BAB VII PEMBAHASAN UMUM Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya issu hangat yang banyak dibicarakan dalam beberapa tahun belakangan ini, yaitu berkaitan dengan spesies eksotik invasif. Perhatian banyak dicurahkan pada implikasi introduksi spesies eksotik invasif, terutama spesies tumbuhan invasif dan agens pengendalian hayatinya berupa serangga herbivor. Keberadaan spesies eksotik invasif cenderung merugikan karena merupakan ancaman serius terhadap ekosistem dan keanekaragaman hayati (Wittenberg & Cock 2003; Primack et al. 1998). Hal ini didasarkan pada kemungkinan terjadinya kompetisi interspesifik. Jika spesies eksotik introduksi tersebut lebih dominan daripada spesies lokal, besar kemungkinan akan terjadi dampak negatif terhadap keanekaragaman hayati lokal, bahkan tidak mustahil akan terjadi kepunahan spesies lokal. Olden et al. (2004) menyatakan bahwa spesies eksotik invasif pada habitat yang baru dapat menyebabkan terjadinya homogenisasi biotik dan pergantian spesies lokal dengan spesies introduksi. Salah satu spesies tumbuhan yang dikenal sangat invasif dan telah menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia, adalah eceng gondok, Eichhornia crassipes (Mart.) Solms. (Pontederiaceae) (Gopal & Sharma 1981). Untuk mengatasi invasi eceng gondok di Indonesia, pengendalian hayati dengan musuh alami gulma tersebut yang berupa serangga herbivor telah menjadi pilihan. Dua spesies agens hayati Neochetina spp. (Coleoptera: Curculionidae) telah diintroduksi, yaitu N. eichhorniae pada tahun 1975 (Subagyo et al. 1977) dan N. bruchi pada tahun 1975 (Widayanti et al. 1998). Keberadaan spesies tumbuhan invasif eceng gondok bukan hanya memiliki dampak langsung (direct effect) berupa homogenisasi vegetasi akuatik, tetapi diprediksi juga memiliki dampak tidak langsung (indirect effect) terhadap komunitas serangga yang berasosiasi dengan komunitas tumbuhan tersebut. Selain itu, introduksi Neochetina spp. sebagai agens hayati eceng gondok perlu mendapat perhatian yang serius sebab dikhawatirkan dapat menimbulkan 161 dampak negatif terhadap komunitas spesies bukan sasaran (spesies nontarget) (Pearson & Callaway 2003), baik berupa direct effect maupun indirect effect. Meskipun issu spesies eksotik invasif telah menjadi pembicaraan hangat para ahli ekologi dalam beberapa tahun terakhir, termasuk di Indonesia, namun evaluasi mengenai implikasi keberadaan spesies invasif tersebut terhadap keanekaragaman hayati lokal (komunitas tumbuhan dan serangga) sejauh ini belum banyak dilakukan. Hal ini terutama berkaitan dengan spesies invasif eceng gondok dan agens hayatinya, Neochetina spp.. Pertanyaan yang muncul adalah: (1) Seberapa jauh implikasi keberadaan eceng gondok terhadap komunitas tumbuhan akuatik?, (2) Seberapa jauh implikasi keberadaan eceng gondok terhadap komunitas serangga?, (3) Bagaimana persebaran dan kelimpahan Neochetina spp. di lapangan dan bagaimana dampaknya terhadap eceng gondok?, dan (4) Apakah ada dampak nontarget dari introduksi agens hayati Neochetina spp.. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa keberadaan spesies invasif eceng gondok secara langsung dapat mengakibatkan terjadinya homogenisasi vegetasi akuatik. Hal ini ditunjukkan oleh penurunan secara nyata jumlah spesies tumbuhan akuatik pada suatu ekosistem perairan akibat invasi eceng gondok. Ekosistem perairan yang terinfestasi oleh eceng gondok akan didominasi oleh spesies tumbuhan tersebut karena sebagian besar spesies tumbuhan akuatik tidak mampu berkompetisi dengan eceng gondok. Selain itu, penyederhanaan komposisi vegetasi akibat keberadaan eceng gondok secara tidak langsung dapat menurunkan kekayaan dan keanekaragaman spesies serangga pada vegetasi akuatik. Ada indikasi yang kuat bahwa keberadaan eceng gondok dapat memicu terjadinya homogenisasi spesies serangga yang berasosiasi dengan komunitas tumbuhan akuatik. Introduksi Neochetina spp. sebagai agens hayati eceng gondok di Indonesia ternyata tidak memberikan hasil yang memuaskan. Efektivitas agens hayati ini dalam menekan perkembangan populasi eceng gondok sangat rendah. Dengan demikian, tujuan introduksi agens hayati ini, yaitu untuk merestorasi keseimbangan populasi spesies lokal (Bellows 2001), sejauh ini tidak tercapai. 162 Namun demikian, potensi terjadinya pergeseran tanaman inang agens hayati tersebut sangat kecil dan sejauh ini tidak ada bukti terjadi ekspansi kisaran inang oleh agens hayati tersebut di lapangan. Selain itu, ada indikasi bahwa keberadaan agens hayati tersebut sama sekali tidak memiliki implikasi terhadap komunitas serangga yang hidup pada habitat eceng gondok. Dominasi eceng gondok pada suatu ekosistem perairan diduga berkaitan dengan daya adaptasi dan laju reproduksinya yang sangat tinggi. Kondisi ini mengakibatkan spesies tumbuhan lain kalah berkompetisi sehingga seringkali eceng gondok menggantikan vegetasi lainya (Center et al. 2002). Beberapa spesies tumbuhan akuatik hanya mampu hidup pada habitat eceng gondok apabila kepadatan populasi tumbuhan ini rendah. Jianqing (2002) melaporkan bahwa penurunan populasi eceng gondok akibat pengendalian yang dilakukan di Wenzhou, Provinsi Zhejiang, Cina, telah mendorong spesies tumbuhan lokal (Paspalum spp.) kembali tumbuh dan menginfestasi ruang yang kosong. Selain mengakibatkan pergeseran komposisi spesies tumbuhan akuatik pada suatu ekosistem perairan, ada indikasi bahwa keberadaan eceng gondok juga dapat mengakibatkan pergeseran komunitas serangga. Komposisi spesies tumbuhan yang lebih beragam pada lokasi tanpa eceng gondok (TEG), memberikan peluang untuk dihuni oleh serangga dengan kekayaan spesies dan kelimpahan individu yang lebih tinggi dibandingkan pada lokasi dengan eceng gondok (DEG). Tingginya kekayaan spesies serangga pada lokasi TEG diduga terjadi karena komposisi spesies tumbuhan yang lebih beragam menyediakan relung yang lebih bervariasi untuk dihuni oleh lebih banyak spesies serangga. Hasil pengamatan juga menunjukkan bahwa terjadi pergeseran komposisi spesies serangga dominan (Diptera dan Hymenoptera) antara lokasi TEG dan lokasi DEG. Pada lokasi TEG, kekayaan spesies Hymenoptera lebih tinggi daripada Diptera, sedangkan pada lokasi DEG, kekayaan spesies Diptera dan Hymenoptera relatif sama. Hal ini diduga terutama berkaitan dengan perbedaan fungsi ekologi kedua ordo serangga tersebut. Serangga yang tergolong dalam ordo Diptera dominan berperan sebagai saprofagus, sementara anggota ordo Hymenoptera sebagian besar berperan sebagai parasitoid (Borror et al. 1996). 163 Laju pertumbuhan vegetatif eceng gondok yang tinggi mengakibatkan tumbuhan ini selalu memiliki daun tua dan membusuk sehingga lokasi DEG lebih banyak dihuni oleh spesies serangga dari ordo Diptera. Bagian tumbuhan yang membusuk merupakan salah satu substrat utama yang dimanfaatkan imago Diptera sebagai makanan dan tempat peletakan telur (Borror et al. 1996). Sementara itu, tingginya kekayaan spesies Hymenoptera pada lokasi TEG diduga berhubungan dengan ketersediaan inang. Tingginya kelimpahan individu Homoptera pada lokasi TEG, yang merupakan inang utama parasitoid telur dari famili Encyrtidae dan Scelionidae (Driesche & Bellow 1996), sedikit banyak akan mempengaruhi kekayaan spesies Hymenoptera secara keseluruhan. Selain itu, kebanyakan imago parasitoid Hymenoptera sangat membutuhkan sumber makanan tambahan berupa tepung sari dan nektar dari tumbuhan berbunga tertentu, serta embun madu yang dihasilkan oleh serangga dari ordo Homoptera (Altieri & Nicolls 2004). Komposisi vegetasi yang lebih beragam pada lokasi TEG sangat menguntungkan bagi serangga herbivor polifag karena tersedia lebih banyak sumber daya, terutama makanan, untuk menunjang perkembangan populasi serangga tersebut. Hal ini ditunjukkan oleh tingginya kelimpahan individu serangga herbivor polifag pada lokasi TEG, yaitu ordo Homoptera dan Orthoptera, meskipun kekayaan spesies kedua ordo tersebut rendah. Menurut Schoonhoven et al. (1998), dari 25 spesies Orthoptera yang ditemukan di Inggris, 51% merupakan herbivor polifag dan 41% merupakan herbivor olygofag pada famili Graminae. Hasil penelitian ini juga mengindikasikan bahwa serangga herbivor merupakan kelompok yang paling rentan terhadap perubahan komposisi vegetasi akibat keberadaan spesies invasif eceng gondok. Kondisi ini dapat dimengerti terutama karena sebagian besar spesies serangga herbivor bersifat monofag. Schoonhoven et al. (1998) melaporkan bahwa dari 5.000 spesies serangga herbivor di Inggris, 80% di antaranya dianggap sebagai spesialis atau monofag. Selain itu, keanekaragaman komunitas serangga pada suatu ekosistem sangat dipengaruhi oleh struktur spasial, keanekaragaman habitat dan komposisi 164 habitat (Kruess 2003). Semakin sederhana komposisi vegetasi pada suatu habitat akibat invasi spesies tumbuhan eksotik invasif, semakin sedikit spesies serangga herbivor yang dapat hidup pada habitat tersebut. Keberadaan eceng gondok pada suatu ekosistem perairan secara nyata dapat menyebabkan penurunan kekayaan, keanekaragaman dan kemerataan spesies serangga herbivor pada vegetasi akuatik. Serangga herbivor polifag (Homoptera dan Orthoptera) memiliki kekayaan spesies yang jauh lebih tinggi pada lokasi TEG dibandingkan pada lokasi DEG. Hasil analisis kemiripan dengan skala dua dimensi juga menunjukkan bahwa komposisi spesies serangga herbivor pada lokasi TEG sangat berbeda dengan komposisi spesies serangga herbivor pada lokasi DEG. Hal ini terjadi karena komposisi spesies tumbuhan yang lebih beragam pada lokasi TEG memberikan peluang yang lebih besar untuk dihuni oleh lebih banyak spesies serangga herbivor polifag. Schoonhoven et al. (1998) menyatakan bahwa serangga herbivor polifag cenderung untuk memakan lebih banyak tumbuhan dari spesies yang berbeda untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya, yang seringkali berbeda untuk setiap fase pertumbuhan serangga herbivor tersebut. Selanjutnya, Schoonhoven et al. (1998) menyatakan bahwa setiap spesies tumbuhan menyediakan suatu mikrohabitat yang unik bagi serangga. Semakin banyak spesies tumbuhan yang dijumpai pada suatu area, semakin banyak variasi mikrohabitat dan semakin banyak spesies serangga yang mampu didukungnya, sebab kebutuhan mikrohabitat setiap serangga sangat spesifik. Dominasi eceng gondok ternyata dapat mempengaruhi komunitas seranggga pada tingkat trofik yang lebih tinggi, yaitu musuh alami serangga herbivor (predator dan parasitoid). Fenomena ini dikenal dengan istilah ‘efek domino’ (Quicke 1997). ‘Efek domino’ pada predator dan parasitoid dapat terjadi karena hampir setengah dari jumlah spesies predator dan parasitoid didukung oleh serangga herbivor (Bernays 1998). Dengan demikian hampir dapat dipastikan bahwa kepunahan suatu spesies serangga herbivor dapat mengakibatkan kepunahan satu atau lebih spesies predator atau parasitoid. ‘Efek domino’ terhadap komunitas serangga pada tingkat trofik yang lebih tinggi 165 terutama terjadi pada kelompok parasitoid, sebab parasitoid kebanyakan bersifat monofag dan olygofag (Naumann 1991; Quicke 1997). ‘Efek domino’ pada parasitoid teramati pada kelompok Hymenoptera parasitoid. Hal ini ditunjukkan oleh kekayaan dan keanekaragaman spesies Hymenoptera parasitoid yang cenderung lebih rendah pada lokasi DEG daripada lokasi TEG. Analisis kemiripan dengan skala dua dimensi juga memperlihatkan bahwa komposisi spesies Hymenoptera parasitoid pada lokasi TEG dan lokasi DEG sangat berbeda. Berkaitan dengan fenomena ini, Jervis dan Kidd (1996) menyatakan bahwa secara umum musuh alami menunjukkan perilaku yang spesifik dalam pencarian inang, yang sangat dipengaruhi oleh komunitas tumbuhan dimana mangsa atau inangnya hidup. Menurut Hawkins (1994), perilaku makan suatu spesies serangga herbivor sangat mempengaruhi jumlah spesies parasitoid yang didukung oleh spesies herbivor tersebut. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa perubahan komunitas Hymenoptera parasitoid merupakan konsekuensi dari penurunan kekayaan, keanekaragaman dan kemerataan spesies serangga herbivor akibat keberadaan spesies invasif eceng gondok. Hal ini ditunjukkan oleh adanya korelasi positif yang nyata antara kekayaan spesies Hymenoptera parasitoid dengan kekayaan spesies dan kelimpahan individu serangga herbivor (Homoptera dan Lepidoptera). Hasil analisis korelasi juga memperlihatkan bahwa kekayaan spesies Hymenoptera parasitoid memiliki hubungan yang lebih kuat dengan kekayaan spesies dan kelimpahan individu serangga herbivor dari ordo Homoptera daripada dengan ordo Lepidoptera. Hal ini diduga berkaitan dengan jumlah spesies Lepidoptera yang terkoleksi jauh lebih rendah dibandingkan Homoptera. Akan tetapi, secara umum terlihat bahwa kelompok Hymenoptera parasitoid yang dominan (famili Eulopidae, Encyrtidae, Scelionidae dan Braconidae) sangat tergantung kepada Homoptera dan Lepidoptera herbivor. Keempat famili tersebut dilaporkan merupakan parasitoid pada Homoptera dan Lepidoptera (Gaoulet & Huber 1993; Driesche & Bellows 1996). Berkaitan dengan agens hayati eceng gondok, Neochetina spp., hasil pengamatan mengindikasikan bahwa N. eichhorniae telah terdistribusi secara 166 luas di Jawa Barat dan dapat dikatakan sudah mapan, sebaliknya N. bruchi tidak ditemukan dalam penelitian ini. Ketidakmapanan N. bruchi diduga terjadi karena kegagalan adaptasi spesies tersebut. Center et al. (2002) menyatakan bahwa kecil kemungkinan terjadi kompetisi interspesifik antara N. eichhorniae dan N. bruchi, sebab kedua spesies tersebut memiliki perilaku yang berbeda, misalnya preferensi untuk tempat peletakan telur. Selain itu, Ochiel et al. (2001) juga melaporkan bahwa kedua spesies agens hayati ini telah mapan di Danau Victoria, Kenya. Hasil penelitian di Indonesia juga mengindikasikan bahwa kedua spesies kumbang ini coexist di habitat yang sama (Widayanti et al. 1999). Ada indikasi bahwa N. eichhorniae lebih banyak menyebar secara pasif daripada aktif. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa kumbang tersebut tidak ditemukan di Karawang yang terisolasi dari sumber penyebaran. Massa eceng gondok yang hanyut melalui saluran irigasi menuju daerah tersebut secara intensif dibersihkan petani untuk menghindari terhambatnya aliran air. Padahal menurut Tjitrosoedirdjo et al. (2003), pergerakan massa eceng gondok yang hanyut bersama aliran air merupakan sarana utama bagi kumbang tersebut untuk menyebar secara pasif. Secara umum kelimpahan individu N. eichhorniae yang ditemukan pada penelitian ini dapat dikatakan sangat rendah dibandingkan yang ditemukan di negara lain. Ogwang (2001) melaporkan bahwa selama tahun 1997, pada hamparan eceng gondok ditemukan rata-rata 25 ekor per rumpun pada beberapa bagian Danau Victoria, Uganda. Tingginya kelimpahan agens hayati ini di daerah tersebut telah mengakibatkan penurunan populasi eceng gondok yang cukup nyata, sehingga kejadian itu merupakan keberhasilan penurunan populasi gulma yang paling spektakuler dalam sejarah pengendalian hayati gulma. Rendahnya kelimpahan N. eichhorniae di Indonesia pada umumnya diduga disebabkan oleh tingginya mortalitas pupa, misalnya dimakan oleh ikan predator (Kasno et al. 2001). Widayanti et al (1999) juga menemukan bahwa laba-laba serigala (wolf spider) memangsa larva N. bruchi. Bahkan bebek juga diketahui dapat berperan sebagai predator larva, pupa, dan imago N. eichhorniae (Sukisman; komunikasi pribadi). Kendala lain berupa penyakit yang disebabkan 167 oleh patogen, di antaranya microsporidia (Rebelo & Center 2001). Selain itu, nisbah kelamin betina imago N. eichhorniae yang lebih rendah dibandingkan jantan. Rasio antara betina dan jantan N. eichhorniae yang ditemukan dalam penelitian ini adalah 2:3, padahal Julien et.al (1999) melaporkan bahwa rasio antara betina dan jantan kumbang ini di California adalah 1:1. Proporsi imago betina yang lebih rendah daripada jantan berpengaruh negatif terhadap perkembangan populasi kumbang tersebut. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap intensitas kerusakan daun dan parameter pertumbuhan eceng gondok terlihat bahwa populasi N. eichhorniae tidak mampu menimbulkan pengaruh yang nyata terhadap eceng gondok. Hal ini berkaitan erat dengan kelimpahan individu kumbang ini yang sangat rendah (rata-rata kurang dari 5 ekor/rumpun) sehingga tidak mampu menimbulkan kerusakan yang nyata pada eceng gondok. Tjitrosemito (2002) menyatakan bahwa dua pasang imago N. eichhorniae membutuhkan waktu 1 bulan untuk mematikan 1 rumpun eceng gondok. Padahal waktu yang dibutukan eceng gondok untuk menggandakan jumlah rumpunnya (doubling time) di beberapa negara tropis dilaporkan berkisar antara 9,2-32,2 hari (Gopal & Sharma 1981). Dengan adanya kendala-kendala perkembangan populasi N. eichhorniae, baik berupa musuh alami maupun persentase imago betina yang rendah, telah mengakibatkan populasi kumbang tersebut di Indonesia dalam kurun waktu hampir tiga dekade setelah diintroduksi selalu saja rendah. Keberadaan musuh alami N. eichhorniae, yang belum semuanya diidentifikasi, dan persentase imago betina yang rendah diprediksi menyebabkan kelimpahan individu kumbang tersebut khususnya di wilayah Jawa Barat, bahkan di Indonesia pada umumnya, akan selalu rendah. Pengaruh polutan pada ekosistem perairan terhadap laju reproduksi dan keperidian N. eichhorniae kiranya perlu mendapat perhatian. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa sebagian besar ekosistem perairan di Indonesia mengalami polusi pada tingkat yang memprihatinkan. Kelimpahan agens hayati N. eichhorniae diprediksi tidak pernah cukup tinggi untuk menekan perkembangan populasi eceng gondok di Indonesia. Sebaliknya agens hayati ini juga tidak akan punah selama eceng gondok masih 168 ada. Hal ini didasarkan pada beberapa hasil penelitian yang sejauh ini menunjukkan bahwa N. eichhorniae dan N. bruchi hanya dapat menyelesaikan siklus hidupnya pada eceng gondok (Subagyo et al. 1977; Center 1994; Tjitrosoedirdjo et al. 1995). Hasil pengamatan pada uji preferensi tanpa pilihan menunjukkan bahwa ada kemungkinan imago N. eichhorniae dapat hidup pada beberapa inang alternatif, meskipun dalam kondisi terpaksa dan dalam kurun waktu tertentu. Kemampuan imago N. eichhorniae untuk bertahan hidup pada beberapa tumbuhan inang alternatif atau inang sementara sebenarnya dapat bersifat positif bagi kemapanan agens biologi tersebut di lapangan. Keberadaan inang alternatif sangat diperlukan untuk mempertahankan populasinya ketika eceng gondok sebagai inang utama tidak ada, misalnya karena aktivitas pembersihan eceng gondok dari ekosistem perairan. Sebaliknya, kondisi tersebut juga dapat bersifat negatif apabila inang alternatifnya adalah spesies langka atau tanaman budidaya, lebih-lebih jika terjadi pergeseran tanaman inang yang disebabkan oleh ketiadaan eceng gondok secara permanen dari suatu ekosistem perairan. Kemampuan imago N. eichhorniae untuk memakan dan bertahan hidup dalam kurun waktu tertentu pada beberapa spesies tumbuhan selain eceng gondok tidak serta-merta mengindikasikan bahwa telah terjadi pergeseran atau ekspansi kisaran inang. Ketidakmampuan kumbang ini untuk menyelesaikan siklus hidupnya pada spesies tumbuhan tertentu menunjukkan bahwa spesies tumbuhan tersebut hanya berperan sebagai inang alternatif sementara (Widayanti et al. 1999). Keberadaan inang alternatif bahkan sangat dibutuhkan untuk mendukung distribusi agens pengendalian biologi ini di lapangan. Hasil uji preferensi dengan metode pilihan menunjukkan bahwa imago N. eichhorniae yang telah menemukan eceng gondok tidak lagi berpindah ke tumbuhan uji lainnya. Pengamatan pada tiga jam setelah perlakuan menunjukkan bahwa hampir semua imago kumbang telah berada pada tanaman eceng gondok. Dengan kata lain, waktu yang dibutuhkan kumbang tersebut untuk menemukan inangnya relatif singkat. Hal ini mengindikasikan bahwa kumbang tersebut memiliki preferensi dan tingkat kekhususan inang yang tinggi 169 terhadap eceng gondok. Selain itu, N. eichorniae hanya memilih eceng gondok untuk tempat meletakkan telurnya. Julien et al. (1999) juga melaporkan bahwa pada percobaan tanpa pilihan, betina kumbang ini hanya dapat meletakkan telur pada tujuh spesies tumbuhan uji yang tergolong famili Pontederiaceae dan Commelinaceae. Sebagian telur yang diletakkan juga tidak menetas, atau kalaupun telur dapat menetas, larvanya segera mati. Hal ini mengindikasikan bahwa sangat kecil kemungkinan N. eichhorniae dapat menyelesaikan siklus hidupnya pada tumbuhan selain eceng gondok. Schaffner (2001) menyatakan bahwa secara alami serangga herbivor memilih inang yang sesuai untuk menyelesaikan siklus hidupnya pada tumbuhan tersebut. Jadi, tanaman inang bukan hanya menyediakan makanan, tetapi juga harus dapat menunjang pertumbuhan serangga herbivor untuk menyelesaikan siklus hidupnya. Studi keberadaan N. eichhorniae pada tumbuhan akuatik dan terestrial di sekitar ekosistem perairan juga menunjukkan bahwa kemungkinan terjadinya ekspansi tanaman inang di lapangan sangat kecil. Dari hasil pengamatan insitu yang dilakukan, baik pada tumbuhan akuatik di sekitar hamparan eceng gondok maupun pada tumbuhan terestrial di sekitar ekosistem perairan, tidak ditemukan individu N. eichhorniae maupun gejala aktivitas makannya. Hasil yang sama juga dilaporkan Kartosuwondo et al. (2006) bahwa di lapangan tidak terjadi ekspansi tanaman inang oleh N. eichhorniae. Pengamatan insitu pada tumbuhan tersetrial di sekitar danau Lido, yang meliputi 38 spesies dari 21 famili, tidak ditemukan individu imago kumbang tersebut maupun gejala aktivitas makannya. Berkaitan dengan potensi dampak non-target introduksi individu N. eichhorniae, ada indikasi bahwa keberadaan agens hayati N. eichhorniae sama sekali tidak memiliki implikasi terhadap komunitas serangga yang hidup pada habitat eceng gondok. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa kelimpahan individu sebagian besar kelompok serangga yang dijumpai pada habitat eceng gondok tidak berkaitan dengan kelimpahan individu N. eichhorniae. Hubungan positif yang nyata hanya dijumpai antara kelimpahan individu agens hayati tersebut dengan kelimpahan individu ordo Dermaptera, Diptera, Orthoptera dan Thysanoptera. Namun demikian, korelasi yang nyata tersebut tidak semuanya 170 dapat dijelaskan karena tidak semua ordo-ordo serangga tersebut berasosiasi langsung dengan N. eichhorniae. Ordo Hemiptera, Lepidoptera, Orthoptera dan Thysanoptera diduga memiliki asosiasi dengan N. eichhorniae karena sebagian besar spesies serangga ini berperan sebagai herbivor pada eceng gondok. Sementara itu, ordo Dermaptera, Mantodea dan Odonata diduga dapat berperan sebagai predator agens hayati tersebut. Dari keenam ordo serangga tersebut, hanya Orthoptera dan Dermaptera yang menunjukkan korelasi yang nyata dengan kelimpahan individu N. eichhorniae, namun korelasinya juga cukup lemah. Hasil analisis kemiripan Sorensen menunjukkan bahwa komposisi spesies serangga secara keseluruhan pada habitat eceng gondok, dengan dan tanpa keberadaan N. eichhorniae, cukup berbeda. Akan tetapi, tingkat kemiripan komposisi spesies serangga umum pada habiat eceng gondok antar lokasi yang sama-sama ditemukan agens hayati tersebut juga rendah. Pola yang sama juga ditemukan pada komunitas serangga dari taksa yang sama, yaitu Coleoptera. Sementara itu, komposisi spesies serangga herbivor pada habitat eceng gondok dengan dan tanpa keberadaan agens hayati tersebut justru memiliki tingkat kemiripan yang tinggi, yakni di atas 50%. Tingkat kemiripan komposisi spesies serangga herbivor pada habitat eceng gondok antar lokasi pengambilan sampel yang sama-sama ditemukan agens hayati tersebut juga relatif sama. Bertitik tolak pada uraian di atas dapat dikatakan bahwa perbedaan komposisi spesies serangga lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor yang terkait dengan lokasi pengambilan sampel daripada faktor keberadaan N. eichhorniae. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kanekaragaman komunitas serangga pada suatu ekosistem sangat dipengaruhi oleh struktur spasial, keanekaragaman habitat dan komposisi habitat (Kruess 2003), konsentrasi atau dispersi spasial tumbuhan inang (Altieri & Nicholls 2004), sebab setiap spesies serangga membutuhkan mikrohabitat yang unik atau spesifik (Schoonhoven et al. 1998). Selain itu, faktor abiotik atau fisik juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan kelestarian suatu spesies serangga (Confrancesco 2000).