ANALISIS KANDUNGAN LOGAM BERAT Pb, Cd

advertisement
ANALISIS KANDUNGAN LOGAM BERAT Pb, Cd, DAN Cu
PADA BANDENG, BELANAK, DAN UDANG DI KAWASAN
SILVOFISHERY BLANAKAN SUBANG
WELL TYSON NAPITU
SKRIPSI
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:
Analisis Kandungan Logam Berat Pb, Cd, dan Cu pada Bandeng, Belanak, dan
Udang di Kawasan Silvofishery Blanakan Subang
adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Maret 2012
Well Tyson Napitu
C24070026
RINGKASAN
Well Tyson Napitu. C24070026. Analisis Kandungan Logam Berat Pb, Cd, dan
Cu pada Bandeng, Belanak, dan Udang di Kawasan Silvofishery Blanakan
Subang. Dibimbing oleh Kadarwan Soewardi dan Ali Mashar.
Hutan mangrove di Pulau Jawa terus mengalami degradasi akibat terus
berlangsungnya konversi untuk tambak, penebangan kayu untuk berbagai keperluan,
dan rendahnya kesadaran masyarakat tentang fungsi ekologis hutan mangrove serta
tidak adanya kepastian status kawasan. Hutan mangrove memiliki peranan yang
sangat penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem pesisir, melindungi pantai
dari abrasi, menahan intrusi air laut, menahan dan mengendapkan lumpur serta
menyaring bahan pencemar. Untuk menekan laju degradasi hutan mangrove, sejak
tahun 1986 Perum Perhutani selaku pengelola telah mengembangkan program yang
mengintegrasikan budidaya ikan dan pengelolaan hutan mangrove yang dikenal
dengan istilah tambak tumpangsari atau silvofishery. Salah satu kawasan silvofishery
yang ada di Pulau Jawa adalah di Subang, dimana pada saat ini telah mengalami
kerusakan yang dikarenakan semakin banyaknya bahan pencemar yang masuk ke
dalam perairan.
Pertambahan jumlah penduduk dan berkembangnya kegiatan manusia di
daratan sekitarnya juga turut menambah jumlah beban limbah yang masuk ke dalam
perairan tersebut. Dalam jangka waktu yang panjang hal ini akan merusak
ekosistem perairan yang ada, sehingga akan terjadi perubahan struktur maupun
proporsi luas kawasan mangrove dengan areal pertambakan demi memenuhi
kebutuhan ekonomi dan pangan masyarakat sekitar.
Dengan adanya indikasi yang menyatakan bahwa perairan kawasan Subang
telah mengalami pecemaran logam berat Pb (timbal), Cd (kadmium), dan Cu
(tembaga) maka diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai analisis kandungan
logam berat Pb, Cd, dan Cu pada biota perikanan. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui sekaligus membuktikan apakah logam berat tersebut masuk ke dalam
tubuh komoditas perikanan, baik yang alami maupun dibudidaya. Selain itu,
penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui pengaruh pencemaran logam berat
terhadap biota perikanan yang ada di kawasan tersebut, sehingga masyarakat sekitar
mengetahui informasi komoditas perikanan di daerah kawasan tersebut masih layak
dikonsumsi atau tidak.
Penelitian ini dilakukan di kawasan silvofishery Kabupaten Subang dalam dua
tahap, yaitu tahap pertama survei lokasi penelitian pada bulan April-Mei dan tahap
kedua pengambilan contoh pada bulan Agustus. Jenis data yang dikumpulkan untuk
keperluan penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Penentuan titik
sampling dibagi menjadi empat stasiun, yaitu bagian hulu sungai Blanakan, tambak,
muara sungai Blanakan, dan laut. Masing-masing stasiun diambil dua jenis biota,
yaitu ikan dan udang dengan jumlah ulangan sebanyak tiga kali.
Diperoleh konsentrasi logam Cu pada udang tertinggi di stasiun muara sungai
Blanakan sebesar 0,3809 ppm, terendah pada stasiun tambak sebesar 0,2599 ppm.
Konsentrasi logam Pb tertinggi pada muara sungai Blanakan sebesar 0,1445 ppm,
terendah bagian hulu sungai Blanakan sebesar 0,005 ppm. Konsentrasi logam Cd
pada stasiun bagian hulu sungai Blanakan, tambak, muara sungai Blanakan sebesar
0,005 ppm dan laut sebesar 0,0039 ppm. Konsentrasi logam Cu pada ikan tertinggi
di stasiun tambak sebesar 0,0516 ppm, terendah pada bagian hulu sungai Blanakan
sebesar 0,018 ppm. Konsentrasi logam Pb tertinggi pada muara sungai Blanakan
sebesar 0,1962 ppm, terendah pada tambak sebesar 0,005 ppm. Kandungan logam
Cd pada ikan nilainya sama pada semua stasiun pengamatan. Berdasarkan baku
mutu kandungan logam berat dalam tubuh ikan yang telah ditetapkan oleh SNI,
maka ikan bandeng, belanak, dan udang di perairan Blanakan masih aman untuk
dikonsumsi.
ANALISIS KANDUNGAN LOGAM BERAT Pb, Cd, DAN Cu
PADA BANDENG, BELANAK, DAN UDANG DI KAWASAN
SILVOFISHERY BLANAKAN SUBANG
WELL TYSON NAPITU
C24070026
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PENGESAHAN SKRIPSI
Judul
: Analisis Kandungan Logam Berat Pb, Cd, dan Cu pada
Bandeng, Belanak, dan Udang di Kawasan Silvofishery
Blanakan Subang
Nama Mahasiswa
: Well Tyson Napitu
NIM
: C24070026
Program Studi
: Manajemen Sumberdaya Perairan
Menyetujui:
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Prof. Dr. Ir Kadarwan Soewardi
NIP. 19481101 197903 1 001
Ali Mashar S. Pi, M.Si
NIP. 19750118 200701 1 001
Mengetahui:
Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc
NIP. 19660728 199103 1 002
Tanggal Lulus: 22 Februari 2012
PRAKATA
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan kasih
karunia, berkat dan penyertaan-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul
“Analisis Kandungan Logam Berat Pb, Cd, dan Cu pada
Bandeng, Belanak dan Udang di Kawasan Silvofishery Blanakan Subang”.
Skripsi ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan pada bulan
April-Agustus 2011, dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar
sarjana perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor.
Pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Prof. Dr. Ir. Kadarwan Soewardi selaku dosen pembimbing
pertama dan Ali Mashar S. Pi, M. Si selaku dosen pembimbing kedua dan Ir.
Agustinus M. Samosir, M.Phil selaku komisi pendidikan S1 yang telah banyak
membantu dalam pemberian bimbingan, masukan, dan arahan sehingga Penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Namun
demikian Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat untuk berbagai pihak.
Bogor, Maret 2012
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Kadarwan Soewardi, selaku dosen pembimbing I dan Bapak
Ali Mashar S. Pi, M. Si selaku pembimbing II yang telah memberikan masukan,
arahan, nasihat, dan bimbingan selama penulisan skripsi ini.
2. Bapak Ir. Agustinus M Samosir, M.Phil selaku Ketua Komisi Pendidikan atas
saran dan masukannya.
3. Para Staf Bagian Produktifitas dan Lingkungan Perairan (Bu Ana, Kak Budi, Eri
dan Mas Adon) atas arahan dan dukungan dalam proses penelitian.
4. Para Staf Tata Usaha MSP terutama Mba Widar atas arahan dan kesabarannya
5. Keluarga tercinta, Bapak, Mama, Kak Ita, Bang Sam, Kak Ani, Kak Yanti, Kak
Dame, Adik Erlina atas segala doa, kasih sayang, dan motivasinya.
6. Tim Silvofishery (Deo, Andi, Bang Ray, Oci dan Kak Yayan) dan semua pihak
yang telah membantu penulis dan tidak dapat disebutkan satu persatu.
7. Teman-teman MSP 44, adik-adik kelas MSP 45 dan 46 atas doa, bantuan, kerja
sama, dan semangatnya selama masa perkuliahan hingga pelaksanaan penelitian
dan penyusunan skripsi.
8. Badan Pengurus Cabang GMKI Bogor 2011-2012 yang telah memberikan
motivasi dan doanya.
9. Penghuni PKM yang telah memberikan semangat dan motivasi dalam penulisan
skripsi ini.
10. Senior Members/Friends GMKI Cabang Bogor atas motivasi dan dorongan
semangat dalam penulisan skripsi ini.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Lubuk Linggau pada tanggal 18 Mei 1988
sebagai putra ke enam dari tujuh bersaudara dari pasangan
Bapak E. Napitu dan Ibu R. Manik. Pendidikan formal yang
pernah dijalani oleh penulis berawal dari SDN Medono 07
Pekalongan (1998), SMPN 1 Pekalongan (2004), dan SMAN 1
Pekalongan (2007). Pada tahun 2007 Penulis diterima di Institut
Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Setelah
melewati tahap Tingkat Persiapan Bersama selama 1 tahun, Penulis diterima di
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan.
Selama mengikuti perkuliahan Penulis diberi kepercayaan menjadi Asisten
Mata Kuliah Ekotoksikologi Perairan (2010/2011). Penulis juga aktif mengikuti
kegiatan Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan Divisi Publik dan
Relasi periode 2009 dan 2010. Penulis juga turut aktif mengikuti seminar maupun
berpartisipasi dalam berbagai kepanitian di lingkungan kampus IPB.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan pada
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Penulis menyusun
skripsi dengan judul “Analisis Kandungan Logam Berat Pb, Cd, dan Cu pada
Bandeng, Belanak, dan Udang di Kawasan Silvofishery Blanakan Subang”.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .........................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
xiv
1.
PENDAHULUAN ..................................................................................
1.1. Latar Belakang ..................................................................................
1.2. Rumusan Masalah .............................................................................
1.3. Tujuan Penelitian ..............................................................................
1.4. Manfaat .........................................................................................
1
1
2
4
4
2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................
2.1. Ekosistem Mangrove ........................................................................
2.2. Bandeng ............................................................................................
2.3. Belanak .............................................................................................
2.4. Udang ................................................................................................
2.5. Kondisi Lingkungan .........................................................................
2.5.1. Suhu ....................................................................................
2.5.2. Derajat keasaman (pH) .......................................................
2.5.3. Salinitas ..............................................................................
2.5.4. Oksigen terlarut ..................................................................
2.6. Karakteristik Logam Berat ...............................................................
2.6.1. Timbal (Pb) .........................................................................
2.6.2. Kadmium (Cd) ....................................................................
2.6.3. Tembaga (Cu) .....................................................................
2.7. Cara Penyerapan Logam Berat oleh Organisme ..............................
2.8. Pengaruh Logam Berat Terhadap Biota Perairan .............................
2.9. Batas Aman Konsumsi atau Acceptable Daily Intake ......................
5
5
6
7
8
9
9
10
11
11
12
13
14
15
16
17
17
3. METODE PENELITIAN .........................................................................
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ...........................................................
3.2. Alat dan Bahan .................................................................................
3.3. Metode Pengumpulan Data ..............................................................
3.3.1. Data primer .........................................................................
3.3.2. Data sekunder .....................................................................
3.4. Penentuan Titik Pengamatan dan Pengambilan Contoh ...................
3.4.1. Penentuan titik pengamatan ................................................
3.4.2. Pengambilan contoh ...........................................................
3.5. Prosedur Kerja ..................................................................................
3.5.1. Penentuan konsentrasi logam berat ....................................
19
19
19
19
19
19
20
20
20
21
21
4. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian .................................................
4.2. Parameter Kualitas Air .....................................................................
4.2.1. Suhu ....................................................................................
23
23
24
24
x
4.2.2. Derajat keasaman (pH) .......................................................
4.2.3. Salinitas ..............................................................................
4.2.4. Oksigen terlarut (DO) .........................................................
4.3. Konsentrasi Logam Berat Dalam Sampel Biota Ikan dan Udang.....
4.4. Konsentrasi Logam Berat Dalam Biota Udang ................................
4.4.1. Timbal (Pb) .........................................................................
4.4.2. Kadmium (Cd) ....................................................................
4.4.3. Tembaga (Cu) .....................................................................
4.5. Konsentrasi Logam Berat Dalam Biota Ikan ....................................
4.5.1. Timbal (Pb) .........................................................................
4.5.2. Kadmium (Cd) ....................................................................
4.5.3. Tembaga (Cu) .....................................................................
4.6. Batas Aman Konsumsi atau Acceptable Daily Intake ......................
4.6.1. Timbal (Pb) .........................................................................
4.6.2. Tembaga (Cu) .....................................................................
4.6.3. Kadmium (Cd) ....................................................................
4.7. Faktor Biokonsentrasi .......................................................................
4.7.1. Faktor biokonsentrasi timbal (Pb) ......................................
4.7.2. Faktor biokonsentrasi kadmium (Cd) .................................
4.7.3. Faktor biokonsentrasi tembaga (Cu) ..................................
4.8. Implikasi Pengelolaan .......................................................................
25
26
27
28
28
29
29
30
30
31
32
32
33
33
34
34
35
35
36
37
37
5. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................
5.1. Kesimpulan .......................................................................................
5.2. Saran .................................................................................................
39
39
39
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
40
LAMPIRAN ..................................................................................................
43
xi
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Parameter kualitas air serta metode analisis dan pengukurannya............
21
2. Baku mutu air laut, biota laut dan makanan hasil perikanan...................
22
3. Nilai faktor konsentrasi (BCF) timbal pada ikan bandeng, belanak, dan
udang .....................................................................................................
35
4. Nilai faktor konsentrasi (BCF) kadmium pada ikan bandeng, belanak,
dan udang ..............................................................................................
36
5. Nilai faktor konsentrasi (BCF) tembaga pada ikan bandeng, belanak, dan
udang ...................................................................................................
37
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Alur rumusan masalah penelitian................................................................
3
2. Ikan Bandeng (Chanos chanos)...................................................................
7
3. Ikan Belanak (Mugil cephalus)....................................................................
8
4. Udang Windu (Penaeus monodon)..............................................................
9
5. Lokasi penelitian di Blanakan Subang, Jawa Barat.....................................
20
6. Suhu rata-rata pada stasiun pengamatan ......................................................
24
7. Derajat keasaman (pH) rata-rata pada stasiun pengamatan .........................
25
8. Nilai rata-rata salinitas pada stasiun pengamatan ........................................
26
9. Nilai rata-rata DO pada stasiun pengamatan ...............................................
27
10. Konsentrasi logam berat Pb, Cd, dan Cu pada sampel udang di empat
stasiun pengamatan .....................................................................................
29
11. Konsentrasi logam berat Pb, Cd, dan Cu pada sampel ikan di empat
stasiun berbeda.............................................................................................
31
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ............................................
44
2. Grafik regresi hasil analisis logam berat .................................................
45
3. Hasil analisis kandungan logam berat Pb, Cd, dan Cu pada biota
udang.......................................................................................................
46
4. Hasil analisis kandungan logam berat Pb, Cd, dan Cu pada biota ikan ..
47
5. Tabel hasil analisis kandungan logam berat Pb, Cd, dan Cu dalam air
(Purba 2011) ...........................................................................................
48
6. Perhitungan Batas Aman Konsumsi atau Acceptable Daily
Intake ......................................................................................................
49
7. Analisis metode AAS ..............................................................................
51
8. Keadaan lokasi penelitian sungai Blanakan dan tambak silvofshery ..........
52
xiv
1
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dewasa ini hutan mangrove di Pulau Jawa terus mengalami degradasi
terutama akibat berlangsungnya konversi lahan untuk tambak. Hutan mangrove
memiliki peranan yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem
pesisir antara lain adalah melindungi pantai dari abrasi, menahan intrusi air laut,
menahan dan mengendapkan lumpur serta menyaring bahan pencemar.
Untuk menekan laju degradasi hutan mangrove, sejak tahun 1986 Perum
Perhutani selaku pengelola hutan mangrove telah mengembangkan program yang
mengintegrasikan budidaya ikan dan pengelolaan hutan mangrove yang dikenal
dengan istilah tambak tumpangsari, tambak empang parit, hutan tambak, atau
silvofishery. Salah satu tambak silvofishery yang berada di sepanjang garis pantai
utara adalah Kabupaten Subang. Namun, kondisi silvofishery yang ada di Kabupaten
Subang telah mengalami kerusakan akibat perluasan areal tambak di sekitarnya. Hal
ini diduga berdampak buruk bagi kondisi ekologis tambak, terutama terhadap
kualitas perairan.
Selain kondisi mangrove yang semakin rusak, kualitas perairan juga
dipengaruhi oleh limbah yang masuk ke dalam perairan. Dengan bertambahnya
jumlah penduduk dan berkembangnya kegiatan manusia di daratan sekitarnya, maka
jumlah beban limbah yang masuk ke dalam perairan tersebut cenderung meningkat.
Adapun jenis limbah yang masuk beraneka ragam, antara lain limbah industri,
limbah permukiman, dan limbah pertanian. Pemasukan limbah yang terus-menerus
akan mempengaruhi kualitas lingkungan perairan tersebut dan apabila jumlah
limbah melebihi daya dukung perairan, maka akan terjadi pencemaran yang
berakibat buruk kepada komoditas perikanan, baik yang alami maupun yang
dibudidaya. Komoditas perikanan yang dihasilkan dari perairan Blanakan ini antara
lain adalah udang, ikan bandeng, dan ikan belanak.
Salah satu faktor yang mempengaruhi hasil produktifitas sumberdaya
perikanan tersebut adalah logam berat diantaranya Pb, Cd, dan Cu. Widigdo dan
Pariwono (2000), menyatakan bahwa kandungan logam berat dalam air pada
kawasan perairan Subang Blanakan adalah timah hitam (Pb) sebesar 0,0496 mg/L,
2
kadmium (Cd) sebesar 0,015 mg/L, dan tembaga (Cu) sebesar 0,3176 mg/L.
Berdasarkan Bappeda Tingkat I Provinsi Jawa Barat dan PKSPL-IPB (2000), dapat
diketahui bahwa kandungan logam berat dalam air pada kawasan perairan Subang
Blanakan, timah hitam (Pb) sebesar 0,048-0,097 mg/L, kadmium (Cd) sebesar
<0,001-0,011 mg/L, dan tembaga (Cu) sebesar <0,002-0,002 mg/L. Dari data di atas
menunjukkan bahwa kondisi kandungan logam berat di perairan Blanakan sangat
berfluktuatif dari tahun ke tahun, sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut untuk
memperbaharui dan mengetahui kondisi perairan Blanakan saat ini sehingga data
tersebut dapat menjadi salah satu pertimbangan dalam penentuan kebijakan dan
pengelolaan sumberdaya perikanan supaya tetap lestari berkelanjutan.
1.2. Rumusan Masalah
Dewasa ini hutan mangrove di Blanakan Subang telah mengalami perubahan
menjadi tempat pemukiman, pertanian, tempat rekreasi, tambak, dan sebagainya.
Alih fungsi lahan tersebut menghasilkan limbah yang akan terakumulasi bila tidak
ditangani secara baik dan benar. Apabila hal ini terjadi, maka akan membahayakan
lingkungan, biota maupun manusia yang mengkonsumsi hasil perairan karena
limbah telah melebihi ambang batas (carrying capacity).
Pertambahan jumlah populasi manusia berbanding lurus dengan jumlah
kebutuhan manusia dan aktifitasnya yang pada akhirnya akan menambah jumlah
buangan atau limbah, contohnya adalah limbah industri, limbah pertanian, dan
limbah rumah tangga. Limbah yang dikeluarkan pada umumnya dibuang ke sungai
dan bermuara hingga menuju pantai. Salah satu contohnya adalah muara sungai
Blanakan. Limbah yang dikeluarkan tersebut dapat berupa bahan organik maupun
anorganik. Contoh bahan anorganik yang berbahaya dan dapat menurunkan kualitas
perairan adalah logam berat (Pb, Cd, dan Cu).
Untuk menggambarkan kondisi atau tingkat pencemaran logam berat di
perairan tersebut diambil tiga jenis komoditas perikanan, yaitu ikan bandeng,
belanak, dan udang.
Ketiga komoditas perikanan ini adalah contoh komoditas
perikanan yang dibudidayakan dan alami. Komoditas perikanan tersebut merupakan
salah satu komoditas yang paling banyak dikonsumsi dan diperjualbelikan, baik di
dalam maupun di luar daerah perairan Blanakan, Subang. Selain itu, pemilihan
3
contoh ikan tersebut juga dikarenakan oleh cara makan “feeding habit” dari ikan
belanak, dan udang yang memakan organisme-organisme kecil yang terdapat di
dasar, di dalam lumpur serta ganggang yang terapung. Begitu juga dengan ikan
bandeng yang memakan klekap, yaitu suatu kehidupan kompleks (plant complex)
yang tersusun dari berbagai jenis bakteri, alga hijau biru, baik unilseluler maupun
berfilamen dari familia Oscillatoria, semua jenis Diatomae dan potongan dari alga
hijau. Dari plankton-plankton tersebutlah yang membuat logam berat dalam air
mudah terserap dan tertimbun yang merupakan titik awal dari rantai makanan,
selanjutnya melalui rantai makanan sampai ke organisme lainnya, misalnya ikan
bandeng, belanak, dan udang.
Selanjutnya ketiga jenis komoditas perikanan tersebut akan dianalisis seberapa
besar kandungan logam berat yang masuk ke dalam tubuh contoh ikan yang hasilnya
dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif kebijakan pengelolaan kawasan
silvofishery. Adapun alur dari rumusan masalah pada penelitian ini disajikan pada
Gambar 1.
Manusia
Limbah Industri
Limbah Pertanian
Limbah RT
Perairan Blanakan
Logam Berat
Bandeng
Belanak
Analisis logam berat
Pb, Cd, Cu
Udang
Pengelolaan Kawasan
Silvofishery Blanakan
secara berkelanjutan
Gambar 1. Alur rumusan masalah penelitian
4
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kandungan logam berat pada
ikan bandeng, belanak, dan udang yang ada di perairan Blanakan sebagai salah satu
dasar untuk merumuskan kebijakan pengelolaan kawasan silvofishery Blanakan.
1.4.
Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan
dan masukan dalam menentukan kebijakan pengelolaan di daerah silvofishery
Blanakan Subang secara berkelanjutan.
5
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ekosistem Mangrove
Ekosistem mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang
didominasi oleh beberapa jenis pohon yang mampu tumbuh dan berkembang pada
daerah pasang surut pantai berlumpur. Hutan mangrove biasa ditemukan di pantaipantai teluk yang dangkal, estuaria, delta, dan daerah pantai yang terlindungi.
Karakteristik habitat hutan mangrove menurut Bengen (2000) umumnya tumbuh
pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir.
Daerahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari ataupun hanya
tergenang pada saat pasang purnama.
Untuk mempertahankan hidupnya, pohon mangrove beradaptasi dengan
lingkungannya. Pertama adaptasi terhadap kadar oksigen rendah, pohon mangrove
mempunyai sistem perakaran yang khas yang pertama bertipe cakar ayam yang
mempunyai pneumatofora untuk mengambil oksigen dari udara, misalnya pada
Avicennia spp. dan Sonneratia spp.
Jenis yang kedua bertipe penyangga yang
mempunyai lentisel, misalnya Rhizopora spp.
Kedua, adaptasi terhadap kadar
garam tinggi, daun-daun mangrove memiliki struktur stomata yang khusus untuk
mengurangi penguapan, juga sel-sel khusus untuk menyimpan garam. Selain itu,
daunnya yang tebal dan kuat banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan
garam. Ketiga, adaptasi terhadap tanah yang kurang stabil dan adanya pasang surut.
Mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan
horizontal yang lebar. Disamping untuk memperkokoh pohon, akar tersebut juga
berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen.
Selain itu mangrove memiliki beberapa fungsi. Pertama, fungsi fisiknya yaitu
untuk menjaga kondisi pantai agar tetap stabil, melindungi tebing pantai dan tebing
sungai, mencegah terjadinya abrasi dan intrusi air laut, serta sebagai perangkap zat
pencemar. Kedua, fungsi biologis mangrove adalah sebagai habitat benih ikan,
udang, dan kepiting untuk hidup dan mencari makan, sebagai sumber
keanekaragaman biota akuatik dan nonakuatik, seperti burung, ular, kera, kelelawar,
dan tanaman anggrek, serta sumber plasma nutfah. Ketiga, fungsi ekonomis
6
mangrove, yaitu sebagai sumber bahan bakar (kayu, arang), bahan bangunan (balok,
papan), serta bahan tekstil, makanan, dan obat-obatan.
Terdapat proses perpindahan energi dalam ekosistem mangrove. Dimulai dari
mangrove mengangkut nutrien dan detritus ke perairan pantai sehingga produksi
primer perairan di sekitar mangrove cukup tinggi dan penting bagi kesuburan
perairan. Dedaunan, ranting, bunga, dan buah dari tanaman mangrove yang mati
dimanfaatkan oleh makrofauna, misalnya kepiting, kemudian didekomposisi oleh
berbagai jenis mikroba yang melekat di dasar mangrove dan secara bersama-sama
membentuk rantai makanan. Detritus selanjutnya dimanfaatkan oleh hewan akuatik
yang mempunyai tingkatan lebih tinggi, seperti bivalvia, gastropoda, berbagai jenis
juvenil ikan dan udang, serta kepiting.
Keberadaan mangrove sangat penting
peranannya dalam tambak sehingga pemanfaatan mangrove untuk budidaya
perikanan harus rasional. Ahmad dan Mangampa (2000) in Gunarto (2004)
menyarankan konversi lahan mangrove menjadi areal tambak sebesar 20%.
2.2.
Bandeng
Klasifikasi ikan bandeng menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut :
Filum
: Chordata
Sub Filum
: Vertebrata
Kelas
: Pisces
Sub Kelas
: Teleostei
Ordo
: Malacopterigii
Famili
: Chanidae
Genus
: Chanos
Spesies
: Chanos chanos (Gambar 2)
Ikan bandeng termasuk jenis ikan pelagis yang mencari makan di permukaan
dan sering dijumpai di daerah pantai. Secara geografis ikan ini hidup di daerah
tropis maupun subtropis pada batas 30°-40° lintang selatan (Martosudarmo et al.
1984).
7
Gambar 2. Ikan bandeng (Chanos chanos)
Salah satu sifat yang mencolok dari ikan ini adalah sifat euryhaline (tahan
terhadap kisaran perubahan salinitas air), yang memungkinkannya untuk dipelihara
di air payau. Ikan bandeng juga dapat dipelihara di air tawar karena sifat euryhaline
mampu hidup pada kisaran salinitas yang luas, meskipun untuk memijahkan induk
dan larva masih membutuhkan air asin. Bandeng akan memijah di tengah laut yang
salinitasnya tinggi. Nener (benih bandeng) bisa ditangkap di daerah pantai
menggunakan rumpon berupa daun kelapa, dan nener tersebut diambil dengan cara
diseser (Susanto 2005).
Ikan bandeng memiliki keunggulan komparatif dibanding spesies lainnya
antara lain bersifat herbivor dan respon terhadap pakan buatan. Dalam
pemeliharaannya, ikan bandeng dapat memanfaatkan pakan alami yang tersedia di
tambak dan juga dapat memakan pakan buatan sehingga dapat dibudidayakan secara
ekstensif dan intensif (Direktorat Jendral Perikanan 1996).
2.3.
Belanak
Klasifikasi ikan belanak menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut :
Domain
: Eukaryota
Kingdom
: Animalia
Phylum
: Chordata
Class
: Osteichthyes
Order
: Perciformes
Family
: Mugilidae
Genus
: Mugil
Spesies
: Mugil cephalus (Gambar 3)
8
Gambar 3. Ikan Belanak (Mugil cephalus)
Belanak adalah sejenis ikan laut tropis dan subtropis yang merupakan
penghuni dari pesisir pantai dan muara serta sungai-sungai. Ikan ini termasuk ikan
yang bersifat non predator (bukan pemangsa), jadi penyebarannya merata baik di
perairan subtropis ataupun tropis. Makanan dari ikan belanak adalah organismeorganisme kecil yang terdapat di dasar, di dalam lumpur serta ganggang-ganggang
yang terapung.
2.4.
Udang
Klasifikasi udang menurut Suwigyo et al. (1997) adalah sebagai berikut:
Phylum
: Crustacea
Kelas
: Malacostraca
Ordo
: Decapoda
Famili
: Penaeidae
Sub Famili
: Penaeinae
Genus
: Penaeus
Spesies
: Penaeus monodon (Udang windu) (Gambar 4)
9
Gambar 4. Udang windu (Penaeus monodon)
Udang termasuk omnivora dan lebih menyukai organisme yang sedang dalam
proses pembusukan.
Udang memakan detritus, organisme demersal kecil, dan
bagian dari tumbuhan air yang melekat pada substrat (Munro 1975 in Puslitbang
Perikanan 1992). Makanan udang bervariasi menurut fase hidupnya. Pada fase zoea
makanan terdiri dari plankton nabati, seperti diatom dan dinoflagellata. Pada tingkat
mysis makanannya adalah plankton hewani, seperti protozoa dan rotifer.
Pada
tingkat post larvae dan udang muda makanannya adalah diatom, bentos, anak tiram,
krustasea lain, cacing, dan detritus. Udang dewasa suka makan daging binatang
lunak atau moluska, cacing, udang, dan anak serangga.
2.5. Kondisi Lingkungan
2.5.1. Suhu
Suhu merupakan faktor penting dalam pengaturan proses kehidupan dan
penyebaran organisme. Kehadiran spesies tertentu dalam suatu wilayah memerlukan
kondisi suhu tertentu pula. Suhu tidak hanya berpengaruh pada kegiatan
metabolisme organisme saja, melainkan juga terhadap aktifitas senyawa-senyawa
kimia terlarut (Riley dan Skirrow 1975). Suhu bersama tekanan sangat berpengaruh
pada fungsi dinamika dan proses percampuran massa air.
Untuk logam berat
sendiri, Hutagalung (2001) mengatakan bahwa suhu berkorelasi positif dengan
toksisitas logam berat, dimana peningkatan suhu akan menyebabkan toksisitas dari
suatu logam berat meningkat.
10
Perubahan suhu lingkungan yang disebabkan oleh polusi panas akan
memberikan suatu dampak terhadap keberhasilan ekosistem untuk terus hidup.
Ekosistem tropis adalah yang paling rentan terhadap pengaruh buruk yang
dihasilkan oleh penambahan panas (bahang) dan kenaikan suhu (Johanes et al. 1975
in Connel & Miller 1995). Suhu musiman di daerah tropis cenderung stabil, dengan
demikian ekosistem tropis beradaptasi pada toleransi suhu yang sempit.
Peningkatan suhu dapat menyebabkan kecepatan metabolisme dan respirasi
organisme air. Peningkatan suhu sebesar 10ºC menyebabkan konsumsi oksigen
meningkat sekitar 2-3 kali lipat. Kisaran suhu optimum bagi pertumbuhan
fitoplankton di perairan adalah sebesar 20ºC-30ºC (Effendi 2003). Menurut
Poernomo (1988) in Wahab (2003)
kisaran suhu yang diperbolehkan
dalam
pemeliharaan udang windu adalah 26ºC-32ºC sedangkan untuk pemeliharaan benih
bandeng di tambak temperatur air bervariasi antara 24ºC-38,5ºC (Bardach et al.
1973 in Wahab 2003).
2.5.2. Derajat keasaman (pH)
Variasi nilai derajat keasaman (pH) pada perairan terbuka relatif stabil pada
kisaran 7,5-8,4. Nilai pH di estuari banyak dipengaruhi oleh masukan senyawa
peubah suasana asam-basa dari luar misalnya sungai. Umumnya senyawa dari luar
yang masuk ke daerah estuaria memiliki kisaran pH <6,7 atau >8,5 (National
Technical Advisory Committe-NTAC 1980). Dan kisaran pH di perairan estuari
tropis umumnya 6-9.
Nilai pH dipengaruhi oleh suhu, proses metabolisme, ion-ion dalam air dan
kandungan oksigen terlarut (Pescod 1973). Nilai pH juga mempengaruhi reaksi
kimia, sehingga sifat kimia senyawa tersebut berubah. Biasanya perubahan nilai pH
tertentu pada suatu senyawa dapat menjadi bersifat toksik atau racun bagi biota
perairan. Secara umum logam berat akan meningkat toksisitasnya pada pH rendah,
sedangkan pada pH tinggi logam berat akan mengalami pengendapan (Kadang
2005).
Derajat keasaman (pH) perairan sangat menentukan dalam usaha budidaya
ikan. Perairan dengan pH rendah akan berakibat fatal bagi kehidupan ikan, yaitu
akan memperlambat laju pertumbuhan.
Sebagian besar biota akuatik sensitif
11
terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7-8,5. Perubahan keasaman
pada air buangan, baik ke arah alkali (pH naik) maupun ke arah asam (pH menurun),
akan sangat mengganggu kehidupan ikan dan hewan air di sekitarnya.
2.5.3. Salinitas
Salinitas
permukaan dari hasil observasi ditentukan oleh meningkat dan
menurunnya evaporasi dan presipitasi, dan salinitas maksimum terjadi pada lintasan
angin dimana evaporasi tahunan lebih besar daripada presipitasi (Pickard 1970).
Secara alamiah fluktuasi salinitas di daerah pasang surut disebabkan oleh dua hal,
yaitu hujan yang lebat dan penguapan yang besar. Berbagai aktifitas manusia juga
mempengaruhi salinitas perairan laut, terutama di daerah pesisir dekat muara sungai,
misalnya bendungan sungai atau kanal.
Keadaan salinitas di daerah estuari tidak stabil, berubah dengan keadaan
pasang surut. Selain hal itu ada faktor lain yang mempengaruhi variasi salinitas,
seperti topografi estuari serta muatan dan jumlah air tawar. Sebagian besar petambak
membudidayakan udang dalam air payau (15-30 ppt). Menurut Khordi dan Gufran
(1997), ikan bandeng akan memiliki pertumbuhan optimum pada kisaran salinitas
10-35‰. Sedangkan udang windu (Penaeus monodon), udang peci (P. merguensis)
akan tumbuh dengan baik pada kisaran salinitas 15-22‰.
2.5.4. Oksigen terlarut
Oksigen merupakan salah satu gas yang terlarut dalam perairan.
Kadar
oksigen yang terlarut di perairan dapat berfluktuasi secara harian dan musiman,
tergantung pada percampuran (mixing), pergerakan massa air, aktivitas fotosintesis,
respirasi dan limbah yang masuk ke badan air (Effendi 2003).
Kebutuhan
organisme akuatik terhadap oksigen terlarut sangat tinggi, sehingga kandungan
oksigen terlarut yang cukup sangat berarti bagi kehidupan organisme akuatik.
Proses dekomposisi bahan organik dan oksidasi bahan anorganik oleh dekomposer
dapat mengurangi kadar oksigen terlarut sehingga mencapai nol atau anaerob.
Konsentrasi oksigen yang aman bagi kehidupan harus berada diatas titik kritis dan
tidak terdapat bahan lain yang bersifat racun (Pescod 1973). Proses metabolisme
dalam tubuh juga membutuhkan oksigen dalam jumlah banyak dengan
12
meningkatnya suhu perairan. Terdapat suatu hubungan antara kadar oksigen dengan
suhu, dimana semakin tinggi suhu, maka kelarutan oksigen semakin berkurang.
Peningkatan suhu sebesar 1ºC akan meningkatkan konsumsi oksigen sebesar 10%.
Hampir semua organisme akuatik menyukai kondisi dengan kelarutan oksigen > 5
mg/liter (Effendi 2003).
2.6. Karakteristik Logam Berat
Logam berasal dari kerak bumi yang berupa bahan-bahan murni, organik, dan
anorganik. Air sering tercemar oleh berbagai komponen anorganik, diantaranya
berbagai jenis logam berat yang berbahaya, yang beberapa diantaranya banyak
digunakan dalam berbagai keperluan sehingga diproduksi secara kontinyu dalam
skala industri. Industri-industri tersebut harus mendapatkan pengawasan yang ketat
agar tidak mencemari dan membahayakan lingkungan sekitar.
Pencemaran logam berat sangat merugikan ikan secara fisik dan fisiologik,
seperti kerusakan vertebral, kerusakan lamella sekunder pada insang (Irianto 2005).
Logam juga dapat masuk kedalam tubuh dan dapat mengumpul di dalam tubuh suatu
organisme dan tetap tinggal di dalam tubuh dalam jangka waktu yang lama sebagai
racun yang terakumulasi (Kristanto 2004).
Logam berat adalah unsur-unsur dengan bobot jenis lebih besar dari 5 gr/cm3,
terletak di sudut kanan bawah pada sistem periodik, mempunyai afinitas yang tinggi
terhadap unsur S dan biasanya bernomor atom 22 sampai 92 dari periode 4 hingga 7.
Berdasarkan sifat kimia dan fisiknya, maka tingkat atau daya racun logam berat
terhadap hewan air pada LC-50 selama 48 jam, akibat pengaruh sinergik antar
logam, efek sublethal, bioakumulasi, dan bahayanya terhadap orang yang
mengkonsumsi ikan, maka dapat diurutkan (dari tinggi ke rendah) sebagai berikut,
Merkuri (Hg), Kadmium (Cd), Emas (Au), Nikel (Ni), Timah Hitam (Pb), Arsen
(Ar), Selenium (Sn), dan Seng (Zn) (Darmono 1995). Namun Kristanto (2004)
menyebutkan bahwa logam berat yang berbahaya dan sering mencemari lingkungan,
yang utama adalah Merkuri (Hg), Timbal (Pb), Arsenik (Ar), Kadmium (Cd),
Kromium (Cr), dan Nikel (Ni). Sedangkan Irianto (2005) mengatakan bahwa ada
empat logam berat yang paling intensif dipelajari sifat toksisitasnya, yaitu Cu, Hg,
Cd, dan Zn.
13
Sifat toksisitas logam berat dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok,
yaitu bersifat toksik tinggi, sedang, dan rendah. Logam berat yang bersifat toksik
tinggi terdiri dari unsur-unsur Hg, Cd, Pb, Cu, dan Zn. Untuk logam berat yang
termasuk kedalam golongan toksik sedang terdiri dari unsur-unsur Cr, Ni, dan Co.
Sedangkan logam berat yang termasuk ke dalam golongan toksik rendah yaitu unsur
Mn dan Fe. Sifat-sifat logam berat menurut Moore dan Ramamoorthy (1984) yaitu
diantaranya sulit didegradasi secara alami, dapat terakumulasi dalam organisme,
memiliki EC10 dan LC50-96 jam yang rendah, memiliki waktu paruh yang tinggi
dalam tubuh biota laut, dan faktor konsentrasi (rasio antara kadar polutan dalam
tubuh dan kadar polutan di lingkungan) yang besar dalam tubuh biota laut.
2.6.1. Timbal (Pb)
Logam Pb secara alami tersebar luas pada batu-batuan dan lapisan kerak bumi
(Clark 1986). Logam ini termasuk ke dalam kelompok logam-logam golongan IV-A
dengan nomor atom 82 dan bobot 207,2. Penyebaran Pb di bumi sangat sedikit yaitu
0,0002% dari seluruh lapisan bumi. Logam Pb terdapat di perairan, baik secara
alamiah ataupun sebagai dampak dari aktifitas manusia.
Logam ini masuk ke
perairan melalui pengkristalan Pb di udara dengan bantuan air hujan. Disamping itu,
proses korosifikasi dari batuan mineral akibat hempasan gelombang dan angin, juga
merupakan salah satu jalur sumber Pb yang akan masuk ke dalam perairan (Palar
2004).
Timbal dan persenyawaannya digunakan dalam industri baterai sebagai bahan
yang aktif dalam pengaliran arus elektron. Kemampuan timbal dalam membentuk
alloy dengan logam lain telah dimanfaatkan untuk meningkatkan sifat metalurgi ini
dalam penerapan yang sangat luas, contohnya digunakan untuk kabel listrik,
konstruksi pabrik-pabrik kimia, kontainer dan memiliki kemampuan tinggi untuk
tidak mengalami korosi (Palar 2004). Selain itu, Pb dapat digunakan sebagai zat
tambahan bahan bakar dan pigmen timbal dalam cat yang merupakan penyebab
utama peningkatan kadar Pb di lingkungan (Darmono 1995). Hampir 10% dari total
produksi tambang logam timbal digunakan untuk pembuatan tetraethyl lead atau
TEL yang dibutuhkan sebagai bahan penolong dalam proses produksi bahan bakar
bensin karena dapat mendongkrak (boosting) nilai oktan bahan bakar sekaligus
14
berfungsi
sebagai
antiknocking
untuk
mencegah
terjadinya
ledakan
saat
berlangsungnya pembakaran dalam mesin.
Ikan yang hidup dalam air yang mengandung logam berat Pb, pada hatinya
akan ditemukan akumulasi logam berat. Besarnya kandungan logam berat dalam air
juga mempengaruhi besarnya akumulasi logam berat dalam hati ikan. Semakin
tinggi kandungan logam berat dalam air, akumulasi logam berat dalam hati ikan
akan semakin tinggi pula.
Konsentrasi Pb yang mencapai 188 mg/L, dapat membunuh ikan. Sedangkan
krustase setelah 245 jam akan mengalami kematian, apabila pada badan air
konsentrasi Pb adalah 2,75-49 mg/L (Palar 2004). Direktorat Jenderal Pengawasan
Obat dan Makanan (POM) No. 03725/B/SK/VII/89 membatasi kandungan logam
berat Pb maksimum pada sumberdaya ikan dan olahannya adalah adalah 2,0 ppm.
2.6.2. Kadmium (Cd)
Kadmium (Cd) adalah salah satu logam berat dengan penyebaran yang sangat
luas di alam, logam ini bernomor atom 48, berat atom 112,40 dengan titik cair
321oC dan titik didih 765oC. Di alam Cd bersenyawa dengan belerang (S) sebagai
greennocckite (CdS) yang ditemui bersamaan dengan senyawa spalerite (ZnS).
Kadmium merupakan logam lunak (ductile) berwarna putih perak dan mudah
teroksidasi oleh udara bebas dan gas amonia (NH3) (Palar 2004). Di perairan, Cd
akan mengendap karena senyawa sulfitnya sukar larut (Bryan 1976). Menurut Clark
(1986) sumber kadmium yang masuk ke perairan berasal dari:
1. Uap, debu, dan limbah dari pertambangan timah dan seng.
2. Air bilasan dari electroplating.
3. Besi, tembaga, dan industri logam non ferrous yang menghasilkan abu dan uap
serta air limbah dan endapan yang mengandung kadmium.
4. Seng yang digunakan untuk melapisi logam mengandung kira-kira 0, 2% Cd
sebagai bahan ikutan (impurity); semua Cd ini akan masuk ke perairan melalui
proses korosi dalam kurun waktu 4-12 tahun.
5. Pupuk phosfat dan endapan sampah.
Penggunaan Cd yang paling utama adalah sebagai stabilizer (penyeimbang)
dan pewarna pada plastik dan electroplating (penyepuh/pelapisan logam). Selain itu
15
digunakan pula pada penyolderan dan pencampuran logam serta industri baterai.
Akumulasinya dalam air tanah antara lain diakibatkan oleh kegiatan electroplating
(pelapisan emas dan perak), pengerjaan bahan-bahan dengan menggunakan
pigmen/zat warna lainnya, tekstil dan industri kimia (Darmono 1995).
Logam kadmium atau Cd akan mengalami proses biotransformasi dan
bioakumulasi dalam organisme hidup (tumbuhan, hewan dan manusia). Dalam biota
perairan, jumlah logam yang terakumulasi akan terus mengalami peningkatan
(biomagnifikasi) dan dalam rantai makanan biota yang tertinggi akan mengalami
akumulasi Cd yang lebih banyak. Keracunan kadmium bisa menimbulkan rasa
sakit, panas pada bagian dada, penyakit paru-paru akut, dan menimbulkan kematian.
Salah satu contoh kasus keracunan akibat pencemaran Cd adalah timbulnya penyakit
itai-itai di Jepang (Palar 1994).
2.3.1. Tembaga (Cu)
Tembaga (Cu) memiliki berat atom 63,5 densitas 8,90 dan titik cair 10840C.
Dalam keadaan normal logam Cu merupakan logam esensial bagi hewan air.
Tembaga merupakan salah satu logam yang bermanfaat dalam pembentukan
haemosianin sistem darah dan enzimatik hewan air.
Penyerapan Cu dilakukan
melalui insang dan saluran pencernaan (Darmono 1995).
Tembaga banyak digunakan pada pabrik yang memproduksi alat-alat listrik,
gelas dan zat warna yang biasanya bercampur dengan logam lain, seperti Ag, Cd,
Sn, dan Zn. Garam tembaga banyak digunakan dalam bidang pertanian, misalnya
larutan bordeaux yang mengandung 1-3% CuSO4. Larutan ini digunakan untuk
membasmi siput sebagai inang dari parasit cacing, juga untuk mengobati penyakit
kuku pada domba (Darmono 1995).
Gejala yang timbul pada keracunan Cu akut adalah mual, muntah-muntah,
sakit perut, hemolisis, nefrosis, kejang, dan akhirnya kematian. Pada keracunan
kronis, Cu tertimbun dalam hati dan menyebabkan hemolisis. Hemolisis terjadi
karena tertimbunnya H2O2 dalam sel darah merah sehingga terjadi oksidasi dari
lapisan sel yang mengakibatkan sel jadi pecah. Defisiensi Cu dapat menyebabkan
anemia dan pertumbuhan terhambat (Darmono 1995).
16
2.7. Cara Penyerapan Logam Berat oleh Organisme
Badan air merupakan tempat buangan limbah industri yang diperkirakan
mengandung logam berat yang dapat mengganggu kehidupan di dalamnya. Logam
berat secara langsung atau tidak langsung akan masuk ke dalam tubuh manusia
melalui rantai makanan. Cara penyerapan logam berat oleh ikan umumnya
mengambil logam berat melalui insang, kemudian ditransfer melalui darah ke ginjal.
Bentuk logam berat anorganik disimpan dalam jaringan, kemudian ditransfer ke
ginjal dan dieksresikan. Sedangkan logam organik tidak dieksresikan, tetapi
terakumulasi dalam jaringan otot. Selain itu, masuknya logam berat dalam tubuh
ikan juga dapat melalui rantai makanan.
Menurut Darmono (1995), ada tiga teori mengenai mekanisme penyerapan
logam berat dalam jaringan organisme, yaitu :
1. Penyerapan logam melalui mekanisme pengangkutan yang berhubungan dengan
mekanisme osmoregulasi, yaitu pengaturan tekanan osmosis oleh organisme
terhadap air di sekitarnya.
2. Pengikatan ion-ion logam menyentuh bagian tertentu dari permukaan jaringan
dan masuk ke dalam sitoplasma.
3. Logam dalam bentuk kristal kecil atau larutan yang segera ditangkap oleh sel
epitel dan secara endositosis logam tersebut dibawa masuk dan dilepas ke
sitoplasma.
Melalui proses biologis (biotransformasi), logam berat yang terakumulasi
dalam tubuh organisme hidup akan terjadi perpindahan, kemudian terjadi
peningkatan kadar logam berat pada tingkat pemangsa yang lebih tinggi yang
disebut magnifikasi biologis (biomagnifikasi). Secara tidak langsung proses
perikanan atau pertanian dapat tercemar oleh logam berat. Akumulasi biologis dapat
terjadi melalui absorbsi langsung terhadap logam berat yang terdapat dalam badan
air, sehingga organisme yang hidup pada perairan tercemar berat oleh logam berat,
jaringan tubuhnya akan mengandung kadar logam berat yang tinggi pula.
Logam berat yang masuk ke dalam tubuh ikan dan udang, sebagian akan
dieksresikan dan sebagian lagi akan mengalami proses bioakumulasi pada jaringan
organ-organ tertentu. Besarnya kadar logam berat dalam air juga mempengaruhi
besarnya akumulasi logam berat dalam hati ikan. Semakin tinggi kadar logam berat
17
dalam air, semakin tinggi pula akumulasi logam berat di dalam hati ikan. Waktu
pemaparan logam berat tidak selalu menambah akumulasi logam berat di dalam hati
ikan.
Logam berat yang masuk ke dalam hati ikan dan udang menyebabkan
gangguan fisiologis, sehingga ikan berusaha mengeluarkannya sebagai bagian dari
proses detoksifikasi.
Salah satu mekanisme detoksifikasi adalah mengubah zat
menjadi bentuk senyawa yang mudah dikeluarkan dari dalam tubuh.
2.8. Pengaruh Logam Berat Terhadap Biota Perairan
Keberadaan logam berat dalam perairan akan berpengaruh negatif terhadap
kehidupan biota. Logam berat yang terikat dalam tubuh organisme akan
mempengaruhi aktivitas dari organisme tersebut. Bagi ikan, udang, dan moluska zat
pencemar akan mempengaruhi saraf, sifat genetis atau fisiologis serta perilaku
seperti food habit migration. Pengaruh logam berat terhadap biota umumnya terjadi
dalam periode telur, larva atau juwana, sehingga menghambat pertumbuhan.
Menurut Jones (1964), ikan yang mengakumulasi logam Pb, Zn, dan Cu pada
insangnya akan terbentuk lapisan mukus (lendir), sehingga ikan mengalami keadaan
kekurangan oksigen yang disebut Coagulation film anoxia. Pembentukan lapisan
mukus tersebut disebabkan terjadinya reaksi penolakan dalam insang ikan terhadap
logam berat yang diabsorpsi.
Organ hati yang mengakumulasi logam Pb akan
mengalami kerusakan jaringan hati ikan, yaitu degenerasi lemak, hiperemi
(pembengkakan), dan nekrosa. Makin tinggi kadar logam berat makin tinggi
kerusakannya.
2.9. Batas Aman Konsumsi atau Acceptable Daily Intake
Asupan harian dapat diterima atau ADI adalah ukuran jumlah suatu zat
tertentu (awalnya diterapkan untuk aditif makanan, kemudian juga untuk residu obat
hewan atau pestisida) dalam air minum atau makanan yang dapat dicerna pada
satuan hari tanpa resiko kesehatan yang berbahaya. Menurut WHO, batas aman
konsumsi dapat dirumuskan sebagai berikut:
18
Keterangan:
Baku mutu Pb = 25 g/ kg berat tubuh/minggu
Baku mutu Cd = 7 g/ kg berat tubuh/minggu
Baku mutu Cu = 87,5 g/ kg berat tubuh/minggu
19
3. METODE PENELITIAN
3.1.
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di kawasan silvofishery Blanakan Subang, Jawa Barat.
Pelaksanaan penelitian terdiri dari empat tahap, yaitu pengumpulan data (sekunder),
observasi lapangan, serta pengolahan dan analisis data (lapangan & laboratorium).
Penelitian ini dilakukan dari bulan April 2011 hingga bulan Agustus 2011.
3.2.
Alat dan Bahan
Bahan yang digunakan meliputi bahan utama ikan bandeng, belanak, dan
udang segar dan juga bahan yang terdapat di laboratorium, seperti pereaksi kimia.
Bahan-bahan kimia yang digunakan untuk analisa logam berat meliputi asam nitrat
(HNO3 0,1 M), asam klorida (HCl 6 N), larutan standar Pb, Cd, Cu, dan aquades.
Peralatan utama yang digunakan untuk analisa logam berat yaitu Atomic Absorption
Spectrophotometer (ASS). Peralatan lainnya yaitu hot plate, gelas piala, corong,
labu takar, kertas saring, labu semprot, pipet volumetrik, bulp, oven, cawan gelas
(pyrex), alat penghancur contoh kering (mortar), timbangan analitik, dan kantung
plastik contoh.
3.3.
Metode Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis data, yaitu data
primer dan sekunder.
3.3.1. Data primer
Pengumpulan data primer dilakukan melalui pengamatan langsung (observasi)
di lapangan dan wawancara langsung secara tidak berstruktur dengan penduduk
sekitar kawasan tambak serta pihak-pihak yang terkait. Data primer yang diambil
antara lain adalah suhu, pH, DO, salinitas dan kandungan logam berat Pb, Cd, dan
Cu pada daging ikan bandeng, belanak, dan udang.
3.3.2. Data sekunder
Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara mengumpulkan dokumendokumen hasil penelitian atau studi tentang kandungan logam berat di perairan
20
Blanakan dan data pendukung lainnya yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah dari dinas atau instansi terkait dengan penelitian. Selain
itu, pengumpulan data sekunder dapat dicari dan diunduh melalui jaringan internet.
3.4. Penentuan Titik Pengamatan dan Pengambilan Contoh
3.4.1. Penentuan titik pengamatan
Pengamatan dilakukan di daerah perairan Blanakan Subang yang terdiri dari
empat titik stasiun. Stasiun I tambak, stasiun II bagian hulu sungai Blanakan,
stasiun III muara sungai, dan stasiun IV laut. Penentuan titik sampling dilakukan
secara acak sehingga mewakili semua kawasan. Pengambilan titik stasiun berada di
sepanjang sungai blanakan seperti yang telah disajikan pada Gambar 5.
Tambak
Laut
Muara Sungai Blanakan
Hulu Sungai Blanakan
Gambar 5. Lokasi penelitian di Blanakan Subang, Jawa Barat
3.4.2. Pengambilan contoh
Pengambilan contoh dilakukan secara langsung di lokasi penelitian. Contoh
yang diambil adalah ikan bandeng, ikan belanak, dan udang segar. Masing-masing
biota pada setiap stasiun diambil contoh sebanyak tiga ekor atau tiga kali ulangan
dalam kondisi segar. Setelah contoh diambil lalu dikumpulkan menjadi satu di
dalam kotak pendingin dan selanjutnya dilakukan analisis laboratorium.
Selain
contoh biota, diamati juga paremeter kualitas air. Pengambilan data kualitas air
21
dilakukan secara insitu.
Parameter kualitas air yang diamati antara lain DO,
salinitas, pH, dan suhu yang telah disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Parameter kualitas air serta metode analisis dan pengukurannya
Parameter
Satuan
Metode Analisa/Alat
Fisika
o
Suhu
C
Termometer Air Raksa
o
Salinitas
/oo
Refraktometer
Kimia
pH
Lakmus indikator
DO
mg O2/L
Winkler
Cd
mg/L
AAS
Pb
mg/L
AAS
Cu
mg/L
AAS
3.5.
Lokasi
Insitu
Insitu
Insitu
Insitu
Ex-situ
Ex-situ
Ex-situ
Prosedur Kerja
3.5.1. Penentuan konsentrasi logam berat
Penentuan konsentrasi logam berat untuk contoh biota adalah dengan cara
kering atau pengabuan. Pembuatan larutan standar logam berat dengan konsentrasi
masing-masing 0,2; 0,4; 0,8; 1,2 dan 2,0 ppm, kemudian dilakukan pengukuran
dengan
menggunakan
alat
AAS
tipe
AA-7000
(Atomic
Absorption
Spectrofotometry) dengan λ Cd 228,8 nm, λ Cu 324,8 nm, λ Pb 217,0 nm dan
menggunakan flame air-acetiline untuk selanjutnya dihitung dengan formula
(AOAC, 1984/FTDC) :
Keterangan :
Ac
: Absorban Contoh
Ab
: Absorban Blanko
a
: intercept dari persamaan regresi standar
b
: slope dari persamaan regresi standar
W
: berat sampel (gr)
Selanjutnya hasil analisis parameter kualitas air (fisika dan kimia) di perairan
Blanakan dapat dibandingkan dengan Kriteria Baku Mutu Air Laut tahun 2004 pada
Tabel 2. Untuk hasil analisis kandungan logam berat Pb, Cd, dan Cu pada contoh
22
biota dapat dibandingakan dengan baku mutu yang ditetapkan oleh SNI seperti pada
Tabel 2.
Tabel 2. Baku mutu air laut, biota laut dan makanan hasil perikanan
Baku
No
Parameter
Satuan
Keterangan
Mutu
I. FISIKA
Kepmen LH No. 51 Thn
0
C
28-30
1 Suhu
2004
II. KIMIA
7-8,5
1 Ph
Kepmen LH No. 51 Thn
0
/00
33-34
2 Salinitas
2004
mg/L
>6
3 Oksigen Terlarut (DO)
III. Baku Mutu Makanan dan Hasil Perikanan Lainnya
mg/kg
2
SNI 01-4106-1996
1 Timbal (Pb)
mg/kg
0,2
SNI 19-2896-1992
2 Kadmium (Cd)
mg/kg
20
SNI 01-4104-1996
3 Tembaga (Cu)
23
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Blanakan merupakan salah satu daerah pesisir di wilayah kabupaten Subang.
Secara geografis, Kabupaten Subang terletak di bagian utara Propinsi Jawa Barat
yaitu antara 107°31'-107°54' BT dan 6°11'-6°49' LS.
Luas wilayah Kabupaten
Subang adalah 205.176,95 hektar (6,34 % dari luas total Jawa Barat) dengan
ketinggian antara 0-1500 m dpl. Secara administrasi Kabupaten Subang terdiri dari
22 Kecamatan dengan jumlah desa 244 desa dan 8 kelurahan.
Dari jumlah
kecamatan yang ada terdapat 4 (empat) kecamatan yang merupakan kecamatan
pesisir, yaitu Kecamatan Blanakan, Ciasem, Legon Kulon, dan Kecamatan
Pusakanagara. Luas wilayah kecamatan pesisir Kabupaten Subang adalah 333,57
km2 atau 16 % dari luas seluruh kabupaten. Desa-desa yang tergolong desa pesisir
terdapat 11 desa.
Hutan mangrove yang terdapat di Kabupaten Subang merupakan hutan bakau
binaan. Hutan mangrove di kawasan pantai Subang bagian utara berada di bawah
otoritas pengelolaan Perum Perhutani BKPH Ciasem-Pamanukan. Analisis data
LANDSAT-TM Multitemporal tahun 1988, 1990, 1992, dan 1995 menunjukkan
bahwa mangrove di kawasan ini dalam periode 1988-1992 mengalami pengurangan
luasan dari 2.087,7 ha pada tahun 1988 menjadi 1.729,9 ha tahun 1990 dan 958,2 ha
tahun 1992.
Namun, antara tahun 1992 dan 1995 terjadi penambahan luasan
menjadi 3.074,3 ha. Pengurangan tersebut berhubungan dengan kegiatan konversi
lahan, termasuk perluasan area pertambakan, sedangkan penambahan luas pada
periode akhir menunjukkan keberhasilan penggalakan program perhutanan sosial
yang dilakukan melalui tambak tumpangsari. Upaya pelaksanaan budidaya
dilakukan dengan melibatkan masyarakat yang tinggal di daerah pesisir melalui
sistem Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang dimulai sejak tahun
1986 melalui sistem tambak tumpangsari, dimana sebagian besar tambak
menggunakan pola empang parit dan sebagian kecil dengan pola komplangan serta
pola jalur.
Komoditas perikanan yang umumya dibudidayakan adalah ikan bandeng,
mujaer, dan udang windu dengan sistem tradisional karena tanpa pemberian pakan
24
buatan, dengan masa panen sekitar empat bulan. Untuk cara memelihara biasanya
masyarakat setempat menanam udang terlebih dahulu kemudian ikan bandeng,
namun terkadang secara bersamaan.
Metode pemanenan yang biasa dilakukan
masyarakat sekitar yaitu dengan sistem arad atau sistem panen habis.
4.2.
Parameter Kualitas Air
4.2.1. Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor penting bagi kehidupan organisme perairan,
karena suhu dapat mempengaruhi metabolisme dan perkembangbiakan organismeorganisme perairan. Umumnya suhu perairan di Indonesia berkisar antara 28 –
38°C. Hasil pengamatan suhu di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6. Suhu rata-rata pada stasiun pengamatan
Nilai rata-rata suhu perairan pada Gambar 6 di tiap stasiun menunjukkan
kisaran antara 29-32°C dengan suhu tertingginya terdapat pada stasiun tambak dan
suhu terendah terdapat pada bagian hulu sungai Blanakan.
Pengukuran suhu
dilakukan mengingat pentingnya parameter ini dalam mempelajari proses-proses
fisika, kimia dan biologi. Kondisi tersebut sesuai dengan kondisi pada daerah tropis
dengan suhu rata-rata > 25°C. Faktor – faktor yang mempengaruhi perubahan suhu
adalah curah hujan, penguapan, kelembapan udara, suhu udara, kecepatan angin, dan
intensitas radiasi matahari. Sedangkan untuk logam berat sendiri, Hutagalung (1984)
25
mengatakan bahwa suhu berkorelasi positif dengan toksisitas logam berat, dimana
peningkatan suhu akan menyebabkan toksisitas dari suatu logam berat meningkat.
Berdasarkan baku mutu KepMen LH No 51 Tahun 2004, suhu pada stasiun
bagian hulu Sungai Blanakan dan muara Sungai Blanakan masih berada dalam
rentang baku untuk budidaya perikanan. Sedangkan pada stasiun laut dan tambak
telah melewati batas baku mutu untuk biota laut yaitu sebesar 28-30°C.
4.2.2. Derajat keasaman (pH)
Derajat keasaman menyatakan intensitas keasaman atau kebasaan dari suatu
cairan yang mewakili konsentrasi ion hidrogennya. Menurut Nyabakken (1992),
kisaran pH yang optimal untuk air laut berkisar antara 7,5 – 8,5. Hasil pengamatan
pH di stasiun pengamatan disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7. Derajat keasaman (pH) rata-rata pada stasiun pengamatan
Berdasarkan Gambar 7 di atas dapat diketahui bahwa nilai rata-rata derajat
keasaman (pH) berkisar 6-7,5 dengan nilai pH tertinggi terletak pada stasiun tambak
dan nilai pH terendah terletak pada stasiun laut. Batasan nilai rata-rata pH pada
perairan Blanakan masih dalam batas toleransi sesuai dengan baku mutu yang telah
ditetapkan oleh KepMen LH No. 51 Tahun 2004 yakni 6,5-8. Pada perairan yang
asam konsentrasi logam berat didalam tubuh organisme perairan akan lebih tinggi
dibandingkan di perairan netral dan perairan basa.
26
4.2.3. Salinitas
Salinitas menggambarkan kandungan konsentrasi total ion yang terdapat pada
perairan baik organik maupun anorganik.
Peningkatan kandungan ion akan
meningkatkan kemampuan perairan tersebut dalam menghantarkan listrik. Salinitas
air laut berfluktuasi tergantung pada musim, topografi, pasang surut, dan jumlah air
tawar. Selain itu, nilai salinitas yang tinggi dapat mengganggu pertumbuhan dan
perkembangan organisme perairan, yaitu dapat memperlambat laju pertumbuhannya.
Karena sebagian besar energinya banyak digunakan untuk proses osmoregulasi
dalam usaha menjaga keseimbangan tekanan cairan tubuh dengan lingkungannya
(Poernomo, 1978 in Gunarto et al, 2003). Hasil pengamatan salinitas di tiap stasiun
pengamatan disajikan pada Gambar 8.
Gambar 8. Nilai rata-rata salinitas pada stasiun pengamatan
Berdasarkan hasil pada Gambar 8 menunjukkan bahwa pengukuran nilai
salinitas yang diperoleh di perairan Blanakan berkisar antara 1-30‰. Variasi nilai
salinitas di keempat stasiun ini disebabkan adanya pengaruh masukan air tawar dan
pergerakan arus. Stasiun yang berada dekat hulu sungai cenderung memiliki nilai
salinitas yang lebih rendah dibandingkan dengan nilai salinitas pada stasiun yang
menuju laut. Kondisi ini sesuai seperti yang dikemukakan oleh Nyabakken (1992)
bahwa kondisi perairan daerah estuari dipengaruhi oleh pengaruh daratan dan lautan,
dimana nilai salinitas tinggi terjadi saat pengaruh dari lautan lebih dominan
27
dibandingkan dengan pengaruh daratan, begitu pula sebaliknya nilai salinitas rendah
disebabkan oleh pengaruh daratan, yaitu ketika air tawar masuk ke perairan melalui
aliran sungai.
Kisaran salinitas pada keempat stasiun di perairan Blanakan ini masih dalam
batas aman untuk kehidupan biota laut karena masih berada pada kisaran baku mutu
yang telah ditetapkan KepMen LH No. 51 Tahun 2004 yaitu sebesar 0,5 - 34‰.
4.2.4. Oksigen terlarut (DO)
Konsentrasi oksigen terlarut (DO) menyatakan besarnya kandungan oksigen
yang terlarut dalam suatu perairan.
Konsentrasi DO di permukaan laut sangat
bervariasi dan sangat dipengaruhi oleh suhu, makin tinggi suhu makin berkurang
tingkat kelarutan oksigen. Oksigen terlaut di laut berasal dari dua sumber, yakni
dari atmosfer dan hasil fotosintesis fitoplankton dan berbagai tanaman laut. Hasil
pengukuran DO di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 9.
Gambar 9. Nilai rata-rata DO pada stasiun pengamatan
Berdasarkan Gambar 9 yang merupakan pengukuran nilai DO yang dilakukan
selama pengamatan menunjukkan bahwa DO di perairan Blanakan berkisar antara
4-9,8 mg/L. Nilai konsentrasi DO tertinggi terdapat pada stasiun laut. Sedangkan
yang terendah terdapat pada stasiun bagian hulu Sungai Blanakan. Rendahnya nilai
konsentrasi DO pada stasiun bagian hulu Sungai Blanakan diduga diakibatkan
karena pada lokasi ini pergerakan massa air dan turbulensi jarang terjadi dibanding
28
stasiun lainnya.
Kelarutan oksigen di perairan sangat penting artinya dalam
mempengaruhi keseimbangan kimia dan kehidupan organisme perairan. Oksigen
terlarut akan menurun apabila banyak limbah, terutama limbah organik yang masuk
ke sistem perairan.
Berdasarkan baku mutu KepMen LH No 51 Tahun 2004, nilai konsentrasi DO
yang sesuai untuk kehidupan biota laut harus lebih besar dari 5 mg/L. Maka dapat
disimpulkan bahwa hanya pada stasiun bagian hulu Sungai Blanakan yang nilainya
lebih kecil dari baku mutu yang telah ditetapkan, sedangkan ketiga stasiun
pengamatan lainnya masih sesuai dengan baku mutu.
4.3.
Konsentrasi Logam Berat Dalam Sampel Biota Ikan dan Udang
Dalam memonitor pencemaran di suatu lingkungan perairan yang dianggap
tercemar logam berat, tidak cukup hanya menganalisis di air saja, melainkan
dibutuhkan analisis contoh dalam biota. Hal ini disebabkan konsentrasi logam berat
dalam air akan mengalami perubahan dan sangat tergantung pada lingkungan dan
iklim.
Konsentrasi logam berat dalam biota air biasanya senantiasa bertambah
seiring dengan bertambahnya waktu dan juga karena sifat dari logam yang
“bioakumulatif” sehingga biota air sangat baik digunakan sebagai indikator
pencemaran logam dalam suatu lingkungan perairan. Absorpsi logam pada biota air,
selain masuk melalui insang dapat juga masuk melalui kulit (kutikula) dan lapisan
mukosa. Absorpsi ion-ion logam dari air laut oleh organisme, seperti ikan dan
udang biasanya melalui insang.
4.4.
Konsentrasi Logam Berat Dalam Biota Udang
Hasil analisis laboratorium terhadap konsentrasi logam Pb, Cd, dan Cu dalam
udang pada setiap pengamatan yang terdiri dari empat stasiun dan sebanyak tiga kali
pengulangan, menunjukkan bahwa konsentrasi logam berat bervariasi dan nilainya
dipengaruhi oleh banyaknya sumber pencemaran logam berat dan lokasi
pengambilan contoh (Gambar 10).
29
Gambar 10. Nilai konsentrasi logam berat Pb, Cd, dan Cu pada contoh udang di
empat stasiun pengamatan
4.4.1. Timbal (Pb)
Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh seperti pada Gambar 10
menunjukkan bahwa kandungan logam berat Pb pada udang tertinggi terdapat pada
Muara Sungai Blanakan sebesar 0,1445 ppm dan terendah terdapat pada Hulu
Sungai Blanakan sebesar 0,005 ppm. Faktor yang menyebabkan hal ini adalah
karena adanya perbedaan aktifitas pembuangan limbah di dua lokasi tersebut.
Peningkatan konsentrasi logam berat Pb di Muara Sungai Blanakan disebabkan
karena banyaknya sumber pencemar logam berat Pb, seperti buangan limbah cat
untuk kapal, dan limbah baterai. Bahan bakar yang mengandung timbal (leaded
gasoline) juga memberikan kontribusi yang berarti bagi keberadaan timbal di dalam
air. Buangan limbah dari hulu akan terbawa oleh air hujan dan akhirnya akan
terakumulasi di Muara Sungai Blanakan, sehingga menyebabkan kandungan logam
berat Pb di Muara Sungai Blanakan memiliki nilai tertinggi. Jika dibandingkan
dengan baku mutu dari Departemen Kesehatan RI nilai Pb pada perairan Blanakan
masih jauh dibawah baku mutu, yaitu sebesar 2 ppm. Hal ini berarti sumberdaya
perikanan di kawasan tersebut aman untuk dibudidayakan dan dikonsumsi.
4.4.2. Kadmium (Cd)
Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh seperti pada Gambar 10
menunjukkan bahwa kandungan logam berat Cd udang pada semua stasiun nilainya
30
sama dan sangat rendah yaitu sebesar 0,005 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa
sumber logam berat Cu di perairan Blanakan sangat sedikit yang terpapar pada biota
udang. Apabila dibandingkan dengan baku mutu dari Departemen Kesehatan RI
nilai Cd pada biota udang di perairan Blanakan masing sangat jauh dari ambang
batas, nilainya yaitu 1 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa sumberdaya perikanan di
lokasi tersebut aman untuk dibudidaya dan dikonsumsi.
4.4.3. Tembaga (Cu)
Berdasarkan hasil yang ada pada Gambar 10 menunjukkan bahwa kandungan
konsentrasi logam berat Cu udang tertinggi terdapat pada stasiun muara Sungai
Blanakan, yaitu sebesar 0,3809 ppm, sedangkan kandungan konsentrasi logam Cu
terendah terdapat pada tambak, yaitu sebesar 0,2599 ppm. Hal ini terjadi karena
pada stasiun muara Sungai Blanakan banyak terjadi peristiwa alami dan sebagai efek
samping dari kegiatan manusia.
Contohnya adalah logam Cu yang masuk ke
perairan sebagai akibat dari erosi atau pengikisan batuan mineral serta melalui
persenyawaan Cu di atmosfir. Muara sungai merupakan tempat akumulasi dari
buangan limbah dari aktifitas manusia yang berasal dari hulu dan terbawa oleh air
hujan, begitu juga sebaliknya di tambak buangan limbah lebih sedikit daripada
stasiun lainnya. Jika dibandingkan dengan baku mutu dari Departemen Kesehatan
RI nilai Cu pada perairan Blanakan masih jauh dibawah baku mutu yaitu sebesar 20
ppm.
Hal ini berarti sumberdaya perikanan di kawasan tersebut aman untuk
dibudidayakan dan dikonsumsi.
4.5.
Konsentrasi Logam Berat Dalam Biota Ikan
Hasil analisis laboratorium konsentrasi logam berat Cu, Pb, dan Cd pada ikan
di empat stasiun berbeda menunjukkan hasil yang bervariasi (Gambar 11).
Karakteristik titik stasiun pengamatan juga mempengaruhi hasil dari konsentrasi
logam berat tersebut.
31
Gambar 11. Nilai konsentrasi logam berat Pb, Cd, dan Cu pada sampel ikan di
empat stasiun pengamatan
4.5.1. Timbal (Pb)
Hasil analisis pada Gambar 11 menunjukkan bahwa kandungan logam berat
Pb dalam biota ikan pada tiga kali pengambilan contoh tampak bervariasi, yaitu
antara 0,005-0,1962 ppm.
Konsentrasi logam berat yang terdeteksi sangat
bervariasi. Hal ini dapat dipengaruhi oleh interaksi berbagai faktor lingkungan,
misalnya kondisi lingkungan.
Kandungan logam berat tertinggi terdapat pada
stasiun muara Sungai Blanakan, yaitu sebesar 0,1962 ppm dan kandungan logam
terendah terdapat pada stasiun tambak, yaitu sebesar 0,005 ppm.
Hal ini
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan pada muara Sungai Blanakan terjadi akumulasi
konsentrasi timbal yang disebabkan karena banyaknya sumber pencemar logam
berat Pb, seperti buangan limbah cat, limbah baterai, dan buangan limbah dari bahan
bakar kapal. Kandungan logam berat Pb pada stasiun tambak sangat rendah karena
sumber pencemar logam Pb relatif lebih sedikit dari pada stasiun lainnya, dan juga
dikarenakan lokasi stasiun tambak yang tertutup sehingga pengaruh dari luar sangat
kecil.
Timbal biasanya terakumulasi pada berbagai organ, seperti insang, usus, dan
lambung, gonad, mantel, sifon dan jaringan otot. Timbal termasuk salah satu logam
pencemar yang bersifat toksik dan berbahaya bagi kesehatan manusia. Timbal dapat
mengganggu fungsi otak terutama pada anak-anak kecil, menyebabkan timbulnya
anemia (memperpendek umur sel darah merah), kegagalan ginjal dan beberapa
32
aspek negatif pada kehamilan/kesuburan wanita. Daya racun Pb di dalam tubuh
diantaranya disebabkan oleh penghambatan enzim oleh ion-ion Pb2+. Enzim yang
diduga dihambat adalah yang diperlukan untuk pembentukan hemoglobin.
Penghambatan tersebut disebabkan terbentuknya ikatan yang kuat (ikatan kovalen)
antara Pb2+ dengan grup sulfur yang terdapat di dalam asam-asam amino, misalnya
sistein dari enzim tersebut.
Batas maksimum kadar logam berat Pb yang masih diperbolehkan dalam
bahan makanan hasil laut oleh SNI adalah sebesar 2,0 ppm. Jika dikaitkan dengan
standar tersebut, maka kandungan logam berat Pb pada keempat stasiun berada
dibawah baku mutu yang telah ditetapkan sehingga biota ikan yang ada di perairan
Blanakan aman untuk dibudidayakan dan dikonsumsi.
4.5.2. Kadmium (Cd)
Hasil analisis pada Gambar 11 menunjukkan bahwa kandungan logam berat
Cd pada biota ikan pada tiga kali pengulangan menunjukkan hasil yang sama pada
keempat stasiun pengamatan yaitu sebesar 0,005 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa
sumber pencemar logam berat Cd pada keempat stasiun pengamatan sangat sedikit.
Salah satu contoh sumber pencemar logam berat Cd antara lain pewarna plastik,
electroplating, industri tekstil dan industri kimia, akan tetapi sumber-sumber
pencemar tersebut tidak ada di wilayah perairan Blanakan. Akumulasi timbal dalam
jaringan tubuh dapat mengakibatkan keracunan, kerusakan ginjal, kerusakan pada
sistem syaraf, dan hilangnya kalsium pada tubuh.
Batas maksimum logam Cd dalam makanan yang ditetapkan oleh SNI, yaitu
sebesar 0,2 ppm.
Jika dibandingkan dengan standar tersebut, maka kandungan
logam berat Cd pada biota ikan berada jauh dibawah baku mutu yang telah
ditetapkan sehingga biota ikan yang ada di perairan Blanakan aman untuk
dibudidayakan dan dikonsumsi.
4.5.3. Tembaga (Cu)
Logam Cu termasuk unsur kelumit esensial bagi kehidupan organisme.
Walaupun demikian dalam jumlah berlebih logam tersebut dapat bersifat racun bagi
organisme itu sendiri maupun manusia yang mengkonsumsinya.
33
Hasil analisis pada Gambar 11 menunjukkan bahwa kandungan logam berat
Cu pada biota ikan pada tiga kali pengulangan menunjukkan hasil yang bervariasi,
yaitu antara 0,018-0,0516 ppm. Konsentrasi logam berat Cu ikan tertinggi terdapat
pada tambak, yaitu sebesar 0,0516 ppm, sedangkan konsentrasi terendah terdapat
pada stasiun bagian hulu sungai Blanakan, yaitu sebesar 0,0180 ppm. Salah satu
sumber pencemar logam Cu di perairan Blanakan berasal dari garam tembaga yang
sering digunakan dalam bidang pertanian, misalnya larutan bordeaux yang
mengandung 1-3% CuSO4. Larutan ini digunakan untuk membasmi siput sebagai
inang dari parasit cacing, juga untuk mengobati penyakit kuku (foot rote) pada
domba.
Batas maksimum logam Cu dalam makanan yang ditetapkan oleh SNI, yaitu
sebesar 20 ppm.
Jika dibandingkan dengan standar tersebut, maka kandungan
logam berat Cu pada biota ikan berada jauh dibawah baku mutu yang telah
ditetapkan sehingga biota ikan yang ada di perairan Blanakan aman untuk
dibudidayakan dan dikonsumsi.
4.6.
Batas Aman Konsumsi atau Acceptable Daily Intake
Semakin tinggi nilai ADI (Acceptable Daily Intake) maka jumlah senyawa
yang aman untuk dikonsumsi juga semakin besar. Keberadaan logam berat, seperti
Pb, Cd, dan Cu dalam tubuh dapat menyebabkan kematian. Untuk itu diperlukan
pembatasan dalam rangka meminimalkan dampak yang ditimbulkan.
4.6.1. Timbal (Pb)
Timbal merupakan salah satu logam berat yang berbahaya bagi anak-anak.
Selain melalui makanan dan minuman, masuknya timbal ke dalam tubuh dapat
melalui plasenta pada ibu hamil. Dalam jangka panjang, efek yang ditimbulkan
adalah terganggunya sistem syaraf. Timbal juga berpengaruh terhadap metabolisme
tubuh terutama terhadap vitamin D dan kalsium. Kandungan rata-rata Pb dalam
ikan sebesar 0,1070 ppm sedangkan pada udang sebesar 0,1007 ppm. Berdasarkan
hasil tersebut kandungan Pb dalam daging ikan dan udang masih di bawah ambang
batas yang dikeluarkan oleh SNI, yaitu 2 ppm. Akan tetapi WHO menetapkan batas
aman toleransi pemasukan Pb per minggu, yaitu 25 g/kg berat tubuh per minggu.
34
Berdasarkan batas tersebut, maka berat maksimum ikan yang dapat dikonsumsi per
minggunya (dalam berat basah) adalah 233,7541 g/kg berat tubuh per minggu dan
berat maksimum udang yang dapat dikonsumsi per minggunya (dalam berat basah)
sebesar 248,26216 g/kg berat tubuh per minggu. Berat ini setara dengan 3 ekor ikan
dan 26 ekor udang.
4.6.2. Tembaga (Cu)
Tembaga merupakan salah satu logam esensial yang dibutuhkan oleh manusia
untuk metabolisme besi dalam hemoglobin, akan tetapi karena logam Cu dapat
terakumulasi di dalam jaringan tubuh, maka apabila konsentrasi logam ini sangat
besar akan meracuni manusia. Pengaruh racun yang ditimbulkan yaitu muntahmuntah, rasa panas di daerah lambung dan diare, kemudian disusul dengan nekrosi
hati dan koma. Kandungan rata-rata Cu dalam ikan sebesar 0,0362 ppm, sedangkan
dalam udang sebesar 0,2953 ppm. Berdasarkan hasil tersebut, kandungan Cu dalam
ikan dan udang masih di bawah ambang batas yang ditetapkan oleh SNI sebesar 20
ppm.
Akan tetapi WHO menetapkan batas aman toleransi pemasukan Cu per
minggu, yaitu 87,5 g/kg berat tubuh per minggu. Berdasarkan batas tersebut maka
berat makasimum ikan yang dapat dikonsumsi per minggunya (dalam keadaan
basah) adalah 2403,3149 g/kg berat tubuh per minggu dan berat maksimum udang
yang dapat dikonsumsi per minggunya (dalam keadaan basah) adalah 2403,3149
g/kg berat tubuh per minggu. Berat ini setara dengan 25 ekor ikan dan 31 ekor
udang.
4.6.3. Kadmium (Cd)
Gangguan ginjal merupakan salah satu efek kronis yang ditimbulkan akibat
akumulasi Cd dalam tubuh manusia.
Selain itu pemaparan ibu hamil dapat
menyebabkan keguguran dan rendahnya bobot bayi pada saat dilahirkan.
Berdasarkan hasil analisis laboratorium kandungan rata-rata Cd dalam ikan sebesar
0,0050 ppm dan pada udang kandungan rata-rata Cd sebesar 0,0047 ppm.
Berdasarkan hasil tersebut kandungan Cd dalam ikan dan udang masih di bawah
ambang batas yang ditetapkan oleh SNI sebesar 0,2 ppm.
Akan tetapi WHO
menetapkan batas aman toleransi pemasukan Cd per minggu, yaitu 7 g/kg berat
35
tubuh per minggu. Berdasarkan batas tersebut, maka berat makasimum ikan yang
dapat dikonsumsi per minggunya (dalam keadaan basah) adalah 1400 g/kg berat
tubuh per minggu dan berat maksimum udang yang dapat dikonsumsi per
minggunya (dalam keadaan basah) adalah 1489,3617 g/kg berat tubuh per minggu.
Berat ini setara dengan 15 ekor ikan dan 155 ekor udang.
Faktor Biokonsentrasi
4.7.
Faktor biokonsentrasi adalah konsentrasi suatu senyawa yang ada di dalam
organisme percobaan dibagi dengan konsentrasi senyawa tersebut dalam medium
air.
Semakin besar nilai ini, maka oganisme tersebut baik untuk dijadikan
bioindikator.
Setelah kandungan logam berat dalam air diketahui, maka data
tersebut digunakan untuk menghitung kemampuan biota mengakumulasi logam
berat Pb, Cd, dan Cu melalui tingkat biokonsentrasi faktor (BCF) dengan rumus
(Van Esch, 1977 in Sanusi, 1985):
Keterangan:
BCF> 1000
1000>BCF>250
BCF<250
= kemampuan tinggi
= kemampuan sedang
= kemampuan rendah
4.7.1. Faktor biokonsentrasi timbal (Pb)
Berdasarkan
hasil
perhitungan
nilai
Faktor
Biokonsentrasi
(BCF)
menunjukkan bahwa BCF timbal tertinggi bernilai 467,3016 dan nilai terendah
2,1551. Tabel 3 di bawah ini menyajikan nilai faktor konsentrasi Pb pada keempat
stasiun.
Tabel 3. Nilai faktor konsentrasi (BCF) timbal pada bandeng, belanak, dan udang
Konsentrasi Pb
Stasiun
Bandeng
Belanak
BCF Pb
Udang
Air
(mg/L)
Bandeng
Belanak
Udang
HS. Blanakan
0,1214
0,005
0,0023
52,3275
2,1551
Tambak
0,005
0,141
0,0014
3,4013
95,9183
MS. Blanakan
0,1962
0,1445
0,0004
467,3016
344,0476
Laut
0,1052
0,1122
0,0012
83,5449
89,0740
36
Dari hasil perhitungan nilai biokonsentrasi, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa kemampuan dalam mengakumulasi logam berat timbal dari masing-masing
spesies ikan berbeda.
Pada Tabel 3 diatas menunjukkan bahwa ikan belanak
memiliki nilai biokonsentrasi timbal tertinggi, yaitu 467,3016 pada stasiun MS.
Blanakan sehingga dapat tergolong dalam kategori sedang dan kategori rendah pada
stasiun laut, yaitu sebesar 83,5449. Nilai faktor konsentrasi Pb pada ikan bandeng
semuanya tergolong dalam kategori rendah. Begitu pula pada udang semuanya
tergolong dalam kategori rendah kecuali pada stasiun MS. Blanakan yang tergolong
dalam kategori sedang.
4.7.2. Faktor biokonsentrasi kadmium (Cd)
Berdasarkan
hasil
perhitungan
nilai
Faktor
Biokonsentrasi
(BCF)
menunjukkan bahwa BCF kadmium tertinggi bernilai 22,7272 dan nilai terendah
13,1578. Tabel 4 dibawah ini menyajikan nilai faktor konsentrasi Pb pada keempat
stasiun.
Tabel 4. Nilai faktor konsentrasi (BCF) kadmium pada bandeng, belanak, dan udang
Konsentrasi Cd
Stasiun
Bandeng
Belanak
BCF Cd
Udang
Air
(mg/L)
Bandeng
Belanak
Udang
HS. Blanakan
0,005
0,005
0,0002
22,7272
22,7272
Tambak
0,005
0,005
0,0003
13,1578
13,1578
MS. Blanakan
0,005
0,005
0,0002
18,5185
18,5185
Laut
0,005
0,0039
0,0002
18,5185
14,6913
Dari hasil perhitungan nilai biokonsentrasi kadmium yang dilakukan di empat
stasiun pengamatan, maka didapatkan nilai faktor konsentrasi berkisar antara
13,1578-22,7272.
Dengan demikian sifat akumulatif dari Cd untuk bandeng,
belanak, dan udang pada keempat lokasi pengamatan termasuk dalam sifat
akumulatif rendah. Nilai faktor konsentrasi dapat ditentukan oleh jenis logam berat
itu sendiri, kandungan logam pada lokasi penelitian serta kemampuan dari setiap
organisme dalam mengakumulasi logam. Selain itu logam yang memiliki indeks
faktor konsentrasi tinggi mengindikasikan bahwa logam tersebut lebih mudah
mengalami akumulasi (Effendi 2003).
37
4.7.3. Faktor biokonsentrasi tembaga (Cu)
Berdasarkan
hasil
perhitungan
nilai
Faktor
Biokonsentrasi
(BCF)
menunjukkan bahwa BCF tembaga tertinggi bernilai 131,8108 dan nilai terendah
8,1598. Tabel 4 dibawah ini menyajikan nilai faktor konsentrasi Pb pada keempat
stasiun.
Tabel 5. Nilai faktor konsentrasi (BCF) tembaga pada bandeng, belanak, dan udang
Konsentrasi Cu
Stasiun
Bandeng
Belanak
BCF Cu
Udang
Air
(mg/L)
Bandeng
Belanak
Udang
HS. Blanakan
0,0180
0,2786
0,0022
8,1598
126,0784
Tambak
0,0516
0,2599
0,0020
25,3104
127,4346
MS. Blanakan
0,0400
0,3809
0,0028
13,8639
131,8108
Laut
0,0352
0,2618
0,0028
12,1799
90,5997
Dari hasil perhitungan nilai biokonsentrasi tembaga yang dilakukan di empat
stasiun pengamatan, maka didapatkan nilai faktor konsentrasi berkisar antara
8,1598-131,8108.
Dengan demikian sifat akumulatif dari Cu untuk bandeng,
belanak, dan udang pada keempat lokasi pengamatan termasuk dalam sifat
akumulatif rendah.
4.8.
Implikasi Pengelolaan
Dari data penelitian logam berat Pb, Cd, dan Cu yang terdapat pada biota ikan
dan udang tersebut menunjukkan bahwa terdapat pencemaran logam berat dalam
kawasan perairan Blanakan, meskipun nilainya jauh tidak melewati ambang batas
yang telah ditetapkan oleh SNI dan Depkes RI. Terkontaminasinya tambak dan ikan
akibat pencemaran air laut dapat membawa implikasi jangka panjang seperti berikut:
1. Bagi ikan dapat menghambat daya reproduksi ikan sampai pada terjadinya
kematian.
2. Bagi nelayan dan petambak menyebabkan menurunnya hasil tangkapan laut dan
menurunnya hasil produksi tambak.
3. Bagi kualitas produk perikanan secara umum dapat menurunkan kualitas yang
menyebabkan jatuhnya harga jual sampai ditolaknya produk di pasaran,
khususnya konsumen luar negeri yang memiliki standar kesehatan dan keamanan
makanan yang tinggi.
38
Pencemaran yang terjadi pada kawasan perairan Blanakan Subang diduga
diperparah oleh hilangnya mangrove dari kawasan tersebut. Upaya menghentikan
pencemaran tersebut merupakan hal yang sulit dilakukan, kalaupun bisa akan
memerlukan waktu yang lama dan memerlukan perangkat kebijakan yang
menyeluruh serta lintas sektoral (Perikanan, Lingkungan Hidup, Pertanian, Industri,
dan lain-lain).
Salah satu upaya mengurangi dampak dari pencemaran tersebut adalah melalui
mekanisme penyaringan alami oleh komponen biotik ekosistem, terutama vegetasi
mangrove. Hasil penelitian dan pengalaman telah membuktikan bahwa ekosistem
mangrove mampu meredam pengaruh pencemaran perairan melalui proses asimilasi
perairan.
Meskipun demikian, saat ini ekosistem mangrove di lokasi tersebut
banyak ditebang sehingga tidak mampu menjalankan mekanisme alaminya
menyaring pencemaran air. Di beberapa lokasi bahkan mangrove telah habis,
misalnya di komplek hutan Cikeong dan sekitarnya (Kabupaten Karawang). Di
komplek hutan Blanakan, BKPH Ciasem-Pamanukan juga ada gejala penggundulan
secara besar-besaran. Sebagai usaha antisipasi bertambah parahnya pengaruh logam
berat maka diperlukan pengendalian limbah yang berasal dari kegiatan domestik,
misalnya melakukan penyuluhan kepada masyarakat, khususnya yang berada di
daerah aliran sungai, mengenai arti pentingnya air bersih, pembuatan papan-papan
peringatan kepada masyarakat yang dipasang di sepanjang DAS Blanakan, dan juga
pembuatan peraturan-peraturan yang bersifat memaksa dan mengikat masyarakat
sekitar, misalnya: pelanggar aturan dikenai saksi. Perlu juga dilakukan pengendalian
pencemaran limbah yang bersumber dari kegiatan industri dengan cara pembuatan
aturan wajib kepada industri untuk membuat IPAL (Instalasi Pengelolaan Air
Limbah) untuk mengelola limbah yang dihasilkan, sehingga limbah yang dibuang
tidak melebihi baku mutu yang ditetapkan, dan adanya pemantauan terhadap
pengoperasian IPAL di masing-masing industri oleh pihak terkait. Sedangkan untuk
pengendalian atau pengelolaan pencemaran logam berat dalam tambak dapat dilakukan
dengan pembuatan tandon sebagai penyaring air yang akan masuk ke dalam tambak
sehingga air yang akan masuk nantinya dalam keadaan yang bersih atau kandungan
logam beratnya berkurang.
39
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa telah terjadi
pencemaran logam berat Pb, Cd, dan Cu pada kawasan silvofishery Blanakan
Subang meskipun nilainya masih dibawah baku mutu yang telah ditetapkan KepMen
LH No 51 Tahun 2004 dan baku mutu makanan sumber perairan yang telah
ditetapkan oleh SNI sehingga aman untuk dibudidayakan dan dikonsumsi sesuai
dengan batasan tertentu per satuan waktu.
5.2. Saran
1. Perlu penelitian lebih lanjut untuk melacak sumber bahan pencemar dan aliran
bahan pencemar sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu kebijakan
pengelolaan yang baik.
2. Sebagai langkah antisipasi terhadap meningkatnya pencemaran yang lebih parah,
maka keberadaan mangrove harus dipertahankan sesuai dengan proporsi yang
ideal antara luas mangrove dengan luas areal tambak.
3. Perlu dilakukan restorasi dan rehabilitasi mangrove terhadap areal pertambakan
yang mengalami kerusakan mangrove.
40
DAFTAR PUSTAKA
AOAC, 1984. Official Method of Analysis of the Association of Official Analytical
Chemist, 14th. AOAC Inc. Virginia.
Bappeda Tingkat I Jawa Barat dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan
IPB. 2000. Penyusunan Identifikasi Potensi dan Masalah Wilayah Pesisir dan
Laut Jawa Barat (Laporan Akhir). Bappeda Tingkat I Jawa Barat.
Bengen DG. 2000. Teknik pengambilan contoh dan analisis data biofisik
sumberdaya pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. vi + 88 p.
Bryan GW. 1976 Heavy Metal in the sea dalam: marine polution. Johnson (ED)
Academic Press. London H:185.
Clark RB. 1986. Marine pollution. Third edition Clarendon Press. Oxford
Connell W & Miller G. 1995. Kimia dan ekotoksikologi pencemaran.
(diterjemahkan oleh Yanti Koestoer dan Sahat). UI Press, Jakarta. P. 366-369
Darmono. 1995. Logam dalam sistem biologi makhluk hidup. Jakarta : UI-press
140hlm.
Direktorat Jenderal Perikanan. 1996. Kajian sistem modular pada usaha tani ikan
bandeng
(Chanos-chanos
firskal)
di
Sulawesi
Selatan
http://bp2tp.litbang.deptan.go.id.[10 Oktober 2011]
Effendi H. 2003. Telaah kualitas air. Kanisius. Yogyakarta.
Gunarto. 2004. Konservasi mangrove sebagai pendukung sumberdaya hayati
perikanan pantai. Jurnal Litbang Petanian. 23(1):15-21
Gunarto, Suharyanto, Muslimin & Abdul M T. 2003. Budidaya udang windu
menggunakan tandon mangrove dengan pola resirkulasi berbeda. Jurnal
Penelitian Perikanan Indonesia. 9(2): 57-63
Hutagalung HP. 2001. Mercury and cadmium content in green mussel, Mytilus
virdis L. From Onrust water. Jakarta Bay Creator. Bull. Env. Conc. And Tox.
42(6): 814-820
Irianto Agus. 2005. Patologi ikan teleostei. Yogyakarta : UGM-press.
Jones MD. 1964. The influence of mycorrhizal associations on paper birch and jack
pine seedlings when exposed to elevated copper, nickel or aluminum. Water,
Air, and Soil Pollution. 31, 441-448.
41
Kadang L. 2005. Analisis status pencemaran logam berat Pb, Cd, dan Cu di perairan
Teluk Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur [tesis]. Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Khordi KM dan Gufran H.1997. Budidaya kepiting dan ikan bandeng di sistem
polikultur. Dahara prize. Semarang.
Kristanto P. 2004. Ekologi industri. Yogyakarta : ANDI. 352hlm
Martosudarmo E, Sudarmini B, Saloman, & Ranoemihardjo BS. 1984. Biologi
bandeng (Chanos chanos) dalam pedoman budidaya tambak. Jakarta:
Direktorat Jendral Perikanan.
MENLH. 2004. Surat Keputusan MENLH No. Kep. 51/MEN-LH/I/2004, Tentang
Baku Mutu Air Laut, Sekretariat Menteri Negara dan Kependudukan dan
Lingkungan Hidup. Jakarta
Moore JW. & S. Ramamoorthy. 1984. Heavy metals in neutral water. Springer
Verlag. New York.
National Technical Advisory Commitee (NTAC). 1980. Water criteria. Report of
National Technical Advisory Commitee to Secretary of The Interior.
Washington D.C.
Nybakken JW. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologi. PT Gramedia.
Jakarta.
Palar H. 1994. Pencemaran dan toksikologi logam berat. Penerbit Rineka Cipta.
Jakarta.
Pescod MB. 1973. Investigation of rational effluent and stream standard for tropical
countries. Environmental Enginering Division, Asian Institute Tec. Bangkok.
Pickard GL. 1970. Introductory Dynamical Oceanography. Pergamon Press Oxford.
Puslitbang Perikanan. 1992. Pedoman teknis pemanfaatan dan pengelolaan sumber
daya udang penaeid bagi pembangunan perikanan. Departemen Pertanian.
Jakarta.
Riley JP and G. Skirrow. 1975. Chemical oceanography vol. 1. second edition.
Academic Press. London
Saanin H. 1984. Taksonomi dan kunci identifikasi ikan. Jakarta: Bina Cipta.
Sanusi HS. 1985. Akumulasi Logam Berat Hg dan Cd pada Tubuh Ikan Bandeng
(Chanos chanos Forskal). Disertasi (tidak dipublikasikan). Fakultas Pasca
Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
42
[SNI] Standar Nasional Indonesia 01-2346-2006. Uji organoleptik ikan segar. Badan
Standarisasi. Jakarta.
[SNI] Standar Nasional Indonesia 01-2729-1992. Ikan segar. Dewan Standar
Nasional. Jakarta.
Susanto H. 2005. Budidaya ikan di pekarangan. Jakarta: Penebar Swadaya.
Suwignyo S, B Widigdo, Y Wardiatno, dan M Krisanti. 1997. Avertebrata air jilid 2.
Fakultas Perikanan. IPB. Bogor
Wahab DA. 2003. Karakteristik kualitas air tambak Tumpang Sari pada berbagai
tingkat kerapatan tegakan mangrove (studi kasus di BKPH Ciasem KPH
Purwakarta Jawa Barat )[skripsi]. Departemen Manajemen Hutan. Fakultas
Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
[WHO] World Health Organization. 2008. Children’s health and the enviroment:
lead [terhubung berkala] http.www.who.int [12 November 2011].
[WHO] World Health Organization. 2009. Exposure of children to chemical hazards
in food [terhubung berkala] http.www.who.int/safetyfood [10 Oktober 2011]
Widigdo B & J Pariwono. 2000. Daya dukung perairan di Pantai Utara Jawa Barat
untuk budidaya udang. Jurnal. Institut Pertanian Bogor. Bogor
43
LAMPIRAN
44
Lampiran 1. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian
a. Botol BOD
b. Gelas Ukur
e. Penggaris
f. Lemari pendingin
i. coolbox
l. GPS Garmin
72
c. Erlenmeyer
g. pH stick
j. Alat tulis
m. AAS-7000
d. Refraktometer
h. Kertas saring
k. Termometer
45
Lampiran 2. Grafik regresi hasil analisis logam berat
Logam berat Cu
Logam berat Pb
Logam berat Cd
46
Lampiran 3. Hasil analisis kandungan logam berat Pb, Cd, dan Cu pada biota udang
No
1
2
3
Parameter
Cu
Pb
Cd
Satuan
ppm
ppm
ppm
HS.
Blanakan
0,2786
0,005
0,005
Stasiun Pengamatan
MS.
Tambak Blanakan
Laut
0,2599
0,3809
0,2618
0,141
0,1445
0,1122
0,005
0,005
0,0039
Rata-rata
0,2953
0,100675
0,004725
47
Lampiran 4. Hasil analisis kandungan logam berat Pb, Cd, dan Cu pada biota ikan
No
1
2
3
Parameter Satuan
Cu
Pb
Cd
ppm
ppm
ppm
Stasiun Pengamatan
HS.
MS.
Tambak
Laut
Blanakan
Blanakan
0,018
0,0516
0,04
0,0352
0,1214
0,005
0,1962
0,1052
0,005
0,005
0,005
0,005
Ratarata
0,0362
0,10695
0,005
48
Lampiran 5. Tabel hasil analisis kandungan logam berat Pb, Cd, dan Cu dalam air
(Purba 2011)
Hulu Blanakan
Tambak A
Tambak B
Tambak C
Tambak D
Muara Ciasem
Muara Blanakan
Muara Gangga
Cu (µg/L)
2,21
2,04
0,51
2,55
1,02
1,87
2,89
2,89
Pb (µg/L)
2,32
1,47
1,05
4,63
4,84
0,63
0,42
1,26
Cd (µg/L)
0,22
0,38
0,36
0,18
0,49
0,51
0,27
0,27
49
Lampiran 6. Perhitungan batas aman konsumsi
Keterangan:
Baku mutu Pb = 25 g/ kg berat tubuh/minggu
Baku mutu Cd = 7 g/ kg berat tubuh/minggu
Baku mutu Cu = 87,5 g/ kg berat tubuh/minggu
Sumber: WHO (1996)
1. Timbal (Pb)
a. Ikan
b. Udang
2. Tembaga (Cu)
a. Ikan
50
b. Udang
3. Kadmium (Cd)
a. Ikan
b. udang
51
Lampiran 7. Analisis metode AAS
Analisis logam berat dilakukan dengan menggunakan spektrofotometrik
serapan atom (AAS) yaitu dengan menggunakan prinsip berdasarkan hukum
Lambert-Beert yaitu banyak sinar yang diserapan berbanding lurus dengan dengan
kadar zat. Persamaan garis antara konsentrasi logam berat dengan absorbansi adalah
persamaan liniar dengan koefisien arah positif : Y = a +bX. Dengan memasukan
nilai absorbansi larutan contoh kepersamaan garis larutan standar maka kadar logam
berat contoh dapat diketahui. Larutan contoh yang mengandung ion logam
dilewatkan melalui nyala udara –asilten bersuhu 2000 C sehingga terjadi penguapan
penguapan dan sebagian tereduksi menjadi atom. Lampu katoda yang sangat kuat
mengeluarkan nergi pada panjang gelombang tertentu dan akan terserap oleh atomatom logam berat yang sedang di analisis. Jumlah energi cahaya yang diserap atom
logam berat pada panjang gelombang tertentu ini sebanding dengan jumlah zat yang
diuapkan pada saat dilewatkan melewati nyala api udara asitilen. Setiap unsur logam
berat membutuhkan lampu katoda yang berbeda. Keseluruhan prosedur ini sensitif
dan selektif karena setiap unsur membutuhkan panjang gelombang yang sangat pasti
(Tinsley 1979 dalam Darmono 1995). Untuk lebih jelasnya prinsip kerja AAS dapat
dilihat pada Gambar.
52
Lampiran 8. Keadaan lokasi penelitian sungai Blanakan dan tambak silvofshery
Stasiun 1 Tambak
Stasiun 3 Muara Sungai Blanakan
Stasiun 2 Hulu Sungai Blanakan
Stasiun 4 Laut
Download