan berbagai unsur yang bersifat sinergis (media massa, klien yang sudah ada, kampus, asosiasi profesi, dan sebagainya) dalam membangun, memperkuat citra dan reputasi perusahaan Dwi Sapta Advertising. Selain itu, secara materi dan pendekatan gaya komunikasinya perlu disesuaikan, terutama dalam membangun citra dan reputasi perusahaan periklanan dengan pendekatan “advertising that sells with style”. Hal-hal yang telah diuraikan sebelumnya, ditindaklanjuti dengan analisis QSPM menurut tingkat kemenarikan masing-masing strategi, maka diperoleh hasil seperti pada Tabel 18. 86 Tabel 18. QSPM Critical Success factors Bobot (a) PELUANG Tren pertumbuhan industri periklanan Trend perkembangan industri media Perkembangan teknologi produksi Perkembangan kesadaran klien untuk berpromosi Kesempatan untuk ikut pitching social campaign Adanya testimony positif dari klien yang puas ANCAMAN Dampak krisis finansial global dan labilnya kurs Perkembangan teknologi komunikasi-informasi Sikap klien yang makin cerdas, kritis dan selektif Perkembangan arah dan kebutuhan promosi klien Perubahan gaya hidup masyarakat Dampak fenomena ’cheap revolution’ Eksodus SDM periklanan kompeten Regulasi pemerintah kurang kondusif KEKUATAN Nilai jual positioning perusahaan yang baru Citra perusahaan periklanan yang baik dan terbukti Terkenal dengan kemampuan pelayanan baik Infrastruktur bisnis yang lengkap dan harga kompetitif Proses kerja berbasis ’consumer insight’ Tim kreatif lengkap dan multitalented Karakter klien relatif loyal Aktivitas program komunikasi perusahaan KELEMAHAN Brand Dwi Sapta dipersepsi ‘hard sells’ Mutu output kreatif dianggap terlalu teknis Sentralisasi proses pengambilan keputusan bisnis Strategi Pertumbuhan Intensif (b) (axb) Strategi Pertumbuhan Integratif (c) (axc) Strategi Pertumbuhan Diversifikasi (d) (axd) - - - - - - - 0,11 3 0,33 4 0,44 3 0,33 0,05 0,07 3 3 0,15 0,21 2 3 0,10 0,21 3 3 0,15 0,21 0,07 3 0,21 4 0,28 3 0,21 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 0,09 2 0,18 2 0,18 2 0,18 - - - - - - - 0,09 3 0,27 3 0,27 3 0,27 0,02 2 0,04 1 0,02 1 0,02 0,05 2 0,10 2 0,10 2 0,10 0,06 3 0,18 3 0,18 3 0,18 - - - - - - - 0,08 3 0,24 4 0,32 3 0,24 - - - - - - - - - - - - - - 0,06 3 0,18 3 0,18 2 0,12 0,09 2 0,18 2 0,18 3 0,27 - - - - - - - 0,07 2 0,14 2 0,14 2 0,14 87 Lanjutan Tabel 18. Critical Success factors Orientasi budaya perusahaan (Client = ‘powerfull’) ’Barrier’ etos dan cara kerja yang sudah 25 tahun Belum adanya standarisasi pengembangan merek JUMLAH Bobot (a) - Strategi Pertumbuhan Intensif (b) (axb) - Strategi Pertumbuhan Integratif (c) (axc) - Strategi Pertumbuhan Diversifikasi (d) (axd) - 0,06 1 0,06 2 0,12 2 0,12 0,05 1 0,05 1 0,05 2 0,10 1,00 2,52 2,77 2,64 Dari ketiga alternatif yang diuji untuk dipilih oleh perusahaan, ternyata Strategi Pertumbuhan Integratif memiliki Total Attractiveness Score (TAS) tertinggi, artinya perusahaan menerapkan strategi ini sebagai strategi utama pada saat ini, yaitu sumber pendapatan perusahaan lebih fokus digunakan dalam memberikan pelayanan secara maksimal kepada klien-klien yang sudah berjalan saat ini.